Anda di halaman 1dari 23

KONSTRUKSI SOSIAL DALAM PEMENTASAN TEATER

(Dalam lakon Amat Jaga karya Saini KM, produksi Teater Awal Bandung)

Penulisan ini ditujukan untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah


Penulisan Artikel Ilmiah

Oleh :

Riswan Guntur Sukmana

NIM : 18133003

INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA (ISBI) BANDUNG

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

JURUSAN TEATER

DESEMBER 2019
ABSTRAK

Dalam penulisan ini membahas tentang bagaimana proses yang


terjadi di suatu teater yang dilihat dari proses konstruksinya. Proses
konstruksi yang terjadi di pementasan teater, antara penonton dan aktor
pementasan, dalam pementasan tidak hanya ada aktor, namun ada
elemen yang mendukung dalam pementasan teater. Elemen itu
sudah terbentuk lama sebelum pementasan terjadi. Proses konstruksi
yang dibangun tidak hanya di dalam gedung dimana pementasan teater di
pentaskan, tapi juga sebelum itu, melalui proses produksi. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif apresiatif dengan teknik
pengumpulan data secara apresiasi pementasan.

Dalam teori konstruksi sosial ada tiga tahap yang terjadi, yaitu,
eksternalisasi, internalisasi, obyektivasi. maka dalam penulisan ini di
temukan bahwa : (1) Proses Konstruksi Pementasan Teater berawal
dari pembentukan proses produksi, mulai dari pemilihan Ketua
produksi, sutradara, pemain dan latihan. Peter L. Berger menyebutnya
eksternalisasi (2) Konstruksi dalam proses produksi dalam rangka untuk
menyampaikan pesan yang dibawanya melalui naskah yang dipentaskan,
pementasan ini yang di legitimasi oleh penonton. Aktor melatih dirinya dan
latihan bersama, juga semua elemen berproses sesuai perannya masing-
masing, hal ini adalah internalisasi (3) Proses selanjutnya ialah
obyektivasi, ketika naskah dan hal lainnya sudah berada dalam diri
aktor, dan aktor siap untuk mementaskan, maka aktor mementaskan
naskah tersebut. Dalam pementasan, penonton berada dalam
internalisasi yang nantinya akan di legitimasi melalui alasan-alasan logis
yang ada dalam pementasan. Kata Kunci : Konstruksi, Teater,
Pementasan
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia sangat berkaitan dengan kebudayaan,


keduanya tidak bisa dipisahkan. Terciptanya atau terwujudnya suatu
kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala
isi alam raya ini. Manusia telah dilengkapi Tuhan dengan akal pikiran
menjadikan mereka khilafah di muka bumi dan diberikan kemampuan apa
yang disebut sebagai daya dari manusia itu sendiri. Dengan itulah
manusia mampu menciptakan budaya. Kata “Kebudayaan” berasal dari
bahasa sansekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari Budhi
yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal” E. B tylor juga mengmukakan
tentang kebudayaan, mencoba untuk mendifinisikan tentang kebudayaan.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, keseniana moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-
kemapuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat Ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat


ditemukan, yaitu Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem
Peralatan hidup dan Teknologi, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem
religi, Kesenian. Dipandang dari sudut kesenian sebagai ekspresi hasrat
manusia akan keindahan itu dinikmati, maka bisa dibagi menjadi dua, seni
rupa dan seni suara, sedang yang meliputi keduanya ialah seni drama.

Melihat uraian diatas, Drama menjadi unsur dari budaya yang harusnya
dilestarikan sebagai manusia yang bermasyarakat, pada perjalanan waktu
drama mampu menjadi sarana untuk melestarikan budaya dikarenakan
pesan yang ada didalamnya. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut
sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara(h) menjadi warah yang berarti
ajaran. Sandi wara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang
hidup. Sandiwara dan drama memiliki kesamaan, yakni adanya muatan
kisah yang bercirikan dialog. Berbicara “Drama” maka berbicara
pementasan dialogis, yang mana kesuksesan pentas drama tergantung
pada berjalannya pementasan, dalam akting ataupun alur hingga
penyampaian pesan. Selain sandiwara dan drama, adalagi yang disebut
teater.

Teater menurut etimologi teater dari bahasa Yunani theatron, bahasa


inggris theater, yang berarti pertunjukan atau dunia sandiwara, yang
spektakuler . 4 Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas
kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan
orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah
pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren,
janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater
dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti
misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain
perangperangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan
manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan
dengan masalah ritual.

Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki


unsurunsur teatrikal dan bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di atas,
kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan
tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada
teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap
di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku
di dalamnya merupakan realitas fiktif”. Dengan demikian teater adalah
pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh
penonton. Namun, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang
berasal dari kata Yunani Kuno draomai yang berarti bertindak atau
berbuat dan drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh
Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka
tentang kehidupan kelas menengah.

Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap
satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan
tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno
(4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata
teater dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan
perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik
sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra. Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater berkaitan langsung dengan
pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan lakon atau naskah cerita
yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau
drama yang dipentaskan di atas dua panggung dan disaksikan oleh
penonton. Jika drama adalah lakon dan teater adalah pertunjukan maka
drama merupakan bagian atau salah satu unsur dari teater.

Dapat disimpulkan bahwa teater adalah pementasan yang menarik, di


Indonesia beberapa teater yang mewarnai panggung pertunjukan
diantaranya Teater Koma, Teater Gandrik, Teater Rendra, Teater Kampus
dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut mengolah drama
menjadi sebuah pertunjukan yang mengutamakan akting, dialog, dan
gerak.

Persoalan yang dihadapi dalam naskah lakon adalah konflik manusia


berupa lakuan yang tercermin dalam dialog dan petunjuk lakukan. Materi
konflik dialami dari kehidupan yaitu hubungan antar manusia, hubungan
manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kisah
perjalanan manusia dan berbagai peristiwanya adalah materi konflik
drama sejak, lahir dan mati, kawin dan cerai, melakukan kejahatan dan
hukuman, perang dan damai. Sedangkan temanya berupa keberanian dan
kepengecutan, kesetiaan dan pengkhianatan, keserakahan dan murah
hati. Emosinya berupa kemarahan, cinta, benci, ketakutan, dan
kenikmatan.

Dasar dari materi naskah drama adalah konflik kehidupan dengan kisah
awal, konflik, dan penyelesaian. Hukum drama menurut Ferdinand
Brunetiere berpokok pada “kisah protagonis” yang menginginkan sesuatu,
dan “antagonis” yang menentang dipenuhinya keinginan itu.

Sebagai contoh: Amat dalam lakon Amat jaga karya Saini KM, adalah
tokoh protagonis yang harus menghadapi kerasnya sikap warga di
kampungnya agar tidak pergi meninggalkan desanya itu, karena semua
lahan mata pencahariannya dibeli dan diganti oleh oligarki asing. Namun,
Amat tetap berjuang dengan gigih untuk mencegah kepergian mereka
yang secara tidak langsung di usir oleh oligarki asing.

Tentunya, ada pementasan, pasti ada aktor atau pemain. Aktor adalah
salah satu syarat utama terciptanya sebuah pementasa teater. Tanpa
aktor, tidak akan lahir sebuah pementasan yang dapat dilihat, dinikmati
dan diapresiasi. Tanpa aktor tentu saja panggung atau pentas akan terasa
kosong.

Seperti halnya Pementasan Teater yang dilakukan oleh teater kampus


dalam hal ini Teater Awal Bandung Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Gunung Jati Bandung, mempunyai tuntutan menjadi aktor yang baik agar
akting, dialog dan geraknya baik. Aktor teater mempunyai dua dunia,
pertama dunia sesungguhnya, artinya dunia aktor tidak ada sangkut
pautnya dengan peran dalam pertunjukan yang ia perankan. Kedua,
Dunia aktor yang baginya dunia tersebut dikarenakan paksaan untuk
kepentingan berteater atau akting. Untuk menuju dunia kedua, aktor harus
melalui beberapa proses keteateran. Di Teater Awal ada pendalaman
karakter, observasi, dan olah gerak, vokal, mimik wajah, olah rasa, dan
sebagainya. Sebagai aktor harus mampu memerankan tokoh yang ia
bawa. Selain itu ada banyak pendukung dalam pementasan, seperti tata
rias, tata panggung, naskah, sutradara dan lain-lain.

Dalam Teater Awal Bandung UIN Sunan Gunung Jati Bandung hal
tersebut dikerjakan secara bersamaan, secara kolektif, secara
berkolompok dan struktural, terorganisir. Hingga sampai pada pertunjukan
yang ditonton oleh penonton. Dalam pertunjukan, penonton menyimak
pementasan yang disuguhkan. Dalam pertunjukan teater penonton akan
mencermatai atau menangkap beberapa hal yang muncul. Dalam
pertunjukan teater penonton mencermati pesan yang dibawa atau tanda
yang dimunculkan oleh aktor melalui perannya.

Ada proses kontruksi sosial yang muncul di dalam proses menjadi aktor
dan ruang pertunjukan, yang pertama, hubungan antar aktor, dalam
proses pemeranan dan beradaptasi dengan pemain lain. Kedua, antara
aktor dan penonton di dalam pementasan. Sehingga penonton bisa
menggunakan emosinya, ataupun pikirannya ketika menonton. Teater
Awal UIN Bandung, lebih cenderung konsen pada naskah-naskah drama
yang biasa disebut naskah teater realis, dengan membawa pesan sosial.
Drama yang dibawakan tidak jauh dari kehidupan masyarakat umumnya,
dengan memberikan refleksi-refleksi sehingga nantinya bisa bertukar
gagasan dengan penonton dilain waktu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah


sebagai berikut:

1. Bagaimana Proses Konstruksi Sosial Dalam Pementasan Teater,


Teater Awal Bandung UIN Sunan Gunung Jati Bandung.
2. Bagaimana kegigihan amat dalam lakon Amat Jaga, melawan
kerasnya kapitalisme oligarki asing.

C. Tujuan Penulisan Artikel

A. Penulisan ini menjelaskan tentang Proses Konstruksi sosial


pementasan teater, yang pada hal ini pertunjukan-pertujukan oleh Teater
Awal Bandung UIN Sunan Gunung Jati Bandung.

B. Penulisan ini bertujuan untuk membuka stigma masyarakat tentang


jahatnya Kapitalisme, melalui sudut pandang Amat dalam Lakon Amat
jaga

D. Definisi Konseptual
1. Konstruksi Sosial
Dalam pementasan Teater, Konstruksi Sosial yang terjadi
adalah konstruksi dimana terjadi pada kelompok itu sendiri dan kelompok
lain, maksudnya adalah dimana sekelompok dalam proses sebelum
pementasan, ada proses dimana penyesuaian diri dengan peran yang
akan dimanikannya. Selanjutnya, proses konstruksi yang terjadi adalah
pada panggung yang di tonton oleh penonton pementasan drama, proses
konstruksi yang terjadi adalah terjadi pada sang aktor dan penonton.
Istilah Konstruksi sosial atas realitas didefinisikan sebagai proses sosial
melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus
menerus suatu realitas yang dimi liki dan dialami secara subyektif. Yang
realitasnya mengalami tiga tahap yaitu eksternalisasi, objektifasi, dan
internalisasi.

Pementasan Drama atau Teater merupakan sarana untuk aktor


Teater Awal Bandung UIN Sunan Gunung Jati Bandung dalam
mencurahkan sebuah pesan yang disampaikan sebagaimana yang ada
didalam naskah, sehingga penonton paham dengan pementasan.
2. Pementasan Teater
Pentas adalah suasana tempat di mana jiwa manusia dapat
terbang dengan bebas. Disuatu tempat di mana seni diberi nafas, yaitu
kehidupan yang mengasyikan, sebagai karya pentas, teater memuat
aneka seni, seperti tari, sastra, musik, dan peran. Masing masing saling
mendukung, tidak dapat terpisahkan. Teater sebagai karya lengkap.
BAB II

PEMENTASAN TEATER DAN KONSTRUKSI SOSIAL

A. PEMENTASAN TEATER DAN SEBUAH KONSTRUKSI SOSIAL


1. Pengertian dan Hakikat Teater
Teater berasal dari kata Yunani, theatron (bahasa Inggris,
Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan.
Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata
teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di
depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan
sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk,
wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan,
sulap, akrobat, dan lain sebagainya.
Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas
naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah
dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain
itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial
kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual.
Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan,
keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis.
Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi
teater itu bisa terjadi. Harymawan (dalam Santosa, 2008:1)
membatasi teater sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor,
baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar
maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta
laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”. Dengan demikian
teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas
dan disaksikan oleh penonton.
Namun, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang
berasal dari kata Yunani kuno draomai yang berarti bertindak
atau berbuat. Kata lain dari drama yakni drame yang berasal
dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid
untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas
menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius
yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi
tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga
dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM),
sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian
erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah
atau lakon atau karya sastra (Santosa, 2008:1).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater
berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama
berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan
dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau
drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh
penonton. Jika drama adalah lakon dan teater adalah
pertunjukan maka drama merupakan bagian atau salah satu
unsur dari teater.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada
aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act)
sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut akting.
Istilah akting diambil dari kata Yunani dran yang berarti,
berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka
para pemain pria dalam teater disebut aktor dan pemain wanita
disebut aktris (Harymawan dalam Santosa, 2008:2). Meskipun
istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu
istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas
panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan
digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya
sastra drama dalam pertujukan teater.
Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater.
Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda:
Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri
Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara
berasal dari bahasa Jawa sandi berarti rahasia, dan wara atau
warah yang berarti, pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara
sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan
perlambang (Harymawan dalam Santosa, 2008:3).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama
Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama.
Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman
Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah
teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman
Kemerdekaan (Kasim Achmad, dalam Santosa, 2008:4).
Keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak
mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu pula
dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater, Dramaturgi
berasal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau
tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater.
Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses
penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga
pementasannya. Menurut Harymawan (dalam Santosa, 2008:4)
tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut
dengan formula dramaturgi.
FUNGSI SENI TEATER
Peranan seni teater telah mengalami pergeseran seiring
dengan berkembangnya teknologi. Seni teater tidak hanya
dijadikan sebagai sarana upacara maupun hiburan, namun juga
sebagai sarana pendidikan. Sebagai seni, teater tidak hanya
menjadi konsumsi masyarakat sebagai hiburan semata, namun
juga berperan dalam nilai afektif masyarakat. Adapun beberapa
fungsi seni teater, diantaranya meliputi:

1. Teater sebagai Sarana Upacara


Pada awal munculnya, teater hadir sebagai sarana upacara
persembahan kepada dewa Dyonesos dan upacara pesta untuk
dewa Apollo. Teater yang berfungsi untuk kepentingan
upacara tidak membutuhkan penonton karena penontonnya
adalah bagian dari peserta upacara itu sendiri.
Di Indonesia seni teater yang dijadikan sebagai sarana upacara
dikenal dengan istilah teater tradisional.

2. Teater sebagai Media Ekspresi


Teater merupakan salah satu bentuk seni dengan fokus
utama pada laku dan dialog. Berbeda dengan seni musik yang
mengedepankan aspek suara dan seni tari yang menekankan
pada keselarasan gerak dan irama. Dalam praktiknya, Seniman
teater akan mengekspresikan seninya dalam bentuk gerakan
tubuh dan ucapan-ucapan.

3. Teater sebagai Media Hiburan


Dalam perannya sebagai sarana hiburan, sebelum
pementasannya sebuah teater itu harus dengan persiapkan
dengan usaha yang maksimal. Sehingga harapannya penonton
akan terhibur dengan pertunjukan yang digelar.

4. Teater sebagai Media Pendidikan


Teater adalah seni kolektif, dalam artian teater tidak
dikerjakan secara individual. Melainkan untuk mewujudkannya
diperlukan kerja tim yang harmonis. Jika suatu teater
dipentaskan diharapkan pesan-pesan yang ingin diutarakan
penulis dan pemain tersampaikan kepada penonton. Melalui
pertunjukan biasanya manusia akan lebih mudah mengerti nilai
baik buruk kehidupan dibandingkan hanya membaca lewat
sebuah cerita.
2. Pengertian Konstruksi Sosial
a. Istilah konstruksi sosial atas realitas (Social Construction of
Reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L.
Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul
“The Sosial Construction of Reality, A Treatise in the
Sociological of Knowledge” (1996). Ia menggambarkan proses
sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki
dan dialami bersama secara subyektif.

Asal mula konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme,


yang dimulai dari gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von
Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad
ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam
dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
sebenarnya gagasan-gagasan konstruktivisme sebenarnya
telah dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog dari
Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme dalam aliran
filsafat, gagasannya telah muncul sejak Socrates menemukan
jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal
budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit lagi setelah
Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu,
substansi, materi esensi dan sebagainya. Ia mengatakan,
manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus
dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah
logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.

Descrates kemudian memperkenalkan ucapannya


“cogoto, ergo sum” atau “saya berfikir karena itu saya
ada”. Kata-kata Descrates yang terkenal itu menjadi dasar
yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan
konstuktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico
dalam “De Antiquissima Italorum sapientia”,
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan
adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan
dari ciptaan”. Ia menjelaskan “mengetahui” berarti
“mengetahui bagaimana membuat sesuatu”.

Hal ini berarti seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia


menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.
Menurut vico, bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat
mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu
bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya.
Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang
telah dikonstruksikannya.

Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yaitu:

1. Konstruktivisme Radikal

Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang


dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum konstruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi
mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologisme
obyektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat
ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu
konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap
pengetahuan itu. Sedangkan lingkungan adalah sarana
terjadinya konstruksi itu.

2. Realisme Hipotesis

Dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah


sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati
realita dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme Biasa
Sedangkan konstruktivisme biasa mengambil semua
konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan
sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan
individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk
dari realitas obyek dalam dirinya sendiri. Dari ketiga
konstruktivisme diatas terdapat kesamaan, dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif
individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena
terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau
yang ada disekitarnya. Kemudian individu membangun
sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu,
berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, yang oleh Piaget disebut dengan skema atau
skemata. Konstruktivisme macam ini yang oleh Berger dan
Luckman disebut dengan konstruksi sosial.

Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas


sosial dengan memisahkan kualitas yang terdapat di
dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan
(being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita
sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata atau real dan
memiliki karakteristik yang spesifik.

Berger dan Luckman mengatakan institusi


masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui
tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan
institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif
melalui proses interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi
melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh
orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.

b. Proses Konstruksi Sosial


Teori konstruksi sosial merupakan pintu masuk
pemikiran Berger. teori ini menegaskan kembali Persoalan
esensial dalam sosiologi pengetahuan cabang sosiologi
yang dianggap mereka telah kehilangan arah.82
Konstruksi teoritis Berger, sebagai sebuah proses
sosiologi, realitas mengalami proses dealektika melalui tiga
tahap yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.
Eksternalisasi menghasilkan suatu dunia yang
obyektif. Pada konteks pementasan Drama, Ekternalisai
adalah Naskah yang telah disepakati. Ia diinternalisasi
kembali menjadi kebenaran yang berlaku obyektif selama
berlangsungnya sosialisasi. Sosialisasi disini adalah
sebuah proses dimana semua elemen bekerja sesuai
dengan tugasnya.
Internalisasi, adalah penyerapan kedalam kesadaran
dunia yang terobyektivasi sedemikian rupa sehingga
struktur dunia ini menentukan struktur subyektif kesadaran
itu sendiri. proses internalisasi melai reading, diskusi, dan
proses latihan lainnya, yang mana aktor menjadikan suatu
dunia objektif dalam struktur subjektif. Yaitu aktor berfungsi
sebagai pelaku formatif bagi kesadaran individu.
Naskah yang telah dipahami oleh aktor menjadi
subjekti yang nantinya menjadi kesadaran bersama
dengan memahami bahwa unsur-unsur itu sebagai realitas
eksternal .
Obyektivasi, Kemampuan ekspresi diri manusia
mampu mengadakan obyektivasi, baik bagi prodesur-
produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur unsur
dari dunia bersama. Proses selanjutnya ialah obyektivasi,
ketika naskah dan hal lainnya sudah berada dalam diri
aktor, dan aktor siap untuk mementaskan, maka aktor
mementaskan naskah tersebut, dalam teori konstruksi
sosial, yaitu tahap obyektivasi.
Berger juga menyebutkan ada tiga proses konstruksi
sosial yang menghasilkan realitas dan pengtahuan. Tiga
proses ini adalah Institusionalisasi, Legitimasi dan
Sosialisasi. dalam proses institusionalisasi terjadi
pembentukan pola aturan atau peran di antara sekelompok
orang, pembentukan pola ini terjadi apabila tindakan
sekelompok individu tersebut dirasa berhasil dan relevan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif nya pada situasi
tertentu beberapa aktor yang terpilih mendapat tugas dan
peran masingmasing, pemeran utama, pemeran antagonis,
protagonis dan lainnya, yang menyebabkan aktor yang
terpilih melakukan observasi dan laitihan, dalam proses
produksi tersebut, menghasilkan pementasan yang sesuai
dengan keinginan, maka terbentuklah proses produksi
yang seperti itu.
Dan dilegitimasi melalui aturan yang mengikat dan
disampaikan pada proses selanjutnya. Hal itu apabila yang
terjadi di dalam kelompok itu sendiri, sedang bagi
penonton melihat alur yang berjalan di dalam pementasan,
artinya, penonton melihat tugas atau peran yang dilakukan
oleh aktor, setelah itu, pesan-pesan yang tersampaikan
disepakati oleh individu atau kelompok yang hadir
menonton pementasan, dan penonton tersebut menjadikan
institusionalisasi yang berhasil. Dan dilegitimasi dengan
penjelasan yang telah dipentaskan.
Mengenai proses obyektivasi adanya tranformasi
produk manusia ini kedalam suatu dunia tidak saja berasal
dari manusia, tetap yang kemudian menghadapi manusia
sebagai suatu faktisitas di luar dirinya. Obyektivasi terjadi
melalui legitimasi. Sebuah tindakan setelah mengalami
kekonsistenan, maka dilegitimasi dalam rangka
menjadikan realitas objektif. Legitimasi awal tentunya
sudah lama terjadi dan sudah tertoeritis bahkan tradisi,
pementasan drama, dan proses produksi sudah ada sejak
lama. Tingkat legitimasi yang kedua mengandung
proposisi proposisi teoritis dalam suatu bentuk yang masih
belum sempurna di sini bisa ditemukan berbagai skema
penjelasan yang menyangkut perangkat perangkat makna
objektif, Dalam pementasan Teater Awal Bandung,
legitimasi tingkat kedua ini dimana pencarian formula suatu
proses produksi, dengan melihat keadaan anggota, tempat
dan skill, maka berbagai cara dapat dilakukan, dan banyak
argumentasi sehingga realitas terjadi, seperti ditunjuknya
uswatun hasanah ketika pemilihan sutradara.
Disamping itu juga konstruksi sosial yang diambil dari
perspektif Amat, membuka cakrawala baru bahwa,
penindasan atas sistem hirarkis di dunia masih marak
terjadi dan memangsa masyarakat kecil. Amat dalam lakon
Amat Jaga karya Saini KM, menunjukan bahwa
perlawanan atas konstruksi sosial yang bersifat hirarkis
dan menindas, perlu dilakukan dengan masif dan gigih,
sebab perlawanan atas sistem sosial yang menindas tak
akan terjadi apabila pemahaman atas sistem itu tidak
dimiliki oleh masyarakat banyak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan atau apresiasi yang telah dilakukan
oleh apresiator dapat ditemukan beberepa kesimpulan dari hasil
apresiasi tersebut, antara lain :

1. Konstruksi sosial di dunia peran dimulai ketika proses produksi,


mulai dari pembentukan struktur sampai perencanaan.
Pementasan teater sendiri adalah bentuk dari konstruksi yang
dilakukan/dipaksakan oleh anggota yang terlibat dengan tujuan
yang sama. Namun bila lebih ke belakang lagi, konstruksi
dimulai sejak mengetahui dan menjadi anggota teater awal,
mulai dari mendaftar menjadi anggota sampai mengikuti latihan
alam. Dalam hal ini anggota teater awal sudah memiliki dasar
untuk pementasan drama, dan ada proses legitimasi untuk
dilakukan secara berlanjut. Seperti sistem yang ada di dalam
produksi, dengan melihat situasi dan kondisi yang ada di Teater
Awal. Proses tersebut menghasilkan sebuah struktur yang
berbeda dengan yang lain. Dan teater sua mempunyai tradisi
yang berbeda, seperti adanya stage manager, naskah yang
dicari, dipilihnya sutradara dan lain sebagainya.
2. Disamping itu juga konstruksi sosial yang diambil dari perspektif
Amat, membuka cakrawala baru bahwa, penindasan atas
sistem hirarkis di dunia masih marak terjadi dan memangsa
masyarakat kecil. Amat dalam lakon Amat Jaga karya Saini KM,
menunjukan bahwa perlawanan atas konstruksi sosial yang
bersifat hirarkis dan menindas, perlu dilakukan dengan masif
dan gigih, sebab perlawanan atas sistem sosial yang menindas
tak akan terjadi apabila pemahaman atas sistem itu tidak dimiliki
oleh masyarakat banyak
B. SARAN
Ada beberapa saran yang ingin sampaikan dari hasil pengamatan
atau apresiasi ini, yaitu:
1. Proses kontruksi di dunia pementasan teater tidak hanya
dilakukan di dalam pementasan saja, namun dapat diambil nilai-nilai
yang baik untuk dibawa di realitas kehidupan sesungguhnya.
2. Tentu penulis masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharap kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Prof. Dr. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka


Cipta, 2009.

Kukla, Andre. Konstrutivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta:


Jendela, 2003.

Berger, Peter L. Langit Suci. Jakarta: LP3ES, 1991. —. Tafsir Sosial atas
Kenyataan, Risalah Tentang Sisologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES,
1990.

https://royahmadsketsa.wordpress.com/2012/02/21/konstruksi-sosial/

https://www.softilmu.com/2015/11/Pengertian-Fungsi-Unsur-Jenis-Macam-
Seni-Teater-Adalah.html

Anda mungkin juga menyukai