Anda di halaman 1dari 8

PAPER

Dimensi Trompenaars
Trompenaars Dimension
Mata Kuliah Komunikasi Sosial

Dosen Pengampu:
Ir. Harsoyo, M. Ext. E
Alia Bihrajihant Raya, S. P., M. P.,Ph.D

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Kurnia Anggraini Rahmi 17/412839/PN/15161
Ahmad Faqih Abdurrahman 17/414707/PN/15288
Fuad Muhammad Irfan 17/414713/PN/15294

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Interaksi sosial atau komunikasi yang bermakna membutuhkan orang orang
didalamnya untuk memperoleh informasi diantara orang orang yang berinteraksi. Interaksi
sosial memiliki konsekuensi untuk memperoleh informasi dan berhubungan dengan
individu atau kelompok lintas budaya. Interaksi tersebut menciptakan hubungan timbal
balik dari para individu maupun kelompok untuk secara bersama sama membentuk suatu
sistem makana yang saling terhubung. Konsep budaya yang diyakini dan dilakukan oleh
indivivdu atau kelompok dapat menentukan tindakan atau prilaku terhadap respon. Budaya
berada pada tatanan alam bawah sadar yang juga mendukung sebagai akar dari tindakan
yang dilakukan. Beberapa antropolog menganalogikan budaya dalam suatu individu atau
kelompok seperti gunung es, yang mana bagian bawah es tersebut merupakan hal terbesar
dan tersirat di bawah air. Budaya merupakan buatan manusia yang dikonfirmasi oleh orang
lain, konvensional, dan diwariskan untuk dipelajari dan dilaksanakan oleh orang yang lebih
muda atau pendatang baru dalam suatu kelompok. Sehingga budaya bukanlah benda
dengan zat realitas fisik tersendiri. Namun, budaya diciptakan oleh orang orang yang saling
berinteraksi dan melakukan interaksi pemaknaan yang lebih dalam (Trompenaars dan
Charles, 1998).
B. Tujuan
1. Mengetahui tujuh dimensi budaya menurut Trompenaars
2. Memberikan informasi kepada pembaca

II. PEMBAHASAN

Dimensi Budaya Menurut Trompenaars:


1. Universalisme vs particularism
Universalisme merupakan budaya yang berdasarkan pada peraturan formal
(rule based). Universalisme menekankan pada tegaknya peraturan sehingga semua
orang memiliki kesetaraan yang sama terhadap aturan formal yang berlaku. Namun,
situasi bergantung pada adanya kategori tertentu. Contohnya yaitu jika apa yang
anda “lakukan” kepada “orang lain” tidak dikategorikan sebagai manusia maka
aturan mugkin tidak berlaku. Sehingga perilaku berbasis aturan atau universalisme
memilki kecenderungan untuk menolak pengecualian yang mungkin melemahkan
aturan tersebut. Dengan demikian pola perilaku universalisme memiliki ketakutan
bahwa jika kita membuat pengecualian untuk perilaku ilegal atau menyimpang
maka sistem yang telah dibentuk akan runtuh. Particularism adalah budaya yang
berdasarkan penilaian yang tidak biasa pada suatu keadaan. Contohnya jika
seseorang bukanlah “warga negara” tetapi orang tersebut adalah teman, saudara,
pasangan hidup, anak, atau orang yang penting bagi saya berdasarkan kecintaan atu
kebencian. Oleh karena itu saya harus melindungi maupun mengabaikan orang ini
apapun aturannya berdasarkan hubungan yang dimiliki. Pada dasarnya kedua hal
tersebut baik universalisme dan particularism dapat ditemukan dalam diri orang
atau kelompok yang sama. Dalam gambar dibawah ini keduanya merupakan
indikator agar masing masing budaya yang berlawanan tidak menyimpang terlalu
jauh. Sehingga kedua hal tersebut saling mengontrol satu sama lain. Pada gambar
tersebut menggambarkan bahwa pendekatan universalisme berperan untuk
mencegah budaya particularism yang terlalu jauh dan posisi particularism juga
berperan untuk mencegah budaya universalisme terlalu jauh (Trompenaars dan
Charles, 1998).
2. Individualism vs collectivism
Parson dan Shils (1951) berpendapat bahwa individualism adalah budaya
yang berorientasi pada diri pribadi dan communitarianism adalah budaya yang
berorientasi pada target dan tujuan bersama. Individualism sering dianggap sebagai
ciri masyarakat modern sementara communitarinism menggambarkan terhadap
kelompok masyarakat yang lebih tradisional dan sederhana. Setiap individu pada
dasarnya memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada diri sendiri atau
kelompok sehingga sangat dilarang untuk menggeneralisir komunitas budaya suatu
masyarakat. Berdasarkan gambar 2, kita semua menjalani siklus tersebut namun
memulai pada titik yang berbeda baik individualism dan communitarianism dan
mengganggapnya sebagai suatu cara atau tujuan. Budaya individualism melihat
individu sebagai suatu akhir dan sebagai langkah perbaikan aturan komunal
sementara budaya communitarianism beranggapan bahwa suatu kelompok dianggap
sebagai tujuan dan peningkatan kapasitas individu sebagai sarana untuk mencapai
tujuan tersebut(Trompenaars dan Charles, 1998).
3. Neutral vs affective
Anggota budaya yang bersikap netral cenderung untuk menyimpan perasaan
pribadi agar tetap terkendali. Sementara anggota budaya yang bersikap afektif orang
orang menunjukkan perasaan mereka secara jelas dan terbuka seperti contohnya
tertawa, tersenyum, meringis, merengut, dan memberi isyarat. Namun, perbedaan
tersebut tidak seakan akan membuat bahwa budaya pada masyarakat yang bersikap
netral cenderung dingin dan kaku maupun tidak berperasaan. Pada kelompok
masyarakat yang netral masih ditemukan ekspresi seperti kebahagian dan kesedihan
tetapi memang tidak mudah terlihat jika dibandingkan dengan kelompok
masyarakat dengan kecenderungan afektif. Perbedaan antara budaya netral dan
afektif dapat dikenali melalui (Trompenaars dan Charles, 1998):
Netral Afektif
1 Tidak mengungkapkan apa yang Mengungkapkan pemikiran dan
mereka pikirkan dan rasakan perasaan secara verbal dan non verbal
2 Secara tidak sengaja mungkin Ekspresif
menunjukkan ekspresi pada wajah
dan postur
3 Emosi yang dibendung terkadang Emosi mengalir dengan mudah dan
akan meledak efektif tanpa hambatan
4 Seringkali menunjukkan ekpresi Seringkali menunjukkan ekspresi hangat
dingin dan tenang dan bersemangat
5 Kontak fisik, gestur, atau ekspresi Sentuhan, gestur, dan ekspresi wajah
wajah adalah hal yang jarang terjadi sering terjadi
6 Pernyataan dinyatakan dengan nada Pernyataan dinyatakan denan lancar
monotone

4. Specificity vs diffuseness
Pola budaya ini berkaitan erat apakah kita harus memperlihatkan emosi
ketika berhubungan dengan oran lain dalam bidang kehidupan tertentu saja
(specificity) atau secara luas melibatkan orang lain dalam berbagai hal (diffuseness)
(Trompenaars dan Charles, 1998). Budaya specificity memiliki karakter untuk
secara jelas memisahkan anatara hal hal yang bersifat pribadi dengan hal hal yang
bersifat public. Sementara budaya diffuseness cenderung untuk melibatkan atau
mecampuri urusan pribadi orang lain. Bagaimanapun baik budaya specificity
maupun diffuseness merupakan cara atau strategi yang dilakukan oleh suatu
individu atau kelompok untuk saling mengenal satu sama lainnya. Budaya specific
dan diffuse dapat disebut juga sebagai low dan high context. Konteks tersebut
berkaitan dengan bagaimana cara mencapai informasi dengan to the point seperti
seberapa banyak hal yang diketahui terkait bagaimana komunikasi yang efektif,
bagaimana cara membagi pengetahuan hingga bagaimana mengetahui kesepakatan
atau hal hal yang tersirat yang digambarkan melalui gambar 3(Trompenaars dan
Charles, 1998):

Beberapa ciri untuk mengenali perbedaan antara dimensi specificity dan diffuseness
yaitu:
No Specificity Diffuseness
1 Langsung dengan tujuan dan to the Tidak langsung, berputar putar, dan
point dalam hubungan tanpa tujuan dalam hubungan
2 Tepat, pasti, dan transparan Tidak berterus terang, ambigu, dan tidak
jelas
3 Memiliki prinsip dan moral yang Moralitas situasional yang tinggi
konsisten yang independen dari bergantung pada orang dan konteks
orang dan konteks yang dihadapi yang dihadapi
5. Achievment vs ascription
Budaya prestasi jika seorang diberi status berdasarkan seberapa baik mereka
menampilkan fungsinya atau memberikan status tinggi untuk pencapaian yang
tinggi. Sebaliknya, budaya askripsi adalah pemberian status berdasarkan gender,
umur, atau koneksi sosial (Putri, 2012). Budaya achievement atau ascription adalah
budaya yang menunjukkan cara orang dalam memandang status. Orang yang
memiliki budaya achievement akan memandang status berdasarkan performansi
atau prestasi. Kekuasaan, jabatan, usia, dan posisi dalam sosial sangat menentukan
status seseorang pada budaya ascription (Sutalaksana dan Sadika, 2018).
6. Time orientation
Budaya sequential time menganggap suatu aktivitas terjadi secara berurutan
sehingga dalam satu waktu hanya dapat fokus pada satu aktivitas. Masa lalu, saat
ini, dan masa depan adalah suatu jalinan waktu. Penganut budaya synchronous time
dapat melakukan beberapa aktivitas dalam satu waktu dan menganggap rencana
adalah hal yang fleksibel (Sutalaksana dan Sadika, 2018).
7. Internal vs external
Penganut budaya internal direction beranggapan bahwa orang dapat
mengontrol dan mempengaruhi lingkungan. Sementara dalam budaya external
direction, lingkungan dapat mengontrol dan mempengaruhi seseorang (Sutalaksana
dan Sadika, 2018).

III. PENUTUP

Kesimpulan

1. Menurut Trompenaars terdapat tujuh dimensi budaya yaitu universalisme vs


particularism, individualism vs collectivism, neutral vs affective, specificity vs
diffueseess, achievment vs ascription, time orientation, dan internal vs external.
DAFTAR PUSTAKA
Putri, I.A.D. 2012. Peranan Good Corporate Governance dan Budaya Terhadap Kinerja
Organisasi. Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 7(2): 193 – 204.
Trompenaars, F. dan Charles H. T. 1998. Riding The Waves Of Culture. Nicholas Brealey.
London.
Sutalaksana, I.Z. dan Sadika, E.D. 2018. Mengkaji Kelengkapan Human Factors Analysis
and Classification System (HFACS) dari Sisi Budaya Berdasarkan Dimensi BUdaya
dari Trompenaars. Vol. 2(2): 5 – 11.

Anda mungkin juga menyukai