Anda di halaman 1dari 13

PERDA SYARIAH DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

DAN RELIGIUSITAS UMAT DI INDONESIA

Efrinaldi
Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang
Jl. Jend.Sudirman No.15 Sumbar 25151
E-mail: Efrinaldi_74@yahoo.co.id.

Abstract: Islamic Local Regulations in the Perspective of Islamic Politics and Religious Society in Indonesia. After
reformation, the spectrum of political view in Indonesia has rapidly increased. One of the political progresses
signed by local regulations that regulate some aspects of Islamic teaching is regarded as Islamic regulation.
There are many regions and cities in Indonesia that applied the regulation, while other regions and cities have
been managing the same draft through the government and legislative assembly. To improve religiosity for
all, the coming Islamic-nuanced regulation is something needed significantly. In addition, implementation of
Islamic regulation in any places can encourage awareness to do the best things among communities. Islamic
legalization through Islamic regulation in public area, however, has indicated that Islam performs expressively.
In some regions, for instance, there is a regulation that forces Muslim people to wear Islamic clothing and to
read the Qur’an every day. The Motivation of undertaking this regulation is influenced by the theory of receptie
a contrario. Looking at that theory, all Muslims should apply and do Islamic teachings because they are obligated
to do that totally. Besides, there is no force for non-Muslim people compulsively to apply such Islamic teachings.
Keywords: Islamic local regulations, Islamic politics, religiosity, Indonesia

Abstrak: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam dan Religiusitas Umat di Indoesia. Pasca reformasi, politik
di Indonesia dalam perkembangannya melahirkan beberapa peraturan daerah yang mengatur beberapa aspek
dari ajaran Islam, sering diungkapkan sebagai perda bernuansa syariah. Paling tidak, sudah banyak kabupaten
dan kota di Indonesia yang telah menerapkan perda tersebut, di samping beberapa kabupaten dan kota yang
lain sedang menyiapkan draft serupa yang sedang digodok oleh badan eksekutif dan legislatif daerah tersebut.
Untuk meningkatkan aspek religiusitas umat, kehadiran perda yang bermuatan syariah terasa makin signifikan.
Implementasi perda syariah di beberapa daerah di Indonesia turut memicu tumbuhnya kesadaran masyarakat
Islam akan pengamalan agamanya. Pada aspek lain, legalisasi Islam di tengah ruang publik melalui perda-perda
syariah mengindikasikan Islam dapat tampil lebih ekspresif. Misalnya, di sebagian daerah lahir perda mengenai
kewajiban berbusana muslim dan muslimah bagi umat Islam dan perda mengenai kewajiban baca Alquran.
Motivasi lahirnya perda ini tidak terlepas dari kuatnya pengaruh teori receptie a contrario. Dalam teori ini, dapat
dipahami bahwa berlakunya syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, karena setiap muslim diwajibkan untuk
mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Di samping itu, tidak ada paksaan bagi penganut agama lain untuk
mengikuti hukum yang bukan hukum agama mereka.
Kata kunci: Perda syariah, politik Islam, religiusitas, Indonesia

Pendahuluan hukum dalam melaksan akan tugas-tugas


Pasca reformasi politik di Indonesia, muncul pemerintahan daerah. Secara substansif, perda
beberapa regulasi yang berkaitan dengan agenda berisi seperangkat aturan dan nilai-nilai yang
pembangunan hukum baru melalui institusi diyakini dapat memberikan arah dan pedoman
otonomi daerah. Peraturan daerah (perda) bagi para pemimpin daerah dalam melaksanakan
merupakan kristalisasi keinginan masyarakat pemerintahan, sehingga mampu membawa rakyat
setempat untuk memenuhi kebutuhan daerah, daerah pada kondisi yang aman, damai, dan
yang disalurkan melalui lembaga legislatif daerah. tenteram lahir maupun batin. Selain itu, perda
juga berfungsi sebagai instrumen pemerintahan,
Perda sebagai produk hukum pemerintahan
pemelihara serta untuk mempromosikan nilai
daerah, bisa dimaknai sebagai rambu-rambu
dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kultur

119 |
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

masyarakat daerah. Perda sebagai sebuah terpenting adalah mewujudkan keadilan sosial
kebijakan politik tidak dapat dilepaskan dari sebuah yang terformulasi dengan tindakan “menyeru
proses politik yang bisa saja dilatarbelakangi oleh kepada kebaikan dan mencegah kejahatan”
idealisasi politik pembuat kebijakan pada saat (al-amr bi al-ma`rûf wa al-nahy ‘an al-munkar).
itu. Penerapan suatu produk hukum lahir dari Namun, siapa saja yang menghendaki suatu
pengaruh kekuatan politik melalui proses politik tujuan, konsekuensinya harus mau melaksanakan
dalam institusi negara yang mempunyai otoritas cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam
politik. hal ini, Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328
Dalam prinsip otonomi internal right self M) menegaskan:
determination, hak daerah untuk memutuskan “Allah mewajibkan manusia untuk melakukan
nasibnya sendiri dan mengurus secara internal perintah berlaku makruf dan nahi munkar,
urusan di daerahnya, maka daerah berwenang keadilan, melaksanakan haji, melaksanakan
mengatur sendiri urusan rumah tangganya ter- salat-salat jamaah, dan memerangi orang-orang
yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana
masuk dalam kewenangan membentuk peraturan
kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan
daerahnya.1 Dengan adanya pasal 18 B UUD yang
imarah (kepemimpinan).”3
mengakui adanya pengakuan terhadap kekhususan
daerah, maka menjadi dasar konstitusional dari Oleh sebab itu, keberadaan negara sangat
pemberlakuan otonomi khusus. Otonomi khusus penting dalam rangka mengurus dan mengayomi
daerah Aceh merupakan kekhususan yang sangat masyarakat. Tanpa negara masyarakat tidak
istimewa karena dapat menerapkan sistem hukum akan mungkin mewujudkan cita-cita sosial
sendiri yang berbeda dengan penerapan syariat politik dan keadilan sosial, melaksanakan hukum
Islam di daerah lain pada umumnya. Islam, menciptakan sistem pendidikan Islam
dan mempertahankan kebudayaan Islam dari
Positivikasi syariat Islam kadangkala me-
penyelewengan-penyelewengan, baik dari dalam
nimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Pem-
maupun serangan-serangan dari luar. Negara
berlakuan perda bernuansa syariah pada masyarakat
yang tidak konstitusional dapat menyebabkan
sebenarnya merupakan bentuk resistensi terhadap
masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa
adat atau aturan yang dianggap tidak islami
yang kejam. Akhirnya Islam dianggap hanya ibadah
sekaligus apresiasi terhadap nilai-nilai luhur yang
(ritual) belaka dan ilusi semata. Selain itu, janji
hidup dalam masyarakat dalam menghadapi
Islam sebagai petunjuk bagi kebahagiaan manusia
tantangan zaman dan perkembangan modern.
di dunia dan akhirat belum dapat dibuktikan
Implementasi perda syariah di beberapa secara optimal.
daerah di Indonesia mengindikasikan munculnya
Menurut para politikus Muslim, keberadaan
kesadaran masyarakat Islam atas banyaknya
negara sangat penting dalam mengayomi
penggunaan hukum dari barat selama ini.2 Pada
masyarakat, dan dalam negara seyogianya prinsip-
aspek lain, legalisasi Islam di tengah ruang publik
prinsip dasar syariah diimplementasikan.4 Nilai-
melalui perda-perda tersebut juga dimaksudkan
agar Islam dapat tampil lebih ekspresif dan dinamis.
3
Taqy al-Dîn Abu al-Abbâs Ahmad ibn Taimiyah, Al-Siyâsah
al-Syar`iyah fi Ishlâh al-Râ’î wa al-Râ`iyah, (Maroko: Dâr al-Âfâq
Urgensi Negara dan Pemerintahan dalam al-Jadîdah, 1991), h. 149 dan E.I.J. Rosenthal, Political Thought
Islam in Medieval Islam, (Cambridge: Cambridge University Press,
1958), h. 53.
Dalam perspektif Fikih Siyasah (hukum 4
Syarîât (bentuk jamak/plural dari syarî’ah) diartikan
ketatanegaraan dalam Islam), tujuan Islam sebagai ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan
oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam
mencapai kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat.
1
Rega Felix, “Eksistensi Perda Syari’ah dalam Sistem Ketentuan syara’ itu terbatas dalam firman Allah dan sabda
Hukum Nasional”, dalam Jurnal Rega Felix, www.wordpress. Rasul. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam
com., posted 15 Desember 2011, diakses 3 Agustus 2014. Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 17. Atas dasar
2
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana, Penegakan wacana itulah, para ahli hukum Islam dalam konteks siyasah,
Syari’at dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani berpendirian bahwa kalâmullâh dan Sunah Rasul merupakan
Efrinaldi: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam

nilai syariat Islam direalisir dalam kehidupan akan lebih tepat dikatakan, kesejahteraan
berbangsa dan bernegara secara harmonis masyarakat universal di dunia dan akhirat.
dalam konteks pluralisme sosial. Karena secara Sedangkan ikatan antara penguasa dan rakyat
politis, syariah adalah sumber nilai yang memberi adalah berdasarkan atas dorongan batin, yakni
corak dari dinamika perkembangan politik dan keyakinan kepada Allah dan kehidupan akhirat
negara yang ideal yang dicita-citakan. Ini berarti nanti.
suatu keharusan membumikan syariat Islam Tugas-tugas suatu negara dalam konsepsi
menghendaki betapa urgennya pemerintahan Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas-
dalam Islam, yang ditegakkan dengan prinsip- tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh
prinsip syariah, yang mencakup nilai-nilai negara yang konstitusinya berdasar syariah.
keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan Tugas ini dirancang agar syariah terpelihara dan
masyarakat. 5 tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan-
Negara dalam pandangan Islam merupakan peraturannya ditaati. Misalnya mengurus
otoritas syariah terhadap seluruh manusia, baik pelaksanaan salat jamaah, pendistribusian
terhadap kalangan penguasa maupun terhadap zakat, melaksanakan hudud, menegakkan
massa rakyat, yang prinsip-prinsipnya dirumuskan keadilan (al-qadhâ’), mengawasi pasar (hisbah),
oleh Allah yang disampaikan oleh Nabi kepada menangani penyelewengan-penyelewengan di
manusia yang termaktub dalam Alquran dan sunah dalam timbangan dan ukuran, kesusilaan dan
serta dijabarkan dalam penafsiran-penafsiran kesopanan masyarakat, serta melaksanakan jihad
ulama, yang secara sosiologis ditegakkan oleh untuk memberantas kemunkaran dan kezaliman
kekuatan-kekuatan yang dipercayai. 6 Tujuan yang meresahkan masyarakat.8
negara itu adalah mewujudkan kesejahteraan,7 Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh
negara pada umumnya. Secara historis, ke dalam
diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibn
tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat
Taimiyah, misalnya, mencuat dengan karyanya “al-Siyâsah kepala negara, menteri, panglima, hakim, dan
al-Syar`iyah.” Demikian pula dengan tokoh yang lain, seperti lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur
al-Mawardi dengan “Al-Ahkâm al-Sulthâniyah”nya dan Ibn
Jamâ`ah (w. 1333) dengan karyanya “Tahrîr al-Ahkâm”.
lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan
5
Abd al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al Kâmilah, (Beirut: al- pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas
Mukhtâr al-Islâmî, 1994), h.120. di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas-
6
Negara pada dasarnya merupakan organisasi dalam suatu
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (high authority)
tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu
yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan demi kepentingan masyarakat. 9
bersama atas nama masyarakat (community). (Roger H. Soltau,
Kepala negara, dalam konsepsi Islam, di-
An Introduction to Politics, (London: Longmans, Green and Co.,
1961), h. 1. Lebih khas, bagi setiap muslim, negara itu adalah pilih berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi
alat (agency) untuk merealisasikan fungsinya sebagai khalifah tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi
di muka bumi, untuk mencapai keridhaan Allah kesejahteraan
jabatan kepala negara tersebut, selain memiliki
duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama
manusia dan alam lingkungannya. Kajian tentang “al-hukûmah syarat moral dan intelektual, adalah kejujuran
al-Islâmiyah” (format pemerintahan Islam) ini, lebih lanjut diulas (amânah); kecakapan atau mempunyai otorisasi
dalam Abd al-Qadîr Audah, al-A`mâl al Kâmilah,h. 119-135.
dalam mengelola negara dengan pengawasan-
7
Fazlur Rahman, “Implementation of the Islamic Concept
of State in the Pakistani Milleu, dalam Islamic Studies, (1967), h. pengawasan dari kelompok pemerintahannya
206 dikutip oleh John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam (quwwah); dan keadilan (‘adâlah)—sebagai
dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj., (Jakarta: manifestasi kesalehan.10
Rajawali Pers, 1991),h. 482-483. Dalam perspektif fikih siyasah,
tujuan etis yang menjadikan dasar pendirian sebuah negara
adalah penerapan hukum Islam secara utuh. Ini berarti bahwa 8
Abd al-Qadîr Audah, al-A`mâl al Kâmilah, h. 121 dan Ibn
kekuasaan pemerintah Islam diharapkan mampu meliputi Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah, h. 149.
seluruh cara dan segi kehidupan, baik masyarakat maupun 9
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
perseorangan, dengan aturan yang memenuhi tujuan etika History, edisi Inggeris terj. Franz Rosenthal, (Princeton:
keagamaan masyarakat Islam. Dengan demikian, jika nilai-nilai Princeton University Press, 1967), h. 448-65. Bandingkan
syari’ah sudah dilaksanakan, maka kesejahteraan universal dengan Abd. al-Qadîr Audah, al-A`mâl al Kâmilah, h. 260.
duniawi dan ukhrawi akan dapat diraih. Abd al-Qadîr Audah, al- 10
Kualifikasi pokok bagi jabatan kepala negara ini, dalam
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Karena itu, format suatu negara yang meng- Secara garis besar, dewasa ini ada beberapa
implementasikan nilai-nilai syariah dalam ke- spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda.
hidupan sosial merupakan suatu bentuk tata Sementara sama-sama mengakui pentingnya
politik dan kultural dengan prinsip-prinsip yang prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek ke-
permanen dan sistem yang dinamis. 11 Umat hidupan, keduanya mempunyai penafsiran
manusia dapat terhindar dari fluktuasi yang yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan
tak berkesudahan: dewasa, layu, hancur, dan kesesuaiannya dengan kehidupan modern dan
lahir kembali. Masyarakat dapat menghindari aplikasinya dalam kehidupan nyata.
perubahan-perubahan sejarah ini dengan meng- Pada ujung satu spektrum, beberapa
gunakan dan mentaati sistem sosio-kultural Islam, kalangan Islam beranggapan bahwa Islam
termasuk subsistem politiknya. harus menjadi dasar negara; bahwa syariah
harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa
Sketsa Pemikiran dan Dinamika Politik kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa
Islam di Indonesia gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari bertentangan dengan konsep ummah yang tidak
sejarah Islam yang multi interpretatif. Munculnya mengenal batas-batas politik atau kedaerahan;
berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam dan bahwa sementara mengakui prinsip syûrâ
menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multi (musyawarah), aplikasi prinsip itu berbeda
interpretatif.12 Watak multi interpretatif ini telah dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam
berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan
dalam sejarah. Selebihnya, hal yang demikian itu kata lain, dalam konteks pandangan semacam
juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam ini, sistem politik modern—di saat banyak negara
tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana dikatakan Islam yang baru merdeka telah mendasarkan
oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak bangunan politiknya—diletakkan dalam posisi
seharusnya dilihat secara monolitik. yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.
Pada aspek lain, hampir setiap orang Islam Pada ujung spektrum yang lain, beberapa
percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam kalangan Islam lainnya berpendapat bahwa Islam
dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori
karena sifat Islam yang multi interpretatif itu, negara atau sistem politik yang harus dijalankan
tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai oleh umatnya. Menurut aliran pemikiran ini,
bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan bahkan istilah negara (daulah) pun tidak dapat
secara pas. Bahkan, sejauh anggapan yang dapat ditemukan dalam Alquran. Meskipun terdapat
ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan berbagai ungkapan dalam Alquran yang merujuk
historisitas pemikiran dan praktik politik Islam, atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan
ada banyak pendapat yang berbeda mengenai politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-
hubungan Islam dan politik. 13 ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak
ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka,
al-Qadîr Audah, al-A`mâl al Kâmilah, h. 268-76 dan al-Ghazali, al- jelas bahwa Alquran bukanlah buku tentang ilmu
Mustazhiri, (Kairo: Nasyr, 1964), h. 68, yang terakhir ini dikutip
politik.
oleh Zainal A.Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral (Menurut Imam
al-Ghazali), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 267. Meski demikian, pendapat ini juga mengakui
11
M.M.Rabi, The Political Theory of Ibn Khaldun, (Leiden: bahwa Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran-
E.I.J. Brill, 1967), h. 24-26 dan A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan
dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun, (Jakarta: Gramedia, ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas
1992). sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran
12
Telaah historis-sosiologis yang panjang mengenai hal ini
dapat ditemukan. Antara lain, dalam Marshall G.S. Hodgson,
The Venture of Islam: Conscience and History in a World of Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh: Edinburgh University
Civilization, Volume I-III, (Chicago: University of Chicago Press, Press, 1960), Qamaruddin Khan, Political Concepts in the
1974). Quran,(Lahore: Islamic Book Foundation, 1982), Muhammad
13
Lihat: E.I.J. Rosenthal, Islam in the Modren National State, Asad, The Principles of State and Government in Islam, (Berkeley
Efrinaldi: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam

ini mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, universal cenderung menekankan kedaulatan


kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan”. Ilahi dalam prinsip tauhid yang menurut
Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat mereka membantu membebaskan manusia
demikian, sepanjang negara berpegang kepada dari kekuasaan-kekuasaan non Ilahi. Untuk
prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang membuat Islam sebagai kekuatan pembebas,
diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran-ajaran kaum universalis melihat perlunya Islam yang
Islam. dilembagakan. Menekankan keniscayaan adanya
Selain kategori general di atas, ada sementara lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk
kalangan yang menilai bahwa di Indonesia ada melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan
beberapa mainstream (arus utama) pemikiran sifat dasar dari formalisme Islam.
politik Islam. Arus utama ini dimaksudkan Di samping itu, ada pula arus yang cenderung
sebagai kategori analitik, karena itu tidak terlalu menekankan pentingnya tingkat makna substansial
menunjukkan perbedaan absolut antara ide-ide tertentu sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran
dan orientasi-orientasi dalam kerangkanya. formalistik. Karena itu, arus ini dapat disebut
Arus pertama dapat disebut formalistik/ substantivistik. Istilah ini dimaksudkan untuk
skripturalistik. Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang me-
mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang nekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-
mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari nilai Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar
bentuk-bentuk Islam yang formal. Orientasi politik manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide
formalistik di satu pihak menunjukkan bahwa maupun kelembagaannya. Bagi pendukung
kulturalisasi Islam harus ditransformasikan ke orientasi ini, yang lebih penting adalah eksistensi
dalam politisasi, yang kemudian memunculkan intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik
simbolisme Islam. Pemeliharaan secara formalis Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi
atas otentisitas bahasa wahyu bukan saja me- perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan
nunjukkan ikatan yang kuat pada skripturalisme- landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat
tradisionalis, di samping mempertahankan ke- Indonesia modern.
cenderungan fundamentalis untuk menekankan Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi
konsep skriptural Islam, walaupun tanpa dibarengi budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang
kesesuaian dengan bentuk-bentuk lembaga dan dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir
ide-ide modern. yang menekankan pentingnya memperhatikan
Formalisme Islam nampak menggabungkan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami
penafsiran literal atas kitab suci. Sama-sama Islam), yang telah berupaya memperhatikan
menekankan skripturalisme tradisional di satu cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia,
pihak, dan pihak lain menekankan kecenderungan yang membedakan secara jelas antara Islam
fundamentalis yang menekankan konsep skriptural dan negara. Salah seorang pencetus indigenisme
Islam, walaupun bukan dalam pengertian konsep- adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU, yang
konsep syariah yang dapat dipahami secara ketika pada awal tahun 80-an terkenal karena
tradisional. Namun demikian, tidak sesuai dengan gagasannya tentang “pribumisasi Islam” dalam
bentuk-bentuk dari ide-ide dan lembaga-lembaga menghadapi kultur Indonesia. Ide ini didasarkan
modern. pada postulat pluralisme masyarakat Indonesia,
di mana Islam hanya berfungsi sebagai salah
Beberapa unsur dari formalisme Islam
satu faktor komplementer bagi bangsa Indonesia
moderat terlihat misalnya dalam ide-ide intelektual
secara keseluruhan. Dalam hubungan ini, penting
universalis. Pengelompokan ini memasukkan
bagi umat Islam mengembangkan kesadaran
Amien Rais ke dalam kelompok universalis. Di
kebangsaan. Karena menurutnya, atas dasar
samping Amien, Jalaluddin Rakhmat dan AM.
kesadaran ini negara Indonesia didirikan.
Saefuddin termasuk ke dalamnya. Universalisme
Islam mendukung pandangan bahwa hakikat Islam Arus utama lainnya dewasa ini adalah
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

dikemukakan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (India, sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki
1899-1981). Inti utama dari pemikiran Islam Liberal, konstitusi tertulis pertama di dunia (piagam
menurut hasil penelitian Leonard Binder, Alquran Madinah), Nabi Muhammad saw sudah bertindak
itu bahasa wahyu namun demikian makna dan sebagai kepala negara, yang selain mengangkat
esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat verbal. pejabat-pejabat negara juga menjalankan hukum-
Sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak hukum (syariat) Islam terhadap seluruh warga
terbatas pada kata-kata yang terungkap dalam negara. Realitas di Indonesia juga begitu banyak
Alquran, dan untuk memahaminya melalui usaha syariat Islam yang sudah diatur oleh negara,
yang didasarkan kata-kata, tetapi penafsirannya seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
dapat melampauinya sehingga menemukan arti UU Pokok Perbankan, UU Zakat, UU Haji, dan
sebenarnya. sebagainya. Begitu pula kemunculan gerakan-
Maraknya gagasan Islam Liberal di Indonesia— gerakan militan Islam di Indonesia, seperti Laskar
yang menurut Fauzan al-Anshari merupakan Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir yang menguat, bisa
kelanjutan petualangan pemikiran Nurcholis dimaknai sebagai partisipasi mereka untuk terlibat
Madjid 14—sebagai alternatif wacana Islam, merebut simpati publik.
merupakan konsekuensi penolakan terhadap
politisasi agama, seiring dengan berkembangnya Reposisi Perda Syariah dalam Sistem
gerakan Islam “militan” dan politisasi agama. Hukum Nasional
Penegakan syariah Islam misalnya, kasus pe- Mengacu kepada prinsip otonomi internal
nerapan hukum rajam pada anggota Laskar right self determination, yang dimaknai sebagai
Jihad yang dilakukan oleh kelompok itu sendiri hak daerah untuk memutuskan nasibnya sendiri
merupakan indikasi menguatnya gerakan Islam dan mengurus secara internal urusan di daerahnya,
militan15 dan adanya keinginan untuk memasukkan maka daerah mempunyai otoritas untuk mengatur
syariat Islam ke dalam UUD dalam proses sendiri urusan rumah tangganya, termasuk dalam
amandemen UUD 1945. Kehadiran Islam Liberal kewenangan membentuk peraturan daerah.17
juga merupakan protes dan perlawanan terhadap Berdasarkan pasal 18 B UUD yang mengakui adanya
dominasi Islam ortodoks. pengakuan terhadap kekhususan daerah, maka
Dalam hubungan Islam dan negara, bagi menjadi dasar konstitusional dari pemberlakuan
Islam Liberal urusan negara adalah semata-mata otonomi khusus. Misalnya, otonomi khusus daerah
urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau Aceh, yang berimplikasi bagi adanya kekhususan
kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang yang sangat istimewa karena dapat menerapkan
bentuk pemerintahan manusia.16 Argumen lainnya sistem hukum sendiri yang berbeda dengan
adalah Nabi tak pernah menyatakan secara tegas penerapan syariat Islam di daerah lain pada
bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah umumnya. Dalam sistem hukum nasional, semua
memiliki pola politik tertentu. Hubungan Islam komponen hukum yang ada itu harus mencapai
dan negara menurut pandangan ini adalah bahwa suatu kesatuan tujuan hukum nasional, tidak
Islam tidak secara jelas mengungkap masalah dibenarkan ada yang menyimpang dari tujuan
konsep negara, dan urusan negara adalah urusan hukum nasional tersebut. Sistem Hukum Nasional
duniawi serta tidak diatur oleh agama. pada NKRI berdasarkan pada Pancasila dan UUD
Berseberangan dengan ini, kelompok Islam 1945, dan setiap bidang hukum merupakan bagian
Literal jelas keberatan dengan pandangan ini. dari sistem hukum nasional. Dengan demikian,
Kelompok Islam Liberal ditandaskan tidak melihat Pancasila merupakan dasar negara RI sekaligus
realitas sejarah. Dalam pandangan Islam Literal, sumber hukum dan untuk mencapainya dilakukan
dalam kerangka UUD 1945.18
14
Fauzan al-Anshary, Koreksi atas Tafsir Liberal Syari’at
Islam, Republika, 31 Agustus 2001. 17
Rega Felix, “Eksistensi Perda Syari’ah dalam Sistem
15
Gatra, No. 24, April 2001. Hukum Nasional”, dalam Jurnal Rega Felix, www.wordpress.
16
Luthfi As-Syaukani, Pengantar Wajah Islam Liberal di com., posted 15 Desember 2011, diakses 3 Agustus 2014.
Efrinaldi: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam

Menoleh pada hakikat makna sila pertama nasional. Dalam proses pembentukan perda
dari Pancasila, sebenarnya berpangkal kepada syariah tersebut harus selalu memperhatikan
keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal perundang-undangan nasional, penerapan asas-
yang ada di dalamnya, sebagai suatu keseluruhan asas dalam syariat Islam itu dapat diterapkan
yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh secara eklektis, dalam artian harus dipilah-pilah
Tuhan Yang Maha Esa (YME), termasuk manusia nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD
diciptakan oleh Tuhan YME. Manusia berasal dari 1945 dan perundang-undangan lainnya. Penerapan
Tuhan dan tujuan akhir dari kehidupan adalah perda syariah itu jangan sampai menyebabkan
untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu, ketidakteraturan sistem hukum nasional yang jauh
bertakwa dan mengabdi kepada Tuhan menjadi dari tujuan hukum nasional sehingga berdampak
kewajiban manusia. Manusia berkewajiban men- bagi disintegrasi dari kesatuan negara RI.
jalankan setiap perintah-perintah Tuhan YME. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.
Dalam pandangan Islam, kewajiban warga 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
negara sebagai seorang Muslim merupakan Perundang-undangan dijelaskan mengenai jenis
tanggungjawabnya untuk patuh terhadap syariat dan hierarki peraturan perundang-undangan
Islam, sedangkan bagi non muslim berkewajiban terdiri atas:
untuk menghormatinya. Karena itu, ia harus patuh
a. Undang-undang Dasar Negara Republik
terhadap hak dan kewajiban masing-masing
Indonesia Tahun 1945
secara pribadi, dan pemerintah berkewajiban
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk menegakkan aturan-aturan tersebut
agar syariat Islam yang merupakan dambaan c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah
seluruh masyarakat dapat berjalan sebagaimana Pengganti Undang-Undang
diharapkan. Tujuan terpenting dari dimensi d. Peraturan Pemerintah
kesalehan sosial dalam Islam ialah supaya umat e. Peraturan Presiden
secara organisatoris berusaha menegakkan dan f. Peraturan Daerah Provinsi
melaksanakan yang makruf dan mencegah serta
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
menghancurkan kemunkaran (al amr bi al-ma`rûf
wa al-nahy `an al-munkar). Penerapan syariat Akseptabilitas peraturan perundang-undangan
Islam dari sudut pandang ini dapat dikatakan negara terhadap keberadaan hukum syariah
sebagai konkritisasi dari sila pertama Pancasila memerlukan format atau bentuk hukum tertentu
yaitu menjalankan perintah-perintah Tuhan YME yang disepakati bersama, dimana Peraturan
dengan penuh ketaatan. 19 Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan
aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi
Implementasi sila pertama dari Pancasila
khusus dari daerah yang bersangkutan. Mengacu
itu harus tetap memperhatikan asas-asas lain
pada prinsip lex superiore derogat lex infiriore,
dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan,
maka secara hirarkis peraturan perundang-
asas kepatutan, dan asas keselarasan. Penerapan
undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh
perda syariah, dengan demikian, harus tetap
bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya
menjaga keharmonisan sistem hukum nasional
lebih tinggi.20
yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Ini
berarti, pelaksanaan syariat Islam di Aceh maupun Dengan demikian, penerapan perda syariah
perda-perda bernuansa syariah di daerah lainnya berdasarkan prinsip otonomi khusus dapat di-
mesti dalam kerangka NKRI. Pembentukan perda lakukan selama berada dalam kerangka sistem
syariah, baik secara materiil maupun formil tetap hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
mengacu pada peraturan perundang-undangan UUD 1945. Dalam pembentukan perda syariah
nasional. Dengan demikian, perda syariah tersebut dapat menerapkan syariat Islam itu secara eklektis
mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum
Aulia Rahmat, Reaktualisasi Nilai Islam dalam Budaya
20

Minangkabau Melalui Kebijakan Desentralisasi,http://www.


MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

ke dalam perda tersebut dengan memperhatikan kehadiran perda yang bermuatan syariah ini terasa
perundang-undangan nasional yang berlaku. makin signifikan. Implementasi perda syariah di
beberapa daerah di Indonesia turut memicu
Perda Syariah dan Religiusitas Umat di tumbuhnya kesadaran masyarakat Islam akan
Indonesia pengamalan agamanya.
Pasca reformasi politik di Indonesia tampak Pada aspek lain, legalisasi Islam di tengah
banyak respons dan jawaban pemerintah ter- ruang publik melalui perda-perda syariah
hadap desakan arus demokratisasi dan reformasi mengindikasikan Islam dapat tampil lebih ekspresif.
sistem hukum di Indonesia, antara lain lahir Misalnya, di sebagian daerah lahir perda mengenai
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang kewajiban berbusana muslim dan muslimah bagi
Pemerintahan Daerah. Selaras dengan itu, mulai umat Islam dan perda mengenai kewajiban baca
bermunculan inisiatif-inisiatif di beberapa daerah Alquran. Motivasi lahirnya perda ini tidak terlepas
di Indonesia untuk mengembangkan potensi dari kuatnya pengaruh teori receptie a contrario.24
daerah, mulai dari hingar-bingar pemilihan kepala Dalam teori ini, dapat dipahami bahwa berlakunya
daerah hingga membentuk corak dan identitas syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, karena
daerah masing-masing.21 Regulasi otonomi daerah setiap muslim diwajibkan untuk mengamalkan
memberi peluang dan harapan bagi tumbuhnya
24
Debatable tentang persoalan ini sebenarnya mengacu
gagasan, kreativitas, dan kebebasan untuk
pada kompleksitas perbincangan dalam teori mengenai
mengembangkan potensi daerah. 22 Tampak dominasi dan otoritas suatu regulasi, yang bahkan sudah
implikasi yang real pada beberapa Kota, berkembang sejak zaman kolonial Belanda, yaitu teori receptie
in complexu, teori receptie, dan receptie a contrario. Teori
Kabupaten, dan Provinsi di Indonesia sebagai
receptie in complexu dikemukakan oleh Van den Berg dan
ekses dari kebijakan desentralisasi tersebut, Salomon Keyzer, yang menyatakan bahwa syari’at Islam secara
terutama penduduknya yang mayoritas beragama keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Ratno Lukito,
Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS,
Islam, menghendaki penerapan syariat Islam
1996), h. 44 dan lihat juga: Sajuti Thalib, Receptio A Contrario
secara formal untuk dituangkan dalam peraturan (Jakarta: Academica, 1980), h. 5-7. Implikasi dari teori ini,
daerah, selain juga sebagai suatu bentuk resistensi maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan
Peradilan Agama yang ditujukan kepada warga masyarakat
nilai-nilai luhur yang sesuai dengan kultur, yang
yang beragama Islam.
hidup dalam masyarakat dalam menghadapi Dalam perkembangannya, teori receptie in complexu
tantangan zaman. ini ditentang oleh van Vollenhoven, Ter Haar, dan Snouck
Hurgronje sebagai penggagas teori baru yaitu teori receptie,
Dalam perkembangan di beberapa daerah yang menandaskan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan
lahir beberapa peraturan daerah yang mengatur selama tidak bertentangan dengan hukum adat. Dalam teori
beberapa aspek dari ajaran Islam, yang sering ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima)
terlebih dahulu oleh hukum adat. Ratno Lukito, Pergumulan
diungkapkan sebagai perda bernuansa syariah. Hukum Islam..., h. 43; Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan
Paling tidak, sudah banyak kabupaten dan kota di Snouck Hurgronje IV, terj. (Jakarta: INIS, 1996); Snouck
Indonesia yang telah menerapkan perda tersebut, Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, terj. (Jakarta:
INIS, 1996), Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj.
di samping beberapa kabupaten dan kota yang (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), Cet. ke-2; Lihat juga
lain sedang menyiapkan draft yang serupa, dalam Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch-Indie
yang sedang digodok oleh badan eksekutif dan (Leiden: E.J. Brill, 1931). Munculnya teori ini secara berurutan
tampak juga sebagai sebuah hasil refleksi terhadap eksistensi
legislatif daerah tersebut. 23 kolonialisasi Belanda di Indonesia.
Untuk meningkatkan aspek religiusitas umat, Debatable berikutnya sebagai kontra terhadap teori
receptie, muncul teori receptie a contrario yang digagas
oleh Sajuti Thalib. Lahirnya teori ini sebenarnya merupakan
21
Nelti Anggraini, Membaca Partisipasi Publik dalam pengembangan dari teori Hazairin, yang secara substantif
Mendorong Lahirnya Produk Undang-undang Berdimensi Agama menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah
di Sumatera Barat, dalam http://www.neltianggraini.blogspot. hukum agamanya, lihat: Hazairin, Tujuh Serangkai tentang
com., posted 13 April 2011, diakses 5 Juli 2014. Hukum, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1974). Atas dasar itu,
22
Sudarsono Hardjosoekarto, Hubungan Pusat dan hukum adat dapat berlaku kalau tidak bertentangan dengan
Daerah dalam Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi hukum Islam. Selain terhadap perkembangan Peradilan Agama,
Daerah, dalam http://www.downloadjournal.blogspot.com., teori receptie a contrario Sajuti Thalib dan Hazairin semakin
03/03/2008, diakses 3 Mei 2014. kuat pengaruhnya terhadap dinamika formalisasi hukum Islam
Efrinaldi: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam

ajaran Islam secara kaffah, dan tidak ada paksaan berpakaian atau berbusana, seperti keharusan
dan kewajiban bagi penganut agama lain untuk mengenakan jilbab dan berpakaian menutup
mengikuti hukum yang bukan hukum agama aurat.
mereka. Konsekwensi logis dari penerapan teori Munculnya perda syariah ini berdampak pada
receptie a contrario adalah adanya personalitas peningkatan religiusitas umat. Ditinjau dari isu
keagamaan.25 yang melatarbelakanginya, perda syariah memberi
Perda syariah sebagai bagian dari peningkatan solusi di tengah masyarakat yang mengalami
religiusitas umat, dalam dinamika peraturan distorsi nilai-nilai religius. Meskipun, bagi kalangan
daerah, dapat diklasifikasikan kepada empat tertentu dari sebagian elit politik di daerah,
kategori berdasarkan substansi yang diatur dalam situasi ini ditarik menjadi komoditas politik yang
perda tersebut.26 Pertama, perda yang terkait isu marketable.
moralitas masyarakat secara umum. Perda dalam
kategori ini antara lain, perda anti pelacuran dan Perda Syariah dalam Perspektif Sosial
perzinaan. Perda kategori ini, sering juga disebut Budaya di Sumatera Barat
perda anti kemaksiatan. Peraturan daerah bernuansa syariah di
Kedua, perda yang mengatur tentang model Sumatera Barat muncul selalu dikaitkan dengan
dan tata cara berpakaian (fashion). Perda kategori faktor sosial budaya masyarakat Minangkabau,
ini, misalnya perda tentang keharusan berbusana yang terkenal dengan falsafah “adat basandi
muslim dan muslimah di tempat-tempat tertentu. syara’, syara’ basandi Kitabullah.” Ajaran Islam
Perda fashion ini tampak sangat tipikal Islam, sangat kuat dan jalin berkelindan dengan kultur
sehingga orang mudah mengidentifikasinya masyarakat Minang. Konsistensi masyarakat
sebagai perda syariah. Minang juga tampak dalam melaksanakan dan
Ketiga, perda yang menyangkut keterampilan mematuhi ketentuan adat Minangkabau tersebut.
beragama, seperti keharusan bisa baca tulis Aspirasi masyarakat tentang penerapan
Alquran. Dalam sebagian perda ini, diatur syariat Islam di jalur politik dalam bentuk perda
keterampilan baca tulis Alquran tersebut di- ini, kadangkala muncul persepsi yang berbeda dari
masukkan dalam syarat nikah. yang diinginkan masyarakat. Dalam aspirasi dan
Keempat, perda yang terkait persoalan persepsi masyarakat umum, penegakan syariat
pemungutan dana sosial dari masyarakat. Islam dimaksudkan pelaksanaan ajaran-ajaran
Misalnya, perda yang mengatur tentang zakat, agama secara maksimal, dengan pendekatan
infak, dan sedekah. kultural substansial. Sementara itu, bagi sebagian
Pada sisi lain, kemunculan perda-perda ber- elit di daerah, penegakan syariat Islam dalam
nuansa syariah dalam peningkatan religiusitas bentuk perda lebih menjadi sarana sosialisasi
umat, dari aspek muatan materinya perda syariah dan komoditas politik yang layak jual.
dikategorikan kepada tiga isu sentral.27 Pertama, Ditinjau dari perspektif politik, isu penerapan
perda menyangkut masalah sosial, seperti syariat Islam pada masyarakat Minangkabau
pelacuran, minuman keras, dan kriminalitas. merupakan salah satu lahan empuk yang bisa
Kedua, perda terkait masalah keterampilan dimanfaatkan sebagai jalan untuk mengambil hati
atau ketertiban beragama, seperti baca Alquran dan kepercayaan publik. Proses pembahasan legal
dan salat berjamaah. Ketiga, perda terkait cara draft kristalisasi nilai-nilai syariah dalam ketentuan
hukum positif ini mengalami proses panjang
dan berkelanjutan. Peranan pemerintah dalam
25
Aulia Rahmat, Reaktualisasi Nilai Islam…, h. 23.
mewujudkan dan melaksanakan ketentuan ini,
26
Rumadi, Empat Kategori Perda Agama, dalam http://
www. rumadi.google.com., posted 28/12/2009, diakses 11 sedikit banyak kadangkala menimbulkan beberapa
November 2014. hal yang kontroversial bagi sebagian masyarakat.28
27
Ahmad Suaedy, Perda Bernuansa Agama dan Masa
Depan Demokrasi Indonesia, Sebuah Sketsa, http://www. Munculnya perda syariah ini di Sumatera
ahmadsuaedy.google.com., posted 28/12/2009, diakses 18
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Barat sudah barang tentu bersinggungan Provinsi Sumatera Barat No. 7/ 2005 tentang
dan mempunyai hubungan yang erat dengan pandai baca tulis Alquran dan instruksi
kepentingan yang hendak diakomodir daerah ini. Walikota Padang nomer 451. 422/ Binsos.
Kemunculan Perda bernuansa syariah menjadi III/2005 tentang pelaksanaan wirid remaja,
sangat menarik untuk dicermati, karena terkait didikan subuh, dan anti togel/ narkoba serta
substansi dari ide-ide utama yang memunculkan berpakaian muslim/ muslimah bagi murid/
Perda tersebut. Perda sebagai sebuah kebijakan siswa SD/ MI/ SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA
publik tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses di Kota Padang.
politik yang—dapat saja—dilatar belakangi 3. Perda tentang Zakat
oleh idealisasi pembuat kebijakan politik. 29
Perda Kota Solok Nomor 13 Tahun 2003,
Pembentukan produk hukum lahir dari pengaruh
Perda Kabupaten Solok Nomor 13 Tahun
kekuatan politik melalui proses politik dalam
2003, Perda Kabupaten Pesisir Selatan
institusi negara yang mempunyai otoritas politik.
Nomor 31 Tahun 2003, Perda Kabupaten 50
Di beberapa daerah kabupaten dan kota di Kota Nomor 26 Tahun 2003 dan Perda Kota
Sumatera Barat, muncul beberapa perda yang Bukittinggi Nomor 29 Tahun 2004, dan Perda
terkait soal moralitas dan keagamaan. Berdasarkan Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 2008.
muatan hukumnya dapat diklasifikasikan sebagai
4. Berkaitan dengan Moralitas
berikut: 30
Perda Kota Bukittinggi Nomor 20 Tahun 2003,
1. Perda yang terkait dengan fashion dan mode
Perda Kabupaten Padang Pariaman Nomor
pakaian
2 Tahun 2004, Perda Kota Solok Nomor 6
Perda Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun Tahun 2005, Perda Kabupaten Pesisir Selatan
2003, Perda Kabupaten 50 Kota Nomor 5 Nomor 4 Tahun 2006 dan Perda Kota Padang
Tahun 2003, Perda Kabapaten Sawahlunto/ Panjang Nomor 3 Tahun 2004.
Sijunjung Nomor 2 Tahun 2003, Perda
Kabupaten Agam Nomor 6 Tahun 2005, Perda Penutup
Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun
Untuk meningkatkan aspek religiusitas umat,
2005.
kehadiran perda yang bermuatan syariah ini terasa
2. Perda yang terkait dengan keterampilan makin signifikan. Implementasi perda syariah di
beragama beberapa daerah di Indonesia turut memicu
Perda Kabupaten 50 Kota Nomor 6 Tahun tumbuhnya kesadaran masyarakat Islam akan
2003, Perda Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pengamalan agamanya. Munculnya perda syariah
Nomor 1 Tahun 2003, Perda Kota Padang ini berdampak pada peningkatan religiusitas umat.
Nomor 6 Tahun 2003, Perda Kabupaten Ditinjau dari isu yang melatarbelakanginya,
Pasaman Nomor 21 Tahun 2003, Perda perda syariah memberi solusi di tengah
Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8 Tahun masyarakat yang mengalami distorsi nilai-nilai
2004 dan Perda Kabupaten Agam Nomor religius. Meskipun, bagi kalangan tertentu dari
5 Tahun 2005. Selain itu, ada juga Perda sebagian elit politik di daerah, situasi ini ditarik
menjadi komoditas politik yang marketable. Pada
29
Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum
Indonesia, dalam http://hamdanzoelva.wordpress.com/hukum- aspek lain, legalisasi Islam di tengah ruang publik
dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia /html, posted melalui perda-perda syariah mengindikasikan Islam
20/02/2008, diakses 20 Oktober 2014. dapat tampil lebih ekspresif.
30
Nelti Anggraini, Membaca Partisipasi Publik dalam
Mendorong Lahirnya Produk Undang-undang Berdimensi Agama Dalam proses pembentukan perda syariah
di Sumatera Barat, dalam http://neltianggraini.blogspot. tersebut, harus selalu memperhatikan perundang-
com/, akses tanggal 23 April 2011, dikutip dari Aulia Rahmat,
Reaktualisasi Nilai Islam…, h. 8. Lihat juga: Makmur Syarif,
undangan dan penerapan asas-asas dalam syariat
Dinamika Hukum Islam di Sumatera Barat, makalah, dalam Islam yang dapat diterapkan secara eklektis, dalam
Seminar Nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial Fakultas artian harus dipilah-pilah nilainya sehingga tidak
Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang, Grand Sari Hotel, 20
bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan
Efrinaldi: Perda Syariah dalam Perspektif Politik Islam

peraturan perundang-undangan lainnya. Karena Jakarta: Citra Publika Press, 2008.


Perda syariah mempunyai kedudukan di dalam Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or
sistem hukum nasional, maka penerapannya Reality?, terj. Alwiyah Abdurrahman, Bandung:
jangan sampai menyebabkan ketidakteraturan Mizan, 1994.
sistem hukum nasional, yang jauh dari tujuan Felix, Rega, “Eksistensi Perda Syari’ah dalam
hukum sehingga berdampak bagi disintegrasi Sistem Hukum Nasional”, dalam Jurnal
kesatuan negara RI. Rega Felix, www.wordpress.com., posted
Akseptabilitas peraturan perundang-undangan 15 Desember 2011, diakses 3 Agustus 2014.
negara terhadap keberadaan hukum syariah Fromm, Erich, Escape from Freedom, London:
memerlukan format atau bentuk hukum tertentu Routledge and Kegan Paul, 1942
yang disepakati bersama, dimana Peraturan Hardjosoekarto, Sudarsono, Hubungan Pusat
Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan
aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, dalam
khusus dari daerah yang bersangkutan. Mengacu http://www.downloadjournal.blogspot.com.,
pada prinsip lex superiore derogat lex infiriore, 03/03/2008, diakses 3 Mei 2014.
maka secara hirarkis peraturan perundang- Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam:
undangan yang tingkatannya di bawah tidak Conscience and History in a World of
boleh bertentangan dengan peraturan yang Civilization, Volume I-III, Chicago: University
tingkatannya lebih tinggi of Chicago Press, 1974.
Hurgronje, Snouck, Aceh, Rakyat dan Adat
Pustaka Acuan Istiadatnya, terj. Jakarta: INIS, 1996.
Ahmed, Akbar S. & Hastings Donnan, Islam, Hurgronje, Snouck, Kumpulan Karangan Snouck
Globalization, and Postmodernity, London: Hurgronje IV, terj. Jakarta: INIS, 1996.
Routledge, 1994. Khan, Qamaruddin, Political Concepts in the Quran,
Anggraini, Nelti, Membaca Partisipasi Publik dalam Lahore: Islamic Book Foundation, 1982.
Mendorong Lahirnya Produk Undang-undang Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj al-, Al-Sunnah Qabla
Berdimensi Agama di Sumatera Barat, dalam al-Tadwîn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1963.
http://www.neltianggraini.blogspot.com., Lewis, Bernard, The Political Language of Islam,
posted 13 April 2011, diakses 5 Juli 2014. London: The University of Chicago Press, 1988.
Asad, Muhammad, The Principles of State and Lukito, Ratno, Pergumulan Hukum Islam dan Adat
Government in Islam, Berkeley and Los di Indonesia, Jakarta: INIS, 1996.
Angeles: University of California Press, 1961. Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Syari’at Islam Keindonesiaan, Bandung: Mizan,1987.
Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Mahzar, Armahedi, Integralisme, Sebuah
Bintang,1966. Rekonstruksi Filsafat Islam, Bandung: Pustaka,
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Fikih Islam, Mempunai 1983.
Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
As-Syaukani, Luthfi, Pengantar Wajah Islam Liberal Rahman, Fazlur, Mayor Themes of the Qur’an.
di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002 Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica,
Benson, Purnell Handy, Religion in Contemporary 1980.
Culture. New York: Harper and Brothers, 1960. Rahman, Fazlur, “Toward Reformulating the
Effendy, Edy A. (ed.), Dekonstruksi Islam, Mazhab Methodology of Islamic Law”, dalam
Ciputat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, International Law and Politics, vol. 12, 1972.
1999. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity:
Efrinaldi, Fikih Siyasah, Dasar-dasar Pemikiran Transformation of an Intellectual Tradition,
Politik Islam. Jakarta: Granada Press, 2007. Chicago: Chicago University Press, 1980.
Efrinaldi, Rekonstruksi Pemikiran Politik Islam. Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History,
MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Karachi: Institute of Islamic Research,1965 Syarif, Makmur, “Dinamika Hukum Islam di


Rahmat, Aulia, Reaktualisasi Nilai Islam dalam Sumatera Barat”, Makalah, dalam Seminar
Budaya Minangkabau Melalui Kebijakan Nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial
Desentralisasi, http://www.auliar ahmat. Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang,
wordpress.com., diakses 7 Juni 2014. Grand Sari Hotel, 20 November 2012.
Rosenthal, E.I.J., Political Thought in Medieval Taimiyah, Taqy al-Dîn Abu al-Abbâs Ahmad ibn,
Islam, Cambridge: Cambridge University Press, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fi Ishlâh al-Râ`î wa al-
1958. Râ`iyah. Maroko: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1991.
Rosenthal, E.I.J., Islam in the Modren National Thalib, Sajuti, Receptio A Contrario, Jakarta:
State, Cambridge: Cambridge University Academica, 1980.
Press,1965. Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought,
Rumadi, Empat Kategori Perda Agama, dalam Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960
http://www. rumadi.google.com., posted Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam,
28/12/2009, diakses 11 November 2014. Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana, Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.
Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Zoelva, Hamdan, Hukum dan Politik dalam Sistem
Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Hukum Indonesia, dalam http://hamdanzoelva.
Suaedy, Ahmad, Perda Bernuansa Agama dan Masa wordpress.com/hukum-dan-politik-dalam-
Depan Demokrasi Indonesia, Sebuah Sketsa, sistem-hukum-indonesia /html, posted
http://www.ahmadsuaedy.google.com., posted 20/02/2008, diakses 20 Oktober 2014.
28/12/2009, diakses 18 September 2014.

Anda mungkin juga menyukai