2013
Friandes, Fadhli
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/19202
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
SKRIPSI
DisusunOleh
FadhliFriandes
070904005
MEDAN
2013
LEMBAR PERSETUJUAN
NIM : 070904005
Dekan
Penelitian ini berjudul Culture Shock Pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara
(Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Minang
di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara
intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus.
Puji dan syukur peneliti ucapkan kepda Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan dapat
menyempurnakan penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi bertujuan
untuk memenuhi syarat utama dalam kelulusan di perkuliahan Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.Skripsi ini berjudul
“ Cuture Shock Pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara” (Studi Kasus dalam Kajian
Komunikasi AntarBudaya). Di mana penelitian ini bertujan bagaimana reaksi Culture Shock
pada pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara. Selama proses penelitian dan
penyelesain skripsi ini peneliti menghadapi begitu banyak hambatan dan tanpa bantuan dari
rekan sekalian, tentulah sangat sulit bagi peneliti dalam penyelesain skripsi ini. Terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Papa Djufri dan Mama Ida Deswita, yang
telah melahirkan dan mendidik peneliti dari kecil hingga saat ini, serta telah memberikan
semangat dan dukungan baik moril maupun materil, serta seluruh doa yang tiada putus-
putusnya.
1) Bapak Prof Dr. Badarudin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara .
2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
serta Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas
segala bantuan yang diberikan.
3) Ibu Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A. P.hD selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan banyak masukan, arahan serta bimbingan selama pengerjaan
skripsi ini.
4) Terimakasih kepada segenap Staf Pengajar FISIP USU yang telah memberikan
banyak bekal ilmu, nasehat, bimbingan serta arahan kepada peneliti selama
menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Fadhli Friandes
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAKSI ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
I.2 Perumusan Masalah ...................................................................................... 7
I.3 Pembatasan Masalah ..................................................................................... 7
I.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8
I.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
I.6 Kerangka Teori ............................................................................................. 9
I.7 Kerangka Konsep......................................................................................... 18
I.8 Operasional Konsep ..................................................................................... 19
I.9 Definisi Operasional .................................................................................... 20
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ................................................................................................. 135
V.2 Saran ......................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
bueklah apo sajo nan katuju asalkan indakbatentangan dengan hukum Allah.
Rumusan Syarak mangato Adat mamakai lah buliah dikatokan tahap final kemudian
di pertegas lagi dengan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah sebagai deklarasi
alim ulama dan cadiak pandai nan basidang di Luhak nan Tigo pado wakatu itu pasca
perang Paderi Deklarasi itu terkenal denganPiagam Bukik Marapalam ikolah proses
Islamisasi di Minangkabau tapi alun nan tarakhir sebab kini dan sampai nanti upaya
etika dan kebiasaan atau budaya luhur yang mendiskiripsikan bahwa adat itu di benarkan oleh
agama selama adat itu masih di dalam syari’at agama dalam arti masih dalam ruang lingkup
yang di benarkan oleh agama islam. Kita melihat dan sangat miris orang yang minangkabau
yang tidak lagi memakai filosofi hidup mereka sendiri, terlebih generasi muda minangkabau
yang saat ini dalam kondisi sikap, moral, etika dan kebiasaan yang berada di ujung jurang,
siapa lagi yang akan melanjutkan kebudayaan minangkabau jika tidak di lanjutkan oleh
generasi muda khususnya bagi para mahasiswa yang menjalankan proses akademis diluar
Marantau, adalah suatu kata yang tidak asing bagi seseorang yang beretnis
merantau, baik itu untuk mencari materi dan dalam memperoleh jenjang pendidikan. Khusus
perguruan tinggi di Sumatera Utara khususnya di Universitas Sumatera Utara tidak sedikit
stereotype yang akan dihadapi, stereotype ini lebih mengarah kearah negatif dan cendrung
akan menyulitkan proses komunikasi ketika berada didaerah yang multicultural yakni kota
medan.Komunikasi Antar Budaya menjadi kendala yang besar bagi pelajar minangkabau,
karena secara otomatis mereka akan menjdai minoritas dilingkungan baru mereka, pada
dan disetiap fakultas memiliki atmosfer yang berbeda dan ditamabah perbedaan-perbedaan
Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisai dan pendidikan, dalam proses
itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi hingga akhirnya pola-
pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku
individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut enkulturasi.
Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah
berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola budaya
serupa.
Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya
tertentu dan memasuki budaya lain? Segala bentuk lambing-lambang verbal dan non verbal
dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budaya baru yang ia
masuki.Individu atau kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses
enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu
nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama(Mulyana
tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja,
sekolah ataupun bermain cendrung memiliki kesamaan dalam hal latarbelakang etnik,
kepercayaan atau agama, nilai, bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika
manusia memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing,maka berbagai
berkomunikasi.Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru
mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada
disekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak budaya lain serta merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar
budaya atau culture shock. Cultuere shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang yang familiar
dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara
yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-
aspek,seperti adanya keberagaman suku bangsa , agama, bahasa dan adat istiadat
sebagainya.Di lainpihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas
dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan duniamenuju ke arah “desa dunia”
(global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari
perkembangan teknologi modern.Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah
siap menghadapi situasi situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun
namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah
sudah salingmengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.
sebagainya.Pada hal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling
pengertian dan pertukaran informasi atau makna antarasatu dengan lainnya.Dari itu
mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.(Dalam
Perbedaan budaya yang ada di tengah masyarakat yang sangat kompleks tidak mudah
untuk individu dapat menyesuaikan diri secepat mungkin untuk mendukung kegiatan sehari-
hari termasuk ketika menjalani proses pendidikan. Berbagai macam latarbelakang budaya
tidak akan memudahkan proses interraksi khususnya proses pertukaran informasi atau
penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu, Negara yang majemuk dari segi etnis,
Karena untuk memperoleh tujuan tidak akan lepas dari komunikasi. Pada praktiknya
ketika melakukan komunikasi yang berbeda latarbelakang budaya didalam suatu komunitas,
kumpulan, bahkan masyarakat bukanlah hal yang mudah karena kebiasaan-kebiasaan yang
diperoleh dari lingkungan asal, tidak akan sama ketika seorang individu berada di daerah dan
Faktor lain yang lebih khusus seorang lelaki minangkabau untuk memilih mencari
kehidupan diluar daerah asal adalah karena garis keturuana yang matrilineal dapat diibaratkan
asal, karena perempuan adalah pelanjut garis keturunan dan oleh sebab itu pilihan untuk
keluar dari rumah menjadi pilihan termasuk ketika menempuh jalur jenjang pendidikan.
Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan
jumlah pelajar asal minang terbanyak.Karena dari tahun ketahun jumlah mahasiswa asal
regular, regular mandiri, ekstensi dan Program Magister. Perbedaan antar budaya yang
dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang baru, demikian halnya dengan pelajar asal Minangkabau.
Karena ketika berpindah dan keluar dari lingkungan budaya asal dan masuk kedalam
lingkungan dengan budaya yang baru serta orang-orang yang berbeda hal ini akan menjadi
fenomena dan bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang
dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudya yang efektif.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuain diri seperti varibel-variabel
komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal, seperti karakteristik personal, motivasi
individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan
lingkungan komunikasi budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak
hal yang berbeda seperti cara berpakain, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang dan nilai-nilai
yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakain maupun bahasa
yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku,
hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja,
Medan khususnya yang sedang menempuh jalur pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
Berdasarkan konteks masalah yang terlah di uraikan di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai “Culture Shock Pelajar Minang Di Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat
a. “Apa saja bentuk culture shock yang dilami dalam interaksi komunikasi antarbudaya
b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Minang dalam mengatasi culture
Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka
dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitaian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam
culture shock yang dialami pelajar asal Minang dan upaya mengatasinya.
2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Minang di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, karena mayoritas pelajar
3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam kajian komunikasi antarbudaya
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada pelajar Minang di
USU
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi
culture shock pada pelajar asal minang di USU demi penyesuian lingkungan baru.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah
mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang Ilmu Komunikasi,
mengingat sangat sedikit penelitian yang meneliti culture shock di department Ilmu
Komunikasi.
3. Secara prkatis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama
dalam memahami konteks komunikasi anatar budaya yang terjadi disekitar kita dan
masukan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi
seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk
menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.
proposi yang mengemukakan pandangan sitematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi
di antara variable untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6)
Fungsi teori dalam sebuah riset atau penelitian adalah membantu peneliti menerangkan
fenomena sosial atau fenomena yang alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah
Proses riset/penelitian berawal dari suatu observasi atas, gejala maka fungsi teori
persoalan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali dan teori-teorinya pun belum ada.
Jadi, teori sifatnya tidak mengekang peneliti.Teori berfungsi sebagai pisau analisis, mem-
bantu periset untuk untuk memaknai data, dimana seorang periset tidak berangkat (dilandasi)
dari suatu jenis teori tertentu.Periset bebas berteori untuk memaknai data dan
interpretasi periset sehingga dapat diterima sebagai suatu kebenaran bagi pihak lain(periset
Karena itu, dalam riset kualitatif tidak dikenal dengan landasan teori. Dari proses
pemaknaan data ini, dimungkinkan melahirkan teori baru.Adapun kerangka teori yang
relevan dengan penelitian ini adalah Teori KomunikasiAntarbudaya, Bahasa Verbal dan
Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya
terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya
yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok
dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua
atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung.Apabila
kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang
yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus
disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.Budaya
bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang
orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam
Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang
komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang
sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar
belakang pengalaman mereka dari pada orang yang berasal dari budaya yang
(seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat
problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia.Studi ini juga memberi
komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin
kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi
dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya
adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi
sosial.Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi
sosialisasi dan fungsi menghibur (Liliweri, 2003: 35). Dalam komunikasi antarbudaya
terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan,
2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita
kehendaki
bertindak
4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang
sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4)
memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau
lebih.Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.Bahasa dapat
Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain
namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata
yang kita gunakan. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah
nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu aktivitas
gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Fungsi-
fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:
pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh,
ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan
Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga
dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar,
I.6.3 Akulturasi
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-
unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut,
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi
merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya
pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi
Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang
berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-
budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel
komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik
personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu,
dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140). Secara
psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi
budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap
sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).Pembahasan tentang masalah culture
shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners)
dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan
antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal
tetap, misalnya di suatu negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam
Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu
lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi,
antara lain:
3. rasa penolakan
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati
empat tingkatan culture shock.Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva
U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan
lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti
elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola
komunikasi).
yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara
konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran
atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang
sebagai perceiver.Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu
bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat
masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.Perspektif interaksi simbolik
berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan
bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia
membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain
yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi,
objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001:
68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi
didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik.
Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang
produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka
- Culture shock
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep
Karakteristik 1. Usia
Informan 2. Jenis Kelamin
3. Asal Fakultas
4. Lama menetap
Minang untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya
orang-orang Medan.
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan,
dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam
penelitian ini, fase optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Minang di USU
mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Minang mulai mengenal budaya baru
yang dimasukinya.
Karakteristik Informan:
3. Asal fakultas: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan
URAIAN TEORITIS
Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi lebih
kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya
The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan
satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication
Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya,
komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source,
messages, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1).Semua tindakan komunikasi itu berasal dari
untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat
dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda
(Liliweri, 2001:2).
Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an.
Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional
yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan
Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit
pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural
Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus
Communication.
Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh
Gundykunst. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya
ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik
oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan
terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988
komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah
komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi
dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan
bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dengan memahami kedua konsep utama itu,
sebagai berikut:
1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E.
antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras,
antarkelas sosial.
2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara
produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan
tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi
para peserta.
adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia
dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-
11).
Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang
terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya
adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak
proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang
berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.
adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi
daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53). Dalam rangka
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi
yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung
terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus
studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan
individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54). Sebagaimana sebuah
aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara
prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling
problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai
dan perbedaan pola perilaku kultural.Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak,
namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi, karena bahasa dapat dipelajari,
sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan nilai dan perbedaan pola-pola perilaku
Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap
munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur yang
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut. Usaha untuk
mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga hal
tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip
dan prasangka.
lain sebagai inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku
terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga
beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-
Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan
non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat
berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit
komunikasi yang mungkin terjadi.Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara
mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang
berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang
sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan
respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan bagian integral dari
Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara
kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak
yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240). Komunikasi antarbudaya yang benar-benar
6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita
kehendaki
7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita
bertindak
ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3)
merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang
sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam
rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi
secara jujur terhadap pesan yang datang dari komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan
bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikatoru merupakan tanggung jawabnya terhadap
dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa,
berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya
dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas
Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dan
komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, merasa dan bertindak (Liliweri,
keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal
balik.Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi
Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain
bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam
berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.
Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang
menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan
penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan
perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain,
semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).
Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam
kehidupan sehari-hari.Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari
termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara
sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.Bahasa dapat juga dianggap sebagai
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud
berbagai aspek realitas individual kita. Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan
pikiran, perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang
diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar
tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang
komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 164). Menurut Ray L. Birdwhistell,
porsi komunikasi verbal dalam komunikasi tatap muka manusia hanyalah 35%.
Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas.
Keterbatasan bahasa tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata
yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata
mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,
2005: 245-254).
(halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui
Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang
mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.Secara sederhana, pesan nonverbal adalah
semua isyarat yang bukan kata-kata.Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan
semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita
harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak
menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka.Keduanya dapat berlangsung spontan
dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai
fungsi-fungsi berikut:
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:
pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh,
ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan
diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168) Proses Komunikasi Antarbudaya Pada
dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya.Tidak mungkin
bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah
satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain.
Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka
berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang
berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.
Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya
mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah
makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata
tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang
menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama,
proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu
proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 169-
170).Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan bahasa
itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan
Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat
dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan
komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan
perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang
tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi,
walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal,
tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan
dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 201).
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-
unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.
belajar.Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan
budaya Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan
rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga
pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang
menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137)
elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam
budaya itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana
individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana
memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia
tersebut.
sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang
lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola
demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138).
Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya
Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa kanak-kanak
lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi
yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui.Sebagai seorang anggota baru dalam budaya
menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan
budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang
dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan,
bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan
suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi
dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk
situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi. Proses komunikasi mendasari
memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh
pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk
mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat
komunikasi.
bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi.Masalah-masalah
dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata,
gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh karena
itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang
berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam
menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif
sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975).Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem
komunikasi manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha
yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-
erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-
pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi.Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi
aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel persona lainnya dalam akulturasi adalah citra
diri (self image) imigran yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.
Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi.
Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi
pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya.Komunikasi sosial dilakukan
masyarakat pribumi.
imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan
berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di
daerah setempat.
Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang.Istilah ini
wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang, pengetahuan dan tujuan, tetapi
setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku komunikasinya dengan pengaturan budaya
baru yang individu tersebut datangi. Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda
dengan lingkungan asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan.
Hal inilah yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya
kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan
kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana
membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc.
kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang,
kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan dengan sungguh-
sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat,
hidup seseorang sejak kecil (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki
suatubudaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang
tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan
Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai benturan
budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-
(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_shock ).
sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu
Negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel,
2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda,
maka reaksi mereka pun berbeda.Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada
kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa
tahun. Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan bahwa bagi
orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh,
melainkan merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tapi suatu
topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi
problematik, melainkan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-
merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan
Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reasi-reaksi yang
3. rasa penolakan
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan melewati 4
(empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk
1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan berada pada bagian
penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah dengan
lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru,
ketidakpuasan.Ini adalah periode krisis dalam culture shock.Orang menjadi bingung dan
tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap
bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai
budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara bertahap membuat penyesuaian dan
4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U, individu telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan dan lain-
lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai
dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup
dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya
terdahulu.
perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta memberikan sumbangsihnya, seperti
James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey dan William I.
Thomas. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika
menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan
utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001:
68).Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang
konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari
itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk
Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama
“pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara
masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi
berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis
pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang
objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat
fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu
kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang
bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-
struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui
interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama
(Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah
yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui
percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga
2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya
dengan masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri
pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang
mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang
simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan
Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut
perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan
kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70). Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan
sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara
merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan
mereka.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada
individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang
ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan
yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang
menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya
dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses
interaksi.
METODOLOGI PENELITIAN
kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan sebuah
yayasan, kemudian beralih status menjadi PTN pada tahun 1957, dan selanjutnya menjadi
PT-BHMN pada tahun 2003. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan
berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan
ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat
Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh Gubernur
Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim (Ketua); Dr. T. Mansoer
Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan, dan
Soetan Pane Paruhum (Anggota). Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di
Medan telah mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah
Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di
Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi
Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun
1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh
Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.
tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir.
USU pada awal berdirinya terdiri dari: Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis
Presiden dan Asesor, Senat Universitas, dan Dewan Fakultas. Sebagai hasil kerja sama dan
bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu
meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan
Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya
dua orang wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies
(1954), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1956), dan Fakultas Pertanian (1956). Pada
tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir.
Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia. Pada tahun 1959, dibuka
Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang
diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. Kemudian disusul berdirinya Fakultas
Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960 di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU
terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.
(1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993),
Fakultas Farmasi (2007), Fakultas Psikologi (2008), dan Fakultas Keperawatan (2009). Pada
tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi suatu
perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN
menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI,
UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan
UNAIR (2006).
berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh,
yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan
USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan
(UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah
itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik USU.
1. Kedokteran,
2. Hukum,
3. Pertanian,
4. Teknik,
5. Kedokteran Gigi,
6. Ekonomi,
7. Ilmu Budaya,
11. Farmasi,
12. Psikologi,
14. Pascasarjana.
Jumlah program studi yang ditawarkan sebanyak 135, terdiri dari 19 tingkat doktoral,
saat ini lebih dari 33.000 orang, 1000 di antaranya adalah mahasiswa asing.
(2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan seni terutama pada
(3) mendukung pengembangan masyarakat sipil yang demokratis melalui peran USU sebagai
suatu kekuatan moral yang otonom untuk mencapai kemampuan yang kuat dalam lingkungan
kompetisi global melalui pengelolaan secara profesional sumber daya manusia, memperluas
Kampus USU berlokasi di Padang Bulan, sebuah area yang hijau danrindang seluas
120 ha yang terletak di tengah Kota Medan. Zona akademik seluas 90 ha menampung hampir
seluruh kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Sistem pembelajaran didukung oleh
fasilitas perpustakaan dan lebih dari 200 laboratorium. Perpustakaan menyediakan berbagai
jenis sumber belajar baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Perpustakaan USU
merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia saat ini. Kampus Padang Bulan juga
didukung oleh infrastruktur teknologi informasi untuk memfasilitasi akses terhadap berbagai
sumber daya informasi dan pengetahuan untuk mendukung proses pembelajaran dan
penelitian mahasiswa dan dosen. Selain itu di dalam kampus juga terdapat berbagai sarana
seperti asrama, arena olah raga, wisma, kafetaria, toko, bank, dan kantor pos. Wisuda dan
Sebuah rumah sakit pendidikan yang berlokasi dikampus Padang bulan telah dimulai
dari Kampus Padang Bulan sedang dikembangkan, yang saat ini digunakan untuk mendukung
peternakan. Dalam upaya mengembangkan diri sebagai universitas berjangkauan luas, USU
mengelola Kebun Percobaan seluas sekitar 550 ha di Langkat. USU juga telah memperoleh
Pada mulanya Fakultas Ilmu Budaya dahulu bernama Fakultas Sastra diawali dengan
keluarnya Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor :
190/1965 tertanggal 25 Agustus 1965. Pada awal berdirinya Fakultas Sastra melakukan
kegiatan dengan menumpang di Fakultas Hukum USU dengan memiliki satu jurusan saja,
yakni Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa sebanyak 45 orang.
Kemudian tahun 1966 dibuka 1 jurusan lagi yaitu jurusan Sastra Inggris. Di tahun ini
pula Fakultas Sastra pindah dan memperoleh gedung sendiri yang terletak di bahagian depan
sekolah TK Dharma Wanita USU, yang berukuran sangat kecil. 1 (satu) tahun kemudian
Fakultas Sastra mendapat tambahan gedung eks PU di Jalan Prof. Muhammad Yusuf juga
dengan ukuran yang sangat minim dan tidak memenuhi syarat karena hanya terdiri dari 2
(dua) ruangan untuk kuliah dan 2 ruangan untuk administrasi. Pada tahun 1967, Fakultas
Sastra pindah lagi ke gedung Pancasila (sekarang Pendopo USU) yang luasnya sudah
memenuhi kebutuhan tetapi terkendala dengan masalah air dan listrik. Dalam
perkembangannya Fakultas Sastra membuka lagi jurusan baru yaitu Jurusan Sejarah pada
tahun 1968, namun jurusan ini belum langsung aktif melaksanakan kegiatannya dikarenakan
ketiadaan mahasiswa, dan tahun 1970 adalah tahun pertama jurusan ini mulai menerima
mahasiswa baru.
direnovasi menjadi ruang kuliah dan satu ruang seminar. Dengan bertambahnya gedung dan
ruang bagi kelancaran belajar engajar di Fakultas Sastra saat itu, pada tahun 1979 kembali
dibuka jurusan baru di Fakultas Sastra yaitu Jurusan Sastra dan Sastra Melayu dan Sastra
Daerah untuk Sastra Batak. Pada tahun ini pula dibuka jurusan Etnomusikologi, satu-satunya
yang ada di Indonesia sampai tahun 1989. Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan
bantuan terutama dari FORD Foundation Jakarta antara lain berupa beasiswa bagi mahasiswa
dan staf pengajar serta bantuan tenaga konsultan. Selain itu jurusan ini juga mendapat
bantuan dari PEMDA Kota Madya Medan berupa satu Gedung untuk perkuliahan/praktek.
Selanjutnya pada tahun 1980 dibuka Program Studi S1 Bahasa Arab, Jurusan Ilmu
Antropologi dan Jurusan Ilmu Perpustakaan, namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu
sedangkan Jurusan Antropologi dipindahkan ke FISIP USU dengan SK Rektor USU Nomor :
Tahun 1990 Fakultas Sastra kembali mendapat tambahan gedung, yakni eks gedung
BAAK dan eks Perpustakaan USU dan pada tahun 2003 mendapat tambahan 1 unit gedung
eks USU Press dan kemudian direnovasi menjadi kantor Pariwisata D3 dan Kantor jurusan
bahasa Jepang. Tahun Akademik 2007/2008 dibuka jurusan baru yakni Program Studi Sastra
China. Hal ini merupakan kerjasama Universitas Sumatera Utara dengan Jinan University.
Adapun perkembangan tahun 2009 ini adalah dibukanya Program Studi Magister S2
(Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Sastra USU). Proses penerimaan siswa untuk
Program S2 ini mulai dibuka pada bulan Juli 2009 sampai bulan Agustus 2009 yang
kemudian menerima sebanyak 18 orang siswa. Program Studi Penciptaan dan Pengkajian
Seni jenjang Magister (S2) ini sendiri disahkan oleh Rektor Universitas Sumatera Utara pada
tanggal 27 Agustus 2009 berdasarkan Surat Keputusan Rektor No. 924/H5.1.R/SK/PRS 2009.
4.Alm. T. Mahmuddin
11.Drs. Abubakar
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awalnya Fakultas Sastra hanya memiliki 1
jurusan saja, namun seiring dengn dengan meningkatnya kebutuhan sarjana Sastra dalam
berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan maka Fakultas Sastra USU selanjutnya
membuka jurusan-jurusan/program studi Strata 1 (S1) dan Diploma 3 (D3), sebagai berikut :
1965, dibuka jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa 45 orang.
1966, dibuka jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dengan jumlah mahasiswa 50 orang.
1968, dibuka jurusan Ilmu Sejarah tetapi belum ada kegiatan karena mahasiswanya belum
ada dan pada tahun 1970 barulah pertama kali menerima mahasiswa.
1979, dibuka jurusan Etnomusikologi (satu-satunya yang ada di Indonesia sampai tahun
1989). Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan bantuan terutama dari FORD
Foundation Jakarta antara lain beasiswa bagi mahasiswa dan staf pengajar serta bantuan
tenaga konsultan.
1980, dibuka Program S1 Bahasa Arab, Jurusan Antropologi, dan Jurusan Ilmu
Perpustakaan namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu Perpustakaan ditutup dan sebagai
Visi
FakultasI lmu Budaya Universitas Sumatera Utara menjadi suatu lembaga pendidikan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang kebudayaan yang unggul dan
terkemuka secara regional, nasional dan internasional dan berwawasan pada nilai-nilai
budaya bangsa.
Misi
yang bermutu tinggi dan mampu bersaing baik secara regional, nasional dan internasional.
pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bermanfaat untuk kepentingan umat
dan lembaga lainnya baik di dalam maupun di luar negeri dalam bidang kebudayaan untuk
kemasyarakatan.
untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berkarakter dalam ilmu budaya dan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan akademik. Memperluas partisipasi aktip dalam
pengajaran dan pembelajaran sesuai kebutuhan nasional, dan memodernisasikan metode dan
disiplin ilmu dan antar disiplin ilmu. Menciptakan tata pamong fakultas yang transparan,
akuntabel dan demokratis. Menciptakan pendekatan baru yang berfokus pada pembelajaran
untuk meningkatkan kreativitas sivitas akademika. Menjadi perantara untuk kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, kesenian dan kebudayaan baik secara regional nasional maupun
mail: fib@usu.ac.id
a. Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) resmi menjadi Fakultas pada tahun 1982
berdasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahhun 1982.SK Presiden
Sumatera Utara. Walaupun FISIP USU baru resmi terbantuk pada tahun 1982, tetapi cikal
bakal FISIP USU itu sudah muncul pada tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Rektor
USU Nomor. 1181/PT.05/C.80, pada tanggal 1 Juli 1980. Perkuliahan pertamakali dilakukan
pada tanggal 18 Agustus 1980 dengan jumlah mahasiswa hasil ujian SIPENMARU bulan Juli
1980 sebanyak 75 orang. Lebih kurang dalam waktu satu tahun, keluar Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor 0535/0/83 tentang jenis dan jumlah jurusan
R.I itu, disebutkan FISIP USU mempunyai 6 (enam) jurusan dengan urutan berikut :
Jurusan Sosiologi
Jurusan Antropologi
Jurusan MKDU
Pembentukan jurusan di FISIP USU tidak berjalan sesuai dengan urutan berdasarkan
Surat Keputusan Mendikbud R.I. Nomor : 0535 / 0 / 83 itu, karena pembukaan Jurusan pada
ntahap awal di lakukan pada Semester tujuh yang didasarkan pada pilihan mahasiswa. Selain
itu juga bergantung pada ketersediaan staf pengajar. Dewasa ini FISIP USU mempunyai 6
(enam) Departemen, satu Program Diploma III, dan Satu Program Pasca Sarjana yaitu
sebagai berikut : Departemen Ilmu Administrasi yang dibagi ke dalam Program Studi Ilmu
Dekanat
b. Visi dan Misi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Visi
Visi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah:
“Menjadi Pusat Pendidikan dan Rujukan Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Politik di Wilayah
Barat”
Misi
Menghasilkan Alumni dengan skala kualitas global dan menjadi pusat riset , kajian
dalam studi ilmu sosial dan politik. Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan
seluruh stakeholders dan mitra pendidikan. Misi ini berhubungan dengan fungsi relasi yang
harus dibangun oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sebagi
suatu organisasi profesional pendidikan. Bentuk kolaborasi dengan organisasi lain perlu
dijajaki dengan sikap open minded dan profesional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara harus mampu melihat peluang kerjasama yang ditawarkan atau
malah mampu menawarkan kerjasama tersebut pada pihak lain. Membentuk lingkungan kerja
sehat, harmonis dan profesional bagi staf dan mitra kerja. Misi ini berhubungan dengan azas
profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan. Lingkungan dan suasana kerja yang dibangun
mekanisme yang mampu membangun suasana tersebut. Prinsip Profesionalitas juga harus
didukung dengan prinsip persaudaraan dan pertemanan (makna positif) dengan kemampuan
kepentingan publik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sangat
potensial sebagai institusi pendidikan yang membawa misi di atas dengan melihat
pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara merupakan
fakultas kesembilan di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Kelahiran Fakultas ini tidak
jauh berbeda dengan fakultas lainnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Pada awal
pendiriannya (1980), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara masih
Utara.
Ilmu Sosial (IIS). Pada tahun 1982, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial resmi menjadi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, dengan menggunakan gedung perkuliahan di Fakultas Kedokteran
Utara-Indonesia
Selaras FKM USU sejak tahun 2009 telah mengelola 3 program studi (S1, S2, dan S3),
maka visi, misi, tujuan dan kopetensi sangat5 perlu disempurnakan, agar FKM USU menjadi
Ilmu Kesehatan Masyarakat pada jenjang Pendidikan S1, S2, dan S3. Penyempurnaan ini
sangat penting dilakukan, agar kegiatan FKM USU, terutama dalam bidang pendidikan
Penelitian dan pengabdian masyarakat, dapat dilakukan dengan sebaik – baiknya untuk
menjamin tercapainya kopetensi lulusan, memberi kontribusi pada pengembangan seni, ilmu,
dan teknologi kesehatan masyarakat, dan memberi kontribusi dalam menanggulangi masalah
kesehatan masyarakat. Adapun visi, misi, tujuan, dan kopetensi yang ditawarkan, dirinci
dibawah ini.
Visi
Misi
Kesehatan Masyarakat, Magister Kesehatan, dan Doktor sesuai kopetensi dalam bidang
kesehatan masyarakat.
2. Menghasilkan penelitian ilmiah yang mendukung pengembangan ilmu, seni, dan teknologi
masyarakat.
Kopetensi
c. Mampu melaksanakan kegiatan ilmiah dan kegiatan produktif dalam bidang kesehatan
masyarakat sesuai peminatanya, dengan sikap dan perilaku yang sesuai tata kehidupan
d. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni dalam bidang
kesehatan masyarakat sesuai minat studinya, dengan cara menguasai dan memahami
3. Kopetensi Doktor
masyarakat.
Kompetensi lulusan sesuai uraian diatas dapat dirinci lagi berdasarkan peminataan atau minat
studi yang telah diselenggarakan FKM USU, pada jenjang pendidikan S1, S2, dan S3
(pendekatan disertasi).
Alamat: Jl. dr. Mansur No. 21 Padang Bulan, Medan- 20155 -Sumatera Utara- Indonesia
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
merupakan proses, prinsip dan prosedur yang digunakan peneliti untuk mendekati suatu
masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah sebuah pendekatan
umum untuk mengkaji topik penelitian. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian
dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks,
yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika
data yang terkumpul sudah mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka
tidak perlu mencari sampling yang lainnya. Hal yang lebih ditekankan adalah kualitas data
bukan banyak (kuantitas) data. Dalam riset kualitatif, peneliti adalah bagian integral dari data
yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti
adalah instrument riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu penelitian ini
bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan (Kriyantono,
2008: 56-57).
Suatu metode tidak dapat dinilai benar atau salah karena ia diukur berdasarkan
kemanfaatannya. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, kita tidak cukup sekedar
melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga harus melihat bagaimana peneliti sampai
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus
merupakan salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada
kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan
komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi
(komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah
sebanyak mungkin data mengenai data subjek yang diteliti (Mulyana, 2001: 201). Dengan
demikian, peneliti studi kasus berupaya memberikan pandangan yang lengkap danmendalam
mengenai subjek yang diteliti. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu,
Karena itu menurut Kriyantono (2008: 66), studi kasus memiliki ciri-ciri:
- Deskriptif. Hasil akhir metode ini adalah deskripsi detail dari topik yang
diteliti.
2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa
4. Studi kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas
transferabilitas.
5. Studi kasus terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan bagi
berdasarkan domain yang dikaji serta keinginan-keinginan peneliti tentang topik mana yang
wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawabannya yang paling mendekati dan
berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain mengenai kasus
tersebut. Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk merapkan prinsip umum
dikemukakan berdasarkan isu-isu penting yang muncul dalam bentuk pertanyaan. Dengan
pengetahuan dan kreativitas dalam mengidentifikasikan dan membahas isu-isu ini dari sudut
pandang teori dan riset yang relevan serta dalam merancang strategi yang realistik dan layak
untuk mengatasi situasi problematik yang teridentifikasi dalam kasus (Mulyana, 2001: 202).
Menurut Ragin dalam Mulyana (2001), metode studi kasus bersifat holistik yang
keseluruhan itu dipahami sebagai konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola
umum kovariasi antara variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-
unit yang sebanding. Hubungan sebab-akibat dalam studi kasus dipahami sebagai perkiraan.
hubungan mana pun mungkin menimbulkan akibat. Kedua sifat ini memungkinkan peneliti
perubahan kualitatif yang penting dalam situasi-situasi yang spesifik (Mulyana, 2001: 203).
Mansur, Padang Bulan, Medan 20155. Lokasi penelitian tidak hanya berlangsung di dalam
Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil penelitian. Hasil
penelitian lebih bersifat kontekstual dan kasuistik sesuai dengan waktu dan tempat pada saat
penelitian dilakukan. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel.
Sampel pada penelitian kualitatif disebut informan atau subjek penelitian, yaitu orang-orang
yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai dengan tujuan penelitian. Informan
dianggap sebagai individu yang aktif mengkonstruksi realitas, tidak hanya sekadar objek
yang hanya mengisi kuesioner (Kriyantono, 2008: 163).Untuk studi kasus, jumlah informan
dan individu yang menjadi informan dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.
Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang memiliki pengalaman sesuai
dengan penelitian,orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses
(Bogdan,1992: 5).
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa asal minangkabau di USU yang dibatasi pada
tiga fakultas yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas
Kesehatan Masyarakat sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini minimal
subjek telah menetap selama lebih dari satu tahun dan kurang dari lima tahun.
tekik penarikan sampel bola salju (snowball sampling). Teknik snowball sampling banayak
ditemui dalam riset kualitatif. Sesuai namanya, teknik ini bagaikan bola salju yang
menggelinding dari puncak gunung ke lembah, semakin lama semakin membesar ukurannya.
Jadi, teknik ini merupakan teknik penentuan subjek penelitian yang awalnya berjumlah kecil
kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan informan pertama diminta
itu informan bertambah jumlahnya dan informan pertama tadi menjadi titik awal pemilihan
informan
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti
untuk mengumpul data penelitian. Ada beberapa teknik atau metode pengumpulan yang bisa
digunakan. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan dari metode tergantung
Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling
independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode
seperti metode bahan visual dan penelusuran bahan internet (Bungin, 2008 : 107)
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara
terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lain. Dengan demikian keabsahan
2) Observasi
mediator, sesuatu objek untuk melihat denagan dekat kegiatan yang dilakukan
digunakan pada riset kualitatif. Yang observasi adalah interaksi (perilaku) dan
percakapan yang terjadi anatara subjek yang diriset. Sedangkan observasi yang
yang dilakukan kelompok yang diriset, baik kehadirannya atau tidak (Kriyanto,
2008 : 108-110).
Tahap analisis data memegang peranan penting dalam penelitian kualitatif. Yaitu
sebagai faktor utama penilain kualitas penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik analisis
data kualitatif dimana analisis data yang digunakan bila data yang terkumpul dalam riset
adalah data kualitatif beruapa kata-kata. Kalimat- kalimat, atau narasi- narasi, baik yang
diperoleh dari wawancara mendalam maupun observasi (Kriyanto: 2008 : 194). Melalui data
kualitatif , data kualitatif yang diperoleh dari lapangan yang bersifat khusus kepada yang
Analisis kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil dikumpulkan
periset di lapangan. Data tersebut terkumpul baik melalui proses observasi, wawancara
subjek penelitian, tingkat autensitasnya dan melakukan triagulasi berbagai sumber data.
pemaknaan atau interpretasi tersebut, periset dituntut berteori untuk menjelaskan dan
1. Mengorganisir informasi
2. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode
3. Membuat suatu urain terperinci mengenai kasus dan konteksnya
4. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
5. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural
dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus lain.
6. Menyajikan secara naratif
jenjang pendidikan strata satu di USU dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Peneliti berhenti pada informan kesepuluh karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini
disebakan kareana data yang diberikan informan hampir rata-rata mempunyai kesamaan.
Pelaksanaan dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara
Permohonan surat penelitian telah diurus dengan cara meminta persetujuan tertulis
dari fakultas dan telah disampaikan kepada biro rektorat yang kemudian di lanjutkan ke Pusat
Sistem Informasi USU (PSI USU). Sesuai dengan lokasi penelitian, peneliti melakukan
observasi ke tiga fakultas yakni, FISIPOL, FIB dan FKM. Setelah itu peneliti mencari
informasi yang lebih akurat tentang wadah mahasiswa minang berkumpul, ternyata disini
peneliti menemukan Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol USU (IMIB USU) setelah mendapatkan
bantuan dari beberapa teman di IMIB USU kemudian peneliti bertemu dengan ketua IMIB
USU, setelah berbincang cukup lama peneliti menyampaikan maksud dan ketua IMIB USU
mengajak ke acara temu ramah yang tidak terlalu formal, disanalah peneliti bertemu dengan
informan yakni mahasiswa minang yang sedang berstudi di USU dari berbagai daerah di
Sumatera Barat dan dari berbagai Fakultas. Pencarian informan cukup sulit karena kesedian
informan serta karena informan masih merasa masih baru mengenal peneliti, walaupun
peneliti juga menggunakan bahasa minangkabau. Setelah cukup meyakinkan para informan,
peneliti mengumpulkan data dan membuat perjanjian tentang tanggal dan waktu observasi
dan wawancara.
dan mengikuti jadwal informan sendiri. Di setiap lokasi, peneliti juga selalu melakukan
tentang culture shock yang mereka alami ketika pertama kali sampai di Medan. Kemudian
peneliti mendapatkan penguatan dan informasi tambahan melalui observasi langsung. Proses
informan bercerita untuk memperoleh informasi yang lebih banyak. Ketika melakukan
wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan informasi tentang culture shock dalam hal
interaksi komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam hal makanan, cuaca, lalu lintas dan
sebagainya. Hal ini peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi. Tujuan pembuatan
karakteristik informan (usia, jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap) adalah untuk
informan dengan culture shock yang dialami dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.
Untuk itu, peneliti harus menemukan temuan yang dapat dijadikan kesimpulan nantinya apa
Tabel 2
Kelamin Menetap
(L/P)
Hengki kesuma
Nur
t 33/25
Sarman No.7
45A
Ananta n Gang
Rejeki No.5B
Sepri no 70 P bulan
Susanti
Oktaviani Masyaraka No 16
t No.15
Kamboja
No.27
Informan 1
Nama : Salmi Hengki
Usia : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : ISIPOL
Angkatan : 2009
Lama Menetap : 3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jl Bunga Wijaya Kesuma Pasar V
Tanggal Wawancara : 24 september 2012
Salmi Hengki adalah informan yang pertama ditemui oleh peneliti yang sedang
berada dirumah kontarakannya. Hengki adalah sosok yang bersahaja dan ramah ini terlihat
dari raut wajah yang bersahabat dan cepat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, terlihat
“Satahu ki urang minag ko dikecekan kareh ndak loo doh, tapi urang minang ko lai
capek baradaptasi jo urang lain atau jo lingkungannyo, dan labiah capek bersosialisasi,
karakter urang minang ko labiah fleksibel”.
(Setahu ki orang minang dikatakan keras tidak juga,akan tetapi lebih cepat beradaptasi
dengan orang lain atau dengan lingkungannya dan lebih cepat bersosialisasi, karakter orang
minag lebih fleksibel).
Ketika pertama datang ke kota Medan Hengki tidak terlalu risih atau cemas jauh dari
orang tua, karena ternyata dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas Hengki telah
berpisah dengan orang tua dikarenakan sekolah yang bagus sangat jauh dari rumah, Hengki
Dalam hal bergaul Hengki ternyata tidak mempermasalahkan perbedaan etnis atau
agama ia beranggapan etnis dan keyakinan adalah hak persoanal seseorang dan tidak terlalu
penting untuk menjadi sebuah permasalahan, akan tetapi sebelum pergi ke kota Medan
sempat terpikirkan bahwa orang medan adalah orang yang kasar dan dengan watak yang
keras.
“Lai ado awak bagaul jo etnis lain katiko dikampus, jo urang batak, melayu, india
bahkan cino pokoknyo sadoalahnyo, Cuma dek lingkungan wak urang padang mako labiah
dakek wak ka urang padang. Dalam gambaran wk medan tu kota yang kareh dan urangnyo
urang batak dan wk anggap urang batak ko urang nan terkenal kareh mangeceknyo, sebab
waktu wk sma dulu ado urang batak dan urang batak tu kareh bukan dek kceknyo se, tapi
prinsipnyo kareh juo”.
(saya juga bergaul dengan etnis lain ketika berada dikampus, sperti orang batak,
melayu,india,cina intinya semua orang, akan tetapi karena dilingkungan tempat tinggal lebih
banyak orang padang karena lebih dekat dengan orang padang.Dalam gambaran saya medan
kota yang kers dan terkenal dengan orang batak seperti berbicara dengan nada yang tinggi
dan prinsipel).
Banyak hal baru yang ditemui Hengki dikota Medan terlebih karena adanya
perbedaan yang sangat jauh antara daerah asal dan Medan, ada beberapa kebiasaan yang tidak
ia lihat ketika dikota Medan khususnya kepada hal yang bersifat pribadi, permaslahan pribadi
lebih cepat menyebar ketika berada didaerah asal dibandingkan dimedan tuturnya.
Setiap individu pasti akan selalu memiliki permasalahan, apalagi ketika berada jauh
dari keluarga dan teman dekat, begitu hal dengan Hengki. Ia juga memiliki masalah selama
menjalani pendidikan dimedan, akan tetapi ia memiliki solusi ketika permasalahan tersebut
muncul, seperti permasalahan dalam kuliah, cara bergaul dan bertanya kepada senior menurut
ia adalah cara mengatasinya.
“Misalnyo waktu tu masalah makan, karano ado perkumpulan minang disitulah awak
banyak batanyo dima tampek makan, tampek bali buku selain tu ado dari senior-senior di
kampus atau di kost yang maagiah awak arahan.pokoknyo sadoalah tentang medan ko wak
tahu dari komunitas mahasiswa minang dan senioren awak dikampus”.
(Seperti masalah makan, karena da perkumpulan mahasiswa minag disanalah saya
banayak bertanya dimana tempat makan, tempat beli buku murah, selai itu juga bertanya
kepda senior-senior dikampus atau kost yang memberi saya arahan)
mengahargai orang lain sangat penting jika kita juga ingin dihormati, begitulah cara ia
“Pelajaran yang awak dapek, awak jadi lebih menghargai urang lain, sebab awak
basobok jo urang-urang nan berbeda, dari situ awak bisa mancaliak baa gaya hidup urang,
bantuaknyo ado alasan masing-masing setiap urang tu, baa kok anyo bersikap seperti nan
awak caliak, dan katiko awak hargai urang lain, mako disitu lah awak akan dihargai urang
lain disitulah muncul jiwa-jiwa toleransi awak terhadap urang lain”.
(Pelajaran yang saya dapatkan, syaa lebih menghargai orang lain, sebab saya
berjumpa dengan orang yang berbeda, dari situ saya bisa melihat bagaimana gaya hidup
orang lain, sepertinya ada alasan tersendiri mengapa orang bersikap seperti yang terlihat, dan
karena itu saya menghargai orang lain, agar orang lain menghargai kita dan dari situlah
muncul sikap toleransi terhadap perbedaan dengan orang lain).
“Yang partamo jaan malu-malu batanyo, jaan jadi uarang yang sok tahu wak katiko
dinagari urang ko, apo lai nan baru bapisah jo urang gaek, itu biasonyo urang tu maraso
masih barado dirumah dan itu sangat babahayo sebab ndak ado jaminan apo yang wak
inginkan bisa terwujud.intinyo jaan pernah manyamoan diri dirumah dan dirantau urang
ko”.
(Yang pertama jangan malu-malu bertanya, jangan jadi orang yang sok tahu kita
ketika ditempat lain, apalagi berpisah dengan orang tua, biasanya orang masih merasa masih
bagaikan dirumah sendiri dan itu sangat berbahaya sebab tidak ada jaminan apa yang kita
Kesimpulan
Hengki mengalami culture yang tidak terlalu sulit, karena ia telah terbiasa dengan
lingkungan baru dan cepat beradaptasi, akan tetapi kebiasaan yang menyangkut persoalan
masalah pribadi sangat berbanding terbalik antara masyarakat kota medan dan didaerah asal,
dengan kepribadian yang terbuka hengki lebih cepat menerima kebudayaan dari orang lain
dan penghargaan terhadap perbedaan budaya-budaya lain menjadi kunci baginya ketika
menghadapi karakter orang-orang dikota Medan. Komunikasi antar budaya menjadi peranan
bagi hengki untuk memahami makna-makna dibalik perkataan yang keras seperti streotype
Informan 1
Nama : M. Akmal Nur
Usia : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : ISIPOL
Angkatan : 2009
Lama Menetap : 3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jl dr Mansyur
Tanggal Wawancara : 28 september 2012
Informan berikut adalah seorang anak nagari minangkabau yang bersal dari daerah
Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Peneliti menemui Akmal atau lebih dikenal oleh
teman-teman sejawatnya dengan panggilan datuak, di salah satu toko retail outdoor yang
bernama eiger, Akmal juga seorang petualang yang sangat menggemari dunia outdoor atau
pecinta alam ia tergabung didalam salah satu mahasiswa pecinta alam (mapala) unit kegiatan
Peneliti langsung bertanya mengapa akmal dipanggil datuak, karena menerut dan
sepengetahuan peneliti datuak adalah gelar ketua suku yang sangat bertuah didaerah
“Waktu ado penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi urang
minang, jadi disitu ado pemilihan datuak jo bundo, kebetulan lah awak nan tapiliah sajak
(Sewaktu ada penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi orang
minang, jadi ketika dalam acara diadakan pemilihan datuak dan bundo, kebetulan saya yang
Setelah mendengar jawaban tersebut agar lebih akrab peneliti memanggil akmal
dengan datuak, informan tidak keberatan. Akmal dahulu sewaktu masa SMP dan SMA
melalui massa di pondok Pesantern IV Angkek Canduang akan tetapi karena ada suatu
permasalahan yang melibatkan akamal ia pindah sekolah ketika akan naik kelas tiga SMA,
namun dasar agama cukup kuat tertanam dalam diri akmal.datuak berinteraksi seperti orang-
orang biasa lainnya, ia sosok pribadi yang cukup terbuka terhadap lingkungan sekitar.
“Buliah di kecekan biaso-biasosenyo kebetulan pas baru bana tibo dimedan ko awak
tingga samo mak tuo wak, jadi ndak kontras bana lah rasonyo dirumah jo dimedan, pas
dikost patangtu interaksi ndak bitulah bana doh, sebab wak baduo se jo bang zulfikar nan
muslim jadi sekedar say helo senyo,Cuma dek lah cukuik lamo cukuik akrab juo jadinyo tapi
(Boleh dikatakan biasa-biasa saja, kebetulan pertama kali datang ke Medan saya
tinggal untuk sementara dirumah tante, jadi tidak terasa perbedaan anatara dirumah dan
dimedan, waktu kost tidak juga terlalu berinteraksi, seaba saya dan bag Zulfikar yang hanya
sebagai teman)
Perbedaan agama cukup menjadi masalah dan halangan ketika akmal berinteraksi
ketika baru tinggal dirumah kost-kosan, sampai akhirnya akmal sekarang tinggal dan
“Partamokan ado senior wak di KOMPAS USU, sebelum tu wak alun tahu jo senior
tu lai, wak masuak kompas awal 2011, disitulah wak kenal jo pemilik kadai ko, tu kalo ndak
salah sabulan sudatu di telpon no wak, keceknyo dek ndak ado nan manjago kadai ko
ditawarannyo wak, tu wak pikia-pikia ado untuangnyo, selain wak bagaji, tampek tingga gae
perai ndak mambayia, tu nan pasti wak lai suko pulo manggaleh”.
(Pertama ada senior saya di KOMPAS USU, sebelumnya saya belum tahu dengan
senior. Saya masuk KOMPAS USU awal tahun 2011, disanalah saya kenal dengan pemilik
toko ini, kalo tidak salah satu bulan datang panggilan dan ditawari untuk menjaga toko dan
sekalian tinngal disini lumayan tempat tinggal gratis,dan saya juga suka berdagang).
minang marantau istilahnyo untuak anak mudo harago mati kalau ndak ado usaho
dikampuang ancak marantau wak lai. Jadi untuangnyo disiko manambah wawasan wak yang
(Bagaimanapun dikampung lebih baik, tapi disini namanya manusia sebagai orang
minag marantau istilahnya bagi anak muda adalah harga mati jika tidak ada usaha dikampung
lebih baik saya merantau. Jadi kelebihannya pertama menambah wawasan dari kuliah dan
Gadang atau metro politan Cuma tu lah walaupun kota gadang tapi insfrasrukturnyo banyak
nan ndak layak pakai caliak lah angkotnyo jalannyo bedo jauh lah jo bukittinggi”.
(Dari segi pergaulan tidak terlalu mengejutkan, sebab dahulu saya juga telah merantau
ke kota besar atau metropolitan, Cuma terkejut melihat angkutan umum dan jalan yang
Dalam perkulihaan ternyata informan tidak terlalu mengalami kendala, akan tetapi ia
menyesalkan tidak adanya keahlian yang lebih spesifik ketika tamat dari FISIP, berikut ini
pendapat akamal.
“Ado tapi ndak bitulah bana doh,Cumo tu lah kalo awak anak fisip ko memang harus
berorganisasi kalo maarokkan dari dosen se ndak kaado dohh, mencari keahlian wak yang
lain memang harus diorganisasi, po lai nantik untuak dunia kerja fisip ko masih ngambang,
di awang-awang mangko no wak butuh keahlian lain untuak manunjang wak nantik mode
awak jurusan administrasi negara kan ndak harus karajo dipemerintahan mungkin se
diwirausaha”.
(Tidak ada keahlian yang menunjang ketika tamat dari FISIPOL kalau diharapkan
pekerjaan dari pemerintah itu mustahil mungkin wirausaha juga jalan yang cukup bagus)
“Kalau bahaso lai lah tapi ndak lamo bana lo doh, kalo soal budaya dikota medan ko
ndak jaleh se, istilahnyo kama angin baambuih kakian lo baliang-baliang baputa, apo nan
trend itu lo diikuti ado nan iko, iko lo baikuikan, ado nan baru langsuang lo batuka,
bisuak ntah apo lolai. Mungkin dek dimedan ko majemuk multi etnis multi agamo jadi
panutan tu ndak jaleh se, kalau dikampuang kan ado datuak atau nan tuo jaleh ka jadi
panutan.”
dapat diatasi dalm waktu yang tidak lama, budaya kota medan tidak jelas, istilahnya kemana
angin berhembus kesana arah baling-baling menghadap, setiap yang baru selalu ditiru dan
kebanyakan tidak berprinsip mulai dari cara berpakain, cara berbicara, sekarang k-pop (korea
pop) besaok natah apa lagi, mungkin karena medan majemuk multi etnis, multi agama, jadi
tidak ada yang menjadi panutan, beda dengan di kampung ada panutan seperti datuak atau
Akamal sosok yang berprinsip dan cukup teguh memegang sandi-sandi nilai budaya
minangkabau tercermin dari filosofi hidup yang dipegangnya, banyak hal-hal yang membuat
peneliti cukup terkejut dengan peneturan akmal yang dalam maknanya.
”Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, ingek dahan kamaimpok ingek
awak lupo atau cilako jo kehidupan wak surang pasti karano awak surang bukan karano
urang lain nan maksud wak tu kalo wak lah terlalu jauh maninggaan agamo ingek-ingek lah
(Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, ingat dahan akan menghimpit, ingat
ranting akan terpelintir, mungkin itu berhubungan dengan kehidupan yang saya jalani,
seandainya ada masalah atau saya lupa dan celaka, maka pasti karena ulah diri sendiri,
agama).
Pemahaman yang telah didapatkan oleh akmal telah menjadi bekal untuk menempuh
pendidikan dan jauh dari orang tua, rasa horma dan harga menghargai menjadi kunci utama
dalam menempuh saat-saat melanjutkan hidup di negeri orang. Peneliti menanyakan tentang
pemahaman atau pelajaran dan pengalaman yang telah didapatkan oleh akmal
randah”..
batang karambia, kalaunyo basarang randah pasti ado panjagonyo dibawah kok ula nan
basarang atau pinyangek nan baracun, artinyo dalam wak bersosialisasi di masyarakat yaitu
urang nan marandah bukan urang sok tu pasti ado kalabihannyo ado palinduangnyo, ado
ilmunyo, ilmu disiko ado ilmu agamonyo, walupun wak sapele mancaliak urang tu tapi kalu
dimato tuhan tinggi derajat urang tu. Ndak baa wak hormat ka urang mode tu dari pado
urang nan dari lua tampang covernyo rancak tapi nyo sombong”. “salah urang mangko
salah awak, salah awak mangko nampak salah urang, dek awak nan salah mangko
(Maksudnya adalah dimana tawon bersarang rendah maka dibawahnya pasti ada
penjaganya ada ular atau binatang beracun lainya, makna di balik itu adalah tidak semua
orang yang merendah diri adalah orang yang rendah, dibalik kerendahannya pasti ia memiliki
pegangan ilmu pengetahuan serta pengetahuan agama yang baik, ketika kita melihat
kesalahan orang alain, lihatlah terlebih dahulu kesalahan kita, maka kesalahan orang lain
Akmal juga mengalami gegar budaya akan tetapi tidak terlalu dalam skala yang besar,
dilihat dari tutur kata serta mimik berbicara ia seorang yang bijak dan telah mendapatkan
pedoman-pedoman adat dan agama yang baik, tidak terlalu menjadi permasalahan ketika ia
harus jauh dari orang tua, akan tetapi masalah perbedaan agama tetap menjadi hal yang
sensitif baginya, namun lambat laun perbedaan dapat diterima ketika berinteraksi dalam
waktu yang cukup lama dan pencegahan serta cara mengatasi linkungan yang baru ia
berpedoaman kepada pituah-pituah minang dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari.
Informan 3
“Kalau di keluarga iyo masih pake bahaso Minang, paliang ciek-ciek katonyo yang
pakai bahaso Indonesia. Di siko kalau samo-samo urang Minang Inda sobok jo kawan-
kawan yang ndak Minang, pake bahaso Indonesia, tapi kadang pake bahaso Minang”.
(Kalau di keluarga, iya, masih menggunakan bahasa Minang, paling satu-satu kata
saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Di sini kalau bersama teman-teman Inda yang
Minang kalau bertemu dengan kawan-kawan yang bukan, menggunakan bahasa Indonesia,
Selain itu, keberadaan mamak di dalam keluarga Winda juga masih berperan dalam
penyampaian dan pengajaran tata krama dan sopan santun kepada Winda. Termasuk ketika
Winda menghadapi masalah, mamaknya lah yang lebih dahulu berperan dalam pemecahan
masalah tersebut. Kedekatan ia dengan mamaknya sudah terbentuk sejak Winda kecil karena
mamak dan ibunya masih tinggal di rumah yang sama.
“Ketika wak bersikap jo urang gitu, kalau ado yang salah langsung inyo capek
tanggap gitu, mangecekan langsung ka Inda sabalum ka ama, kadang labiah acok nyo dulu
mengecekan ka Inda daripado ama mengecekan ka Inda. Soalnyo dakeknyo tu katiko Nda
ketek-ketek nyo lah tingga jo ama Nda, jadi lah Universitas Sumatera Utara
dakek”.
(Ketika kita bersikap kepada orang lain gitu, kalau ada yang salah dia langsung cepat
tanggap, menyampaikan langsung kepada Inda sebelum kepada mama, kadang dia lebih
sering yang menyampaikan langsung kepada Inda, bukan mama. Karena kedekatannya dulu
ketika Nda masih kecil dia sudah tinggal bersama mama, jadi sudah dekat).
bakawan di rantau”.
berteman di rantau).
Akan tetapi, setibanya di Medan Winda mengalami culture shock yang membuatnya
terkejut. Mulai dari suasana lingkungan Medan hingga dialek yang kasar. Bahkan ia
menangis ketika pertama kali disapa dengan kata “Kau’. Hal ini tampak dari ekspresi
wajahnya yang memelas ketika bercerita kepada peneliti.
“Medan ko kasa, ndak nio do, sumpah ndak nio do. Di siko kumuah, angek, banyak
debu, polusinyo terlalu banyak, angek bana ko a, lameh Inda patamo di siko. Pas awal
matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo dek urang, takajuik la Inda gitu a.”Kau
dari mana?” eh…ya Allah, di pa kau an nyo Inda. Agak cangguang Inda mandanganyo
patamo, tapi nyo biaso-biaso se, inyo santai-santai se, Inda yang respon Inda takajuik.
Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, mandanga dialeknyo mangecek gitu kan, apolagi
supir angkot, takuik Nda. Apolagi pas ospeknyo tu a, Inda kanai berang, talambek, tu ado
kakak manyapo Inda, tu Inda sapo, tu diberangan dek urang. Nangih Nda”.
(Medan ini kasar, tidak mau, sumpah tidak mau. Di sini jorok, panas, banyak debu,
polusinya terlalu banyak, panas sekali, lemas Inda ketika pertama kali di sini. Waktu awal
matrikulasi, Inda hampir menangis, Nda di panggil “Kau” oleh orang lain, terkejut waktu itu.
“Kau dari mana?” eh…ya Allah, di panggil kau. Agak canggung Inda pertama kali
ya, karena kita baru-baru gitu, mendengar dialeknya seperti itu, apalagi supir angkot, Inda
takut. Apalagi ketika ospek, Inda dimarahi, terlambat, lalu ada kakak yang menyapa, Inda
Pada masa awal menjalani kehidupannya di Medan, Winda merasa canggung dengan
bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Baginya dan bagi sebagian besar orang
Minang, kata “Kau” memang dianggap kata sapaan yang kasar. Sehingga dalam situasi
percakapan sehari-hari kata itu memang jarang digunakan dalam lingkungan Minangkabau.
Selain itu, Winda juga mengeluh tentang keadaan cuaca yang panas karena ia terbiasa dengan
cuaca Kota Padang Panjang yang relatif sering hujan dan dingin.
Culture shock yang dialami Winda membuatnya merasa takut kepada beberapa orang
yang memiliki perawakan agak kasar, misalnya seperti supir angkot dan tukang becak. Winda
bahkan takut untuk menyewa jasa tukang becak saat itu.
Di lingkungan kampus, Winda mengaku lebih sering bergaul dengan orang-orang di luar
etnis Minangkabau. Pada awalnya, karena teman-temannya yang sesama orang Minang
berbeda kelas dan hanya dialah yang berbeda di antara teman-temannya yang lain. Oleh
karena itu, Winda lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di luar etnis Minangkabau.
Lama kelamaan, kondisi ini membuatnya merasa lebih nyaman berada bersama orang-orang
di luar kelompok etnisnya sendiri. Winda menceritakan, bahwa hal ini dikarenakan ia merasa
orang-orang tersebut lebih peduli terhadapnya daripada teman-teman yang seetnis dengannya.
Ada persaingan yang ia rasakan ketika bergaul dengan sesama orang Minang
sehingga ada rasa ketidakpedulian. Misalnya, dalam berbagi bahan kuliah, Winda lebih
banyak mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang lain daripada teman-teman etnis
Minangkabau.Akan tetapi di samping hal itu, Winda tetap merasa senang dengan teman-
teman Minangkabaunya. Suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang ia rasakan bersama
anak-anak Minang lainnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Winda. Walaupun dalam
kesehariannya Winda lebih sering bergaul dengan teman-temannya yang di luar etnis
Minangkabau, ia tetap menerapkan nilai-nilai budaya yang ia terima selama ini. Dengan
menjaga sopan santun dan tata krama dalam bergaul Winda dapat beradaptasi dengan
“Kalau dek Inda dari sopan santun la bisa dikatokan ba a caro wak bergaul jo urang
gitu, ba a caro wak bersikap jo urang yang lebih tuo dari awak, kan kalau misalnyo di
(Kalau bagi Inda bisa dikatakan dari sopan santun bagaimana cara kita bergaul dengan
orang lain begitu, bagaimana caranya bersikap dengan orang yang lebih tua dari kita, kalau di
Selain kato nan ampek, Winda tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman
seetnisnya. Dengan begitu, ia membiarkan orang lain tahu bahwa ia adalah orang Minang.
Bagi Winda ketika bergaul, jika kita ramah dan bersikap. positif kepada orang lain,
maka orang lain akan baik juga kepada kita, bahkan mungkin lebih baik. Oleh karena itu, kita
harus pandai-pandai dalam bergaul. Hal ini tampak ketika peneliti sedang mewawancarai
Winda, banyak teman-teman yang kebetulan lewat menyapa dan melontarkan senyum
kepadanya.
Selama lebih kurang dua tahun menetap di Medan, Winda merasakan beberapa
perbedaan yang membedakan antara kelompok etnisnya dengan orang-orang di luar
kelompok etnisnya sendiri. Misalnya dari cara berpakaian, menurut Winda teman-teman etnis
Minangkabaunya lebih rapi dan harum daripada orang-orang dari etnis lain seperti etnis
Batak.
“Misalnyo kayak dari caro berpakaian la, kalau menurut Inda dari kawan-kawan
yang Nda caliak di siko, lai la rapi-rapi gitu, harum, kalau urang di siko, urang bataknyo dak
harum do, Inda se duduak di sabalah urang tu, mual gitu, ntah ba a dak tau Nda do, kalau
untuak tampilannyo dari kawan-kawan Inda yang urang Batak dak rapi do”.
(Misalnya seperti dari cara berpakaian, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang
Inda perhatikan di sini, rapi-rapi gitu, harum, kalau orang di sini, orang Bataknya tidak harum,
Inda kalau duduk di sebelah mereka, mual gitu, ntah kenapa, Nda juga tidak tahu, kalau untuk
Kesimpulan Kasus
Informan 4
Nama : Silmi Tresia
Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarman No.7
Tanggal Wawancara : 20 Oktober 2012
Silmi adalah mahasiswa Minang asal Kota Batusangkar. Peneliti sudah mengenal
informan sebelumnya ketika Kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru IMIB USU. Kesan
pertama ketika peneliti mengenal Silmi adalah ia sosok yang pemalu, dan tidak terlalu banyak
berbagi cerita apalagi untuk memulai percakapan. Pada saat itu, ia belum mengenakan
kerudung seperti sekarang. Peneliti memilih Silmi sebagai informan berikutnya, karena ia
Di keluarga Silmi budaya Minang memang tidak begitu ketat. Hanya saja nilai-nilai
kesopanan dan tata krama masih sangat ditekankan dan bahasa Minang masih tetap
digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Akan tetapi, karena beberapa orang di antara mamak-
mamaknya sudah banyak yang merantau, pengajaran nilai-nilai budaya yang harusnya
didapatkan oleh keponakan seperti Silmi, tidak terlalu banyak ia dapatkan. Kalaupun ada
yang tinggal di dekat rumah, hubungan Silmi dengan mamaknya ini juga tidak terlalu dekat.
Karena peran mamak tidak terlalu berfungsi dalam pewarisan nilai-nilai budaya, maka yang
menggantikan posisi ini di dalam kehidupan Silmi adalah ayahnya.
“Pengajaran tentang budaya Minang buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak
Sil lah pai marantau, ado di Pakanbaru, Bandung, Jakarta, yang ado dakek rumah, cuma yo
(Pengajaran tentang budaya Minang bias dikatakan tidak ada, karena mamak-mamak
Sil sudah pergi merantau, ada yang di Pekanbaru, Bandung, Jakarta. Ada yang di dekat rumah,
Silmi memiliki pandangan yang positif terhadap identitas budaya yang dimilikinya.
Bahkan menurutnya, budaya Minang memiliki keunikan. Selain karena budayanya yang juga
menerapkan nilai-nilai Islam, juga karena budaya Minang sangat menekankan nilai-nilai
moral. Walaupun di zaman modern seperti sekarang, kebudayaan tradisional Minang pun
urang lain tau kalau urang Minang pasti urang Islam, kalau adaik Minang kan adaik
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo, trus
nilai-nilai moralnyo, yo bana-bana diparatian. Walaupun kini lah zaman modern, tapi pas
ado acara-acara tu lah lamo dak ditampilkan tetapi tetap menarik, dak di siko, dak di
(Menurut Isil, budaya Minang itu, memang benar-benar kuat Islamnya, seperti orang
lain menilai kalau orang Minang itu pasti beragama Islam, adat Minang mengajarkan adaik
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi memang lebih kental ke ajaran agamanya,
sudah zaman modern, tetapi kesenian Minang tetap menarik, tidak peduli di sini atau pun di
tentang USU, dak tau do. Apalagi pas tibo di kampus keperawatan, kayak hutan belantara,
(Tidak tau, karena sosialisasi USU dulu tidak ada. Pengetahuan tentang USU sangat
kurang, benar-benar tidak tau. Apalagi ketika sampai di kampus Keperawatan, seperti hutan
belantara).
Karena kejadian itu, Silmi kemudian memilih untuk berteman dengan sesama etnis
Minangkabau saja. Bahkan ia menjaga jarak dengan orang-orang yang ia anggap kasar dan
lebih banyak bergaul dengan sesama muslim. Pada saat Silmi mulai menetap di Medan
hampir setiap malam ia menangis. Untungnya ketika itu, Silmi sudah berteman dengan Memi,
teman sesama etnis Minangkabau yang juga berasal dari Batusangkar. Ketika itu, ia masih
sangat tergantung dengan Memi, ke mana pun pergi harus ditemani. Memi memiliki peran
tersendiri untuk membantu Silmi bisa beradaptasi dengan lingkungan Medan. Silmi tidak
mau terlalu memusingkan bagaimana bersosialisasi di Medan ketika itu, ia hanya ingin fokus
dengan kuliah yang akandijalaninya.
Dengan cara itulah perlahan-lahan Silmi bisa menerima keadaan, walau awalnya ia
merasa terpaksa harus kuliah di Medan. Lama kelamaan karena keterpaksaan itulah ia mulai
mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan di Medan. Mau tak mau ia harus bergaul
dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan dirinya. Misalnya
dalam mengerjakan tugas kelompok di kampus, tentu ia harus bisa berbaur dengan teman-
teman kelompoknya.
Memang ada beberapa perbedaan nilai-nilai yang dirasakan oleh Silmi antara
masyarakat di Medan dengan masyarakat di daerah asalnya. Seperti penerapan tata krama
yang ia nilai kurang dalam sopan santun, cara bersikap dan berbicara yang kasar serta adanya
rasa individualis. Menyikapi hal –hal seperti itu Silmi biasanya hanya membiarkannya, tetapi
jika memang sudah benar-benar dianggap keterlaluan barulah ia bertindak.
“Kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro ngecek
urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun, kareh kayak gitu rasonyo ba a yo, kareh-
(Kalau berkomunikasi dengan orang lain jelas dari cara berbicara, cara berbicara
orang Minang itu lebih beradab, tahu sopan santun, keras seperti itu rasanya bagaimana ya,
Dari berbagai hal yang ia alami, Silmi mengakui bahwa ketika ia hidup di antara
orang-orang yang lebih beragam, ia tidak bisa langsung akrab begitu saja dengan orang lain.
Kesimpulan Kasus
Kuliah di Medan menjadi pengalaman merantau yang pertama kalinya bagi Silmi.
Hidup jauh dari keluarga dan berada di lingkungan yang berbeda dengan daerah asal
memberikan banyak pelajaran baginya. Banyak pengalaman baru yang ia alami yang
kemudian mengubahnya menjadi lebih berani dan mandiri. Perbedaan bahasa, nilai-nilai
budaya dalam sopan santun bergaul memang menjadi culture shock yang sempat membuat
Silmi pesimis untuk mau berinteraksi dengan orang lain di sini. Akan tetapi, karena ia mau
membuka diri dengan keadaan yang baru, Silmi kemudian berusaha untuk menerima keadaan
yang ada. Walaupun awalnya ia terpaksa, tetapi hal itu juga yang kemudian menyadarkannya
untuk tidak terus menerus menutup diri dengan lingkungannya.
Identitas budayanya sebagai orang Minang tetap ia tunjukkan melalui sikap dan tutur
katanya dalam berbicara. Memang pada awalnya perbedaan identitas budaya yang ada
membuatnya enggan untuk berinteraksi. Namun kemudian, nilai-nilai dari budaya itu pulalah
yang kemudian membantunya untuk dapat berkomunikasi dan diterima di lingkungannya
yang baru.
Informan 5
Frezi merupakan informan yang berasal dari daerah Ampek Angkek Canduang,
Kabupaten Agam. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Menetap di Medan
Frezi justru belajar berbahasa Minang dari tetangganya dan dari teman-teman sekolah.
Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menggunakan bahasa Indonesia di
sekolah, teman-temannya yang lain pun juga begitu. Apalagi ketika SMA, justru lebih banyak
yang menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari daripada bahasa Minang
walaupun mereka sama-sama orang Minang dan masih berada di dalam lingkungan
masyarakat Minang. Pada saat peneliti melakukan wawancara dengan Frezi, memang logat
Minang yang dimiliki Frezi tidak begitu jelas terdengar.
Bahkan dari pilihan kata-kata yang ia gunakan lebih banyak menggunakan kosa kata
bahasa Indonesia. Walaupun di dalam keluarganya bahasa Minang tidak menjadi bahasa
mereka sehari-hari tetapi kakek, ayah dan ibunya tetap mengajarkan kepada anak-anaknya
tentang nilai-nilai budaya Minang, terutama mengenai tata krama dan sopan santun.
Ibu Frezi tidak memiliki saudara laki-laki sehingga dari garis keturunan matrilineal ia
tidak mempunyai mamak. Pengajaran tentang tradisi adat budaya Minangkabau lebih banyak
ia dapatkan dari kakeknya. Selain itu, pelajaran di sekolah juga menambah pengetahuan Frezi
tentang budaya Minang. Sementara itu, nilai-nilai sopan santun lebih banyak ia dapatkan dari
kedua orang tuanya. Frezi juga mengakui, budaya Minangkabau tidak terlalu ia terapkan
dalam kehidupannya, hanya dari sisi tata krama dan sopan santun lah yang lebih menonjol.
“Kalau Zi pribadi kurang menerapkan sih ni, budaya Minang, paliang cuma sopan
santun, tata kramanyo se lai kan, kalau kayak pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah
agak maninggaan”.
santun dan tata kramanya saja, kalau seperti pakaian, cara berbicara itu sudah agak berbeda,
“Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh-kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah
bersosialisasi, soalnyo kan budaya nyo lah beda bana, agama se mayoritasnya lah beda
samo yang disitu. Zi dapek gambaran tu dari tanyo-tanyo ka kawan Zi yang keturunan Batak
di bukik, nyo caritoan kayak gitu, urang di siko lumayan kareh urangnyo, siap tu Zi tanyo-
tanyo samo kakak yang tingga di siko, memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap, kalau
(Kalau yang Zi bayangkan, Medan itu keras-keras orangnya, terus agak susah
bersosialisasi, karenan kan budayanya sudah sangat berbeda, agama mayoritasnya pun
berbeda dengan yang di kampung. Zi mendapatkan gambaran itu dari teman yang keturunan
Batak di Bukittinggi, dia bercerita seperti itu, orang-orang di sini lumayan keras orangnya,
lalu Zi juga bertanya kepada kakak yang tinggal di sini, memang seperti itu, jadi harus siap
“Enggan sih indak ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang
patamo ni, siap tu dek baru di siko kan, berarti pengetahuan tentang daerah di siko alun
(Enggan sih tidak kak, canggung saja yang ada, karena faktor perbedaan bahasa yang
pertama, lalu karena masih baru di sini kan, berarti pengetahuan tentang daerah di sini belum
Ketika baru masuk di FISIPOL USU, Frezi memang bukan satu-satunya mahasiswa
baru yang berasal dari etnis Minangkabau. Akan tetapi kebanyakan dari mereka memang
bukan berasal dari Sumatera Barat, tetapi keturunan Minangkabau yang sudah lama tinggal
dan menetap di Medan. Pada waktu Frezi mengetahui hal tersebut, sebetulnya ia merasa
senang, karena mendapatkan teman yang seetnis dengannya, akan tetapi ia juga merasa
canggung karena aneh baginya ketika mengetahui lawan bicaranya adalah orang Minang
tetapi tidak menggunakan bahasa Minang. Frezi menceritakan hal ini ketika peneliti
menanyakan bagaimana perasaannya ketika pertama kali memasuki kampus.
“Patamonyo takuik sih, urang Minang di kampus ado, tapi lah keturunan, ngeceknyo
lah ngecek bahasa Indonesia, jadi agak-agak cangguang stek, namonyo wak urang Minang,
berbicaranya sudah bicara bahasa Indonesia, jadi agak-agak canggung sedikit, namanya kita
orang Minang, tapi bicaranya bahasa Indonesia, jadi agak sedikit canggung).
Sedangkan ketika ia mulai berinteraksi dengan orang-orang lain yang berbeda budaya
dengannya, ia merasa senang bahwa orang-orang di sini walaupun keras-keras dan tegas
tetapi mereka kompak dalam berteman. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang langsung
tersenyum ketika menceritakan hal tersebut. Menurut Frezi, ketika kita berteman dengan
orang-orang di sini, mereka benar-benar menjaga temannya tersebut. Di kampus Frezi
memang lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar etnisnya sendiri.
“Ternyata memang kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni, kalau dicaliak pas
bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi yang dak urang Minang, dicaliak dari
kesehariannyo urang tu memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko,
(Ternyata orang-orangnya memang keras, tapi mereka solid gitu kak, kalau dilihat ketika
berteman di kampus, kebanyakan teman Zi kan bukan orang Minang, dilihat dari
kesehariannya mereka itu orangnya memang tegas-tegas, tapi mereka itu solid, kalau sudah
Frezi memiliki seorang sahabat yang ia kenal ketika melakukan registrasi mahasiswa
baru. Dari temannya inilah kemudian Frezi mulai memahami bagaimana kebiasaan orang-
orang Medan. Selama lebih kurang dua bulan, Frezi sudah tidak merasa canggung lagi
dengan lingkungan barunya. Frezi tidak segan-segan untuk berbagi informasi kebudayaan
dengan temannya, sehingga pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan juga membantunya
untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya yang ada.
bana di apoan, kalau di siko lah mulai bakurang, tata kramanyo kalau di kampus yang
nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan-kawan yang di siko agak-agak kurang
sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu yo, yo bana diharagoi bana”.
kalau di sini sudah mulai berkurang, tata kramanya kalau di kampus yang jelas sekali cara
berbicara dengan dosen, kalau teman-teman yang di sini agak-agak kurang sopan, sangat
berbeda kalau di kampung kita, kalau guru itu ya, benar-benar dihargai).
Sedangkan culture shock yang dialami Frezi adalah adanya perbedaan cuaca antara
Bukittinggi dan Medan, di Medan cuacanya lebih sering panas. Lalu masalah makanan, Frezi
tidak menyukai kondisi beras yang agak pulen. Masakan pedas di sini juga kebanyakan
rasanya manis, tidak pedas seperti yang ada di kampungnya. Sehingga kalau makan, ia harus
pilih-pilih dulu yang sesuai dengan seleranya.
Kesimpulan Kasus
Frezi dan keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa
percakapannya sehari-hari. Frezi mempelajari bahasa Minang justru dari lingkungan
tetangganya dan teman-teman di sekolah. Walaupun demikian, nilai-nilai budaya dalam
bergaul dan bersikap sesuai adat Minangkabau masih disampaikan oleh kedua orang tuanya
Ketika mulai bergaul dengan masyarakat di Medan, Frezi juga tidak terlalu banyak
mengalami kesulitan atau masalah yang berarti. Karena sebelumnya Frezi sudah mencari tahu
tentang bagaimana kehidupan di Medan, informasi tersebut ia dapatkan dari teman dan juga
kakak sepupunya. Perasaan canggung memang dirasakan oleh Frezi ketika mulai berinteraksi,
karena ia masih baru dalam lingkungannya dan adanya perbedaan bahasa yang digunakan.
Setelah lebih kurang dua bulan, Frezi tidak lagi merasa canggung untuk bergaul dengan
orang-orang lain. Hal ini berkat bantuan teman dekatnya yang berbeda budaya dengannya.
Selain itu, Frezi juga tidak menutup dirinya untuk bergaul dengan orang-orang yang berbeda
latar belakang budaya dengannya. Culture shock yang dialami Frezi seperti perbedaan cuaca
dan makanan yang ada di Medan. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah baginya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ia sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Frezi tidak
menutup-nutupi identitasnya sebagai orang Minang. Ia berusaha menampilkan identitas
budayanya melalui sikap dan tata kramanya dalam bergaul. Sesuai dengan apa yang telah ia
dapatkan dari lingkungan asalnya
Informan 6
Gally sendiri memang mempunyai keinginan untuk kuliah jauh dari kampungnya,
selain itu ia juga mendapatkan dukungan untuk merantau ke luar Sumatera Barat dari
keluarga, terutama dari abangnya. Gally menceritakan bagaimana abangnya memberikan
dukungan agar adiknya lebih baik kuliah di luar Sumatera Barat.
“Abang Gally la di Padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, dak berkembang, dak
lamak do, baso wak baso Minang juo, bisuak ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce do, ncak
(Abang Gally juga sudah di Padang, lalu katanya apa la di Padang ini, tidak
berkembang, tidak enak, bahasanya bahasa Minang juga, besok-besok tidak mau seperti ini
terus, lebih baik keluar, iya itu Gally juga mau keluar).
Awalnya Gally ingin melanjutkan kuliahnya di Bandung. Ia juga sudah mengikuti tes
SMUP (Saringan Masuk Universitas Padjajaran) dan lulus di jurusan ilmu perpustakaan.
Akan tetapi, Gally memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di sana. Alasannya
adalah karena kebanyakan teman-teman SMA nya juga memilih untuk kuliah di Bandung, itu
berarti ia akan berinteraksi dengan orang-orang yang sama lagi, walaupun sudah di luar
Sumatera Barat. Gally menginginkan pergaulan yang baru dengan orang-orang yang baru
keceknyo, ee..kok Banduang se urang sadonyo ko. Ndeeh…suruik se jadinyo, bukan dek
banyak saingan, berarti rami-rami, itu juo urangnyo, bakawan nyo jo itu juo tu, Gally
pengen dapek yang baru, pas PMP Gally isi ka Medan ka USU.”
ee..kok Bandung saja semuanya. Ndeeh…mundur aja jadinya, bukan karena banyak saingan,
berarti ramai-ramai, itu juga orangnya, bertemannya juga itu-itu saja, Gally ingin dapat yang
Sebelum ia berangkat ke Medan, Gally mencari informasi tentang Kota Medan dan
USU melalui internet. Dari informasi yang ia dapatkan, Medan merupakan kota terbesar
ketiga di Indonesia. Kepada peneliti Gally mengatakan bahwa ia ketika itu, membayangkan
hal-hal yang indah tentang Medan.
Terutama tempat hiburannya seperti Bioskop 21. Gally tidak terlalu memikirkan
kesulitan yang mungkin akan ia hadapi di Medan. Ia ingin senang-senang di Medan, bahkan
ketika baru saja sampai di Medan, tempat yang pertama kali ia kunjungi adalah Bioskop 21
Sun Plaza. Kemudian ia juga menikmati wisata kuliner yang ada di USU Medan. Namun, ada
hal yang tidak ia sukai tentang Medan yaitu cuaca yang panas, angkot yang tidak tertib lalu
lintas, dan sikap masyarakatnya yang terkadang egois dan juga keras.
“Gally ba ayo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah se, pengen cari hiburan se Gally
dulu. Ma tampek nan lasuah Gally jajaki se sadonyo, wisata kuliner gai dulu, jalan-jalan.
Asik, tapi angek, Medan tu kareh, cingik-cingik urangnyo, angkotnyo sumbarang cucuak se”.
Gally dulu. Di mana tempat yang asik, gally jajaki saja semuanya, wisata kuliner dulu, jalan-
jalan. Asik, tapi panas, Medan itu keras, orangnya egois, angkotnya sembarang masuk saja).
Ketika diadakan kegiatan ospek di kampusnya, Gally memilih untuk tidak mengikuti
kegiatan tersebut. Begitu juga ketika kegiatan matrikulasi diadakan, ia hanya mengikuti
kegiatan tersebut selama tiga hari. Ketika itulah, pertama kalinya Gally dipanggil dengan
sapaan “Kau” oleh orang yang baru ia kenal di kampus. Dalam pikirannya ketika itu, ia
menganggap orang-orang di sini ternyata kasar, tapi ia tetap bersikap biasa-biasa saja. Setelah
kejadian mengalami hal tersebut, Gally menceritakan kepada teman-teman etnis Minang
lainnya yang telah lama menetap di sini. Dari temannya itulah, Gally kemudian memahami
bagaimana kebiasaan orang-orang di Medan, termasuk menggunakan “Kau”.
Di kampus Gally tak hanya berteman dengan temannya yang sesama etnis
Minangkabau, tetapi ia juga berteman dengan orang-orang yang berasal dari Medan,
sedangkan dengan teman-teman yang berasal dari etnis Batak ia tidak terlalu dekat, hanya
sekedar tahu nama dan wajahnya saja. Dalam pergaulannya dengan orang Medan ini, Gally
juga saling bertukar informasi tentang budaya mereka masing-masing. Bahkan saling
bertukar ejekan-ejekan yang berasal dari daerah mereka. Gally mengakui, karena sesama
teman yang sudah dekat ejekan-ejekan itu dijadikan bahan bercandaan saja.
Ada satu hal yang membuat Gally kagum dengan teman-temannya ini. Ketika mereka
ingin menanyakan sesuatu hal tentang budaya atau agama, mereka selalu mengatakan “Maaf”
terlebih dahulu sebelumnya. Bagi Gally sendiri, hal ini ia anggap agak berlebihan mungkin
karena ia adalah orang Minang, sehingga teman-temannya takut jika Gally merasa
tersinggung dengan pertanyaan tersebut.
“Urang tu pake maaf mananyo, ba a tu, suko lo gally caliak gaya nyo. Padahal nanyo
Walaupun Gally sudah terbiasa dengan sikap dan cara teman-temannya bergaul, tetapi
tetap ada beberapa hal yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang pernah diajarkan
kepadanya. Di antaranya seperti kurangnya nilai-nilai kesopanan. Menuurt Gally, pergaulan
di Medan itu lebih bebas antara laki-laki dan perempuan. Semuanya disamakan saja, apalagi
rasa segan menyegani juga kurang. Sementara jika di daerahnya, segan menyegani antara satu
dengan yang lain itu, sangat diperhatikan. Apalagi ketika bergaul, batasan-batasan antara
laki-laki dan perempuan itu harus ada.
“Ba a yo, kalau di siko tu bebas. Urang tu samo se dek nyo urang sadonyo. Dak sagan-sagan
gai urang tu do. Kalau awak kan kalau cowok tu ado sagan-sagannyo, ko dak ado.
(Bagaimana ya, kalau di sini itu bebas. Mereka itu menganggap orang lain sama saja.
Tidak ada segan-segannya. Kalau kita kan kalau cowok itu ada segan-segannya, ini tidak ada).
Tetapi, hal ini kebanyakan dari teman-temannya yang berasal dari Medan, sedangkan
yang berasal dari daerah seperti orang Karo, mereka ternyata lebih menjaga sopan santun dan
jika berbicara pun mereka lebih lembut. Gally merasa lebih tidak suka bergaul dengan orang
Batak. Karena Gally tidak nyaman dengan sikap mereka yang kasar sehingga ia terlalu sering
Setelah menetap di Medan selama lebih kurang satu tahun, Gally merasakan ada
perubahan logat ketika ia menggunakan bahasa Indonesianya. Tak hanya itu, kosa kata yang
ia gunakan ketika berbahasa Indonesia juga sudah banyak yang menggunakan istilah-istilah
membawa pengaruh terhadap cara ia bersikap dengan orang yang berbeda budaya dengannya.
Kesimpulan Kasus
Penerapan nilai-nilai budaya di dalam keluarga Gally sudah tidak terlalu kental. Gally
lebih banyak mendapatkan informasi mengenai budaya Minang dari pendidikan sekolah,
sedangkan mamaknya telah lama pergi merantau ke luar Sumatera Barat sehingga interaksi
antara Gally dan mamaknya tidak terlalu sering. Keinginan Gally untuk pergi merantau juga
didukung oleh keluarganya terutama dari abangnya.
Gally tidak banyak mempermasalahkan hal-hal yang ada di Medan karena Gally lebih
fokus kepada hal-hal yang menyenangkan tentang Medan. Di kampus Universitas Sumatera
Utara ia lebih sering berinteraksi dengan teman-temannya yang juga berasal dari luar kota.
Mengetahui dirinya adalah orang Minang, teman-teman Gally tampaknya berusaha menjaga
agar kawannya tidak tersinggung. Hubungan Gally dengan teman-temannya ini bisa
dikatakan cukup dekat. Baru beberapa bulan saja ia berada di Medan Gally sudah terbiasa
dengan logat dan bahasa orang Medan karena pengaruh dari lingkungan pergaulannya. Gally
juga tidak terlalu memunculkan identitasnya sebagai orang Minang. Ia tampak sangat
membaur dengan lingkungannya yang baru di Medan. Walaupun demikian, ia tetap
mengingat statusnya sebagai warga pendatang di sini. Ia tetap berhati-hati dalam bergaul
seperti yang pernah dinasehatkan orang tuanya.
Informan 7
Dengan kata lain, budaya yang masih sering diterapkan sehari-hari adalah bahasa
daerah. Sebelum Dilla menetap di kota Medan, Dilla sudah memiliki keinginan untuk pergi
merantau. Kepada peneliti Dilla menceritakan bahwa ia ingin keluar daerah awalnya karena
sebuah alasan klise, ingin mengetahui daerah lain dan tidak hanya tinggal di daerah yang itu-
itu saja.
“Yo…alasan klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah tau nyo cuma
nagari-nagari awak se gitu, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu”.
(Ya…alasan klise sih kak, alasannya ingin melihat dunia luar, janganlah tahunya
hanya daerah-daerah kita saja gitu, Lihatlah negeri orang, trus ada perbandingan gitu).
Pada awalnya, Dilla ingin merantau ke Pulau Jawa dan kuliah di Universitas
Indonesia. Tetapi, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk merantau ke luar pulau
Sumatera, akhirnya Dilla memilih USU. Setelah lulus, Dilla merasa senang, bisa lulus di
jurusan yang ia inginkan. Kemudian ia berangkat ke Medan melalui jalur udara. Ketika
mendarat di Bandara Polonia, awalnya Dilla masih merasa kagum dengan kota Medan, tetapi
lama kelamaan ketika memasuki daerah rumah kosnya, Dilla merasa terkejut. Tata kota yang
Ketika memasuki kampus, Dilla juga mengalami shock dengan cara bicara orang-
orangnya yang keras dan sering berteriak-teriak. Pada saat perkenalan dalam kelas
matrikulasi, Dilla memperkenalkan dirinya. Saat itulah, ia mendapat olok-olokan “Padangkik”
dari kawan-kawan yang lain. Dilla sendiri merasa bingung, bahkan tidak mengerti dengan
istilah tersebut. Setelah mencari tahu, ternyata maksud istilah itu adalah “orang Padang pelit”.
Merasa tidak nyaman dengan olok-olokan seperti itu, Dilla kemudian berusaha menjelaskan
kepada kawan-kawan yang mengolok-oloknya. Ia menjelaskan, mungkin karena kebanyakan
orang Minang itu adalah pedagang, jadi wajar saja sangat perhitungan, bukannya pelit dan
tidak semua orang Minang seperti itu. Setelah itu hingga sekarang, tidak ada lagi yang
mengejek Dilla dengan istilah itu.
Karena situasi seperti inilah yang kemudian membuat Dilla menjadi lebih cepat
beradaptasi dan membaur dengan orang-orang yang berbeda budaya. Menurut pengakuan
Dilla, sekarang ia merasa lebih nyaman bergaul dengan kawan-kawannya di sini. Alasannya,
ia lebih suka dengan cara bergaul orang Medan yang tidak berbasa-basi dan jika bicara
langsung pada intinya saja, daripada orang Minang sendiri yang memiliki kebiasaan
bermanis-manis kata. Menurut Dilla hal itu karena ia sendiri dalam bergaul memang lebih
suka bicara langsung pada pokok permasalahan saja, sehingga lebih jelas apa maksudnya.
“Dilla raso labiah lamak samo urang siko, misalnyo kan pergaulan urang disiko tu
jaleh, kalau iyo-iyo, indak-indak, dak kayak di Padang do, urang tu ba a yo, banyak na kilik-
jelas, kalau iya itu iya, tidak ya tidak, tidak seperti di Padang, orangnya bagaimana ya,
banyak silat-silat kata, saya sendiri tidak pandai yang seperti-seperti itu).
Dari pengamatan peneliti ketika melakukan wawancara, tampak jelas Dilla adalah tipe
orang yang tegas, ketika berbicara pun, ia langsung menjelaskan pada intinya, tidak seperti
informan-informan sebelumnya yang sering memberikan isyarat atau perandaian untuk
menjelaskan sesuatu. Sikap Dilla yang seperti itulah yang kemudian membuatnya merasa
nyaman dan mudah berbaur dengan orang- orang Medan dibandingkan dengan informan-
informan yang lain.
“Mancari tau sih indak ni, tapi mamparati-paratian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode
tu”.
(Mencari tau sih tidak kak, tapi memperhatikan saja, jadi tau sendiri saja, oo..orang itu
seperti itu).
Dari hasil pengamatannya itu Dilla kemudian bisa memahami dan menarik
kesimpulan bagaimana karakter orang lain yang ia hadapi dan bagaimana ia harus bersikap.
Selama masih saling menghargai perbedaan-perbedaan, semuanya bisa berjalan dengan baik.
Menurut Dilla, pada situasi dan kondisi tertentu ia juga harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan
orang di sini, bahakan ketika mereka berteriak-teriak kepadanya, ia pun akan bersikap seperti
itu pula.
wak mode ko, jadi ya uda la, selagi saling maharagoi dak ba a, di sikon-sikon tertentu awak
harus lo ngikuik-ngikuik an urang tu. Urang tu ngecek ma ariak-ariak, tu awak pun kadang-
(Tanggapannya sih biasa-biasa saja, berarti mereka karakternya ya seperti itu, karakter
kita seperi ini, jadi ya sudah lah, selagi saling menghargai tidak apa-apa, disikon-sikon
tertentu kita juga harus mengikuti mereka. Mereka bicaranya teriak-teriak, ya kita pun
Indonesia, kadang kalau tampek yang rami bahaso Indonesia, kalau tampek awak-awak se
Indonesia, kadang kalau di tempat yang ramai bahasa Indonesia, kalau kita-kita saja barulah
berbahasa Minang. Ntah lah kak, sudah seperti itu saja jalannya).
Dilla sudah tinggal di kota Medan selama lebih kurang dua tahun. Selama itu pula,
ada beberapa perubahan dan hal-hal baru yang ia dapatkan. Seperti perubahan logat dalam
Kesimpulan Kasus
Dilla merupakan pribadi yang sederhana dan tegas. Ia tidak suka hal yang berbelit-
belit atau berbicara panjang lebar, ia lebih suka membicarakan hal yang jelas-jelas saja.
Pribadi Dilla ini memang berbeda dengan orang-orang Minang kebanyakan. Tetapi hal inilah
yang kemudian membuatnya nyaman untuk berbaur dengan orang Medan. Walaupun banyak
yang berpendapat bahwa orang-orang Medan itu keras dan kasar-kasar, tetapi Dilla
menanggapinya dengan belajar memahami kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Culture shock yang dialami oleh Dilla ternyata tidak menghambatnya dalam
berinteraksi dengan orang lain. Walapun Dilla mengaku awalnya terkejut dengan situasi
lingkungan kota Medan yang menurutnya tidak rapi, kumuh dan macet, tetapi hal itu tidak
membuatnya merasa kecewa karena harus melanjutkan pendidikannya di Medan. Pada saat
awal-awal ia mulai berkomunikasi dengan teman-temannya di kampus, Dilla mengalami hal
yangtidak menyenangkan karena diolok-olok. Tetapi, setelah ia memberikan penjelasan,
mereka mengerti dan tidak lagi mengolok-oloknya.
Dilla menanggapi perbedaan budaya yang dialaminya dengan baik. Hal ini ia
tunjukkan dengan berusaha untuk berbaur dengan orang-orang yang berbeda etnis dengannya,
bahkan ia mau mengikuti gaya interaksi mereka. Sikap yang ditunjukkan oleh Dilla ini,
seperti pepatah Minang “Dima bumi dipijak, di situ langik di junjuang (Di mana bumi dipijak,
di situ langit dijunjung)”. Di lingkungan mana kita berada, maka adat atau budaya yang
berlaku di tempat itulah yang harus dihormati. Oleh karena itu, ia juga tidak mengalami
banyak kesulitan ketika harus beradaptasi dengan perbedaan budaya. Bagi Dilla, asalkan
orang lain bisa menghargai perbedaan-perbedaan yang ada padanya, maka ia juga akan
menghargai mereka.
(saat pendataan itu, rasanya seperti ada keluarga di sini kan, setidaknya ada tempat sesama
Ketika penyambutan itu lah, kemudian Puput saling berkenalan dengan mahasiswa
Minang yang lain. Kebetulan ada 2 orang mahasiswa Minang lainnya yang seangkatan dan
juga di jurusan yang sama dengannya. Puput semakin akrab dengan teman-temannya ini
setelah menjalani hari-hari mereka di kampus. Hal yang membuat ia terkejut pertama kali
ketika di Medan adalah pada saat ia melakukan registrasi ulang. Puput menceritakan, saat itu
ada salah seorang mahasiswa yang juga melakukan registrasi tiba-tiba menyapanya dengan
sapaan “Kau”. Puput yang tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu spontan terkejut.
“Patamo kali yang Put kana bana, urang tu ba “Kau-kau” ngecek nyo, waktu
pendaftaran patamo kali, ado urang nanyo kan, pokoknyo pake “kau” la, takajuik Put, Put
dak pernah di pa kau-kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan.
Tu takajuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih dek uni”.
(Pertama kali yang Put ingat betul, orang itu pakai “Kau-kau” bicaranya, waktu
pendaftaran pertama kali, kan ada orang yang bertanya, pokoknya pakai “kau” begitu, Put
kaget, karena Put tidak pernah dipanggil pakai “Kau” sama orang lain kan. Karena Put tidak
boleh bicara pakai kau-kau oleh mama. Lalu kaget kan kak gara-gara kawan ini, rasanya
Puput terkejut karena ia tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu. Kata “Kau”
jika digunakan ketika berinteraksi dengan orang Minang, memang dianggap kasar dan tidak
sopan. Apalagi orang tua Puput juga menekankan pada Puput untuk tidak menggunakan kata
tersebut. Walaupun ia mengetahui bagaimana watak orang Batak, tetapi itu merupakan
pengalaman pertamanya berhadapan langsung dan berinteraksi dengan orang Medan. Setelah
ia memperhatikan lebih lanjut dan memahami bahwa sapaan “Kau” itu memang sangat lazim
digunakan orang Medan, ia pun bisa menerima keadaan tersebut. Walaupun demikian, hingga
sekarang ia tetap tidak mau menyapa orang lain dengan sapaan “Kau”. Di kampus, Puput
yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang dakek, yo samo-samo ajo wak
(Karena sama-sama orang Islam, kami hanya sedikit yang muslim di kelas, yang pakai
jilbab gitu, yang aliran nya sama, yang dekat, ya sama rasa lah sama berjilbab. Karena itulah
jadi dekat).
Menurut Puput, ligkungan pergaulan di Medan tidak jauh berbeda dengan daerah
asalnya di Sawah Lunto. Masyarakat perantauan di sana juga sudah banyak, sehingga adat
budaya lokalnya sudah tidak terlalu ketat. Hanya saja, bedanya di Medan pergaulannya terasa
lebih bebas. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah hampir tak ada batasnya,
dianggap sama rata saja.
“Bedanyo dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni di sawah lunto tu kan lah dak
terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo pergaulannyo.
Tapi kalo Put maraso, pergaulan di siko ampiang-ampiang samo. Yang babeda bana samo di
se, kalau di siko lah ampiang samo se, kalau ndak pandai-pandai jago diri wak paliangan
(Bedanya tidak terlalu banyak kak, karena Put kak di sawah lunto itu kan sudah tidak
terlalu ketat peraturan-peraturan adatnya. Ya sudah seperti pergaulan di kota juga. Tapi kalau
Put merasa, pergaulan di sini hampir-hampir sama. Yang sangat berbeda dengan di sini, yaitu
dengan kawan-kawan itu seenaknya gimana gitu, dengan kawan –kawan cowok lah,
Puput menyadari ada perbedaan nilai-nilai pergaulan antara di tempat asalnya dan di
Medan, tetapi ia tidak cepat terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Ia tetap
mempertahankan nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Ia bersikap lebih hati-hati dalam
bergaul dan lebih selektif dalam memilih lingkungan pergaulan dan teman-teman dekatnya.
Kesimpulan Kasus
Puput adalah pribadi yang ramah dan santun. Ia memegang teguh nilai-nilai budaya
dan agama yang diajarkan kepadanya. Puput beruntung memiliki mamak dan lingkungan
keluarga yang masih melestarikan budaya Minang. Walaupun ia dan keluarganya menetap di
daerah Sawah Lunto yang adat budayanya sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Puput tidak
meninggalkan nilai-nilai budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya.
Misalnya, sopan santun dalam bersikap dan wawasannya mengenai adat istiadat
Minangkabau. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Puput
sebagai orang Minang.
Demikian juga ketika Puput berada di Medan, identitasnya sebagai orang Minang,
membantunya untuk bersosialisasi dengan orang lain. Misalnya ketika ia sampai di Medan, ia
merasa senang ketika disambut oleh mahasiswa lainnya membantu Puput mendapatkan teman
baru dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam bergaul dengan teman-temannya di
kampus, Puput tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga
Informan 9
Wawancara dengan Masria Umami yang biasa disapa Memi berlokasi di kampus
Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Peneliti menghubungi Memi setelah peneliti
mewawancarai teman Memi, Silmi. Pada saat diwawancarai, Memi ditemani oleh sahabatnya
Tiara yang juga mahasiswa Minang. Mereka sedang beristirahat menunggu jadwal
perkuliahan berikutnya dimulai.
Bagi Memi, ini adalah pengalaman pertamanya menetap di Kota Medan. Sebelumnya,
Memi juga sudah pernah tinggal bersama orang tuanya di Riau hingga kelas 3 SD. Tetapi,
atas pertimbangan faktor lingkungan di sana yang dinilai kurang baik bagi perkembangan dan
pendidikan anak-anaknya, orang tua Memi kemudian memutuskan agar Memi dan kakaknya
melanjutkan pendidikannya di Sumatera Barat saja, tepatnya di kampung halaman Ibu Memi,
kota Batusangkar. Di sana Memi dan kakaknya hanya tinggal berdua saja di sebuah rumah
yang telah disiapkan kedua orang tuanya. Walaupun mereka hanya tinggal berdua, tetapi
anggota keluarga Memi yang lainnya juga tinggal berdekatan dengan rumah mereka,
sehingga bisa saling menjaga dan membantu.
“Kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu tingga di sangka, tapi
memi lah SMA, nyo pindah ka Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telpon se lai. Dulu
rumahnyo dakek SD Memi, jadi main ka situ, jadi kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi
lah yang ma aja an Memi. Kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi la yang ma aja an
(Kaka mama ada 3 orang, tapi yang dekat hanya 1 orang, dulu tinggal di Batusangkar,
tapi ketika Memi SMA, dia pindah ke Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telepon saja. Dulu
rumahnya di dekat SD Memi, jadi main ke sana, jadi kalau misalnya ada apa-apa ya mamak
Memi lah mengajari Memi. Kalau misalnya ada apa-apa mamak Memi juga yang mengajari
Orang tua Memi hanya pulang sebulan sekali ke kampungnya, sehingga yang sangat
berperan dalam penanaman nilai-nilai budaya Minangkabau, maupun nilai-nilai agama Islam
adalah keluarga yang di kampung, terutama mamaknya. Ketika mereka menghadapi masalah,
orang yang pertama maju untuk menyelesaikannya adalah mamaknya ini. Demikianlah
hubungan Memi dengan mamaknya, hingga Memi SMA mamaknya harus pindah ke Kota
Sawah Lunto. Walaupun demikian, Memi tetap sering berkomunikasi dengan mamaknya
meskipun hanya lewat telepon.
Kemudian, peneliti menanyakan kepada Memi, bagaimana pendapatnya sendiri tentang
budaya Minangkabau.
Menurut Memi, kebudayaan Minangkabau itu adalah kebudayaan yang unik karena
menganut sistem keturunan matrilineal. Walaupun di satu sisi status Ayah memang berperan
dalam adat, tetapi ketika ia memiliki status sebagai seorang mamak, ia akan memiliki peran
yang lebih besar. Meskipun demikian, di sisi lain seorang tetap berperan penting dalam
keluarganya.
Matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak lebih
besar daripada peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga).
Ketika Memi akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, orang tua atau pun
mamak Memi memberikannya kebebasan untuk memilih ke mana ia akan melanjutkannya.
Sedangkan dari Memi sendiri ia juga sudah memiliki keinginan untuk merantau ke luar
daerah Sumatera Barat, terutama ke pulau Jawa. Ia mengatakan jika ia bisa pergi merantau,
maka ia bisa melihat dunia luar dengan kebudayaan dan orang-orang yang berbeda dan juga
mendapatkan pengalaman baru. Oleh karena itulah, pada saat mengisi formulir pendaftaran
UMB, Memi memilih beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa yaitu UI dan Universitas
Padjajaran, sedangkan untuk di pulau Suamtera sendiri ia memilih USU sebagai salah satu
pilihannya, karena Universitas Andalas pada saat itu belum termasuk dalam universitas
peserta UMB.
“Pengen bana kalua. Kalau awak cuma di sekitar Sumbar, awak tu jadi dak bisa melihat
dunia lua, mungkin kebudayaan urang lain beda, pengen caliak yang lain, pengen cari
pengalaman gitu”.
(Sangat ingin pergi ke luar. Kalau kita hanya di sekitar Sumbar saja, kita jadi tidak
bisa melihat dunia luar, mungkin kebudayaan orang lain berbeda, ingin lihat yang lain, ingin
cari pengalaman).
Dari penuturan Memi tersebut, tampak bahwa Memi memiliki rasa keingintahuan
yang tinggi tentang orang-orang di luar lingkungannya sendiri. Dalam perkembangannya,
rasa keingintahuannya inilah yang membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru
Memi mengakui awalnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa lulus di salah satu
Universitas di Jawa, tetapi ia tetap bersyukur karena bisa lulus di USU.
“Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan barasiah, tertata lah kotanyo,
jadi patamo kali datang ka Medan, wah… kok jorok gitu kan, emang kumuh lah kesannyo,
tukang becak bertebaran dima-dima, dak jaleh se do raso tatanan kotanyo, jadi agak illfeel
patamo kalinyo dan patamo kali masuak kampus pun kayak gitu. Fakultas Keperawatan dak
kayak giko dulu doh, masih lumuik dulu sado catnyo, masih banyak rimbo. Dak sasuai jo apo
yang dibayangkan”.
(Karena dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan bersih, tertata lah kotanya,
jadi pertama kali datang ke Medan, wah… kok jorok gitu kan, memang kumuh lah kesannya,
tukang becak bertebaran dimana-mana, tidak jelas saja rasanya tatanan kotanya, jadi agak
illfeel/kecewa pertama kalinya dan pertama kali masuk kampus pun begitu. Fakultas
Sedangkan untuk culture shock yang dialami oleh Memi, ternyata tidak terlalu
berbeda jauh dengan informan sebelumnya yakni dari segi logat dan bahasa. Memi juga
merasa terkejut ketika tiba-tiba seseorang bertanya dan menyapanya dengan kata “Kau”.
Tetapi setelah Memi memahami bahwa kata itu memang kata yang lazim digunakan di
kalangan teman-temannya, ia pun sudah terbiasa. Tetapi pada saat ia menjalani masa ospek,
Memi sempat merasa tidak nyaman dengan sikap beberapa seniornya yang suka membentak-
bentaknya. Karena kejadian itu, hingga sekarang ia masih merasa enggan untuk bergaul
dengan mereka. Selain itu, Memi juga pernah menegur beberapa orang temannya yang makan
dan minum sesukanya pada saat bulan Ramadhan. Karena merasa tidak dihargai, Memi
langsung menegur mereka saat itu. Bagi Memi, bergaul dengan siapa pun sebenarnya tidak
ada masalah, selama bisa saling menghargai.
Kesimpulan Kasus
Sejak kecil, Memi sudah terbiasa hidup mandiri dan suka bergaul dengan lingkungan
sekitarnya. Walaupun ia tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, tetapi lingkungan tempat
tinggalnya masih menerapkan nilainilai budaya Minang dan agama Islam. Mamak Memi
berperan sebagai penjaga, pendidik, dan juga membimbing Memi dan kakaknya dalam
menerapkan nilai-nilai budaya dan agama dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketika
Informan 10
Nama : Wahyu Eko Putra
Usia : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2011
Lama Menetap : ±1.5 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin ginting, Gang Kamboja No.27
Tanggal Wawancara : 08 Oktober 2012
Peneliti baru mengenal Wahyu pada saat wawancara, tetapi karena kesamaan latar
belakang budaya peneliti dan informan bisa lebih cepat membaur. Terlihat dari
penampilannya, Wahyu adalah mahasiswa yang rapi ia mengenakan celana panjang dan
kemeja berlengan pendek. Ternyata cara ia berpakaian ini juga dilatarbelakangi oleh
pendidikan sebelumnya. Setelah berkenalan, ternyata Wahyu adalah tamatan dari Pesantren
Hamka dan melanjutkan pendidikan di SMA Cendekia yang juga menerapkan sistem asrama
seperti di pesantren. Wahyu mengakui, sekarang di Kota Padang budaya Minang itu sudah
mulai pudar. Walaupun ia sekeluarga menetap di Kota Padang, tetapi karena sejak 6 tahun
belakangan ia masuk asrama, pergaulan dan nilai-nilai masyarakat di Kota Padang yang
sudah mulai luntur itu tidak terlalu mempengaruhinya. Apalagi Wahyu memiliki seorang
mamak yang masih sering mengingatkannya akan nilai-nilai budaya, ditambah dengan
pengetahuan yang ia dapatkan di sekolah juga masih mengajarkan dan mendidik siswa-
siswanya untuk memahami budaya Minangkabau.
“Sabalum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh, lah carito-carito lo
samo senior-senior yang ado di Medan ko, keceknyo Medan ko kareh, trus ciek lai
pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior-senior tu. Tapi lah pai
ka siko, indak lo bantuak tu bana do, lingkungannyo biaso-biaso se nyo. Basobok jo urang
Batak saketeknyo, kebanyakan urang Aceh, atau urang Melayu, kalau di lingkuangan Wahyu
(Sebelum datang ke sini, mendengar kata orang, katanya keras, juga sudah cerita-
cerita dengan senior-senior yang ada di Medan, katanya Medan ini keras, trus satu lagi
pergaulannya terlalu bebas, jadi hati-hati saja di Medan, kata senior-senior itu. Tapi setelah
pergi ke sini, tidak terlalu seperti itu, lingkungannya biasa-biasa saja. Bertemu dengan orang
Batak juga sedikit, kebanyakan orang Aceh atau orang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu
Beberapa bulan pertama ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang di Medan, Wahyu
mengalami kesulitan dengan bahasa. Walaupun di Medan bahasa percakapan sehari-hari yang
digunakan adalah bahasa Indonesia, tetapi banyak istilah lokal yang tidak ia ketahui. Selain
“Budaya Minang itu haluih lah, kalau dibandiangan jo Batak, tu lebih sopan. Kan
kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu relatif, misalnyo dek urang Batak tu ngecek
(Budaya Minang itu lebih halus, kalau dibandingan dengan Batak tentu lebih sopan.
Kan kalau kesopanan itu dalam konteks budaya Universitas Sumatera Utara
itu relatif, misalnya kalau orang Batak biacara keras-keras itu sopan saja, tapi kalau kita kan
tentunya berbeda).
Kasimpulan Kasus
Wahyu yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren memegang teguh nilai-
nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh
orang tua dan mamaknya selalu ia ingat dan membimbingnya dalam berinteraksi dengan
orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Walaupun ia mengakui budaya
Minang di Padang sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Wahyu tidak meninggalkan nilai-nilai
budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Lingkungannya yang
seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Wahyu sebagai orang Minang. Wahyu
sempat mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan masyarakat Medan karena faktor
bahasa dan logat yang ada. Ketika bergaul dengan teman-temannya di kampus, Wahyu tidak
menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga dan senang ketika
orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Culture shock yang dialami Wahyu
hampir sama dengan yang dialami oleh informan yang lain, begitu juga dari segi makanan
danlingkungan Medan. Wahyu sangat menyadari statusnya sebagai pendatang, ia belajar
untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.
IV.2 PEMBAHASAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa culture shock adalah
kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang
dalam pergaulan Sosial dalam rangka perpindahan dari lingkungan familiar ke lingkungan
baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174), demikian pula yang dialami oleh informan, yakni
mahasiswa Malaysia yang menempuh pendidikan di USU. Sebagai individu yang berasal dari
daerah yang berbeda dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan
melekat dalam diri individu tersebut, maka ketika memasuki kota Medan pada umumnya dan
USU pada khususnya merupakan suatu pengalaman baru dan mereka pun turut mengalami
gegar budaya (culture shock). Dikaitkan dengan tingkat-tingkat culture shock yang
dikemukakan dalam Intercultural Communication Between Cultures (Samovar, 2007: 335-
336), maka dalam penelitian ini dibuat pembahasan sebagai berikut:
a. Fase Optimistik (Optimistic Phase)
Dari hasil wawancara dan pengamatan, kebanyakan informan melalui fase ini dimana
mereka merasakan euforia dan semangat dalam menyambut suatu kehidupan yang baru.
seperti yang dikemukakan secara terang-terangan oleh, akamal. Gambaran dan informasi
yang diperoleh bahwa USU (kota Medan) adalah tempat yang secara umum tidak jauh
berbeda dengan kota-kota besar lainya, setidaknya menjadi harapan akan sesuatu yang akan
baik. Penjabaran ini sesuai dengan definisinya bahwa fase optimistik ini berisi kegembiraan,
rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
Serta dari beberapa informan yang juga menjadi mahasiswa undangan yang menjadi suatu
kebanggaan bagi mereka yang di terima di USU melalui jalur tersebut. Dilihat dari segi
akreditasi USU adalah universitas negri yang terbaik di Sumatera, hal ini juga menjadi
sebuah motivasi bagi mereka untuk melakukan jenjang pendidikan di USU, dan atmosfir
berikut streotype bahwa Kota Medan yang besar dan suasana sosial multikultural yang akur
juga turut mendukung mereka dalam memasuki lingkungan baru di Sumatera Utara,
khususnya di Kota Medan.
Fase ini adalah fase kritis dalam culture shock. Informan merasakan berbagai
perbedaan yang menimbulkan keterkejutan dan kecemasan dalam berinteraksi dan kontak
langsung dengan lingkungan barunya. Rata-rata informan merasakan perbedaan akan hal
yang sama, seperti ketika berkomunikasi, kendala bahasa, perbedaan nilai-nilai dan pola
perilaku kultural (Rahardjo, 2005). Seperti yang dialami Winda dan Hengki , mereka melalui
masa dimana mereka dianggap asing, tertolak dan dimusuhi. Mereka juga merasa bingung
dan sangat tidak terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti bahasa, yakni
pengalaman winda yang sampai menangis karena perbedaan bahasa dan intonasi nada yang ia
dengarkan di kota medan Rata-rata bahkan hampir semua informan mengeluh dan mengaku
shock dengan kasarnya mereka bicara dan tarif yang dibuat sesuka hati dan juga dengan
Wahyu yang hanya datang sendirian ketika pertama kali datang ke kota medan.. Peneliti
mendapatkan data gegar budaya (culture shock) tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi
terhadap lingkungan kota Medan yang terlalu padat, sempit dan traffic jam di lalu lintas
Medan, juga cita rasa makanan Medan.
Setelah melewati beberapa tahun di Kota Medan, akhirnya informan mulai mengenali
lingkungan barunya. Rata-rata informan mengaku tidak lagi mengalami sesuatu yang terlalu
dicemaskan, hanya saja mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut, terutama
mengenai bahasa. Perlahan-lahan informan menemukan kenyamanan dan menghargai segala
perbedaan sebagai bentuk budaya yang lain yang patut dihormati. Merasa dibeda-bedakan
dalam berinteraksi sedikit banyak juga masih dirasakan, seperti Silmi dan Dilla. Tetapi,
kebanyakan informan mengaku sudah mulai menganggap itu biasa dan mampu beradaptasi.
Dalam fase ini pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya barunya, termasuk pola
komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini pula ada rasa puas dan menikmati kondisi yang
dihadapi. Para informan rata-rata mengaku sudah mampu beradaptasi. Meskipun demikian
masih terus berada dalam proses belajar akan budaya itu, khususnya bahasa. Informan juga
Perbedaan dan gegar budaya yang dirasakan menimbulkan kecemasan dan gangguan secara
fisik dan psikis seperti dikemukakan (dalam Samovar, 2007: 335) mengenai beberapa reaksi
terhadap culture shock. Dari penelitian ini ditemukanpada drir Silmi yang cukup sulit untuk
beradaptasi dengan lingkungan barunya, bahwa berbagai reaksi yang dirasakan informan
adalah merasa ditolak, merindukan lingkungan lama dan keluarga (homesick) yang
mengakibatkan kesedihan yang mendalam selama beberapa waktu seperti yang dialami silmi
lain halnya dengan memi dan putri yang memang telah biasa untuk cepat beradaptasi dengan
lingkungan karena pengalaman dari dalam keluarga mereka pada sebelumnya, menganggap
tuan rumah tidak peka, gangguan fisik karena makanan dan udara yang tidak cocok. Tetapi
secara keseluruhan, kebanyakan informan mengalami reaksi homesick.
Komunikasi personal seperti struktur kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang
dimasuki, self image si informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu kepada
kemauan imigran untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru.
Kemudian, komunikasi Sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan orang-orang
Medan juga interaksi dengan sesama etnis dimana rata-rata informan yang tergabung dalam
Mereka memberikan definisi yang lebih baik tentang orang Medan dan menghargai
perbedaan yang ada dibandingkan informan yang memilih berkelompok dan hanya
berinteraksi untuk urusan kuliah saja. Sedangkan informan yang memberikan definisi yang
cenderung negatif tentang lingkungan Medan dan orang-orang di dalamnya seperti Winda,
Silmi dan Putri yang memaknai situasi dan perilaku orang medan yang tidak ingin berteman
dengan orang Minang, maka mereka cenderung berkelompok dengan sesama mahasiswa
Minang dengan segala bentuk kenyamanannya.
Selain itu, terdapat hal-hal yang memotivasi diri untuk berkomunikasi dengan orang-
orang Medan, tetapi untuk informan yang mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang
diasingkan, ditolak dan berbeda, maka perilaku mereka cenderung lebih sering berkelompok
dan hanya berkomunikasi seadanya untuk urusan perkuliahan. Hal ini dijadikan sebagai
perlindungan bagi culture shock yang mereka alami. Memang benar bahwa menurut Deddy
Mulyana (dalam Mulyana, 2005: 144), lingkungan yang berisi sesama pendatang dengan asal
yang sama membantu proses penyesuaian dan penerimaan terhadap budaya lingkungan baru,
tetapi alangkah baiknya upaya menanggulangi culture shock dengan belajar dan
berkomunikasi dengan tuan rumah langsung demi penyesuaian diri.
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang culture shock pada pelajar Minang di Universitas
Sumatera Utara, maka dapat ditarik kesimpulan:
2. Kebanyakan informan melalui keempat fase dalam culture shock, yakni fase
optimistik, fase masalah kultural, fase penyembuhan dan fase penyesuaian.
3. Culture shock yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya ialah
terhadap bahasa, kuat dan kasarnya cara orang Medan berbicara, karakteristik orang
Medan dan juga beberapa perbedaan nilai-nilai. Dari seluruh perbedaan, bahasa yang
dianggap menjadi persoalan dalam berkomunikasi.
4. Dari penelitian ini, peneliti memperoleh temuan mengenai culture shock yang dialami
informan di luar interaksi komunikasi antarbudaya, yakni makanan, keadaan lalu
lintas, kegiatan merokok dan mencontek di lingkungan kampus dan fasilitas dan
birokrasi kampus yang masih belum memadai, tetapi kebanyakan informan mengaku
mengalami culture shock terhadap makanan dan lalu lintas kota Medan yang padat
dan tidak teratur.
5. Rata-rata reaksi terhadap culture shock yang dialami adalah rindu pada
rumah/lingkungan lama (homesick) dan gangguan fisik, seperti sakit perut karena
tidak cocok dengan makanan yang ada.
8. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya dalam menanggulangi culture shock
menuju suatu penyesuaian diri, yakni memegang prinsip sebagai pendatang harus
bersedia untuk beradaptasi dengan lingkungan yang didatangi, memperbanyak teman
orang-orang Medan dan meningkatkan intensitas keterlibatan dengan orang-orang
Medan, baik di kampus maupun di luar kampus. Upaya lainnya adalah dengan tetap
memilih berkelompok dengan sesama mahasiswa asal Minang dan berlindung di balik
kenyamanan yang dirasakan selama berada denngan sesama dibawah organisasi
kedaerahan. Tetapi, mayoritas informan melakukan upaya yang pertama, yakni
beradaptasi dan memperbanyak teman orang-orang Medan .
V.2 Saran
3. Hendaknya mahasiswa asal Minang yang masih memilih untuk hidup berkelompok
dengan sesamanya karena kenyamanan yang dirasakan mulai berupaya membuka diri
untuk melakukan interaksi dan komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan,
karena hal ini juga akan membantu menanggulangi culture shock yang dialami
menuju suatu penyesuaian diri.
5. Hendaknya mahasiswa Medan juga menerima mahasiswa Minang dan daerah lain
dengan baik, membantu dan menghargai perbedaan budaya yang ada untuk membantu
proses adaptasi mereka juga.
6. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat culture shock yang dialami
etnis pendatang dan minoritas, serta membantu memberikan masukan mengenai
upaya lain dalam menanggulanginya dan dalam mempercepat proses adaptasi mereka.
Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang sejenis pada
kondisi atau subjek yang berbeda.
Lubis, Lusiana Andriani dan Pinem, Emma Violita. 2012. Komunika Jurnal Ilmu Komunikasi
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara Perbedaan
Pinem, Emma Violita. 2011. Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada
Sumatera Utara
http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_sho
ck .(diakses pada tanggal 17 mei 2012).
http://suheimi.article.com/2007/06/syarak-mangato-adat-mamakai-20-2-juni.html.
(diakses pada tanggal 18 mei 2012)
P = Peneliti
I = Informan
1. Salmi Hengki
I: satahu ki urang minag ko dikecekan kareh ndak loo doh, tapi urang minang ko lai
capek baradaptasi jo urang lain atau jo lingkungannyo, dan labiah capek bersosialisasi,
I: lai ado awak bagaul jo etnis lain katiko dikampus, jo urang batak, melayu, india
bahkan cino pokoknyo sadoalahnyo, Cuma dek lingkungan wak urang padang mako labiah
P: baa pikiran jo persaan ki waktu tibo di medan? katiko masuak lingkungan baru?
I: dek dari sekolah sd wk lah jauh juo dari urang gaek, smp dan sma, jadi ndak terlalu
I: dalam gambaran wk medan tu kota yang kareh dan urangnyo urang batak dan wk
anggap urang batak ko urang nan terkenal kareh mangeceknyo, sebab waktu wk sma dulu
ado urang batak dan urang batak tu kareh bukan dek kceknyo se, tapi prinsipnyo kareh juo.
I: kalau permasalahan lai, cuma ndak terlalu barek, sebab dek awak lah biaso jauh dari
urang tuo, paling mancocokan makanan jo cuaca, itu pun ndak tarlalu lamo awak marasoan,
paling saminggu nan agak payah wak lalok jo makan, masuak minngu kaduo ndak masalah se
lai
P: apo perbedaan nan paling mancolok katiko di kampuang jo katiko kuliah dimedan?
lebih capek urang tahu sebab dikampuang tu buruak elok wak langsuang capek tahu urang
mungkin dek wilayah nan ketek, beda jo medan ko individualisme urang labiah tinggi jadi
urang dimedan ko ndak ka mau tahu jo masalah wak, paling katiko wak bagabuang dalam
suatu komnitas atau kelompok lah urang mangko katahu, itu pun ndak kasado urang lo bisa
tahu.
P: katiko ado kendala atau masalah dimedan, baa caro hengki menghadapinyo?
I: misal waktu tu masalah makan, karano ado perkumpulan minang disitulah awak
banyak batanyo dima tampek makan, tampek bali buku selain tu ado dari senior-senior di
kampus atau di kost yang maagiah awak arahan.pokoknyo sadoalah tentang medan ko wak
P: Jadi apo pelajaran yang hengki dapek katiko memasuki sebuah lingkungan baru?
I: Pelajaran yang awak dapek, awak jadi lebih menghargai urang lain, sebab awak
basobok jo urang-urang nan berbeda, dari situ awak bisa mancaliak baa gaya hidup urang,
awak caliak, dan katiko awak hargai urang lain, mako disitu lah awak akan dihargai urang
I: yang partamo jaan malu-malu batanyo, jaan jadi uarang yang sok tahu wak katiko
dinagari urang ko, apo lai nan baru bapisah jo urang gaek, itu biasonyo urang tu maraso
masih barado dirumahdan itu sangat babahayo sebab ndak ado jaminan apo yang wak
inginkan bisa terwujud.intinyo jaan pernah manyamoan diri dirumah dan dirantau urang ko.
2. M.Akmal Nur
I: Waktu ado penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi urang
minang, jadi disitu ado pemilihan datuak jo bundo, kebetulan lah awak nan tapiliah sajak
P: Baa interaksi datuak jo urang-urang baru dan lingkungan baru di medan ko?
I: Buliah di kecekan biaso-biasosenyo kebetulan pas baru bana tibo dimedan ko awak
tingga samo mak tuo wak, jadi ndak kontras bana lah rasonyo dirumah jo dimedan, pas dikost
patangtu interaksi ndak bitulah bana doh, sebab wak baduo se jo bang zulfikar nan muslim
jadi sekedar say helo senyo,Cuma dek lah cukuik lamo cukuik akrab juo jadinyo tapi sabateh
kawan se
P: Jadi baa caritonyo datuak kini bisa tingga di toko eiger ko?
I: Partamokan ado senior wak di KOMPAS USU, sebelum tu wak alun tahu jo senior tu
lai, wak masuak kompas awal 2011, disitulah wak kenal jo pemilik kadai ko, tu kalo ndak
salah sabulan sudatu di telpon no wak, keceknyo dek ndak ado nan manjago kadai ko
perai ndak mambayia, tu nan pasti wak lai suko pulo manggaleh.
I: Indak lo doh da, nan jago dari pagi sampai sore ado, namonyo bang solihin. Jadi wak
kakuliah ndak masalah doh. Nan punyo tampek ko namonyo bang dejo ekonomi stambuk
I: Baa ka baa lasuah dikampuang, tapi disiko namonyo manusia awak sabagai urang
minang marantau istilahnyo untuak anak mudo harago mati kalau ndak ado usaho
dikampuang ancak marantau wak lai. Jadi untuangnyo disiko manambah wawasan wak yang
P: Takajuik datuak ndak waktu baru-baru tibo di medan ko apo lai tentang pergaulan?
I: Kalau dari segi pergaulan ndak lo doh, sebab dulu wak lai juo pai marantau ka kota
Gadang atau metro politan Cuma tu lah walaupun kota gadang tapi insfrasrukturnyo banyak
nan ndak layak pakai caliak lah angkotnyo jalannyo bedo jauh lah jo bukittinggi.
I: Ado tapi ndak bitulah bana doh,Cumo tu lah kalo awak anak fisip ko memang harus
berorganisasi kalo maarokkan dari dosen se ndak kaado dohh, mencari keahlian wak yang
lain memang harus diorganisasi, po lai nantik untuak dunia kerja fisip ko masih ngambang, di
awang-awang mangko no wak butuh keahlian lain untuak manunjang wak nantik mode awak
jurusan administrasi negara kan ndak harus karajo dipemerintahan mungkin se diwirausaha.
I: Kalau bahaso lai lah tapi ndak lamo bana lo doh, kalo soal budaya dikota medan ko
ndak jaleh se, istilahnyo kama anagin baambuih kakian lo baliang-baliang baputa, apo nan
kebanyakan ndak baprinsip lah mulai dari bapakain sampai caro mangecek, kini k-pop bisuak
ntah apo lolai. Mungkin dek dimedan ko majemuk multi etnis multi agamo jadi panutan tu
ndak jaleh se, kalau dikampuang kan ado datuak atau nan tuo jaleh ka jadi panutan
P: Ado streotype yang negatif ndak tentang kota medan sabalum datuak datang? Misal
I: Ndak ado doh da sabab wak lah cari-cari info sabalum kamedan ko, bukan orang
I: Yo sajak SMA wak lah gabuang juo di KPA Bukittinggi, selain tu dimapala ko ndak
ado menyepelaan hal nan ketek, kebersamaanyo solid pulo. Sarandah-randah awak pasti
ditarimo dimapala ko. Jadi wak bagabuang disitu ndak ado baketek-ketek hati, istilahnyo
minder-minder. Bantuak tukang becak bana nyo mahasiswa pulang bawo becak nyo ka
P: ado ndak raso taragak samo urang tuo atau homesick lah?
I: Yoo kalo taragak lai lah Cuma dek dari SMP wak lah pisah samo urang gaek, awak
I: ”Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, ingek dahan kamaimpok ingek
bahubuangan jo kahidupan awak jo agamo yang awak jalani,seandainyo awak baa-baa, awak
lupo atau cilako jo kehidupan wak surang pasti karano awak surang bukan karano urang lain
P: Sampai kini itu datuak pedoman di aplikasian untuak mengatasi masalah atau
I: insyallah, di kecekkan lancar ndak lo dohh tuu ado tasandek stek, namonyo awak
manusia, artinyo walaupun awak urang minag basosial tinggi tapi jaan lupo jo agamo, kan
P: Apo ado nan lain datuak pahami dari rantau dinagari urang ko?
I: Ado da, mode ko wak pahami da ibaratnyo “elok-elok jo tampuo basarang randah”.
P: Makasuik datuak?
I: Tampuo tu labah, biasonyo labah tu kan basarang tinggi-tinggi bantuak diateh batang
karambia, kalaunyo basarang randah pasti ado panjagonyo dibawah kok ula nan basarang
atau pinyangek nan baracun, artinyo dalam wak bersosialisasi di masyarakat yaitu urang nan
marandah bukan urang sok tu pasti ado kalabihannyo ado palinduangnyo, ado ilmunyo, ilmu
disiko ado ilmu agamonyo, walupun wak sapele mancaliak urang tu tapi kalu dimato tuhan
tinggi derajat urang tu. Ndak baa wak hormat ka urang mode tu dari pado urang nan dari lua
I: Cangguang wak insyallah ndak ado doh da, yo bak kato rang gaek juo “indak ka
disio-sionyo wak doh” bak kato ulama kalo wak manjalanan agamo patuah ka tuhan tu ndak
kadisio-sionyo wak tulah pedoman wak, sasuai jo filosofi wak tadi tu, bajalan wak mauruik
alurnyo ndak ka disio-sionyo wak dek tuhan doh, walaupun kanai, kanai-kanai saketek tando
wak masuak ka lingkungan baru, kan banyak nantiknyo urang minang nan ka malanjuikan
I: Pasan wak yo, kanalah dasar wak, wak urang minang ko kan galia cadiak pandai “kok
taimpik nak diateh kok takuruang nak dilua” tukan sesuatu nan ndak mungkin kalau
diurang lain mungkin ndak masuak aka tapi diminang sesuatu nan mustahil tu mungkin se
diurang minang ko, kanalah dasar wak tu jaan menganggap remeh di nagari nan baru ko tiok
nagari ko pasti batuah kok sombong atau sok pasti ado se balehnyo kadiri wak surang, baa ka
baa na wak kan tamu disiko hormatilah urang pribumi disiko jaan samoann jo di rumah.
Haragoilah urang lain pasti urang lain maharagoi awak, ndak ka ado urang jaek ka awak kalo
ndak awak nan kamamulai doh, ibaraik papatah urang gaek lo baliak da ,kecek rang gaek da
“salah urang mangko salah awak, salah awak mangko nampak salah urang, dek awak
nan salah mangko nampak urang tu nan salah”.kalau wak ndak salah ndak ka nampak
3. Winda Zulfi
I: Iyo.
langsuang capek tanggap gitu mangecek an langsuang ka Inda sabalum ka Ama, kdang labiah
acok nyo dulu mangecek an ka Inda, daripado Ama mengecek an dulu ka Inda gitu a, soalnyo
dakeknyo tu katiko Nda ketek-ketek nyo lah tingga jo Ama Nda, jadi lah dakek.
I: Budaya Minang kalau menurut Nda, dek Nda dari Minang, ancak.
I: ancaknyo kalau nampaknyo dek Nda gitu, kalau dari segi awak basamo-samo
bakawan, patamo nyo yang itu, labiah dakek gitu a, labiah samo-sao peduli la dibandiangan
kalau misalnyo wak samo urang lan yang bahasa-bahasa tu, kan urang tu kebanyakan tipenyo
cuek gitu a, kalau awak kan labiah raso kekeluargaannyo, labiah dakek gitu.
I: 6 tahun.
P: Kalau Nda surang dulu, ado ndak keinginan Nda surang untuak pai marantau?
I: Iyo, memang keinginan Nda, asik se gitu, misalnyo Ndak kan dak di Pasaman do, di
Padang Panjang, katiko sakali-sakali pulang tu lasuah gitu a. Pado acok-acok na sobok, dak
I: Lai, elok-elok disitu yo, jan kalua-kalua malam, makan dijago, gitu a.
I: Lai, misalnyo kalau ka urang tu pandai-pandai la, jan kasa-kasa gitu a, pandai-pandai
la bakawan di rantau.
I: Nyo giko a, ba a namonyo tu, pas ma isi PMP, kan Nda anak PMP, jadi pas patamo
maisinyo ambiak formulir UNAND, jadi namonyowak disaring dulu kan, tu ado persaingan
lo disitu, tu Nda mangalah se nyo, Nda ambiak se formulir USU lai, “Buk Inda se la ma isi
I: Iyo, sanang bana ko ati Nada, soalnyo Nda urus surang dek uni.
P: Trus pas nda ka pai ka Medan ko dulu, ado dak nyari-nyari tau tentang Medan?
I: Ndak.
I: Ndak lo do, tau gitu se nyo takajuik. Apolagi pas ospeknyo tu a, kan Inda kanai
berang tu, Inda talambek, tu ado kakak yang menyapo Inda, tu Nda sapo, tu diberangan dek
urang.
I: Nangih Nda, “Kau ngomong sama Ku Dek, ngapain Kau ketawa-ketawa kesana”
I: Lai, sodara nenek jo apa, jauah, tapi interaksinyo acok gitu lah.
I: Patamo iyo, nginap disitu dulu, baru habis tu tingga di pembangunan Nda dulu,
I: Di kampus kebetulan, kan kami anak Minan batujuah, Inda surang yang beda
kelasnyo, salabiahnyo urang baranam ko samo kelasnyo, kelas A, Inda kelas B, jadi Nda
I: Disiko kalau samo-samo urang Minang, pakai bahaso Minang Inda, kalau misalnyo
lah sobok jo kawan-kawan nan indak urang Minang, pakai bahaso Indonesia, tapi kadang
I: Awal Nda waktu tu kan Nda PMP, matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo
dek urang, takajuik Inda gitu a, “Kau dari mana?”. Eh…Ya Allah, di pa kau an nyo Inda, Inda
waktu tu lah kenal jo Faisal, Nda kecek an ka si Faisal, “Faisal, Nda di pa kau an nyo” cek
Inda, “ndak ba a do”. Agak cangguang Inda mandanganyo patamo, tapi nyo biaso-biaso se,
P: Pas Inda tibo disiko apo lai yang buek Inda takajuik?
I: Nasinyo, dak suko, lakek-lakek ba a gitu. Ndak nio Nda makan do.
P: Apo lai?
I: Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, tu mandangan dialeknyo mangecek gitu
P: Kalau samo kawan-kawan disiko ado ndak perubahan sikap kawan Nda waktu nyo tau
I: Ndak ado na do, masih biaso-biaso se nyo, kalau untuak perubahan kayak ka
sinis gitu indak do. Paliang dak namo dipanggia nyo, uni, bundo, dindo, gitu.
I: Disiko, kumuah, angek, banyak debu, polusinyo terlalu banyak, angek bana
P: Tu a lai?
I: Sudah tu banyak nyamuak, pengap, dek ventilasinyo kurang. Agak aneh dek
P: ma yang labiah acok Nda berinteraksi samo urang-urang awak atau samo
urang-urang disiko?
P: Ba a tu?
I: Soalnyo nak, kalau samo urang Padang, ba a namonyo tu, pikirannyo tu, giko
menjatuhkan, tapi ntah, ndak itu namonyo gitu a, labiah dulu inyo
urang iko yang manolongan Inda gitu a, ba a namonyo dek uni tu.
I: Lai sakali Nda batanyo, kayak kawan Inda, urang Sidempuan, nyo kan
dilarang dek ama nyo, kalo pacaran atau kawin samo urang Padang. “Ba a
tu?” kecek Inda. Tu dikecek an nyo, mang lah persepsinyo dulu kayak gitu tu,
keceknyo urang Padang ko cadiak buruak, pilik, sagalo macam, “Jan lai, kok
4. Silmi Tresia
I: Hmm…dak kental-kental bana sih, cuma biaso-biaso se, kalau iko mungkin
dek lah pengaruh modernisasi jadinyo lah tacampua, dak musti kayak
keluarga lain, kalau ado acara adat, iyo bana-bana harus pakai iko, pakai iko,
I: Lai dakek.
I: Buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak Sil lah pai marantau, ado di
Pakanbaru, Bandung, Jakarta yang ado dakek rumah yo saketek-saketek gitu, dak terlalu.
I: Kalau menurut Isil budaya Minang tu, emang yo bana-bana Islamnyo mang kuek gitu,
kayak urang lain tau kalau urang Minang, pasti urang Islam, kalau adaik Minang kan, adaik
basandi syarak, sayarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo, trus
harus elok-elok kalau ngecek, tata cara ngecek gitu kan, jadi yo bana harus diparatian,
walaupun kini lah zaman modern, tapi pas ado acara-acara tu lah lamo dak ditampilkan tetapi
tetap menarik, walaupun dak disiko, dak di Padang, tetap menarik gitu, punyo keunikan
surang-surang la.
I: Kalau Sil, emang lah Sil tanamkan dari dulu, mungkin Sil lah dari ketek diaja dek
Apa secara dak langsung, emang iyo, kdang-kadang tibo di Medan se la, kadang tapikia se
ma ado disiko yang ngecek yang kareh-kareh gitu kan, kdang tapikia dek Isil, wak urang
Minang, urang Minang ma ado kayak gitu kan, jadi emang kalau lah tibo jauah kayak giko
baru taraso, wak urang Minang, jan buek buruak namo urang Minang, jadi jagolah elok-elok
nilai-nilai tata krama yang lah di ajan dari dulu, jadi kayak gitu la munkin Isil.
I: Menurut Isil yang patamo, caro negeceknyo, dak do yang kasa, kalau lah ngumpua-
ngumpua beko ado pepatah petitih Minangnyo, kayak misalnyo acok pakai-pakai kiasan,
walaupun kiasannyo tu ba a gitu, tapi tetap ado gitu a, pokoknyo kayak-kayak gitu la, lebih
I: Pakai bahaso minang, kasadonyo, kalau samo keluarga yang datang, samo anaknyo
bahaso Indonesia, tapi kalau samo-samo Ante bahasa Minang, dek nyo lah gadang di rantau.
I: Kalau samo adiak-adiak lah jarang pulang, jadi ciek-ciek yang diajaannyo.
P: Pas Isil tibo disiko ado tapikia dak untuak ngumpua samo-samo urang Minang ?
I: Dari awal gitu pasti adolah komunitas Minang, lagian sil surang lo disiko, sia lai
sodara, keluarga, gitu kan, jadi emang pengen waktu tu masuak gitu, waktu tu langsuang kan
I: Sabananyo dak ado minat ka USU do, sabananyo iko ko pilihan tacampak, dulu tu
mikia nyo pengen ambiak UNAND samo UNPAD, tapi salisiah antaro UNAND samo
UNPAD ko saketek, jadi kalau dak tarimo UNAND otomatis dak tarimo di UNPAD, lagian
labiah tinggi UNAND, jadi pilihan patamo ambiak UNAND, pilihan kaduo ambiak USU,
direkomendasikan kawan Isil, jauah 10% passing grade nyo randah dari UNAND. Jadi dulu
Apa, kecek Apa UNAND se lah, “dak tau Isil UNAND a yang ka Isil ambiak do pa”,
disuruah ambiak pertanian atau peternakan lah. “dak do, dak minat do”. Jadi Isil ambiak se
USU yo pa. Yo lah, kecek Apa. Tu lah sudah ma agiahan, tu ditelponnyo Isil dek Apa, “Sil
dak ba a do ambiak se la USU, kawan apa ado pulo dulu di USU, kalau ditarimo di USU
bisuak diantaan, lagian di USU tu labiah murah, beasiswapun labiah murah”, kecek Apa kan”.
Oo..yo lah, caliak bisuak se lah, tapi Isil dak berminat do pa, dak tau Isil USU tu do, trus pas
pengumuman kalua, ditarimo, emang dak ado niat, dak tabayangkan, dak amuah kasiko, yang
ngurus sado-sadonyo Ama jo Apa, sempat lah ditanyo dek Ama ekstensi UNAND, waktu tu
maha, nyusahan juo kecek Isil kan, “tu ba a?” kecek Ama kan, Sil se dak talok manggarik lai
do, lah di kasua se waktu tu kan, “Apa ka masan tiket ko a”, kecek Ama. Yo lah, pai, tibo
acok nelpon, pasti acok dulu dikecekannyo, “ma…Isil nangih ma, tiok malam, ba acaro nyo
I: Ka pai kalua lai tapi di Jawa, dak disiko do. Dak tau, soalnyo sosialisasi Usu ko dak
ado dulu do. Iyo bana-bana kurang pengetahuan tentang USU, dak tau do. Apolagi pas tibo di
I: Awal patang tu iyo, Cuma sudah tu ka ikuik ulang tes liak, tu dak lo do, lah pikia-
pikia kan, lah dapek kawan, ikuik acara IMIB dapek kawan, tu lah taraso lamaknyo, sudah tu
ka ikuik liak kan, pas ado isu tusnami, tu dak bualiah dek Apa lai do, tambah berang Apa kan,
“yo ka pindah juo ka UNAND? Ka tsunami beko a”, Iyo lah, kecek Sil, sudah tu lah tarimo se
P: Kalau tentang Medannyo dulu Isil lah ado dapek gambaran ndak kayak apo?
I: Dak sih, masalahnyo tentang Medan ko ba a, dak ado Isil pikian do, yang tau Sil USU
di Medan, yang taunyo Sil dulu tentang Medan yo urang Batak, kareh-kareh, emang sih ado
ketakutan, tajuik-takuik juo, cuma dak Isil pikia an bana, yang Isil pikia an tu kuliah di USU.
P: Trus dek gara-gara itu ado perasaan undersetimate Isil dak tentang Medan?
I: Kalau tentang Medan nyo sih indak, kalu samo urang-urangnyo iyo, jujur apolagi pas
ospek, urang tu ngecek kareh-kareh, pakai kau-kau, awak yang dak biaso pakai kau-kau sakik
ati, tu tiok asal urang tu ngecek, tutuik talingo se, kayak gitu sih, tapi kini lah mulai
P: Pas patamo kali Isil di Medan ko, ba a interaksi isil samo urang disiko?
I: Patamo kali, langsuang kos. Jadi patamo kali samo ibuk kos, lai elok sih urangnyo,
urang Jawa. Sudah tu pas di kampus samo urang-urang Batak tu agak illfeel, soalnyo Sil dak
Kawannyo yo samo-samo urang Minang se, beko pai samo-samo urang-urang Islam se, samo
yangnoni-noni tu dulu yo bana-bana bajarak, tapi kini lai ndak gitu-gitu bana do.
I: Sataun lah, semester 3 lah mulai-mulai manarimo, dulu semester 1-3 masih acok Apa
nelpon kini lah semester 4 ko lah mulai manarimo sepenuhnya lah gitu a.
P: Kalau patamo kali Isil pengen berinteraksi samo urang tu dulu dek a?
I: Dek ado tugas kelompok, pembagian kelompok, dek gara-gara itu se.
I: Biaso-biaso ajo sih, kalau samo urang becak/angkot, yo Memi lah tu, memi yang
labiah acok ngecek, Isil labiah banyak diam, caliak-caliak se, sampai duo semester.
P: Setelah berinteraksi gitu, ado dak Isil berusaha mengenal budaya urang disiko?
I: Dulu indak, kini lah mulai lah, apolaggi kini di kos urangnyo baragam, ado Isil tanyo
samo kakak-kakak tu, kadang-kdanag ngecek-ngecek samo kakak-kakak tu. Ado nampak
foto-foto, “kak ko acara a, acara a se?”, “kak baso Batak yang kak kecek an tadi tu a tu?”
P: kalau pas isil baraja-baraja, mancaliak-caliak, atau marasoan samo urang disiko, ado
bahasonyo, kalau awak dak, dak urang Minang se masih bisa ngarati stek-stek kan, ado
kebanggaan surang lo la, apo lai beko kalau kayak wak ma adoan acara kan, beko urang tu
caliak-caliak foto, “e..rancak lah, pengen caliak lah”, jadi kebanggan gitu kalau disiko.
I: Kalau isil yang marasoan surang yo itu lah, dak terlalu Sil nampak an do.
urang Minang?
I: Paliang kalau di kampusnyo, kalau di kampus kan awal-awal masuak kan dek Isil dak
biaso pakai “kau-kau” Sil pakai “Kamu” jadi urang tu lo yang maraso aneh, “kamu?”
keceknyo. Tu Isil jalehan la kan, jadi dak “kau” jadinyo do, jadi “ko”, kan dak terlalu kasa do,
kadang Isil ngecek ndak panggia kau nyo do, panggia sil/Silmi, jadi panggia namo se.
P: Kalau dalam berinteraksi samo urang tu, ba a caro Isil manunjuak an kalau Isil tu
urang Minang?
I: Mungkin kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro
ngecek urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun, kareh kayak gitu rasonyo ba a yo,
I: Kalau urang tu kayak gitu kadang-kdang Isil padiaan se dulu, tapi kalau lah acok bana,
I: Nilai tata krama nyo Sil raso, kalau tata kramanyo jaleh jauah beda, kalau urang
Minang tu sopan, bekonyo kok dapek jan manyingguang perasaan urang, kalau disiko kan
nyo langsuang-langsuang se, tu caro ngeceknyo kasa, tapi kalau caro mangecek tu kan emang
lah adat disiko kan, itu mungkn kayak sopan santunnyo, agak kurang disiko, disiko mungkin
ngumpua kan. Taapi kalau tiok hari labiah acok samo urang Medan.
I: Lai, samo kakak-kakak tadi dakek, samo kakak-kakak yang ado di kos lah dakek gitu
P: Sampai kini, apo perubahan yang taraso di diri isil salamo tingga disiko?
I: sabalum kasiko, isil tu urangnyo panakuik, kama-kama mintak kawan jo Mam, kama-
kama mintak kawanan jo apa, kama-kama mintak kawanan jo kawan. Sajak disko lah lebih
mandiri, dak panakuik lai do, walaupun ado juo takuiknyo, kama-kama lah bisa surang,
walaupun dakek-dakek tapi lah barani surang intinyo lah mandiri, kalau ado masalah bisa
nyalasaian surang.
I: Kalau dari perubahan sikap, raso Sil lai, disiko urangnyo labiah baragam, jadi disiko
dak bisa awak langsuang akrab samo urang tu do, kalau di Minang, awak tau urang Minang
P: Kalau pulang kampuang, kawan-kawan sil ado yang marasoan perubahan tu dak?
I: Tanpa disadari iyo, caro ngecek banyak barubah, ba akayak urang Batak ngecek,
kareh-kareh. Kan pernah kawan Isil ngecek bahaso Indonesia kan, yaudah pakai bahasa
Indonesia, mancaliak adiak Isil, “dek a? baru alun sataun pindah lai, lah kayak urang Batak
ni”, masak iyo lah kayak urang Batak sil. Padahal kalau di kampus tu, sil lah urang Minang
yang kalau ngecek dak kayak urang Batak do, kalau kawan-kawan kayak Memi, Gina,
logatnyo jaleh gitu, tu kecek adiak Isil. Mang iyo gitu, kadang tapikia dek Sil, kalau wak
5. Frezi Widianingsih
rumah, yang adat adat kayak perkawinan gitu masih kental Minangnyo
I: Samo mama, papa, kalau keturunan mama sadoalahnyo pakai bahasa Indonesia, kalau
I: Dari keturunan mama Zi, dulunyo pakai bahaso Minangnyo cuma pas di generasi
I: Oo, samo tetangga disinan kan bahaso Minang, jadi baraja, tambah jo kawan kawan
sekolah.
I: Hmm..ndak ado do, mama Zi saudaranyo cewek sadonyo, kalau yang dari papa lai,
P: Jadi kalau dapek pengetahuan tentang adat budaya Minang itu Zi dari sia biasonyo?
I: Dari kakek Zi, kan Zi tingga samo kakek Zi ni, jadi kakek Zi maajaan
antaan gitu.
I: Papa samo mama lai, tapi ndak intens do, pas kebetulan ado nampak, baru dikecekan.
I: Misalnyo pas caro tatakrama ado keluarga yang baru tibo, zi alun kenal smao urang
itu lai, dikecekan iko namonyo, wak panggia nyo mamak, soalnyo iko dari garis keluarga
P: Kalau caro mangecek misalnyo ka yang tuo giko, ka yang ketek giko ado ndak?
I: Ado, yang paliang apo bana maajaan kakek Zi, kakek dari mama.
I: Kalau budaya Minang kalau di daerah surang masih kental, tapi kalau dibaok kalua,
urang urangnyo lah kalua itu tu lah mulai ditinggaan samo urang-urang.
I: Kalau zi pribadi kurang menerapkan sih ni budayo minang, paliang cuma sopan
santun, tatakramanyo se lai kan, kayak pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah agak
maninggaan.
P: Kalau dilingkungan masyarakat selain samo tetangga, samo sia lai Zi pakai bahaso
Minang?
I: Samo kawan kawan di sekolah, kadang-kadang ado lo kawan kawan yang disekolah
P: Waktu SMA ba a?
Indonesia samo urang siko, bahasa Minang masih, samo kawan kawan disiko.
I: SMA 1 Bukittinggi.
P: Sebelum Zi kamari, ado ndak motivasi Zi surang untuak pindah kamari? kalua
Sumbar gitu?
I: Hmm...indak, dulu kan waktu tu pilihan tes, jadi pilihan di luar daerah ko di agiah tau
lo samo kakak, kakak yang megajukan, pai lah kalua, sebalumnyo pengennyo di dalam
Sumbar se.
P: Caritonyo zi kamari ba a ?
I: Dek miliah pilihan terakhirnyo apo yo, Sumatera uTara, ambiak USU, setelah jebol di
P: Ba a tu?
I: Ndak tau, mungkin dek anak cewek mungkin, susah dilapeh samo papa.
P: Zi anak kabara?
I: Anak partamo.
I: Takuik zi kak, soalnyo kan waktu maambiak pilihan USU tu kurang direstui samo
papa, takuik papa, tapi ba a la Zi lulus. kato mama ambiak se la, lagian ado keluarga disiko.
I: Ndak lo do.
I: Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah
bersosialisasi, soalnyo kan budayanyo alah beda bana, agama se mayoritas beda samo yang
disitu.
I: Patamo Zi tanyo tanyo ka kawan Zi keturunan Batak di Bukik, nyo caritoan kayak
gitu, urang disiko lumayan kareh urangnyo, siap tu zi tanyoan samo kakak yang tingga disiko,
memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap. kalau misalnyo ka berinteraksi samo urang
disiko.
I: Samo ibuk kosnyo dulu, baru ado sobok kawan-kawan yang waktu samo-samo
pendaftaran, urang disiko lo, sampai kini masih kawan samo inyo.
I: Urang Karo.
P: Waktu Zi tibo disiko, ado ndak keinginan Zi untuak gabuang samo komunitas Minang
lo?
I: Yo memang itu dulu motivasi Zi kan dakek zi samo urang Minang, jadi harus cari
kawan urang Minang lo, soalnyo kan Zi tingga disiko surang, ba a ka ba a nyo pasti labiah
dakek samo urang yang asal daerahnyo samo. Universitas Sumatera Utara
I: Ba a yo, ternyata kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni, kalau dicaliak pas
bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi dak urang Minang, dicaliak dari kesehariannyo
urang tu memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko, nyo jago la
kawannyo.
I: Partamonyo takuik sih, soalnya di kampus, urang Minang di kampus ado, tapi lah
keturunan, ngeceknyo lah ngecek bahaso Indonesia, jadi, agak cangguang stek, namonyo wak
I: Pas lah akrab bana samo kawan Zi yang pas pendaftaran tu, jadi lah mulai tabiaso
ngecek ngecek samo urang disiko kan. Siap tu lah pas mulai banyak kawan Zi lah ndak ado
I: Ndak ado, urang tu, ba a yo, o biaso se nyo, o dari Padang, ajaan la baso Padang,
P: Ado ndak Zi bertukar informasi tentang kebudayaan gitu? Apo sajo tu?
I: Carito kalau pasdi awak kan, tradisi pas rayo, pas rayo beda samo di siko, siap tu ado
ndak ado do. Kalau misalnyo baso Minang kan ndak mungkin. Jadi, mungkin yo jo pakaian
ado urang medan dakek Zi, ado lo urang minang dakek Zi, Zi tetap bahaso Minang samo
urang tu, walaupun urang Medan tu ndak ngarati. tapi Zi tetap berusaha untuak make bahaso
Minang.
P: Bara lamo Zi butuh waktu untuak membiasoan diri pake bahaso urang siko?
I: Membiasakan diri, sabananyo sampai kini alun tabiaso bana lai ni, cuma karena
lingkungan, dek banyak kawan yang urang siko jadi alah bisa baraja saketek, rasonyo pas 2
P: Komunikasi Zi disiko labiah intens samo urang siko atau samo urang Minang?
I: Samo urang Minang sih ni. Kalau di kampus samo urang siko, tapi biasonyo habis
siang dari kampus langsuang pulang, ndak ado ikuik kegiatan-kegiatan tu do. rencananyo nio
I: Ndak.
P: Menurut Zi, perbedaan yang mencolok antara budayo Minang samo budaya disiko
apo?
I: Kalau yang mencolok mungkin lah norma-normanyo beda, disiko Zi caliak, kalao pas
di minang, kesopanan tu iyo bana di apoan, kalo disiko lah mulai berkurang tata kramanyo.
kalau di kampus yang nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan kawan disiko ko
agak kurang sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu iyo bana diharagoi bana.
I: Enggan ndak sih ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang
partamo ni, siap tu dek baru disiko kan, berarti pengetahuan tentang daerah disiko alun
kriterianyo.
contohnyo lah beda. Disiko barehnyo agak agak pulen gitu. kurang lamak. sudah tu
sambanyo beda lo. Kalau di tampek awak kan banyak padeh-padehnyo. Kalau disiko
P: Sampai kini, apo perubahan yang Zi rasoan salamo kurang labiah satahun Zi disiko?
I: Rasonyo alah mulai bisa Zi berkomunikasi samo urang walaupun nyo ndak dari
daerah awak la gitu. bisa Zi mambaokan diri Zi, jadi bisa mambaokan ka urang tu, walaupun
I: Samo urang awak pastinyo ni, soalnyo kebiasaannyo, komunikasi nyo lah lancar kan,
jadi smao kebiasaannyo, jadi dek raso kebersamaan itu lah nampak bana. Soalnyo awak dari
daerah yang samo. makonyo labiah nyaman samo urang Minang disiko.
I: Hmm...kental. Tapi Minangnyo ba a yo, lah Minang modern gitu kak, bahasonyo
ndak pake pake kiasan gitu, tapi tetap bahaso Minang la kak.
P: Di keluarga Gally sia yang labiah banyak berperan dalam maajaan budaya Minang?
I: Ama, apa, adiak Gally, abang, tapi abang lah jarang pulang kuliah di Padang.
I: Katigo.
P: Hmm..
nyo.
P: Tu apo lai?
i: Motivasi Gally marantau dulu kak, pai kuliah tu ingin yang jauah
I: Abang galy lah di padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, ndak berkembang,
ndak lamak do, bahaso wak bahaso minang juo, bisuak ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce
I: Partamonyo di Banduang.
P: Bimbel di Banduang?
I: Ndeeh, suruik se jadinyo bukan dek banyak saingan tu dow, berarti rami-rami, itu jo
urangnyo, bakawan nyo jo itu itu juo, tu pasa PMDK Gally isi ka medan ka USU
I: Partamonyo sebelum itu, sebelum maisi PMDK ko, Gally ikuik tes SMUP ( saringan
P: Apo jurusannyo?
I: Banyak urang kasitu, iyo, dek Gally pengen ba a yo? Gally pengen dapek yang baru,
I: Yang partamo tu cari tau tentang USU lu, tu Gally kamari tu dulu ngaja 21 (galak-
galak) tu bacaliak lai ndak 21 di Medan, lai, tu tibo disiko langsuang kali pai nonton.
I: Indak, ado anak murid apa, nyo dokter hewan disiko, eh farmasi, eh ntah hapo tu, nyo
tingga di pasa 8.
I: Habis dari sinan, tu nginap di cherry pink, lah 3 hari pulang, tu bisuaknyo barangkek
lo liak ka medan samo abang sepupu, baru ado keluarga disiko, tu samo jo inyo se nyari-nyari
kosan, pas nyari kosan, tu tau dari Camaik, kenal pas penyambutan anak-anak Minang yang
di pendopo tu.
main-main, dek sajurusan gai sakali. Diajaknyo ka tampek bang Rehan, lah, kasitu se Gally
acok, kebetulan ado kamar kos kosong, tu ngekos kasitu, kebetulan ado Fahmi.
I: Fahmi 3 tahun samo SMA, "Fahmi baduo wak kos la", kebetulan Gally caliak kamar
I: Lai, ospek di kampus ado, tapi ndak pai dow. Universitas Sumatera Utara
I: Patamonyo, ba a yo, Gally surang-surang se patamo, pas duduak Gally baok hape,
Gally iduikan se lagu-lagu dakek Gally, ado urang nan suko lagu-lagu tu, lah duduaknyo di
situ, ado se nan sealiran sekawan, tu batamu Romi, Romi Fernanda, anak Aceh nyo, nyo
urang Minang, dari ma keceknyo kan. dari Bukittinggi, dima Bukittinggi? Di lambau
patamonyo Gally kecekan, oo..wak SMP di SMP 2 ceknyo, tu lah dakek ce jo inyo lai.
P: Tu jo sia se lai, pas partamo kali tu? ado urang batak ndak?
I: Urang Batak, kawan Gally ndak ado urang batak ow, yang cewek cewek yang rami
P: Yang banyak disitu cowok atau cewek? yang rami urang apo?
I: Cewek, urang ma yo? urang berastagi ka ateh tu kak a, sibolangit, ka ateh ateh tu la.
I: Ramah-ramah sih.
I: Gally, ba a yo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah nyo se, pengen cari hiburan se
Gally dulu. ma tampek nan lasuah Gally jajaki sadonyo, wisata kuliner dulu, jalan-jalan.
I: Dulu tentang Medan, Gally ndak tau jo Medan ko dow, tu pas nyari-nyari informasi
I: Asik, tapi angek, pas tibo disiko mikiaan sanang nyo ce nyo.
I: Hmm,..biaso ce nyo, Medan tu kareh, itu se kecek urang, emang iyo taraso karehnyo
dek Gally.
P: Apo karehnyo?
I: Yang Gally cari masalah, ndak ado kayaknyo do. galy kawan galy jo urang medan
I: A yo? ndak ado do, anak Medan tu ba a yo, suko suko inyo se, slengekan. tapi kalo ka
Gally nyo slengekan yo sakik ati Gally, kalo ka urang lain bia se lah. Tapi kalo dakek jo
P: Kalo ngecek samo urang tu, Gally pake bahaso Indonesia Gally atau bahasa Indonesia
Medan?
I: Bahasa Indonesia Medan, sajak kawan urang Medan, lah akhir-akhir semester awal
buruak-buruak di Minang se ditanyo nyo bahaso-bahaso nyo, tu Gally ajaan, tu di hapa nyo lo,
P: Ba a tu?
I: Suko lo Gally caliak gayanyo " maaf ya pengen nanya" padahal nyo nanyo biaso
i: Iyo, dek nyo tau Gally urang Padang, tu pake-pake mintak maaf nyo, nanyo-nanyo
tentang Islam, dek nyo urang noni, minta maaf lo nyo tu, mode itu lo urang-urang disiko.
P: Tu pas partamo kali Gally disiko, urang disiko kan pake kau-kau gitu, ba a tanggapan
Gally?
I: Aa..itu yang agak takasa dek Gally nyo. Pas galy PMP ado namonyo matrikulasi, ba a
yo, Gally mada na urangnyo mungkin, 3 hari se Gally masuaknyo, 3 hari terakhir urang lah
ngumpua sadonyo, dek anak baru ma, di tanyo nyo "kau-kau-kau". Oo.. mode ko ma, kasa ma
I: Yo, bang Re jo bang Camaik ngecek, emang mode-mode tu urang disiko. Ooo.. iyo la.
P: Trus perbedaan yang mencolok menurut Gally antaro urang disiko jo di kampuang ba
a?
disiko banyak yang pake-pake rok-rok pendek gitu. bebas. Urang tu samo se dek nyo sadonyo
dnak sagan-sagan gai urang tu do. Kalau awak kan kalau cowok tu ado sagan-sagan nyo, iko
ndak ado.
I: Yang ndak sopan tu anak Medan nyo kayaknyo lah, kalo anak karo, suku-suku gitu
P: Kalau Gally samo kawan-kawan galy ado ndak yang Gally ndak suko?
I: Dak ah, tapi kalau jo urang batak ko agak lain kak lah, kasa-kasa nyo lameh Gally
I: Lai barampek, balimo an, urang siantar, urang kisaran, urang Medan, urang Aceh.
I: Ka Si Romi tu?
I: Paliang, kalau pulang kampuanglah ba-kau kau lo Gally ngecek, ado kawan Gally nyo
acok bahaso Indonesia tu wak bahaso Indonesia lo, tapi dek Gally tabiaso di Medan, tabaok
I: Iyo.
P: Kalau di antaro kawan-kawan Gally pas ngecek jo Romi ado nan indak urang minang
ba a?
I: Tu ciek lai, kalo Gally acok pakai bahaso Minang "apa la yang kalian omongkan?".
Minang?
I: Ndak, urang tu ado ngarat-ngarati nyo jo bahaso Minang, nyo murahnyo keceknyo
I: Ndak, pandai mungkin Gally mambaok an nyo ka urang tu, urang tu sanang lo di
hatinyo.
P: Kalau kawan-kawan Gally disiko ado ndak nanyo-nanyo tentang urang Minang tu ba
a?
I: Ado, lai urang tu nanyo tentang garis keturunan matrilineal, tu Gally jalehan
matrilineal tu garis keturunan ibu, kalo disiko kan pake patrilineal, "tu kalo nikah jo urang
minang tu ba a tu?" kalau urang Batak nikah jo urang Minang, kalau urang Minangnyo
cowok, urang Bataknyo cewek, ndak basuku anaknyo beko do. "iyo nak". Kawan Gally tu
kironyo ndak ado sukunyo do. Tu ntah dari ma lo urang tu tau, kalau urang minang tu di bali
yo? Di Pariaman ma, kecek Gally. Tiok-tiok daerah tu kan ado lo, samo kayak di siko, Karo,
I: kalao urang disiko ba a? kecek galy. kalau tambunan tu cocoknyo jo pasaribu, pariban,
I: Kalau setau Gally kalau yang dicaritoan kawan, kalau yang cewek nyo tambunan,
cowoknyo pasaribu, walaupun urang ndak setuju tapi nyo dijodohan. Harus narimo kayak-
kayak gitu.
i: A yo? urang pesta, kan disiko acok pesta, urang-urang batak tu, tu Gally tanyo-tanyo.
P: Trus kalo galy disiko, ba a urang lian tu tau kalau galy urang minang?
I: Dek Gally baok kereta BA tu kan dari Padang " Oo..dari Padang" kecek urang tu.
P: Di kampus ado ndak galy di imbau " uda", "ajo" atau apo gitu panggilan urang
minang?
I: Masih, apa samo apa Dilla Minang, kalau di lingkungan Dilla rato-rato Minang
sadonyo.
I: Patapang.
P: Kampuang Dilla?
I: Di Pandan, Solok.
I: Kalau adaik, yo cuma sekedar atau adaik, tapi dak teralu dikarajoan.
I: Di keluarga masih.
P: Pas Dilla kamari, ado dak keinginan Dilla sabalumnyo untuak pai marantau?
I: Sabananyo sih ado, dulunyo sih pengennyo ka Psikologi UI, Cuma dak buliah, karano
kalau masih ado di Sumatera, yo dah di Sumatera ajo la, tapi kalau di lua Sumatera dak
diizinan do.
P: Alasannyo?
I: Katanyo sih jauah,, kalau nengoko jurusannyo pun, katonyo dak manjamin kalau
I: Waktu tu di SMA ado PMDK, jadi kan PMDK USU, yo da la, karna peluangnyo pu
kayaknyo labiah banyak, urang pun labiah banyak miliah ka UNAND, UNP, kayaknyo masih
daerah-daerah awak juo, o..indak lah, Dilla pengen cubo kalua. Lah… ambiak USU, trus ado
I: Yo alasannyo klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah tau nyo Cuma
nagari awak se, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu.
I: Banyangan tentang Medan, dulu yo kayak lah kota gitu kan ni, Cuma yo tapikia bakal
I: Pas tibo disiko ruponyo itu lah budaya urang tu disiko, yo terakhir lah maklum se.
I: Ado, paliang yo culture shock nyo tu, tabodoh-bodoh la ni, awak yang dak biaso di
hariak-hariak gitu kan, tibo disiko di hariak-hariak, trus yo yang disiko tu yo yang bana-bana
sorang, yang atas namo diri sendiri, dak ado keluarga, dak ado sia-sia gitu.
I: Kalau Dilla bakawan ni bisa masuak kama se, bisa ka yang noni, bisa yang indak, tapi
Minang?
I: Kalau kini lai ndak ni, tapi pas wak tu dulu, pas baru-baru nyo iyo, urang tu pas
matrikulasi banyak yang dicemeh-cemeehan, kayak “Padangkik” gitu, awak pun “apo la
padangkik” tu, kiro Dilla cari-cari tau, kironyo “Padang pilik”, tapi tu pas matrik se, pas
P: Waktu dicemeehan kayak gitu, ado dak usaho Dilla untuak mambela?
I: Ado sih ni, tapi itu pas yo bana-bana ba a, misalnyo kayak padangkik tu Dilla jalehan,
sabananyo bukannyo pilik, tapi paretongan, yo kayak gitu. Kan mayoritas urang Padang pado
I: Mancari tau sih indak ni, tapi mamparatian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode tu.
8.Putri Oktaviani
I: Oo..di Sawah Lunto tu apo ni, lah campuran, dak lo Minang bana do, urang Jawa ado
juo, banyak urang parantauan, tapi kalau urang di Aia Dingin tu umumnyo urang Minang,
I: Iyo, samo urang-urang yang masih keluarga la, mang make bahaso Minang taruih,
sia?
I: Dari keluarga ama biasonyo, soalnyo keluarga ama kan keturunan dari Batusangka,
kan masih kental bana Minangnyo, kakek dari ama tu datuak, jadi dari keluarga ama lebih
P: Kalau dari mamak-mamak Put sia yang lebih berperan dalam maajaan budaya Minang
Put?
I: Kalau berperan bana mungkin indak ni, kan Puput tingganyo dak di Sangka do, sajak
ketek di Sawah Lunto samo ama samo apa, jadi dak terlalu bana do, misalnyo kalau kumpua-
kumpua keluarga, acara-cara keluarga, beko ciek-ciek dimasuak an mamak-mamak tu, kalauc
I: Nyo indak lo secara langsung do ni, misalnyo Put kan di kampuang, sadang liburan,
beko tibo mamak Put, disuruahnyo, “Ambiak an mak ngah makan”, kan biasonyo kan emang
I: Put dari awal kan emang lah sobbok juo, pas pendataan tu, rasonyo ado se keluarga
disiko kan, setidaknyo ado lah tampek nan samo awak, awak tu dak surang gitu.
I: Kalau Put samo kawan urang Minang lo, samo Nika misalnyo, sakelas gitu ni, kami
baso Minang juo nyo, walaupun kawan tu dak nagrati, beko kawan tu tertariknyo, “kalau itu
artinya pa?”, gitu-gitu nnyo, kami baso Minang se sadonyo kalau samo-samo yang urang
Minang.
P: Pas Put tibo disiko apo yang mabuek Put takajuik atau heran, gitu?
pendaftaran patamo kali. Ado urang nanyo kan, pokoknyo pakai kau la, takajuik Put, Put dak
pernah di pa kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan, kalau awak
kan ado juo yang ba kau-kau tapi Put dak pernah do. Dak buliah dek ama do kan. Tu
takajuuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih dek uni, nyo nanyo biaso se nyo
“Kau ada bawa inim bawa ijazah?” gitu ajo, tapi awak dak terlalu kenal do misalnyo
kan awak nanyo ka urang se, sadang daftar-daftar tu, hah…(kaget), oooh…iya-iya, raso ka
nangih Put di pa kau an nyo jo kawan tu. Sudah tu, oio la baso disiko kayak gitu kali nak, gitu.
Sudah tu baru Put nyadar, urang siko emang kayak gitu kan, tapi di mkampus bana kalau
urang tub a kau ka Put, tapi Put dak pernah ba kau ka urang tu do, manggia namo se, Put dak
I: Batamu di kelas ni, kan kami sakelas, dek samo-samo urang Islam, kami saketek yang
padusi yang Islam di kelasnyo, yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang
dakek yo smao-samo ajo wak rasonyo kalau samo-samo bajilbab. Dek gara-gara itu dakeknyo.
P: Apo menurut Put hal yang sangaik babeda antaro urang di kampuang jo disiko?
I: Apo yo bedanyo, dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni, di Sawah Lunto tu kan lah
dak terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo, pergaulannyo.
Tapi kalau Put maraso, pergaulan disiko ampiang-ampiang samo juo jjo yang di Sawah Lunto
gitu ni, dak beda bana do. Yang beda disiko samo kawan-kawan tu lamak-lamak se ba a,
samo kawan-kawan cowok la, lamak-lamak se. Kalau di kampuang kan dak gitu-gitu bana.
yo yang acok-acok kayak gitunyo. Kalau samo urang-urang awak banyak basobok, disiko se
sobok samo urang awak juo, yang dakek kawan dakek Put, urang awak juo. Sudah tu labiah
P: Kalau sampai kini nak, perubahan apo yang taraso dek Puput setelah tingga di
Medan?
I: Kalau dek pai marantau, yo tambah mandiri gitu kan. Tu kalau dulu Put di rumah-
9.Masria Umami
I: Masih ni, lumayan lah. Sabananyo Memi kurang tau lo lah kalau kebudayaan
minangnyo, soalnyo Memi samo mama kan pisah, dak sarumah do, ama apa tingganyo di
Riau, memi samo uni yang di Sangka. Jadi mungkin kalau dibilang kebudayaan minang bana,
rasonyo lah ado campuran dari unsure budaya Riau gitu ni, tapi masih minang juo, ama kan
I: Soalnyo kan dulu waktu ketek Memi memang di Riau, sampai kelas 3 SD, kelas 4
pindah kasiko. Jadi samo uni, ini kelas 1 SMP, Memi kelas 4 SD lah tingga di rumah yang di
kampuang.
kelayakan pendidikan disitu kurang, trus mungkin dari segi pergaulan urang-urang disitu baa,
I: samo mamak Memi, kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu
tingga di Sangka, tapi memi lah SMA. Lah kelas 3 SMP. Nyo dulu rumahnyo lumayan jauah
lah pindah nyo ka SawahLunto jadi hubuangannyo lewat telpon se lai nyo.
I: Masih.
I: Ado, misalnyo dulu acok la main ka rumahnyo, dulu rumahnyo dakek SD Memi, jadi
main disitu. Jadi kalau misalnyo baa-baa yo mamak Memi lah yang maajaan memi.
I: unik, soalnyo dari sadoalah suku-suku yang memi tau, cuma minang yang matrilineal,
walaupun di satu sisi ayah berperan dalam adat, tapi peran mamak labiah gadang daripado
peran ayah. Meskipun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga.
I: sabananyo sih, keluarga tidak terlalu member batasan, terserah memi pengennyo
dima.. jadi kalau masalah marantau, masalah pisah samo urang tuo lah dari lamo. Jadi dak
ado masalah kalau pai marantau. Pengen bana kalua. Kalau awak Cuma di sekitar Sumbar.
P: Pas ado keinginan pai marantau ado bayangan dak ka pai kama?
I; Mungkin kalau spesifikasinyo kama, dak bagitulah. Dulu awal-awalnyo pengen di lua
I: (tertawa)…soalnyo dulu giko ni, ambiak UMB, cubo-cubo iseng se nyo, soalnyo kan
dulu UMB dak adi di UNAND do, dulu pengen juo sih di UNAND, yang di jawa kayak UI
atau di UNPAD la, cuma yang UI lah ambiak lulusnyo di USU gitu, ya jadi baa lai? Dek lulus
disitu urang tuo pun, lah..lah lulus, alah ama itu se.
I: Dulu yo banyak juo bayangan nyo, USU yo berarti Medan, Medan identik dengan
hal-hal uniknyo, cuma ya udahlah hadapi se lah, baa ka baa bisuak, wak caliak bisuak,
I: USU memang dak masuak List Memi doh, Unsyiah indak lo masuak list memi do,
memi kan jawa dulu, memang pengennyo di lua Sumatera, Cuma waktu tu di UMB
pilihannyo Cuma beberapa universitas yang agak dakek tu cuma USU. Ciek lai memang UI
pengennyo, yaudahlah memang itu se dipiliah, alternatif lah di Unand, mungkin dek
I: Keluarga dakek ndak ado do, yang keluarga alah tau Memi disiko baru tau itu
I: Ado, partamo kali dating. Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan
barasiah, tertata la kotanyo. Jadi partamo kali datang ka Medan, wah..kok jorok gitu kan,
emang kumuah lah kesannyo, pas awal turun di Polonia tu, jalannyo distu ado yang balubang-
lubang, mungkin dek ndak jalan kotanyo lo ka tampek ante kan, jadi rasonyo, eee…jorok
banal ah. Tukang becak batebaran diam-dima, dak jaleh se do rasonyo tatanan kotanyo. Jadi
agak ilfeel partamo kali nyo dan partamo kali masuak kampus pun kayak gitu. Dulu memi
partamo masuak kampus F.Kep dak kayak gitu do, masih lumuik sado catnyo, masih banyak
rimbo, jadi partamo kali datang kan, wah…kayak giko, sasek masuak ma, sadiah raso ati,
I: Mungkin karena USU kecek urang, yo rancak gitu lah kan, jadi setidaknyo dari segi
bangunan mungkin oke, dari segi Medan, kota besar ma dan terbesar di Sumatera, pasti
metropolitan giman gitu kan..ee, ternyata di luar dugaan. Ancak juo nagari wak lai.
I: Dak punyo batasan memi basosialisasi do, nio samo sia tasarah, samo urang asli
Medan, asli batak, atau urang minangnyo, mungkin dulu dek alun kenal komunitas minang
partamo kalinyo jadi partamo kali kenalan samo urang Medan, samo urang batak asli ado juo.
I: Shock banget, mungkin dari segi bahasa kan, di kampuang dak ado kato-kato “kau”
do kan, ndak di pa”kau” an wak do, doisiko wak di pa”kau”an nyo kan, Kau orang batak?
Jadi langsuang patah hati kan (merengut), jadi agak baa sih, bantuak ko bana urang batak
kironyo ma, Cuma dek lah acok bana, jadi lah oke-oke se lai.
P: Tapi dek gara-gara urang tu agak kasa gitu, masih ingin dak Memi berkomunikasi?
I: Masih, kan emang kalau semakin dakek wak samo urang tu kan semakin dakek wak
tau budayanyo, setidaknyo tau lah wak budaya orang lain. Dak budaya awak se yang awak
tau.
I: Kalau jengkel masalh mungkin indak, tapi mungkin lebih ke personal, kan sifatnyo
ado yang beda-beda. Tapi secara umum indak sih, terkait ke masalah agama mungkin,
I: Mungkin dulu partamo-tamo agak mengesalkan pas bulan puaso, kan bulan puaso
partamo disiko, sudah lah lingkuangannyo ndak mandukuang, kalau dulu pas di kampuang
sado kadai pasti tutuik. Kalau disiko kan indak, jadi urang itu pun seolah-olah lebih
menggoda, urang itu malahan yang mambagi minuman, jus jus di muko kami, samo
kawan2nyo, heboh bana, jadi agak tasingguang la kami yang puaso gitu, dak ado
P: Dari hal yang kayak gitu ado pembelaan dak dari memi?
I: Raso baa gitu yo, tolong lah dihargoi, kami sadang puaso, tolongalah salaing
maharagoi la gitu kan. Soalnyo dulu di SMA ado juo yang noni kan, tapi saling menghargai
I: Awal-awalnyo yo agak manjauah, kurang respek samo urang-urang tu, tapi mungkin
dek lah ado pembauran, misalnyo ado pembagian kelompok, gabuang samo urang-urang tu
kan, jadi mungkin ado beberapa orang personal yang sifatnyo kayak gitu, ya saling
I: Campua bana la sadonyo. Urang Minang pun banyak, mayoritas urang Batak sih.
I: Hmmm…dulu patamo kali kenalkan, Memi samo Tiara lah patamo kali kenal, jadi
dek lah bahaso Minang baduo kan, jadi ditanyoan “kamu orang mana?”, “orang Padang”. Jadi
setelah itu tambahan kami rami memang di kelas tu yang urang Padang/urang minang la gitu,
terakhir, Memi, Gina, Si Isil, tiara, ado Rina namonyo, ado anak yang keturunan Padang yang
nyo ngarati baso Minang, cuma kami saling carito la gitu kan, jadi dek saking hebohnyo
carito-carito baso Minang dan kakak-kakak kelas tu kan “Yang urang Minang yang ma?” gitu
kan, bakumpua, maota-ota, jadi kayak gitu urang tu tau. Jadi dek kami heboh bana kan, jadi
urang-urang tu?
I: Banyak yang nanyo “Eh…kalau orang Padang itu cowoknya dibeli ya?” banyak la
yang tertarik samo kebudayaan awak, kebudayaan awak agak unik la, beda samokebudayaan
lain. Jadi urang tu banyak yang nanyo-nanyo “Bahasa Padang nya ini apa? Oo..gitu ya….”,
“Aku tengok l bahasa kalian, kalian ngomong-ngomong ya”, gitu-gitu lah urang tu. Kadang
I: PD ba a, bangga lo lah gitu kan, secara emang itulah identitas wak urang Minang,
kami samo kami samo urang Minang atau yang mungkin bisa babaso Minang dak pernah lah
P: Kalau kawan-kawan di sekitar Memi yang mandanga itu ado yang maraso
tasingguang dak/
“Aiiih…bahasa Indonesia aja napa, aku dak ngerti” keceknyo, ado juo yang gitu.
P: Kalau dapek julukan-julukan dek Memi urang Minang gitu ado ndak?
I: Ado, dapek panggilan uni, tapi saketek urang yang kayak gitu, yang dakek ajo.
I: Ndak lo do.
I: Campua, ado urang Minang, ado urang Jawa ado urang Bataknyo.
I: Kalau di kosan yang kini urang Minang yang banyak, urang Batak pun banyak, urang
P: Kalau di kampus?
P: kalau perbedaan kebiasaan yang mencolok taraso dek Memi antaro urang Awak jo
urang disiko?
I: apo yo, kurang memperhatikan lo la apo perbedaannyo, dek Memi pukul rata se
sadonyo. Dak lo Nampak bana apo perbedaannyo paliangan kalo masalah gaya, soalnyo
kalau urang Padang kalau menurut Memi ba a yo, awak lah yang paliang rancak, awak lah
yang paliang apo, paliang banyak yang kayak-kayak gitu. Masalah fashion mungkin kan
urang siko lebih cuek lah menurut Memi masalah style samo penampilan, ya suka-suka ajo
lah gitu a. kalau urang Padang kan, menurut Memi ba awak yang paliang rancak ba a lah.
lo samo urang-urang tu, jadi lah mirip gitu lo lah. Itulah nan tacaliak dek Memi.
I: Nah….pas ospeknyo, alah wak patamo kali kasiko awak dibentak-bentak, dak biaso
samo bahasonyo, dibentak-bentak dak jaleh, cari-cari kesalahan, trus dengan bahaso nyo yang
“tunduk klen deek..” jadi raso makin kesal lah,sampai kini pun kalau caliak urang-urang tu
I: maleh, dulu kan senior tu, sampai kini pun kalau basuo samo senior tu yang bentak-
bentak awak tu, jadi ndak respek ajo lah caliak inyo kayak gitu. Mungkin waktu itu se nyo
bantuak itu, tapi ntah lah tabaok-baok se sampai kini. Trauma la gitu istilahnyo.
I: Membantu sih, dalam banyak hal. Misalnyo, di kampus lah kan, kayak bagaian
kemahasiswaan Memi kan yang ngurus-ngurus apo-apo itu, apak tu kan urang Minang,
walaupun apak tu lahia disiko Cuma nyo ngarati bahaso Minang, jadi dakeklah samo apak tu.
Jadi, kalau wak ado keperluan, lai lah nyo bantu-bantu. Tapi kami bahasa Indonesia se samo
inyo. Trus di lain hal kalau wak balanjo-lanjo, “Urang Minang diak?” beko lai dilabiah-
labiahan.
I: Waktu tu kawan samo sa Sangka, si Widya, kato Isil inyo masuak SNMPTN, tu
otomatis disambuik samo IMIB. Nah..disambuik samo IMIB, Memi kan UMB, waktu tu
emang telat ka rektorat, jadi dak tau Memi do, dek urang tu dikecek an nyo “Memi, ado urang
Minang lo disiko, capek lah ngumpua wak, kayak gitu la patamo kalinyo.
I: Yo, sanang sih, dunsanak la rasonyo. Wak tingga jauah kan, wak tingga surang disiko,
I: Kami batigo nyo, Memi, Tiara, ado Martha yang anak Medan.
I: Yo dek lah dakek mungkin kan. Kalau pun dak sebudaya, tapi deknyo dulu tingga di
Jambi, jadi kalau kami ngomong, nyo ngarati bahaso Minang gitu kan , jadi yo enjoy se,
P: Sajauah ko Memi tingga disiko, apo perubahan yang taraso dek Memi?
I: Jadi labiah barani, lebih mandiri, dulu yang mungkin ado lah takuiknyo atau ba a,
kini..ahh.. wak lah gadangnyo, dek seiring usia pun kan jadi lebih dewasa menyikapi hal-hal
itu.
I: Ciek sih, FORKIS, urang musholla, relawan di BSMI, Cuma dak begitu aktif sih,
kalau ado acara yo ikuik-ikuik berpartisipasilah itu, trus selain itu di IMIB.
makin banyak lo lah pengetahuan kan yang dak wak dapek an di kuliah, trus semakin bayak
relasi, semakin banyak yang wak kenal, semakin banyak lo wak tau karakter urang tu beda-
beda.
I: Kalau keluarga yang di kota mungkin lah agak puda lah budaya minangnyo, tapi
I: Kalau apa di Palembayan, Agam. Kalau ibu di Muaro labuah, Solok Selatan.
I: Masih,
P: Kalau di sekolah?
I: Kalau di SMP dulu dilarang bahasa daerah, SMP di pesantren Hamka, Padang
Pariaman, kalau di SMA baru pakai bahaso minang. Sabananyo sih dilarang, tapi kami pakai
I: Suku apa Chaniago, suku ama Panai ateh, suku urang Solok Selatan.
I: Acok, mamak yu 3 urang. Jadi acok komunikasi, yang surang di Solok Selatan, yang
minang?
I: Kalau mamak yang di Padang tu kurang acok komunikasi, tapi yang di Solok Selatan
nyo kan acok juo ka Padang, caliak nenek kan, jadi itulah yang acok maajan Wahyu tentang
nilai-nilai kehidupan.
P: Dari mamak yu yang di Solok Selatan tu apo ajo sih yang diajaannyo?
I: Tentang bagaul samo urang, tentang raso jo pareso, tentang baa ma manajemen diri,
I: Misalnyo kadang sadang baduo di ateh onda, tu carito-carito, kalau di nagari urang
mode-mode iko.
I: Lai, elok-elok se di nagari urang, di nagari urang tu kalau bisa cubo la dakek samo
I: kan pas ado PMB tu, nan itu lah, diajak ngumpua-ngumpua jo urang minang, awalnyo
pas patamo-tamo kuliah, maleh gabuang kan, dek sibuk kan, jadi dek alah agak-agak ado
UI, kaduo USU, katigo UNAND, karena memang dari dulu bosan di Sumbar. Sabananyo kan
niaik yang paliang gadang tu pai ka Jawa, makonyo ambiak piliahan partamo tu di UI.
P: Pas awal-awal masuak kamari apo pandapek Wahyu tentang kota Medan?
I: Pandapek yu tentang kota Medan, kalau kota Medan tu kan kota besar, jadi tau lah
kan,, baa kota besar tu, urang-urang disitu tu dak urang-urang batak se do, tapi ado juo urang-
urang selain urang Batak. Tapi pas tibo di Medan, basobok jo urang batak saketekyo,
kebanyakan urang Aceh atau urang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu kini ko yo
I: Secara keseluruhan, sebelum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh,
tapi alah carito-carito lo samo senior2 yang ado di Medan ko, tapi nyo pindah liak ka Padang,
keceknyo yo di Medan tu kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di
Medan, kecek senior tu. Tapi lah pai kasiko, indak lo bantuak tu bana do, lingkuangannyo
biaso-biaso se nyo.
I: hmm, takajuiknyo caliak watak-watak urang disiko lah, yang bataknyo, misalnyo
kalau di jalanan, urang-urang tu ndak amuah mangalah, masuak se taruih, dak amuah
mangalah do, tu ciek lai,,pernah lo dulu kanai tipo dek tukang becak, dak tau wak ongkosnyo
waktu tu doh, wak agiah pitih 100 ribu, nyo baliak an 15 ribu, tu kaburnyo lai.
P: Dari ma?
I: Dari amplas, ka kamari, wak pacik an becaknyo, wak egangan, tapi kabur juo nyo,
I: Iyo, surang se, wak dak tantu ado urang-urang tu ado di kos doh, kalau tau kan wak
panggia kawan kos tu. Baa lai, sajak tu sampai kini ndak pernah naiak becak lai do.
I: aa.. iyo..makanan di medan partamo kali mancubo makanan di Medan, jauah bana
beda rasonyo samo nasi yang di Padang..nasinyo agak-agak lengket, tapi kini lah tabiaso.
P: Partamo kali disiko dulu samo sia wahyu partamo kali bagaul?
I: Samo senior-senior di SMA, kak Dini, bang Ezy, bang Egith, bang Eko, barampek.
I: Ndak, pas ospek dulu dibaok sanang se nyo, soalnyo kan bahaso nyo lain, kalau
disiko kan ospeknyo kan pake bahaso melayu lah gitu, jadi beda la rasonyo. Kalau jo yang di
Padang, wak danga-danga kawan wak kanai ospek kan, kalau wak mandanganyo baa
tu??sakik ati rasonyo. Tapi kalau urang-urang Medan ko yang ma hariak-hariak, dak ka awak
rasonyo do.
I: Indak, paliang yang kurang suko wak dek disuruah botak itu se nyo, itu se yang buek
I: Awal-awalnyo ado, kesulitan bahaso, tapi kalau logat ndak masalah do, banyak
I: Misalnyo kayak kareta, pajak, dak tau do, dulu kan taunyo kereta tu kereta api,
P: Baa se taunyo?
I: Dak do, paliang cuma ngecek-ngecek dari Padang,,,jauh yaa, gitu ajo.
I: Kalau yang yo bana urang awak sorangnyo, paliang banyak keturunan gitu.
I: Urang batak sih, urang awak ado juo, tapi labiah acok samo urang batak.
warisan, yang tentang harto pusako tu kan, baa kok padusi yang macik, kalau dalam islam
kan laki-laki, tu wak kecek an, yang padusi macik tu bukan harta pencarian, tapi harato
I: Dari keluarga ado lo, dari keluarga tu mama ado maagiah tau, lai di kecek an.
I: Urang tu kalau maagiah informasi tentang urang batak, paliangan dak lo awak khusus
I: Tentang marantau, misalnyo baa kok suko bana marantau?”keceknyo kan, yo bosan,
kecek yuk an, tapi kebanyakan urang minang tu marantau cari harato, tapi kalau kami yang
I: Kesulitannyo, misalnyo kalau wak buek salah, kesulitannyo payah minta maafnyo ka
urang tu. Pernah tu, ba masalah jo urang batak, lamo mintak maafnyo.
I: Ado la yang wak galak2an, ee..padang..ee batak,” kecek wak kan, ado yang
P: Kalau menurut Wahyu apo perbedaan yang mancolok antaro masyarakat disiko jo di
kampuang?
I: Kalau masyarakat, wak caliak kan, wak pai jalan2 ka Berastagi, lain rasonyo suasana
di tapi2 jalan tu, kalau misalnyo disiko, perkampungan urang Batak asli kan, wak caliak
halaman rumahnyo tu kumuah lah, tu dari pandangan wak, urangnyo ibaratnyo ndak barasiah
do. Kalau di kampuang kan wak caliak, asalkan ado anak gadih di dalam rumah tu, pasti
halamannyo tu barasiah, kalau di Minang tu wak caliak tapi-tapi jalannnyo tu kan rapi,
I: Kalau disiko kan, lingkuangannyo anak kos kebanyakan, dek nyo bacampua2 jadi
payah lo mandeskripsikannyo.
I: Kalau di kos yu, ado urang batak, urang duri, urang aceh, jadi biaso-biaso se nyo, dak
ado interaksi yang mancolok bana do, tapi kami tu akrab se.
bahaso Indonesia juo, yang sorang kawan SMA, tapi gaek padusinyo yang urang minangnyo,
I: Kalau jo urang batak ko nyo main langsuang2 se nyo, dak mikian parasaan urang,
mungkin lah memang gitu tabiatnyo kan, mungkin kalau nyo sasamo urang Batak kayak-
kayaknyo gitu tu biaso2 se nyo, tapi kalau awak urang minang yang marasoan agak lain gitu,
P: Pernah takanai?
I: Pernah, waktu tu misalnyo wak talambek pai waktu tu kan, tu wak batanyo, dak
dijaweknyo do, “ kok gak dijawab.” Kecek wak kan, malas jawab ah, kau tadi
I: Iyo lah,
I: Padian se lah, tapi kan dek urang-urang tu biaso dek nyo nyo, di daerah2 siko kan tu
biaso se nyo, kalau di awak yang urang minang kan, maagak-agak an hati urang.
I: Aa..tu masalah itu, kalau di Minangkan, kalau biasonyo wak sadang makan, rami-
rami gitu kan, kalau basandao tu kan dak elok do, kalau disiko baru tadi pagi baru wak
sadang makan, yang tukang manjua nyo tu malahan, kareh..is..wak sadang makan, baa la…..
I: Ndak, dak ado do. Paliang batak-batak ko, nyo keceknyo kasa kan, kadang ado gai
I: Kalau itu kan, dek factor bahaso, itu biaso se nyo, kan dulu di sekolah ado juo urang
I: Nyaman lah samo urang minang lai, dek labiah masuak ngecek kan, dek bahaso,
bahaso ibu wak sorang. Kadang kalau ngecek jo urang-urang Batak, tabaok-baok lo bahaso
Minang.
I: Budaya Minang tu halus lah, kalau dibandiangan jo batak, tu lebih sopan. Kan kalau
kesopanan tu dalam konteks budaya itu tu relative, misalnyo dek urang batak tu ngecek
kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain. Jadi budaya minang tu lebih sopan
dan halus.
P: Wahyu sendiri caro manunjuak an identitas Wahyu sebagai urang minang baa?
I: Kalau budaya secara mancolok dak ado do, tapi kalau dalam pergaulan lai, contohnyo
kalau misalnyo wak basalah ka urang, yo lah awak duluan yang minta maaf. Baa caronyo
wak tu harus mintak maaf samo urang tu. Tu awak tu harus bausaho manjago, ibaraiknyo
layang2 gitu ni, banyak patimbangan lah. Kalau misalnyo lah talampau tagang, di uluan stek,
kalau dak ado angin di tagangan stek, gitu lah. Pandai-pandai baco situasi.
P: Kalau perubahan yang wahyu rasoan ado ndak salamo tingga disiko?
urang melayu, pokoknyo banyak kan urang2 gai, jadi ibaraiknyo kini ko labiah luas lah
pengetahuan tentang baa caro menghadapi urang-urang ko, du kan agak pandiam, kalau kini
I: Cari kawan, memang niaik dari dulu, selain pai kuliah, yo tambah kawan-kawan.
I: Tabaok, pernah waktu tu di Padang, reuni kan, jadi tabaok kan, tu digalak an dek
kawan-kawan yu.
I: Culture shock yo bantuak bahaso tadi, kayak sopan santun yang kurang tadi, kalau
dibandiangan jo budaya minang kan. Trus kalau disiko kan lebih individual, paliang wak tau
samo yang sobok jo awak, sabalah kosan wak dak tau ntah jo sia-sia do.
I: Dakek ajo sih sadonyo. O iyo, tu kalau masalah culture shock tu dek balainan agama
gitu. Agama di Medan kan banyak, dikelas tu se ado 4 agama, budha, hindu ado. Tapi kalau