Anda di halaman 1dari 21

Kelompok IV

HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG UNDANG TERHADAP UNDANG


UNDANG DASAR
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
DosenPembimbing : Novita Mayasari Angelia, SH, MH, MH

Disusun oleh
Kathleya Astiza Firianti
NIM.1702140032
Riyan Ivanto
NIM.1170214023
Maysarah
NIM.17021400

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS SYARI’AH
HUKUM TATA NEGARA
TAHUN 2019 M / 1440 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tidak
lupa pula shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada keharibaan junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman terang-benderang. Adapun makalah yang akan dibahas yaitu dengan judul
“Hukum Acara Pengujian Undang Undang Terhadap Undang Undang Dasar”.
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat
diharapkan guna penyempurnaan makalah ini dan sebagai bahan acuan untuk
kedepannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Hukum Kewarisan Islam yakni ibu Novita Mayasari Angelia, SH, MH, MH atas
ketersediaan menuntut penulis dalam penulisan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah ikut
berpartisipasi dalam penyusunan dan pengumpulan data makalah ini. Tanpa bantuan
dan dukungan dari teman-teman semua maka makalah ini tidak akan terselesaikan
dengan tepat waktu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palangkaraya,
November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

........................................................................ ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 1

BAB I ............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2

A. Latar Belakang ................................................................................................. 2

BAB II .......................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Pengertian Pengujian Undang-Undang Materil Dan Formil .......................... 3

B. Kedudukan Pemohon (Legal Standing) ......................................................... 7

C. Posisi Pembentuk Undang-Undang Dalam Persidangan ................................ 8

D. Keterangan Tambahan (Ad Informandum Judicem) ...................................... 8

E. Proses Persidangan Dan Pembuktian Dalam Pengujian Perundang-Undangan.


10

F. Putusan Dalam Pengujian Perundang Undangan Terhadap Undang Undang


Dasar ........................................................................................................................ 12

BAB III ....................................................................................................................... 11

PENUTUP .................................................................................................................. 11

A. Kesimpulan ................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 11

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentu tidak semua
kepentingan warga Negara dapat terakomodir secara penuh, ini disebabkan oleh
berbagai factor dan dinamika yang ada dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut. Sejatinya setiap peraturan peraturan perundang-
undangan dapat mewakili dan menjadi sebuah aturan yang dapat menjadi sarana
pembangunan dan melindungi berbagai kepentingan-kepentingan yang di
dalamnya memuat berbagai hal yang bersifat bonafide terhadap kelangsungan
hidup berbagai elemen masyarakat Indonesia. Ketika Peraturan perundang-
undangan itu dibuat, disahkan lalu diberlakukan, bukan tidak mungkin ada
beberapa kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya. Bukan hanya itu
saja, namun terkadang peraturan perundang-undangan tersebut hanya
menguntungkan kepada satu atau beebrapa golongan saja, tidak untuk
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak sedikit di Indonesia
sering terjadi penyimpangan-penyimpangan peraturan yang menjadi hambatan dan
factor yang memperlambat urgensi laju Pembangunan. Maka untuk menjamin,
agar segala kepentingan-kepentingan suatu birokrasi tersebut dapat terkendali,
harus ada pengawasan yang efektif dan efisien. Ini bertujuan untuk
menyeimbangkan segala bentuk kehidupan demokrasi yang ada di Negara
tersebut, pengawasan ini hendaknya menjadi suatu upaya untuk melindungi warga
Negara Indonesia dari berbagai ketimpangan-ketimpangan yang dapat merusak
tatanan kehidupan demokrasi di Indonesia. Selain itu pengawasan ini juga harus
memiliki sikap yang tegas dan transparan, demi terwujudnya keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Untuk menindaklanjuti hal ini, dikenal dengan istilah Judicial
Review atau uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan dimana dalam
sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.

2
Sebelumnya, tidak dikenal uji materiil sebuah peraturan perundang-udangan
terhadap konstitusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Pengujian Undang Undang Materil Dan Formil ?
2. Bagaimana Kedudukan Pemohon (Legal Standing) ?
3. Bagaimana Posisi Pembentukan Undang Undang Dalam Persidangan ?
4. Apa Itu Keterangan Tambahan (Ad Informandum Judicem)
5. Bagaimana Proses Persidangan Dan Pembuktian Dalam Pengujian
Perundang-Undangan ?
6. Bagaimana Putusan Dalam Pengujian Perundang-Undangan Terhadap
Undang Undang Dasar ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan yang dicapai dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami Pengerian Pengujian Undang-Undang
2. Untuk mengetahui dan memahami Kedudukan Pemohon ( Legal Standing
).
3. Untuk mengetahui dan memahami Posisi Pembentuk Undang-Undang
Dalam Persidangan.
4. Untuk mengetahui dan memahami Keterangan Tambahan (Ad
Informandum Judicem.
5. Untuk mengetahui dan memahami Proses Persidangan Dan Pembuktian
Dalam Pengujian Perundang-Undangan.
6. Untuk mengetahui dan memahami Putusan Dalam Pengujian Perundang
Undangan Terhadap Undang Undang Dasar.
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah diatas, maka penulisan membatasi pembahasan ini sesuai dengan
materi yang terdapat dalam rumusan masalah pada makalah ini. Adapun hal

3
yang tidak berhubungan dengan rumusan masalah diatas penulis tidak uraikan
pada makalah ini.
E. Metode Penulisan
Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini
yakni dengan metode pencarian buku-buku yang ada di perpustakaan (library
research).

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengujian Undang-Undang Materil Dan Formil
Pengujian undang undang atau yang serinng disebut Judicial Review
adalah pengujian kepada produk hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif
atau peradilan. Lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Kewenangan
melakukan pengujian (judicial review) ini juga dipercaya dilakukan untuk
menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga pemegang kekuasaan
negara. Secara teori, fungsi tersebut dilakukan untuk menghindari kesewenang-
wenangan lembaga-lembaga Negara.1
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku
Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan
melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly
Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing),
dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut
biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin
(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam
arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan
materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang
adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah
pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma
hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara
formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil

1
Tim Penyusun, Hukum Acara MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
2010).Hlm 3.

3
terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional warga negara.2
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar
tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang
di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD
1945. Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review
(pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).3
Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam
UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat
untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil
atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun
formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah
Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan
dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian

2
Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257 Diakses Pada
Tanggal 25 November 2019 pukul 21.45 WIB
3
Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Hlm.78.

4
ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa
ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.
Undang-undang merupakan sebuah produk politik. Membentuk undang-undang
adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika proses
membentuk Undang-undang ini berada di dalam ruang politik, maka akan muncul
potensi undang-undang yang sarat akan muatan politik. Dampaknya undang-
undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar
warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang
mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa. Oleh karena itu perlu adanya
mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah
hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun
materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional
warga Negara.
1. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.167
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Sri Soemantri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak menguji
formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
undang-undang misalnya, terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku ataukah tidak, sedangkan Harun Alrasid mengemukakan bahwa
hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan UU. Akan tetapi apa
yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie merupakan pendapat yang

5
mencakup berbagai aspek mengenai pengujian formal. Jimly Asshiddiqie
mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian
formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU
dalam arti sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk
UU, dan pemberlakuan UU. Juga dijelaskan bahwa pengujian formal biasanya
terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas
kompetensi institusi yang membuatnya.4
2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan
UUD 1945.190 Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat
(2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai
berikut: “Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.”
Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji material ialah
mengenai kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau
tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.5 Jimly Asshiddiqie berpendapat
bahwa pengujian materiil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi
suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan
norma-norma yang berlaku umum. Beliau menjelaskan lebih lanjut:

4
Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No.
19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), hlm. 1.
5
Harun Alrasid, “Masalah “Judicial Review”, makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat
tentang “Judicial Review” di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta: 2003), hlm. 2.

6
“Misalnya, berdasarkan prinsip ’lex specialis derogate legi generalis’, maka
suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh
hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat
umum. Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku
jikalau materi yang terdapat di dalamnya dinilai oleh hakim nyata-nyata
bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi sesuai dengan prinsip ’lex
superiori derogate legi inferiori’.
B. Kedudukan Pemohon (Legal Standing)
Pengertian kedudukan hukum (legal standing) dikemukakan oleh Harjono
sebagai berikut: ”Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu
pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di
depan Mahkamah Konstitusi.”6
Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi:7
1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a) Perorangan warga Negara Indonesia;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c) Badan Hukum public atau privat; atau
d) Lembaga Negara

2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak


dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

6
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, Uu Nomor 24,
LN No 98 Tahun 2003, Ps. 51 Ayat (3) Huruf a.
7
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah. Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1996, Hlm. 10.

7
3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa :
a. Pembentukan Undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi
untuk sahnya kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam perkara
pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi, yaitu:
“Keempat pihak atau subjek hukum tersebut di atas (perorangan WNI,
kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga
negara –pen), pertama-tama haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas
dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah
membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang
dijamin atau kewenangan-kewenangan tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, hak-hak atau kewenangan konstitusional
dimaksud memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang
yang bersangkutan.”
C. Posisi Pembentuk Undang-Undang Dalam Persidangan
Dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur bahwa:

1. Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta


alat bukti yang diajukan.

2. Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat


(1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk

8
memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara
tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

3. Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib


menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.

4. Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


mengatur bahwa; ”Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau
risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 24


uTahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi
dapat meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil
Presiden berkaitan dengan permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa
oleh Mahkamah Konstitusi. DPD dapat menjadi pihak dalam perkara
permohonan pengujian UU. Mahkamah Konstitusi harus mendengar dan/atau
meminta keterangan DPD dalam hal UU yang diuji, dalam proses
pembentukannya melibatkan peranan DPD, sedangkan dalam hal pengujian UU
yang materi muatannya berkaitan dengan kepentingan daerah, meskipun tidak
melibatkan DPD dalam proses pembentukannya maka Mahkamah Konstitusi
dapat mendengar dan/atau meminta keterangan DPD. Contoh perkara dimana
pemerintah dan DPR memberikan keterangan dalam persidangan adalah pada
Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD
1945

D. Keterangan Tambahan (Ad Informandum Judicem)

9
ad informandum judicem Dalam Black’s Law Dictionary, ad informandum
judicem berarti: “ for the judge’s information.” 299 Dalam Pasal 14 ayat 4 huruf b
PMK Nomor 06 PMK 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
UU, diatur tentang ad informandum sebagai berikut: “pihak yang perlu didengar
keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan atau
kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan
tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.” 300
Dalam Pasal 14 ayat 4 huruf b PMK Nomor 06 PMK 2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian UU, pihak yang perlu didengar keterangannya
sebagai ad informandum, merupakan “Pihak Terkait yang berkepentingan tidak
langsung” dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945. 301 Pihak Terkait
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 5 huruf b PMK Nomor 06 PMK 2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU, harus mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi melalui Panitera, yang selanjutnya
apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi yang
salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan, dan jika tidak disetujui maka
pemberitahuan tertulis akan disampaikan kepada yang bersangkutan oleh
Panitera atas perintah Ketua Mahkamah Konstitusi. 302 Dalam Perkara Nomor
031 PUU-I V 2006 Perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, terdapat pihak terkait tidak langsung yang
memberikan keterangan tambahan ad informandum yaitu I ndonesia Media Law
and 298 I bid., ps. 26 ayat 1. 299 Bryan A. Garner , op cit., hal. 46. 300 Republik I
ndonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang,...op cit., ps. 4 ayat 2. 301 I bid., ps. 14 ayat
4 huruf b. 302 I bid., ps. 14 ayat 5. 123 Policy Centre I MLPC yang memberikan
keterangan tambahan ad informandum berdasarkan dokumen risalah sidang dari
Sekretariat Komisi I DPR RI . 303 Dalam praktiknya, keterangan tambahan ad
informandum tidak hanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat 4 huruf
b PMK Nomor 06 PMK 2005, yaitu “pihak yang hak dan atau kewenangannya tidak
secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena
kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud”, akan tetapi dalam
hal wakil pemerintah belum mendapat surat kuasa dari Pemerintah -dalam hal ini

10
menteri- juga keterangannya dimasukkan sebagai keterangan tambahan ad
informandum.

11
E. Proses Persidangan Dan Pembuktian Dalam Pengujian Perundang-
Undangan
Disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 24C, bahwa kewenangan MK adalah
melakukan pengujian undang undang terhadap UUD, tentu saja selain
kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam melakukan pengujian,
Mahkamah Konsti tusi mengacu kepada Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.
Buku yang sekarang ber ada di tangan pembaca, menjelaskan secara panjang
lebar tentang bagaimana beracara di MK, khususnya dalam perkara pengujian
undang undang. Penjelasan yang dikemukakan dengan bernas dalam buku ini,
diawali dengan bab pertama, meliputi pengertian pengujian norma hukum serta
tentang objek yang bisa dikenai pengujian norma hukum. Bab kedua dan ketiga
berbicara tentang siapa saja yang bisa menjadi pemohon serta alasan
dibaliknya. Turut di bahas juga tentang pengajuan pemohonan serta alur
petjalanan permohonan sejak diterima hingga dilaku kan penelitian
administrasi. Proses Persidangan Pidana adalah sebagai berikut:
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu
dinyatakan tertutup untuk umum);
2. Jaksa Penuntut Umum (JPU) diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke
depan persidangan dalam keadaan bebas;
3. Terdakwa ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan
surat dakwaan;
4. Terdakwa ditanya pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk
diperiksa di depan persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);

12
5. Terdakwa ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila
didampingi apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan
ditunjuk Penasehat Hukum oleh Majelis Hakim dalam hal terdakwa diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);\
6. Dilanjutkan pembacaan surat dakwaan;
7. Atas pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa ditanya akan mengajukan eksepsi
atau tidak;
8. Dalam hal terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan
sidang ditunda;
9. Apabila ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
10. Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh Majelis Hakim;
11. Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara (pembuktian)
12. Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh JPU (dimulai dari saksi korban);
13. Dilanjutkan saksi lainnya;
14. Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa pula, saksi ahli Witness/expert)
15. Pemeriksaan terhadap terdakwa;
16. Surat tuntutan pidana (requisitor) oleh penuntut umum;
17. Pembelaan (pledoi) oleh Penasehat hukum;
18. Replik atau Tanggapan penuntut umum atas nota pembelaan penasehat hukum
terdakwa;
19. Duplik atau Tanggapan penasehat hukum terdakwa atas tanggapan penuntut
umum;
20. Putusan oleh Majelis Hakim.

13
F. Putusan Dalam Pengujian Perundang Undangan Terhadap Undang
Undang Dasar
Untuk mencntukan putusan, Mahkamah Konsmusi tcrlcbih dahulu
mclakukan Rapat Pcrmusyawaratan Hakxm (RPH). Rapat pcrmusyawaratan
tcrscbut dllakukan sctclah pcmcnksaan pcrsudangan dianggap cukup. RPH
harus dlhadm olch sckurang-kurangnya 7 (tuJuh) haklm konsmusx yang
tcrlcblh dahulu mcndcngarkan hasxl rapat panel haklm. Putusan yang dlambll
mclalun RPH tcrscbut dllakukan sccara musyawarah mufakat dcngan tcrlcblh
dahulu mcndcngarkan pcndapat hukum para haklm konsutusx. Apablla dalam
musyawarah mufakat tcrscbut tidak dapat dlpcrolch kcscpakatan umum, maka
akan dllakukan pcngambllan kcputusan mclalm suara tcrbanyak (voting).
Namun apablla di dalam voting tcrscbut tctap tldak dlpcrolch suara tcrbanyak,
suara tcrakhxr Kctua Rapat Plcno Hakxm KonsutuSI mcncntukan putusan yang
dgatuhkan. Putusan tcrkalt pcrscllsxhan hasxl Pcmllu tcrscbut kcmudlan akan
dlbacakan dalam rapat yang tcrbuka untuk umum yang amarnya bcrdasarkan
kctcmuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor
16 Tahun 2009 jumlo Pasa] 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan bcrbunyu:
a. Pcrmohonan tldak dapat dltcnma (niet awankclljk verlelaard) apablla
pcmohon dan atau pcrmohonan tldak mcmcnuhl syarat;
b. Pcrmohonan dlkabulkan apablla pcrmohonan tcrbuktl bcralasan dan
sclanjumya Mahkamah mcmbatalkan (void an initia) hasnl
pcnghltungan suara olch KPU. scrta mcnctapkan hasul pcnglmungan
suara yang bcnar;
c. Pcrmohonan dltolak apablla pcrmohonan tcrbuktl tldak bcralasan.

14
Namun apablla Pcmohon dalam proscs pcrsxdangan kcmudlan mcnarlk
pcrmohonannya (Pasal 35 UU MK). maka Mahkamah akan mcngcluarkan
pcnctapan. Pcnctapan olch pcradllan adalah nndakan Mahkamah yang dlluar
putusan, scbagalmanajuga pcnctapan han sndang dan Iam-lam dl luar uom's
(putusan). Pcnankan pcrmohonan olch Pcmohon bcraklbat pcrmohonan yang
sama tldak dapat dlajukan kcmball [Pasal 35 ayat (2) UU MK].

Putusan MK bchIFat 0m). bahkan tcrhadap pcrkara PHPU Juga tldak dxkcnal
upaya lam untuk mcmbatalkan putusan MK. Dalam bcrpcrkara d1 MKJuga
ndak dlkcnal dcngan upaya pcrlawanan (verzer) tcrhadap kctcmpan yang
dltcrbltkan olch MK. balk (crhadap kctctapan han sudang, kctctapan pcnankan
kcmball pcrmohonan. kctccapan Mahkamah tldak bcrwcnang. dan lain-Ialnnya
yang dltcrbltkan Mahkamah tcrkalt dcngan pcrkara PHPU. Namun dalam
pcrkcmbangannya bcntuk-bcntuk putusan Mahkamah Konstttus: tcrkalt
pcrsclmhan hasd Pcmllu mcngalaml pcrkcmbangan. UU MK dan PMK tcrkalt
tldak mcngcnal Jcms putusan yang bunyi amarnya mcnyatakan, ”mcngabulkan
pcrmohonan Pcmohon untuk scbagxan". Tcrdapat pula Putusan Sela, yang
tcrkalt ckscpsu pcrmohonan Pcmohon yang mcmmta hakim mcnjatuhkan
Putusan Sela apabxla kcrugmn konstutusuonal tcrjadl. Namun Hakim dapat
saJa mcnganggap bahwa alasan pcrmohonan Pcmohon agar hakxm
manatuhkan Putusan Sela dmyatakan udak bcralasan hukum schmgga dapat
saJa dltolak olch haklm.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Judicial Review adalah pengujian kepada produk hukum yang dilakukan oleh
lembaga yudikatif atau peradilan. Lembaga ini memiliki kewenangan yang
diberikan oleh konstitusi untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga
legislatif. Kewenangan melakukan pengujian (judicial review) ini juga dipercaya
dilakukan untuk menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga
pemegang kekuasaan negara. Secara teori, fungsi tersebut dilakukan untuk
menghindari kesewenang-wenangan lembaga-lembaga Negara.
2. Pengertian kedudukan hukum (legal standing) dikemukakan oleh Harjono sebagai
berikut: ”Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak
ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan
Mahkamah Konstitusi.
3. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 54 UU Nomor 24 uTahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat meminta
keterangan kepada MPR, DPR, DPD, Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan
dengan permohonan pengujian UU yang sedang diperiksa oleh Mahkamah
Konstitusi.
4. Untuk mencntukan putusan, Mahkamah Konsmusi tcrlcbih dahulu mclakukan
Rapat Pcrmusyawaratan Hakxm (RPH). Rapat pcrmusyawaratan tcrscbut
dllakukan sctclah pcmcnksaan pcrsudangan dianggap cukup. RPH harus dlhadm
olch sckurang-kurangnya 7 (tuJuh) haklm konsmusx yang tcrlcblh dahulu
mcndcngarkan hasxl rapat panel haklm.

11
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Hukum Acara MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
2010).
Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257 Diakses Pada Tanggal 25
November 2019 pukul 21.45 WIB
Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Hlm.78.
Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No.
19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun),
Harun Alrasid, “Masalah “Judicial Review”, makalah disampaikan dalam Rapat Dengar
Pendapat tentang “Judicial Review” di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta: 2003),
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi, Uu Nomor 24, LN
No 98 Tahun 2003, Ps. 51 Ayat (3) Huruf a.

12

Anda mungkin juga menyukai