Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

TANATOLOGI

Dokter Pembimbing : dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.KF


Residen Pembimbing : dr. Hendrik

Disusun Oleh :
Megan Shanzu (FK ATMAJAYA)
Bianca Pinky (FK ATMAJAYA)
Joshua Henrina (FK ATMAJAYA)
Gaby Rakanita A. (FK ATMAJAYA)
Anna Listiana (FK ATMAJAYA)
Frederica Jovianti (FK ATMAJAYA)
Linda Gunawan (FK ATMAJAYA)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 26 FEBRUARI 2018 – 10 MARET 2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepanitiaan di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran periode Februari 2018 - Maret 2018. Pada kesempatan ini kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.KF sebagai Dokter penguji yang telah memberikan
masukan serta petunjuk dalam menyelesaikan referat ini.
2. dr. Hendrik sebagai Residen pembimbing yang telah meluangkan waktunya serta membantu
dalam penyusunan referat ini.
3. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Besar harapan kami bahwa referat ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
ilmu pengetahuan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna
dan mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki kekurangan di kemudian hari, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran serta masukkannya yang membangun.
Semoga referat ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata baik yang disengaja maupun
yang tidak disengaja dalam pengejaan kalimat serta penyebutan nama tempat, istilah serta nama
orang.

Semarang, 04 Maret 2017


Hormat kami,

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................................ i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang....................................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................................................. 2
C. Tujuan masalah ...................................................................................................................... 2
D. Manfaat ................................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3
A. Kematian................................................................................................................................ 3
B. Jenis Kematian....................................................................................................................... 5
C. Tanatologi .............................................................................................................................. 6
D. Manfaat Tanatologi ............................................................................................................... 7
E. Perubahan-perubahan sesudah mati ...................................................................................... 9
1. Perubahan Kulit Muka ...................................................................................................... 9
2. Relaksasi Otot ................................................................................................................... 9
3. Perubahan Pada Mata ..................................................................................................... 10
4. Penurunan Suhu Tubuh................................................................................................... 12
5. Lebam Mayat .................................................................................................................. 15
6. Kaku Mayat .................................................................................................................... 18
7. Pembusukan .................................................................................................................... 24
8. Biokimiawi Darah ........................................................................................................... 31
9. Cairan Serebrospinal ....................................................................................................... 31
10. Saluran Cerna ............................................................................................................... 32
F. Contoh Kasus....................................................................................................................... 35
G. Diskusi ................................................................................................................................. 36
BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 37
A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 37

iv
B. Saran ................................................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 39

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu forensik yang semakin maju, menjadikan ilmu kedokteran
forensik banyak digunakan baik bagi kepentingan peradilan maupun non peradilan. Salah
satu ilmu dasar dalam kedokteran forensik yang harus dikuasai oleh ahli kedokteran
kehakiman maupun dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman adalah tanatologi.
Tanatologi atau yang secara umum dikenal sebagai science of death adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kematian, perubahan-perubahan yang terjadi setelah
kematian dan faktor-faktor yang memengaruhinya.1,2 Perubahan yang terjadi setelah
kematian dapat terjadi secara cepat, yaitu henti jantung, henti nafas, perubahan pada mata,
suhu dan kulit. Sedangkan perubahan yang terjadi secara lanjut antara lain lebam mayat,
kaku mayat, pembusukan, dan mumifikasi.3
Ilmu tanatologi penting dan diperlukanterutama dalam hal pemeriksaan jenazah dan
pembuatan visum et repertum. Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk
menentukan apakah seseorang telah meninggal atau belum, menentukan waktu kematian,
sebab kematian, cara kematian, serta membedakan perubahan-perubahan setelah kematian
dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.1
Pada kasus kriminal maupun sipil penentuan waktu, sebab, dan cara kematian merupakan
hal yang penting dilakukan khususnya apabila dikaitkan dengan proses penyidikan.Dengan
memperkirakan hal tersebut penyidik dapat lebih terarah dan selektif dalam melakukan
pemeriksaan terhadap para tersangka pelaku tindak pidana.Berdasarkan uraian latar
belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengajukan judul referat “Tanatologi”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kematian?
2. Apa yang dimaksud dengan tanatologi?
3. Apa manfaat tanatologi?

1
4. Bagaimana cara mendiagnosis kematian?
5. Apa saja perubahan yang terjadi setelah kematian dan faktor yang
memengaruhinya?
6. Bagaimana cara memperkirakan waktu kematian?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut:
1. Tujuan Umum:
Mengetahui tanatologi dan manfaatnya secara umum dalam kedokteran kehakiman
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui definisi, jenis dan kriteria diagnostik dari kematian
b. Mengetahui definisi dan manfaat tanatologi
c. Mengetahui cara mendiagnosis kematian
d. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian
e. Menegetahui cara memperkirakakan waktu kematian

D. Manfaat Penulisan

Menambah pengetahuan mengenai tanatologi dan diharapkan dapat dijadikan


sebagai salah satu referensi dalam kedokteran forensik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kematian
Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 117:
“Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi jantung, sirkulasi dan pernapasan terbukti telah
berhenti secara permanenatau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan”.
Fungsi jantung dan paru-paru yang terhenti selama 10 menit baru dapat dikatakan berhenti
secara permanen. Hal ini didasari pada pertimbangan bahwa sel-sel otak akan rusak apabila
tidak mendapat oksigen selama 10 menit.4
Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, terdapat alat yang dapat
mempertahankan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu pada pasien
yang menggunakan alat bantu tersebut definisi kematian berkembang menjadi kematian
batang otak “Brain stem death is death”. Hal tersebut muncul berdasarkan pemikiran
bahwa mustahil dapat mendiagnosa brain death dengan memeriksa seluruh fungsi otak
(melihat, mencium, mendengar, fungsi serebelar, dan beberapa fungsi korteks) dalam
keadaan koma, proses brain death tidak terjadi secara serentak, tetapi bertahap mengingat
resistensi yang berbeda-beda dari beberapa bagian otak terhadap ketiadaan oksigen, dan
brain stem merupakan bagian dari otak yang mengatur fungsi vital, terutama pernapasan.2,4

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan fungsi jantung telah berhenti berdenyut
yaitu:2,5
1. Auskultasi: auskultasi dilakukan di daerah perikardial selama 10 menit secara terus-
menerus.
2. Tes magnus: dengan mengikat jari tangan sedemikian rupa sehingga hanya aliran
darah vena saja yang terhenti. Bila terjadi bendungan berwarna sianotik berarti
masih ada sirkulasi darah.
3. Tes Icard: dengan cara menyuntikkan larutan dari campuran 1 gram zat fluorescen
dan 1 gram natrium bikarbonat di dalam 8 ml air secara subkutan. Bila terjadi
perubahan warna kuning kehijauan berarti masih ada sirkulasi darah.

3
4. Insisi arteri radialis: bila terpaksa dapat dilakukan pengirisan pada arteri radialis.
Bila keluar darah secara pulsasif berarti masih ada sirkulasi darah.

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan fungsi paru-parutelah berhenti bernapas


yaitu:2,5
1. Auskultasi: dilakukan secara hari-hati dan lama, jika perlu dilakukan pada laring
juga.
2. Tes Winslow: dengan meletakkan gelas berisi air di atas perut atau dadanya. Bila
permukaan air bergoyang berarti masih ada gerakan nafas.
3. Tes Cermin: dengan meletakkan kaca cermin di depan mulut dan hidung. Apabila
basah atau terlihat adanya embun berarti masih bernapas.
4. Tes Bulu burung: dengan meletakkan bulu burung di depan hidung. Bila bergetar
berarti masih bernapas.

Kriteria diagnostik untuk menentukan kematian batang otak yaitu:2


1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon perintah, taktil, dsb).
2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada
dibawah pengaruh obat-obatan.
3. Tidak ada reflek pupil
4. Tidak ada reflek kornea
5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan
6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotrakeal didorong kedalam
7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan aires yang dimasukkan ke
dalam lubang telinga
8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukup lama
walaupun pCO2 sudah melampui nilai ambang rangsang napas (50 torr).
Tes klinik tersebut baru dapat dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma serta apneu
dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes yang pertama.

B. Jenis Kematian

4
Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem yang
mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem pernapasan, sistem
kardiovaskuler, dan sistem persarafan. Ketiga sistem itu mempengaruhi satu sama lainnya,
ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka sistem-sistem lainnya juga ikut
terpengaruh. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatik
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral, dan mati otak (mati batang otak).
1. Mati Somatik
Mati somatik (mati klinis) adalah suatu keadaan dimana oleh karena suatu sebab
terjadi gangguan atau penghentian permanen pada ketiga sistem utama tersebut yang
mengakibatkan kehilangan sensibiltas dan kemampuan menggerakkan tubuh secara
komplit, namun beberapa bagian tubuh seperti otot masih dapat memberi respon terhadap
stimulus elektrik, termal atau kimia. Kematian somatik dapat dilihat dari adanya
penghentian detak jantung, penghentian pernapasan, dan penghentian aktifitas otak.1,2
2. Mati Suri
Mati suri (apparent death or suspended animation) merupakan suatu keadaan
dimana fungsi vital turun ke tingkat yang paling minimal untuk mempertahankan
kehidupan sehingga tanda-tanda kliniknya tampak seperti sudah mati.Dengan pertolongan
yang cepat dan tepat atau kadang-kadang secara spontan kondisinya dapat pulih kembali
seperti sebelumnya. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik, hipotermia, vagal inhibitory reflex (keracunan narkoba, gantung
diri, histeria),bayi baru lahir (butuh resusitasi), dan tenggelam.2
3. Mati Seluler
Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian seluruh elemen seluler, dimana
cadangan oksigen pada sel mengalami deplesi, kematian sel atau kematian molekuler
terjadi.Kematian timbul beberapa saat setelah kematian somatik.Kematian seluler dapat
dilihat dengan ketidakadaan segala respon terhadap stimulus elektrik, thermal, maupun
kimia pada jaringan.Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda,
sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan. Misalnya susunan
saraf pusat mati dalam 4 menit, otot mati dalam 4 jam.2
4. Mati Serebral

5
Mati serebral adalah suatu kelainan akibat kerusakan kedua hemisferotak yang
irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
pernapasan dan kardiovaskuler masih dapat berfungsi dengan bantuan alat.1,2
5. Mati Otak
Mati otak (mati batang otak) adalah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan
seluruh isi neuronal intracranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum.
Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.2

C. Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata Thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan kematian yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh
setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.1,2

D. Manfaat Tanatologi
Manfaat tanatologi dalam bidang forensik adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis kematian:
Sebenarnya menetukan kematian seseorang tidaklah sulit sehingga orang awam (termasuk
penegak hukum) dapat melakukannya, tetapi juga tidak terlalu mudah sehingga terkadang dokter
pun dapat melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, ilmu ini perlu dipahami sungguh-sungguh agar
tidak terjadi kesalahan dalam menegakkan diagnosis kematian.5
Tanatologi juga perlu dipelajari oleh penegak hukum sebab dalam pemeriksaan tempat
kejadian perkara (TKP) tidak tertutup kemungkinan masih dalam keadaan hidup meskipun terlihat
tidak bergerak seperti mati.2
Dalam situasi seperti ini penentuan kematian dapat dilakukan dengan menggunakan tanda
tanda pasti kematian, antara lain:
a. Lebam mayat
b. Kaku mayat
c. Penurunan suhu

6
d. Pembusukkan
e. Adiposera
f. Mumifikasi
Jika tanda-tanda pasti kematian tidak ditemukan maka korban harus dianggap masih dalam
keadaan hidup sehingga perlu mendapat pertolongan(misalnya dengan melakukan pernapasan
buatan) sampai menunjukkan tanda-tanda kehidupan atau sampai munculnya tanda pasti kematian
yang paling awal, yaitu lebam mayat.1,2

2. Penentuan saat kematian


Pemeriksaan forensik untuk menetukan saat kematian korban menjadi sangat penting sebab
dapat tidaknya seseorang diperhitungkan sebagai pelaku pembunuhan tergantung dari
keberadaanya ketika tindak pidana itu terjadi sehingga apabila pelaku memiliki alibi maka alibi
tersebut tidak dapat diterima, selain itu penentuan saat kematian diperlukan juga untuk
kepentingan masyarakat misalnya dalam klaim asuransi. Perubahan eksternal maupun internal
yang terjadi pada tubuh seseorang yang sudah meninggal dapat digunakan sebagai kajian untuk
memperkirakan saat terjadinya kematian, perubahan tersebut terdiri dari:1,2,5
a. Perubahan eksternal:
- Penurunan suhu
- Lebam mayat
- Kaku mayat
- Pembusukan
- Timbulnya larva
b. Perubahan internal:
- Kenaikan potassium pada cairan bola mata
- Kenaikan non protein nitrogen dalam darah
- Kenaikan ureum darah
- Penurunan kadar gula darah
- Kenaikan kadar dekstrose pada vena cava inferior
3. Memperkirakan cara kematian
Perubahan yang terjadi pada tubuh mayat juga dapat memberi petunjuk cara kematiannya.
Cara kematian dibagi menjadi 2 yaitu natural dan unnatural/violent. Cara kematian

7
naturaldisebabkan oleh suatu penyakit, sedangkan cara kematian disebabkan oleh kecelakaan,
bunuh diri, pembunuhan,dll.5
Penggunaan tanatologi misalnya dalam kasus ditemukan distribusi lebam mayat pada ujung
kaki, ujung tangan atau alat kaelamin maka dapat diytentukan cara kematiannya adalah gantung
diri, dalam hal ini unnatural/ violent death.5
4. Memperkirakan mekanisme kematian
Menggambarkan perubahan fisiologis atau gangguan biokimia yang menyebabkan
kematian. Misalnya asidosis, alkalosis, sepsis, toxacemia, paralisis, dll.5
5. Memperkirakan sebab kematian
Sebab kematian adalah trauma, penyakit, atau kombinasi dari keduanya yang menyebabkan
perubahan fisiologis dari yang dapat menyebabkan kematian.5 Pada tanatologi misalnya ditemui
perubahan warna lebam mayat menjadi:
i. Merah cerah memberi petunjuk keracunan karbon monoksida (CO) atau sianida (CN)
ii. Cokelat memberi petunjuk keracunan Pottasium Chlorate
iii. Merah gelap, memberi petunjuk kekurangan oksigen.1,2

E. Perubahan-perubahan sesudah mati


Perubahan yang terjadi setelah kematian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan waktu
terjadinya, yaitu:2,5
- Early changes (immediate) of death: berhentinya sistem pernapasan, berhentinya sistem
sirkulasi kurang lebih 5-10 menit, relaksasi muskulus, menghilangnya refleks, kulit pucat,
pupil dilatasi, ECG mendatar 5-10 menit.
- Early changes (non immediate) of death: livor mortis, rigor mortis, algormortis
- Late changes of death: pembusukan dan modiifikasinya, skeletonisasi.5
Jika seseorang telah meninggal dunia maka pada tubuhnya akan mengalami berbagai
perubahan:
1. Perubahan kulit muka
Perubahan pasca kematian yang dapat terlihat adalah perubahan yang terjadi pada kulit
muka. Perubahan kulit muka dapat terjadi akibat berhentinya sirkulasi darah maka darah
yang berada pada kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang
lebih rendah sehingga warna raut muka menjadi lebih pucat,kehilangan elastisitas. Pada

8
mayat dari orang yang mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu
(misalnya keracunan CO) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat
menjadi pucat.2,5
2. Relaksasi otot
Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami relaksasi
sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini disebut relaksasi primer.
Akibatnya rahang bawah akan melorot menyebabkan mulut terbuka, dada kolaps dan bila
tidak ada yang menyangga anggota tubuh akan jatuh ke bawah. Relaksasi yang terjadi pada
otot-otot muka akan mengesankan usia yang lebih muda dari yang sebenarnya, sedangkan
relaksasi otot polosakan mengakibatkan iris dan sphingter ani mengalami dilatasi. Oleh
sebab itu, jika ditemukan dilatasi anus, harus hati-hati untuk menyimpulkan sebagai akibat
hubungan seksual per anal.5 Pada hubungan seksual per anal, rugae pada anus akan
meregang (anus corong), sedangkan pada relaksasi otot masih terdapat rugae. Sesudah
relaksasi primer akan terjadi kaku mayat dan selanjutnya akan terjadi relaksasi lagi.
Relaksasi ini disebut dengan relaksasi sekunder.2,5
3. Perubahan pada mata
Pada orang yang sudah mati pandangan matanya terlihat kosong, reflek cahaya dan reflek
kornea menjadi negatif. Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering,sklera di kiri kanan
kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar tepi
kornea (taches noires sclerotiques). Vena-vena pada retina akan mengalami kerusakan
dalam waktu 10 detik sesudah mati. Jika sesudah kematiannya keadaan mata tetap terbuka
maka lapisan kornea yang paling luar akan mengalami kekeringan. Kekeruhan kornea
dapat terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan
dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak
dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6
jam pasca kematian. Dalam waktu 10-12 jam setelah mati kelopak mata, baik terbuka
maupun tertutup, akan berubah menjadi putih keruh. Perubahan lain yang terjadi ialah
penurunan tekanan bola mata dan naiknya kadar potassium pada cairan mata.1 Selama dua
jam pertama pasca kematian, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna
kuning juga tampak disekitar macula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular
koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan pola

9
pigmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur dan setelah 5
jam menjadi homogen dan menjadi lebih pucat.Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas
diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat
dilihat dengan latar belakang kuning-kelabu. Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan
mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus
hanya dapat dikenal dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang
tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan
diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.1,2

Pada pemeriksaan mata juga akan didapatkan midriasis akibat adanya proses relaksasi.
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk melihat fungsi jaringan pada mata pada awal
kematian. Walaupun beberapa refleks menghilang, namun sel-sel dalam jaringan mata masih
hidup dan dapat distimulus dengan rangsang listrik maupun kimia. Pada pemeriksaan kimia dapat
digunakan zat carbahol untuk miosis dan adrenalin HCl untuk midriasis pupil.1,2

Gambar 1. Taches noires sclerotique

10
Gambar 2. Dilatasi pupil

4. Penurunan Suhu Tubuh (Algor Mortis)


Sel hidup menghasilkan kalor dan energi yang terbentuk melalui proses pembakaran
sumber energi seperti glukosa sebagai sumber energi utama, lemak, dan protein. Satu molekul
glukosa menghasilkan energi sebanyak 36 ATP yang digunakan sebagai sumber energy.Energi
sebanyak 36 ATP hanya menyusun sekitar 38% dari total energi yang dihasilkan dari satu molekul
glukosa, sisanya sebesar 62% energi yang dihasilkan inilah yang dilepaskan sebagai kalor atau
panas.2
Metabolisme yang terjadi setelah kematian akan terhenti sehingga suhu tubuh akan turun
menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya proses
radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat ini biasa disebut algor
mortis.2,5 Dalam menilai penurunan suhu pada mayat dapat digunakan metode nomogram.
Nomogram adalah diagram dua dimensi yang berbentuk sigmoid (the sigmoid-shaped cooling
curve). Bagian pertama adalah bagian plateu, bagian selanjutnya setelah plateu adalah bagian
penurunan suhu. Kedua grafik tersebut dapat ditemukan pada tubuh dengan laju penurunan suhu
yang rendah dan juga ditemukan fase plateu yang lebih panjang dibandingkan dengan tubuh yang
memiliki laju penurunan suhu yang tinggi.6,7
Penurunan suhu terjadi sangat lambat pada beberapa jam pertama dengan bentuk sigmoid.
Hal ini disebabkan oleh 2 faktor:5,6
a. Masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat, yakni karena masih adanya proses
glikogenolisis dari cadangan glikogen yang disimpan di otot dan hepar.
b. Perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.
Sesudah itu penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya menjadi lebih lambat
kembali. Penurunan suhu tersebut rata-rata antara 0,9osampai 1oCelcius atau sekitar 1,5oFahrenheit
per jam nya, dengan catatan perubahan suhu dimulai dari 37oCelcius atau 98,4oFahrenheit,
sehingga dengan dapat dirumuskan cara untuk memperkirakan berapa jam mayat telah mati

11
dengan rumus (98,6oF – suhu rectal0F): 1,5oF. Pengukuran dilakukan per rectal dengan
menggunakan termometer kimia (long chemical thermometer).5,6
Algor mortis merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan waktu
kematian. Namun, laju penurunan suhu valid hanya pada beberapa iklim tertentu karena iklim
tertentu seperti tropis dan musim panas memperlambat pengeluaran panas dan pada daerah tertentu
lainnya dapat meningkatkan temperatur postmortem disebabkan oleh cepatnya pembusukan.
Ukuran tubuh, jumlah lemak subkutan, pakaian yang digunakan, kelembaban dan medium
tempat tubuh tersebut berada harus di pertimbangkan saat menentukan waktu kematian.
Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini yakni:
 Faktor Internal
o Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh
tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini akan mengakibatkan penurunan
suhu tubuh menjadi lebih cepat. Sedangkan pada hiportermia tingkat penurunannya
menjadi sebaliknya.2,5
o Keadaan tubuh mayat
Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu
tubuh mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi
lebih cepat.2,5
 Faktor Eksternal
o Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat
terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada ditubuh mayat
dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.2;5
o Keadaan udara disekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar.Hal ini
disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik.selain itu,
aliran udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.2,5
o Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air merupakan
konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh.2,5

12
o Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat.
Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau
lingkungan lebih mudah.2,5

Gambar 3.Pengukuran suhu tubuh rectal menggunakan termometer digital rectal.

Gambar 4. Kurva penurunan suhu mayat akan tampak sebagai garis sigmoid terbalik

5. Lebam Mayat
Lebam mayat disebut juga Post Mortem Lividity, Post Mortem Suggilation, Hypostasis,
Livor Mortis, Stainning.2
Lebam mayat adalah pengendapan darah pada daerah terendah tubuh menghasilkan
perubahan warna kulit menjadi merah ungu. Jantung tidak lagi memompa darah, sel darah merah
menjadi terbenam karena adanya gravvitasi, prosesnya dimulai sesaat setelah sirkulasi darah

13
berhenti, 30-60 menit, darah menjadi inkoagulasi karena pelepasan fibrinolisin dari pembuluh
darah kecil (contohnya: pleura). Terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan
tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh-pembuluh
darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah yang mengalami
stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan
mengalir ke bawah, ke tempat-tempat yang terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa
gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel darah merah tetapi plasma akhirnya juga mengalir ke
bagian terendah yang memberikan kontribusi pada pembentukan gelembung-gelembung di kulit
pada awal proses pembusukan.2
Oleh karena pengumpulan darah terjadi secara pasif maka tempat-tempat di mana
mendapatkan tekanan lokal akan menyebabkan tertekan pembuluh darah di daerah tersebut
sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah tersebut
berwarna lebih pucat.2
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, di mana
setelah terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10-12 jam ternyata akan memberikan
lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh dari pronasi ke
supinasi (interpostmorchange).8
Lebam mayat ini berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya bercak-
bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah kematian dimana
bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat kemudian bergabung menjadi satu dalam
beberapa jam.kemudian, di mana fenomena ini menajdi komplit dalam waktu kurang lebih 8-12
jam, pada waktu ini dapat dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap. Menetapnya lebam
mayat ini disebabkan oleh karena terjadinya perembesan darah ke dalam jaringan sekitar akibat
rusaknya pembuluh darah akibat tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah yang banyak, adanya
proses hemolisa sel-sel darah dan kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah. Dengan demikian
penekanan pada daerah lebam yang dilakukan setelah 8-12 jam tidak akan menghilang. Hilangnya
lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberikan indikasi bahwa suatu lebam belum
terfiksasi secara sempurna. Setelah 4 jam kapiler-kapiler akan mengalami kerusakan dan butir-
butir darah merah juga akan rusak. Pigmen-pigmen dari pecahan darah merah akan keluar dari
kapiler yang rusak dan mewarnai jaringan di sekitarnya sehingga menyebabkan warna lebam
mayat akan menetap serta tidak hilang jika ditekan dengan ujung atau jika posisi mayat dibalik.

14
Jika pembalikan posisi dilakukan setelah 12 jam dari kematiannya maka lebam mayat baru tidak
akan timbul pada posisi terendah, karena darahnya sudah mengalami koagulasi.2,4,9 Pada keadaan
patologis, warna lebam mayat akan berbedakarena terdapat kelainan hemoglobin (contohnya
karboksihemoglobin, methemoglobin). Lebam mayat berwarna merah ceri (cherry red)
disebabkan oleh keracunan repirasi selular.Pada orang dengan anemia berat, lebam mayat sulit
dilihat dikarenakan banyaknya kehilangan darah. Pada orang dengan kulit gelap, lebam mayat
tidak dapat terlihat, untuk membuktikannya perlu dilakukan otopsi dan menemukan kongesti pada
organ dalam misalnya ginjal.7

Gambar 5. Lebam mayat di bagian terbawah tubuh yang tidak mendapat tekanan

Gambar 6. Lebam mayat di bagian dada

15
Gambar 7. Jika belum menetap, lebam mayat akan hilang dengan penekanan

Tabel 1. Perbedaan lebam mayat dan memar2,4


Lebam Mayat Memar

Lokasi Bagian terendah Dimana saja

Permukaan Tidak timbul Bisa timbul

Batas Tegas Tidak tegas

Warna Kebiru – biruan atau merah Diawali dengan merah yang lama
keunguan, warna spesifik pada kelamaan berubah seiring bertambahnya
kematian karena kasus keracunan waktu

Penyebab Distensi kapiler – vena Ekstravasasi darah dari kapiler

Efek Bila ditekan akan memucat Tidak ada efek penekanan


penekanan

16
Bila dipotong Akan terlihat darah yang terjebak Terlihat perdarahan pada jaringan
antara pembuluh darah, tetesan dengan adanya koagulasi atau darah cair
akan perlahan – lahan yang berasal dari pembuluh yang
rupture

Mikroskopis Unsur darah ditemukan diantara Unsur darah ditemukan diluar pembuluh
pembuluh darah dan tidak terdapat darah dan tampak bukti peradangan
peradangan

Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari enzim pada daerah
yang terlibat

Kepentingan Memperkirakan waktu kematian Memperkirakan cedera, senjata yang


medicolegal dan posisi saat mati digunakan

6. Kaku Mayat
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan otot yang terjadi setelah kematian akibat
perubahan struktur myofibril pada jaringan otot. Sesaat setelah kematian, seluruh otot mengalami
pelemasan atau relaksasi primer, selanjutnya kaku mayat berangsur-angsur timbul. Seperti
diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis protein, yaitu aktin (filamen tipis) dan myosin
(filamen tebal), di mana jika timbul rangsangan maka akan terjadi reaksi biokimia yang
menyebabkan myosin menempel pada aktin dan membentuk cross-bridge aktin-myosin.
Terbentuknya komplek tersebut mengakibat filamen tebal dan filamen tipis saling menarik satu
sama lain, penarikan yang terjadi berulang akan menimbulkan kontraksi otot. Ikatan tersebut akan
terjadi terus menerus hingga penempelan adenosine triphosphate (ATP) pada myosin
melepasnya. ATP terbentuk karena adanya oksigen, namun pada saat terjadi kematian makan
suplai oksigen akan berhenti, sehingga produksi ATP secara aerob juga akan terhenti. Akibat dari
habisnya ATP, myosin tidak dapat lepas dari aktin sehingga otot akan bertahan dalam kondisi
kontraksi, hal ini yang disebut dengan kaku mayat. 5,10

17
Gambar 8. Fisiologi kontraksi otot
Setelah kematian, akan terjadi pemecahan glikogen menjadi asam laktat dan energi, dimana
energi tersebut untuk resintesa ATP. Oleh karena kadar glikogen yang terdapat pada setiap otot itu
berbeda-beda, sehingga menyebabkan adanya perbedaan kadar ATP dalam setiap otot. Kaku
mayat akan mulai timbul pada jaringan otot yang jumlah serabut ototnya lebih sedikit. Atas dasar
itulah mengapa pada kematian karena infeksi, kelelahan fisik serta keadaan suhu keliling yang
tinggi akan dapat mempercepat terbentuknya kaku mayat, demikian pula pada mereka yang
keadaan gizinya jelek akan lebih cepat terjadi kaku mayat bila dibandingkan korban yang
mempunyai tubuh yang baik.4
Kaku mayat mulai timbul sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-
12 jam post mortem, keadaan ini akan menetap hingga 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat akan
mulai meghilang sesuai dengan urutan terjadinya yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan,
dada, perut, dan tungkai.4,5

18
Gambar 9. Kaku mayat

Gambar 10. Pemeriksaan kaku mayat pada sendi siku

19
Fase-fase kaku mayat:1,2
 Fase 1: Setelah kematian somatik, otot dalam kondisi normal selama jumlah ATP
memadai.
 Fase 2: Kadar ATP turun drastis hingga 85% cross bridge tidak dapat lepas, kekakuan
mayat mulai timbul, namun keadaan ini masih reversibel dengan penambahan ATP atau
O2. Rigiditas mencapai maksimum saat ATP turun hingga 15%.
 Fase 3: Rigiditas ireversibel.
 Fase 4: Disebut juga dengan “fase resolusi”, kondisi dimana kekakuan mulai menghilang
dan otot mulai melemas (relaksasi sekunder). Penyebab relaksasi sekunder masih belum
jelas namun diduga akibat denaturasi enzim pada sel otot mati, yang mengakibatkan
autodigesti myosin, ada pandangan lain yang menyebutkan bahwa terjadi penurunan pH
akibat kekakuan terus menerus yang menyebabkan produksi asam berlebih yang pada
akhirnya terjadi pelarutan myosin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kaku mayat:5


 Suhu:
Seperti yang diketahui bahwa rigor mortis merupakan akibat dari proses biokimia, maka
rigor mortis dipengaruhi oleh suhu tubuh dan lingkungan, dimana suhu yang dingin akan
memperlambat terjadinya rigor mortis dan membuat rigor mortis bertahan lebih lama,
sedangkan pada suhu tinggi terjadi sebaliknya.
 Penyebab kematian:
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang meninggal akibat penyakit kronis
menyebabkan rigor mortis yang timbul lebih cepat dan bertahan lebih sebentar.
 Kondisi otot sebelum kematian:
Rigor mortis timbul lebih lama ada kondisi otot yang sehat dan kuat dan diistirahatkan saat
sebelum kematian, sebaliknya rigor mortis akan timbul lebih cepat pada orang yang
melakukan aktivitas yang menghabiskan energi sebelum kematian.
 Usia:
Rigor mortis terjadi lebih cepat pada anak kecil dan lansia, dan lebih lambat pada orang
dewasa. Rigor mortis juga dapat timbul pada bayi cukup bulan walaupun lahir mati, tapi
tidak timbul pada fetus usia kurang dari 7 bulan.

20
 Persediaan glikogen:
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh sehat
sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang sebelum mati
banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.

Kekakuan mayat yang menyerupai kaku mayat:


 Cadaveric spasme
Kaku mayat perlu dibedakan dengan cadaveric spasme (instantaneous rigor). Cadaveric
spasme merupakan bentuk kekakuan otot yang timbul saat kematian dengan intensitas
sangat kuat tanpa relaksasi primer terlebih dahulu. Penyebabnya adalah akibat habisnya
cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan
atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Kepentingan medikolegalnya adalah
menunjukan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat
benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam pada kasus bunuh
diri.5,12

Tabel 2. Perbedaan kaku mayat dan cadaveric spasme.5

Sifat Kaku mayat Cadaveric spasme

Onset Akibat perubahan pada otot Merupakan lanjutan kontraksi otot ante
setelah kematian dan didahului mortem, tidak ada relaksasi primer dan
relaksasi primer, 1-2 jam setelah timbul segera
kematian

Durasi 12-24 jam Beberapa jam hingga digantikan oleh


rigor mortis

Otot yang Semua otot, timbul secara Biasanya terbatas pada satu bagian
terlibat bertahap yang mengalami kontraksi sebelum
kematian

21
Intensitas kaku Tidak jelas, dapat dilawan dengan Sangat jelas, perlu tenaga yang kuat
otot sedikit tenaga untuk melawan kekakuannya

Kepentingan Untuk perkiraan waktu kematian Menunjukan cara kematian


medikolegal

Faktor Tidak ada Kelelahan, ketakutan,


predisposisi excitement, nervous tension yang
menyertai kontraksi otot saat kematian

 Heat stiffening
Heat stiffening yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Keadaan ini
dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tepi
rapuh (mudah robek). Pada saat stiffening serabut otot-ototnya memendek sehingga
menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan, lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic
attitude) perubahan sikap ini dak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup,
intravitalitas, penyebab atau cara kematian.5,12
 Cold stiffening
Cold stiffening yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5 atau 40 F),
sehingga terjadi pembekuan cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot,
bila cairan sendi yang membeku menyebabkan sendi tidak dapat digerakan. Bila sendi
dibengkokan secara paksa maka akan terdengar suara es pecah dan mayat yang kaku ini
akan menjadi lemas kembali bila diletakkan di tempat yang hangat, kemudian rigor mortis
akan terjadi dalam waktu yang sangat singkat.5,12

7. Pembusukan
Dekomposisi/ putrefaction atau yang lebih dikenal dengan pembusukan adalah tahap akhir
penghancuran jaringan tubuh. Pada tahap ini, terjadi pemecahan senyawa organik yang kompleks
menjadi senyawa inorganik yang sederhana. Dua proses yang berperan penting dalam proses

22
pembusukan adalah autolisis dan kerja bakteri. Autolisis diperankan oleh enzim yang dikeluarkan
oleh sel yang mati. Proses ini dapat dihentikan dengan pembekuan. Perubahan autolisis tercepat
adalah pada organ parenkim atau glandular. Di usus manusia, terdapat banyak mikroorganisme
aerob dan anaerob yang berperan penting dalam pembusukan. Kerja bakteri ini menghasilkan
enzim pada proses pembusukan yang dapat mencerna karbohidrat, lemak, protein, dan berbagai
jaringan. Salah satubakteri yang memainkan peran penting dalam pembusukan adalah Clostridium
welchii. Bakteri ini menghasilkan enzim lecithinase yang mendegradasi lesitin pada membran sel.
Sel darah merah adalah salah satunya yang terdegradasi sehingga dapat ditemukan hemolisis darah
postmortem.5
Bakteri ini kebanyakan berada di usus. Saat terjadi kematian, sawar usus lebih permeabel
sehingga bakteri dapat bertranslokasi ke dalam sirkulasi darah. Bakteri memperbanyak diri di
dalam darah karena darah adalah media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan organisme.
Implikasinya adalah organ yang kaya pendarahanya dan berada paling dekat dengan usus, akan
mengalami pembusukan lebih awal. Tanda paling awal pembusukan adalah ditemukanya warna
kehijauan pada kulit abdomen anterior regio kanan bagian bawah karena di daerah ini terdapat
caecum yang kaya cairan dan bakteri. Warna timbul akibat perubahan hemoglobin menjadi sulfmet
hemoglobin dengan aksi hidrogen sulfur dari usus ke dalam jaringan.5
Warna kehijauan ini timbul paling cepat dalam 12-8 jam dan paling lambat 1-2 hari. Warna
kehijauan ini kemudian akan menyebar ke seluruh dinding abdomen dan organ yang berdekatan,
seperti genitalia eksterna, dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Distribusi perubahan warna ini
ditentukan oleh distribusi dan jumlah cairan atau darah yang ada di berbagai bagian organ pada
waktu tertenu. Perubahan warna ini akan bergabung menjadi satu dan meliputi seluruh daerah
abdomen serta warna akan menggelap menjadi ungu dan biru tua.5
Pada pembusukan, dapat ditemukan pola pada kulit. Pola ini disebut marbled appearance atau di
Indonesia dikenal dengan aborescent mark. Pola ini tampak jelas setelah 36-48 jam. Terbentuknya
pola ini disebabkan karena adanya hemolisis darah sehingga mewarnai dinding pembuluh darah
dan jaringan sekitar. Pola ini tampak jelas pada vena superfisial abdomen, bahu, dada, dan daerah
inguinal. Seiringan dengan perubahan warna pada dinding perut, gas terbentuk dan menghasilkan
bau tidak enak. Pengumpulan gas intra abdomen menyebabkan perut bengkak setelah 12-24 jam.
Setelah 24-48 jam, gas mengumpul di jaringan, rongga, dan organ berongga sehingga gambaranya
adalah bengkak dan organ terdistorsi.5

23
Organ lain yang kena dampak dari gas yang terbentuk adalah emfisema subkutan, dan
payudara, skrotum, dan penis tampak membesar. Mata dapat keluar dari rongga orbita, lidah dapat
menjulur keluar diantara gigi dan bibir, dan bibir menjadi bengkak dan menghadap keluar. Cairan
berbusa berwarna kemerahan dapat ditemukan di daerah mulut dan lubang hidung karena tekanan
intraabdomen menekan paru-paru ke atas. Tekanan intraabdomen ini juga menyebabkan
penekanan pada lambung sehingga isi lambung dapat keluar ke mulut dan laring. Gas yang
terkumpul di antara dermis dan epidermis membentuk bula. Gas ini juga menekan pembuluh darah
sehingga cairan keluar dan terkumpul pada bula tersebut. Epidermis menjadi lebih longgar dan
menghasilkan katong terisi cairan jernih atau merah muda. Perubahan ini terlihat pada hari kedua
dan ketiga dan disebut dengan skin slippage. Kantong yang terbentuk akan bergabung, menjadi
besar, dan pecah sehingga tampak dermis dibawahnya.5
Tabel 3. Perbedaan bula intravital dan bula pembusukan
Bula intravital Perbedaan Bula pembusukan
Kecoklatan Warna kulit ari Kuning
Tinggi Kadar albumin dan Rendah atau tidak ada
klor bula
Hiperemis Dasar bula Merah pembusukuan
Intraepidermal Jaringan yang Antara epidermis dan
terangkat dermis
Ada Reaksi jaringan dan Tidak ada
respon darah
Pada hari ketiga sampai ketujuh, tekanan yang terus meningkat berkaitan dengan
perubahan kolikuatif pada jaringan lunak sehingga terjadi pelunakan abdomen. Proses ini dapat
menyebabkan rongga dada dan abdomen terbuka secara tiba-tiba. Gigi akan menjadi longgar dan
mudah lepas. Kulit pada tangan dan kaki lepas dengan pola stock and glove. Setelah hari ke lima
sampai hari ke sepuluh, perubahan kolikuatif tampak jelas. Jaringan lunak padat menjadi masa
semi solid tebal berwarna hitam. Pembusukan organ dalam juga terjadi, meskipun lebih lambat
dibandingkan permukaan tubuh. Organ yang lunak dan dengan perdarahan lebih banyak, lebih
cepat membusuk. Tanda paling awal adalah ditemukan warna merah kecoklatan pada permukaan
dalam aorta dan pembuluh darah lainya. Perubahan organ dalam dipengaruhi oleh pendarahan,
arsitektur jaringan, jumlah mikroorganisme, isi cairan, dan enzim yang terdapat pada organ.

24
Keadaan eksternal dan internal dapat memengaruhi onset dan progresi pembusukan. Temperatur,
cahaya, dan tubuh berada di udara, air, atau tanah adalah keadaan eksternal yang berpengaruh,
sedangkan faktor internal dipengaruhi oleh penyebab kematian, keadaan tubuh, menggunakan
pakaian atau tidak, umur dan jenis kelamin.5
Fase pembusukan lebih jelas diterangkan oleh Lee Goff. Menurut beliau, pembusukan
terdiri dari lima fase. Kelima fase tersebut adalah fresh, bloated, decay, postdecay dan skeletal
atau remains. Fase ketiga dapat dibagi lagi menjadi fase active decay dan advandce decay. Fresh
stage dimulai dari awal kematian hingga pembengkakan tubuh tampak. Perubahan warna abdomen
menjadi kehijauan, livor mortis, dan tache noir juga dapat terlihat disini. Pada bukaan tubuh seperti
organ kepala, anus, dan genital, dimulai invasi oleh serangga pengurai. Serangga tersebut adalah
Calliphoridae dan Sarcophagidae.3
Fase kedua adalah fase bloatedatau pembengkakan. Pembengkakan ini disebakan oleh
bakteri anareob mencerna jaringan tubuh. Hasil metabolisme bakteri ini, menghasilkan gas yang
menyebabkan perut membengkak. Lalat dewasa Calliphoridae akan menghinggapi mayat ini
karena sangat tertarik dengan baunya. Belatung dalam jumlah besar bisa terlihat pada daerah
bukaan tubuh.3
Decay stage adalah fase ketiga pembusukan. Fase ini ditandai oleh kerusakan lapisan
terluar kulit dan keluarnya gas dari abdomen. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas belatung dan
pembusukan oleh bakteri. Pada fase ini, bau tajam dapat tercium. Serangga yang banyak terdapat
pada fase ini adalah larva Diptera, sedangkan sebagian besar Calliphoridae dan Sarcophagidae
telah menyelesaikan perkembanganya, meninggalkan sisa-sisa jenazah, dan membentuk pupa pada
tanah disekitar jenazah. Tanda fase ini selesai adalah hanya tersisa kulit dan kartilago pada jenazah,
akibat aktivitas larva Diptera.3
Pada Postdecay Stage hanya tersisa kulit, kartilago, dan tulang sehingga aktivitas Diptera
mulai berhenti pada fase ini. Aktivitas ini digantikan oleh Coleoptera. Serangga ini akan memakan
sisa-sisa daging tubuh dan kartilago pada tulang. Akibatnya, tulang tampak bersih dan licin. Fase
pembusukan dilanjutkan dan diselesaikan oleh fase Skeletal atau Remains. Sesuai dengan
namanya, pada fase ini hanya terdapat tulang belulang dan sisa rambut.3

25
Gambar 11. Fase Pembusukan Awal

Gambar 12. Fase Pembusukan Lanjut

Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu:2,3

 Early:
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medulla adrenal,
pancreas, otak, lien, usus, uterus gravidarum, uterus post partum dan darah
 Moderate:
Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma,
lambung, otot polos dan otot lurik.
 Late
Uterus non gravidarum dan prostat, merupakan organ yang lebih tahan terhadap
pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan lain, yaitu fibrous.

26
Gambar 13 Fase Bloating

Gambar 14. Fase Skeletal atau Remains

Pada keadaan tertentu tanda-tanda pembusukan tersebut tidak dijumpai, namun yang ditemui
adalah modifikasi pembusukan. Jenis-jenis modifikasi pembusukan antara lain:
 ADIPOSERA
Adiposera adalah keadaan yang didapatkan pada jenazah yang tidak mengalami
pembusukan atau mumifikasi. Adipocera berasal dari kata adipo yang berarti lemak dan
cire yang berarti lilin. Kedua sifat yang dimiliki pada mayat yang mengalami adiposera,
menyebabkan Fourcoy memberi terminologi tersebut. Terminologi saponifikasi tidak
digunakan lagi karena memiliki makna yang berbeda. Proses yang terjadi adalah hidrolisis
lemak menjadi asam lemak tidak dan hidrogenisasi menjadi asam lemak jenuh. Zat utama
pembentuk adiposera adalah asam palmitat. Perubahan ini juga dapat ditemukan pada
organ dalam. Syarat terbentuknya adiposera adalah kandungan cairan intrinsik tubuh.5

27
Kondisi yang optimal dalam proses adiposera adalah kelembaban yang cukup,
terdapat bakteri clostridium welchii, temperatur optimal, sedikit udara, dan jumlah jaringan
lemak cukup. Sifat adiposera halus, berlemak, berwarna putih pucat atau seperti keju. Sifat
ini berubah apabila terkena udara menjadi keras, kering, rapuh, dan berwarna kuning.
Adiposera memiliki bau tengik atau manis. Sifat lainya yang ditemukan adalah zatnya
dapat mengambang dan larut dalam alkohol dan eter. Letak adiposera dapat ditemukan
pada dada, payudara, bokong, dan perut karena area ini padat dengan lemak. Adiposera
juga tedapat pada organ dalam yang mengalami perlemakan seperti hati, jantung, dan
ginjal. Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya adiposera, tergantung dari berbagai
faktor. Interval waktu terbentuknya adiposera adalah tiga bulan sampai satu tahun.5

Gambar 15. Adiposera

 MUMIFIKASI
Pada proses ini, jenazah tidak mengalami likuefaksi atau pencairan jaringan, tetapi
mengalami pengeringan dan desikasi. Keadaan ini bisa ditemukan hanya sebagian pada
jenazah dan sebagian lagi mengalami adiposera. Hal ini terjadi karena air dibutuhkan untuk
hidrolisis lemak sehingga terbentuk adiposera, sedangkan jaringan mengalami dehidrasi
sehingga terbentuk mumifikasi. Kondisi yang dibutuhkan untuk mumifikasi adalah tidak
ada kelembaban sehingga mencegah proliferasi mikroorganisme penyebab kebusukan,
sirkulasi udara secara bebas dalam tubuh, dan udara hangat. Keadaan jaringan lunak tubuh
menjadi kering dan kusut. Kulit menjadi kering, seperti perkamen, dan berwarna coklat
kehitaman. Keadaan ini juga dialami oleh organ dalam. Organ dapat menghilang
bersamaan atau membentuk masa homogen berwarna hitam kecoklatan dan tebal. Seluruh

28
tubuh menjadi kaku dan rapuh. Translusensi pada dermis, dapat ditemukan pada kulit yang
berkontraksi. Hal ini menyebabkan sel lemak jaringan subkutan rusak sehingga cairan
lemak melapisi.5

Gambar 16. Mumifikasi

8. Biokimiawi Darah
Setelah kematian, terjadi perubahan pada semua komponen darah, sehingga analisis darah
post-mortem tidak menunjukkan kadar zat dalam darah ante-mortem. Perubahan tersebut
diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah
mati.13,14
Pada ante-mortem, tubuh akan mempertahankan pH dengan kisaran yang sempit yaitu,
7,35-7,45. Tubuh mempertahankan pH dengan sistem buffer asam basa. Perubahan metabolik post-
mortem dikaitkan dengan periode anoksia yaitu dihasilkannya asam laktat dan hilangnya
kemampuan buffer asam basa oleh tubuh. Sebuah studi dengan sampel 11 individu menunjukkan
perubahan pH dari 7,0 menjadi 5,5 dalam 20 jam post-mortem. Dalam penelitian yang sama,
sampel diambil dari mayat tikus menunjukkan bahwa terjadi penurunan pH dari 7,35 menjadi 5,5
dalam 96 jam post-mortem.5

9. Cairan Serebrospinal

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14% menunjukan kematian belum lewat 10 jam,
kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukan kematian belum 24 jam, kadar protein
kurang dari 5mg% dan 10mg% masing-masing menunjukan kematian belum mencapai 10 jam dan
30 jam.5 Penelitian menunjukkan pleositosis umum terjadi pada post-mortem, sel-sel masih bisa

29
dihitung hingga 12 jam post-mortem. Sel-sel yang terindentifikasi yaitu monosit, limfost, dan
neutrofil. Monosit dan neutrofil hanya dapat dihitung di bawah 12 jam, sedangkan limfosit dapat
dihitung hingga 20 jam.13

10. Saluran cerna


Dengan memeriksa kondisi makanan tercerna dan jumlah makanan yang telah dikosongkan
dari lambung, kita mungkin dapat mengetahui jangka waktu korban hidup setelah makan terakhir
yang secara tidak langsung dapat ikut menentukan waktu kematian. Namun kecepatan
pengosongan lambung setiap orang berbeda-beda dan tidak diketahuinya jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi terakhir mengakibatkan penentuan waktu kematian menjadi tidak
pasti.5
Makanan yang mengandung karbohidrat lebih cepat tercerna dan dikosongkan dari
lambung, sedangkan protein lebih lama. Makanan yang mengandung asam lemak membuat
pengosongan menjadi lebih lama. Lama pengosongan lambung memerlukan waktu 4-6 jam dan
akan mencapai ascending colon dalam 6-8 jam.5
Peran Insecta

Gambar 17. Bagan siklus kehidupan lalat.5

Setelah kematian, lalat akan tertarik pada mayat yang mulai membusuk dan
mengunakannya untuk media berkembang biak, telur lalat dapat ditemukan diberbagai bagian dari

30
tubuh mayat. Telur akan berkembang menjadi larva (belatung) dalam jangka waktu 8-24 jam.
Larva akan berubah menjadi pupa dalam 4-5 hari dan menjadi lalat dalam 4-5 hari. Tiga jenis lalat
yang penting dalam pemeriksaan forensik yaitu, blow flies (Calliphoridae), flesh flies
(Sarcophagidae), dan muscid flies (Muscidae). Jenis lalat tersebut tertarik pada mayat yang mulai
membusuk dan menggunakannya sebagai media tempat berkembang biak.5,15

Siklus Kehidupan Lalat

Gambar 19. Siklus hidup lalat5

Secara umum siklus hidup lalat terdiri dari telur, larva, pupa dan lalat dewasa. Berikut
adalah penjabarannya:5,11

1. Lalat mulai menghinggapi tubuh mayat mulai 1-2 hari post-mortem. Lalat betina biasa
bertelur sebanyak kurang lebih 300 buah telur pada satu tubuh mayat. Telur akan menetas
dan menjadi larva dalam waktu 1 hari.11,12\

2. Larva

31
Larva mengalami beberapa tahap pengelupasan kulit, yang disebut dengan instar. Larva
melewati 3 instar hingga menjadi pre-pupa, yakni:11,12
 Instar pertama mengkonsumsi cairan yang keluar dari tubuh mayat, lalu bermigrasi
ke dalam tubuh. Instar ini membutuhkan waktu 1 hari untuk menjadi larva tahap
instar kedua. Pada tahap ini larva biasa berukuran 2 mm hingga 5 mm sebelum
melepasi kulitnya.
 Instar kedua akan bergerak disekitar kumpulan larva lainnya. Instar tersebut
membutuhkan waktu 1 hari dan instar ini dapat tumbuh hingga berukuran 10 mm
sebelum menjadi instar ketiga.
 Instar ketiga masih bergerak di sekitar kumpulan larva, ukuran larva pada tahap ini
akan memanjang. Instar ini membutuhkan waktu 1 hari untuk berkembang. Instar
ini dapat tumbuh menjadi 15-20 mm sebelum menjadi pre pupa.
3. Pre-pupa
Larva yang sudah menjadi pre-pupa akan bermigrasi dari mayat dan mencari lokasi untuk
berpupasi (biasanya di tanah). Pre-pupa tidak memakan apapun, lalu dalam waktu 4 hari
akan berkembang menjadi pupa.11,12
4. Pupa
Pupa mengalami transformasi dari tubuh larva sehingga menyiapkan diri menjadi lalat
dewasa. Pupa juga tidak memakan apapun dan membutuhkan waktu kurang lebih 10 hari
untuk menjadi lalat dewasa.11,12
5. Lalat
Lalat dewasa mengkonsumsi protein dari cairan tubuh. Setelah sudah melengkapi menjadi
fase dari telur hingga menjadi lalat, maka siklus ini akan berulang kembali. Lalat betina
biasa bertelur pada tubuh mayat. Setelah dewasa lalat dapat bertelur pada tubuh mayat.
Setelah dewasa, lalat dapat bertelur lagi dalam jangka waktu 2 hari.11,12

F. Contoh K1asus

32
Ditemukan mayat seorang laki-laki di dalam kamar Hotel Singapore dengan identitas
bernama Tn. KM, kurang lebih umurdua puluh lima tahun, jenis kelaminlaki-laki, pekerjaan
sebelum meninggal wiraswasta, kewarganegaraan Indonesia.
Dari hasil visum didapatkan Lebam mayat terdapat pada tengkuk, punggung, dada, perut,
pinggang,bokong,anggota gerak atas, anggota gerak bawah, warna merah keunguan, tidak hilang
dengan penekanan. Kaku mayat pada kelopak mata, rahang, dan anggota gerak atas serta anggota
gerak bawah yangdapat dilawan, pembusukan tidak ada.
Pada daerah leher terdapat sebuah jejas jerat yang melingkari leher secara tidak penuh, jika
kedua ujung luka lecet diteruskan dengan membuat garis khayal akan berakhir pada kepala
belakang membentuk huruf “V” terbalik. Pada bagian depan dengan titik pusat luka tujuh koma
lima sentimeter di bawah dagu, pada sisi kanan dengan titik pusat sepuluh koma lima sentimeter
di bawah lubang telinga kanan, pada sisi kiri dengan titik pusat luka sembilan sentimeter di bawah
lubang telinga kiri, bentuk tidak teratur, dengan ukuran panjang dua puluh dua koma lima
sentimeter, lebar tiga sentimeter, dalam nol koma dua sentimeter, batas tegas, tepi tidak rata, warna
merah pucat, pada perabaan keras dan kasar. Anggota gerak atas dan bawah sisi kanan dan kiri
terdapat jaringan di bawah kuku kanan dan kiri tampak kebiruan.
Pada mata, selaput biji mata tampak pelebaran pembuluh darah pada mata kanan dan kiri,
Pada mulut selaputlendir mulut tampak kebiruan. Dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan,
didapatkan luka akibat kekerasan tumpul berupa jejas gantung pada leher. Luka akibat kekerasan
tajam berupa luka iris pada pergelangan tangan kiri. Didapatkan tanda mati lemas. Sebab kematian
tidak dapat ditentukan sesuai permintaan penyidik. Perkiraan waktu kematian lebih dari dua belas
jam sebelum pemeriksaaan dilakukan.

33
G. Diskusi
Dari kasus diatas dapat dikatan bahwa jenazah tersebut telah mengalami kematian. Karena
terdapat tanda Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon perintah, taktil, dsb). Tidak
ada gerakan otot serta postur, tidak ada reflek pupil, tidak ada reflek kornea, dan tidak ada respon
motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan. Kemudian ditemukan lebam mayat terdapat pada
tengkuk, punggung, dada, perut, pinggang, bokong, anggota gerak atas, anggota gerak bawah,
warna merah keunguan, hilang dengan penekanan. Lebam mayat terbantuk bila terjadi kegagalan
sirkulasi darah dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakkan darah mencapai
capillary bed dimana pembuluh-pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan.5
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian, di mana setelah
terbentuk hypostasis yang menetap dalam waktu 10-12 jam dimana tidak akan terjadi perubahan
posisi lebab mayat pada arah yang berlawanan walaupun telah dilakukan reposisi pada tubuh dari
pronasi ke supinasi (interpostmorchange).4
Hilangnya lebam pada penekanan dengan ibu jari dapat memberikan indikasi bahwa suatu
lebam belum terfiksasi secara sempurna.4Sedangkan kaku mayat ditemukanpada kelopak mata,
rahang bawah, dan anggota gerak atas serta bawah,namun masih dapat dilawan. Kaku mayat mulai
terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya setelah 10-12 jam post mortem,
keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam kaku mayat akan mulai meghilang
sesuai dengan urutan terjadinya yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan
tungkai.4 Pada kasus ini tidak ditemukan adanya pembusukan.

34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara permanen (mati klinis).Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat yang bisa
menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian
berkembang menjadi kematian batang otak. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang kesehatan pasal 117: “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi jantung, sirkulasi
dan pernapasan terbukti telah berhenti secara permanenatau apabila kematian batang otak telah
dapat dibuktikan”.
Tanatologi adalah bagian ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian yaitu
definisi atau batasan mati, perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian, dan faktor faktor
ang mempengaruhinya. Tanatologi memiliki manfaat dalam menentukan diagnosis kematian,
penentuan saat kematian melalui perubahan eksternal maupun internal,memperkirakan cara
kematian, serta memperkirakan sebab kematian.
Setelah terjadinya kematian, tubuh akan mengalami perubahan-perubahan, antara lain
perubahan kulit muka sebagai akibat dari berhentinya sirkulasi darah, relaksasi otot, perubahan
pada mata, penurunan suhu tubuh, timbulnya lebam mayat karena adanya gaya gravitasi, kaku
mayat karena penumpukan ADP pada otot-otot, pembusukan, perubahan pada darah yang
dilanjutkan dengan kematian sel.
Parameter-parameter yang dapat digunakan untuk menentukan saat kematian adalah
perubahan eksternal dam perubahan internal. Perubahan eksternal yang ditemukan berupa
penurunan suhu, lebam mayat, kaku mayat, pembusukan dan timbulnya larva. Perubahan internal
yang didapat berupa kenaikan potasium pada cairan bola mata, kenaikan non protein nitrogen
dalam darah, kenaikan ureum darah, penurunan kadar gula darah, dan kenaikan kadar dextrose
pada vena cava inferior.
B. Saran
1. Mengingat referat ini hanyalah berdasarkan bahan bacaan maka diperlukan suatu pengkajian
lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan setelah kematian dengan suatu penelitian ilmiah
yang berkaitan dengan kemajuan metode pemeriksaan forensik saat ini.

35
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan lain yang
terjadi setelah kematian yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat terjadinya kematian.
3. Diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui cara memperkirakan saat
kematian yang paling mendekati kebenaran berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi
setelah kematian.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan kedua.


Jakarta: Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
2. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Cetakan
kelima. Semarang: Badan Penerbit Universitas diponegoro; 2007.
3. Goff M. Early Postmortem Changes and Stages of Decomposition. In: Current Concepts in
Forensic Entomology. 2010. p. 1–24.
4. Idries M. Saat Kematian. Edisi pertama. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina
Rupa Aksara; 1997.
5. Vij K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. Principles and Practice. Fifth
Edition. India: Elsevier; 2011.
6. Poposka V, Gutevska A, Stankov A, Pavlovski G, Jakovski Z, Janeska B. Estimation
of Time Since Death by Using Algorithm in Early Postmortem Period. Global Journal of
Medical Research. USA ; Gloal Journals Inc, 2013.
7. Mathur A, Agrawal Y. An overview of methods used for estimation of time since death.
2018.
8. Prasad BK. Postmortem Ocular Changes : A Study on Autopsy Cases in Bharatpur Hospital.
Nepal : Kathmandu University Medical Journal, 2003.
9. Yu X, Wang H, Feng L, Zhu J. QuantitativeResearch in Modern Forensic Analysis of Death
Cause : New Classification of Death Cause, Degree of Contribution, and Determination of
Manner of Death. J Forensic Res 5:221. Shantou : Departement of Forensic Medicine of
Shantou University College, 2014.
10. Rigor Mortis and Lividity [Internet]. Exploreforensics.co.uk. 2018.
http://www.exploreforensics.co.uk/rigor-mortis-and-lividity.html
11. Teo C, Hamzah N, Hing H, Amir Hamzah S. Decomposition Process and Post Mortem
Changes: Review. Sains Malaysiana. 2014;43(12):1873-1882.; 2011.
12. Donaldson A, Lamont I. Biochemistry Changes That Occur after Death: Potential Markers
for Determining Post-Mortem Interval. PLoS ONE. 2013;8(11):e82011.

37
13. Joseph I, Mathew DG, Sathyan P, Vargheese G. The use of insects in forensic investigations:
An overview on the scope of forensic entomolgy, J Forensic Dental Sciences, 2011 Jul-Dec;
3 (2): 89-91.
14. Benecke M. Forensic Entomolgy: Arthropods and Corpses. In: Tsokos M, editor. Forensic
Path Rev. 11th ed. Totowa: Humana Press; 2004.p. 207-40.

38

Anda mungkin juga menyukai