Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ilham Dimas Nursinggih

NIM : 171711014

Kelas : 3A

Prodi : D3-Teknik Konversi Energi

Mata Kuliah : Pembangkit Listrik Tenaga Baru Terbarukan

Pertanyaan :

ALASAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BARU TERBARUKAN DIPERLUKAN?

Jawaban :

1.) Mengingat jumlah ketersediaan fosil di bumi semakin menipis, sedangkan kebutuhan
energy di Indonesia naik 7% setiap tahunnya dn akan terus meningkat.
Bukti :

Kebutuhan energi Indonesia rata-rata 7 % per tahun, yang mana terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi, penduduk, standar hidup, dan sebagainya. Untuk memenuhi energinya,
Indonesia masih sangat tergantung kepada energi fosil sekitar 94% dan sisanya 6% dipasok oleh
Energi Baru Terbarukan (EBT).

Jalal, Aktifis Lingkungan dari CSRI, menyayangkan masih kecilnya pasokan listrik dari PLT
EBT (Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan) di Indonesia. “Padahal tren
penggunaan energi dunia telah bergeser ke arah technology based energy dibandingkan resource
based energy atau energi fosil,” kata dia.

Tren itu sendiri timbul sebagai dampak menipisnya jumlah persediaan energi fosil setelah sekian
lama dieksploitasi. Selain itu, diperlukan tingkat teknologi yang lebih tinggi dan mahal
untuk mengekplorasi keberadaan sumber daya energi fosil, bila memang masih ada.

“Jadi mau tak mau, lebih baik PLT EBT dioptimalkan dengan serius terutama dalam
bauran optimum energy mix yang memanfaatkan semua jenis energi tanpa diskriminatif dan
tanpa perlu menunggu jenis energi lain menipis,” katanya kepada gereports belum lama ini di
Jakarta.

Lebih lanjut, Jalal berpendapat PLT EBT sangat perlu dioptimalkan. Sebab teknologi ini lebih
ramah lingkungan dan sedikit menghasilkan CO2, sehingga menjadi bagian dari solusi masa
depan. “Dengan PLT EBT, kita juga tidak akan melakukan penambangan ekstensif yang
menyebabkan hujan asam, atau menghasilkan racun logam berat seperti arsenik, kadmium,
merkuri dan timah hitam yang beracun sepanjang masa.”

Terkait perubahan iklim, Jalal berpendapat, Indonesia sebenarnya sudah mempunyai peran
panting memimpin dunia menuju pembangunan rendah karbon. Apalagi Indonesia merupakan
anggota G20, sehingga ikut bertanggung jawab terhadap 75% emisi global dan menurunkan gas
rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030. Sementara berdasarkan Brown to Green Report 2017
yang diluncurkan oleh Climate Transparency, negara-negara G20 telah memulal transisi menuju
ekonomi rendah karbon. “Tapi ini masih harus ditambah terus. Jadi EBT harus dibumikan,” kata
dia.

Di sisi lain, tak bisa ditampik bahwa masih ada beberapa kendala jika ingin menerapkan PLT
EBT secara dominan. Di antaranya, PLT EBT dianggap masih bersifat lokal, sangat bergantung
pada kondisi alam, daya yang dihasilkan relatif kecil, belum mencapai skala ekonomis, dan bila
tersambung dengan grid masih membutuhkan unit baseload dari pembangkit listrik lain.

Charles McConnell, Executive Director, Rice University Energy and Environment Initiative,
berpendapat, bahwa sumber energi fosil lain seperti gas masih sangat dibutuhkan dunia hingga
50 tahun ke depan. Ini sesuai dengan proyeksi International Energy Agency, yang nilai
pasokannya bisa sekitar 80% karena oversupply.

“Memang pengembangan PLT EBT di dunia itu penting, namun pembangkit listrik dari sumber
energi gas masih menjadi kunci untuk pasokan yang berkeberlanjutan,” katanya.

Alasannya, kata Charles, energi gas masih tetap akan dicari oleh konsumen dari berbagai negara
karena dianggap lebih bisa menjamin beban puncak pasokan listrik. Selain itu, PLT-gas
dianggap enabler, stabil, dan pasokannya lebih terjamin. PLT-gas juga dianggap solusi bagi
pembaharuan proyek pembangkit listrik dari energi sebelumnya seperti batubara. Ini dikarenakan
PLT-gas lebih ramah lingkungan dan mempunyai efisiensi panas yang tinggi.

“Apalagi saat ini berbagai inovasi teknologi telah membuat PLT-gas lebih efisien mengurangi
biaya produksi termasuk dalam menekan emisi gas buang,” katanya.

Charles mengakui bahwa penyebaran PLT EBT secara signifikan bisa mendukung ketersediaan
akses energi. PLT EBT juga bisa menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Tapi dunia
membutuhkan integrasi optimal dari semua pilihan energi tersebut, bukan hanya satu pilihan
saja. Optimalisasi PLT EBT ini hanya bisa tercapai jika kapasitas yang diperlukan ditambah,
pasokannya terjamin dan terdapat fleksibilitas sistem.

Jadi ia berpendapat, penyebaran masal PLT EBT harus didukung PLT-gas di sekitarnya agar bisa
saling membantu jika mencapai beban puncak listrik serta mengatasi intermittent. Dengan
integrasi PLT EBT dan PLT-gas, maka secara sistematis dan menyeluruh bisa tercapai tambahan
akses listrik dengan biaya pokok yang terjangkau dan kompetitif.

Jika starteginya dengan cara hanya memaksakan EBT ke dalam bauran energi tanpa
pertimbangan yang matang dan menyeluruh, akan berdampak pada efektivitasnya. Contoh kasus
adalah portofolio standar EBT yang terlalu dipaksakan oleh Eropa yang menginginkan
penurunan pasokan listrik dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang berbahan bakar
batubara hingga 20%.

“Akibatnya Eropa mendapatkan kendala pasokan dan tantangan biaya listrik. Ini adalah fakta
yang ada walau bukan cerita yang bagus,” ungkap Charles.
Charles menyatakan bahwa harusnya kesinambungan pasokan energi suatu negara berlandaskan
pada tiga pilar yang penting dan saling berkaitan, yaitu; akses, harga yang terjangkau dan
tanggung jawab lingkungan.

“Jadi, bagaimana dengan masa depan kita? Memang dekarbonisasi adalah isu kritis dunia saat
ini. Tapi saya tidak percaya bahwa hanya pengurangan CO2 adalah akar tujuan dari masalah
lingkungan,” kata Charles. “Kita lihat masih ada tantangan lain yang harus dibahas dengan
menggunakan strategi yang komprehensif. Intinya jangan terburu-buru dan sampai terlalu
dramatis akan hal ini. Kita harus coba jujur dan bijaksana dalam mewujudkan ketahanan energi
yang lebih baik.”

2.) Kenaikan harga batubara, gas, bahan bakar minyak (BBM) serta pelemahan kurs rupiah
terhadap dollar AS menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik dalam
setahun terakhir.
Bukti :

Kenaikan harga batubara, gas, bahan bakar minyak (BBM) serta pelemahan kurs rupiah terhadap
dollar AS menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik dalam setahun terakhir.
Tahun 2017, rata-rata BPP nasional pembangkit listrik meningkat sebesar Rp 42 per kWh, dari
Rp 983 per kWh pada 2016, menjadi Rp 1.025 per kWh.
Meskipun secara nasional terjadi kenaikan, namun BPP pembangkit listrik di beberapa distribusi
wilayah di luar Jawa justru mengalami penurunan signifikan. Penyebab penurunan BPP adalah
substitusi energi primer dari BBM beralih ke energi baru terbarukan (EBT), terutama
pembangkit listrik tenaga air.
Kendati pengembangan EBT cukup menggembirakan, namun secara nasional hingga akhir 2017
bauran energi pembangkit listrik masih didominasi batubara. Porsinya 57,22%. Disusul gas
(24,82%) dan BBM 5,81%.
Sedangkan porsi EBT baru 12,15%, atau sekitar 50% dari target yang ditetapkan dalam Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan Peraturan Presiden No 22/2017 tentang RUEN,
target bauran energi EBT ditetapkan sebesar 23%, dengan total daya 92,2 million tons of oil
equivalent (mtoe), yang akan dicapai pada tahun 2025 nanti.
Untuk mencapai target RUEN itu, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah
melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah mengubah paradigma penggunaan EBT. Jika
semula EBT dipandang sebagai energi alternatif, kini EBT dilihat sebagai energi utama.
Kementerian ESDM juga berupaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi EBT dengan
menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di antaranya mendorong investor untuk membangun
pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT. Selain itu, Kementerian ESDM mendorong pembangunan
PLT EBT yang menggunakan teknologi untuk mencapai efisiensi. Melalui Peraturan Menteri
(Permen) ESDM Nomor 50/2017 tentang pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan tenaga
listrik.
Pasal 5 ayat 3 Permen ESDM No. 50/2017 menetapkan bahwa harga pembelian listrik dari
tenaga surya, angin, air, biomassa, dan biogas dipatok paling tinggi sebesar 85% BPP
pembangkit listrik setempat. Dalam Permen ESDM itu, batas atas tarif dihapus, khusus untuk
wilayah yang memiliki BPP lebih rendah dari BPP nasional, seperti Jawa, Bali, dan Sumatera.
Harga ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengembang EBT dengan PLN melalui
mekanisme business to business.
3.) Mendukung program pemerintah dalam pengurangan sampah.
Bukti :

PLN juga sedang melakukan proses pengadaan pembangkit EBT lainnya seperti PLTS Bali Barat
(25 MW), PLTS Bali Timur (25 MW) dan PLTS Cirata (145 MW).

Selain itu, untuk mendukung program pemerintah dalam upaya mengurangi sampah, telah
ditandatangani PJBL (Perjanjian Jual Beli Listrik) PLTSa Jatibarang di Semarang dan PLTSa
Sunter di Jakarta Utara.

"Berbagai pencapaian dan pembangunan pembangkit EBT ini menjadi bukti komitmen PLN
dalam mengembangkan energi hijau ramah lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik untuk
masyarakat," tandasnya.

4.) Membantu Perekonomian Masyarakat dalam peningkatan UMKM di masing-masing


daerah.
Bukti :

Bantul. Pantai Baru Pandansimo, di Desa Ngentak, Poncosari, Srandakan, Kabupaten Bantul kini
berkembang pesat sebagai salah satu daerah wisata andalan di Yogyakarta. Padahal 10 tahun
yang lalu, belum banyak wisatawan yang melirik daerah ini sebagai tujuan wisata.

Semua berubah sejak munculnya Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) hasil rintisan
Kementerian Riset dan Teknologi, Universitas Gajah Mada (UGM), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Listrik dari PLTH
bertenaga surya dan angin tersebut berhasil menghidupkan pariwisata serta membantu nelayan di
wilayah pesisir tersebut.

Saat ini pembangkit listrik energi hibrid sudah terpasang 31 unit turbin angin dengan tinggi rata-
rata 18 meter, terdiri 26 turbin angin berkapasitas 1 kW, 2 turbin angin 2,5 kW, 2 turbin angin 10
kW, dan satu turbin angin 5 kW. Selain itu didirikan pula 218 panel surya berkapasitas 27 KW.

Selain untuk kebutuhan listrik harian rumah tangga, kincir angin yang dibangun sejak tahun 2010
juga diperuntukan bagi pembuatan es balok untuk proses pengawetan ikan, pengangkatan air
untuk perikanan dan pertanian di lahan berpasir serta sumber penerangan bagi kegiatan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di sekitar Pantai Baru Pandansimo.

Listrik dari turbin kincir angin dan panel surya itu benar-benar mengubah wajah ekonomi dan
wisata Pantai Pandansimo. "Dulu, penduduk di sini hanya berprofesi nelayan, kini sudah banyak
yang berdagang di sekitar Pantai Baru," ujar Iwan Fahmi, pengurus Kelompok Sadar Wisata
Pantai Baru Pandansimo, saat KONTAN berkunjung salah satu pantai wisata di Yogyakarta ini,
pekan lalu.
Dia bilang, saat ini ada 70 warung makan dan kelontong yang mendapatkan listrik dari PLTH.
Mereka tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan listrik itu. Warga cukup menyediakan
lampu dan peralatan rumah tangga bertenaga listrik untuk berdagang di warung di pinggir Pantai
Baru. "Listrik dan air gratis, nanti jika ada kerusakan atau masalah listrik, tim PLTH siap
memperbaiki tanpa bayaran," jelas Iwan.

Keberadaan PLTH memang kunci utama bangkitnya ekonomi warga sekitar. Selain pasokan
listrik ke warung, PLTH ini juga menjadi tujuan wisata. Banyak sekolah, mulai dari TK hingga
perguruan tinggi yang melakukan studi banding ke PLTH. "Sebulan minimal ada tiga kali
kunjungan," tutur Iwan.

Biasanya, kunjungan studi banding terdiri dari rombongan puluhan siswa. Selain studi banding,
banyak juga peneliti lokal dan luar negeri yang datang ke PLTH.

Pemerintah Kabupatan (Pemkab) Bantul menyadari, PLTH sudah jadi ikon di wilayah itu. Oleh
karena itu sejak diserahkan ke pemerintah daerah pada tahun 2014, Pemkab Bantul berkomitmen
menjaga PLTH tetap beroperasi.

Oleh karena itu meski sudah menghasilkan listrik yang disalurkan ke warga, Pemkab Bantul tak
mengkomersialkan PLTH. Dengan dana APBD, mereka menjaga PLTH tetap hidup dan
mengalirkan listrik ke warung-warung di pinggir Pantai Baru.

"Rata-rata anggaran daerah untuk operasional dan perbaikan PLTH mencapai Rp 180 jutaan per
tahun," kata Jimmy Simbolon, Kepala Seksi Energi Dinas Sumber Daya Air Pemkab Bantul,
pengelola PLTH.

Berkaca dari apa yang sudah dilakukan di Bantul, Jimmy yakin, daerah lain pun sebenarnya bisa
meniru PLTH Pandansimo. Biayanya tak banyak, nilai awal investasi PLTH itu hanya sekitar Rp
2,5 miliar.

Operasional dan teknologinya pun mudah. Terbukti dari 11 orang pengelola PLTH, tidak ada
yang bergelar insinyur. "Teknologi bukan masalah. Yang jadi persoalannya hanyalah beberapa
komponen hanya bisa didapatkan dari Jakarta," terang Jimmy.

5.) Investasi untuk memperluas pangsa pasar energy

Bukti :

Tekad kuat Pemerintah menekan energi berbasis fosil dari tahun ke tahun mendorong masifnya
peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditargetkan baurannya akan
mencapai 23% pada 2025.

Kementerian ESDM pun memproyeksikan hingga lima tahun mendatang biaya investasi
peningkatan pembangkit EBT mencapai USD36,95 miliar. Hal ini ditegaskan Direktur Jenderal
EBTKE Kementerian ESDM Sutijastoto pada berbagai kesempatan.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian
ESDM Agung Pribadi menyatakan, besaran biaya investasi tersebut dimaksudkan sebagai
strategi memperluas pangsa pasar energi. "Nilai investasi tersebut bisa membantu meningkatkan
pangsa pasar energi di tahun 2025," kata Agung di Jakarta, Selasa (4/12).

Lebih lanjut, Agung merinci nilai investasi tersebut terdiri dari PLT Panas Bumi sebesar
USD17,45 miliar, PLT Air atau Mikrohidro senilai USD14,58 miliar, PLT Surya dan PLT Bayu
senilai USD1,69 miliar, PLT Sampah senilai USD1,6 miliar, PLT Bioenergi senilai USD1,37
miliar dan PLT Hybird sebesar USD0,26 miliar.

Jumlah rincian investasi PLT EBT tersebut, imbuh Agung, disesuaikan berdasarkan Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 - 2025. "(RUPTL) ini mengacu pada asumsi
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% per tahun sampai 2020 dan 6,5% pada 2025," jelas Agung.

Menurut Agung, angka investasi ini secara tidak langsung memberi dampak pada peningkatan
kapasitas bauran pembangkit EBT di Indonesia menjadi 24.074 Mega Watt (MW) di tahun 2025
dari 10.335 MW di tahun 2019.

Kalau digambarkan perkembangannya selama lima tahun ke depan, kapasitas terpasang


pembangkit EBT sebesar 11.256 MW pada 2020, 12.887 pada 2021, 14.064 MW pada 2022 dan
2023 menjadi 15.184 MW dan 17.421 MW pada 2024. (NA)

Anda mungkin juga menyukai