Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi seperti ini perekonomian masyarakat semakin

terpuruk karena persaingan dari pihak-pihak yang berkuasa sehingga

mereka akan melakukan pekerjaan apapun untuk bisa menafkahi

keluarganya. Tak jarang pekerjaan yang dilakukan menimbulkan risiko

yang berbahaya karena beratnya beban kerja yang mereka tanggung.

Kelelahan merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang

secara umum terjadi pada setiap individu yang tidak sanggup lagi

melakukan aktivitasnya. Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan

tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi

pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan

kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara

pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan

tubuh. Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu kelelahan otot dan

kelelahan umum. Secara umum kelelahan dapat dimulai dari yang sangat

ringan sampai perasaan sangat melelahkan.

Beban kerja setiap jenis pekerjaan berbeda-beda tergantung pada

jenis dan lama pekerjaannya. Beban kerja yang diterima seseorang harus

sesuai terhadap kemampuan fisik dari pekerja tersebut. Kemampuan kerja

1
2

seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat

tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi,

jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan

(Tarwaka,2015).

PT. Djitoe Indonesia Tobako merupakan perusahaan yang bergerak

di bidang pemproduksian rokok yang terletak di Jl. LU. Adisucipto No. 51,

Solo, Jawa Tengah. PT. Djitoe Indonesia Tobako memiliki bagian-bagian

antara lain bagian linting 1 dan 2, Packing SKT 1 dan 2, Sortir, Packing

SKM 1 dan 2, Making SKM, Prossesing (saos), dan Mesin Scrub. Peneliti

memilih bagian Linting 1 dan 2 dikarenakan berdasarkan survei

pendahuluan yang dilakukan oleh Balai Pelatihan dan Pengujian

Keselamatan Kerja dan Hiperkes (2013) di bagian pelintingan manual 1

dan pelintingan manual 2, tenaga kerja melakukan pekerjaan melinting

rokok secara manual. Pekerjaan ini termasuk jenis pekerjaan yang

memerlukan ketelitian, sehingga membutuhkan intensitas penerangan yang

sesuai dengan standar. Pada ruang bagian pelintingan manual

menggunakan penerangan buatan (lampu). Intensitas penerangan di ruang

bagian pengepakan kurang dari standar yaitu bagian pelintingan manual 1

dengan rerata 44 Lux dan bagian pelintingan manual 2 dengan rerata 50

Lux, secara teori kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan mata pada

tenaga kerja pelintingan manual karena nilai rerata kedua bagian di bawah

standar ( Firdha 2014 ).


3

Revised NIOSH Lifing Equation​,1994,seperti yang akan

didiskusikan secara khusus pada bab setelah ini, menyediakan

pedoman/pentujuk praktis untuk mengevaluasi pekerjaan mengangkat dan

menurunkan objek kerja secara manual dengan kedua tangan. Hal tersebut

menjelaskan suatu batas angkat yang direkomendasikan (​Recommended

Weight Limit – RWL​). Sebagai suatu berat beban yang seluruh tenaga kerja

yang sehat akan dapat mengangkat selama periode waktu kerja 8 jam /hari

tanpa meningkatkan resiko kerja pada pingang. Berat beban maksimum

yang diangkat dengan kedua tangan di bawah kondisi ideal adalah 23 kg

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)​, tetapi

bagi orang Indonesia dapat dikoreksi mengurangi 10-20% dari

rekomendasi ​NIOSH tersebut, sehingga beban angkat maksimum bagi

orang Indonesia dewasa lebih ± 20 kg untuk pekerjaan yang sering

dilakukan (Tarwaka, 2015).

Berdasarkan data ​International Labour Organization (ILO) tahun

2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan

kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya

(2012) ILO mencat atat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan

penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun

(Kemenkes RI, 2014).

Menurut data Jamsostek angka kecelakaan kerja setiap tahunnya

terus meningkat dimana pada tahun 2010 terdapat 98.711 kasus


4

kecelakaan kerja, pada tahun 2011 meningkat 0,8% atau terdapat 99.491

kasus kecelakaan kerja. Kemudian pada tahun 2012 meningkat lagi

menjadi 103.074 kasus. Tahun 2013 BPJS Ketenagakerjaan mencatat telah

terjadi sekitar 129.911 kasus kecelakaan kerja, dan tahun 2014 yang terjadi

105.383 kasus.

Data yang diperoleh dari pusat data dan informasi (Pusdatin)

ketenagakerjaan Provinsi Lampung pada tahun 2015 didapatkan jumlah

kecelakaan akibat kerja di provinsi Lampung sebanyak 71 kasus, yaitu

sumber kecelakaan kerja mesin penggerak yaitu penggilingan, kompresor,

pompa sebanyak 7 kasus (9,86%), perkakas tangan sebanyak 6 kasus

(8,45%), mesin sebanyak 5 kasus (7,04%), pesawat angkat sebanyak 1

kasus (1,41%), conveyor sebanyak 1 kasus (1,41%), pesawat angkut

sebanyak 4553 kasus (4,26%), alat transmisi mekanik sebanyak 4 kasus

(5,63%), pesawat uap dan bejana tekan sebanyak 3 kasus (4,26%),

peralatan listrik sebanyak 5 kasus (7,04%), bahan kimia sebanyak 5 kasus

(7,04%), debu berbahaya sebanyak 5 kasus (7,04%), radiasi dan bahan

radio aktif sebanyak 3 kasus (4,26%), faktor lingkungan sebanyak 1 kasus

(1,41%), bahan mudah terbakar dan benda panas sebanyak 2 kasus

(2,82%), akibat binatang sebanyak 5 kasus (7,04%), permukaan lantai

kerja sebanyak 3 kasus (4,26%), dan lain lain sebanyak 12 kasus (16,9%)

(Kemnaker RI, 2015).


5

Menurut Dinaskerstrans Provinsi Lampung pada Kabupaten

Lampung Tengah terdapat kasus kecelakaan sebanyak 10 kasus yang

disebabkan oleh sumber kecelakaan seperti mesin sebanyak 1 kasus, masin

penggerak 1 kasus, pesawat uap dan bejana tekan 1 kasus, bahan kimia 1

kasus, debu berbahaya 1 kasus, radiasi dan bahan radio aktiv 1 kasus,

akibat binatang 1 kasus, permukaan lantai kerja 1 kasus dan lain lain

sebanyak 2 kasus (Kemnaker RI, 2015).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ambar Silastuti (2006) dalam

muizzudin. di PT. Bengawan Solo Garment Indonesia, diketahui bahwa

kelelahan setelah kerja memiliki nilai rata-rata lebih besar jika

dibandingkan dengan nilai rata-rata kelelahan sebelum bekerja. Dari total

41 orang yang dijadikan sampel, 4 orang diantaranya (9,8%) termasuk

dalam kategori normal, kemudian 33 orang lainnya (80,5%) termasuk

dalam kategori kelelahan kerja ringan, dan 4 orang lagi (9,8%) termasuk

dalam kategori kelelahan kerja sedang. Berdasarkan penelitian ini, kita

dapat melihat bahwa angka kelelahan cukup tinggi jika dibandingkan

dengan jumlah sampel yang termasuk dalam kategori normal. Hal ini dapat

dikarenakan jenis pekerjaan pada industri garmen membutuhkan ketelitian

tinggi dan juga keterampilan yang baik, selain itu pekerjaan ini juga

termasuk jenis pekerjaan yang monoton (Muizzudin.A, 2013).

PT. Unggul Mekar Sari merupakan perusahaan yang memproduksi

tepung tapioka mulai dari penggilingan, pengovenan dan pengemasan.


6

Pada PT. Unggul Mekar Sari ini dapat memproduksi tepung tapioka

sebanyak 40-50 ton dalam sehari. Jumlah pekerja di PT tersebut sebanyak

76 pekerja, pekerja di bagian oven sebanyak 60 pekerja (78,94%), pekerja

di bagian penggilingan sebanyak 6 pekerja (7,9%) dan di bagian bongkar

muat sebanyak 10 pekerja (13,16%).

Menurut penelitian yang di lakukan oleh Wahyuni dkk,(2014)

tentang hubungan penerangan dengan kelelahan mata didapatkan hasil

p-value: 0,018 (P<0,05) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara

intensitas penerangan dengan kelelahan selain intensitas penerangan

,beban kerja juga berhubungan dengan kelelahan seperti pada penelitian

Marlina (2016) dimana didapatkan nilai p-value: 0,029 (P<0,05) yang

berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan

kelelahan semakin tinggi beban kerja maka akan semakin tinggi pula

kelelahan yang di alami.

Berdasarkan survey awal di PT. Unggul Mekar Sari masih banyak

menggunakan ​manual handling seperti pada pengemasan, bongkar muat,

kuli panggul. Sehingga pekerja banyak mengeluhkan kelelahan seperti

nyeri bahu, nyeri punggung, nyeri pada lutut, nyeri pada tangan, nyeri

pada pinggang dan otot paha Dari 76 perkerja tersebut 43 pekerja

menyatakan mengalami kelelahan setelah bekerja ​Pekerjaan ini termasuk


7

jenis pekerjaan yang memerlukan ketelitian, sehingga mebutuhkan

intensitas penerangan yang sesuai standar yaitu 200 Lux. Pada ruang

bagian pengepakan menggunakan penerangan buatan. Intensitas

penerangan di ruangan kurang dari standar dan penerangannya tidak

merata, secara teori kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan pada tenaga

kerja.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk

mengetahui adakah “hubungan antara beban kerja dan penerangan di

tempat kerja dengan kelelahan pada pekerja di bagian produksi tepung

tapioka di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun 2017”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “adakah hubungan antara beban kerja dan penerangan

di tempat kerja dengan kelelahan pada pekerja di bagian produksi tepung

tapioka di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun 2017”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara beban kerja dan penerangan di

tempat kerja dengan kelelahan pada pekerja di bagian produksi

tepung tapioka di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun

2017”.

2. Tujuan Khusus
8

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kelelahan, beban kerja

dan penerangan ditempat kerja di bagian produksi tepung

tapioka di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun

2017.

b. Untuk mengetahui hubungan beban kerja dengan kelelahan

kerja pada pekerja di bagian produksi tepung tapioka di PT.

Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun 2017.

c. Untuk mengetahui hubungan penerangan ditempat kerja

dengan kelelahan kerja pada pekerja di bagian produksi tepung

tapioka di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah tahun

2017.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis:

Dapat di gunakan sebagai informasi dan bahan perbandingan

bacaan bagi mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat khususnya

dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja (K3)

2. Manfaat Aplikatif:

a. Bagi peneliti/penulis.

Menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu kesehatan dan

keselamatan kerja (K3) yang berminat melanjutkan objek

penelitian ini.
9

b. Bagi institusi

Sebagai sarana mengembangkan ke ilmuan kesehatan masyarakat

dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dan diharapkan

dapat memberikan pengetahuan dan informasi bagi pembaca.

c. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan

dalam rangka upaya pencegahan dan penegakan kebijakan Sistem

Management Kesehatan dan Keselamatan Kerja ( SMK3) di PT.

Unggul Mekar Sari Lampung Tengah.

E. Ruang Lingkup

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif analitik dengan

pendekatan ​Cross sectional.​ Uji statistik yang digunakan Uji ​Chi Square​.

Variabel terikat: Kelelahan pekerja dan Variabel Bebas: Beban kerja dan

penerangan ditempat kerja. Populasi yang diambil dalam penelitian ini

adalah seluruh populasi di bagian produksi tepung tapioca sejumlah 76

orang dengan total sampel 76 orang di PT. Unggul Mekar Sari Lampung

Tengah tahun 2017.


10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kelelahan Kerja

1. Pengertian Kelelahan Kerja

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh

terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah

istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan syaraf

pusat terdapat sistem aktivasi (bersifat simpatis) dan inhibis (bersifat

parasimpatis). Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang

berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada

kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh

(Tarwaka, 2015).

Kelelahan umum biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan

untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan

lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status

kesehatan dan keadaan gizi (Grandjean, 1993). Secara umum gejala

kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang

sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam

kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik
11

maksimal (Astrand & Rodahl, 1977 dan Pulat, 1992 dalam (Tarwaka,

2015).

Kelelahan (kelesuan) adalah perasaan subjektif, tetapi berbeda

dengan kelemahan dan memiliki sifat bertahap. Tidak seperti kelemahan,

kelelahan dapat diatasi dengan periode istirahat. Kelelahan dapat

disebabkan secara fisik dan mental (Kuswana, 2014). Sedangkan menurut

Suma’mur, kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi

semuanya berkaitan kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan

tubuh (Soedirman,dan Suma’mur P.K, 2014).

Kelelahan tidak lepas dari biomekanika, karena dalam aplikasinya

biomekanika manusia dipandang secara mekanik. Tetapi kodrat

kemanusiaan pada diri manusia tidak dapat dikesampingkan, karena

manusia/tenaga kerja mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang antara

lain adanya lelah. Kelelahan adalah proses menurunnya efisiensi

pelaksanaan kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh

manusia untuk melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan

(Soedirman,dan Suma’mur P.K, 2014).

2. Jenis Kelelahan Kerja

Kelelahan kerja berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan

ketahanan tubuh. Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu:

a. Kelelahan Otot (​Muscular Fatigue)​


12

Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan

melalui fisik untuk suatu waktu disebut kelelahan otot secara fisiologi, dan

gejala yang ditunjukan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik,

namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan otot adalah

merupakan tremor pada otot/perasaan nyeri pada otot (Tarwaka, 2015).

Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot

yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat. Pada teori kimia secara umum

menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya

cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab

hilangnya efisiensi otot, sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan

saraf adalah penyebab sekunder. Sedangkan pada teori saraf pusat

menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses.

Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan

saraf melalui saraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot.

Rangsangan ​aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam

mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel

saraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan

menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas

perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat

gerakan seseorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi otot

seseorang (Tarwaka, 2015).

b. Kelelahan umum (​general fatigue)


13

Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang

luar biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena

munculnya gejala kelelahan tersebut.

Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan untuk

bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya

kerja fisik, keadaan dirumah, sebab-sebab mental, status kesehatan dan

keadaan gizi (Tarwaka, 2015).

3. Faktor Penyebab Kelelahan Kerja

Menurut Grandjean (1991) yang dikutip dari Tarwaka, 2015

menjelaskan faktor penyebab terjadinya kelelahan di industri sangat

bervariasi, untuk mempertahankan kesehatan dan efisiensi proses

penyegaran harus dilakukan diluar tekanan (​cancel out the stres)​ .

Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode

istirahat dan waktu berhenti disela-sela kerja juga dapat memberikan

penyegaran (Tarwaka, 2015).

Kelelahan yang disebabkan oleh kerja statis berbeda dengan kerja

dinamis. Pada kerja otot statis, dengan pengerahan tenaga 50% dari

kekuatan maksimal otot hanya dapat bekerja selama 1 menit, sedangkan

pada pengerahan tenaga < 20% kerja fisik dapat berlangsung cukup lama.

Tetapi pengerahan tenaga otot statis sebesar 15-20% akan menyebabkan

kelelahan dan nyeri jika pembebanan berlangsung sepanjang hari

(Tarwaka, 2015).
14

Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kelelahan menurut Grandjean,

1991:838 dalam Tarwaka, 2015 adalah sebagai berikut:

Tingkat

kelelahan

pemulihan/penyegaran

Gambar 2.1 Teori Kombinasi Pengaruh Penyebab Kelelahan dan

Penyegaran (​Recuperation​).
15

Waters & Bhattacharya (1996), berpendapat agak lain, bahwa

kontraksi otot baik statis maupun dinamis dapat menyebabkan kelelahan

otot setempat. Kelelahan tersebut terjadi pada waktu ketahanan

(​endurance time) otot terlampaui. Waktu ketahanan otot sebagai suatu

persentase tenaga maksimum yang dapat dicapai oleh otot.

Kemudian pada saat kebutuhan metabolisme dinamis dan aktivitas

melampaui kapasitas energi yang dihasilkan oleh tenaga kerja, maka

kontraksi otot akan terpengaruh sehingga kelelahan seluruh badan

terjadi. Sedangkan Annis & McConville (1996) berpendapat bahwa saat

kebutuhan metabolisme dinamis dan aktivitas melampaui kapasitas

energi yang dihasilkan oleh tenaga kerja, maka kontraksi otot akan

terpengaruh sehingga kelelahan seluruh badan terjadi. Kemudian mereka

merekomendasikan bahwa penggunaan energi tidak melebihi 50% dari

tenaga aerobik maksimum untuk kerja 1 jam, 40% untuk kerja 2 jam dan

33% untuk kerja 8 jam terus menerus. Nilai tersebut didesain untuk

mencegah kelelahan yang dipercaya dapat meningkatkan risiko cedera

sistem muskoloskeletal pada tenaga kerja (Tarwaka, 2015).

4. Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada metode pengukuran tingkat kelelahan

secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para


16

peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan

terjadinya kelelahan akibat kerja. Grandjean (1993) mengelompokkan

metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok sebagai

berikut:

a. Kuantitas dan kualitas kerja

Pada metode ini, kualitas ​output digambarkan sebagai

jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau

proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian

banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti: target produksi,

faktor sosial dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan

kualitas ​output (kerusakan produk, penolakan produk) atau

frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan,

tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan ​causal factor (​ Tarwaka,

2015).

Kuantitas kerja dapat dilihat pada prestasi kerja yang

dinyatakan dalam banyaknya produksi persatuan waktu. Sedangkan

kualitas kerja didapat dengan menilai kualitas pekerjaan seperti

jumlah yang ditolak, kesalahan, kerusakan material dan lain-lain.

b. Uji psiko-motor (​psychomotor test)​

Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi

dan reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah

pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari


17

pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau

dilaksanakannya kegiatan tertentu. Misalnya : nyala lampu sebagai

awal pijat tombol sebagai akhir jangka waktu tersebut, denting

suara dan injak pedal. Sentuhan kulit dan kesadaran, goyangan

badan dan pemutaran setir. Pemanjangan waktu reaksi merupakan

petunjuk adanya perlambatan pada proses faal dan otot. (Tarwaka,

2015)

Sanders & McCormick (1987) mengatakan bahwa waktu

reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat

satu stimuli terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar

antara 150 s/d 200 millidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli

yang dibuat intensitas dan lamanya perangsangan, umur subjek dan

perbedaan-perbedaan individu lainnya (Tarwaka, 2015).

c. Uji hilangnya kelipan (​flicker fusion test)​

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk

melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin

panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua kelipan.

Alat uji kelipan memungkinkan mengatur frekuensi kelipan dan

dengan demikian pada batas waktu frekuensi mana tenaga kerja

mampu melihatnya. Uji kelipan disamping untuk mengukur

kelelahan juga menunjukan keadaan kewaspadaan tenaga kerja

(Tarwaka, 2015).
18

d. Perasaan kelelahan secara subyektif (​subjective feelings of fatigue)​

Subjective Self Rating Test Dari Industrial Fatigue

Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu

kuisioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subyektif.

Kuisioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan yang terdiri dari 10

pertanyaan tentang pelemahan kegiatan, 10 pertanyaan tentang

pelemahan motivasi dan 10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan

fisik. Berkaitan dengan metode pengukuran kelelahan subjektif,

Sinclair (1992) menjelaskan beberapa metode yang dapat

digunakan dalam pengukuran subjektif. Metode tersebut antara lain

ranking methods, rating methods, questionnaire methods,

interviews ​dan ​checklist.

Kelelahan biasanya terjadi hanya bersifat sementara dan dapat

pulih kembali setelah diberikan istirahat dan energi secukupnya. Jika

demikian kondisinya maka kelelahan demikian merupakan kelelahan yang

ringan. Tetapi untuk kelelahan yang berat diperlukan waktu yang lama

untuk mengadakan pemulihan kembali dan ada kalanya bahkan diperlukan

obat-obatan untuk memulihkan kondisi agar dapat fit kembali. Pada

beberapa kasus, kelelahan juga dapat meninggalkan residu yang dirasakan

pada hari berikutnya. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka sebaiknya

desain pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas

kerja (​pre and post test​). Dari perbedaan nilai hasil kelelahan antara
19

sebelum kerja dan sesudah kerja merupakan nilai kelelahan yang

sebenarnya dialami oleh pekerja (Tarwaka, 2015).

Pengukuran kelelahan dengan menggunakan kuisioner kelelahan

subjektif dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan kelelahan

individu dalam kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sampel

yang dapat merepresentasikan populasi secara keseluruhan. Jika metode

ini dilakukan hanya untuk beberapa orang pekerja didalam kelompok

populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan ​valid dan ​reliabel

(Tarwaka, 2015).

Penilaian menggunakan kuisioner kelelahan kerja subjektif dapat

dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menggunakan 2 jawaban

sederhana yaitu “YA” (ada kelelahan) dan “TIDAK” (tidak ada kelelahan).

Tetapi lebih utama untuk menggunakan desain penilaian dengan skoring

(misalnya 4 skala likert). Apabila menggunakan skala Likert, maka setiap

skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan

mudah dipahami oleh responden (Tarwaka, 2015).

Contoh desain penilaian kelelahan subjektif dengan 4 skala likert,

dimana

a. Skor 0 = tidak pernah merasakan

b. Skor 1 = kadang-kadang merasakan

c. Skor 2 = sering merasakan

d. Skor 3 = sangat sering merasakan.


20

Langkah selanjutnya adalah menghitung jumlah skor pada

masing-masing kolom dari ke-30 pertanyaan yang diajukan dan

menjumlahkannya menjadi total skor individu. Berdasarkan desain

penilaian kelelahan subjektif dengan menggunakan 4 skala likert ini, akan

diperoleh skor individu terendah 0 dan tertinggi 90.

Langkah terakhir dari aplikasi kuisioner kelelahan subjektif ini

tentunya adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan, jika diperoleh

hasil yang menunjukkan tingkat kelelahan yang tinggi. Tabel dibawah ini

merupakan pedoman sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan

klasifikasi tingkat kelelahan subjektif (Tarwaka, 2015).

Tabel 2.1

Klasifikasi Tingkat Dan Kategori Kelelahan Subjektif

Berdasarkan Total Skor Individu

Tingkat Total Klasifikasi Tindakan Perbaikan


Kelelahan Skor Kelelahan

0 0-21 Rendah Belum diperlukan


adanya tindakan
perbaikan

1 22-44 Sedang Mungkin diperlukan


adanya tindakan
dikemudian hari

2 45-67 Tinggi Diperlukan tindakan


segera
21

3 68-90 Sangat Diperlukan tindakan


tinggi menyeluruh sesegera
mungkin

Sumber : Tarwaka, 2015

5. Akibat Kelelahan Kerja

Ada 30 gejala kelelahan yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu

sebagai berikut:

a. Menunjukan terjadinya pelemahan kegiatan

Perasaan berat di kepala, lelah seluruh badan, kaki merasa

berat, sering menguap, merasa kacau pikiran, menjadi mengantuk,

merasakan beban pada mata, kaku dan canggung dalam gerakan,

tidak seimbang dalam berdiri, mau berbaring.

b. Menunjukkan pelemahan motivasi

Merasa susah berpikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak

dapat berkonsentrasi, tidak dapat mempunyai perhatian terhadap

sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang kepercayaan, cemas

terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap, tidak dapat tekun

dalam pekerjaan.

c. Menunjukkan gambaran kelelahan fisik akibat keadaan umum

Sakit kepala, kekakuan di bahu, merasa nyeri di punggung,

terasa pernafasan tertekan, haus, suara serak, terasa pening, spasme

dari kelopak mata, tremor pada anggota badan, merasa kurang

sehat (Soedirman dan Suma’mur P.K, 2014).


22

6. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan

a. Umur

Umur berkaitan dengan kinerja karena pada umur yang

meningkat akan diikuti dengan proses degenerasi dari organ

sehingga dalam hal ini kemampuan organ akan menurun. Dengan

adanya penurunan kemampuan organ, maka hal ini akan

menyebabkan tenaga kerja akan semakin mudah mengalami

kelelahan (Soedirman dan Suma’mur P.K, 2014).

b. Status Gizi

Asupan energi pekerja dapat menentukan tingkat status gizi

seorang pekerja. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai

akibat konsumsi makanan dan penggunaaan zat gizi. Status gizi

dikategorikan menjadi gizi baik, gizi sedang dan gizi kurang.

Status gizi yang kurang melambangkan kondisi tubuh yang buruk.

Kondisi tubuh yang buruk tersebut dapat mempengaruhi pekerja

dalam bekerja dan dapat menyebabkan kelelahan kerja (Tasmi dkk,

2015).

c. Motivasi Kerja

Menurut Robbins (2007), motivasi adalah kesediaan untuk

mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi,

yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi

suatu kebutuhan individual. Motivasi kerja dapat didefinisikan


23

sebagai “suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang yang

menentukan arah dari perilaku (​direction of behavior​) seseorang

dalam organisasi, tingkat usaha (​level of effort)​ , dan tingkat

kegigihan atau ketahanan di dalam menghadapi suatu halangan

atau masalah (​level of persistence​)” (George and Jones, 2005)

(​Adiwinata dan Susanto,2014 ).

d. Kepuasan kerja

Kepuasan kerja sebagai perasaan positif pada suatu

pekerjaan, yang merupakan dampak/hasil evaluasi dari berbagai

aspek pekerjaan tersebut. Kepuasan kerja merupakan penilaian dan

sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan

berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, hubungan

antar teman kerja, dan hubungan sosial di tempat kerja. Secara

sederhana kepuasan kerja atau job satisfaction dapat disimpulkan

sebagai apa yang membuat seseorang menyenangi pekerjaan yang

dilakukan karena mereka merasa senang dalam melakukan

pekerjaannya​ ​(​Adiwinata dan Susanto,2014 ).

e. Beban Kerja

Kelelahan kerja tidak hanya karena kondisi ototnya saja,

melainkan juga karena adanya komponen kejiwaan/mental

psikologis yang berpengaruh besar. Beban kerja menentukan

berapa lama seseorang dapat bekerja sesuai dengan kapasitas kerja.


24

Agar seseorang bekerja tanpa kelelahan atau gangguan, maka

semakin berat beban kerja harus semakin singkat waktu kerjanya.

Faktor waktu kerja, lamanya bekerja, beban kerja dan lingkungan

kerja berpengaruh terhadap kelelahan (Soedirman dan suma’mur

PK, 2014).

Dimana semakin berat beban kerja sehingga melampaui

kapasitas kerja akan menurunkan efisiensi dan produktivitas kerja

bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pekerja. Beban

kerja fisik dalam kategori berat akan menyebabkan beban

kardiovaskuler meningkat sehingga kelelahan akan cepat muncul

(Tarwaka, 2015).

Setiap aktivitas pekerjaan memerlukan energi yang dihasilkan

dari proses pembakaran. Semakin berat pekerjaan yang dilakukan

maka akan besar pula energi yang dikeluarkan. Berdasarkan hal

tersebut maka besarnya jumlah kebutuh an kalori dapat digunakan

sebagai petunjuk untuk menentukan berat ringan nya beban kerja.

Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi melalui Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2011

tentang NAB Faktor Fisika dan Kimia menetapkan kategori beban

kerja menurut kebutuhan kalori sebagai berikut:

1) Beban kerja ringan : 100-200 kilo kalori/jam

2) Beban kerja sedang : >200-350 kilo kalori/jam


25

3) Beban kerja berat : >350-500 kilo kalori/jam

Kebutuhan kalori dapat dinyatakan dalam kalori yang dapar diukur

secara tidak langsung dengan menentukan kebutuhan oksigen.

Setiap 1 liter oksigen akan memberikan 4,8 kilo kalori (Suma’mur,

1982 dalam Tarwaka, 2015).

f. Lingkungan kerja

Lingkungan adalah keseluruhan atau setiap aspek dan gejala

fisik dan sosial kultural yang mempengaruhi individu. Kerja adalah

aktifitas manusia baik fisik maupun mental yang didasarkan adalah

bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapatkan kepuasan (Faiz,

2014).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja

adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerjaan dan yang

dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan. Lingkungan kerja tersebut meliputi:

1) kelembaban

kelembaban lingkungan ruangan sangat berpengaruh pada

efektivitas kegiatan atau bahkan dalam pekerjaan. Bekerja pada

lingkungan yang terlalu panas atau terlalu lembab, dapat


26

menurunkan kemampuan fisik tubuh dan dapat menyebabkan

keletihan terlalu dini sedangkan pada lingkungan yang terlalu

dingin, dapat menyebabkan hilangnya fleksibilitas terhadap

alat-alat motorik tubuh yang disebabkan oleh timbulnya kekakuan

fisik tubuh (Hannif dkk, 2016).

2) Stasiun kerja tidak ergonomis

Salah satu akibat dari stasiun kerja yang tidak ergonomis ini

akan muncul sikap kerja yang tidak fisiologis seperti jongkok,

duduk membungkuk, duduk bersila di lantai dan sebaginya. Sikap

kerja seseorang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu (Bridger,

1995):

1. karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran

antropometri, berat badan, kesegaran jasmani, kemampuan

gerakan sendi, system muskuloskeletal, tajam penglihatan,

masalah kegemukan, riwayat penyakit, dan lain-lain.

2. jenis keperluan tugas, seperti pekerjaan yang memerlukan

ketelitian, memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu

istirahat, dan lain-lain.

3. desain stasiun kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian

landasan kerja, kondisi permukaan atau bidang kerja, dan

faktor-faktor lingkungan kerja.


27

4. lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu

lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan,

debu dan vibrasi.

Dari empat faktor di atas muncul bermacam-macam sikap

kerja seperti sikap kerja berdiri, sikap kerja duduk di kursi, sikap

kerja duduk bersila di lantai, sikap kerja berbaring dan sebagainya.

Pada tukang bentuk keramik dengan teknik putar tergolong ke

dalan jenis pekerjaan yang memerlukan kekuatan tangan, sehingga

dengan kondisi stasiun kerja yang ada menyebabkan sikap kerja

mereka menjadi tidak fisiologis. Sikap kerja atau kondisi kerja

yang tidak ergonomis pada akhirnya dapat menimbulkan

keluhan-keluhan seperti gangguan pada system musculoskeletal

(Neli,Komang, 2011).

3) Penerangan

Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja

akan menambah beban kerja karena menganggu pelaksanaan

pekerjaan tetapi juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu

penerangan dalam lingkungan kerja harus cukup untuk

menimbulkan kesan yang higienis. Disamping itu cahaya yang

cukup akan memungkinkan pekerja dapat melihat objek yang

dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari kesalahan kerja

(Sucipto,2014).
28

4) Suhu

Setyawati (1994) menyatakan bahwa kelelahan yang

disebabkan oleh faktor lingkungan fisik di tempat kerja antara lain

oleh suhu dan kebisingan. Syukri (1996) menyatakan bahwa

lingkungan fisik kerja yang terlalu panas mengakibatkan tenaga

kerja cepat lelah karena kehilangan cairan dan garam. Bila

produksi panas tidak seimbang dengan panas yang dikeluarkan

tubuh, akan menghasilkan kondisi kerja yang tidak nyaman (Key,

1997). Suhu tempat kerja yang melebihi 30 °C akan mempercepat

kelelahan tenaga kerja (Ramdam M, 2014).

5) Kebisingan

Pendengaran sering kita abaikan dan kita hadapkan pada

segala jenis kondisi ekstrim. Namun telinga kita merupakan organ

yang sangat rentan yang walaupun dapat menerima pemaksaan

dalam tingkatan tertentu, akhirnya telinga kita akan beraksi dan

berenti berfungsi (Jhon Ridley, 2008).

Sumber kecelakaan kerja berupa kebisingan pada umumnya terjadi

pada hamper semua industry, baik industry kecil, menengah,

maupun industri besar. Generator pembangkit listrik, instalasi

pendingin, atau mesin pembuat vakum, merupakan sekian contoh

dari peralatan yang berpotensi mengeluarkan suara yang dapat

menimbulkan kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan kerja.


29

Selain angka kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin, para pekerja

harus memperhatikan berapa lama mereka berkerja dalam

lingkungan tersebut (buntarto, 2015).

Kebisingan dapat diukur dengan menggunakan alat khusus

​ ilai Ambang Batas (NAB) kebisingan


yaitu ​Sound Level Meter. N

adalah 85dB.

g. Jenis kelamin

Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi pria dan

wanita. Secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3

dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Menurut Konz

(1996) untuk kerja fisik wanita mempunyai VO​2 max 15 – 30%

lebih rendah dari laki-laki. Untuk mendapatkan daya kerja yang

tinggi maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria/wanita

sesuai dengan kemampuan, kebolehan dan batasan masing-masing

(Tarwaka, 2015).

B. Beban Kerja

1. Pengertian Beban Kerja

Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan

sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya hampir lebih dari separuh dari

berat tubuh, memungkinkan manusia untuk dapat menggerakkan tubuh dan


30

melakukan pekerjaan setiap pekerja merupakan beban fisik maupun beban

mental.

Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh

seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik,

kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban

tersebut. Menurut Suma’mur (1984) bahwa kemampuan kerja seseorang

tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari

tingkat keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan

ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan (Tarwaka, 2015).

Beban kerja (​workload​) dapat didefinisikan sebagai suatu perbedaan

antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang

harus dihadapi. (Meshkati, 1988) Mengingat kerja manusia bersifat mental dan

fisik, maka masing-masing mempunyai tingkat pembebanan yang

berbeda-beda. Tingkat yang terlalu tinggi menungkinkan pemakaian energi

yang berlebihan dan terjadi ​“overstress”, sebaliknya intensitas pembebanan

yang terlalu rendah memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau

“understress”​ . Oleh karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas

pembebanan yang optimum yang ada diantara kedua batas yang ekstrim tadi

dan tentunya berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya

(Tarwaka, 2015).

Sedangkan menurut Hart dan Staveland (1988), bahwa beban kerja

merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas,


31

lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, keterampilan,

perilaku dan persepsi dari pekerja. Beban kerja kadang-kadang juga dapat

diartikan secara operasional pada berbagai faktor seperti tuntutan tugas atau

upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan pekerjaan (Tarwaka, 2015).

Penerapan ergonomi di tempat kerja dapat mengurangi beban kerja.

Beban kerja dapat diukur dengan evaluasi fisiologis, evaluasi psikologis atau

cara-cara tidak langsung. Untuk itu dianjurkan untuk modifikasi beban kerja

dan beban kerja tambahan yang sesuai dengan kapasitas/kemampuan kerja,

dengan tujuan untuk menjamin kesehatan tenaga kerja dan peningkatan

produktifitas. Evaluasi kapasitas kerja dengan beban kerja harus

memperhatikan kegiatan fisik yakni :

a. Intensitas kerja

b. Tempo kerja

c. Jam kerja dan waktu istirahat

d. Pengaruh kondisi lingkungan (suhu, kelembapan, kecepatan gerakan,

udara, bising, penerangan, warna, debu, gas dll)

e. Data biologis (modifikasi makan dan minum, pemulihan sesudah tidur dan

istirahat, perubahan kapasitas kerja karena usia).

f. Kekhususan jenis pekerjaan (adanya getaran mekanik, kerja malam, kerja

bergilir/​shift work)​ .

Panas, pegunungan, di laut, pada ketinggian atau dataran. Dengan

menerapkan ergonomi maka kecepatan persepsi dan pengambilan keputusan


32

dalam bersikap menjadi lebih cepat dan mudah. Selanjutny dapat dicegah

timbulnya tekanan mental, kelelahan, kekurang waspadaan, gangguan fisiologi

dan kesalahan, sehingga produktivitas meningkat dan terpelihara tetap tinggi

(Soedirman dan Sukma’mur PK, 2014).

2. Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja

Hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun eksternal.

a. Beban kerja oleh karena faktor eksternal.

Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar

tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal yaitu tugas (​task)​ itu

sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Ketiga aspek ini sering disebut

sebagai ​stressor.​

1) Tugas-tugas (​task)​ yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti

stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi

atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat-angkut, beban yang

diangkat-angkut, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk displai

dan kontrol, alur kerja. Sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental

seperti kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang

mempengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab terhadap

pekerjaan dll.
33

2) Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti

lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam,

sistem pengupahan, sistem kerja, model struktur organisasi tanggung

jawab, wewenang dll.

3) Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada

pekerja yaitu:

a) Lingkungan kerja fisika: ​mikroklimat (suhu udara ambien,

kelembapan udara, kecepatan rambat udara, suhu radiasi), intensitas

penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis dan tekanan

udara.

b) Lingkungan kerja kimiawi: debu, gas-gas pencemar udara, uap

logam, ​fume​ dalam udara.

c) Lingkungan kerja biologis: bakteri, virus, dan parasit, jamur,

serangga.

d) Lingkungan psikologis: pemilihan dan penempatan kerja, hubungan

antara pekerja dengan pekerja, pekerja dengan atasan, pekerja

dengan keluarga dan pekerja dengan lingkungan sosial yang

berdampak kepada performansi kerja.

b. Beban kerja oleh karena faktor internal.

Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam

tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal.

Reaksi tubuh tersebut juga dikenal sebagai ​strain.​ Berat ringannya ​strain
34

dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian secara

objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian

subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan

perubahan prilaku (Tarwaka, 2015).

Faktor internal meliputi :

1) Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan,

status gizi).

2) Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan

dll)

Selanjutnya Hart & Staveland (1988), menjelaskan bahwa 3 faktor

utama yang menentukan beban kerja adalah tuntutan tugas, usaha dan

performansi (Tarwaka, 2015).

a) Faktor tuntutan tugas (​task demands)​ .

Argumentasi berkaitan dengan faktor ini adalah bahwa beban kerja

dapat ditentukan dari analisa tugas-tugas yang dilakukan oleh pekerja.

Bagaimanapun juga, perbedaan-perbedaan secara individu harus

selalu diperhitungkan.

b) Usaha atau tenaga kerja (​effort).

Jumlah ​effort yang dikeluarkan pada suatu pekerjaan mungkin

merupakan suatu bentuk intuitif secara alamiah terhadap beban kerja.


35

Bagaimanapun juga, sejak terjadinya peningkatan tuntutan tugas,

secara individu mungkin tidak dapat meningkatkan tingkat ​effort​.

c) Performansi.

Sebagian besar studi tentang beban kerja mempunyai perhatian

dengan tingkat performansi yang akan dicapai. Bagaimanapun juga,

pengukuran performansi sendirian tidaklah akan dapat menyajikan

suatu matrik beban kerja yang lengkap.

c. Penilaian beban kerja fisik dan mental

1) Penilaian beban kerja fisik

Kerja fisik adalah kerja yang memerlukan energi fisik pada otot

manusia yang akan berfungsi sebagai sumber tenaga. Kerja fisik

disebut juga “​manual operation​” dimana performansi kerja

sepenuhnya akan tergantung pada upaya manusia yang berperan

sebagai sumber tenaga maupun pengendali kerja. Disamping itu kerja

fisik juga dapat dikonotasikan sebagai kerja berat, kerja otot atau

kerja kasar, karena aktivitas tersebut memerlukan usaha fisik yang

kuat selama periode kerja berlangsung. Selama kerja fisik

berlangsung, maka konsumsi energi merupakan faktor utama yang

dijadikan tolok ukur penentu berat/ringannya suatu pekerjaan

(Tarwaka, 2015).

Kerja fisik akan mengeluarkan energi yang berhubungan erat dengan

kebutuhan atau konsumsi energi. Menurut Astrand & Rodahl (1997)


36

dan Rodalh (1989) bahwa penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan

dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian langsung

dan metode penilaian tidak langsung. Metode pengukuran langsung

yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan (​energy expenditure)​

melalui asupan oksigen selama bekerja. Sedangkan metode tidak

langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama kerja

(Tarwaka, 2015).

Lebih lanjut Christensen (1991) dan Grandjean (1993)

menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat

ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja,

konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh

(Tarwaka, 2015).

2) Penilaian beban kerja mental

Penilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban

kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui

perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental

terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan

kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral

dan tanggung jawab aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan

dengan aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak

(​white-collar)​ daripada kerja otot (​blue-collar)​ .


37

Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu

melibatkan unsur persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu

informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu

keputusan atau proses meningkat informasi yang lampau. Evaluasi

beban kerja mental merupakan poin penting didalam penelitian dan

pengembangan hubungan antara manusia-mesin, mencari tingkat

kenyamanan, kepuasan, efisiensi dan keselamatan yang lebih baik di

ergonomi (Tarwaka, 2015).

Sedangkan metode pengukuran beban kerja mental secara

subjektif (​subjective method​) yang telah banyak digunakan antara

lain:

a. Metode dengan menggunakan Teknik Pengukuran Beban

Kerja Subjektif (​Subjective Workload Assessment Technique-

SWAT​).

b. Metode dengan menggunakan Indeks Beban Tugas dari

National Aeronautics & Space Administration- NASA (NASA

Task Load Index- TLX).

c. Metode dengan menggunakan skala rating/skor dari

pekerjaan mental (​Rating Scale Mental Effort-RSME)​

d. Metode penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan

maupun konstansi kerja dengan “​Bourdon Wierma Test”​ .


38

e. Metode dengan menggunakan skala ​Cooper-Harper ​yang

dimodifikasi (​Modified Cooper-Harper Scale​).

f. Metode dengan menggunakan penilaian diri secara instan

(​Instantaneous Self Assessment- ISA)​ .

g. Metode dengan menggunakan skala beban kerja yang

dikembangkan oleh ​The Defence Research Agency (DRA

Workload Scales- DRAWS)

The NASA Task Load Index merupakan suatu prosedur

pembobotan dan rating multidimensional yang menyediakan suatu

penilaian beban kerja dan secara keseluruhan yang didasarkan pada

rerata rating dari 6 subskala yaitu ​Mental Demand, Physical

Demand, Temporal Demand, Own Performance, Effort d​ an

Frustasion (​ Tarwaka, 2015).

Tingkat dari masing-masing keenam faktor yang

menyumbangkan beban kerja pada pekerjaan tertentu harus

dievaluasi dengan menggunakan rating, ditentukan dengan respon

mereka terhadap komparasi diantara keenam faktor tersebut. Rating

pada masing-masing subskala didapatkan setelah performansi

pekerjaan atau segmen pekerjaan.

Langkah pengukuran dengan menggunakan NASA-TLX

adalah sebagai berikut (Meshkati, 1988) :


39

a. Pembobotan.

Responden / pekerja diminta untuk membandingkan dua

dimensi yang berbeda dengan metode perbandingan

berpasangan.

Total perbandingan berpasangan untuk keseluruhan dimensi (6

dimensi) yaitu 15. Jumlah perhitungan untuk masing-masing

dimensi inilah yang akan menjadi bobot dimensi.

b. Pemberian rating.

Dalam tahap ini responden diminta memberikan penilaian /

rating terhadap keenam dimensi beban mental.

Skor akhir beban mental NASA TLX diperoleh dengan

mengalikan bobot dengan rating setiap dimensi, kemudian

dijumlahkan dan dibagi 15. Dalam metode ini terdapat kemungkinan

15 pasang komparasi pair dari 6 skala. Masing-masing pasangan

ditampilkan pada sebuah kartu. Subjek diminta untuk melingkari

anggota dari masing-masing pada sebuah kartu. Subjek diminta

untuk melingkari anggota kartu dari masing-masing pasangan yang

menyumbangkan lebih banyak beban kerja akibat pekerjaan yang

dilakukan. Selanjutnya jumlah waktu dari masing-masing faktor

yang dipilih dijumlahkan. Jumlah hitungan dapat berkisar 0 (tidak

relevan) sampai dengan 5 (lebih penting dari faktor lainnya).

Serangkaian perbedaan ‘pembobotan (​weights​)’ diperoleh dari


40

masing-masing pekerjaan yang berbeda secara terpisah. Serangkaian

pembobotan yang sama dapat digunakan untuk banyak versi yang

berbeda dari pekerjaan yang sama, jika kontribusi dari keenam faktor

terhadap beban kerja adalah hampir sama (Tarwaka, 2015).

Selanjutnya skala ditampilkan pada lembar rating (​rating sheet)​ .

Subjek diminta untuk memberikan respon dengan menandai

masing-masing skala pada lokasi yang diinginkan. Rating mungkin dapat

diperoleh baik selama pelaksanaan pekerjaan, setelah segmen pekerjaan

atau dengan mengikuti keseluruhan pekerjaan. Masing-masing skala

ditampilkan sebagai sebuah garis 12cm yang dibagi dalam 20 interval

yang sama dengan penjelasan bipolar (seperti : tinggi/rendah) (Tarwaka,

2015).

Skor beban kerja keseluruhan untuk masing-masing subjek

dihitung dengan mengalikan setiap rating dengan bobot (​weights​) yang

diberikan terhadap faktor oleh subjek yang bersangkutan. Selanjutnya,

total rating pembobotan (​the sum of the weight rating)​ untuk setiap

pekerjaan dibagi dengan 15 (jumlah pembobotan – ​the sum of weights)

(Tarwaka, 2015).

Prosedur eksperimen yang digunakan untuk mengumpulkan data

dengan metode ​NASA Task Load Index​ yaitu sebagai berikut :

a. Intruksi.
41

Subjek diminta untuk membaca skala dan intruksi yang telah

disediakan. Didalam pelaksanaan eksperimen mungkin diperlukan

beberapa modifikasi tergantung pada situasi pada saat pelaksanaan.

b. Familiarisasi.

Subjek sebaiknya diminta untuk mempraktekkan dahulu dengan

menggunakan skala rating setelah melakukan sedikit pekerjaan untuk

menjamin bahwa mereka telah mengenal standar yang akan

digunakan dengan teknik skala.

c. Rating atau penyekoran.

Subjek melakukan pekerjaan secara eksperimen, penyediaan rating

ke-enam sub-skala untuk seluruh kondisi pekerjaan yang dilakukan,

jumlah lembar rating yang diperlukan harus sama dengan jumlah

subjek X jumlah kondisi pekerjaan.

b. Pembobotan.

Subjek diminta untuk menyelesaikan evaluasi sumber beban kerja,

satu untuk setiap pekerjaan. Satu set kartu harus dibuat untuk

masing-masing subjek X kombinasi kondisi evaluasi (Tarwaka,

2015).

​Tabel 2.2

Total Keseluruhan Skor NASA-TLX

Golongan Beban Kerja Nilai

Rendah 0–9
42

Sedang 10 – 29

Cukup Tinggi 30 – 49

Tinggi 50 - 79

Sangat Tinggi 80 – 100

C. Penerangan Di Tempat Kerja

Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja

ditentukan dari jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi

tingkat ketelitian dari jenis dan sifat pekerjaan, maka akan semakin besar

kebutuhan intensitas penerangan yang di perlukan,demikian pula sebaliknya.

Setandar penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam

peraturan Mentri Perubahan (PMP) No. 7 Tahun 1964, Tentang syarat-syarat

kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja. Standar penerangan

yang ditetapkan di Indonesia tersebut secara garis besar hamper sama dengan

standar AS 1680 untuk ‘Interior Linghting’ maupun standar IESNA,2000

yang mengatur intesitas penerangan sesuai dengan jenis dan sifat

pekerjaannya. Secara eingkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan

Prusahaan harus mempunyai intensitas penerangan paling

sedikit 20 luks.
43

b. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya

membedakan barang kasar dan besar paling sedikit mempunyai

intensitas penerangan 50 luks.

c. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan

barang-barang kecil secara sepintas lalu paling sedikit

mempunyai intensitas penerangan 100 luks.

d. Penerangan untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang

kecil agak teliti paling sedikit mempunyai intensitas

penerangan 200 luks.

e. Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti

dari barang-barang yang kecil dan halus, paling sedikit

mempunyai intensitas penerangan 300 luks.

f. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan

barang halus dengan kontras yang sedang dalam waktu yang

lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit

500 – 1.000 luks.

g. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan

barang yang sangat halus dengan kontras yang kurang dan

dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas

penerangan paling sedikit 2.000 luks.

Sebagai pembanding terhadap standar penerangan dalam peraturan

Menteri Perubahan (PMP) No. 7 Tahun 1964, Tentang syarat-syarat


44

kesehatan, keberasilan dan penerangan di tempat kerja, di bawah ini disajikan

standar intensitas penerangan internasional dari IESNA ( ​Illuminating

Engineering Society of North America,2​ 000) ( Tarwaka, 2015 ).

Tabel 2.3

Kebutuhan Intensitas Penerangan terhadap Jenis Pekerjaan Yang


Dilakukan ( Rekomendasi IESNA,2000 )

Jenis Pekerjaan Intensitas


penerangan
Luks
Tempat umum dan lingkungan gelap 30

Orintasi sederhana untuk kunjungan singkat 50

Ruang kerja dimana tugas visual hanya 100


jarang-jarang dilakukan
Pekerjaan memerlukan ketelitian dengan kontras 300
yang tinggi
Pekerjaan memerlukan ketelitian dengan kontras 500
yang sedang atau objek dengan ukuran kecil
Pekerjan memerlukan ketelitian dengan kontras 1000
yang rendah atau objek dengan ukuran sangat
kecil
Desain penerangan atau pencahayaan yang tepat pada seluruh area kerja

sangat diperlukan, agar setiap pekerja dapat melakukan pekerjaannya secara lebih

mudah, lebih cepat,dan dalam kondisi yang nyaman tanpa menimbulkan

gangguan terhadap kesehatan dan bahkan keslamatan bagi para pekerja yang

bersangkutan. Desain penerangan perlu dilaklukan dengan berbagai pertimbangan

yang menyangkut aspek-aspek kemanfaatan, nilai ekonomis, ergonomis dan

aspek teknis lainnya ( Tarwaka,2015 ).

D. Kerangka Teori
45

Gambar Kerangka Teori

Sumber : Tarwaka (2015)


46

E. Kerangka Konsep

Gambar Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Ha : 1. Ada hubungan antara beban kerja dengan Kelelahan Kerja di PT. Unggul

Mekar Sari Lampung Tengah Tahun 2017.

2. . Ada hubungan antara penerangan di tempat kerja dengan kelelahan kerja

di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah Tahun 2017.


47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian

analitik observasional dengan pendekatan ​cross sectional​, yaitu suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko

dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat (​point time approach)​ . Artinya tiap subjek

penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap

status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmojo,

2010). Penelitian ini untuk mengetahui hubungan variabel bebas (independen

variabel) dan variabel terikat (dependen variabel) yaitu untuk mengetahui

hubungan antara beban kerja dan penerangan ditempat kerja dengan kelelahan

kerja pada pekerja di bagian produksi tepung tapioka di PT. Unggul Mekar

Sari Lampung Tengah tahun 2017.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan September – November Tahun 2017

di PT. Unggul Mekar Sari Lampung Tengah.

C. Rancangan Penelitian
48

Metode penelitian ​survey analitik digunakan untuk menjelaskan suatu

keadaan atau situasi menggunakan rancangan berupa pendekatan potong

silang (​cross sectional)​ (Notoatmodjo, 2010). Pendekatan dalam rancangan

penelitian ini menggunakan ​cross sectional, ​yaitu suatu penelitian dimana

variabel- variabel yang termasuk dalam efek observasi sekaligus pada waktu

yang sama (Notoatmodjo, 2010).

D. Subjek Penelitian

1. Populasi

Menurut Arikunto (2010), populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah

semua pekerja di bagian produksi tepung tapioka di PT. Unggul Mekar

Sari Lampung Tengah tahun 2017 yaitu sebanyak 76 orang.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmojo, 2010). Tehnik sampling yang diambil dalam

penelitian ini adalah ​Total Sampling ​atau seluruh populasi dijadikan

sebagai sampel penelitian (Siswanto, 2013). Dalam penelitian ini jumlah

sampel yang diambil adalah 76 responden.

3. Karakteristik sampel

a. Inklusi
49

Kriteria inklusi adalah kriteria dari subyek yang layak untuk di

penuhi setiap angota populasi yang dapat diambil untuk dijadikan

sebagai sampel. Kateria inklusi dalam penelitian ini m v eliputi:

1) Pekerja yang berkerja di PT. Unggul Mekar Sari di bagian produksi.

2) Pekerja bersedia bersedia menjadi responden.

b. Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah kriteria yang tidak dapat mewakili sample

karena tidak sesuai dengan kateria untuk di lakukannya sedirian. ekslusi

dalam penelitian ini meliputi:

1) Pekerja yang tidak bias baca tulis.

E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau

ukuran yang dimiliki atau didapat oleh satuan penelitian tentang sesuatu

konsep (Notoatmodjo, 2010).

1. Variabel Dependen

Variabel dependen/terikat adalah variabel tergantung,

terikat, akibat terpengaruh karena variabel ini dipengaruhi oleh

variabel bebas atau variabel independen. Variabel dependen pada

penelitian ini adalah kelelahan kerja.


50

2. Variabel Independen

Variabel independen/bebas, sebab mempengaruhi atau

faktor risiko yang mempengaruhi variabel dependen, baik positif

maupun negatif. Variabel independen pada penelitian ini adalah

beban kerja dan penerangan ditempat kerja.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel diamati/diteliti. Definisi operasional juga

bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat

ukur) (Notoatmodjo, 2010).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No
Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
51

1. Kelelahan Suatu Kuisioner Wawancara 0=rendah, Interval


Kerja mekanisme jika nilai
perlindungan kelelahan
agar tubuh 0 – 21
terhindar dari 1=sedang,
kerusakan lebih jika nilai
lanjut sehingga kelelahan
terjadi 22-44
pemulihan 2=tinggi,
setelah istirahat jika nilai
(Tarwaka,2015) kelelahan
45-67
3=sangat
tinggi,
jika nilai
kelelahan
68-90
(Tarwaka,20
15)

2. Beban Kerja Perbedaan Kuisioner Wawancara 0=rendah, Interval


antara kapasitas (metode jika nilai
atau NASA- beban
kemampuan TLX) kerja
kerja dengan 0 –9
tuntutan 1=sedang,
pekerjaan yang jika nilai
harus dihadapi beban
(Tarwaka,2015) kerja
10 – 29

2=agak
tinggi,
jika nilai
beban
kerja
30 – 49
3=tinggi,
jika nilai
beban
kerja
50 – 79
4=sangat
tinggi,
jika nilai
beban
kerja
80–100
52

3. Penerangan Intensitas Lux Meter Wawancara 0= lebih dari Interval


di tempat penerangan 200 lux
kerja yang dibutuhkan memenuh
di i syarat.
masing-masing
tempat kerja 1= jika
ditentukan dari kurang
jenis dan sifat dari 200
pekerjaan yang lux tidak
dibutuhkan memenuh
(Tarwaka,2015) i syarat
(Tarwaka,20
15)

G. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mendapatkan informasi

secara lisan dari seseorang mengenai faktor beban kerja dan penerangan

ditempat kerja yang dapat mempengaruhi tingkat kelelahan pekerja dengan

menggunakan instrumen. Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan

untuk pengumpulan data. Pada penelitian ini alat yang digunakan yaitu

metode NASA untuk mengukur beban kerja, untuk mengukur penerangan

ditempat kerja mengunakan alat lux meter dan kuisioner yang digunakan

untuk mengukur kelelahan kerja (Tarwaka,2015).

H. Pengolahan Data

1. Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan hasil kuisioner atau

wawancara apakah data sudah lengkap (semua data sudah terisi), jelas
53

(data cukup jelas terbaca), ​relevan (data yang tertulis ​relevan dengan

pertanyaan).

2. Coding

Merupakan kegiatan peng “kode” an atau merubah data berbentuk

kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan untuk memudahkan

dalam memasukkan data (​data entry​).

3. Scoring

Merupakan langkah untuk memberikan score atau nilai pada

tiap-tiap butir pertanyaan dengan setiap variable dalam kuisioner.

4. Processing

Yaitu merupakan proses pengolahan dari data yang sudah

dimasukkan yang di lakukan oleh ​processing device y​ ang berupa

penghitungan, membandingkan,mengendalikan, atau mencari di memori.

5. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di ​entry

unttuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak

lengkapan kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

6. Tabulating

Merupakan tahapan lanjutan dalam rangkaian proses analisis data,

lewat tabulasi akan segera tampak ringkasan dan susunan dalam bentuk

tabel. Sehingga variable bebas dan variable terkait yang telah dijawab
54

oleh responden melalui kuisioner dapat diperoleh kemudian data ini siap

di analisis.

I. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini

digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel independen dan

dependen. Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan diolah dengan

menggunakan komputer. Pada data kategorik peringkasan data hanya

menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran presentasi atau proporsi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yaitu data yang dilakukan terhadap dua variabel

untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu beban kerja dan

variabel dependen yaitu kelelahan kerja. Dalam penelitian ini analisa

yang digunakan adalah ​chi-square (X​2​), dengan menggunakan derajat 5%

dengan tingkat kepercayaan 95%. Keputusan uji statistik jika hasil

perhitungan nilai p ​value ≤ nilai ​alpha (0,05) maka ada hubungan antara

variabel independen dan dependen. Jika nilai p ​value > nilai ​alpha (0,05)

maka tidak ada hubungan antara variabel independent dan variabel

dependent.
55

Anda mungkin juga menyukai