Disusun Oleh:
AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi, informasi
dan komunikasi mendorong berkembang pesatnya perdagangan internasional, mobillisasi dana
dan sumberdaya internasional. Perkembangan tersebut mendorong perluasan perdagangan yang
semula hanya dalam bentuk ekspor (langsung) menjadi pengoperasian agen, kantor perwakilan
dan akhirnya pembukuan cabang usaha atau pelaksanaan kegiatn usaha secara penuh. Pada
tataran berikutnya untuk memperkuat pijakan bisnis di negara tersebut, perusahaan dapat
melakukan investasi langsung (foreign direct investment) dalam bentuk pengoperasian anak
perusahaan (subsidiary company) atau penguasaan atas kepemilikan atau pengendalian
perusahaan afiliasi.
UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial
terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di
luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Sehubungan dengan sistem tersebut,
beberapa masalah akan muncul antara lain:
a) Indonesia sebagai negara tempat berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di luar negara tersebut.
b) Karena penghasilan tersebut pada umumnya telah dikenakan pajak di negara sumber
(sebagai pemegang primary tax rigths) akan menimbulkan pajak berganda internasional.
c) Bagaimana Indonesia memberikan keringanan pajak berganda tersebut.
Baik pengoperasian agen, kantor perwakilan, cabang atau anak perusahaan di luar negeri
akan memberikan penghasilan kepada WPDN (sebagai pengusaha atau investor). Berikut ini
akan dibahas pemajakan atas penghasilan usaha atau kegiatan mancanegara.
BAB II
PEMBAHASAN
1. USAHA DAN KEGIATAN MANCANEGARA
1.1. Relevansi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Secara berurutan dari Pasal 1, 2(e), dan 2(4)a UU PPh dapat ditarik suatu simpulan
bahwa WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dapat
dikenakan pajak oleh Negara tersebut apabila aktivitas ekonomi dimaksud mencapai kriteria
BUT karena pada tataran itu WPLN dapat dianggap telah berpartisipasi penuh dalam
kegiatan perekonomian Indonesia, memanfaatkan jasa dan layanan publik yang tersedia serta
tataran usahanya sudah sejajar dengan perusahaan WPDN dan karenanya sudah harus ikut
berpartisipasi dalam pembayaran Negara dan pembangunan negeri. Sebaliknya apabila
kegiatan tersebut belum mencapai kriteria BUT nampaknya penghasilannya (hanya)
dikenakan pajak oleh Negara domisili dan oleh karena itu untuk memberikan kesemoatan
pengusaha WPLN lebih meningkatkan partisipasi ekonominya Indonesia belum tepat saatnya
untuk mengenakan pajak.
Pembatasan pemajakan (threshold taxation) dengan kriteria BUT ambang batas berlaku
untuk WPLN. Dalam sistem perpajakan internasional terdapat prinsip mirroring approach
atau netralitas aplikasi regulasi. Prinsip tersebut menghendaki agar apabila suatu ketentuan
berlaku atas transaksi masuk (Inbound transaction) atau terhadap WPLN yang melakukan
kegiatan di Indonesia, agar terjadi kesimbangan perlakuan hendaknya ketentuan tersebut juga
diberlakukan atas transaksi keluar (outbound transaction) atau terhadap WPDN yang
melaksanakan kegutan di luar Indonesia.
Dalam pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah
meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN
dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak
(orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Relevansi
penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka
pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada
tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah
penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut
berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila tidak ada pajak yang
terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan dikenakan pajak penuh (tanpa
kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, sesuai dengan uraian di atas,
Nampak bahawa kriteria ambang batas BUT sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan
diperoleh tanpa atau dengan melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun,
apabila terdapat kerugian dari usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru
merupakan fenomena yang perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis
administratif atau pertimbangan lainnya tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan
lainnya. Secara administrative, sebetulnya, apakah terdapat kerugian dari usaha atau kegiatan
di luar negeri dapat ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan pembukuan
wajib pajak. Namun, karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara kerugian dsri
usaha dan kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun berikutnya)
dengan di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan labara dari sumber lain), maka
terdapat rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri
(terlebih kalau di Negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).
Usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya Negara
X, akan dikenakan pajak tersebut apakah dengan memakai kriteria BUT atau tidak adalah
tergantung pada ketentuan domestic Negara (X) tersebut. Dengan demikian, tampak bahwa
kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam pasal 2 (5) UU PPh kurang pas
untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN yang dijalankan atau dilakukan di
mancanegata, karena sebagai Negara berdaulat, Negara manca tersebut mempunyai kriteria
pemajakan yang belum tentu sama dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak
selayaknya mencampuri urusan pemajakan dalam Negara dimaksud.
1.2. Usaha dan Kegiatan Tidak Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Dalam perpajakan internasional, konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan hak
pemajakan suatu Negara (sumber) atau penghasilan dari usaha atau kegiatan yang dijalankan
WPLN. Kalau misalnya, WPDN Indonesia melebarkan sayap usahanya ke Negara X, maka
sesuai dengan ketentuan perpajakan internasional, sebelum mengenakan pajak atas
penghasilan dari usaha tersebut, Negara X harus dapat menjawab salah satu pertanyaan
tentang apakah usaha WPDN Indonesia di Negara tersebut telah memenuhi kriteria ambang
batas BUT. Sesuai dengan kelaziman internasional tersebut, apabila usaha WPDN Indonesia
tersebut belum mencapai kriteria BUT maka Negara X tidak berhak mengenakan pajak atas
penghasilan dimaksud karena belum cukup adanya pertalian ekonomis (objektif) antar
Negara X dnegan pengusaha WPDN Indonesia. Dengan demikian, penghasilan tersebut
hanya dikenakan pajak oleh Indonesia sebagai Negara tempat kedudukan pengusaha.
Kriteria apakag usaha tersebut mencapai level BUT, tentunya diukur dengan konsep
BUT menurut ketentuan domestik Negara X dan bukan berdasarkan ketentuan Indonesia (UU
PPh). Dapat saja ketentuan domestic Negara X tentang BUT berbeda dengan ketentua serupa
UU PPh Indonesia. Apabila tidak ada P3B antara Indonesia dengan Negara X,
ketidakserempakan kriteria pemajakan dapat menimbulkan pajak berganda karena oleh
Negara X penghasilan usaha dimaksud telat dianggap mempunyai sumber di sana, sedangkan
oleh Indonesia dianggap masih bersumber di Negara domisili, pengusaha WPDN.
Apabila aktivitas ekonomi di Negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan
sebagai kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh Indonesia
penghasilan dari kegiatan tersebut akan dikenakan pajak selayaknya penghasilan domestic
(tanpa ada ha katas kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual pada saat
penyerahan barang. Sementara itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat pembayaran
akan dihitung sebagai keuntungan atau kerugian karena perbedaan nilai tukar valuta asing.
1.4. Pasal 24
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak wajib
pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak
terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di
Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,
asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di
Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak
terkena pajak ganda
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, jenis pajak ini,
yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24). Sumber penghasilan kena pajak yang dapat
digunakan untuk memotong hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
o Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
o Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-
benda bergerak.
o Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
o Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan.
o Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap
(BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda
kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah
terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia. Apabila penghasilan luar negeri
mengalami perubahan, maka wajib pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun
pajak yang bersangkutan
PPh Terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 97.000.000 _14.550.000
Jumlah PPh Terutang 17.050.000
Kredit Pajak
- PPh Pasal 21 10.000.000
- PPh Pasal 24 __5.000.000
Jumlah kredit pajak _15.000.000
PPh Kurang Bayar 2.050.000
Dari penghitungan tersebut maka Tn Arman pada akhir tahun pajak akan punya
kewajiban menyetor PPh kurang bayar (PPh pasal 29) sebesar Rp 2.050.000. Atas
pemenuhan kewajiban tersebut Tn Arman harus melaporkannya dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi
Adapun penghasilan pasif tersebut itu mencangkup dividen, bunga, sewa dalam
pengertian sewa yang diperoleh dari BULN nonbursa terkendali terkait penggunaan tanah
atas bangunan maupun sewa selain properti yang berasal dari transaksi dangan pihak yang
memilki hubungan istimewa, royalti dan keuntungan atas penjualan atau pengalihan harta.
Sebagai penghasilan WPDN yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangi dari penghasilan mancanegara
tersebut. Dari pengurangan tersebut, walaupun mungkin kasusnya agak luar biasa, dapat
terjadi kerugian. Dalam undang-undang PPh pasal 4 (1) menyatakan bahwa kerugian dari
luar negeri tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh
menganut sistem pemajakan global). Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif negatif luar
negeri tidak dapat diperhitungkan dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan sama
diterapkan baik terhadap penghasilan usaha dan kegiatan maupun dividen, bunga, sewa dan
royalti.
DAFTAR PUSTAKA
Kompilasi Undang-Undang
Kurniawan, Anang Mury. 2010. Pajak Internasional: Bahan Ajar Pajak Internasional
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Jakarta.
http://news.ddtc.co.id