Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH PERADABAN ISLAM

"PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH"

PAPER

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Sejarah Peradaban Islam


Pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Alauddin Makassar

OLEH:

HIKMA NUR INDA SARI


70200117031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2018
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemerintahan Dinasti Umayyah


1. Pengambil Alih Kekuasaan
Implementasi dari terjadinya perang shiffin berimplikasi terhadap pergulatan
politik di dunia Islam, dan terjadinya persang shiffin tersebut diawali dari terjadinya
polemik antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah (Hitti, 2010 : 225). Padahal jika
ditinjau dari garis keturunan keduanya masih satu garis keturunan (Nizar, 2007: 54).
Dalam peristiwa inilah Ali Bin Abi Thalib mengalami kekalahan secara politik dari
pihak muawiyah dengan perantara jalan arbitrase (tahkim) sehinga kekalahan Ali secara
politis ini mampu dimanfaatkan oleh Muawiyah yang mendapat kesempatan untuk
mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus Raja (Thohir, 2004:34). Selain
kesepakatan arbitrase menimbulkan dianggap merugikanbagi pihak Ali r.a itu sendiri,
juga menimbulkan polemik perpecahan dikalangan umat Islam itu sendiri yang diawali
oleh keluarnya sejumlah besar pendukung dan simpatisan Ali r.a dalam menentang
terhadap keputusan Ali, (Golongan khawarij). Bahkan Golongan khawarij tersebut yang
diceritakan bahwa mereka bersumpah di depan Ka’bah bahwa mereka akan
membersihkan komunitas Islam dari tiga tokoh yang terlibat dalam arbitrasebtersebut,
yaitu; Ali bin abi thalib, Muawiyah bin abu sofyan, dan Amr Bin Ash (Hitti, 2010:227).
Untuk melancarkan misi tersebut pihak khawarij mengirimkan tiga orang yaitu;
Abdullah Bin Muljam yang berangkat ke Kuffah untuk membunuh Ali bin abi thalib, al-
Baraq Ibn Abdillah At-Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah, dan
Amr ibn Bakr At-Taimi berangkat ke Mesir untuk membunuh Amr bin Al-Ash. ketiga
orang tersebut-lah diduga sebagai penyebab perpecahan dikalangan umat Islam (Nizar,
2007:4). Akhirnya pada Tanggal 24 Januari 661 M, ketika Ali sedang dalam perjalanan
menuju mesjid Kuffah, Ia terkena hantaman pedang beracun didahinya yang diayunkan
oleh Abd al-Rahman ibn Muljam (Hitti, 2010 :227). Dan sejak itulah kekuasaan
seluruhnya beralih ketangan Muawiyah (Syalabi, 1988:33). Sesudah wafatnya khalifah
Ali bin Abi Thalib, berarti habislah masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Kemudian
golongan Syiah yang terdiri dari masyarakat Arab, Irak dan Iran mencoba mengangkat
Hasan ibn Ali untuk menggantikan kedudukan ayahnya sehinga terjadilah pembaiatan
oleh Qois ibn Saad dan diikuti oleh masyarakat Irak yang berkhianat membuat
kekacauan sampai masuk ke rumah Hasan serta melanggar kehormatan bahkan berani
merampas harta bendanya (Syalabi, 1988:33). Dengan merambaknya persoalan-
persoalan dan peperang yang lebih besar lagi di kalangan umat Islam, maka Hasan ibn
Ali mengajukan syarat-syarat kepada Muawiyah di antaranya adalah:
a. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak;
b. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun;
c. Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham;
d. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak;
e. Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada bani Abdul Syam;
f. Jabatan khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyarwah di
antara kaum muslimin (Syalabi, 1988: 35).
Syarat-syarat tersebut segera dipenuhi Muawiyah dengan cara mengirimkan
selembaran kertas yang ditandatangani terlebih dahulu. Supaya Hasan menuliskan
syarat-syarat yang dikehendaki-nya. Kemudian mengumumkan bahwa Hasan akan taat
dan patuh kepada Muawiyah dan akan mengundurkan diri, dan menyerahkan jabatan
kepada pihak Muawiyah. Lebih lanjut dalam pengambilalihan jabatannya tersebut
dibuktikan dengan di baiat oleh Muawiyah sebagai khalifah yang disaksikan oleh Hasan
dan Husen, Dengan demikian, secara resmi penerimaan Muawiyah ibn Abi Sofyan
sebagai khalifah setelah Hasan ibn Ali mendapat dukungan dari kaum syi’ah dan telah
dipegangnya beberapa bulan lamanya sehingga peristiwa kesepakatan antara Hasan ibn
Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sofyan lebih dikenal dengan peristiwa “Am al Jamaah”
dan sekaligus menjadikan batas pemisah antara masa Khulafaur rasyidin (632-661 M)
dengan masa Dinasti Umayyah (661-750 M).
Sesudah itu Muawiyah masuk ke kota Kufah pada bulan Rabiul akhir tahun 41 H,
sedangkan Hasan dan Husen pergi dan tinggal di Madinah sampai wafatnya pada tahun
50 H (Syalabi, 1988:35). Namun dalam versi yang lain menyatakan bahwa al-Hasan
wafatnya, akibat kemungkinan diracun oleh harem-haremnya (selir-selirnya)
(Syalabi,1988:36). Kemudian Husain (adik laki-laki hasan) yang hidup di Madinah yang
konsisten tidak mau mengakui kekuasaan dipegang oleh Muawiyah sekaligus
penggantinya yaitu Yazid. Suatu saat pada tahun 680 Ia pergi ke Kuffah untuk
memenuhi seruan penduduk Irak, yang telah menobatkan sebagai Khalifah yang sah
setelah Ali dan Hasan. Sehingga Akhirnya pada tanggal 10 Muharam 61 H (10 Oktober).
Yang tidak berselang lama Umar anak Ibn abi Waqas (komando pasukan muawiyah)
dengan membawa 4000 pasukan, mengepung pasukan Husain yang berjumlah 200 orang
dan membantai rombongan tersebut di daerah Karbala karena mereka tidak mau
menyerah.
Dengan demikian peristiwa tersebut bagi kaum Syiah sebagai hari-hari kepedihan
dan penyesalan. Perayaan kepedihan tersebut diadakan setahun sekali yang
diselenggarakan dalam dua babak, yang pertama disebut asyuara (Hari kesepuluh) di
Kazimain (dekat Bagdad) untuk mengenang pertempuran itu, dan empat puluh hari
berikutnya di karbala yang disebut “pengambilan kepala” (Hitti, 2010:237). Menurut
Maidir dan Firdaus, selama memerintah Muawiyah tidak mendapatkan kritikan oleh
pemuka dan tokoh umat Islam, kecuali setelah iamengangkat anaknya Yazid menjadi
putra mahkota. Sebelum adanya peristiwa tersebut kondisi secara umum tetap stabil dan
terkendali sehingga Muawiyah dapat melakukan beberapa usaha untuk memajukan
pemerintahan dan perkembangan Islam (Harun & Firdaus, 2001: 81). Sehingga
Muawiyah yang menjadi khalifah pertama yang berkuasa dalam pemerintahan dinasti
Umayyah merubah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi menjadi
monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Hal ini tercermin ketika suksesi
kepemimpinan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
kepada anaknya. Muawiyah bermaksud menerapkan monarki yang ada di Persia dan
Bizantium, walaupun dia tetap menggunakan istilah khalifah namun pelaksanaannya
banyak interpretasi baru dalam jabatan tersebut.
2. Pembentukan Dinasti Umayyah
Pemerintahan dinasti Umayyah berasal dari nama Umaiyah ibn Abu Syam ibn
Abdi Manaf,pemerintahan ini berkuasa selama selama kurang lebih 91 tahun (41-132
atau 661-750 M) dengan 14 orang khalifah mereka (Hitti, 2010:245- 293) adalah:
Muawiyah (41-60 H / 661-679 M),Yazid I / (60-64 H / 680-683 M), Muawiyah II (64H /
683 M), Marwan (64-65 H / 683-684 M), Abdul Malik (65-86 H / 684-705 M), Al Walid
(86-98 H / 705-714 M), Sulaiman (96-99 H / 615-717 M), Umar bin Abdul Aziz (99-101
H / 717-719 M), Yazid II (101-105 H / 719-723 M), Hisyam (105-125 H /723-742 M),
Al Walid II (125-126 H / 742-743 M), Ibrahim (126-127 H / 743-744 M), Marwan II
(127-132 H / 744-749 M) (Al-Usairy,2003:184-185).
Pada awalnya pemerintahan Dinasti Umayyah bersifat demokrasi lalu berubah
menjadi feodal dan kerajaan. Pusat pemerintahannya bertempat di kota Damaskus, hal
itu hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memerintah karena Muawiyah sudah begitu
lama memegang kekuasaan di wilayah tersebut serta ekspansi territorial sudah begitu
luas (Nizar,2007:57).
3. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
a. Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak
antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal
memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki
ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan
Islam (Amin, 1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru
yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia
menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi
dengan sumur untuk para kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia
membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus.
Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim
piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab
memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-
orang Arab memandang dirinya “saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-
akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab
dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak
bernegara (Hasjmy, 1993:154).
b. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada
sistem politik, diantaranya adalah:
1) Politik dalam Negeri
a) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
b) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari
Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi
dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek.
Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu
oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :Katib ar Rasaail, Katib al
Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurthahk, Katib al-Qaadhi (Hasjmy, 1993:82).
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara
lain bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah.
Organisasi Syurthahk (kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat
buah “dewan” atau kantor pusat yaitu: Diwanul Kharrraj, Diwanul Rasaail,
Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat penting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran
raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan
lilir kemudian diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172). Sedangkan pada bidang
pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama
Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini
dibagi kedalam tiga badan yaitu: · Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara
dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun
mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari
al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad. Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan
perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172). Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah,
yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul
Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi,
Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak
merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
2) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu
melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk
pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas,
tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-
sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah
perbatasan. Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi
sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan
tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa
wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan
permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby,
1971:139).
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran
antara Bani Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada
masa khilafaur rasyidin. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya
melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi
ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke India dan
dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61). Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di
zaman Walid bin Abdul Malik.
Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-
Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan
Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua
Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama
Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian
Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova,
dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova
(Hasan, 1967:91). Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan
mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama
menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui
pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-
Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau
yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani
Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun
Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah
tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil,9Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62). Dengan
demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah
adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk
menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan
syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari
rakyat yang telah lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front
penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti
sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai
berikut :
a) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa
pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai
meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan
terhadap beberapa pulau di laut tengah.
b) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian
menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
c) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke
utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang
yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian
Barat (Mufrodi, 1997:80).
c. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa.
Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya
untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat
mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini
membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas
pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri
tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak (Bosworth,1993:26).
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan
oleh Bani umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya.
Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin
Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris,
memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan
keuangan (Mufradi, 1997:76). Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah
berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah
budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. Tetapi
kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya
sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Di
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah
yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas
dan peraksebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada
sebelumnya (Yatim, 2003:44).11
B. Kemajuan yang Dicapai
Secara umum kemajuan dan perubahan yang dilakukan pada masa Dinasti
Umayyah sudah disinggung pada pembahasan di atas. Namun untuk lebih jelasnya maka
penulis akan menguraikan hal-hal yang telah dilakukan oleh seluruh khalifah yang
berkuasa pada waktu itu, di antaranya adalah :
1. Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan agama (Spiritual power) dengan
kekuasaan politik (temporal power). Muawiyah bukanlah seorang yang ahli
dalam soal-soal keagamaan, maka masalah keagamaan diserahkan kepada para
ulama.
2. Pembagian wilayah
Pada masa khalifah Umar ibn Khattab terdapat 8 propinsi, maka pada
masa Dinasti Umayyah menjadi 10 propinsi dan tiap-tiap propinsi dikepalai oleh
seorang gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada Khalifah. Gubernur
berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan
‘amil.
3. Bidang administrai pemerintahan
Dinasti umayyah membenyuk beberapa diwan (Departemen) yaitu :
a. Diwan al Rasail, semacam sekretaris jendral yang berfungsi untuk mengurus
surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-
surat dari mereka;
b. Diwan al Kharraj, yang berfungsi untuk mengurus masalah pajak.
c. Diwan al Barid, yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia
daerah kepada pemerintah pusat;
d. Diwan al Khatam, yang berfungsi untuk mencatat atau menyalin peraturan
yang dikeluarkan oleh khalifah;
e. Diwan Musghilat, yang berfungsi untuk menangani berbagai kepentingan
umum.
4. Organisasi Keuangan
Percetakan uang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan,
Walaupun pengelolaan asset dari pajak tetap di Baitul Mal
5. Organisasi Ketentaraan
Pada masa ini keluar kebijakan yang agak memaksa untuk menjadi
tentara yaitu dengan adanya undang-undang wajib militer yang dinamakan
‘Nidhomul Tajnidil Ijbary”
6. Organisasi Kehakiman
a. Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas yaitu:
Seorang qadhi atau hakim memutuskan perkara dangan ijtihad;
b. Kehakiman belum terpengaruh dengan politik.
7. Bidang Sosial Budaya
Pada masa ini orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari
segala bangsa bukan Arab, bahkan mereka memberi gelar dengan “Al Hamra”.
8. Bidang Seni Dan Sastra
Ketika Walid ibn Abdul Malik berkuasa terjadi penyeragaman bahasa,
yaitu semua administrasi negara harus memakai bahasa Arab.
9. Bidang Seni Rupa
Seni ukir dan pahat yang sangat berkembang pada masa itu dan kaligerafi
sebagai motifnya.
10. Bidang Arsitektur
Telah dibangunnya Kubah al Sakhrah di Baitul Maqdia yang dibangun oleh
khalifah Abdul Malik ibn Marwan (Harun & Firdaus, 2001:81).
C. Sistem Pendidikan yang Diterapkan pada Dinasti Umayyah
Adapun Corak pendidikan pada Dinasti Umayyah yang dikutif dari Hasan
Langgulung (1988:69-74) yaitu;
1. Bersifat Arab dan Islam tulen artinya pada periode ini pendidikan masih
didominasi orang-orang arab, karna pada saat itu unsur-unsur Arab yang
memberi arah pemerintahan secara politis, agama dan budaya (Hitti, 2010:242).
2. Menempatkan pendidikan dan penempatan birokrasi lainnya, yang sebagai
ditempati oleh orang-orang non-muslim dan non-arab.
3. Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru Muncul.
4. Perioritas pada Ilmu Naqliyah dan Bahasa (Langgulung, 1988:70).
5. Menunjukan bahan tertulis pada bahasa tertulis sebagai bahan media komunikasi.
Pada masa Dinasti Umayyah pola pendidikannya bersifat desentralisasi dan
belum memiliki tingkatan dan standar umum. Kajian pendidikan pada masa itu berpusat
di Damaskus, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Kardoba dan beberapa kota lainnya,
seperti Basyarah, Kuffah (Irak) Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara
ilmu-imu yang dikembangkan yaitu, Kedokteran, Filsafat, Astronomi, Ilmu Pasti, Sastra,
Seni Bagunanan, Seni rupa, maupun Seni suara (Nizar, 2007:60). Menurut H. Soekarno
dan ahmad Supardi bahwa Pada periode Dinasti Umayah terdapat dua jenis pendidikan
(1983:73), yaitu;
a. Pendidikan khusus yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukan bagi
anak-anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya.Tempat Proses
pembelajaran berada dalam lingkungan istana. Adapun Materi yang diberikan
yaitu materi membaca dan menulis al-Quran, al-Hadits, bahasa arab dan syair-
syair yang baik, sejarah bangsa Arab dan peperangannya, adab kesopanan,
pelajaran-pelajaran keterampilan, seperti menunggang kuda, belajar
kepemimpinan berperang. Pendidik atau guru-gurunya dipilih langsung oleh
khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih baik.
b. Pendidikan yang di peruntukan bagi rakyat biasa.
Proses pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah
diterapkan dan dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Sehingga kelancaran proses pendidikan ini ditanggungjawabi oleh para ulama,
merekalah yang memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta
pimpinan kepada rakyat (Soekarno & Supardi, 1983:73-74).
Meskipun terdapat dua sistem yang berbeda, penguasa pada dinasti umayyah
tidak melupakan akan pentingnya suatu pendidikan, adapun sistem yang diterapkan
secara umumnya sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Membentuk dan mengembang manusia “insan kamil” (memilki
keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabar), menaati hak dan
kewajiban tetangga (jiwar), mampu menjaga harga diri, (muru’ah),
kedermawanan dan keramahtamahan (penghormatan terhadap perempuan,
pemenuhan janji.)
2. Tempat dan Lembaga-lembaga pendidikan
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi,. Kajian
ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah,
Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak),
Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Pusat pendidikan telah tersebar di
kota-kota besar sebagai berikut: Di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz). Di kota
Basrah dan Kufah (Irak). Di kota Damsyik dan Palestina (Syam). Di kotaFistat
(Mesir). Adapun tempat dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa
Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a) Pendidikan Kuttab, yaitu tempat belajar menulis (Nizar,2007:7).
b) Pendidikan Masjid, yaitu tempat pengembangan ilmu pengetahuan terutama
yang bersifat keagamaan (Suwito & Fauzan, 2005: 104).
c) Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni.
d) Pendidikan Perpustakaan, pemerintah Dinasti Umayyah mendirikan
perpustakaan yang besar di Cordova pada masa khalifah Al Hakam ibn Nasir
(Nizar,2007:62).
e) Majlis Sastra/Saloon Kesusasteraan, yaitu suatu majelis khusus yang diadakan
oleh khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan (Zuhairini & dkk,
2004:96).
f) Bamaristan, yaitu rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat
studi kedokteran (Yunus, 1992:33).
g) Madrasah Mekkah. Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah
penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal yang mengajarkan Al Qur’an
dan mana yang halal dan haram dalam Islam.
h) Madrasah Madinah. Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam
ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi Muhmmad.
Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
i) Madrasah Basrah untuk Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu
Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik.
j) Madrasah Kufah. Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang
ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin
Qais dan ‘Amr bin Syurahbil.
k) Madrasah Damsyik (Syam). Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian
negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam.
l) Madrasah Fistat (Mesir). Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat
ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula di madrasah madrasah di Mesir
ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis
dengan arti kata yang sebenarnya.
3. Materi/Bahan Ajar
Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat,
astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni
rupa ataupun seni suara. Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada
masa ini adalah:
a) Ilmu agama, seperti: Alquran, Hadis, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadis
terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis
mengalami perkembangan pesat (Hitti, 2010:303). Perkembangan ilmu fiqih
ini berkembang pesat ketika masa pemerintahan bani umayyah II di Andalusia,
sehingga di antaranya lahir 4 mazhab besar, yaitu : Imam Maliki, Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali.
b) Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang
perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil
menulis berbagai peristiwa sejarah.
c) Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa,
nahwu, saraf, dan lain-lain.
d) Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa
asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
e) Ilmu kimia, kedokteran dan astrologi, dalam ilmu pengobatan awalnya masih
bersumber pada pengobatan tradisional yang diterapkan Nabi, yang di
antaranya adalah mengeluarkan darah dengan gelas (bekam). Kemudian
pengobatan ilmiah Arab banyak yang bersumber dari Yunani, sebagian dari
Persia (Hitti, 2010:319).
f) Perkembangan seni rupa, Prestasi lukis yang gemilang dalam bidang ini
ditunjukan dengan munculnya “Arabesque” (Dekorasi orang arab), hampir
semua motif Islam menggunakan motif tanaman atau garis-garis geometris.
(Hitti, 2010:339).
g) Perkembangan musik terjadi pada masa khalifah yang kedua yaitu Yazid,
dimana menurut Philip K. Hitti yazid dikenal sebagai seorang penulis lagu
yang memperkenalkan nyanyian dan alat musik ke istana Damaskus.
4. Metode Pendidikan
Metode yang digunakan yaitu metode rihlah, hal ini dibuktikan ketika
zaman khalifah Umar bin Abd Aziz (99-101 H / 717-720 M) dan beliau pernah
mengirim surat kepada ulama-ulama lainnya untuk menuliskan dan
mengumpulkan hadis. Kemudian dalam hukum fiqih pada masa ini dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu Aliran ahl al-Ra’y yang mengembangkan hukum
Islam dengan analogi, dan Aliran ahl-al Hadits dimana aliran ini tidak akan
memberikan fatwa kalu tidak dalam al-Quran dan al-Hadits (Tafsir, 2004:259).
5. Perkembangan Alam Pemikiran
Dalam masa Dinasti Umayyah, merupakan cikal bakal gerakan-gerakan
filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan pondasi agama Islam,
timbulnya gagasan dan pemikiran filosofis di Arab tidak bias dilepaskan dari
pengaruh trdisi Kristen dan filsafat yunani, salah satu agen utama dalam
memperkenalkan Islam dalam tradisi Kristen adalah St. John (Santo Yahya) dari
Damaskus (Joannes Damascenus) yang dijuluki Crrysorrhoas (lidah emas).
D. Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Umayyah
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak
mampu menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua
kelompok,yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan
Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti
Bani Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para
Khalifah cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali,
1981:169-170).
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang
baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali.
Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-
orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka
bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan
beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata
bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak
bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada
mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan
kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru yang baru
bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannnya tidak
jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya
persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas
wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan
baik, tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk
dapat menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan
dari konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang
menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam
keutuhan kekuasaan Umayyah.
6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak
Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan.
Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan
terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi
oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn
Abdul alMuthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan
golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh
pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim, 2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
E. Peradaban Islam Masa Dinasti Umayyah II di Andalusia
Ketika dinasti Umayyah Damaskus runtuh, cucu khalifah umawiyah
kesepuluh Hisyam Ibn Abd al-Malik Abd al-Rakhman. Memproklamirkan bahwa
propinsi itu sebagai Negara berdiri sendiri pada tahun 756, sejak ploklamasi itu
Andalusia babak baru sebagai Negara berdaulat dibawah kekuasaan Dinati
Umayyah yang ber-ibu kota di Cardova sampai tahun 422 H / 1031 M (Maryam,
2003:144). Ibn Muawiyah menginjakan kakinya di Andalusia setelah lolos dari
upaya pembunuhan atas dirinya ketika terjadi revolusi Dinasti Abbasyiah sekitar
tahun 132 H / 750 M. al-Dakhil (julukan) berhasil meletakan sendi dasar yang
kokoh bagi tegaknya Daulah Umayyah II di Andalusi selama 32 tahun.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan pemisahan Andalausia dari Bagdad
secara politis tidak berpengaruh terhadap tranmisi keilmuan dan peradaban
keduanya, tidak sedikit, kedua belah pihak bertukar pengetahuan dan keilmuan.
Menurut Muhammad Shaghir al-Mas’umi, pada abad ke 4 H /10 M, para pelajar
Andalusia pergi ke Bagdad, Basharah, Damaskus dan Mesir untuk mempelajari
hadits, tafsir, fiqih, logika dan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
pada masa itu tidak terlepas kaitannya dari kerjasama yang harmonis antara
penguasa, hartawan, dan ulama. Dalam hal ini kota Cardova oleh Philip K. hitti
dijuluki mutiara dunia. Sebab Andalusia pada masa itu mencapai tingkat peradaban
yang sangat maju.
Pada masa itu ilmu pengetahuan muslim dari Andalusia mengalir kenegara-
negara eropa Kristen. Melalui kelompok-kelompok pelajar Eropa yang pernah
menuntut ilmu di Universitas Cardova, Malaga, Granada, sevilla atau lembaga-
lembaga ilmu pengetahuan lainnya di Andalusia, dengan demikian besar sekali
peranan Andalusia dalam Mengantarkan Eropa memasuki periode baru masa
kebangkitan (Maryam, 2003:114-115). Salah satu faktor yang mendorong pesatnya
perkembangan keilmuan di Andalusia seperti sorang filosof, astronom, penyair,
musisi, sejarawan, fiqih, theology, ahli bahasa, dokter, dan sebagainya, dikarenakan
penuntutan ilmu di dalam dunia kuno dari abad pertengahan teristimewa dalam
dunia Islam.
Pada masa pemerintahan dinasti Umayyah II ini, lembaga-lembaga
pendidikan, banyak dibangun diberbagai penjuru kerajaan, sejak dari kota-kota
besar sampai ke desa-desa. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan al-Mustanshir
yang memiliki 800 sekolah, 70 perpustakaan pribadi disamping perpustakaan umum,
dimana diriwayatkan kumpuilan buku-buku tersebut mencapai 400.000 eksemplar,
lebih lanjut al-Mustansir mendengar bahwa Irak abu al-Faraz al-Isbahani sedang
menyusun kitab al-Ghani, Ia mengirim uang 1.000 dinar kepada pengarangnya,
untuk mendapat copy pertama dari buku tersebut. Oleh karena itu kitab al-Afgani ini
lebih dulu dibaca di Andalusia dari pada di Irak dimana tempat pengarangnya.
Pada masa Dinasti Umayyah II ini banyak terdapat ilmuan ternama seperti,
dalam bidang fiqih (Malik ibn Anas) sebagai pengarang al-Muwatta yang memuat
1700 hadits, Abu Qasim Maslamah Dianggap sebagai orang yang memperkenalkan
Rasail Ikhwan al-Shafa ke-Eropa, dan Spayol, Abu al-Qasim al-Zahrawi Dikenal
dengan nama Abulcacis, ia dikenal sebagai dokter bedah, perintis ilmu penyakit
telinga dan pelopor ilmu penyakit kulit, karyanya yang berjudul “al-Tashrif li man
Ajaza an al Ta’lif” yang pada abad ke 12 diterjemahkan oleh Cremona dan dicetak
ulang di genua (1497 M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778), yang kemudian
buku tersebut tersebar dan menjadi literatur di Universitas Eropa.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem
pemerintahanyang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk
kerajaan).Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidakdengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh
pemimpinsebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan
istilahKhalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang
diangkat olehAllah.
Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti
inidipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah,
Yazid ibnMuawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn
Marwan, Walid ibnAbdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz,
Yazid ibn Abdul Malik,22Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid
(Yazid III), Ibrahim ibn Malik danMarwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai.
Ekspansiyang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini.
Sehinggakekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol,
AfrikaUtara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerahyang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia
Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah
jugaberjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan,
misalnyamendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang.
Ilmu naqli,yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an
berkembang denganpesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-
undang, yang bersumberpada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan
penafsiran, merekamencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka
timbullah usaha untukmencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu
hadist dengan segala cabang-cabangnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi,Yusuf.2005.Distorsi Sejarah Islam. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.


Al-Usairy,Ahmad.2003.Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Amin,A.1997.Islam Dari Masa Ke Masa. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Harun, Maidir & Firdaus.2001.Sejarah Peradaban Islam. Padang : IAIN-IB Press.
Hasjmy,A.1993.Sejarah Kebudayaan Islam.Jakarta:Bulan Bintang
Hitti,Philip K., 2010. History of The Arabs, Arabs (trj.), R.Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi dari judul asli History of The Arabs; From The Earliest
Times To The Present.Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta.
Langgulung,Hasan.1988.Asas-Asas Pendidikan.Jakarta:Pustaka al-Husana.
Lapidus,I.M.1999.Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Maryam, Siti. 2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer.
Yogyakarta : LESPI SPI Sunan Kalijogo.
Mufrodi,Ali.1997.Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.Ciputat:Logos Wacana Ilmu.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Era Rasulullah
Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana
Syalabi,A.1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Jakarta:Pustaka al-Husna.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melajak Akar-
Akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Yatim,B.2008.Sejarah Peadaban Islam.Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai