Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL

PEMAJAKAN PENGHASILAN LUAR NEGERI


DARI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

Disusun Oleh:

CITA SETIA RAHMI (1710532037)

FATMA MAULIDIA (1710532051)

KIARA ZULFIANA (1710532059)

JIHAN NINDITAMI (1710533003)

AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi, informasi
dan komunikasi mendorong berkembang pesatnya perdagangan internasional, mobillisasi dana
dan sumberdaya internasional. Perkembangan tersebut mendorong perluasan perdagangan yang
semula hanya dalam bentuk ekspor (langsung) menjadi pengoperasian agen, kantor perwakilan
dan akhirnya pembukuan cabang usaha atau pelaksanaan kegiatn usaha secara penuh. Pada
tataran berikutnya untuk memperkuat pijakan bisnis di negara tersebut, perusahaan dapat
melakukan investasi langsung (foreign direct investment) dalam bentuk pengoperasian anak
perusahaan (subsidiary company) atau penguasaan atas kepemilikan atau pengendalian
perusahaan afiliasi.

UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial
terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di
luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Sehubungan dengan sistem tersebut,
beberapa masalah akan muncul antara lain:

a) Indonesia sebagai negara tempat berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber di luar negara tersebut.
b) Karena penghasilan tersebut pada umumnya telah dikenakan pajak di negara sumber
(sebagai pemegang primary tax rigths) akan menimbulkan pajak berganda internasional.
c) Bagaimana Indonesia memberikan keringanan pajak berganda tersebut.

Baik pengoperasian agen, kantor perwakilan, cabang atau anak perusahaan di luar negeri
akan memberikan penghasilan kepada WPDN (sebagai pengusaha atau investor). Berikut ini
akan dibahas pemajakan atas penghasilan usaha atau kegiatan mancanegara.

BAB II
PEMBAHASAN
1. USAHA DAN KEGIATAN MANCANEGARA
1.1. Relevansi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Secara berurutan dari Pasal 1, 2(e), dan 2(4)a UU PPh dapat ditarik suatu simpulan
bahwa WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dapat
dikenakan pajak oleh Negara tersebut apabila aktivitas ekonomi dimaksud mencapai kriteria
BUT karena pada tataran itu WPLN dapat dianggap telah berpartisipasi penuh dalam
kegiatan perekonomian Indonesia, memanfaatkan jasa dan layanan publik yang tersedia serta
tataran usahanya sudah sejajar dengan perusahaan WPDN dan karenanya sudah harus ikut
berpartisipasi dalam pembayaran Negara dan pembangunan negeri. Sebaliknya apabila
kegiatan tersebut belum mencapai kriteria BUT nampaknya penghasilannya (hanya)
dikenakan pajak oleh Negara domisili dan oleh karena itu untuk memberikan kesemoatan
pengusaha WPLN lebih meningkatkan partisipasi ekonominya Indonesia belum tepat saatnya
untuk mengenakan pajak.
Pembatasan pemajakan (threshold taxation) dengan kriteria BUT ambang batas berlaku
untuk WPLN. Dalam sistem perpajakan internasional terdapat prinsip mirroring approach
atau netralitas aplikasi regulasi. Prinsip tersebut menghendaki agar apabila suatu ketentuan
berlaku atas transaksi masuk (Inbound transaction) atau terhadap WPLN yang melakukan
kegiatan di Indonesia, agar terjadi kesimbangan perlakuan hendaknya ketentuan tersebut juga
diberlakukan atas transaksi keluar (outbound transaction) atau terhadap WPDN yang
melaksanakan kegutan di luar Indonesia.
Dalam pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah
meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN
dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak
(orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Relevansi
penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka
pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada
tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah
penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut
berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila tidak ada pajak yang
terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan dikenakan pajak penuh (tanpa
kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.
Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, sesuai dengan uraian di atas,
Nampak bahawa kriteria ambang batas BUT sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan
diperoleh tanpa atau dengan melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun,
apabila terdapat kerugian dari usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru
merupakan fenomena yang perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis
administratif atau pertimbangan lainnya tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan
lainnya. Secara administrative, sebetulnya, apakah terdapat kerugian dari usaha atau kegiatan
di luar negeri dapat ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan pembukuan
wajib pajak. Namun, karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara kerugian dsri
usaha dan kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun berikutnya)
dengan di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan labara dari sumber lain), maka
terdapat rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri
(terlebih kalau di Negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).
Usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya Negara
X, akan dikenakan pajak tersebut apakah dengan memakai kriteria BUT atau tidak adalah
tergantung pada ketentuan domestic Negara (X) tersebut. Dengan demikian, tampak bahwa
kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam pasal 2 (5) UU PPh kurang pas
untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN yang dijalankan atau dilakukan di
mancanegata, karena sebagai Negara berdaulat, Negara manca tersebut mempunyai kriteria
pemajakan yang belum tentu sama dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak
selayaknya mencampuri urusan pemajakan dalam Negara dimaksud.

1.2. Usaha dan Kegiatan Tidak Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap
Dalam perpajakan internasional, konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan hak
pemajakan suatu Negara (sumber) atau penghasilan dari usaha atau kegiatan yang dijalankan
WPLN. Kalau misalnya, WPDN Indonesia melebarkan sayap usahanya ke Negara X, maka
sesuai dengan ketentuan perpajakan internasional, sebelum mengenakan pajak atas
penghasilan dari usaha tersebut, Negara X harus dapat menjawab salah satu pertanyaan
tentang apakah usaha WPDN Indonesia di Negara tersebut telah memenuhi kriteria ambang
batas BUT. Sesuai dengan kelaziman internasional tersebut, apabila usaha WPDN Indonesia
tersebut belum mencapai kriteria BUT maka Negara X tidak berhak mengenakan pajak atas
penghasilan dimaksud karena belum cukup adanya pertalian ekonomis (objektif) antar
Negara X dnegan pengusaha WPDN Indonesia. Dengan demikian, penghasilan tersebut
hanya dikenakan pajak oleh Indonesia sebagai Negara tempat kedudukan pengusaha.
Kriteria apakag usaha tersebut mencapai level BUT, tentunya diukur dengan konsep
BUT menurut ketentuan domestik Negara X dan bukan berdasarkan ketentuan Indonesia (UU
PPh). Dapat saja ketentuan domestic Negara X tentang BUT berbeda dengan ketentua serupa
UU PPh Indonesia. Apabila tidak ada P3B antara Indonesia dengan Negara X,
ketidakserempakan kriteria pemajakan dapat menimbulkan pajak berganda karena oleh
Negara X penghasilan usaha dimaksud telat dianggap mempunyai sumber di sana, sedangkan
oleh Indonesia dianggap masih bersumber di Negara domisili, pengusaha WPDN.
Apabila aktivitas ekonomi di Negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan
sebagai kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh Indonesia
penghasilan dari kegiatan tersebut akan dikenakan pajak selayaknya penghasilan domestic
(tanpa ada ha katas kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual pada saat
penyerahan barang. Sementara itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat pembayaran
akan dihitung sebagai keuntungan atau kerugian karena perbedaan nilai tukar valuta asing.

1.3. Usaha dan Kegiatan Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap


Usaha dan kegiatan WPDN Indonesia yang dijalankan atau dilakukan di suatu Negara
selain Negara domisili WP sudah mencapai level BUT diukur berdasarkan ketentuan
domestik Negara sumber. Apabila aktivitas ekonomi tersebut telah mencapai level ambang
batas BUT, pada umumnya Negara tempat usaha dan kegiatan ekonomi dilakukan (sumber)
mengenakan pajak atas penghasilan dari aktivitas tersebut berdasarkan basis neto dan
dengan tariff normal sesuai dengan ketentuan domestik Negara sumber.

1.4. Pasal 24
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak wajib
pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak
terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di
Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri,
asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di
Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak
terkena pajak ganda
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu, jenis pajak ini,
yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24). Sumber penghasilan kena pajak yang dapat
digunakan untuk memotong hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
o Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
o Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-
benda bergerak.

o Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak


bergerak.

o Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.

o Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.

o Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan.

o Keuntungan dari pengalihan aset tetap.

o Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap
(BUT).

Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda
kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah
terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia. Apabila penghasilan luar negeri
mengalami perubahan, maka wajib pajak diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun
pajak yang bersangkutan

Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24


PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri sebesar Rp
25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri
sebesar 20%. Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000
(Penghasilan dalam negeri + penghasilan luar negeri)
Total PPh Terutang: 25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000
PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:
(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) × Total PPh Terutang
(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp 2.500.000.000
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak dalam
negeri. Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah
dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri dan dokumen-
dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri.

Jika Mengalami Kerugian


Pada huruf a Penjelasan Pasal 2(2) disebutkan bahwa WPDN dikenakan pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia (basis
global). Sehubungan dengan pemajakan global (wolrd wide income taxation) tersebut. Laba
dan rugi dari pendirian di luar negeri secara langsung diperhitungkan dalam penentuan
penghasilan kena pajak. Dengan demikian, kerugian yang didapat dari usaha dan kegiatan di
luar negeri pada prinsipnya boleh dikurangkan langsung dari penghasilan global.oleh karena
itu, cukup beralasan untuk mengonsolidasi kerugian luar negeri pada tahun didapatnya
kerugian tersebut. Konsolidasi tersebut rasanya juga dapat diterima dengan mengingat
bahwa secara ekonomis (bisnis) istilah penghasilan dapat berkonotasi penghasilan negative
(rugi).
Kalau misalnya, dalam ketentuan domestic Negara sumber (tanpa memperhatikan
klausul nondiskriminasi pada P3B) tidak tersedia keringanan kompensasi kerugian maka
kerugian WPDN yang didapat di luar negeri tidak dapat diperhitungkan di mana-mana (no
dipping). Dengan demikian, kebijakan praktis administrative tersebut Nampak agak
mengesampingkan prinsip netralitas ekspor modal dalam perpajakan karena adanya
perlakuan yang berbeda atas kerugian dari investasi di dalam dan di luar negeri. Hal
demikian barangkali merupakan upaya yang kondusif untuk meningkatkan investasi di
dalam Indonesia, selaras dengan laju kebutuhan dan kemandirian dana investasi untuk
pembangunan.
Di beberapa Negara (misalnya, Nederland) yang menganut sistem pemajakan global,
memperkenankan perhitungan kerugian luar negeri atas penghasilan global walaupun
Negara tersebut membebaskan penghasilan luar negeri dimaksud dari pengenaan pajak (tax
exemption). Untuk tujuan pemberian keringanan pajak berganda, kerugian luar negeri
tersebut diperhitungkan kembali dengan laba tahun berikutnya (foreign-loss recapture rule).
Misalnya, dalam tahun 2005,selain penghasilan domestic sebesar 1.000, terdapat kerugian
luar negeri sebesar 200. Pajak penghasilan tahun 2005 dihitung berdasarkan penghasilan
neto global sebesar 800 (1000-200). Selanjutnya, misalnya dalam tahun 2006 diketahui
bahwa terdapat penghasilan dalam negeri sebesar 1500 dan penghasilan luar negeri sebesar
500. Untukkeperluan perhitungan pajak penghasilan akan dihitung penghasilan kena pajak
global sebesar 2000, sedangn keringanan pajak berganda diberikan atas penghasilan luar
negeri sebesar 300 (500-200 rugi tahun lain). Dengan demikian, maka pajak penghasilan
selama 2 tahun dihitung atas penghasilan global 2800 (800+2000) yang terdiri dari
penghasilan dalam negeri sebesar 2500 (1000+1500) dan penghasilan luar negeri sebesar
300 (-200+500). Pendekatan recapture ini selain bisa memperhitungkan kembali (recovery)
pengurangan potensi pajak domestic oleh kerugian luar negeri juga dapat meluruskan
kembali prinsip pemajakan global dan menegakkan kebijakan netralitas ekspor modal
(capital-export neutrality).

1.5. Contoh WPDN Mempunyai Penghasilan dari Luar Negeri


 TKI Bekerja Di Luar Negeri Lebih Dari 183 Hari
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 2/PJ/2009 Pekerja Indonesia
di Luar Negeri yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) merupakan Subjek Pajak Luar Negeri,
sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar
Negeri sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar
negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia. Namun dalam hal Pekerja
Indonesia di Luar Negeri tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
yang berlaku.

Sebagai Ilustrasi diberikan contoh sebagai berikut: Tn Amir seorang penduduk


Indonesia telah terdaftar sebagai wajib pajak di KPP Pratama Cibinong. Pada suatu
waktu Tn Amir menandatangani kontrak untuk bekerja pada SINTRADE Pte Ltd
sebuah perusahaan dagang yang berlokasi di Singapura. Di dalam kontrak disepakati
bahwa Tn Amir bekerja di Singapura selama 2 tahun dengan mendapat gaji dari
SINTRADE Pte Ltd Rp 40.000.000/bulan dan dipotong pajak sesuai ketentuan yang
berlaku di Singapura. Tn Amir berada di Singapura selama 300 hari tiap tahunnya,
sisanya dihabiskan di Indonesia ketika mengambil cuti dan hari raya idul fitri.
Dari kasus di atas Tn Amir walaupun sudah memiliki NPWP karena bekerja di
luar negeri selama lebih dari 183 hari maka status subjek pajak Tn Amir adalah
subjek pajak luar negeri. Sehingga atas penghasilan berupa gaji yang telah dikenakan
pajak di Singapura tersebut tidak akan dikenakan pajak di Indonesia. Tn Rahmat
seorang penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai wajib pajak di KPP Pratama
Sleman. Pada suatu waktu Tn Rahmat menandatangani kontrak untuk bekerja pada
SAWIT PERMAI Sdn Bhd sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
berlokasi di Malaysia. Di dalam kontrak disepakati bahwa Tn Rahmat bekerja di
Malaysia selama 2 tahun dengan mendapat gaji dari SAWIT PERMAI Sdn Bhd Rp
40.000.000/bulan. Atas gaji tersebut telah dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan
pajak penghasilan yang berlaku di Malaysia. Dalam kenyataannya Tn Rahmat berada
di Malaysia selama 300 hari tiap tahunnya, sisanya pulang ke Indonesia ketika
mengambil cuti dan liburan. Selama bekerja di Malaysia rumah Tn Rahmat yang
terletak di Jl Sudirman No. 1 Sleman disewakan dengan penghasilan sewa sebesar Rp
50.000.000 Atas penghasilan gaji Tn Rahmat tidak akan dikenakan pajak di
Indonesia, karena Tn Rahmat berada di Indonesia kurang dari 183 hari (status wajib
pajak luar negeri), tapi karena Tn Rahmat memperoleh penghasilan dari Indonesia
maka atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia berupa penghasilan sewa rumah
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. Mengingat
berstatus sebagai subjek pajak luar negeri, maka atas penghasilan berupa sewa rumah
akan dikenakan sesuai pasal 26 UU PPh yaitu tarif 20% atau tarif sesuai P3B.
Untuk kepentingan administrasi perpajakan Tenaga Kerja Indonesia yang
sebelumnya sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak orang pribadi di Indonesia dan
memiliki NPWP berdasarkan SE - 89/PJ/2009 dapat dinyatakan sebagai Wajib Pajak
Non Efektif. Wajib Pajak Non Efektif (WP NE) adalah Wajib Pajak yang tidak
melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan/atau Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT Tahunan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yang nantinya dapat diaktifkan kembali.
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tersebut mengajukan permohonan sebagai
WP NE ke KPP, dengan melampirkan: fotokopi paspor dan kontrak kerja tau
dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak berada di luar negeri lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Permohonan perubahan status WP NE
akan diselesaikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan
diterima secara lengkap. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan label “NE” tetap
tercantum dalam Master File Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT
Masa atau SPT Tahunan.
- Tidak turut diawasi pembayaran masa/bulanannya dan tidak diterbitkan STP atas
sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT;
Apabila TKI suatu saat tidak lagi bekerja di luar negeri dan kembali ke Indonesia
maka dapat mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali dan berubah status
menjadi Wajib Pajak efektif.

 TKI Bekerja Di Luar Negeri Tidak Lebih Dari 183 Hari


Dalam hal tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri kurang dari 183 hari,
maka statusnya masih sebagai wajib pajak dalam negeri. Kewajiban perpajakannya
akan sama dengan wajib pajak orang pribadi dalam negeri lainnya. Wajib pajak
tersebut akan dikenakan pajak menggunakan prinsip world wide income, yaitu
dikenakan pajak di Indonesia baik atas penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri
maupun di luar negeri. Atas penghasilan yang dibayar, dipotong atau terutang di luar
negeri sesuai dengan pasal 24 UU PPh dapat dikreditkan di Indonesia.
Contoh :
Tn Arman (K/1) seorang penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai wajib pajak
di KPP Pratama Cimahi. Selama bulan Januari sampai dengan September 2010 Tn
Arman bekerja pada PT INDOGARMEN sebuah perusahaan yang berkedudukan di
Indonesia. Gaji yang diterima dari PT INDOGARMEN selama tahun 2010 sebesar
Rp 150.000.000 dengan dipotong PPh pasal 21 sebesar Rp 10.000.000. Sejak bulan
Oktober sampai dengan Desember 2010 Tn Arman pindah bekerja di luar negeri,
yaitu pada LIEKONG Ltd sebuah perusahaan yang berkedudukan di Hongkong. Gaji
yang diterima dari LIEKONG Ltd selama tahun 2010 sebesar Rp 60.000.000 dengan
dipotong pajak Rp 5.000.000.
Dalam kasus di atas Tn Arman berada di luar negeri selama 3 bulan atau kurang
dari 183 hari sehingga Tn Arman masih berstatus sebagai wajib pajak dalam negeri.
Maka baik penghasilan yang diterima dari Indonesia maupun dari Hongkong
semuanya anak dikenakan pajak di Indonesia. Atas pajak yang dibayar atau dipotong
di Hongkong dapat dikreditkan di Indonesia. Penghitungannya sebagai berikut :
Penghasilan dari dalam negeri 150.000.000
Penghasilan dari luar negeri __60.000.000
Jumlah penghasilan 210.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak
- Diri WP 54.000.000
- Status kawin 4.500.000
- Tanggungan __4.500.000
Jumlah PTKP (K/1) _(63.000.000 )
Penghasilan Kena Pajak 147.000.000

PPh Terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 97.000.000 _14.550.000
Jumlah PPh Terutang 17.050.000
Kredit Pajak
- PPh Pasal 21 10.000.000
- PPh Pasal 24 __5.000.000
Jumlah kredit pajak _15.000.000
PPh Kurang Bayar 2.050.000
Dari penghitungan tersebut maka Tn Arman pada akhir tahun pajak akan punya
kewajiban menyetor PPh kurang bayar (PPh pasal 29) sebesar Rp 2.050.000. Atas
pemenuhan kewajiban tersebut Tn Arman harus melaporkannya dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi

2. PENGHASILAN DARI ANAK PERUSAHAAN


Terhadap beberapa badan yang berada dalam satu kesatuan ekonomis (economic entity),
di beberapa negara manca diberlakukan pendekatan konsolidasi pemajakan atau penyatuan
pemajakan. Pada umumnya, jumlah kepemilikan dipakai sebagai dasar (kriteria) penentu
konsolidasi tersebut. Karena dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, walaupun dengan
kesatuan legal terpisah, untuk lebih memberikan manfaat ekonomis, beberapa badan tersebut,
untuk tujuan pemajakan dianggap sebagai satu kesatuan pemajakan. Sementara di Amerika
Serikat pendekatan tersebut disebut “tax return consolidation”, di negeri Belanda dikenal
sebagai “fiscal unity”. Untuk keperluan administratif dan konsistensi, badan – badan yang
tergabung dalam kesatuan pemajakan tersebut dianggap bergabung untuk masa sekurang –
kurangnya lima tahun. Selain kesederhanaan administrasi pemajakan, salah satu keuntungan
ekonomis system tersebut adalah eliminasi penghasilan antarbadan dari jaringan pemajakan.
Hal ini akan memberikan penghematan pajak (tax saving) kepada grup.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, pendekatan konsolidasi pemajakan dan akrualisasi
pemajakan “current taxation” pada umumnya. Selain menganut sistem klasikal, Indonesia
menerapkan pemajakan dengan pendekatan entitas legal terpisah “separate legal entity”.
dengan mengesampingkan faktor adanya kesatuan ekonomis, beberapa badan yang
dipertalikan berdasarkan kepemilikan dikenakan pajak secara individual tanpa eliminasi
penghasilan antarbadan (kecuali dividen). Untuk mengeliminasi pajak berganda ekonomis
atas dividen, Pasal 4(3)(f) UU PPh memberikan eksemsi pajak atas dividen antar badan
dengan beberapa persyaratan. Persyaratan dimaksud antara lain adalah (1) penerima dividen
merupakan badan (termasuk koperasi) WPDN, dan (2) pembagi dividen harus badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, (3) dividen berasal dari cadangan laba
yang ditahan, (4) penerima dividen harus memiliki saham badan pembagi dividen paling
sedikit 25% dari jumlah modal disetor, dan (5) penerima dividen harus mempunyai usaha
aktif di luar pemilikan saham. Karena keringan pajak tersebut bersifat teritorial dan tidak
diperluas ke mancanegara, maka tiap dividen yang diperoleh atau diterima dari investasi
saham pada badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia tetap
dikenakan pajak penghasilan. Pengenaan pajak tersebut dilakukan pada saat dividen tersebut
diterima oleh WPDN. Karena pada prinsipnya WPDN dikenakan pajak per basis neto, semua
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (dividen luar negeri)
tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Sehubungan dengan konsep “match
– link” antara biaya dan pengahasilan yang dilperkenalkan dalam penjelasan Pasal 6 (1) (a)
UU PPh serta pendekatan limitasi per negara dalam pemberian keringan kredit pajak luar
negeri, nampaknya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dividen
luar negeri tersebut merupakan beban langsung (direct expense) atas penghasilan dimaksud.
Dalam pemajakan terhadap badan hukum terdapat berbagai model integrasi antara pajak
penghasilan personal dengan pajak korporate sehubungan dengan distribusi penghasilan
korporat kepada personal dalam bentuk dividen. Diantara beberapa negara telah
menginegrasikan pemajakan korporat dengan personal dalam sistem imputasi (imputation
system) atau integrasi penuh (full integration). Dalam system imputasi (credit system), badan
dianggap sebagai sarana ekonomi untuk memperoleh penghasilan maka pajak penghasilan
badan dapat dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi. Di Indonesia hanya pajak atas
dividen saja yang dapat dikreditkan. Otonomi sistem pemajakan, selain memberikan
netralitas ekspor modal dan konsistensi pada sistem domestik (walaupun menyimpang dari
sistem di negara sumber) dapat memberikan tambahan potensi penerimaan pajak Indonesia.

3. DIVIDEN, BUNGA, SEWA DAN ROYALTI


Pemajakan atas dividen sumber luar negeri apakah pemilik saham mayoritas atau saham
minoritas adalah sama, semua dikenakan pajak pada saat penerimaan (on remittance basis)
dividen tersebut oleh pemegang saham WPDN, Begitu juga bunga, sewa dan royalti. Pada
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 192/PMK.03/2018 tentang
pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri pada pasal 3 ayat 1 huruf (b)
menyatakan bahwa penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, dan sewa tersebut bertempat kedudukan.
Pada peraturan menteri keuangan nomor 93/PMK.03/2019 tentang penetapan saat
diperolehnya Dividen dan dasar perhitungannya wajib pajak dalam negeri selain badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek. Menurut PMK tersebut WPDN yang memiliki saham
di luar negeri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan presentase minimal
sebesar 50% dan saham tersebut tidak terdaftar di bursa saham maka akan dikenai deemed
dividend. Deemed dividend adalah dividen yang ditetapkan diperoleh WPDN atas peryertaan
modal pada badan usaha luar negeri (BULN) nonbursa terkendali langsung. Dahulu
perhitungan demeed dividend berdasarkan atas laba setelah pajak, sehingga tidak ada
pembedaan penghasilan yang bersifat aktif maupun pasif, sekarang perhitungan berdasarkan
atas penghasilan neto setelah pajak atas penghasilan tertentu yang diperoleh dari penghasilan
pasif. Jumlah neto setelah pajak atas penghasilan tertentu tersebut didefinisikan sebagai
jumlah bruto penghasilan tertentu setelah dikurangi dua variabel yaitu:
 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tertentu.
 Bagian pajak penghasilan yang terutang, dibayar atau dipotong atas penghasilan tertentu
dalam hal terdapat PPh yang terutang, dibayar atau dipotong atas penghasilan tertentu
tersebut.

Adapun penghasilan pasif tersebut itu mencangkup dividen, bunga, sewa dalam
pengertian sewa yang diperoleh dari BULN nonbursa terkendali terkait penggunaan tanah
atas bangunan maupun sewa selain properti yang berasal dari transaksi dangan pihak yang
memilki hubungan istimewa, royalti dan keuntungan atas penjualan atau pengalihan harta.
Sebagai penghasilan WPDN yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangi dari penghasilan mancanegara
tersebut. Dari pengurangan tersebut, walaupun mungkin kasusnya agak luar biasa, dapat
terjadi kerugian. Dalam undang-undang PPh pasal 4 (1) menyatakan bahwa kerugian dari
luar negeri tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh
menganut sistem pemajakan global). Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif negatif luar
negeri tidak dapat diperhitungkan dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan sama
diterapkan baik terhadap penghasilan usaha dan kegiatan maupun dividen, bunga, sewa dan
royalti.
DAFTAR PUSTAKA

Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia

Kompilasi Undang-Undang

Kurniawan, Anang Mury. 2010. Pajak Internasional: Bahan Ajar Pajak Internasional
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Jakarta.
http://news.ddtc.co.id

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 192/PMK.03/2018

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 93/PMK.03/2019

Anda mungkin juga menyukai