Anda di halaman 1dari 188

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Ilmu Komunikasi Skripsi Sarjana

2013

Culture Shock Pelajar Minang di


Universitas Sumatera Utara (Studi
Kasus dalam Kajian Komunikasi Antar Budaya)

Friandes, Fadhli
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/19202
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
SKRIPSI

CULTURE SHOCK PELAJAR MINANG DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi Antar Budaya)

Diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

DisusunOleh

FadhliFriandes

070904005

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAFKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : FADHLI FRIANDES

NIM : 070904005

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : CULTURE SHOCK PELAJAR MINANG DI UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA (Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya)

Medan, Januari 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Dra. Lusiana Andriani, M. A, Ph. D Dra.Fatma Wardy Lubis, MA


NIP : 196704051990032001 NIP : 196208281987012001

Dekan

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


NIP : 196805251992031002

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Culture Shock Pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara
(Studi Kasus Dalam Kajian Komunikasi AntarBudaya). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Minang
di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang memusatkan diri secara
intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus.

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran


dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah
variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang
diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum.
Subjek penelitian adalah mahasiswa Minangkabau yang berada di Fakultas Ilmu Budaya,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang masih aktif
kuliah dan sudah menetap di Medan selama kurang lebih dua tahun melalui pendekatan
kualitatif. Data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulannya yang bersifat khusus
kepada yang bersifat umum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Minangkabau memiliki


kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa
menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah
adaptasi seperti merasa bahwa nilai-nilai budaya yang diajarkan ditempat asal dari Sumatera
Barat cukup memiliki perbedaan baik dari norma sehari-hari dan tata cara bergaul dengan
lingkungan baru. Penggunaan Bahasa Indonesia juga menjadi masalah ketika pertama datang
di kota Medan, karena mereka telah terbiasa dengan Bahasa Minang yang telah menjadi
bahasa utama, ketika berada di daerah asal dan penggunaan Bahasa Indonesia hanya di
pergunakan dalam lingkungan formal seperti di sekolah dan instansi pemerintahan.Dalam hal
terpaan dan upaya mengatasinya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, asal fakultas dan
lama menetap. Perempuan lebih tinggi culture shocknya dan cenderung lebih lambat dalam
beradaptasi, sedangkan laki-laki lebih ringan terpaan culture shock dan lebih cepat dalam
beradaptasi. Mahasiswa asal minang lebih cendrung bergaul dengan sesama mereka yang
terikat dalam sebuah organisasi kedaerahan, serta lebih tertarik dengan sesama agama. Akan
tetapi seiring proses perjalanan waktu dan adaptasi penerimaan terhadap culture masyarakat
kota medan yang multikultural telah dapat dimengerti dan pegaplikasian tanpa meninggalkan
culture minangkabau, “dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang, kato mandata, kato
mandaki, kato malereng, kato manurun sarato elok-elok manyubarang jaan sampai titian nan
patah”. Selalu menjadi pedoman bagi pelajar Minang.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kepda Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan dapat
menyempurnakan penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi bertujuan
untuk memenuhi syarat utama dalam kelulusan di perkuliahan Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.Skripsi ini berjudul
“ Cuture Shock Pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara” (Studi Kasus dalam Kajian
Komunikasi AntarBudaya). Di mana penelitian ini bertujan bagaimana reaksi Culture Shock
pada pelajar Minang di Universitas Sumatera Utara. Selama proses penelitian dan
penyelesain skripsi ini peneliti menghadapi begitu banyak hambatan dan tanpa bantuan dari
rekan sekalian, tentulah sangat sulit bagi peneliti dalam penyelesain skripsi ini. Terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Papa Djufri dan Mama Ida Deswita, yang
telah melahirkan dan mendidik peneliti dari kecil hingga saat ini, serta telah memberikan
semangat dan dukungan baik moril maupun materil, serta seluruh doa yang tiada putus-
putusnya.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1) Bapak Prof Dr. Badarudin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara .
2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
serta Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas
segala bantuan yang diberikan.
3) Ibu Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A. P.hD selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan banyak masukan, arahan serta bimbingan selama pengerjaan
skripsi ini.
4) Terimakasih kepada segenap Staf Pengajar FISIP USU yang telah memberikan
banyak bekal ilmu, nasehat, bimbingan serta arahan kepada peneliti selama
menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Sumatera Utara


5) Terima kasih juga peneliti sampaikan kepada seluruh Staf Pegawai FISIP USU
yang telah membantu peneliti baik selama penulisan skripsi maupun selama
perkuliahan.
6) Istri beserta anak tersayang Triani Febrina dan Ara Gibran yang telah banyak
membantu dan menemani peneliti selama perkuliahan, tetap sabar menghadapi
berbagai masalah, semoga kita selalu bersama .
7) Terima Kasih juga kepada sahabat peneliti, Salmi Hengki, Dodi Dermawan,
Gustaf Prameswara, Muhammad Akmal Nur yang telah memberi semangat
peneliti dalam melalui proses kebersamaan dan pengalaman yang sangat berharga
di Kota Medan. Terima kasih untuk tawa, canda dan juga haru yang pernah kita
alami bersama. Mudah-mudahan kita menjadi orang yang sukses di kemudian hari.
Amin.
8) Terima kasih kepda informan yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi
kisah, pengalaman dan telah membantu peneliti dalam proses penulisan skripsi ini.
9) Terima kasih kepada semua orang yang berjasa dalam hidup peneliti yang selalu
memberikan semangat pada peneliti yang tidak mungkin dituliskan satu per satu.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, peneliti mengharapkan kritik dan sara yang membangun dari pembaca
untuk menjadi perbaikan dan pembelajaran bagi peneliti selanjutnya.
Akhir kata, terima kasih kepada segenap pihak yang membantu peneliti dalam
menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT
menjadikannya sebagai amal baik dan selalu melimpahkan rahmat dan karunia Nya
kepada kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah
pengetahuan kita semua.

Medan, Januari 2013


Peneliti

Fadhli Friandes

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAKSI ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
I.2 Perumusan Masalah ...................................................................................... 7
I.3 Pembatasan Masalah ..................................................................................... 7
I.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8
I.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
I.6 Kerangka Teori ............................................................................................. 9
I.7 Kerangka Konsep......................................................................................... 18
I.8 Operasional Konsep ..................................................................................... 19
I.9 Definisi Operasional .................................................................................... 20

BAB II URAIAN TEORITIS


II.1 Komunikasi Antarbudaya ............................................................................ 22
II.I.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya ............................................................... 22
II.I.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya .............................................................. 24
II.I.3 Efektifitas Komunikasi Antarbudaya .......................................................... 27
II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal ....................................................... 32
II.2.1 Bahasa Verbal .............................................................................................. 32
II.2.2 Bahasa Non Verbal ...................................................................................... 33
II.3 Akulturasi .................................................................................................... 36
II.3.1 Pengertian Akulturasi .................................................................................. 36
II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi ......................................................................... 37
II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi ....................................... 39
II.3.4 Culture Shock .............................................................................................. 41
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik .................................................................. 45
II.4.1 Pengertian Teori Interaksinisne Simbolik ................................................... 45

Universitas Sumatera Utara


BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ......................................................................... 49
III.1.1 Universitas Sumatera Utara ......................................................................... 49
III.1.2 Fakultas Ilmu Budaya USU ......................................................................... 55
III.1.3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU ................................................ 61
III.1.4 Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ......................................................... 65
III.2 Metode Penelitian ........................................................................................ 68
III.2.1 Metode Penelitian Kualitatif ........................................................................ 68
III.2.2 Studi Kasus .................................................................................................. 69
III.2.3 Lokasi Penelitian ......................................................................................... 72
III.2.4 Subjek Penelitian ......................................................................................... 72
III.2.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 74
III.2.6 Teknik Analisi Data ..................................................................................... 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1 Hasil dan Pengamatan Wawancara .............................................................. 77
IV.2 Pembahasan ................................................................................................ 129

BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ................................................................................................. 135
V.2 Saran ......................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

"Syarak mangato Adat mamakai" Islam mambebaskan adat berkembang silahkan

bermusyawarah carilah kebenaran, ciptakanlah undang-undang susunlah peraturan dan

bueklah apo sajo nan katuju asalkan indakbatentangan dengan hukum Allah.

Rumusan Syarak mangato Adat mamakai lah buliah dikatokan tahap final kemudian

di pertegas lagi dengan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah sebagai deklarasi

alim ulama dan cadiak pandai nan basidang di Luhak nan Tigo pado wakatu itu pasca

perang Paderi Deklarasi itu terkenal denganPiagam Bukik Marapalam ikolah proses

Islamisasi di Minangkabau tapi alun nan tarakhir sebab kini dan sampai nanti upaya

menselaraskan adat dengan syarak masih akan tatap balanjuik.

Melihat filosofi di atas dapat di deskripsikan orang minangkabau memiliki nilai-nilai,

etika dan kebiasaan atau budaya luhur yang mendiskiripsikan bahwa adat itu di benarkan oleh

agama selama adat itu masih di dalam syari’at agama dalam arti masih dalam ruang lingkup

yang di benarkan oleh agama islam. Kita melihat dan sangat miris orang yang minangkabau

yang tidak lagi memakai filosofi hidup mereka sendiri, terlebih generasi muda minangkabau

yang saat ini dalam kondisi sikap, moral, etika dan kebiasaan yang berada di ujung jurang,

siapa lagi yang akan melanjutkan kebudayaan minangkabau jika tidak di lanjutkan oleh

generasi muda khususnya bagi para mahasiswa yang menjalankan proses akademis diluar

daerah minangkabau, dengan berbagai macam etnis, budaya dan agama.

Marantau, adalah suatu kata yang tidak asing bagi seseorang yang beretnis

minangkabau banyak faktor yang menyebabkan seseorang etnis minangkabau untuk

merantau, baik itu untuk mencari materi dan dalam memperoleh jenjang pendidikan. Khusus

Universitas Sumatera Utara


ketika pelajar yang menempuh jenjang pendidikan diluar Sumatera Barat yang memilih

perguruan tinggi di Sumatera Utara khususnya di Universitas Sumatera Utara tidak sedikit

stereotype yang akan dihadapi, stereotype ini lebih mengarah kearah negatif dan cendrung

akan menyulitkan proses komunikasi ketika berada didaerah yang multicultural yakni kota

medan.Komunikasi Antar Budaya menjadi kendala yang besar bagi pelajar minangkabau,

karena secara otomatis mereka akan menjdai minoritas dilingkungan baru mereka, pada

umumnya pelajar minang tersebar diseluruh fakultas-fakultas di Universitas Sumatera Utara,

dan disetiap fakultas memiliki atmosfer yang berbeda dan ditamabah perbedaan-perbedaan

tempat tinggal selama menempuh jenjang pendidikan.

Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisai dan pendidikan, dalam proses

itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi hingga akhirnya pola-

pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi kepribadian dan perilaku

individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu disebut enkulturasi.

Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian yang

tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah

berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola budaya

serupa.

Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya

tertentu dan memasuki budaya lain? Segala bentuk lambing-lambang verbal dan non verbal

dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budaya baru yang ia

masuki.Individu atau kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses

enkulturasi yang kedua, yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu

nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama(Mulyana

dan Rakhmat, 2005:139)

Universitas Sumatera Utara


Mayoritas individu tinggal dalm lingkungan yang familiar,tempat dimana individu

tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja,

sekolah ataupun bermain cendrung memiliki kesamaan dalam hal latarbelakang etnik,

kepercayaan atau agama, nilai, bahasa atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika

manusia memasuki suatu dunia baru dengan segala sesuatu yang terasa asing,maka berbagai

kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan terrjadi.

Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus

berkomunikasi.Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru

mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada

disekelilingnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak budaya lain serta merasakan

ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar

budaya atau culture shock. Cultuere shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang

mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang yang familiar

dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara

yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-

hari (Mulyana dan Rahkmat, 2005:174).

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalamberbagai

aspek,seperti adanya keberagaman suku bangsa , agama, bahasa dan adat istiadat

sebagainya.Di lainpihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas

dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan duniamenuju ke arah “desa dunia”

(global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari

perkembangan teknologi modern.Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah

siap menghadapi situasi situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun

namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah

sudah salingmengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan.

Universitas Sumatera Utara


Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui

masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya.Misalnya saja dalam

penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-normamasyarakat dan lain

sebagainya.Pada hal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling

pengertian dan pertukaran informasi atau makna antarasatu dengan lainnya.Dari itu

mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.(Dalam

jurnal Lubis Lusiana Andriani, 2002:1)

Perbedaan budaya yang ada di tengah masyarakat yang sangat kompleks tidak mudah

untuk individu dapat menyesuaikan diri secepat mungkin untuk mendukung kegiatan sehari-

hari termasuk ketika menjalani proses pendidikan. Berbagai macam latarbelakang budaya

tidak akan memudahkan proses interraksi khususnya proses pertukaran informasi atau

komunikasi. Maka perbedaan akan memunculkan kemajemukan, serta multikulturalisme.

Istilah multikulturalisme tidaklah memadai dipahami secara harafiah sebagai paham

“banyak budaya”. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan,

penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu, Negara yang majemuk dari segi etnis,

budaya, agama, dan sebagainya, namun mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan

kemajemukan tersebut. (Harahap Ahmad Rivai,2006: Rivai : 29)

Karena untuk memperoleh tujuan tidak akan lepas dari komunikasi. Pada praktiknya

ketika melakukan komunikasi yang berbeda latarbelakang budaya didalam suatu komunitas,

kumpulan, bahkan masyarakat bukanlah hal yang mudah karena kebiasaan-kebiasaan yang

diperoleh dari lingkungan asal, tidak akan sama ketika seorang individu berada di daerah dan

lingkugan yang berbeda etnis dan budaya.

Faktor lain yang lebih khusus seorang lelaki minangkabau untuk memilih mencari

kehidupan diluar daerah asal adalah karena garis keturuana yang matrilineal dapat diibaratkan

Universitas Sumatera Utara


seorang lelaki minangkabau tidak akan mendapatkan materi apapun ketika ia berada didaerah

asal, karena perempuan adalah pelanjut garis keturunan dan oleh sebab itu pilihan untuk

keluar dari rumah menjadi pilihan termasuk ketika menempuh jalur jenjang pendidikan.

Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan

jumlah pelajar asal minang terbanyak.Karena dari tahun ketahun jumlah mahasiswa asal

minangkabau mengalami peningkatan, termasuk jalaur pendidikan yang semakin banyak,

regular, regular mandiri, ekstensi dan Program Magister. Perbedaan antar budaya yang

dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit untuk menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang baru, demikian halnya dengan pelajar asal Minangkabau.

Karena ketika berpindah dan keluar dari lingkungan budaya asal dan masuk kedalam

lingkungan dengan budaya yang baru serta orang-orang yang berbeda hal ini akan menjadi

fenomena dan bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock yang

dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi antarbudya yang efektif.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuain diri seperti varibel-variabel

komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal, seperti karakteristik personal, motivasi

individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan

(kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana

lingkungan komunikasi budaya baru tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).

Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak

hal yang berbeda seperti cara berpakain, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang dan nilai-nilai

yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakain maupun bahasa

yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku,

hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja,

ketertiban lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97).Namun didalam

Universitas Sumatera Utara


penelitian ini, peneliti membatasi culture shock pelajar asal minangkabau (Sumatera Barat) di

Medan khususnya yang sedang menempuh jalur pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan konteks masalah yang terlah di uraikan di atas, maka peneliti tertarik

untuk meneliti mengenai “Culture Shock Pelajar Minang Di Universitas Sumatera Utara

Dalam Kajian Komunikasi Antarbudaya”.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dikemukakan fokus masalah sebagai berikut:

a. “Apa saja bentuk culture shock yang dilami dalam interaksi komunikasi antarbudaya

pada mahasiswa asal Minang di USU?”

b. “Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Minang dalam mengatasi culture

shock yang dialami?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka

dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitaian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam

culture shock yang dialami pelajar asal Minang dan upaya mengatasinya.

2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Minang di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, karena mayoritas pelajar

minang di USU menempuh pendidikan di tiga fakultas ini.

3. Analisis culture shock yang diteliti hanya dalam kajian komunikasi antarbudaya

Universitas Sumatera Utara


I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada pelajar Minang di

USU

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi

culture shock pada pelajar asal minang di USU demi penyesuian lingkungan baru.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah

penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya culture shock.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu dan memperkaya khasanah

mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang Ilmu Komunikasi,

mengingat sangat sedikit penelitian yang meneliti culture shock di department Ilmu

Komunikasi.

3. Secara prkatis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama

dalam memahami konteks komunikasi anatar budaya yang terjadi disekitar kita dan

masukan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi

memasuki budaya baru.

I.6 Kerangka Teori

Menurut Nawawi (1995:41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih lanjut,

seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk

menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.

Universitas Sumatera Utara


Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), defenisi dan

proposi yang mengemukakan pandangan sitematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi

di antara variable untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6)

Fungsi teori dalam sebuah riset atau penelitian adalah membantu peneliti menerangkan

fenomena sosial atau fenomena yang alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah

himpunan konstruk (konsep ), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan

sistematis tentang gejala tersebut (Kriyantono, 2006:43).

Proses riset/penelitian berawal dari suatu observasi atas, gejala maka fungsi teori

tersebut adalah membuat generalisasi-generalisasi yang bstrak melalui proses induksi.

Penelitian kualitatif bersifat menjelajah (exploratory), di mana pengetahuan mengenai

persoalan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali dan teori-teorinya pun belum ada.

Jadi, teori sifatnya tidak mengekang peneliti.Teori berfungsi sebagai pisau analisis, mem-

bantu periset untuk untuk memaknai data, dimana seorang periset tidak berangkat (dilandasi)

dari suatu jenis teori tertentu.Periset bebas berteori untuk memaknai data dan

mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi. Teori membantu memperkuat

interpretasi periset sehingga dapat diterima sebagai suatu kebenaran bagi pihak lain(periset

melakukan blocking interpretation).

Karena itu, dalam riset kualitatif tidak dikenal dengan landasan teori. Dari proses

pemaknaan data ini, dimungkinkan melahirkan teori baru.Adapun kerangka teori yang

relevan dengan penelitian ini adalah Teori KomunikasiAntarbudaya, Bahasa Verbal dan

Nonverbal, Akulturasi dan Interaksionisme Simbolik.

I.6.I Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya

terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya

Universitas Sumatera Utara


berbeda. Sedangkan menurut Charley H. Dood, komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi

yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok

dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku

komunikasi para peserta.Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni

antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.

Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua

atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal atau non verbal secara langsung.Apabila

kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan ke dalamnya, maka kita berbicara tentang

komunikasi antarbudaya.Maka seringkali dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya

merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan

yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan dengan masalah-masalah

yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus

disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.Budaya

bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang

dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua

orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam

kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).

Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang

komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang

sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar

belakang pengalaman mereka dari pada orang yang berasal dari budaya yang

berbeda.Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang

(seperti kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat

problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia.Studi ini juga memberi

penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-

Universitas Sumatera Utara


perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka

komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi,

komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya.

Berdasarkan pemikiran itu, maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena

komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin

kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi

antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-

perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural

dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya

adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok

(Rahardjo, 2005: 54).

Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi

sosial.Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi

sosial, menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.Sedangkan

fungsi sosial meliputi fungsi pengawasan, fungsi menjembatani/menghubungkan, fungsi

sosialisasi dan fungsi menghibur (Liliweri, 2003: 35). Dalam komunikasi antarbudaya

terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan,

pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan

culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316).

Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi

antarbudaya tidak berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang

benar-benar efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

2. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita

kehendaki

Universitas Sumatera Utara


3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita

bertindak

4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang

dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh

sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4)

memberi dukungan, dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam

komunikasi antarbudaya atau antaretnik (Liliweri, 2001: 172).

I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau

lebih.Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.Bahasa dapat

didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-

simbol tersebut yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana kita berbicara dengan orang lain

namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata

yang kita gunakan. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari komunikasi tatap muka adalah

nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting dalam suatu aktivitas

komunikasi.Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan

gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Fungsi-

fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi dan

Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:

pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh,

ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan

Universitas Sumatera Utara


diam. Bahasa verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya.

Penggunaan dan gaya bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga

dengan komunikasi nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar,

Porter dan Mc. Daniel 2007: 168 dan 201).

I.6.3 Akulturasi

Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-

unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut,

namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi

merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya

pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi

melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan

(Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139).

Proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang

berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-

budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam proses akulturasi. Variabel-variabel

komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona; yang meliputi karakteristik

personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya baru, persepsi individu,

pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi antarpersonal (verbal

dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 140). Secara

psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang berinteraksi

dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan kejutan

budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap

Universitas Sumatera Utara


yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan

sosial (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).Pembahasan tentang masalah culture

shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners)

dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan

antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal

tetap, misalnya di suatu negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam

Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak

dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda.

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu

lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi,

antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.

2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama

6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh

8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka

waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati

empat tingkatan culture shock.Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva

U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).

Universitas Sumatera Utara


1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan,

dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa

dan ketidakpuasan.Ini adalah periode krisis dalam culture shock.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti

mengenai budaya barunya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti

elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola

komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksionisme

Simbolik Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif

yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara

konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran

atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang

secara sadar kita alami.

Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang

sebagai perceiver.Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi

dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).Interaksionisme simbolik mempelajari sifat

interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu

bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh

kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat

Universitas Sumatera Utara


aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.Interaksi

simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan

masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia,

yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.Perspektif interaksi simbolik

berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan

bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia

membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain

yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi,

objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001:

68).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi

manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik

didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik.

Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang

terdapat dalam komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.Kedua, makna adalah

produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan

melalui penggunaan bahasa.Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari

waktu ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat

dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka

konsep dalam penelitian ini adalah:

- Culture shock

Universitas Sumatera Utara


I.8 Operasional Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep

operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian,

maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Konsep


Operasional
Culture A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock sesuai
shock dengan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi :

1. Komunikasi Persona/factor intrapersonal, meliputi:


a. Karakteristik personal
b. Motivasi individu
c. Pengetahuan individu
d. Pengalaman sebelumnya
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona
baik verbal maupun non verbal.
3. Lingkungan komunikasi
B. Tingkatan culture shock :
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase)
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems)
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)

Karakteristik 1. Usia
Informan 2. Jenis Kelamin
3. Asal Fakultas
4. Lama menetap

Universitas Sumatera Utara


I.9 Definisi Operasional

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock :

1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:

a. Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal Minang.

b. Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan mahasiswa asal

Minang untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya

dengan orang-orang Medan.

c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Minang tentang lingkungan barunya,

yakni Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.

d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan

pola-pola dan aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.

e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal

Minang tentang Medan.

2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Minang dengan

orang-orang Medan.

3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.

B. Tingkatan culture shock:

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan,

dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam

penelitian ini, fase optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Minang di USU

merasa sangat antusias akan memasuki budaya baru.

2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang. Mahasiswa asal Minang mengalami gegar

budaya ketika memasuki lingkungan baru.

Universitas Sumatera Utara


3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti

mengenai budaya barunya. Mahasiswa asal Minang mulai mengenal budaya baru

yang dimasukinya.

4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana mahasiswa asal

Minang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya.

Karakteristik Informan:

1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki laki atau perempuan

3. Asal fakultas: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan

Fakultas Ilmu Budaya

4. Lama menetap: lama informan menetap di Medan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Antarbudaya

II.1.1Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru, namun akan menjadi lebih

menarik setelah dihubungkan dengan konsep “antarbudaya”. Istilah “antarbudaya” pertama

kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya

The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan

satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication

(an introduction to theory and practice).

Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya,

komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source,

messages, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1).Semua tindakan komunikasi itu berasal dari

konsep kebudayaan Berlo, berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya

untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat

penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang

dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda

(Liliweri, 2001:2).

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an.

Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional

yang disponsori oleh Speech Communication Association, sebuah komisi yang merupakan

bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan Antarbudaya yang berpusat di Amerika

Serikat. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori oleh badan itu terbit

pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural

Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya

Universitas Sumatera Utara


dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977. Tahun 1979, Molefi

Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus

membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural

Communication.

Tema pertama tentang “Teori Komunikasi Antarbudaya” diluncurkan tahun 1983 oleh

Gundykunst. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya

ditulis pula oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik

oleh Kim tahun 1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan

terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988

(Liliweri, 2001: 3).

II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antarbudaya (interculture

communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.Hubungan antara

keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya

komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah

komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain, komunikasi

dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu

sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan

bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang

menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,

memperhatikan dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya

tempat manusia tersebut dibesarkan.Konsekuensinya, budaya merupakan landasan

komunikasi.Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik

komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dengan memahami kedua konsep utama itu,

Universitas Sumatera Utara


maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada

efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya,

sebagai berikut:

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E.

Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi

antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras,

antarkelas sosial.

2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara

produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang

melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan

tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi

para peserta.

4. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya

adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia

dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-

11).

Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang

terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya

adalah tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak

yang berkomunikasi (the communications) karena adanya perbedaan-perbedaan kultural.

Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional,

proses simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang

berbeda. Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses

Universitas Sumatera Utara


pertukaran simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas kultural yang

berbeda menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif.

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya

adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi

kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka

daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53). Dalam rangka

memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi

antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 15)

II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan

yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung

maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan

dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang

terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus

studi dari komunikasi antarbudaya, melainkan proses komunikasi antara individu dengan

individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54). Sebagaimana sebuah

aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara

komunikator dan komunikan, demikian halnya dengan komunikasi antarbudaya.

Universitas Sumatera Utara


Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur perbedaan kebudayaan

antara pelaku-pelaku komunikasinya.Itulah sebabnya, usaha untuk menjalin komunikasi

antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana.

Terdapat banyak masalah-masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti

pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip,

prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 316). Sedangkan Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling

problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai

dan perbedaan pola perilaku kultural.Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak,

namun hambatan tersebut lebih mudah untuk ditanggulangi, karena bahasa dapat dipelajari,

sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu perbedaan nilai dan perbedaan pola-pola perilaku

kultural terasa lebih sulit untuk ditanggulangi.

Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap

munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur yang

berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi

pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman

antarkultural dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh

ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut. Usaha untuk

mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga hal

tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip

dan prasangka.

Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya orang

lain sebagai inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku

terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga

Universitas Sumatera Utara


dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan pengujian

terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang

beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-

56).Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi antarbudaya.

Pertama, suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan

non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat

berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit

komunikasi yang mungkin terjadi.Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara

pihak-pihak yang berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk

memberikan respons.Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita

mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang

berbeda budaya dapat dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang

sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan

respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan bagian integral dari

kemampuan berkomunikasi secara efektif.

Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara

kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak

mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi

yang akan terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240). Komunikasi antarbudaya yang benar-benar

efektif menurut Schramm harus memperhatikan empat syarat, yaitu:

5. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia

6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita

kehendaki

7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita

bertindak

Universitas Sumatera Utara


8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang

dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)

Sedangkan De Vito mengemukakan konsepnya tentang efektivitas komunikasi sangat

ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3)

merasa positif; (4) memberi dukungan; dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang

sama dalam komunikasi antarbudaya.

Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang

komunikator yang membuka semua informasi tentang pribadinya kepada komunikan,

sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam

rangka interaksi antarpribadi; (2) kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi

secara jujur terhadap pesan yang datang dari komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan

bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikatoru merupakan tanggung jawabnya terhadap

komunikan dalam suasana situasi tertentu.

Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk menerima

dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri; jadi ia berpikir, merasa,

berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap dirinya

sendiri. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya,

komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung.Memberi

dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas

atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang.

Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dan

komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, merasa dan bertindak (Liliweri,

2001: 171-174). Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai

keinginan yang jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal

balik.Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi

Universitas Sumatera Utara


antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superior-inferior yang berdasarkan

keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana

dan Rakhmat, 2005: 37).

Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain

bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam

komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan

berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.

Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang

menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya

(Liliweri, 2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan

penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan

perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain,

semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).

II.2 Bahasa Verbal dan Bahasa Non Verbal

II.2.1 Bahasa Verbal

Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam

kehidupan sehari-hari.Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang

menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari

termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara

sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.Bahasa dapat juga dianggap sebagai

suatu sistem kode verbal.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud

yang ingin disampaikan.Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan

berbagai aspek realitas individual kita. Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan

pikiran, perasaan, niat dan keinginan kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang

Universitas Sumatera Utara


melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar tentang

diri kita melalui cara-cara orang lain bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar

tentang hubungan kita dengan orang lain melalui take and give dalam interaksi yang

komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 164). Menurut Ray L. Birdwhistell,

porsi komunikasi verbal dalam komunikasi tatap muka manusia hanyalah 35%.

Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas.

Keterbatasan bahasa tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata

yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata

mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,

2005: 245-254).

II.2.2 Bahasa Nonverbal

Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya

(halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui

perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana

emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih.

Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang

mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.Secara sederhana, pesan nonverbal adalah

semua isyarat yang bukan kata-kata.Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan

semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita

harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui

simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak

sungguh-sungguh bersifat nonverbal.Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin

menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka.Keduanya dapat berlangsung spontan

dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai

fungsi-fungsi berikut:

Universitas Sumatera Utara


1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal

2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi perilaku verbal.

3. Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal.

4. Fungsi Regulasi; perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.

5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan

perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314).

Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:

pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh,

ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan

diam (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168) Proses Komunikasi Antarbudaya Pada

dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya.Tidak mungkin

bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan, bahasa adalah

satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu sama lain.

Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya, mereka

berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang

berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.

Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya

mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah

makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata

merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut

latarbelakang sosial-budaya yang berbeda pula.Oleh karena itu, terdapat berbagai

kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut.Kata-kata adalah abstraksi realitas yang

tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang

diwakilkan dari kata-kata itu.

Universitas Sumatera Utara


Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya

menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama,

proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu

budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.Namun, bila komunikasi

melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan konsekuensinya

proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 169-

170).Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan bahasa

nonverbal.Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya seseorang tersebut.Oleh karena

itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat dibutuhkan

dalam interaksi komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda.

Hubungan antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat

bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertian-pengertian yang harus

dimiliki bersama. Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan

kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural.Sebagaimana aspek verbal,

komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu: kebudayaan

menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran,

perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang

tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal. Jadi,

walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal,

tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa dan

dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 201).

Universitas Sumatera Utara


II.3 Akulturasi

II.3.1 Pengertian Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah konsep mengenai

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,

sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam

kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri

(Koentjaraningrat, 1990: 248).

Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-

unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut

namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi

Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat

belajar.Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan

budaya Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan

paling mendasar.Kita belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap

rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan sehingga

pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh individu-individu yang

berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk

menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137)

Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikatif

terhadap rangsangan dari lingkungan.Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan

elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam

budaya itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana

individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana

Universitas Sumatera Utara


mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Proses individu-individu

memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia

tersebut.

Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam

sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang

terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya

lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola

demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138).

Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya

tertentu memasuki suatu budaya lain?

Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh individu sejak masa kanak-kanak

mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.Transaksi-transaksi dalam

kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang menggunakan

lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi masyarakat pribumi

yang menjadi lingkungan barunya.Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan

yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui.Sebagai seorang anggota baru dalam budaya

pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing.

Asumsi-asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan

menyebabkan banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan

budaya baru. Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang

dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan,

bukan merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan

suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik tetapi merupakan suatu situasi

problematik tersendiri yang sulit dikuasai.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti yang terlihat

dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk

menyesuaikan dirinya dengan keadaan.Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-

situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi. Proses komunikasi mendasari

proses akulturasi seorang imigran.Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi

lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan.Sebagaimana orang-orang pribumi

memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh

pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk

mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat

komunikasi.

Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan.Dalam banyak kasus,

bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi.Masalah-masalah

komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan

dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata,

gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Oleh karena

itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang

berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-

budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).

II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi

Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam

menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif

sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975).Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem

komunikasi manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha

untuk dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem

Universitas Sumatera Utara


komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang

saling berhubungan, yakni komunikasi persona dan komunikasi sosial.

Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses-proses mental

yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-

budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespons

lingkungan.Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah

kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi.Faktor yang

erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-

pola dan sistem-sistem komunikasi pribumi.Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi

penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa dalam memudahkan

aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel persona lainnya dalam akulturasi adalah citra

diri (self image) imigran yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.

Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi.

Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi

dalam dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.

Kedua,Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu mengatur perasaan,

pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya.Komunikasi sosial dilakukan

melalui komunikasi antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati

melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota

masyarakat pribumi.

Ketiga, lingkungan komunikasi.Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang

imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan

dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi.Suatu kondisi lingkungan yang sangat

berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di

daerah setempat.

Universitas Sumatera Utara


Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada

derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara

budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya.Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat

mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan

Rakhmat, 2005: 141-144).

II.3.4 Culture shock

Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang.Istilah ini

mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis.Orang-orang memasuki

wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang, pengetahuan dan tujuan, tetapi

setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku komunikasinya dengan pengaturan budaya

baru yang individu tersebut datangi. Individu yang memasuki suatu dunia baru yang berbeda

dengan lingkungan asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan ketegangan.

Hal inilah yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya

(culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara

langsung seringkali menimbulkan frustasi.Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan

oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai

kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang

familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan

kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana

membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 335).

Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga termasuk

kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang,

kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan dengan sungguh-

sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjuk-petunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat,

Universitas Sumatera Utara


ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan

hidup seseorang sejak kecil (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki

suatubudaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang

tersebut berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan

mengalami frustasi dan kecemasan.

Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai benturan

persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai

budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-

nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami

(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_shock ).

Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu memahami

tentang perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang

memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers).Ada perbedaan antara pengunjung

sementara (sojourners) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu

Negara (settler).Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel,

2007: 334), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda,

maka reaksi mereka pun berbeda.Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada

masyarakat barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun

kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa

tahun. Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan bahwa bagi

orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh,

melainkan merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tapi suatu

topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi

problematik, melainkan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai. Pengalaman-

pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang

Universitas Sumatera Utara


yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi

merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan

budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143).

Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan

individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reasi-reaksi yang

mungkin terjadi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.

2. rasa kehilangan arah

3. rasa penolakan

4. gangguan lambung dan sakit kepala

5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama

6. rindu pada teman dan keluarga

7. merasa kehilangan status dan pengaruh

8. menarik diri

9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.

Daniel, 2007: 335)

Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka

waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan melewati 4

(empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk

kurva U, sehingga disebut U-curve.

1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama yang digambarkan berada pada bagian

kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa

penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru,

Universitas Sumatera Utara


sekolah baru dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan

ketidakpuasan.Ini adalah periode krisis dalam culture shock.Orang menjadi bingung dan

tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap

bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai

budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara bertahap membuat penyesuaian dan

perubahan untuk menanggulangi budaya baru.Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan

baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U, individu telah

mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan dan lain-

lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai

dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup

dalam dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya

terdahulu.

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik

II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead merupakan pelopor interaksionisme simbolik, meskipun dalam

perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut serta memberikan sumbangsihnya, seperti

James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey dan William I.

Thomas. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika

beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya

mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya

menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan

utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001:

68).Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang

Universitas Sumatera Utara


dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga

konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari

itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk

menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup.

Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama

“pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara

masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi

interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136) Perspektif interaksi simbolik sebenarnya

berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis

atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang

pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang

objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat

objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver.Sebuah

fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu

(Rahardjo, 2005: 44).Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan

kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang

bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-

struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif,

menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui

interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika

individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama

(Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah

yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui

percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga

Universitas Sumatera Utara


pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West,

2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya

dengan masyarakat.Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yangdiberi makna.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut

pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai

proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan

mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang

mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang

menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi

simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan

aturan-aturan, bukan sebaliknya.

Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut

bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan

perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan

kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70). Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan

sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara

ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu

merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan

sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi

mereka.

Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada

objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.Ketiga, makna diinterpretasikan

individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang

ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan

Universitas Sumatera Utara


kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama

yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang

menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya

dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses

interaksi.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Gambaran Umum Universitas Sumatera Utara

Sejak awal pendiriannya, USU dipersiapkan menjadi pusat pendidikan tinggi di

kawasan Barat Indonesia. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan sebuah

yayasan, kemudian beralih status menjadi PTN pada tahun 1957, dan selanjutnya menjadi

PT-BHMN pada tahun 2003. Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan

berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan

ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat

Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh Gubernur

Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim (Ketua); Dr. T. Mansoer

(Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara); Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar,

Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan, dan

Soetan Pane Paruhum (Anggota). Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di

Medan telah mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah

Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di

Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi

Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia,pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di

Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun

1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh

Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.

Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan

tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir.

Universitas Sumatera Utara


Danunagoro, dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Selain Dewan Pimpinan Yayasan, Organisasi

USU pada awal berdirinya terdiri dari: Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis

Presiden dan Asesor, Senat Universitas, dan Dewan Fakultas. Sebagai hasil kerja sama dan

bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu

meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan

Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya

dua orang wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies

Natalis USU yang diperingati setiap tahun.

Kemudian disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat

(1954), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1956), dan Fakultas Pertanian (1956). Pada

tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir.

Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia. Pada tahun 1959, dibuka

Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang

diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. Kemudian disusul berdirinya Fakultas

Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960 di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU

terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.

Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra

(1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial

dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993),

Fakultas Farmasi (2007), Fakultas Psikologi (2008), dan Fakultas Keperawatan (2009). Pada

tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi suatu

perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN

menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI,

UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan

UNAIR (2006).

Universitas Sumatera Utara


Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah menjadi embrio

berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh,

yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan

USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan

(IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan

(UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah

itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik USU.

USU memiliki 14 fakultas yaitu:

1. Kedokteran,

2. Hukum,

3. Pertanian,

4. Teknik,

5. Kedokteran Gigi,

6. Ekonomi,

7. Ilmu Budaya,

8. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

9. Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

10. Kesehatan Masyarakat,

11. Farmasi,

12. Psikologi,

13. Keperawatan dan

14. Pascasarjana.

Jumlah program studi yang ditawarkan sebanyak 135, terdiri dari 19 tingkat doktoral,

32 magister, 18 spesialis, 5 profesi, 46 sarjana, dan 15 diploma. Jumlah mahasiswa terdaftar

saat ini lebih dari 33.000 orang, 1000 di antaranya adalah mahasiswa asing.

Universitas Sumatera Utara


USU memiliki visi menjadi University for Industry (UfI), dengan misi:

(1)mempersiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat bermoral dengan kemampuan

akademik dan/atau profesional dan/atau vokasional untuk menerapkan, mengembangkan, dan

memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

(2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan seni terutama pada

kerjasama berbasis industri, dan pengembangan aplikasinya untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional, dan

(3) mendukung pengembangan masyarakat sipil yang demokratis melalui peran USU sebagai

suatu kekuatan moral yang otonom untuk mencapai kemampuan yang kuat dalam lingkungan

kompetisi global melalui pengelolaan secara profesional sumber daya manusia, memperluas

partisipasi dalam pembelajaran, memenuhi kebutuhan nasional dalam pembelajaran, dan

memodernisasi cara pembelajaran.

Kampus USU berlokasi di Padang Bulan, sebuah area yang hijau danrindang seluas

120 ha yang terletak di tengah Kota Medan. Zona akademik seluas 90 ha menampung hampir

seluruh kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Sistem pembelajaran didukung oleh

fasilitas perpustakaan dan lebih dari 200 laboratorium. Perpustakaan menyediakan berbagai

jenis sumber belajar baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Perpustakaan USU

merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia saat ini. Kampus Padang Bulan juga

didukung oleh infrastruktur teknologi informasi untuk memfasilitasi akses terhadap berbagai

sumber daya informasi dan pengetahuan untuk mendukung proses pembelajaran dan

penelitian mahasiswa dan dosen. Selain itu di dalam kampus juga terdapat berbagai sarana

seperti asrama, arena olah raga, wisma, kafetaria, toko, bank, dan kantor pos. Wisuda dan

berbagai acara akademik lainnya diadakan di Auditorium dan Gelanggang Mahasiswa.

Sebuah rumah sakit pendidikan yang berlokasi dikampus Padang bulan telah dimulai

pembangunannya sejak Agustus 2009.

Universitas Sumatera Utara


Sebuah kampus baru seluas 300 ha yang berlokasi di Kwala Bekala, berjarak 15 km

dari Kampus Padang Bulan sedang dikembangkan, yang saat ini digunakan untuk mendukung

berbagai penelitian dan percobaan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, dan

peternakan. Dalam upaya mengembangkan diri sebagai universitas berjangkauan luas, USU

mengelola Kebun Percobaan seluas sekitar 550 ha di Langkat. USU juga telah memperoleh

izin pengembangan hutan percontohan seluas 10.000 ha di Mandailing Natal.

III.1.2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

a. Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada mulanya Fakultas Ilmu Budaya dahulu bernama Fakultas Sastra diawali dengan

keluarnya Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor :

190/1965 tertanggal 25 Agustus 1965. Pada awal berdirinya Fakultas Sastra melakukan

kegiatan dengan menumpang di Fakultas Hukum USU dengan memiliki satu jurusan saja,

yakni Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa sebanyak 45 orang.

Kemudian tahun 1966 dibuka 1 jurusan lagi yaitu jurusan Sastra Inggris. Di tahun ini

pula Fakultas Sastra pindah dan memperoleh gedung sendiri yang terletak di bahagian depan

sekolah TK Dharma Wanita USU, yang berukuran sangat kecil. 1 (satu) tahun kemudian

Fakultas Sastra mendapat tambahan gedung eks PU di Jalan Prof. Muhammad Yusuf juga

dengan ukuran yang sangat minim dan tidak memenuhi syarat karena hanya terdiri dari 2

(dua) ruangan untuk kuliah dan 2 ruangan untuk administrasi. Pada tahun 1967, Fakultas

Sastra pindah lagi ke gedung Pancasila (sekarang Pendopo USU) yang luasnya sudah

memenuhi kebutuhan tetapi terkendala dengan masalah air dan listrik. Dalam

perkembangannya Fakultas Sastra membuka lagi jurusan baru yaitu Jurusan Sejarah pada

tahun 1968, namun jurusan ini belum langsung aktif melaksanakan kegiatannya dikarenakan

ketiadaan mahasiswa, dan tahun 1970 adalah tahun pertama jurusan ini mulai menerima

mahasiswa baru.

Universitas Sumatera Utara


Pada tahun 1972 Fakultas Sastra mendapat tiga gedung permanen, dua telah

direnovasi menjadi ruang kuliah dan satu ruang seminar. Dengan bertambahnya gedung dan

ruang bagi kelancaran belajar engajar di Fakultas Sastra saat itu, pada tahun 1979 kembali

dibuka jurusan baru di Fakultas Sastra yaitu Jurusan Sastra dan Sastra Melayu dan Sastra

Daerah untuk Sastra Batak. Pada tahun ini pula dibuka jurusan Etnomusikologi, satu-satunya

yang ada di Indonesia sampai tahun 1989. Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan

bantuan terutama dari FORD Foundation Jakarta antara lain berupa beasiswa bagi mahasiswa

dan staf pengajar serta bantuan tenaga konsultan. Selain itu jurusan ini juga mendapat

bantuan dari PEMDA Kota Madya Medan berupa satu Gedung untuk perkuliahan/praktek.

Selanjutnya pada tahun 1980 dibuka Program Studi S1 Bahasa Arab, Jurusan Ilmu

Antropologi dan Jurusan Ilmu Perpustakaan, namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu

Perpustakaan ditutup dan sebagai gantinya dibuka Program Studi D3 Perpustakaan,

sedangkan Jurusan Antropologi dipindahkan ke FISIP USU dengan SK Rektor USU Nomor :

163/PT05/SK/0/86 tanggal 4 Mei 1986.

Tahun 1990 Fakultas Sastra kembali mendapat tambahan gedung, yakni eks gedung

BAAK dan eks Perpustakaan USU dan pada tahun 2003 mendapat tambahan 1 unit gedung

eks USU Press dan kemudian direnovasi menjadi kantor Pariwisata D3 dan Kantor jurusan

bahasa Jepang. Tahun Akademik 2007/2008 dibuka jurusan baru yakni Program Studi Sastra

China. Hal ini merupakan kerjasama Universitas Sumatera Utara dengan Jinan University.

Adapun perkembangan tahun 2009 ini adalah dibukanya Program Studi Magister S2

(Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Sastra USU). Proses penerimaan siswa untuk

Program S2 ini mulai dibuka pada bulan Juli 2009 sampai bulan Agustus 2009 yang

kemudian menerima sebanyak 18 orang siswa. Program Studi Penciptaan dan Pengkajian

Seni jenjang Magister (S2) ini sendiri disahkan oleh Rektor Universitas Sumatera Utara pada

tanggal 27 Agustus 2009 berdasarkan Surat Keputusan Rektor No. 924/H5.1.R/SK/PRS 2009.

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan berikutnya adalah perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu

Budaya sesuai SK Rektor Universitas Sumatera Utara No. 981/H5.1.R/SK/PRS/2011 tanggal

5 April Tahun 2011.

Fakultas Sastra USU didirikan oleh 12 orang berikut:

1.Alm. Prof. Mahadi, S.H.

2.Alm. Dr. Septy Ruzui

3.Alm. Drs. Sabaruddin Ahmad

4.Alm. T. Mahmuddin

5.Dr. Rustam Amir Effendi, M.A.

6.Alm. Drs. Burhanuddin Ch. Usman

7.Alm. Prof. A. Hamid Hasan Lubis

8.Alm. Drs. Chairuddin Rahman

9.Drs. Danil Ahmad, DPFE

10.Alm. Drs. Syahdan Manurung, MPFE

11.Drs. Abubakar

12.Alm. Drs, Tasril Ismail

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awalnya Fakultas Sastra hanya memiliki 1

jurusan saja, namun seiring dengn dengan meningkatnya kebutuhan sarjana Sastra dalam

berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan maka Fakultas Sastra USU selanjutnya

membuka jurusan-jurusan/program studi Strata 1 (S1) dan Diploma 3 (D3), sebagai berikut :

1965, dibuka jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan jumlah mahasiswa 45 orang.

1966, dibuka jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dengan jumlah mahasiswa 50 orang.

1968, dibuka jurusan Ilmu Sejarah tetapi belum ada kegiatan karena mahasiswanya belum

ada dan pada tahun 1970 barulah pertama kali menerima mahasiswa.

1979, dibuka jurusan Sastra Daerah :

Universitas Sumatera Utara


a.Bahasa dan Sastra Melayu

b.Bahasa dan Sastra Batak

1979, dibuka jurusan Etnomusikologi (satu-satunya yang ada di Indonesia sampai tahun

1989). Jurusan ini banyak sekali mendapat perhatian dan bantuan terutama dari FORD

Foundation Jakarta antara lain beasiswa bagi mahasiswa dan staf pengajar serta bantuan

tenaga konsultan.

1980, dibuka Program S1 Bahasa Arab, Jurusan Antropologi, dan Jurusan Ilmu

Perpustakaan namun pada tahun 1983 Jurusan Ilmu Perpustakaan ditutup dan sebagai

gantinya dibuka Program Studi D3 Perpustakaan. Sedangkan Jurusan Antropologi

dipindahkan ke FISIP USU .

b. Visi dan Misi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Visi

FakultasI lmu Budaya Universitas Sumatera Utara menjadi suatu lembaga pendidikan

penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang kebudayaan yang unggul dan

terkemuka secara regional, nasional dan internasional dan berwawasan pada nilai-nilai

budaya bangsa.

Misi

Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian dalam bidang ilmu budaya

yang bermutu tinggi dan mampu bersaing baik secara regional, nasional dan internasional.

Mengembangkan penelitian dalam bidang ilmu budaya yang mendorong kemajuan

pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bermanfaat untuk kepentingan umat

manusia. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat berperspektif budaya untuk

menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan. Menjalin kerja sama dengan dunia usaha

dan lembaga lainnya baik di dalam maupun di luar negeri dalam bidang kebudayaan untuk

Universitas Sumatera Utara


pengembangan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Menyiapkan

lulusan yang berwawasan dan berkompetensi budaya beserta keberagamannya, berkarakter,

beretika, inovatif, jujur, berjiwa kepemimpinan dan peduli terhadap masalah-masalah

kemasyarakatan.

c. Tujuan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Melakukan partisipasi aktip dalam pengajaran dan pengembangan ilmu kebahasaan

dan kesusasteraan, kesenian, kesejarahan, kepustakaan, dan informasi, dan kepariwisataan

untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berkarakter dalam ilmu budaya dan yang

menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan akademik. Memperluas partisipasi aktip dalam

pengajaran dan pembelajaran sesuai kebutuhan nasional, dan memodernisasikan metode dan

sarana pengajaran-pembelajaran. Membangun suatu pusat layanan informasi dan teknologi

informsi kebudayaan. Memberdayakan departemen/program studi untuk mengelola satu

disiplin ilmu dan antar disiplin ilmu. Menciptakan tata pamong fakultas yang transparan,

akuntabel dan demokratis. Menciptakan pendekatan baru yang berfokus pada pembelajaran

sesuai kebutuhan. Menciptakan lingkungan pengajaran dan pembelajaran yang kondusif

untuk meningkatkan kreativitas sivitas akademika. Menjadi perantara untuk kemajuan ilmu

pengetahuan, teknologi, kesenian dan kebudayaan baik secara regional nasional maupun

internasional. Meningkatkan kemampuan pendanan melalui usaha fakultas untuk

mengembangkan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Membina kerja

sama tripartite: sivitas akademika, alumni dan pengguna jasa.

Alamat :Jl. Universitas No. 19 Kampus USU, Medan-20155-Sumatera Utara -Indonesia.e-

mail: fib@usu.ac.id

Universitas Sumatera Utara


III.1.3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

a. Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) resmi menjadi Fakultas pada tahun 1982

berdasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahhun 1982.SK Presiden

R.I tersebutmenetapkan FISIP merupakan fakultas ke 9 (Sembilan) pada Universitas

Sumatera Utara. Walaupun FISIP USU baru resmi terbantuk pada tahun 1982, tetapi cikal

bakal FISIP USU itu sudah muncul pada tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Rektor

USU Nomor. 1181/PT.05/C.80, pada tanggal 1 Juli 1980. Perkuliahan pertamakali dilakukan

pada tanggal 18 Agustus 1980 dengan jumlah mahasiswa hasil ujian SIPENMARU bulan Juli

1980 sebanyak 75 orang. Lebih kurang dalam waktu satu tahun, keluar Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Nomor 0535/0/83 tentang jenis dan jumlah jurusan

pada fakultas-fakultas di lingkungan Universitas Sumatera Utara.Berdasarkan SK Mendikbut

R.I itu, disebutkan FISIP USU mempunyai 6 (enam) jurusan dengan urutan berikut :

Jurusan Sosiologi

Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Jurusan Antropologi

Jurusan MKDU

Jurusan Ilmu Administrasi

Jurusan Ilmu Komunikasi

Pembentukan jurusan di FISIP USU tidak berjalan sesuai dengan urutan berdasarkan

Surat Keputusan Mendikbud R.I. Nomor : 0535 / 0 / 83 itu, karena pembukaan Jurusan pada

ntahap awal di lakukan pada Semester tujuh yang didasarkan pada pilihan mahasiswa. Selain

itu juga bergantung pada ketersediaan staf pengajar. Dewasa ini FISIP USU mempunyai 6

(enam) Departemen, satu Program Diploma III, dan Satu Program Pasca Sarjana yaitu

sebagai berikut : Departemen Ilmu Administrasi yang dibagi ke dalam Program Studi Ilmu

Universitas Sumatera Utara


Administrasi Negara, dan Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis, Departemen Ilmu

Komunikasi, Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosiologi, Departemen

Antropologi, dan Departemen Ilmu politik.Program Studi Diploma III Administrasi,

Perpajakkan , dan Pogram Studi S2 Megister Studi Pembangunan.

Dekanat

Dekan : Prof.Dr.Badaruddin, M.Si

Pembantu Dekan I : Drs.Zakaria, MSP

Pembantu Dekan II : Dra. Rosmiani, MA

Pembantu Dekan III : Drs. Edward, MSP

b. Visi dan Misi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Visi

Visi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah:

“Menjadi Pusat Pendidikan dan Rujukan Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Politik di Wilayah

Barat”

Misi

Menghasilkan Alumni dengan skala kualitas global dan menjadi pusat riset , kajian

dalam studi ilmu sosial dan politik. Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan

seluruh stakeholders dan mitra pendidikan. Misi ini berhubungan dengan fungsi relasi yang

harus dibangun oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sebagi

suatu organisasi profesional pendidikan. Bentuk kolaborasi dengan organisasi lain perlu

dijajaki dengan sikap open minded dan profesional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara harus mampu melihat peluang kerjasama yang ditawarkan atau

malah mampu menawarkan kerjasama tersebut pada pihak lain. Membentuk lingkungan kerja

sehat, harmonis dan profesional bagi staf dan mitra kerja. Misi ini berhubungan dengan azas

profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan. Lingkungan dan suasana kerja yang dibangun

Universitas Sumatera Utara


harus memperhatikan situasi fisik dan psikologis seluruh sivitas akademika. Harus ada

mekanisme yang mampu membangun suasana tersebut. Prinsip Profesionalitas juga harus

didukung dengan prinsip persaudaraan dan pertemanan (makna positif) dengan kemampuan

bisa menempatkan dan menjalankan fungsi masing-masing.Menjadi Institusi bagi

kepentingan publik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sangat

potensial sebagai institusi pendidikan yang membawa misi di atas dengan melihat

pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara sendiri.

Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara merupakan

fakultas kesembilan di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Kelahiran Fakultas ini tidak

jauh berbeda dengan fakultas lainnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Pada awal

pendiriannya (1980), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara masih

merupakan Jurusan Pengetahuan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Setahun kemudian Jurusan Pengetahuan Masyarakat berubah menjadi Jurusan Ilmu-

Ilmu Sosial (IIS). Pada tahun 1982, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial resmi menjadi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, dengan menggunakan gedung perkuliahan di Fakultas Kedokteran

Gigi (FKG) Universitas Sumatera Utara.

Alamat Fakultas ISIP USU: Jl.Dr.A.Sofyan No.1Kampus USU, Medan - 20155-Sumatera

Utara-Indonesia

III.1.4 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

a. Sejarah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Selaras FKM USU sejak tahun 2009 telah mengelola 3 program studi (S1, S2, dan S3),

maka visi, misi, tujuan dan kopetensi sangat5 perlu disempurnakan, agar FKM USU menjadi

Universitas Sumatera Utara


satu kesatuan yang utuh sebagai institusi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan

Ilmu Kesehatan Masyarakat pada jenjang Pendidikan S1, S2, dan S3. Penyempurnaan ini

sangat penting dilakukan, agar kegiatan FKM USU, terutama dalam bidang pendidikan

Penelitian dan pengabdian masyarakat, dapat dilakukan dengan sebaik – baiknya untuk

menjamin tercapainya kopetensi lulusan, memberi kontribusi pada pengembangan seni, ilmu,

dan teknologi kesehatan masyarakat, dan memberi kontribusi dalam menanggulangi masalah

kesehatan masyarakat. Adapun visi, misi, tujuan, dan kopetensi yang ditawarkan, dirinci

dibawah ini.

c. Visi dan Misi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Visi

1. Visi Fakultas : Fakultas Untuk Pengembangan Tenaga Kesehatan Masyarakat

2. Visi Program Studi :

a. Program Studi S1 Untuk Pengembangan Sarjana Kesehatan Masyarakat

b. Program Studi S2 Untuk Pengembangan Magister Kesehatan

c. Program Studi S3 Untuk Pengembangan Doktor

Misi

1. Menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan untuk menghasilkan Sarjan

Kesehatan Masyarakat, Magister Kesehatan, dan Doktor sesuai kopetensi dalam bidang

kesehatan masyarakat.

2. Menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian ilmiah yang dapat memberi kontribusi

untuk pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, tercapainya kopetensi lulusan, dan

pemecahan masalah kesehatan masyarakat.

3. Menyelenggarakan dan mengembangkan pengabdian masyarakat, yang dapat memberi

kontirbusi untuk pengembangan seni, ilmu, teknologi kesehatan masyarakat, kompetensi

lulusan, dan pemecahan masalah kesehatan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


c. Tujuan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

1. Menghasilkan lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat, Magister Kesehatan, dan Doktor

sesuai kompetensi dalam bidang kesehatan masyarakat.

2. Menghasilkan penelitian ilmiah yang mendukung pengembangan ilmu, seni, dan teknologi

kesehatan masyarakat, tercapainya kompetensi lulusan, dan pemecahan masalah kesehatan

masyarakat.

3. Menghasilkan kegiatan pengabdian yang dapat menanggulangi masalah kesehatan

masyarakat, mendukung tercapainya kompetensi lulusan, pengembangan ilmu, seni, dan

teknologi kesehatan masyarakat.

Kopetensi

1. Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat :

a. Mempunyai moral yang baik.

b. Mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian

masalah kesehatan masyarakat sesuai peminatanya

c. Mampu melaksanakan kegiatan ilmiah dan kegiatan produktif dalam bidang kesehatan

masyarakat sesuai peminatanya, dengan sikap dan perilaku yang sesuai tata kehidupan

bersama dalam masyarakat.

d. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni dalam bidang

kesehatan masyarakat sesuai peminatanya.

2. Kompetensi Magister Kesehatan :

a. Mempunyai Moral yang baik.

b. Mempunyai kemampuan pengembangan dan memutakhirkan ilmu, seni dan teknologi

kesehatan masyarakat sesuai minat studinya, dengan cara menguasai dan memahami

pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai keterampilan penerapannya.

Universitas Sumatera Utara


c. Mempunyai kemampuan memecahkan permasalahan kesehatan masyarakat sesuai minat

studinya melalui penelitian dab pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah.

d. Mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesional yang ditujukan dengan

ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, dan kepaduan pemecahan

masalah kesehatan masyarakat sesuai minat studinya.

3. Kopetensi Doktor

a. Mempunyai moral yang baik.

b. Mempunyai Kemampuan Mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni baru dalam

bidang kesehatan masyarakat melalui penelitian.

c. Mempunyai Kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program penelitian

dalam bidang kesehatan masyarakat.

d. Mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang kesehatan

masyarakat.

Kompetensi lulusan sesuai uraian diatas dapat dirinci lagi berdasarkan peminataan atau minat

studi yang telah diselenggarakan FKM USU, pada jenjang pendidikan S1, S2, dan S3

(pendekatan disertasi).

Alamat: Jl. dr. Mansur No. 21 Padang Bulan, Medan- 20155 -Sumatera Utara- Indonesia

III.2 Metode Penelitian

III.2.1 Metodologi Penelitian Kualitatif

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode

merupakan proses, prinsip dan prosedur yang digunakan peneliti untuk mendekati suatu

masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah sebuah pendekatan

umum untuk mengkaji topik penelitian. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian

dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial

dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks,

Universitas Sumatera Utara


meneliti kata-kata,laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada

situasi yang alami (Mulyana, 2001: 145-146).

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data

yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika

data yang terkumpul sudah mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka

tidak perlu mencari sampling yang lainnya. Hal yang lebih ditekankan adalah kualitas data

bukan banyak (kuantitas) data. Dalam riset kualitatif, peneliti adalah bagian integral dari data

yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti

adalah instrument riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu penelitian ini

bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan (Kriyantono,

2008: 56-57).

Suatu metode tidak dapat dinilai benar atau salah karena ia diukur berdasarkan

kemanfaatannya. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, kita tidak cukup sekedar

melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga harus melihat bagaimana peneliti sampai

pada temuannya berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya

(Mulyana, 2001: 146).

III.2.2 Studi Kasus

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus

merupakan salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada

kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan

komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi

(komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah

sebanyak mungkin data mengenai data subjek yang diteliti (Mulyana, 2001: 201). Dengan

demikian, peneliti studi kasus berupaya memberikan pandangan yang lengkap danmendalam

mengenai subjek yang diteliti. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu,

Universitas Sumatera Utara


suatu kelompok atau suatu kejadian, peneliti bertujuan memberikan uraian yang lengkap dan

mendalam mengenai subjek yang diteliti.

Karena itu menurut Kriyantono (2008: 66), studi kasus memiliki ciri-ciri:

- Partikularistik. Artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa,

program atau fenomena tertentu.

- Deskriptif. Hasil akhir metode ini adalah deskripsi detail dari topik yang

diteliti.

- Heuristik. Metode studi kasus membantu khalayak memahami apa yang

diteliti. Interprestasi baru, perspektif baru, makna baru merupakan tujuan

dari studi kasus.

- Induktif. Studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian

menyimpulkan ke dalam tataran konsep dan teori.

Sebagai suatu metode kualitatif menurut Mulyana (2001: 201-202), studi

kasus memiliki beberapa keuntungan, yaitu:

1. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni

menyajikan pandangan subjek yang diteliti.

2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa

yang dialami orang dalam kehidupan.

3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara

peneliti dan informan.

4. Studi kasus memberikan uraian tebal yang diperlukan bagi penilaian atas

transferabilitas.

5. Studi kasus terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan bagi

pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Dalam analisis studi kasus, peneliti diberi kebebasan membangun struktur tulisan

berdasarkan domain yang dikaji serta keinginan-keinginan peneliti tentang topik mana yang

dikembangkan. Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek penelitian

di lokasi penelitian. Semua hasil pengamatan dituangkan dalam pembahasan. Hasil

wawancara nantinya akan dianalisis dan dipilih jawabannya yang paling mendekati dan

berkaitan dengan tujuan penelitian.

Setiap analisis studi kasus mengandung data berdasarkan wawancara, data

berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain mengenai kasus

tersebut. Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk merapkan prinsip umum

terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh, yang disebut kasus-kasus. Contoh-contoh

dikemukakan berdasarkan isu-isu penting yang muncul dalam bentuk pertanyaan. Dengan

menjawab pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukkan kombinasi pandangan,

pengetahuan dan kreativitas dalam mengidentifikasikan dan membahas isu-isu ini dari sudut

pandang teori dan riset yang relevan serta dalam merancang strategi yang realistik dan layak

untuk mengatasi situasi problematik yang teridentifikasi dalam kasus (Mulyana, 2001: 202).

Menurut Ragin dalam Mulyana (2001), metode studi kasus bersifat holistik yang

menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh. Hubungan antara bagian-bagian dalam

keseluruhan itu dipahami sebagai konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola

umum kovariasi antara variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-

unit yang sebanding. Hubungan sebab-akibat dalam studi kasus dipahami sebagai perkiraan.

Akibat dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, biasanya diasumsikan bahwa

hubungan mana pun mungkin menimbulkan akibat. Kedua sifat ini memungkinkan peneliti

menafsirkan kasus-kasus secara historis dan merumuskan pernyataan mengenai asal-mula

perubahan kualitatif yang penting dalam situasi-situasi yang spesifik (Mulyana, 2001: 203).

III.2.3 Lokasi Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini dilakukan di Universitas Sumatera Utara yang beralamat di Jl. Dr.

Mansur, Padang Bulan, Medan 20155. Lokasi penelitian tidak hanya berlangsung di dalam

lingkungan kampus, tetapi juga disesuaikan dengan informan.

III.2.4 Subjek Penelitian

Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil penelitian. Hasil

penelitian lebih bersifat kontekstual dan kasuistik sesuai dengan waktu dan tempat pada saat

penelitian dilakukan. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel.

Sampel pada penelitian kualitatif disebut informan atau subjek penelitian, yaitu orang-orang

yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai dengan tujuan penelitian. Informan

dianggap sebagai individu yang aktif mengkonstruksi realitas, tidak hanya sekadar objek

yang hanya mengisi kuesioner (Kriyantono, 2008: 163).Untuk studi kasus, jumlah informan

dan individu yang menjadi informan dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.

Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang memiliki pengalaman sesuai

dengan penelitian,orang-orang dengan peran tertentu dan tentu saja yang mudah diakses

(Bogdan,1992: 5).

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa asal minangkabau di USU yang dibatasi pada

tiga fakultas yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas

Kesehatan Masyarakat sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini minimal

subjek telah menetap selama lebih dari satu tahun dan kurang dari lima tahun.

Pengambilan subjek penelitian atau informan ini di lakukan dengan menggunakan

tekik penarikan sampel bola salju (snowball sampling). Teknik snowball sampling banayak

ditemui dalam riset kualitatif. Sesuai namanya, teknik ini bagaikan bola salju yang

menggelinding dari puncak gunung ke lembah, semakin lama semakin membesar ukurannya.

Jadi, teknik ini merupakan teknik penentuan subjek penelitian yang awalnya berjumlah kecil

kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan informan pertama diminta

Universitas Sumatera Utara


memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan informan berikutnya, sampai pada tahap

itu informan bertambah jumlahnya dan informan pertama tadi menjadi titik awal pemilihan

informan

III.2.5 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti

untuk mengumpul data penelitian. Ada beberapa teknik atau metode pengumpulan yang bisa

digunakan. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan dari metode tergantung

pada madsalah yang dihadapi (Kriyanto, 2008 : 93)

Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling

independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode

wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru

seperti metode bahan visual dan penelusuran bahan internet (Bungin, 2008 : 107)

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Penetian Lapangan (Field Researcj)

1) Metode Wawancara Mendalam (Depth Interview)

Wawancara mendalam secara umum adalah proses keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara

dengan informan atau orang yang diwawancaraia, dengan atau tanpa

menggunakan pedomaman wawancara, dimana pewancara dana informan

terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lain. Dengan demikian keabsahan

wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan

(Bungin, 2008 : 108 )

2) Observasi

Observasi diartikan sebagai kegiatan mengamati serta langsung, tanpa

mediator, sesuatu objek untuk melihat denagan dekat kegiatan yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara


objek tersebut. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang

digunakan pada riset kualitatif. Yang observasi adalah interaksi (perilaku) dan

percakapan yang terjadi anatara subjek yang diriset. Sedangkan observasi yang

digunakan adalah observasi non-partisipan. Observasi non-partisipan

merupakan metode observasi tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti

yang dilakukan kelompok yang diriset, baik kehadirannya atau tidak (Kriyanto,

2008 : 108-110).

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan cara mengumpulkan data yang ada mengenai permasalahan

dengan membaca/mencari literatur yang bersangkutan denagan penelitian

untuk mendukung penelitaian. Dalam hal ini, peneliti kepustakaan dilakukan

melalui buku-buku, surat kabar, jurnal, internet dan sebagainya mengenai

komunikasi antarbudaya dan identitas budaya Minangkabau.

III.2.6 Teknik Analisis Data

Tahap analisis data memegang peranan penting dalam penelitian kualitatif. Yaitu

sebagai faktor utama penilain kualitas penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik analisis

data kualitatif dimana analisis data yang digunakan bila data yang terkumpul dalam riset

adalah data kualitatif beruapa kata-kata. Kalimat- kalimat, atau narasi- narasi, baik yang

diperoleh dari wawancara mendalam maupun observasi (Kriyanto: 2008 : 194). Melalui data

kualitatif , data kualitatif yang diperoleh dari lapangan yang bersifat khusus kepada yang

yang bersifat umum kemudia disajikan dalam bentuk narasi.

Analisis kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil dikumpulkan

periset di lapangan. Data tersebut terkumpul baik melalui proses observasi, wawancara

mendalam, fokus group discussion maupun dokumen-dokumen. Kemudian data tersebut

diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengaklafikasian atau pengkategorian

Universitas Sumatera Utara


ini harus mempertimbangkan keaslian (kevalidan), dengan memperhatikan kompetensi

subjek penelitian, tingkat autensitasnya dan melakukan triagulasi berbagai sumber data.

Setelah diklasifikasikan, periset melakukan pemaknaan terhadap data. Dalam melakukan

pemaknaan atau interpretasi tersebut, periset dituntut berteori untuk menjelaskan dan

beragumentasi(Kriyanto, 2008 : 194-196)

Langkah-langkah analisis data pada studi kasus (Bungin, 2003:30), yaitu:

1. Mengorganisir informasi
2. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode
3. Membuat suatu urain terperinci mengenai kasus dan konteksnya
4. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
5. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural
dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus lain.
6. Menyajikan secara naratif

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pengamatan Wawancara

Peneliti melakukan penelitian terhadap mahasiswa minangkabau yang melanjutkan

jenjang pendidikan strata satu di USU dengan menggunakan teknik snowball sampling.

Peneliti berhenti pada informan kesepuluh karena data yang diperoleh sudah jenuh. Hal ini

disebakan kareana data yang diberikan informan hampir rata-rata mempunyai kesamaan.

Pelaksanaan dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara

yang berlangsung dari bulan September hingga Oktober 2012

Permohonan surat penelitian telah diurus dengan cara meminta persetujuan tertulis

dari fakultas dan telah disampaikan kepada biro rektorat yang kemudian di lanjutkan ke Pusat

Sistem Informasi USU (PSI USU). Sesuai dengan lokasi penelitian, peneliti melakukan

observasi ke tiga fakultas yakni, FISIPOL, FIB dan FKM. Setelah itu peneliti mencari

informasi yang lebih akurat tentang wadah mahasiswa minang berkumpul, ternyata disini

peneliti menemukan Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol USU (IMIB USU) setelah mendapatkan

bantuan dari beberapa teman di IMIB USU kemudian peneliti bertemu dengan ketua IMIB

USU, setelah berbincang cukup lama peneliti menyampaikan maksud dan ketua IMIB USU

mengajak ke acara temu ramah yang tidak terlalu formal, disanalah peneliti bertemu dengan

informan yakni mahasiswa minang yang sedang berstudi di USU dari berbagai daerah di

Sumatera Barat dan dari berbagai Fakultas. Pencarian informan cukup sulit karena kesedian

informan serta karena informan masih merasa masih baru mengenal peneliti, walaupun

peneliti juga menggunakan bahasa minangkabau. Setelah cukup meyakinkan para informan,

peneliti mengumpulkan data dan membuat perjanjian tentang tanggal dan waktu observasi

dan wawancara.

Universitas Sumatera Utara


Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan informan

dan mengikuti jadwal informan sendiri. Di setiap lokasi, peneliti juga selalu melakukan

observasi, khususnya di rumah kost. Melalui wawancara, peneliti mendapatkan pengakuan

tentang culture shock yang mereka alami ketika pertama kali sampai di Medan. Kemudian

peneliti mendapatkan penguatan dan informasi tambahan melalui observasi langsung. Proses

wawancara berlangsung sesuai dengan pedoman wawancara, yaitu dengan membiarkan

informan bercerita untuk memperoleh informasi yang lebih banyak. Ketika melakukan

wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan informasi tentang culture shock dalam hal

interaksi komunikasi antarbudaya, tetapi juga dalam hal makanan, cuaca, lalu lintas dan

sebagainya. Hal ini peneliti jadikan sebagai pelengkap informasi. Tujuan pembuatan

karakteristik informan (usia, jenis kelamin, asal fakultas dan lama menetap) adalah untuk

membantu peneliti menemukan sejumlah kemungkinan terkait hubungan karakteristik

informan dengan culture shock yang dialami dan upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.

Untuk itu, peneliti harus menemukan temuan yang dapat dijadikan kesimpulan nantinya apa

sebenarnya yang berpengaruh pada culture shock yang mereka alami.

Tabel 2

Data Mahasiswa Minangkabau yang Menjadi Informan

No. Nama Jenis Fakultas Angkatan Lama Alamat

Kelamin Menetap

(L/P)

1 Salmi L ISIPOL 2009 3 tahun Jl Wijaya

Hengki kesuma

2 M.Akmal L ISIPOL 2009 3 tahun Jl Dr. Mansur

Nur

Universitas Sumatera Utara


3 Winda P Kesehatan 209 3 tahun Jalan Dr.

Zulfi Masyaraka Sumarsono

t 33/25

4 Silmi P Ilmu 2010 2 tahun Jalan Jamin

Tresia Budaya Ginting Gang

Sarman No.7

5 Frezi P ISIPOL 2010 2 tahun Jalan Jamin

Widianing Ginting Gang

sih Sarmin No.

45A

6 Gally L Ilmu 2010 2 tahun Jalan

Angga Budaya Pembanguna

Ananta n Gang

Rejeki No.5B

7 Dilla P ISIPOL 2011 1 tahun Jl Harmonika

Sepri no 70 P bulan

Susanti

8 Putri P Kesehatan 2011 1tahun Jl Zulkarnain

Oktaviani Masyaraka No 16

9 Masria P Kesehatan 2011 1.5 tahun Jalan Prof.

Umami Masyaraka M. Yusuf

t No.15

Universitas Sumatera Utara


10 Wahyu L Ilmu 2011 1.5 tahun Jalan Jamin

Eko Putra Budaya ginting, Gang

Kamboja

No.27

Dan berikut hasil pengamatan dan wawancara dengan informan :

Informan 1
Nama : Salmi Hengki
Usia : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : ISIPOL
Angkatan : 2009
Lama Menetap : 3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jl Bunga Wijaya Kesuma Pasar V
Tanggal Wawancara : 24 september 2012

Salmi Hengki adalah informan yang pertama ditemui oleh peneliti yang sedang

berada dirumah kontarakannya. Hengki adalah sosok yang bersahaja dan ramah ini terlihat

dari raut wajah yang bersahabat dan cepat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, terlihat

ketika ia mengutarakan tentang karakter orang minang

“Satahu ki urang minag ko dikecekan kareh ndak loo doh, tapi urang minang ko lai
capek baradaptasi jo urang lain atau jo lingkungannyo, dan labiah capek bersosialisasi,
karakter urang minang ko labiah fleksibel”.
(Setahu ki orang minang dikatakan keras tidak juga,akan tetapi lebih cepat beradaptasi
dengan orang lain atau dengan lingkungannya dan lebih cepat bersosialisasi, karakter orang
minag lebih fleksibel).

Ketika pertama datang ke kota Medan Hengki tidak terlalu risih atau cemas jauh dari

orang tua, karena ternyata dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas Hengki telah

berpisah dengan orang tua dikarenakan sekolah yang bagus sangat jauh dari rumah, Hengki

tinggal dibatujanjang kabupaten Solok dan ia bersekolah di kota Solok.

Universitas Sumatera Utara


“Dek dari sekolah SD wk lah jauh juo dari urang gaek, SMP jo SMA, jadi ndak
terlalu asing bagi wk untuak masuak sebuah lingkungan yang baru”
(Karena dari sekolah SD saya telah jauh dari rang tua, SMP dan SMA, jadi tidak
terlalu asing bagi saya ketika masuk sebuah lingkungan baru).

Dalam hal bergaul Hengki ternyata tidak mempermasalahkan perbedaan etnis atau

agama ia beranggapan etnis dan keyakinan adalah hak persoanal seseorang dan tidak terlalu

penting untuk menjadi sebuah permasalahan, akan tetapi sebelum pergi ke kota Medan

sempat terpikirkan bahwa orang medan adalah orang yang kasar dan dengan watak yang

keras.

“Lai ado awak bagaul jo etnis lain katiko dikampus, jo urang batak, melayu, india
bahkan cino pokoknyo sadoalahnyo, Cuma dek lingkungan wak urang padang mako labiah
dakek wak ka urang padang. Dalam gambaran wk medan tu kota yang kareh dan urangnyo
urang batak dan wk anggap urang batak ko urang nan terkenal kareh mangeceknyo, sebab
waktu wk sma dulu ado urang batak dan urang batak tu kareh bukan dek kceknyo se, tapi
prinsipnyo kareh juo”.
(saya juga bergaul dengan etnis lain ketika berada dikampus, sperti orang batak,
melayu,india,cina intinya semua orang, akan tetapi karena dilingkungan tempat tinggal lebih
banyak orang padang karena lebih dekat dengan orang padang.Dalam gambaran saya medan
kota yang kers dan terkenal dengan orang batak seperti berbicara dengan nada yang tinggi
dan prinsipel).

Banyak hal baru yang ditemui Hengki dikota Medan terlebih karena adanya

perbedaan yang sangat jauh antara daerah asal dan Medan, ada beberapa kebiasaan yang tidak

ia lihat ketika dikota Medan khususnya kepada hal yang bersifat pribadi, permaslahan pribadi

lebih cepat menyebar ketika berada didaerah asal dibandingkan dimedan tuturnya.

“Perbedaan di kampuang jo medan, ko kalau dikampuang masalah-masalah pribadi


lebih capek urang tahu sebab dikampuang tu buruak elok wak langsuang capek tahu urang
mungkin dek wilayah nan ketek, beda jo medan ko individualisme urang labiah tinggi jadi
urang dimedan ko ndak ka mau tahu jo masalah wak, paling katiko wak bagabuang dalam
suatu komunitas atau kelompok lah urang mangko katahu, itu pun ndak kasado urang lo bisa
tahu”.
(Perbedaan dikampung dan medan, jika dikampung masalah-masalah pribadi lebih
cepat orang mengetahuinya, sebab dikampung baik dan salah langsung akan diketahui
mungkin karena wilayah yang kecil, berbeda dengan medan individualisme lebih tinngi jadi
orang medan tidak akan ikut mau tahu dengan masalah pribadi saya, kecuali ketika saya
bergabung dalam suatu komunitas atau kelompok orang lain akan mengetahui permasalahan

Universitas Sumatera Utara


saya , dan tidak semua orang didalam komunitas akan mengetahui hanya orang-orang
terdekat).

Setiap individu pasti akan selalu memiliki permasalahan, apalagi ketika berada jauh
dari keluarga dan teman dekat, begitu hal dengan Hengki. Ia juga memiliki masalah selama
menjalani pendidikan dimedan, akan tetapi ia memiliki solusi ketika permasalahan tersebut
muncul, seperti permasalahan dalam kuliah, cara bergaul dan bertanya kepada senior menurut
ia adalah cara mengatasinya.

“Misalnyo waktu tu masalah makan, karano ado perkumpulan minang disitulah awak
banyak batanyo dima tampek makan, tampek bali buku selain tu ado dari senior-senior di
kampus atau di kost yang maagiah awak arahan.pokoknyo sadoalah tentang medan ko wak
tahu dari komunitas mahasiswa minang dan senioren awak dikampus”.
(Seperti masalah makan, karena da perkumpulan mahasiswa minag disanalah saya
banayak bertanya dimana tempat makan, tempat beli buku murah, selai itu juga bertanya
kepda senior-senior dikampus atau kost yang memberi saya arahan)

Banyak hal baru yang menjadi pembelajaran bagi Hengki. Ia memaparkan

mengahargai orang lain sangat penting jika kita juga ingin dihormati, begitulah cara ia

mengatasi perbedaan budaya disekitar lingkungan baru.

“Pelajaran yang awak dapek, awak jadi lebih menghargai urang lain, sebab awak
basobok jo urang-urang nan berbeda, dari situ awak bisa mancaliak baa gaya hidup urang,
bantuaknyo ado alasan masing-masing setiap urang tu, baa kok anyo bersikap seperti nan
awak caliak, dan katiko awak hargai urang lain, mako disitu lah awak akan dihargai urang
lain disitulah muncul jiwa-jiwa toleransi awak terhadap urang lain”.
(Pelajaran yang saya dapatkan, syaa lebih menghargai orang lain, sebab saya
berjumpa dengan orang yang berbeda, dari situ saya bisa melihat bagaimana gaya hidup
orang lain, sepertinya ada alasan tersendiri mengapa orang bersikap seperti yang terlihat, dan
karena itu saya menghargai orang lain, agar orang lain menghargai kita dan dari situlah
muncul sikap toleransi terhadap perbedaan dengan orang lain).

Dipenghujung pertemuan Hengki memberikan saran jika ingin melanjutkan

pendidikan diluar sumatera barat khususnya di kota Medan

“Yang partamo jaan malu-malu batanyo, jaan jadi uarang yang sok tahu wak katiko
dinagari urang ko, apo lai nan baru bapisah jo urang gaek, itu biasonyo urang tu maraso
masih barado dirumah dan itu sangat babahayo sebab ndak ado jaminan apo yang wak
inginkan bisa terwujud.intinyo jaan pernah manyamoan diri dirumah dan dirantau urang
ko”.
(Yang pertama jangan malu-malu bertanya, jangan jadi orang yang sok tahu kita
ketika ditempat lain, apalagi berpisah dengan orang tua, biasanya orang masih merasa masih
bagaikan dirumah sendiri dan itu sangat berbahaya sebab tidak ada jaminan apa yang kita

Universitas Sumatera Utara


inginkan akan semua terwujud. Intinya jangan pernah menyamakan dirumah dan di negeri
orang).

Kesimpulan

Hengki mengalami culture yang tidak terlalu sulit, karena ia telah terbiasa dengan

lingkungan baru dan cepat beradaptasi, akan tetapi kebiasaan yang menyangkut persoalan

masalah pribadi sangat berbanding terbalik antara masyarakat kota medan dan didaerah asal,

dengan kepribadian yang terbuka hengki lebih cepat menerima kebudayaan dari orang lain

dan penghargaan terhadap perbedaan budaya-budaya lain menjadi kunci baginya ketika

menghadapi karakter orang-orang dikota Medan. Komunikasi antar budaya menjadi peranan

bagi hengki untuk memahami makna-makna dibalik perkataan yang keras seperti streotype

yang telah terbayangkan ketika belum mencapai kota Medan.

Informan 1
Nama : M. Akmal Nur
Usia : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : ISIPOL
Angkatan : 2009
Lama Menetap : 3 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jl dr Mansyur
Tanggal Wawancara : 28 september 2012

Informan berikut adalah seorang anak nagari minangkabau yang bersal dari daerah

Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Peneliti menemui Akmal atau lebih dikenal oleh

teman-teman sejawatnya dengan panggilan datuak, di salah satu toko retail outdoor yang

bernama eiger, Akmal juga seorang petualang yang sangat menggemari dunia outdoor atau

pecinta alam ia tergabung didalam salah satu mahasiswa pecinta alam (mapala) unit kegiatan

Universitas Sumatera Utara


mahasiswa Korps Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Sumatera Utara (KOMPAS USU).

Peneliti langsung bertanya mengapa akmal dipanggil datuak, karena menerut dan

sepengetahuan peneliti datuak adalah gelar ketua suku yang sangat bertuah didaerah

minangkabau. dan akmal pun menjawab

“Waktu ado penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi urang

minang, jadi disitu ado pemilihan datuak jo bundo, kebetulan lah awak nan tapiliah sajak

itulah kanti-kanti maimbau awak datuak”

(Sewaktu ada penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi orang

minang, jadi ketika dalam acara diadakan pemilihan datuak dan bundo, kebetulan saya yang

terpilih sejak itulah teman-teman memanggil saya datuak)

Setelah mendengar jawaban tersebut agar lebih akrab peneliti memanggil akmal

dengan datuak, informan tidak keberatan. Akmal dahulu sewaktu masa SMP dan SMA

melalui massa di pondok Pesantern IV Angkek Canduang akan tetapi karena ada suatu

permasalahan yang melibatkan akamal ia pindah sekolah ketika akan naik kelas tiga SMA,

namun dasar agama cukup kuat tertanam dalam diri akmal.datuak berinteraksi seperti orang-

orang biasa lainnya, ia sosok pribadi yang cukup terbuka terhadap lingkungan sekitar.

“Buliah di kecekan biaso-biasosenyo kebetulan pas baru bana tibo dimedan ko awak

tingga samo mak tuo wak, jadi ndak kontras bana lah rasonyo dirumah jo dimedan, pas

dikost patangtu interaksi ndak bitulah bana doh, sebab wak baduo se jo bang zulfikar nan

muslim jadi sekedar say helo senyo,Cuma dek lah cukuik lamo cukuik akrab juo jadinyo tapi

sabateh kawan se”

(Boleh dikatakan biasa-biasa saja, kebetulan pertama kali datang ke Medan saya

tinggal untuk sementara dirumah tante, jadi tidak terasa perbedaan anatara dirumah dan

dimedan, waktu kost tidak juga terlalu berinteraksi, seaba saya dan bag Zulfikar yang hanya

Universitas Sumatera Utara


muslim jadi dengan penghuni kost lain hanya sekdar say hello, akan tetapi cukup akrab

sebagai teman)

Perbedaan agama cukup menjadi masalah dan halangan ketika akmal berinteraksi

ketika baru tinggal dirumah kost-kosan, sampai akhirnya akmal sekarang tinggal dan

sekaligus bekerja ditoko retail outdoor.

“Partamokan ado senior wak di KOMPAS USU, sebelum tu wak alun tahu jo senior

tu lai, wak masuak kompas awal 2011, disitulah wak kenal jo pemilik kadai ko, tu kalo ndak

salah sabulan sudatu di telpon no wak, keceknyo dek ndak ado nan manjago kadai ko

ditawarannyo wak, tu wak pikia-pikia ado untuangnyo, selain wak bagaji, tampek tingga gae

perai ndak mambayia, tu nan pasti wak lai suko pulo manggaleh”.

(Pertama ada senior saya di KOMPAS USU, sebelumnya saya belum tahu dengan

senior. Saya masuk KOMPAS USU awal tahun 2011, disanalah saya kenal dengan pemilik

toko ini, kalo tidak salah satu bulan datang panggilan dan ditawari untuk menjaga toko dan

sekalian tinngal disini lumayan tempat tinggal gratis,dan saya juga suka berdagang).

Setelah cukup bercerita mengenai kegiatan sehari-hari, informan tidak terganngu


menjalani dua kegiatan, selain kuliah dan berdagang, selanjutnya peneliti mulai membuat
perbandingan atau perbedaan pada tahap dirumah dan dimedan, dan berikut penuturan dari
informan. Serta tanggapan akmal ketika melihat cara bergaul anak muda dikota Medan.
“Baa ka baa lasuah dikampuang, tapi disiko namonyo manusia awak sabagai urang

minang marantau istilahnyo untuak anak mudo harago mati kalau ndak ado usaho

dikampuang ancak marantau wak lai. Jadi untuangnyo disiko manambah wawasan wak yang

partamo pasti kuliah, karajo dan dapek pangalaman nan baru”

(Bagaimanapun dikampung lebih baik, tapi disini namanya manusia sebagai orang

minag marantau istilahnya bagi anak muda adalah harga mati jika tidak ada usaha dikampung

lebih baik saya merantau. Jadi kelebihannya pertama menambah wawasan dari kuliah dan

kerja mendapat pengalaman baru)

Universitas Sumatera Utara


“Kalau dari segi pergaulan ndak lo doh, sebab dulu wak lai juo pai marantau ka kota

Gadang atau metro politan Cuma tu lah walaupun kota gadang tapi insfrasrukturnyo banyak

nan ndak layak pakai caliak lah angkotnyo jalannyo bedo jauh lah jo bukittinggi”.

(Dari segi pergaulan tidak terlalu mengejutkan, sebab dahulu saya juga telah merantau

ke kota besar atau metropolitan, Cuma terkejut melihat angkutan umum dan jalan yang

semberaut dikota medan)

Dalam perkulihaan ternyata informan tidak terlalu mengalami kendala, akan tetapi ia
menyesalkan tidak adanya keahlian yang lebih spesifik ketika tamat dari FISIP, berikut ini
pendapat akamal.

“Ado tapi ndak bitulah bana doh,Cumo tu lah kalo awak anak fisip ko memang harus

berorganisasi kalo maarokkan dari dosen se ndak kaado dohh, mencari keahlian wak yang

lain memang harus diorganisasi, po lai nantik untuak dunia kerja fisip ko masih ngambang,

di awang-awang mangko no wak butuh keahlian lain untuak manunjang wak nantik mode

awak jurusan administrasi negara kan ndak harus karajo dipemerintahan mungkin se

diwirausaha”.

(Tidak ada keahlian yang menunjang ketika tamat dari FISIPOL kalau diharapkan

pekerjaan dari pemerintah itu mustahil mungkin wirausaha juga jalan yang cukup bagus)

Masuk kedalam multikultural, kebiasaan-kebiaasaan masyarakat kota Medan akmal


memiliki statement tersendiri dan kesulitan bahasa juga dialami oleh akmal.

“Kalau bahaso lai lah tapi ndak lamo bana lo doh, kalo soal budaya dikota medan ko

ndak jaleh se, istilahnyo kama angin baambuih kakian lo baliang-baliang baputa, apo nan

trend itu lo diikuti ado nan iko, iko lo baikuikan, ado nan baru langsuang lo batuka,

Universitas Sumatera Utara


kebanyakan ndak baprinsip lah mulai dari bapakain sampai caro mangecek, kini k-pop

bisuak ntah apo lolai. Mungkin dek dimedan ko majemuk multi etnis multi agamo jadi

panutan tu ndak jaleh se, kalau dikampuang kan ado datuak atau nan tuo jaleh ka jadi

panutan.”

(Ada kendala bahasa, ketika diawal-awal berkomunikasi, namun kendala tersebut

dapat diatasi dalm waktu yang tidak lama, budaya kota medan tidak jelas, istilahnya kemana

angin berhembus kesana arah baling-baling menghadap, setiap yang baru selalu ditiru dan

kebanyakan tidak berprinsip mulai dari cara berpakain, cara berbicara, sekarang k-pop (korea

pop) besaok natah apa lagi, mungkin karena medan majemuk multi etnis, multi agama, jadi

tidak ada yang menjadi panutan, beda dengan di kampung ada panutan seperti datuak atau

orang tua pastinya).

Akamal sosok yang berprinsip dan cukup teguh memegang sandi-sandi nilai budaya
minangkabau tercermin dari filosofi hidup yang dipegangnya, banyak hal-hal yang membuat
peneliti cukup terkejut dengan peneturan akmal yang dalam maknanya.

”Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, ingek dahan kamaimpok ingek

ranting ka malantiang, kalau sasek diujuang jalan babaliak kapangka jalan”.mungkin tu

bahubuangan jo kahidupan awak jo agamo yang awak jalani,seandainyo awak baa-baa,

awak lupo atau cilako jo kehidupan wak surang pasti karano awak surang bukan karano

urang lain nan maksud wak tu kalo wak lah terlalu jauh maninggaan agamo ingek-ingek lah

baliak, baliak lah kapangka.

(Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, ingat dahan akan menghimpit, ingat

ranting akan terpelintir, mungkin itu berhubungan dengan kehidupan yang saya jalani,

seandainya ada masalah atau saya lupa dan celaka, maka pasti karena ulah diri sendiri,

Universitas Sumatera Utara


maksudnya mungkin kita terlalu jauh dari agama , maka ingat kembali balik lah keasal yaitu

agama).

Pemahaman yang telah didapatkan oleh akmal telah menjadi bekal untuk menempuh
pendidikan dan jauh dari orang tua, rasa horma dan harga menghargai menjadi kunci utama
dalam menempuh saat-saat melanjutkan hidup di negeri orang. Peneliti menanyakan tentang
pemahaman atau pelajaran dan pengalaman yang telah didapatkan oleh akmal

“Ado da, mode ko wak pahami da ibaratnyo” “elok-elok jo tampuo basarang

randah”..

“Tampuo tu labah, biasonyo labah tu kan basarang tinggi-tinggi bantuak diateh

batang karambia, kalaunyo basarang randah pasti ado panjagonyo dibawah kok ula nan

basarang atau pinyangek nan baracun, artinyo dalam wak bersosialisasi di masyarakat yaitu

urang nan marandah bukan urang sok tu pasti ado kalabihannyo ado palinduangnyo, ado

ilmunyo, ilmu disiko ado ilmu agamonyo, walupun wak sapele mancaliak urang tu tapi kalu

dimato tuhan tinggi derajat urang tu. Ndak baa wak hormat ka urang mode tu dari pado

urang nan dari lua tampang covernyo rancak tapi nyo sombong”. “salah urang mangko

salah awak, salah awak mangko nampak salah urang, dek awak nan salah mangko

nampak urang tu nan salah”.

(Maksudnya adalah dimana tawon bersarang rendah maka dibawahnya pasti ada

penjaganya ada ular atau binatang beracun lainya, makna di balik itu adalah tidak semua

orang yang merendah diri adalah orang yang rendah, dibalik kerendahannya pasti ia memiliki

pegangan ilmu pengetahuan serta pengetahuan agama yang baik, ketika kita melihat

kesalahan orang alain, lihatlah terlebih dahulu kesalahan kita, maka kesalahan orang lain

terlihat karena kita juga memiliki kesalahan).

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan

Akmal juga mengalami gegar budaya akan tetapi tidak terlalu dalam skala yang besar,
dilihat dari tutur kata serta mimik berbicara ia seorang yang bijak dan telah mendapatkan
pedoman-pedoman adat dan agama yang baik, tidak terlalu menjadi permasalahan ketika ia
harus jauh dari orang tua, akan tetapi masalah perbedaan agama tetap menjadi hal yang
sensitif baginya, namun lambat laun perbedaan dapat diterima ketika berinteraksi dalam
waktu yang cukup lama dan pencegahan serta cara mengatasi linkungan yang baru ia
berpedoaman kepada pituah-pituah minang dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari.

Informan 3

Nama : Winda Zulfi


Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Angkatan : 2009
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Dr. Sumarsono 33/25
Tanggal Wawancara : 20 Oktober 2012

Winda adalah informan ketiga yang peneliti wawancarai. Peneliti mendapatkan


informasi tentang Winda dari data yang diperoleh di sekretariat IMIB USU. Winda adalah
mahasiswa Minang yang berasal dari Kota Pasaman. Sebelum merantau ke Medan, ia telah
tinggal berpisah dari orang tuanya sejak menempuh pendidikan Tsanawiyah (setara SMP)
dan SMA di Kota Padang Panjang selama lebih kurang 6 tahun. Wawancara berlangsung di
kampus Fakultas Kesehatan Masyarakat, tepatnya di sanggar FKM. Ketika peneliti datang
Universitas Sumatera Utara menghampiri informan, Winda sedang berdiskusi dengan
mahasiswa Minang lainnya, yakni Hengki, Ririn serta beberapa orang teman lainnya. Tutur
katanya lembut dan sopan. Selama wawancara berlangsung, ia pun ekspresif dalam
menggambarkan suasana hatinya.

Universitas Sumatera Utara


Di dalam keluarga Winda, bahasa Minang masih tetap digunakan, baik dengan
sesama anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitarnya. Ketika Winda berada di
Medan pun, ia juga tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman Minangnya.
Winda yang sering menyebut dirinya Inda mengatakan sebagai berikut:

“Kalau di keluarga iyo masih pake bahaso Minang, paliang ciek-ciek katonyo yang

pakai bahaso Indonesia. Di siko kalau samo-samo urang Minang Inda sobok jo kawan-

kawan yang ndak Minang, pake bahaso Indonesia, tapi kadang pake bahaso Minang”.

(Kalau di keluarga, iya, masih menggunakan bahasa Minang, paling satu-satu kata

saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Di sini kalau bersama teman-teman Inda yang

Minang kalau bertemu dengan kawan-kawan yang bukan, menggunakan bahasa Indonesia,

tapi kadang menggunakan bahasa Minang).

Selain itu, keberadaan mamak di dalam keluarga Winda juga masih berperan dalam
penyampaian dan pengajaran tata krama dan sopan santun kepada Winda. Termasuk ketika
Winda menghadapi masalah, mamaknya lah yang lebih dahulu berperan dalam pemecahan
masalah tersebut. Kedekatan ia dengan mamaknya sudah terbentuk sejak Winda kecil karena
mamak dan ibunya masih tinggal di rumah yang sama.
“Ketika wak bersikap jo urang gitu, kalau ado yang salah langsung inyo capek

tanggap gitu, mangecekan langsung ka Inda sabalum ka ama, kadang labiah acok nyo dulu

mengecekan ka Inda daripado ama mengecekan ka Inda. Soalnyo dakeknyo tu katiko Nda

ketek-ketek nyo lah tingga jo ama Nda, jadi lah Universitas Sumatera Utara

dakek”.

(Ketika kita bersikap kepada orang lain gitu, kalau ada yang salah dia langsung cepat

tanggap, menyampaikan langsung kepada Inda sebelum kepada mama, kadang dia lebih

sering yang menyampaikan langsung kepada Inda, bukan mama. Karena kedekatannya dulu

ketika Nda masih kecil dia sudah tinggal bersama mama, jadi sudah dekat).

Universitas Sumatera Utara


Ketika Winda hendak melanjutkan pendidikannya di Medan, ia pun masih ingat
dengan nasehat-nasehat mamaknya. Salah satunya adalah bagaimana menjaga sikap ketika
bergaul dengan orang lain. Mamaknya berpesan agar ia berpandai-pandai dalam bergaul,
jangan menggunakan kata-kata yang kasar. Seperti yang disampaikannya kepada peniliti
berikut ini.
“Kalau ka urang tu pandai-pandai lah, jan kasa-kasa gitu a, pandai-pandai la

bakawan di rantau”.

(Kepada orang lain berpandai-pandai lah, jangan kasar-kasar, pandai-pandai lah

berteman di rantau).

Akan tetapi, setibanya di Medan Winda mengalami culture shock yang membuatnya
terkejut. Mulai dari suasana lingkungan Medan hingga dialek yang kasar. Bahkan ia
menangis ketika pertama kali disapa dengan kata “Kau’. Hal ini tampak dari ekspresi
wajahnya yang memelas ketika bercerita kepada peneliti.

“Medan ko kasa, ndak nio do, sumpah ndak nio do. Di siko kumuah, angek, banyak

debu, polusinyo terlalu banyak, angek bana ko a, lameh Inda patamo di siko. Pas awal

matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo dek urang, takajuik la Inda gitu a.”Kau

dari mana?” eh…ya Allah, di pa kau an nyo Inda. Agak cangguang Inda mandanganyo

patamo, tapi nyo biaso-biaso se, inyo santai-santai se, Inda yang respon Inda takajuik.

Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, mandanga dialeknyo mangecek gitu kan, apolagi

supir angkot, takuik Nda. Apolagi pas ospeknyo tu a, Inda kanai berang, talambek, tu ado

kakak manyapo Inda, tu Inda sapo, tu diberangan dek urang. Nangih Nda”.

(Medan ini kasar, tidak mau, sumpah tidak mau. Di sini jorok, panas, banyak debu,

polusinya terlalu banyak, panas sekali, lemas Inda ketika pertama kali di sini. Waktu awal

matrikulasi, Inda hampir menangis, Nda di panggil “Kau” oleh orang lain, terkejut waktu itu.

“Kau dari mana?” eh…ya Allah, di panggil kau. Agak canggung Inda pertama kali

Universitas Sumatera Utara


mendengarnya, tapi dia biasa-biasa saja, respon Inda yang kaget waktu itu. Orangnya gimana

ya, karena kita baru-baru gitu, mendengar dialeknya seperti itu, apalagi supir angkot, Inda

takut. Apalagi ketika ospek, Inda dimarahi, terlambat, lalu ada kakak yang menyapa, Inda

sapa, terus dimarahi sama yang lain. Inda nangis).

Pada masa awal menjalani kehidupannya di Medan, Winda merasa canggung dengan
bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Baginya dan bagi sebagian besar orang
Minang, kata “Kau” memang dianggap kata sapaan yang kasar. Sehingga dalam situasi
percakapan sehari-hari kata itu memang jarang digunakan dalam lingkungan Minangkabau.
Selain itu, Winda juga mengeluh tentang keadaan cuaca yang panas karena ia terbiasa dengan
cuaca Kota Padang Panjang yang relatif sering hujan dan dingin.

Culture shock yang dialami Winda membuatnya merasa takut kepada beberapa orang
yang memiliki perawakan agak kasar, misalnya seperti supir angkot dan tukang becak. Winda
bahkan takut untuk menyewa jasa tukang becak saat itu.
Di lingkungan kampus, Winda mengaku lebih sering bergaul dengan orang-orang di luar
etnis Minangkabau. Pada awalnya, karena teman-temannya yang sesama orang Minang
berbeda kelas dan hanya dialah yang berbeda di antara teman-temannya yang lain. Oleh
karena itu, Winda lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di luar etnis Minangkabau.
Lama kelamaan, kondisi ini membuatnya merasa lebih nyaman berada bersama orang-orang
di luar kelompok etnisnya sendiri. Winda menceritakan, bahwa hal ini dikarenakan ia merasa
orang-orang tersebut lebih peduli terhadapnya daripada teman-teman yang seetnis dengannya.

Ada persaingan yang ia rasakan ketika bergaul dengan sesama orang Minang
sehingga ada rasa ketidakpedulian. Misalnya, dalam berbagi bahan kuliah, Winda lebih
banyak mendapatkan bantuan dari teman-temannya yang lain daripada teman-teman etnis
Minangkabau.Akan tetapi di samping hal itu, Winda tetap merasa senang dengan teman-
teman Minangkabaunya. Suasana kekeluargaan dan kebersamaan yang ia rasakan bersama
anak-anak Minang lainnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Winda. Walaupun dalam
kesehariannya Winda lebih sering bergaul dengan teman-temannya yang di luar etnis
Minangkabau, ia tetap menerapkan nilai-nilai budaya yang ia terima selama ini. Dengan
menjaga sopan santun dan tata krama dalam bergaul Winda dapat beradaptasi dengan

Universitas Sumatera Utara


lingkungan baru dan mendapat teman-teman baru. Salah satu falsafah Minang yang
mengajarkan tata krama bergaul adalah kato nan ampek, seperti yang juga diceritakan Winda
ketika peneliti menanyakan tentang bagaimana ia menerapkan budaya Minang dalam
kehidupannya sehari-hari.

“Kalau dek Inda dari sopan santun la bisa dikatokan ba a caro wak bergaul jo urang

gitu, ba a caro wak bersikap jo urang yang lebih tuo dari awak, kan kalau misalnyo di

Minang itu tu bana nan dipacik gitu a, kato nan ampek”.

(Kalau bagi Inda bisa dikatakan dari sopan santun bagaimana cara kita bergaul dengan

orang lain begitu, bagaimana caranya bersikap dengan orang yang lebih tua dari kita, kalau di

Minang hal itu sangat dipegang teguh, kato nan ampek).

Selain kato nan ampek, Winda tetap menggunakan bahasa Minang dengan sesama teman

seetnisnya. Dengan begitu, ia membiarkan orang lain tahu bahwa ia adalah orang Minang.

Bahkan ia mendapatkan panggilan “Dindo” oleh teman-teman di kampusnya.

Bagi Winda ketika bergaul, jika kita ramah dan bersikap. positif kepada orang lain,
maka orang lain akan baik juga kepada kita, bahkan mungkin lebih baik. Oleh karena itu, kita
harus pandai-pandai dalam bergaul. Hal ini tampak ketika peneliti sedang mewawancarai
Winda, banyak teman-teman yang kebetulan lewat menyapa dan melontarkan senyum
kepadanya.

Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan dengannya, Winda


juga saling bertukar informasi tentang latar belakang budayanya. Salah satu cerita menarik
adalah ketika Winda menceritakan seorang teman dari Padang Sidempuan yang memiliki
stereotip terhadap orang Minang. Menurut temannya ini, orang Padang itu curang dan pelit
padahal di Medan juga ada stereotip “Manipol, Mandailing Polit”, tetapi Winda tidak
mengatakan hal itu kepada temannya. Mendengar hal ini, Winda mencoba menjelaskan
kepada temannya bahwa tidak semua orang Padang seperti itu. Winda berusaha untuk
mengubah pandangan yang seperti itu terhadap orang Minang dengan membuktikan kepada

Universitas Sumatera Utara


temannya bahwa ia adalah orang Minang dan tidak seperti hal yang disangkakan oleh
temannya itu.

Selama lebih kurang dua tahun menetap di Medan, Winda merasakan beberapa
perbedaan yang membedakan antara kelompok etnisnya dengan orang-orang di luar
kelompok etnisnya sendiri. Misalnya dari cara berpakaian, menurut Winda teman-teman etnis
Minangkabaunya lebih rapi dan harum daripada orang-orang dari etnis lain seperti etnis
Batak.

“Misalnyo kayak dari caro berpakaian la, kalau menurut Inda dari kawan-kawan

yang Nda caliak di siko, lai la rapi-rapi gitu, harum, kalau urang di siko, urang bataknyo dak

harum do, Inda se duduak di sabalah urang tu, mual gitu, ntah ba a dak tau Nda do, kalau

untuak tampilannyo dari kawan-kawan Inda yang urang Batak dak rapi do”.

(Misalnya seperti dari cara berpakaian, kalau menurut Inda dari kawan-kawan yang

Inda perhatikan di sini, rapi-rapi gitu, harum, kalau orang di sini, orang Bataknya tidak harum,

Inda kalau duduk di sebelah mereka, mual gitu, ntah kenapa, Nda juga tidak tahu, kalau untuk

penampilannya dari kawan-kawan Inda yang orang Batak tidak rapi).

Seiring dengan berjalannya waktu Winda sudah bisa menerima perbedaan-perbedaan


yang ada antara budaya yang dimilikinya dengan budaya yang ada di Medan. Sekarang
Winda sudah tidak lagi sedih jika ada yang menyapanya dengan kata “Kau”, ia juga sudah
tidak takut lagi untuk pergi sendiri dengan menyewa becak ataupun menggunakan jasa
angkot.

Kesimpulan Kasus

Winda memiliki latar belakang keluarga yang masih menerapkan budaya


Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Winda juga memiliki seorang mamak yang
sangat berperan dalam penanaman nilai-nilai sopan santun dan tata krama kepadanya. Winda

Universitas Sumatera Utara


merupakan sosok pribadi yang suka bergaul, hal ini dikarenakan ia sudah memiliki
pengalaman hidup jauh dari orang tua dan lingkungan keluraganya sejak masih Tsanawiyah.
Sehingga ia sudah memiliki pengalaman merantau walaupun masih di dalam provinsi
Sumatera Barat.
Culture shock yang ia alami, karena banyak perbedaan yang tidak disangka-sangka
Winda sebelumnya. Tidak cukupnya informasi yang ia miliki tentang daerah baru yang akan
ia tempati juga menjadi salah satu faktor keterkejutannya. Seperti bahasa yang ia anggap
lebih kasar dan keadaan lingkungan yang panas, kotor dan banyak polusi. Akan tetapi, karena
sikap Winda yang ramah, sopan dan suka bergaul, ia diterima dengan baik oleh teman-teman
barunya yang berbeda latar belakang budaya. Situasi seperti ini sangat membantu Winda
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya.Walaupun awalnya memang terdapat
berbagai stereotip antara Winda dan orang-orang yang berbeda budaya dengannya, akan
tetapi hal ini perlahan-lahan dapat diatasi dengan adanya interaksi di antara mereka. Bahkan
Winda menjadi lebih nyaman dekat dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya
karena adanya rasa saling peduli antara satu sama lain. Winda bisa saling terbuka, percaya
dan berbagi informasi tentang diri dan latar belakang budaya yang dimilikinya. Dengan
lamanya waktu yang dilalui, perbedaan-perbedaan
itu kemudian dapat dipahami dan diterima sebagai sebuah kondisi sosial yang ada.

Informan 4
Nama : Silmi Tresia
Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarman No.7
Tanggal Wawancara : 20 Oktober 2012

Silmi adalah mahasiswa Minang asal Kota Batusangkar. Peneliti sudah mengenal
informan sebelumnya ketika Kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru IMIB USU. Kesan
pertama ketika peneliti mengenal Silmi adalah ia sosok yang pemalu, dan tidak terlalu banyak
berbagi cerita apalagi untuk memulai percakapan. Pada saat itu, ia belum mengenakan
kerudung seperti sekarang. Peneliti memilih Silmi sebagai informan berikutnya, karena ia

Universitas Sumatera Utara


memiliki karakteristik yang berbeda dengan informan sebelumnya. Selama ia menetap
Medan, peneliti sendiri dapat melihat beberapa perubahan yang terjadi pada diri Silmi.
Sekarang ia tidak lagi malu-malu untuk berbicara, bahkan ketika diwawancarai, ia mau
bercerita panjang lebar kepada peneliti.

Di keluarga Silmi budaya Minang memang tidak begitu ketat. Hanya saja nilai-nilai
kesopanan dan tata krama masih sangat ditekankan dan bahasa Minang masih tetap
digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Akan tetapi, karena beberapa orang di antara mamak-
mamaknya sudah banyak yang merantau, pengajaran nilai-nilai budaya yang harusnya
didapatkan oleh keponakan seperti Silmi, tidak terlalu banyak ia dapatkan. Kalaupun ada
yang tinggal di dekat rumah, hubungan Silmi dengan mamaknya ini juga tidak terlalu dekat.
Karena peran mamak tidak terlalu berfungsi dalam pewarisan nilai-nilai budaya, maka yang
menggantikan posisi ini di dalam kehidupan Silmi adalah ayahnya.

“Pengajaran tentang budaya Minang buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak

Sil lah pai marantau, ado di Pakanbaru, Bandung, Jakarta, yang ado dakek rumah, cuma yo

saketek-saketek gitu, dak terlalu”.

(Pengajaran tentang budaya Minang bias dikatakan tidak ada, karena mamak-mamak

Sil sudah pergi merantau, ada yang di Pekanbaru, Bandung, Jakarta. Ada yang di dekat rumah,

tetapi hanya mengajari sedikit-sedikit saja).

Silmi memiliki pandangan yang positif terhadap identitas budaya yang dimilikinya.

Bahkan menurutnya, budaya Minang memiliki keunikan. Selain karena budayanya yang juga

menerapkan nilai-nilai Islam, juga karena budaya Minang sangat menekankan nilai-nilai

moral. Walaupun di zaman modern seperti sekarang, kebudayaan tradisional Minang pun

masih tetap menarik untuk dinikmati.

Universitas Sumatera Utara


“Menurut Isil, budaya Minang itu, emang yo bana-bana Islamnyo kuek gitu, kayak

urang lain tau kalau urang Minang pasti urang Islam, kalau adaik Minang kan adaik

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo, trus

nilai-nilai moralnyo, yo bana-bana diparatian. Walaupun kini lah zaman modern, tapi pas

ado acara-acara tu lah lamo dak ditampilkan tetapi tetap menarik, dak di siko, dak di

padang, tetap menarik gitu, punyo keunikan surang-surang la.

(Menurut Isil, budaya Minang itu, memang benar-benar kuat Islamnya, seperti orang

lain menilai kalau orang Minang itu pasti beragama Islam, adat Minang mengajarkan adaik

basandi syarak, syarak basandi kitabullah, jadi memang lebih kental ke ajaran agamanya,

kemudian nilai-nilai moralnya, memang benar-benar diperhatikan. Walaupun sekarang ini

sudah zaman modern, tetapi kesenian Minang tetap menarik, tidak peduli di sini atau pun di

Padang, memiliki keunikan tersendiri).

Ketika berada di Medan, ia sering mengingatkan pada dirinya sendiri bagaimana


seharusnya ia sebagai orang Minang dalam bersikap. Nilai-nilai yang diajarkan oleh orang
tua terutama oleh Ayahnya menjadi pegangan Silmi dalam bertingkah laku dan menjaga
sikap. Hal ini sudah ia tekankan sendiri dari dulu dalam dirinya.

Perjalanan Silmi untuk mengambil keputusan melanjutkan pendidikan di Medan


ternyata tidak mudah. Ia banyak mengalami tekanan dalam dirinya karena apa yang terjadi
tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi ini adalah pertama kalinya ia harus jauh dari
orang tua. Silmi memang memiliki keinginan untuk merantau keluar daerah tetapi bukan
USU melainkan ke UI. Tetapi karena ia sudah lulus di USU dari jalur PMP, akhirnya ia tidak
lagi mengikuti ujian saringan masuk universitas yang lain. Kurangnya informasi tentang USU
dan tidak pernah membayangkan akan melanjutkan pendidikan di Medan membuatnya ragu
untuk melanjutkan perkuliahan di sini. Silmi menceritakan kepada peneliti bagaimana
kecewanya ia ketika harus melanjutkan pendidikan di USU. Ia terkejut dengan keadaan dan
fasilitas yang ada di Fakultas Sastra pada saat itu.

Universitas Sumatera Utara


“Dak tau, soalnyo sosialisasi USU ko dak ado dulu do. Iyo bana-bana kurang pengetahuan

tentang USU, dak tau do. Apalagi pas tibo di kampus keperawatan, kayak hutan belantara,

ndak ado lai”.

(Tidak tau, karena sosialisasi USU dulu tidak ada. Pengetahuan tentang USU sangat

kurang, benar-benar tidak tau. Apalagi ketika sampai di kampus Keperawatan, seperti hutan

belantara).

Kekecewaan yang ia rasakan dan perbedaan nilai-nilai masyarakat di Medan


membuatnya enggan untuk bersosialisasi. Ia lebih memilih untuk tidak peduli. Hal ini sangat
ia rasakan ketika pertama kali mengalami ospek di kampus. Kata “Kau” yang digunakan oleh
sebagian besar orang di Medan memang bermakna kasar bila dipandang dari budaya Minang
sehingga Silmi pun pernah merasa sakit hati karena diperlakukan seperti itu. Ini adalah salah
satu bentuk culture shock yang ia alami.

Karena kejadian itu, Silmi kemudian memilih untuk berteman dengan sesama etnis
Minangkabau saja. Bahkan ia menjaga jarak dengan orang-orang yang ia anggap kasar dan
lebih banyak bergaul dengan sesama muslim. Pada saat Silmi mulai menetap di Medan
hampir setiap malam ia menangis. Untungnya ketika itu, Silmi sudah berteman dengan Memi,
teman sesama etnis Minangkabau yang juga berasal dari Batusangkar. Ketika itu, ia masih
sangat tergantung dengan Memi, ke mana pun pergi harus ditemani. Memi memiliki peran
tersendiri untuk membantu Silmi bisa beradaptasi dengan lingkungan Medan. Silmi tidak
mau terlalu memusingkan bagaimana bersosialisasi di Medan ketika itu, ia hanya ingin fokus
dengan kuliah yang akandijalaninya.

Dengan cara itulah perlahan-lahan Silmi bisa menerima keadaan, walau awalnya ia
merasa terpaksa harus kuliah di Medan. Lama kelamaan karena keterpaksaan itulah ia mulai
mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan di Medan. Mau tak mau ia harus bergaul
dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan dirinya. Misalnya
dalam mengerjakan tugas kelompok di kampus, tentu ia harus bisa berbaur dengan teman-
teman kelompoknya.

Universitas Sumatera Utara


Sejak Silmi pindah ke rumah kos yang baru, ia jadi lebih banyak bergaul dengan
orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda pula. Di rumah kos yang baru
itu pula ia lebih sering berinteraksi dengan orang lain. Mereka saling berbagi cerita sehari-
hari dan juga saling menceritakan kebudayaannya masing-masing. Ketika peneliti berkunjung
ke rumah kos Silmi untuk wawancara, memang terlihat keakraban antara Silmi dengan
penghuni rumah kos yang lain. Walaupun sesekali di rumah kos tersebut pernah terjadi
perselisihan, tetapi Silmi memilih untuk tidak ikut campur dengan permasalahan tersebut.

Memang ada beberapa perbedaan nilai-nilai yang dirasakan oleh Silmi antara
masyarakat di Medan dengan masyarakat di daerah asalnya. Seperti penerapan tata krama
yang ia nilai kurang dalam sopan santun, cara bersikap dan berbicara yang kasar serta adanya
rasa individualis. Menyikapi hal –hal seperti itu Silmi biasanya hanya membiarkannya, tetapi
jika memang sudah benar-benar dianggap keterlaluan barulah ia bertindak.

Silmi memiliki sikap sendiri terhadap perbedaan-perbedaan nilai budaya yang ia


alami. Dikelilingi dengan orang-orang yang berbeda budaya dengannya tidak begitu saja
mengubah identitas budaya yang ia miliki. Silmi menunjukkan identitas budayanya dalam
berinteraksi melalui sikap dan bahasanya.

“Kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro ngecek

urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun, kareh kayak gitu rasonyo ba a yo, kareh-

kareh dak manantu se”.

(Kalau berkomunikasi dengan orang lain jelas dari cara berbicara, cara berbicara

orang Minang itu lebih beradab, tahu sopan santun, keras seperti itu rasanya bagaimana ya,

keras tidak menentu saja).

Dari berbagai hal yang ia alami, Silmi mengakui bahwa ketika ia hidup di antara
orang-orang yang lebih beragam, ia tidak bisa langsung akrab begitu saja dengan orang lain.

Universitas Sumatera Utara


Silmi butuh waktu untuk terlebih dahulu mengenal dan bisa percaya untuk kemudian
menerima orang lain yang berbeda latar belakang budaya dengannya.

Kesimpulan Kasus

Kuliah di Medan menjadi pengalaman merantau yang pertama kalinya bagi Silmi.
Hidup jauh dari keluarga dan berada di lingkungan yang berbeda dengan daerah asal
memberikan banyak pelajaran baginya. Banyak pengalaman baru yang ia alami yang
kemudian mengubahnya menjadi lebih berani dan mandiri. Perbedaan bahasa, nilai-nilai
budaya dalam sopan santun bergaul memang menjadi culture shock yang sempat membuat
Silmi pesimis untuk mau berinteraksi dengan orang lain di sini. Akan tetapi, karena ia mau
membuka diri dengan keadaan yang baru, Silmi kemudian berusaha untuk menerima keadaan
yang ada. Walaupun awalnya ia terpaksa, tetapi hal itu juga yang kemudian menyadarkannya
untuk tidak terus menerus menutup diri dengan lingkungannya.

Identitas budayanya sebagai orang Minang tetap ia tunjukkan melalui sikap dan tutur
katanya dalam berbicara. Memang pada awalnya perbedaan identitas budaya yang ada
membuatnya enggan untuk berinteraksi. Namun kemudian, nilai-nilai dari budaya itu pulalah
yang kemudian membantunya untuk dapat berkomunikasi dan diterima di lingkungannya
yang baru.

Informan 5

Nama : Frezi Widianingsih


Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin Ginting Gang Sarmin No. 45A
Tanggal Wawancara : 25 Oktober 2012

Frezi merupakan informan yang berasal dari daerah Ampek Angkek Canduang,
Kabupaten Agam. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Menetap di Medan

Universitas Sumatera Utara


adalah pengalaman pertamanya jauh dari keluarga. Pada awalnya Ayah Frezi tidak
mengizinkan anak pertamanya ini untuk melanjutkan pendidikannya di USU, karena
beberapa pertimbangan.
Tetapi berkat dukungan Ibu dan saudaranya yang lain, Frezi akhirnya diizinkan untuk
merantau ke Medan. Frezi berasal dari keluarga yang masih menanamkan nilai-nilai budaya
Minangkabau kepada anggota keluarganya. Tetapi uniknya, bahasa ibu yang ia gunakan
bukanlah bahasa Minang, melainkan bahasa Indonesia. Frezi menceritakan bagaimana ia dan
generasi dari garis keturunan ibunya diajarkan untuk menggunakan bahasa Indonesia sejak
mereka kecil, tak terkecuali kakeknya.

Frezi justru belajar berbahasa Minang dari tetangganya dan dari teman-teman sekolah.
Ia juga mengatakan bahwa tidak hanya dirinya yang menggunakan bahasa Indonesia di
sekolah, teman-temannya yang lain pun juga begitu. Apalagi ketika SMA, justru lebih banyak
yang menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari daripada bahasa Minang
walaupun mereka sama-sama orang Minang dan masih berada di dalam lingkungan
masyarakat Minang. Pada saat peneliti melakukan wawancara dengan Frezi, memang logat
Minang yang dimiliki Frezi tidak begitu jelas terdengar.

Bahkan dari pilihan kata-kata yang ia gunakan lebih banyak menggunakan kosa kata
bahasa Indonesia. Walaupun di dalam keluarganya bahasa Minang tidak menjadi bahasa
mereka sehari-hari tetapi kakek, ayah dan ibunya tetap mengajarkan kepada anak-anaknya
tentang nilai-nilai budaya Minang, terutama mengenai tata krama dan sopan santun.

Ibu Frezi tidak memiliki saudara laki-laki sehingga dari garis keturunan matrilineal ia
tidak mempunyai mamak. Pengajaran tentang tradisi adat budaya Minangkabau lebih banyak
ia dapatkan dari kakeknya. Selain itu, pelajaran di sekolah juga menambah pengetahuan Frezi
tentang budaya Minang. Sementara itu, nilai-nilai sopan santun lebih banyak ia dapatkan dari
kedua orang tuanya. Frezi juga mengakui, budaya Minangkabau tidak terlalu ia terapkan
dalam kehidupannya, hanya dari sisi tata krama dan sopan santun lah yang lebih menonjol.

“Kalau Zi pribadi kurang menerapkan sih ni, budaya Minang, paliang cuma sopan

santun, tata kramanyo se lai kan, kalau kayak pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah

agak maninggaan”.

Universitas Sumatera Utara


(Kalau Zi pribadi sih kurang menerapkan kak, budaya Minang, paling hanya sopan

santun dan tata kramanya saja, kalau seperti pakaian, cara berbicara itu sudah agak berbeda,

sudah agak meninggalkan).

Ketika Frezi akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, ia awalnya merasa


agak takut untuk memilih USU karena takut tidak diizinkan oleh Ayahnya. Sedangkan
pilihan pertamanya adalah ingin melanjutkan ke Universitas Indonesia. Setelah hasil
pengumuman diumumkan, ternyata Frezi memang harus melanjutkan pendidikannya di USU.
Setelah itu, barulah ia mendapat restu dari orang tuanya. Sebelum berangkat ke Medan, Frezi
mencari informasi tentang kehidupan di Medan dari beberapa orang temannya keturunan
etnis Batak. Dari temannya itu Frezi kemudian mendapatkan gambaran tentang orang-orang
di Medan yang dinilai keras. Dari gambaran tersebut, ia membayangkan akan sulit nantinya
bagi dia untuk bersosialisasi, karena adanya perbedaan budaya.

“Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh-kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah

bersosialisasi, soalnyo kan budaya nyo lah beda bana, agama se mayoritasnya lah beda

samo yang disitu. Zi dapek gambaran tu dari tanyo-tanyo ka kawan Zi yang keturunan Batak

di bukik, nyo caritoan kayak gitu, urang di siko lumayan kareh urangnyo, siap tu Zi tanyo-

tanyo samo kakak yang tingga di siko, memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap, kalau

misalnyo ka berinteraksi samo urang di siko”.

(Kalau yang Zi bayangkan, Medan itu keras-keras orangnya, terus agak susah

bersosialisasi, karenan kan budayanya sudah sangat berbeda, agama mayoritasnya pun

berbeda dengan yang di kampung. Zi mendapatkan gambaran itu dari teman yang keturunan

Batak di Bukittinggi, dia bercerita seperti itu, orang-orang di sini lumayan keras orangnya,

lalu Zi juga bertanya kepada kakak yang tinggal di sini, memang seperti itu, jadi harus siap

mental, kalau misalnya mau berinteraksi dengan orang di sini).

Universitas Sumatera Utara


Selain mendapatkan gambaran dari temannya, setibanya di Medan Frezi juga bertanya
dan mencari informasi dari kakak sepupunya yang tinggal di Medan. Sehingga ketika ia
mulai mengawali interaksi dengan ia tidak terlalu terkejut dengan logat, bahasa maupun sikap
orang-orang yang ia temui. Hanya saja ia merasa sedikit takut dan canggung ketika mulai
berinteraksi karena ia belum terbiasa dengan perbedaan logat bahasa Indonesia biasa
digunakannya dengan logat bahasa Indonesia teman-temannya di sini yang sedikit berbeda.
Karena itu, ia sedikit takut nantinya ada salah dalam pemilihan kata-kata.

“Enggan sih indak ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang

patamo ni, siap tu dek baru di siko kan, berarti pengetahuan tentang daerah di siko alun

banyak bana lai, beko takuiknyo salah-salah mangecek atau ba a.”

(Enggan sih tidak kak, canggung saja yang ada, karena faktor perbedaan bahasa yang

pertama, lalu karena masih baru di sini kan, berarti pengetahuan tentang daerah di sini belum

terlalu banyak, nanti takutnya salah-salah bicara atau bagaimana).

Ketika baru masuk di FISIPOL USU, Frezi memang bukan satu-satunya mahasiswa
baru yang berasal dari etnis Minangkabau. Akan tetapi kebanyakan dari mereka memang
bukan berasal dari Sumatera Barat, tetapi keturunan Minangkabau yang sudah lama tinggal
dan menetap di Medan. Pada waktu Frezi mengetahui hal tersebut, sebetulnya ia merasa
senang, karena mendapatkan teman yang seetnis dengannya, akan tetapi ia juga merasa
canggung karena aneh baginya ketika mengetahui lawan bicaranya adalah orang Minang
tetapi tidak menggunakan bahasa Minang. Frezi menceritakan hal ini ketika peneliti
menanyakan bagaimana perasaannya ketika pertama kali memasuki kampus.

“Patamonyo takuik sih, urang Minang di kampus ado, tapi lah keturunan, ngeceknyo

lah ngecek bahasa Indonesia, jadi agak-agak cangguang stek, namonyo wak urang Minang,

tapi ngeceknyo bahasa Indonesia, agak cangguang stek”.

Universitas Sumatera Utara


(Awalnya takut sih, orang Minang di kampus ada, tapi keturunannya saja,

berbicaranya sudah bicara bahasa Indonesia, jadi agak-agak canggung sedikit, namanya kita

orang Minang, tapi bicaranya bahasa Indonesia, jadi agak sedikit canggung).

Sedangkan ketika ia mulai berinteraksi dengan orang-orang lain yang berbeda budaya
dengannya, ia merasa senang bahwa orang-orang di sini walaupun keras-keras dan tegas
tetapi mereka kompak dalam berteman. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang langsung
tersenyum ketika menceritakan hal tersebut. Menurut Frezi, ketika kita berteman dengan
orang-orang di sini, mereka benar-benar menjaga temannya tersebut. Di kampus Frezi
memang lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar etnisnya sendiri.

“Ternyata memang kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni, kalau dicaliak pas

bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi yang dak urang Minang, dicaliak dari

kesehariannyo urang tu memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko,

nyo jago la kawannyo tu”.

(Ternyata orang-orangnya memang keras, tapi mereka solid gitu kak, kalau dilihat ketika

berteman di kampus, kebanyakan teman Zi kan bukan orang Minang, dilihat dari

kesehariannya mereka itu orangnya memang tegas-tegas, tapi mereka itu solid, kalau sudah

berteman dengan mereka, ya mereka jagalah temannya).

Frezi memiliki seorang sahabat yang ia kenal ketika melakukan registrasi mahasiswa
baru. Dari temannya inilah kemudian Frezi mulai memahami bagaimana kebiasaan orang-
orang Medan. Selama lebih kurang dua bulan, Frezi sudah tidak merasa canggung lagi
dengan lingkungan barunya. Frezi tidak segan-segan untuk berbagi informasi kebudayaan
dengan temannya, sehingga pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan juga membantunya
untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya yang ada.

Universitas Sumatera Utara


Selama lebih kurang satu tahun Frezi menetap di Medan, ia merasa sudah mulai
terpengaruh dengan beberapa kebiasaan yang ada, seperti bahasa dan logatnya. Tetapi, ketika
ia berinteraksi dengan orang Minang lain di kampusnya, ia masih tetap menggunakan bahasa
Minang. Ketika peneliti menanyakan kepada Frezi perbedaan apa saja yang ia rasakan setelah
menetap di Medan, ia menjawab bahwa adanya perbedaan norma-norma yang ada. Kemudian
kurangnya sopan santun dari teman-temannya terhadap dosennya di kampus. Bagi Frezi,
dosen atau guru adalah orang-orang yang harus disegani dan dihormati.

“Norma-normanyo beda, di siko Zi caliak, kalau pas di Minang, kesopanan tu iyo

bana di apoan, kalau di siko lah mulai bakurang, tata kramanyo kalau di kampus yang

nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan-kawan yang di siko agak-agak kurang

sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu yo, yo bana diharagoi bana”.

(Norma-normanya berbeda, kalau di Minang, kesopanan itu benar-benar ditekankan,

kalau di sini sudah mulai berkurang, tata kramanya kalau di kampus yang jelas sekali cara

berbicara dengan dosen, kalau teman-teman yang di sini agak-agak kurang sopan, sangat

berbeda kalau di kampung kita, kalau guru itu ya, benar-benar dihargai).

Sedangkan culture shock yang dialami Frezi adalah adanya perbedaan cuaca antara
Bukittinggi dan Medan, di Medan cuacanya lebih sering panas. Lalu masalah makanan, Frezi
tidak menyukai kondisi beras yang agak pulen. Masakan pedas di sini juga kebanyakan
rasanya manis, tidak pedas seperti yang ada di kampungnya. Sehingga kalau makan, ia harus
pilih-pilih dulu yang sesuai dengan seleranya.

Kesimpulan Kasus

Frezi dan keluarganya tidak lagi menggunakan bahasa Minang sebagai bahasa
percakapannya sehari-hari. Frezi mempelajari bahasa Minang justru dari lingkungan
tetangganya dan teman-teman di sekolah. Walaupun demikian, nilai-nilai budaya dalam
bergaul dan bersikap sesuai adat Minangkabau masih disampaikan oleh kedua orang tuanya

Universitas Sumatera Utara


terutama oleh kakeknya. Selain itu, pembelajaran tentang nilai-nilai budaya Minangkabau
juga ia dapatkan di sekolah. Menurut Frezi, budaya Minangkabau seperti dari segi adat
istiadat, pakaian atau bahasa memang tidak banyak yang ia terapkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Tetapi, dari segi sopan santun dan tata krama masih ia terapkan.

Ketika mulai bergaul dengan masyarakat di Medan, Frezi juga tidak terlalu banyak
mengalami kesulitan atau masalah yang berarti. Karena sebelumnya Frezi sudah mencari tahu
tentang bagaimana kehidupan di Medan, informasi tersebut ia dapatkan dari teman dan juga
kakak sepupunya. Perasaan canggung memang dirasakan oleh Frezi ketika mulai berinteraksi,
karena ia masih baru dalam lingkungannya dan adanya perbedaan bahasa yang digunakan.
Setelah lebih kurang dua bulan, Frezi tidak lagi merasa canggung untuk bergaul dengan
orang-orang lain. Hal ini berkat bantuan teman dekatnya yang berbeda budaya dengannya.
Selain itu, Frezi juga tidak menutup dirinya untuk bergaul dengan orang-orang yang berbeda
latar belakang budaya dengannya. Culture shock yang dialami Frezi seperti perbedaan cuaca
dan makanan yang ada di Medan. Namun, hal ini tidak terlalu menjadi masalah baginya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ia sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Frezi tidak
menutup-nutupi identitasnya sebagai orang Minang. Ia berusaha menampilkan identitas
budayanya melalui sikap dan tata kramanya dalam bergaul. Sesuai dengan apa yang telah ia
dapatkan dari lingkungan asalnya

Informan 6

Nama : Gally Angga Ananta


Usia : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Pembangunan Gang Rejeki No.5B
Tanggal Wawancara : 26 Oktober 2012

Universitas Sumatera Utara


Gally merupakan mahasiswa Minangkabau yang berasal dari kota Bukittinggi. Ia
adalah anak ketiga dari empat orang bersaudara. Menurut Gally, di dalam keluarganya
budaya Minang yang ada sudah modern, dalam berbicara tidak lagi menggunakan kata-kata
kiasan, namun masih menggunakan bahasa Minang. Gally memiliki dua orang mamak, tetapi
keduanya sudah lama merantau ke Batam dan hanya pulang sesekali ketika Idul Fitri.

Sehingga interaksi Gally dengan mamaknya sangat jarang. Orang-orang yang


berperan dalam keluarga Gally untuk menyampaikan nilai-nilai budaya adalah kedua orang
tuanya. Ketika Gally berniat untuk melanjutkan pendidikannya di luar Sumatera Barat,
barulah Ibunya mulai sering menyampaikan nasehat-nasehat misalnya agar anaknya pandai-
pandai dalam bergaul di rantau nanti.

Gally sendiri memang mempunyai keinginan untuk kuliah jauh dari kampungnya,
selain itu ia juga mendapatkan dukungan untuk merantau ke luar Sumatera Barat dari
keluarga, terutama dari abangnya. Gally menceritakan bagaimana abangnya memberikan
dukungan agar adiknya lebih baik kuliah di luar Sumatera Barat.

“Abang Gally la di Padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, dak berkembang, dak

lamak do, baso wak baso Minang juo, bisuak ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce do, ncak

kalua lai, iyo tu Gally nio lo kalua”.

(Abang Gally juga sudah di Padang, lalu katanya apa la di Padang ini, tidak

berkembang, tidak enak, bahasanya bahasa Minang juga, besok-besok tidak mau seperti ini

terus, lebih baik keluar, iya itu Gally juga mau keluar).

Awalnya Gally ingin melanjutkan kuliahnya di Bandung. Ia juga sudah mengikuti tes
SMUP (Saringan Masuk Universitas Padjajaran) dan lulus di jurusan ilmu perpustakaan.
Akan tetapi, Gally memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di sana. Alasannya
adalah karena kebanyakan teman-teman SMA nya juga memilih untuk kuliah di Bandung, itu
berarti ia akan berinteraksi dengan orang-orang yang sama lagi, walaupun sudah di luar
Sumatera Barat. Gally menginginkan pergaulan yang baru dengan orang-orang yang baru

Universitas Sumatera Utara


pula. Akhirnya Gally pun memutuskan untuk memilih USU sebagai pilihannya dalam
formulir PMP.

“Awalnyo Gally tanyo-tanyo kawan-kawan, Banduang, Banduang, Banduang

keceknyo, ee..kok Banduang se urang sadonyo ko. Ndeeh…suruik se jadinyo, bukan dek

banyak saingan, berarti rami-rami, itu juo urangnyo, bakawan nyo jo itu juo tu, Gally

pengen dapek yang baru, pas PMP Gally isi ka Medan ka USU.”

(Awalnya Gally bertanya pada teman-teman, Bandung, Bandung, Bandung katanya,

ee..kok Bandung saja semuanya. Ndeeh…mundur aja jadinya, bukan karena banyak saingan,

berarti ramai-ramai, itu juga orangnya, bertemannya juga itu-itu saja, Gally ingin dapat yang

baru, pas PMP Gally isi ke Medan ke USU).

Sebelum ia berangkat ke Medan, Gally mencari informasi tentang Kota Medan dan
USU melalui internet. Dari informasi yang ia dapatkan, Medan merupakan kota terbesar
ketiga di Indonesia. Kepada peneliti Gally mengatakan bahwa ia ketika itu, membayangkan
hal-hal yang indah tentang Medan.

Terutama tempat hiburannya seperti Bioskop 21. Gally tidak terlalu memikirkan
kesulitan yang mungkin akan ia hadapi di Medan. Ia ingin senang-senang di Medan, bahkan
ketika baru saja sampai di Medan, tempat yang pertama kali ia kunjungi adalah Bioskop 21
Sun Plaza. Kemudian ia juga menikmati wisata kuliner yang ada di USU Medan. Namun, ada
hal yang tidak ia sukai tentang Medan yaitu cuaca yang panas, angkot yang tidak tertib lalu
lintas, dan sikap masyarakatnya yang terkadang egois dan juga keras.

“Gally ba ayo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah se, pengen cari hiburan se Gally

dulu. Ma tampek nan lasuah Gally jajaki se sadonyo, wisata kuliner gai dulu, jalan-jalan.

Asik, tapi angek, Medan tu kareh, cingik-cingik urangnyo, angkotnyo sumbarang cucuak se”.

Universitas Sumatera Utara


(Gally bagaimana ya, ingin bagusnya saja, senangnya saja, pengen cari hiburan saja

Gally dulu. Di mana tempat yang asik, gally jajaki saja semuanya, wisata kuliner dulu, jalan-

jalan. Asik, tapi panas, Medan itu keras, orangnya egois, angkotnya sembarang masuk saja).

Ketika diadakan kegiatan ospek di kampusnya, Gally memilih untuk tidak mengikuti
kegiatan tersebut. Begitu juga ketika kegiatan matrikulasi diadakan, ia hanya mengikuti
kegiatan tersebut selama tiga hari. Ketika itulah, pertama kalinya Gally dipanggil dengan
sapaan “Kau” oleh orang yang baru ia kenal di kampus. Dalam pikirannya ketika itu, ia
menganggap orang-orang di sini ternyata kasar, tapi ia tetap bersikap biasa-biasa saja. Setelah
kejadian mengalami hal tersebut, Gally menceritakan kepada teman-teman etnis Minang
lainnya yang telah lama menetap di sini. Dari temannya itulah, Gally kemudian memahami
bagaimana kebiasaan orang-orang di Medan, termasuk menggunakan “Kau”.

Di kampus Gally tak hanya berteman dengan temannya yang sesama etnis
Minangkabau, tetapi ia juga berteman dengan orang-orang yang berasal dari Medan,
sedangkan dengan teman-teman yang berasal dari etnis Batak ia tidak terlalu dekat, hanya
sekedar tahu nama dan wajahnya saja. Dalam pergaulannya dengan orang Medan ini, Gally
juga saling bertukar informasi tentang budaya mereka masing-masing. Bahkan saling
bertukar ejekan-ejekan yang berasal dari daerah mereka. Gally mengakui, karena sesama
teman yang sudah dekat ejekan-ejekan itu dijadikan bahan bercandaan saja.

Ada satu hal yang membuat Gally kagum dengan teman-temannya ini. Ketika mereka
ingin menanyakan sesuatu hal tentang budaya atau agama, mereka selalu mengatakan “Maaf”
terlebih dahulu sebelumnya. Bagi Gally sendiri, hal ini ia anggap agak berlebihan mungkin
karena ia adalah orang Minang, sehingga teman-temannya takut jika Gally merasa
tersinggung dengan pertanyaan tersebut.

“Urang tu pake maaf mananyo, ba a tu, suko lo gally caliak gaya nyo. Padahal nanyo

yang biaso-biaso se nyo, takuik tasingguang urang tu”.

Universitas Sumatera Utara


(Mereka itu kalau bertanya pakai maaf, gimana gitu, Gally suka denga gayanya itu.

Padahal bertanya yang biasa-biasa saja, mereka takut tersinggung).

Walaupun Gally sudah terbiasa dengan sikap dan cara teman-temannya bergaul, tetapi
tetap ada beberapa hal yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang pernah diajarkan
kepadanya. Di antaranya seperti kurangnya nilai-nilai kesopanan. Menuurt Gally, pergaulan
di Medan itu lebih bebas antara laki-laki dan perempuan. Semuanya disamakan saja, apalagi
rasa segan menyegani juga kurang. Sementara jika di daerahnya, segan menyegani antara satu
dengan yang lain itu, sangat diperhatikan. Apalagi ketika bergaul, batasan-batasan antara
laki-laki dan perempuan itu harus ada.

“Ba a yo, kalau di siko tu bebas. Urang tu samo se dek nyo urang sadonyo. Dak sagan-sagan

gai urang tu do. Kalau awak kan kalau cowok tu ado sagan-sagannyo, ko dak ado.

(Bagaimana ya, kalau di sini itu bebas. Mereka itu menganggap orang lain sama saja.

Tidak ada segan-segannya. Kalau kita kan kalau cowok itu ada segan-segannya, ini tidak ada).

Tetapi, hal ini kebanyakan dari teman-temannya yang berasal dari Medan, sedangkan

yang berasal dari daerah seperti orang Karo, mereka ternyata lebih menjaga sopan santun dan

jika berbicara pun mereka lebih lembut. Gally merasa lebih tidak suka bergaul dengan orang

Batak. Karena Gally tidak nyaman dengan sikap mereka yang kasar sehingga ia terlalu sering

berinteraksi dan hubungan mereka pun tidak terlalu dekat.

Setelah menetap di Medan selama lebih kurang satu tahun, Gally merasakan ada

perubahan logat ketika ia menggunakan bahasa Indonesianya. Tak hanya itu, kosa kata yang

ia gunakan ketika berbahasa Indonesia juga sudah banyak yang menggunakan istilah-istilah

Universitas Sumatera Utara


lokal masyarakat Medan. Kedekatan Gally dengan teman-temannya yang di Medan juga

membawa pengaruh terhadap cara ia bersikap dengan orang yang berbeda budaya dengannya.

Kesimpulan Kasus

Penerapan nilai-nilai budaya di dalam keluarga Gally sudah tidak terlalu kental. Gally
lebih banyak mendapatkan informasi mengenai budaya Minang dari pendidikan sekolah,
sedangkan mamaknya telah lama pergi merantau ke luar Sumatera Barat sehingga interaksi
antara Gally dan mamaknya tidak terlalu sering. Keinginan Gally untuk pergi merantau juga
didukung oleh keluarganya terutama dari abangnya.

Gally tidak banyak mempermasalahkan hal-hal yang ada di Medan karena Gally lebih
fokus kepada hal-hal yang menyenangkan tentang Medan. Di kampus Universitas Sumatera
Utara ia lebih sering berinteraksi dengan teman-temannya yang juga berasal dari luar kota.
Mengetahui dirinya adalah orang Minang, teman-teman Gally tampaknya berusaha menjaga
agar kawannya tidak tersinggung. Hubungan Gally dengan teman-temannya ini bisa
dikatakan cukup dekat. Baru beberapa bulan saja ia berada di Medan Gally sudah terbiasa
dengan logat dan bahasa orang Medan karena pengaruh dari lingkungan pergaulannya. Gally
juga tidak terlalu memunculkan identitasnya sebagai orang Minang. Ia tampak sangat
membaur dengan lingkungannya yang baru di Medan. Walaupun demikian, ia tetap
mengingat statusnya sebagai warga pendatang di sini. Ia tetap berhati-hati dalam bergaul
seperti yang pernah dinasehatkan orang tuanya.

Informan 7

Nama : Dilla Sepri Susanti


Usia : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

Universitas Sumatera Utara


Fakultas : Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Angkatan : 2011
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Harmonika No.70
Tanggal Wawancara : 25 Oktober 2011

Pada awal wawancara, peneliti menanyakan bagaimana budaya Minangkabau yang


diterapkan di dalam keluarga Dilla. Menurut penuturan Dilla, budaya Minang yang ia rasakan
lebih kental di kampungnya di daerah Sijunjung daripada di lingkungan rumahnya di Solok.
Di Solok, budaya Minang itu sendiri sekarang tidak terlalu diterapkan, hanya sekedar
mengetahui adat istiadat saja. Kalau dari segi bahasa, memang bahasa percakapan sehari-hari
di sana masih menggunakan bahasa Minang, termasuk Dilla dan keluarganya.

Dengan kata lain, budaya yang masih sering diterapkan sehari-hari adalah bahasa
daerah. Sebelum Dilla menetap di kota Medan, Dilla sudah memiliki keinginan untuk pergi
merantau. Kepada peneliti Dilla menceritakan bahwa ia ingin keluar daerah awalnya karena
sebuah alasan klise, ingin mengetahui daerah lain dan tidak hanya tinggal di daerah yang itu-
itu saja.

“Yo…alasan klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah tau nyo cuma

nagari-nagari awak se gitu, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu”.

(Ya…alasan klise sih kak, alasannya ingin melihat dunia luar, janganlah tahunya

hanya daerah-daerah kita saja gitu, Lihatlah negeri orang, trus ada perbandingan gitu).

Pada awalnya, Dilla ingin merantau ke Pulau Jawa dan kuliah di Universitas
Indonesia. Tetapi, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk merantau ke luar pulau
Sumatera, akhirnya Dilla memilih USU. Setelah lulus, Dilla merasa senang, bisa lulus di
jurusan yang ia inginkan. Kemudian ia berangkat ke Medan melalui jalur udara. Ketika
mendarat di Bandara Polonia, awalnya Dilla masih merasa kagum dengan kota Medan, tetapi
lama kelamaan ketika memasuki daerah rumah kosnya, Dilla merasa terkejut. Tata kota yang

Universitas Sumatera Utara


tidak rapi, kumuh, macet, bahkan sampah banyak yang berserakan di mana-mana membuat
Dilla merasa kecewa, situasi di sini ternyata tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
Selain itu, Dilla juga mengalami kesulitan untuk mencari tempat makan yang enak dan
terjaga kebersihannya.

Ketika memasuki kampus, Dilla juga mengalami shock dengan cara bicara orang-
orangnya yang keras dan sering berteriak-teriak. Pada saat perkenalan dalam kelas
matrikulasi, Dilla memperkenalkan dirinya. Saat itulah, ia mendapat olok-olokan “Padangkik”
dari kawan-kawan yang lain. Dilla sendiri merasa bingung, bahkan tidak mengerti dengan
istilah tersebut. Setelah mencari tahu, ternyata maksud istilah itu adalah “orang Padang pelit”.
Merasa tidak nyaman dengan olok-olokan seperti itu, Dilla kemudian berusaha menjelaskan
kepada kawan-kawan yang mengolok-oloknya. Ia menjelaskan, mungkin karena kebanyakan
orang Minang itu adalah pedagang, jadi wajar saja sangat perhitungan, bukannya pelit dan
tidak semua orang Minang seperti itu. Setelah itu hingga sekarang, tidak ada lagi yang
mengejek Dilla dengan istilah itu.

Di dalam lingkungan kampus, Dilla memang sering berinteraksi dengan teman-


temannya yang bukan orang Minang. Teman baru Dilla yang pertama di sini adalah orang
Medan. Di lingkungan rumah kosnya, bahkan tidak ada kawan-kawan yang satu etnis
dengannya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Riau, Lubuk Pakam dan Kisaran.

Karena situasi seperti inilah yang kemudian membuat Dilla menjadi lebih cepat
beradaptasi dan membaur dengan orang-orang yang berbeda budaya. Menurut pengakuan
Dilla, sekarang ia merasa lebih nyaman bergaul dengan kawan-kawannya di sini. Alasannya,
ia lebih suka dengan cara bergaul orang Medan yang tidak berbasa-basi dan jika bicara
langsung pada intinya saja, daripada orang Minang sendiri yang memiliki kebiasaan
bermanis-manis kata. Menurut Dilla hal itu karena ia sendiri dalam bergaul memang lebih
suka bicara langsung pada pokok permasalahan saja, sehingga lebih jelas apa maksudnya.

“Dilla raso labiah lamak samo urang siko, misalnyo kan pergaulan urang disiko tu

jaleh, kalau iyo-iyo, indak-indak, dak kayak di Padang do, urang tu ba a yo, banyak na kilik-

kilik kato, awak dak pandai mode-mode tu do”.

Universitas Sumatera Utara


(Dilla rasa lebih enak sama orang di sini, misalnya kan pergaulan orang di sini itu

jelas, kalau iya itu iya, tidak ya tidak, tidak seperti di Padang, orangnya bagaimana ya,

banyak silat-silat kata, saya sendiri tidak pandai yang seperti-seperti itu).

Dari pengamatan peneliti ketika melakukan wawancara, tampak jelas Dilla adalah tipe
orang yang tegas, ketika berbicara pun, ia langsung menjelaskan pada intinya, tidak seperti
informan-informan sebelumnya yang sering memberikan isyarat atau perandaian untuk
menjelaskan sesuatu. Sikap Dilla yang seperti itulah yang kemudian membuatnya merasa
nyaman dan mudah berbaur dengan orang- orang Medan dibandingkan dengan informan-
informan yang lain.

Untuk beradabtasi dengan lingkungannya di sini, Dilla mengakui bahwa ia lebih


sering memperhatikan, mengamati, bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang-orang di
sekitarnya. Ia memang tidak langsung bertanya untuk mendapatkan informasi atau sekedar
penjelasan, tetapi ia menyimpulkan sendiri kejadian sehari-hari yang ia alami. Dari sanalah ia
kemudian belajar memahami dan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.

“Mancari tau sih indak ni, tapi mamparati-paratian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode

tu”.

(Mencari tau sih tidak kak, tapi memperhatikan saja, jadi tau sendiri saja, oo..orang itu

seperti itu).

Dari hasil pengamatannya itu Dilla kemudian bisa memahami dan menarik
kesimpulan bagaimana karakter orang lain yang ia hadapi dan bagaimana ia harus bersikap.
Selama masih saling menghargai perbedaan-perbedaan, semuanya bisa berjalan dengan baik.
Menurut Dilla, pada situasi dan kondisi tertentu ia juga harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan
orang di sini, bahakan ketika mereka berteriak-teriak kepadanya, ia pun akan bersikap seperti
itu pula.

Universitas Sumatera Utara


“Tanggapannyo sih biaso-biaso ajo, berarti nyo karakter nyo kayak gitu, karakter

wak mode ko, jadi ya uda la, selagi saling maharagoi dak ba a, di sikon-sikon tertentu awak

harus lo ngikuik-ngikuik an urang tu. Urang tu ngecek ma ariak-ariak, tu awak pun kadang-

kadang ma ariak-ariak lo”.

(Tanggapannya sih biasa-biasa saja, berarti mereka karakternya ya seperti itu, karakter

kita seperi ini, jadi ya sudah lah, selagi saling menghargai tidak apa-apa, disikon-sikon

tertentu kita juga harus mengikuti mereka. Mereka bicaranya teriak-teriak, ya kita pun

kadang-kadang juga teriak-teriak).

Dalam berinteraksi dengan teman-temannya di kampus, Dilla lebih sering


menggunakan bahasa Indonesia, walaupun dalam situasi yang sama juga ada temannya yang
etnis Minang Dilla tetap menggunakan bahasa Indonesia. Ia menggunakan bahasa Minang,
hanya ketika berinteraksi dalam lingkungan orang-orang Minang, malah terkadang bahasanya
menjadi bercampur. Ketika peneliti menanyakan lebih lanjut mengapa ia lebih sering
menggunakan bahasa Indonesia, Dilla hanya menjawab hal itu sudah mengalir begitu saja.

“Kalau samo-samo urang-urang awak kadang campua-campua ni, kadang bahaso

Indonesia, kadang kalau tampek yang rami bahaso Indonesia, kalau tampek awak-awak se

baru baso Minang. Ntah lah ni lah mode itu se jalannyo”.

(Kalau sesama orang Minang kadang-kadang campur-campur kak, kadang bahasa

Indonesia, kadang kalau di tempat yang ramai bahasa Indonesia, kalau kita-kita saja barulah

berbahasa Minang. Ntah lah kak, sudah seperti itu saja jalannya).

Dilla sudah tinggal di kota Medan selama lebih kurang dua tahun. Selama itu pula,
ada beberapa perubahan dan hal-hal baru yang ia dapatkan. Seperti perubahan logat dalam

Universitas Sumatera Utara


berbicara. Terkadang tanpa ia sadari, ia berbicara dengan suara yang keras. Dilla mengakui
itu karena ia sudah terbiasa dengan teman-temannya seperti itu, sehingga jadi terbawa-bawa.
Selain itu, Dilla menjadi lebih mengerti bagaimana orang-orang lain di luar lingkungan
etnisnya sendiri.

Kesimpulan Kasus

Dilla merupakan pribadi yang sederhana dan tegas. Ia tidak suka hal yang berbelit-
belit atau berbicara panjang lebar, ia lebih suka membicarakan hal yang jelas-jelas saja.
Pribadi Dilla ini memang berbeda dengan orang-orang Minang kebanyakan. Tetapi hal inilah
yang kemudian membuatnya nyaman untuk berbaur dengan orang Medan. Walaupun banyak
yang berpendapat bahwa orang-orang Medan itu keras dan kasar-kasar, tetapi Dilla
menanggapinya dengan belajar memahami kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Culture shock yang dialami oleh Dilla ternyata tidak menghambatnya dalam
berinteraksi dengan orang lain. Walapun Dilla mengaku awalnya terkejut dengan situasi
lingkungan kota Medan yang menurutnya tidak rapi, kumuh dan macet, tetapi hal itu tidak
membuatnya merasa kecewa karena harus melanjutkan pendidikannya di Medan. Pada saat
awal-awal ia mulai berkomunikasi dengan teman-temannya di kampus, Dilla mengalami hal
yangtidak menyenangkan karena diolok-olok. Tetapi, setelah ia memberikan penjelasan,
mereka mengerti dan tidak lagi mengolok-oloknya.

Dilla menanggapi perbedaan budaya yang dialaminya dengan baik. Hal ini ia
tunjukkan dengan berusaha untuk berbaur dengan orang-orang yang berbeda etnis dengannya,
bahkan ia mau mengikuti gaya interaksi mereka. Sikap yang ditunjukkan oleh Dilla ini,
seperti pepatah Minang “Dima bumi dipijak, di situ langik di junjuang (Di mana bumi dipijak,
di situ langit dijunjung)”. Di lingkungan mana kita berada, maka adat atau budaya yang
berlaku di tempat itulah yang harus dihormati. Oleh karena itu, ia juga tidak mengalami
banyak kesulitan ketika harus beradaptasi dengan perbedaan budaya. Bagi Dilla, asalkan
orang lain bisa menghargai perbedaan-perbedaan yang ada padanya, maka ia juga akan
menghargai mereka.

Universitas Sumatera Utara


Informan 8

Nama : Putri Oktaviani


Usia : 19 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Angkatan : 2011
Lama Menetap : ±1.5 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Zulkarnain No.16
Tanggal Wawancara : 5 November 2012

Budaya Minangkabau masih diterapkan di dalam keluarga Puput, terutama dari


keluarga ibunya yang berasal dari Batusangkar. Kakek Puput dari ibunya berperan sebagai
datuak di dalam kaumnya. Selain itu, Puput juga memiliki 7 orang mamak, walaupun 3 orang
di antaranya telah pergi merantau, akan tetapi 4 orang mamak Puput lainnya masih menetap
di kampungnya dan masih sering berinteraksi dengan Puput. Pengajaran nilai-nilai budaya
didapatkan Puput dari mamaknya secara tidak langsung. Dengan demikian, Puput
mendapatkan banyak pelajaran mengenai adat budayanya. Di Medan, Puput memiliki
keluarga, saudara dari suami adik Ibunya. Dari keluarga inilah Puput pertama kali
mendapatkan informasi dan mengetahui hal-hal lainnya tentang masyarakat Medan.
Hubungan Puput dengan keluarganya ini cukup dekat. Setiap akhir minggu dan hari-hari libur
lainnya Puput selalu datang berkunjung. Selain dari keluarga, Puput juga mendapatkan
informasi tentang Medan dari senior-senior yang berada di Medan.

Sebelum ke Medan, Puput membayangkan bahwa di medan itu kebanyakan


masyarakatnya adalah orang Batak dan yang sebagian kecil saja yang memeluk agama Islam.
Tetapi setelah ia datang dan melihat sendiri, ternyata tidak semua anggapannya itu benar,
ternyata di sini juga banyak orang Minang dan tentunya juga banyak yang memeluk agama
Islam. Ketika melakukan proses registrasi ulang, Puput senang disambut oleh mahasiswa
Minang lain yang tergabung dalam IMIB USU. Ikatan Mahasiswa Minang inilah yang
kemudian menjadi keluarga keduanya di sini.

Universitas Sumatera Utara


“Pas pendataan tu, rasonyo ado se keluarga di siko kan, setidaknyo ado lah tampek nan

samo samo awak, awak tu dak surang gitu”.

(saat pendataan itu, rasanya seperti ada keluarga di sini kan, setidaknya ada tempat sesama

kita, kita tidak sendiri).

Ketika penyambutan itu lah, kemudian Puput saling berkenalan dengan mahasiswa
Minang yang lain. Kebetulan ada 2 orang mahasiswa Minang lainnya yang seangkatan dan
juga di jurusan yang sama dengannya. Puput semakin akrab dengan teman-temannya ini
setelah menjalani hari-hari mereka di kampus. Hal yang membuat ia terkejut pertama kali
ketika di Medan adalah pada saat ia melakukan registrasi ulang. Puput menceritakan, saat itu
ada salah seorang mahasiswa yang juga melakukan registrasi tiba-tiba menyapanya dengan
sapaan “Kau”. Puput yang tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu spontan terkejut.

“Patamo kali yang Put kana bana, urang tu ba “Kau-kau” ngecek nyo, waktu

pendaftaran patamo kali, ado urang nanyo kan, pokoknyo pake “kau” la, takajuik Put, Put

dak pernah di pa kau-kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan.

Tu takajuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih dek uni”.

(Pertama kali yang Put ingat betul, orang itu pakai “Kau-kau” bicaranya, waktu

pendaftaran pertama kali, kan ada orang yang bertanya, pokoknya pakai “kau” begitu, Put

kaget, karena Put tidak pernah dipanggil pakai “Kau” sama orang lain kan. Karena Put tidak

boleh bicara pakai kau-kau oleh mama. Lalu kaget kan kak gara-gara kawan ini, rasanya

ingin menangis kak).

Puput terkejut karena ia tidak terbiasa disapa dengan panggilan seperti itu. Kata “Kau”
jika digunakan ketika berinteraksi dengan orang Minang, memang dianggap kasar dan tidak
sopan. Apalagi orang tua Puput juga menekankan pada Puput untuk tidak menggunakan kata
tersebut. Walaupun ia mengetahui bagaimana watak orang Batak, tetapi itu merupakan
pengalaman pertamanya berhadapan langsung dan berinteraksi dengan orang Medan. Setelah
ia memperhatikan lebih lanjut dan memahami bahwa sapaan “Kau” itu memang sangat lazim
digunakan orang Medan, ia pun bisa menerima keadaan tersebut. Walaupun demikian, hingga
sekarang ia tetap tidak mau menyapa orang lain dengan sapaan “Kau”. Di kampus, Puput

Universitas Sumatera Utara


lebih memilh berinteraksi dengan orang-orang yang berlatar belakang sama dunengannya,
paling tidak sama-sama beragama Islam. Hal ini tampak dari teman-teman Puput yang juga
merupakan orang-orang perantauan, beragama Islam dan juga mengenakan kerudung seperti
dirinya. Walaupun demikian, ia tidak menutup diri untuk berinteraksi dengan orang lain di
luar kelompoknya. Bahkan Puput juga beradaptasi dengan bahasa dan logat yang digunakan
teman-temannya.
“Dek samo-samo urang Islam, kami saketek yang padusi yang Islam di kelasnyo,

yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang dakek, yo samo-samo ajo wak

rasonyo kalau samo-samo bajilbab. Dek gara-gara itu dakeknyo”.

(Karena sama-sama orang Islam, kami hanya sedikit yang muslim di kelas, yang pakai

jilbab gitu, yang aliran nya sama, yang dekat, ya sama rasa lah sama berjilbab. Karena itulah

jadi dekat).

Menurut Puput, ligkungan pergaulan di Medan tidak jauh berbeda dengan daerah
asalnya di Sawah Lunto. Masyarakat perantauan di sana juga sudah banyak, sehingga adat
budaya lokalnya sudah tidak terlalu ketat. Hanya saja, bedanya di Medan pergaulannya terasa
lebih bebas. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah hampir tak ada batasnya,
dianggap sama rata saja.

“Bedanyo dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni di sawah lunto tu kan lah dak

terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo pergaulannyo.

Tapi kalo Put maraso, pergaulan di siko ampiang-ampiang samo. Yang babeda bana samo di

siko, samo kawan-kawan tu lamak-lamak se ba a, samo kawan-kawan cowok la, lamak-lamak

se, kalau di siko lah ampiang samo se, kalau ndak pandai-pandai jago diri wak paliangan

bisa ba a la. Jadi harus pandai-pandai la jago diri”.

(Bedanya tidak terlalu banyak kak, karena Put kak di sawah lunto itu kan sudah tidak

terlalu ketat peraturan-peraturan adatnya. Ya sudah seperti pergaulan di kota juga. Tapi kalau

Put merasa, pergaulan di sini hampir-hampir sama. Yang sangat berbeda dengan di sini, yaitu

dengan kawan-kawan itu seenaknya gimana gitu, dengan kawan –kawan cowok lah,

Universitas Sumatera Utara


seenaknya saja, kalau di sini sudah hampir sama saja, kalau tidak pandai-pandai menjaga diri

kita bisa bagaimana la. Jadi jarus pandai-pandai la menjaga diri).

Puput menyadari ada perbedaan nilai-nilai pergaulan antara di tempat asalnya dan di
Medan, tetapi ia tidak cepat terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Ia tetap
mempertahankan nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Ia bersikap lebih hati-hati dalam
bergaul dan lebih selektif dalam memilih lingkungan pergaulan dan teman-teman dekatnya.

Puput tidak banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hanya perbedaan


logat bahasanya saja yang berbeda dan sekrang ia sudah mulai terbiasa. Saat awal menetap di
Medan, seperti juga informan lainnya Puput pun tidak menyukai makanan khususnya nasi
yang ada di sini, karena perbedaan rasa dan tekstur nasi antara yang di sini dengan yang biasa
ia konsumsi. Bahkan Puput membawa sendiri beras untuk dikonsumsi sehari-hari dari rumah.
Selama lebih kurang dua tahun Puput menetap di Medan, menurutnya perubahan yang ia
rasakan tidak terlalu banyak. Hanya saja ia merasa lebih mandiri dari sebelumnya. Selain itu
ia juga lebih membuka diri untuk bergaul dengan orang lain yang berbeda identitas budaya
dengannya.

Kesimpulan Kasus

Puput adalah pribadi yang ramah dan santun. Ia memegang teguh nilai-nilai budaya
dan agama yang diajarkan kepadanya. Puput beruntung memiliki mamak dan lingkungan
keluarga yang masih melestarikan budaya Minang. Walaupun ia dan keluarganya menetap di
daerah Sawah Lunto yang adat budayanya sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Puput tidak
meninggalkan nilai-nilai budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya.
Misalnya, sopan santun dalam bersikap dan wawasannya mengenai adat istiadat
Minangkabau. Lingkungannya yang seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Puput
sebagai orang Minang.

Demikian juga ketika Puput berada di Medan, identitasnya sebagai orang Minang,
membantunya untuk bersosialisasi dengan orang lain. Misalnya ketika ia sampai di Medan, ia
merasa senang ketika disambut oleh mahasiswa lainnya membantu Puput mendapatkan teman
baru dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dalam bergaul dengan teman-temannya di
kampus, Puput tidak menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga

Universitas Sumatera Utara


dan senang ketika orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Pada awalnya, Puput
memang mengalami culture shock dari segi bahasa maupun makanan. Tetapi ia menyadari
statusnya sebagai seorang pendatang, Puput belajar untuk memahami dan menerima berbagai
perbedaan yang ada. Selain itu, ia juga lebih suka bergaul dan membuka diri dengan orang
lain.

Informan 9

Nama : Masria Umami


Usia : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Angkatan : 2010
Lama Menetap : ±2 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Prof. M. Yusuf No.15
Tanggal Wawancara : 06 Oktober 2012

Wawancara dengan Masria Umami yang biasa disapa Memi berlokasi di kampus
Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Peneliti menghubungi Memi setelah peneliti
mewawancarai teman Memi, Silmi. Pada saat diwawancarai, Memi ditemani oleh sahabatnya
Tiara yang juga mahasiswa Minang. Mereka sedang beristirahat menunggu jadwal
perkuliahan berikutnya dimulai.

Bagi Memi, ini adalah pengalaman pertamanya menetap di Kota Medan. Sebelumnya,
Memi juga sudah pernah tinggal bersama orang tuanya di Riau hingga kelas 3 SD. Tetapi,
atas pertimbangan faktor lingkungan di sana yang dinilai kurang baik bagi perkembangan dan
pendidikan anak-anaknya, orang tua Memi kemudian memutuskan agar Memi dan kakaknya
melanjutkan pendidikannya di Sumatera Barat saja, tepatnya di kampung halaman Ibu Memi,
kota Batusangkar. Di sana Memi dan kakaknya hanya tinggal berdua saja di sebuah rumah
yang telah disiapkan kedua orang tuanya. Walaupun mereka hanya tinggal berdua, tetapi
anggota keluarga Memi yang lainnya juga tinggal berdekatan dengan rumah mereka,
sehingga bisa saling menjaga dan membantu.

Universitas Sumatera Utara


Memi memiliki 3 orang mamak, di kampungnya Memi sangat dekat dengan salah satu
dari 3 mamaknya ini, terutama sejak ia dan kakaknya tinggal di sana. Kebetulan pada saat itu,
keluarga mamak Memi tersebut bertempat tinggal di dekat Sekolah Dasarnya, karena itu
setiap kali pulang sekolah, Memi dan kakaknya selalu singgah ke sana.

“Kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu tingga di sangka, tapi

memi lah SMA, nyo pindah ka Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telpon se lai. Dulu

rumahnyo dakek SD Memi, jadi main ka situ, jadi kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi

lah yang ma aja an Memi. Kalau misalnyo ba a-ba a yo mamak Memi la yang ma aja an

Memi gitu a”.

(Kaka mama ada 3 orang, tapi yang dekat hanya 1 orang, dulu tinggal di Batusangkar,

tapi ketika Memi SMA, dia pindah ke Sawah Lunto. Jadi hubungan lewat telepon saja. Dulu

rumahnya di dekat SD Memi, jadi main ke sana, jadi kalau misalnya ada apa-apa ya mamak

Memi lah mengajari Memi. Kalau misalnya ada apa-apa mamak Memi juga yang mengajari

Memi, seperti itu lah).

Orang tua Memi hanya pulang sebulan sekali ke kampungnya, sehingga yang sangat
berperan dalam penanaman nilai-nilai budaya Minangkabau, maupun nilai-nilai agama Islam
adalah keluarga yang di kampung, terutama mamaknya. Ketika mereka menghadapi masalah,
orang yang pertama maju untuk menyelesaikannya adalah mamaknya ini. Demikianlah
hubungan Memi dengan mamaknya, hingga Memi SMA mamaknya harus pindah ke Kota
Sawah Lunto. Walaupun demikian, Memi tetap sering berkomunikasi dengan mamaknya
meskipun hanya lewat telepon.
Kemudian, peneliti menanyakan kepada Memi, bagaimana pendapatnya sendiri tentang
budaya Minangkabau.

Menurut Memi, kebudayaan Minangkabau itu adalah kebudayaan yang unik karena
menganut sistem keturunan matrilineal. Walaupun di satu sisi status Ayah memang berperan
dalam adat, tetapi ketika ia memiliki status sebagai seorang mamak, ia akan memiliki peran
yang lebih besar. Meskipun demikian, di sisi lain seorang tetap berperan penting dalam
keluarganya.

Universitas Sumatera Utara


“Unik, soalnyo dari sadoalah suku-suku yang Memi tau, cuma Minang yang
matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak
labiah gadang daripado peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting
dalam keluarga”.
(Unik, karena dari semua suku-suku yang Memi ketahui, hanya Minang yang

Matrilineal, walaupun di satu sisi ayah kurang berperan dalam adat, tapi peran mamak lebih

besar daripada peran ayah, walaupun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga).

Ketika Memi akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, orang tua atau pun
mamak Memi memberikannya kebebasan untuk memilih ke mana ia akan melanjutkannya.
Sedangkan dari Memi sendiri ia juga sudah memiliki keinginan untuk merantau ke luar
daerah Sumatera Barat, terutama ke pulau Jawa. Ia mengatakan jika ia bisa pergi merantau,
maka ia bisa melihat dunia luar dengan kebudayaan dan orang-orang yang berbeda dan juga
mendapatkan pengalaman baru. Oleh karena itulah, pada saat mengisi formulir pendaftaran
UMB, Memi memilih beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa yaitu UI dan Universitas
Padjajaran, sedangkan untuk di pulau Suamtera sendiri ia memilih USU sebagai salah satu
pilihannya, karena Universitas Andalas pada saat itu belum termasuk dalam universitas
peserta UMB.

“Pengen bana kalua. Kalau awak cuma di sekitar Sumbar, awak tu jadi dak bisa melihat

dunia lua, mungkin kebudayaan urang lain beda, pengen caliak yang lain, pengen cari

pengalaman gitu”.

(Sangat ingin pergi ke luar. Kalau kita hanya di sekitar Sumbar saja, kita jadi tidak

bisa melihat dunia luar, mungkin kebudayaan orang lain berbeda, ingin lihat yang lain, ingin

cari pengalaman).

Dari penuturan Memi tersebut, tampak bahwa Memi memiliki rasa keingintahuan
yang tinggi tentang orang-orang di luar lingkungannya sendiri. Dalam perkembangannya,
rasa keingintahuannya inilah yang membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru
Memi mengakui awalnya ia agak sedikit kecewa karena tidak bisa lulus di salah satu
Universitas di Jawa, tetapi ia tetap bersyukur karena bisa lulus di USU.

Universitas Sumatera Utara


Hal itu, karena awalnya USU memang tidak masuk dalam daftar universitas yang
diinginkannya karena kurangnya informasi tentang USU. Sebelum datang ke Medan, Memi
membayangkan kota Medan adalah kota yang metropolitan dengan segala keunikannya pula.
Ia tidak mau terlalu mempermasalahkan bagaimana situasi lingkungannya nanti dan lebih
fokus pada kuliah. Memi tidak seperti kebanyakan informan sebelumnya yang
menggambarkan kota Medan menurut stereotype yang beredar di masyarakat. Hal ini
menunjukkan bagaimana Memi menyikapi hal-hal baru dari sisi yang positif. Hal yang
menarik ketika Memi menceritakan pengalamannya ketika baru saja datang ke Kota Medan
adalah melihat ekspresinya yang menggambarkan perasaannya ketika itu.

Awalnya, ia membayangkan bahwa kota Medan sebagai kota metropolitan dengan


segala kelebihannya, bahkan tampak ia menaruh harapan yang besar tentang Kota Medan.
Akan tetapi, ternyata apa yang ia dapatkan tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Ia
menceritakannya sambil tertawa dan cemberut, merasa kecewa dengan kenyataan yang ada.
Menurut Memi, Kota Medan terkesan tidak rapi, kumuh karena sampah yang bertebaran
dimana-mana, tukang becak yang parkir seenaknya, ditambah lagi dengan keadaan gedung
kampus Fakultas Keperawatan yang kurang dirawat saat itu. Keadaan yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan lingkungan Kota Padang di mana Memi mengikuti bimbingan belajar.

“Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan barasiah, tertata lah kotanyo,

jadi patamo kali datang ka Medan, wah… kok jorok gitu kan, emang kumuh lah kesannyo,

tukang becak bertebaran dima-dima, dak jaleh se do raso tatanan kotanyo, jadi agak illfeel

patamo kalinyo dan patamo kali masuak kampus pun kayak gitu. Fakultas Keperawatan dak

kayak giko dulu doh, masih lumuik dulu sado catnyo, masih banyak rimbo. Dak sasuai jo apo

yang dibayangkan”.

(Karena dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan bersih, tertata lah kotanya,

jadi pertama kali datang ke Medan, wah… kok jorok gitu kan, memang kumuh lah kesannya,

tukang becak bertebaran dimana-mana, tidak jelas saja rasanya tatanan kotanya, jadi agak

illfeel/kecewa pertama kalinya dan pertama kali masuk kampus pun begitu. Fakultas

Universitas Sumatera Utara


Keperawatan tidak seperti ini dulu, dindingnya masih dilapisi lumut, masih banyak semak.

Tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan).

Sedangkan untuk culture shock yang dialami oleh Memi, ternyata tidak terlalu
berbeda jauh dengan informan sebelumnya yakni dari segi logat dan bahasa. Memi juga
merasa terkejut ketika tiba-tiba seseorang bertanya dan menyapanya dengan kata “Kau”.
Tetapi setelah Memi memahami bahwa kata itu memang kata yang lazim digunakan di
kalangan teman-temannya, ia pun sudah terbiasa. Tetapi pada saat ia menjalani masa ospek,
Memi sempat merasa tidak nyaman dengan sikap beberapa seniornya yang suka membentak-
bentaknya. Karena kejadian itu, hingga sekarang ia masih merasa enggan untuk bergaul
dengan mereka. Selain itu, Memi juga pernah menegur beberapa orang temannya yang makan
dan minum sesukanya pada saat bulan Ramadhan. Karena merasa tidak dihargai, Memi
langsung menegur mereka saat itu. Bagi Memi, bergaul dengan siapa pun sebenarnya tidak
ada masalah, selama bisa saling menghargai.

Di kampus, Memi tidak mau membeda-bedakan temannya dalam bergaul. Ia termasuk


orang yang suka berteman dan aktif dalam beberapa organisasi di kampusnya. Memi tidak
banyak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Dalam berinteraksi dengan orang-orang
yang berbeda latar belakang budaya dengannya, Memi mencoba untuk mengerti dan
memahami bagaimana kebudayaan mereka. Saling bertukar informasi mengenai kebudayaan
juga sering dilakukan Memi. Beberapa orang teman dekat Memi yang bukan orang Minang
bahkan memanggilnya dengan panggilan “Uni” sehingga mereka merasa lebih akrab.
Pengalamannya selama menetap di Medan mengajarkannya untuk hidup lebih mandiri lagi,
walaupun sejak kecil ia sudah terbiasa untuk tinggal jauh dari keluarganya. Selain itu, seiring
dengan berjalannya waktu ia juga merasa lebih berani dan lebih dewasa dalam menyikapi
masalah-masalah yang muncul.

Kesimpulan Kasus

Sejak kecil, Memi sudah terbiasa hidup mandiri dan suka bergaul dengan lingkungan
sekitarnya. Walaupun ia tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, tetapi lingkungan tempat
tinggalnya masih menerapkan nilainilai budaya Minang dan agama Islam. Mamak Memi
berperan sebagai penjaga, pendidik, dan juga membimbing Memi dan kakaknya dalam
menerapkan nilai-nilai budaya dan agama dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketika

Universitas Sumatera Utara


Memi harus melanjutkan pendidikannya di Medan, ia tidak terlalu kesulitan dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada. Wataknya yang ramah, suka bergaul dan
berpikiran positif membantunya dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Memiliki
identitas budaya sebagai orang Minang tidak menghalanginya untuk berinteraksi dengan
orang lain, justru dengan adanya proses komunikasi ia bisa saling bertukar informasi budaya
dengan yang lain.

Informan 10
Nama : Wahyu Eko Putra
Usia : 18 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Fakultas : Ilmu Budaya
Angkatan : 2011
Lama Menetap : ±1.5 Tahun
Alamat Tempat Tinggal : Jalan Jamin ginting, Gang Kamboja No.27
Tanggal Wawancara : 08 Oktober 2012
Peneliti baru mengenal Wahyu pada saat wawancara, tetapi karena kesamaan latar
belakang budaya peneliti dan informan bisa lebih cepat membaur. Terlihat dari
penampilannya, Wahyu adalah mahasiswa yang rapi ia mengenakan celana panjang dan
kemeja berlengan pendek. Ternyata cara ia berpakaian ini juga dilatarbelakangi oleh
pendidikan sebelumnya. Setelah berkenalan, ternyata Wahyu adalah tamatan dari Pesantren
Hamka dan melanjutkan pendidikan di SMA Cendekia yang juga menerapkan sistem asrama
seperti di pesantren. Wahyu mengakui, sekarang di Kota Padang budaya Minang itu sudah
mulai pudar. Walaupun ia sekeluarga menetap di Kota Padang, tetapi karena sejak 6 tahun
belakangan ia masuk asrama, pergaulan dan nilai-nilai masyarakat di Kota Padang yang
sudah mulai luntur itu tidak terlalu mempengaruhinya. Apalagi Wahyu memiliki seorang
mamak yang masih sering mengingatkannya akan nilai-nilai budaya, ditambah dengan
pengetahuan yang ia dapatkan di sekolah juga masih mengajarkan dan mendidik siswa-
siswanya untuk memahami budaya Minangkabau.

Sama seperti beberapa informan sebelumnya, Wahyu juga memilih universitas di


Pulau Jawa sebagai pilihan pertamanya sedangkan USU adalah pilihan terakhirnya.
Persepsinya tentang Medan sebelum berangkat ke sini juga relatif sama dengan informan
sebelumnya. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari beberapa senior yang ada di

Universitas Sumatera Utara


Medan, mereka mengatakan Medan itu keras, pergaulannya bebas, jadi harus pandai-pandai
menjaga diri. Tetapi menurut Wahyu, setelah ia menetap di sini ternyata tidak separah yang ia
bayangkan. Walaupun memang watak orang Batak itu keras, tetapi tidak semua masyarakat
Medan adalah orang Batak juga ada orang Aceh, Melayu, Jawa dan Minang. Di lingkungan
tempat tinggalnya kebanyakan adalah orang Melayu dan Aceh.

“Sabalum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh, lah carito-carito lo

samo senior-senior yang ado di Medan ko, keceknyo Medan ko kareh, trus ciek lai

pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di Medan, kecek senior-senior tu. Tapi lah pai

ka siko, indak lo bantuak tu bana do, lingkungannyo biaso-biaso se nyo. Basobok jo urang

Batak saketeknyo, kebanyakan urang Aceh, atau urang Melayu, kalau di lingkuangan Wahyu

kini ko yo, kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh”.

(Sebelum datang ke sini, mendengar kata orang, katanya keras, juga sudah cerita-

cerita dengan senior-senior yang ada di Medan, katanya Medan ini keras, trus satu lagi

pergaulannya terlalu bebas, jadi hati-hati saja di Medan, kata senior-senior itu. Tapi setelah

pergi ke sini, tidak terlalu seperti itu, lingkungannya biasa-biasa saja. Bertemu dengan orang

Batak juga sedikit, kebanyakan orang Aceh atau orang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu

yang sekarang ini ya kebanyakan orang Melayu atau orang Aceh).

Awal-awal ia datang ke Medan, ia memang terkejut melihat watak-watak orang


Medan, apalagi orang Batak yang tidak hanya keras tetapi juga tidak mau mengalah apalagi
di jalanan. Wahyu bahkan pernah ditipu oleh tukang becak yang mengantarnya dari loket
ALS ke lokasi rumah kosnya. Sejak saat itu hingga sekarang Wahyu tidak mau lagi menyewa
jasa tukang becak.

Beberapa bulan pertama ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang di Medan, Wahyu
mengalami kesulitan dengan bahasa. Walaupun di Medan bahasa percakapan sehari-hari yang
digunakan adalah bahasa Indonesia, tetapi banyak istilah lokal yang tidak ia ketahui. Selain

Universitas Sumatera Utara


itu, perbedaan logat dan susunan kata-kata yang ia gunakan sangat jelas menggambarkan ia
berasal dari luar kota Medan.

Adanya perbedaan-perbedaan itu tidak membuat Wahyu enggan untuk berinteraksi


dengan orang lain, bahkan ia berusaha untuk mencari tahu dari kawan-kawannya tentang hal-
hal yang tidak ia ketahui. Jika bagi sebagaian besar informan pada awalnya terkejut ketika
disapa dengan kata “Kau”, tidak begitu halnya dengan Wahyu. Baginya ini bukan pertama
kalinya ia bergaul dengan orang Medan, ia sudah terbiasa dengan kata itu karena semasa
SMA dulu juga ada teman-temannya yang berasal dari Medan. Sehingga untuk masalah kasar
atau tidaknya, Wahyu tidak terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja, ia terkadang merasa
tidak nyaman dengan kurangnya rasa sopan santun. Walaupun ia sadar, nilai-nilai budaya di
setiap daerah itu berbeda menurut budaya masyarakatnya masing-masing, tetapi karena ia
menilai budayanya lebih halus dan sopan karena itu ia harus membiasakan diri dengan
perbedaan-perbedaan tersebut.

“Budaya Minang itu haluih lah, kalau dibandiangan jo Batak, tu lebih sopan. Kan

kalau kesopanan tu dalam konteks budaya itu relatif, misalnyo dek urang Batak tu ngecek

kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain”.

(Budaya Minang itu lebih halus, kalau dibandingan dengan Batak tentu lebih sopan.

Kan kalau kesopanan itu dalam konteks budaya Universitas Sumatera Utara

itu relatif, misalnya kalau orang Batak biacara keras-keras itu sopan saja, tapi kalau kita kan

tentunya berbeda).

Menyadari dirinya sebagai pendatang di Medan, Wahyu lebih berhati-hati dalam


bersikap. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan budayanya, Wahyu lebih memilih untuk
diam saja dan menerima hal itu. Akan tetapi, jika hal itu ia rasa sangat mengganggu dan
merasa tidak nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada, barulah ia bertindak. Tetapi,
selama hampir dua tahun ia berada di Medan, Wahyu lebih banyak menerima saja.
Pengalamannya selama beberapa tahun tinggal di Medan mengajarkannya untuk lebih

Universitas Sumatera Utara


memahami watak orang-orang yang berbeda identitas budaya dengannya. Ia menjadi lebih
terbuka dan lebih sering berinteraksi dengan orang lain.

Kasimpulan Kasus

Wahyu yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren memegang teguh nilai-
nilai budaya dan agama yang diajarkan kepadanya. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh
orang tua dan mamaknya selalu ia ingat dan membimbingnya dalam berinteraksi dengan
orang yang berbeda latar belakang budaya dengannya. Walaupun ia mengakui budaya
Minang di Padang sudah tidak terlalu kental lagi, tetapi Wahyu tidak meninggalkan nilai-nilai
budaya Minangkabau dan agama Islam yang diajarkan kepadanya. Lingkungannya yang
seperti inilah yang kemudian membentuk identitas Wahyu sebagai orang Minang. Wahyu
sempat mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan masyarakat Medan karena faktor
bahasa dan logat yang ada. Ketika bergaul dengan teman-temannya di kampus, Wahyu tidak
menutupi identitasnya sebagai orang Minang, bahkan ia merasa bangga dan senang ketika
orang lain merasa tertarik dengan budaya Minang. Culture shock yang dialami Wahyu
hampir sama dengan yang dialami oleh informan yang lain, begitu juga dari segi makanan
danlingkungan Medan. Wahyu sangat menyadari statusnya sebagai pendatang, ia belajar
untuk memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.

IV.2 PEMBAHASAN

Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut:


Peneliti hanya mengambil 10 informan dengan metode penarikan sampel bola salju (snowball
sampling). Peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama mengenai culture shock yang
dialami dan tidak mendapatkan data baru, sehingga peneliti menghentikan pencarian
informan. Dari 11 informan tersebut maka peneliti membuat pembahasan yang dikaitkan
dengan tujuan dari penelitian ini sendiri, yakni untuk mengetahui proses culture shock, reaksi
culture shock dan upaya mengatasi culture shock pada Mahasiswa Minang di USU, sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara


1. Proses culture shock

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam uraian teoritis bahwa culture shock adalah
kecemasan yang timbul dan disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang
dalam pergaulan Sosial dalam rangka perpindahan dari lingkungan familiar ke lingkungan
baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174), demikian pula yang dialami oleh informan, yakni
mahasiswa Malaysia yang menempuh pendidikan di USU. Sebagai individu yang berasal dari
daerah yang berbeda dengan membawa segala bentuk budaya yang sudah tertanam dan
melekat dalam diri individu tersebut, maka ketika memasuki kota Medan pada umumnya dan
USU pada khususnya merupakan suatu pengalaman baru dan mereka pun turut mengalami
gegar budaya (culture shock). Dikaitkan dengan tingkat-tingkat culture shock yang
dikemukakan dalam Intercultural Communication Between Cultures (Samovar, 2007: 335-
336), maka dalam penelitian ini dibuat pembahasan sebagai berikut:
a. Fase Optimistik (Optimistic Phase)

Dari hasil wawancara dan pengamatan, kebanyakan informan melalui fase ini dimana
mereka merasakan euforia dan semangat dalam menyambut suatu kehidupan yang baru.
seperti yang dikemukakan secara terang-terangan oleh, akamal. Gambaran dan informasi
yang diperoleh bahwa USU (kota Medan) adalah tempat yang secara umum tidak jauh
berbeda dengan kota-kota besar lainya, setidaknya menjadi harapan akan sesuatu yang akan
baik. Penjabaran ini sesuai dengan definisinya bahwa fase optimistik ini berisi kegembiraan,
rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
Serta dari beberapa informan yang juga menjadi mahasiswa undangan yang menjadi suatu
kebanggaan bagi mereka yang di terima di USU melalui jalur tersebut. Dilihat dari segi
akreditasi USU adalah universitas negri yang terbaik di Sumatera, hal ini juga menjadi
sebuah motivasi bagi mereka untuk melakukan jenjang pendidikan di USU, dan atmosfir
berikut streotype bahwa Kota Medan yang besar dan suasana sosial multikultural yang akur
juga turut mendukung mereka dalam memasuki lingkungan baru di Sumatera Utara,
khususnya di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara


b. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems Phasei)

Fase ini adalah fase kritis dalam culture shock. Informan merasakan berbagai
perbedaan yang menimbulkan keterkejutan dan kecemasan dalam berinteraksi dan kontak
langsung dengan lingkungan barunya. Rata-rata informan merasakan perbedaan akan hal
yang sama, seperti ketika berkomunikasi, kendala bahasa, perbedaan nilai-nilai dan pola
perilaku kultural (Rahardjo, 2005). Seperti yang dialami Winda dan Hengki , mereka melalui
masa dimana mereka dianggap asing, tertolak dan dimusuhi. Mereka juga merasa bingung
dan sangat tidak terbiasa dengan perbedaan-perbedaan yang ada, seperti bahasa, yakni
pengalaman winda yang sampai menangis karena perbedaan bahasa dan intonasi nada yang ia
dengarkan di kota medan Rata-rata bahkan hampir semua informan mengeluh dan mengaku
shock dengan kasarnya mereka bicara dan tarif yang dibuat sesuka hati dan juga dengan
Wahyu yang hanya datang sendirian ketika pertama kali datang ke kota medan.. Peneliti
mendapatkan data gegar budaya (culture shock) tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi
terhadap lingkungan kota Medan yang terlalu padat, sempit dan traffic jam di lalu lintas
Medan, juga cita rasa makanan Medan.

c. Fase Kesembuhan (Recovery Phase)

Setelah melewati beberapa tahun di Kota Medan, akhirnya informan mulai mengenali
lingkungan barunya. Rata-rata informan mengaku tidak lagi mengalami sesuatu yang terlalu
dicemaskan, hanya saja mereka masih terus belajar tentang budaya baru tersebut, terutama
mengenai bahasa. Perlahan-lahan informan menemukan kenyamanan dan menghargai segala
perbedaan sebagai bentuk budaya yang lain yang patut dihormati. Merasa dibeda-bedakan
dalam berinteraksi sedikit banyak juga masih dirasakan, seperti Silmi dan Dilla. Tetapi,
kebanyakan informan mengaku sudah mulai menganggap itu biasa dan mampu beradaptasi.

d. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase)

Dalam fase ini pendatang sudah mengetahui elemen kunci budaya barunya, termasuk pola
komunikasi dan sebagainya. Pada fase ini pula ada rasa puas dan menikmati kondisi yang
dihadapi. Para informan rata-rata mengaku sudah mampu beradaptasi. Meskipun demikian
masih terus berada dalam proses belajar akan budaya itu, khususnya bahasa. Informan juga

Universitas Sumatera Utara


melakukan hal-hal baru yang membuat mereka menikmati hidup di lingkungan yang berbeda
dengan mereka.

1. Reaksi terhadap culture shock

Perbedaan dan gegar budaya yang dirasakan menimbulkan kecemasan dan gangguan secara
fisik dan psikis seperti dikemukakan (dalam Samovar, 2007: 335) mengenai beberapa reaksi
terhadap culture shock. Dari penelitian ini ditemukanpada drir Silmi yang cukup sulit untuk
beradaptasi dengan lingkungan barunya, bahwa berbagai reaksi yang dirasakan informan
adalah merasa ditolak, merindukan lingkungan lama dan keluarga (homesick) yang
mengakibatkan kesedihan yang mendalam selama beberapa waktu seperti yang dialami silmi
lain halnya dengan memi dan putri yang memang telah biasa untuk cepat beradaptasi dengan
lingkungan karena pengalaman dari dalam keluarga mereka pada sebelumnya, menganggap
tuan rumah tidak peka, gangguan fisik karena makanan dan udara yang tidak cocok. Tetapi
secara keseluruhan, kebanyakan informan mengalami reaksi homesick.

2. Upaya mengatasi culture shock


Dari penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil bahwa informan mengatasi culture shock
yang timbul karena perbedaan-perbedaan yang dirasakan dengan belajar dari si pemilik
budaya, yakni tuan rumah, orang Medan itu sendiri. Informan membuka diri untuk berbaur
dan bergabung dengan mahasiswa Medan di kampus atau bahkan di luar kampus. Ini juga
dimotivasi dengan kesadaran sebagai pendatang yang harus berinteraksi dan juga kebutuhan
akan hal itu demi kelangsungan hidup. Seperti yang dilakukan Gally, Hengki, Wahyu, Frezi
dan Memi. Mereka bergaul dengan orang Medan tidak hanya untuk urusan kampus saja,
tetapi juga hang-out bersama, bahkan seperti akmal sampai mendapatkan pekerjaan dan
tempat tinggal gratis.Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi (dalam Mulyana dan
Rakhmat, 1993: faktor komunikasi perSonal, komunikasi Sosial dan lingkungan juga turut
mempengaruhi.

Komunikasi personal seperti struktur kognitif, meliputi pengetahuan tentang budaya yang
dimasuki, self image si informan sebagai individu dan juga motivasi yang mengacu kepada
kemauan imigran untuk belajar tentang dan berpartisipasi dalam lingkungan budaya baru.
Kemudian, komunikasi Sosial yang meliputi komunikasi interpersonal dengan orang-orang
Medan juga interaksi dengan sesama etnis dimana rata-rata informan yang tergabung dalam

Universitas Sumatera Utara


sebuah kelompok dengan persamaan asal bahasa dan daerah, tanpa akan lupa perlunya
berinteraksi dengan etnis lainyaMereka berpegang pada kesadaran akan adanya perbedaan
dan kebutuhan akan interaksi.
Sekiranya, dari penelitian ini benar apa yang dikemukakan oleh Schramm (dalam
Liliweri, 2001: 171) bahwa dalam membantu suatu komunikasi antarbudaya yang efektif,
partisipan komunikasi harus memperhatikan empat syarat, yakni (1) menghormati anggota
budaya lain sebagai manusia; (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan
bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain
untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator antarbudaya yang
kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Apa yang
dikemukakan Schramm jelas terbukti dalam penelitian ini. Informan yang menyadari
kondisinya sebagai pendatang berupaya untuk menerima perbedaan yang ada dan menghargai
itu sebagai suatu budaya lain yang juga harus dihormati akan lebih cepat beradaptasi dan
berinteraksi dengan lebih baik.

Demikian pula peneliti menyakini perspektif interaksi simbolik berusaha memahami


perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif yang menyarankan bahwa perilaku
manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra
interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan
diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Artinya, bisa jadi informan yang
lebih cepat beradaptasi seperti Akmal, Hengki, Wahyu dan galih memiliki ekspektasi
mahasiswa Medan yang positif yang akhirnya mendorong mereka untuk mau berinteraksi,
melakukan komunikasi antarbudaya, meskipun dengan berbagai kendala dan perbedaan yang
dirasakan tetapi memperoleh pembelajaran tentang budaya Medan.

Mereka memberikan definisi yang lebih baik tentang orang Medan dan menghargai
perbedaan yang ada dibandingkan informan yang memilih berkelompok dan hanya
berinteraksi untuk urusan kuliah saja. Sedangkan informan yang memberikan definisi yang
cenderung negatif tentang lingkungan Medan dan orang-orang di dalamnya seperti Winda,
Silmi dan Putri yang memaknai situasi dan perilaku orang medan yang tidak ingin berteman
dengan orang Minang, maka mereka cenderung berkelompok dengan sesama mahasiswa
Minang dengan segala bentuk kenyamanannya.

Universitas Sumatera Utara


Tidak hanya memberikan definisi terhadap orang lain, definisi yang mereka berikan
terhadap diri mereka sendiri juga mempengaruhi perilaku mereka. Informan yang lebih cepat
dalam beradaptasi dan mengatasi culture shock yang dialami, mendefinisikan dirinya sebagai
pendatang yang seharusnya belajar budaya tempat yang Ia datangi dan berkomunikasi dengan
orang-orang yang didalamnya, bukan seorang yang berada di suatu tempat asing dengan
segala sesuatu yang terasa asing sehingga memilih menarik diri dan tidak melaukan
komunikasi antarbudaya. Jadi, perilaku individu berdasarkan makna/definisi/penafsiran itu.

Selain itu, terdapat hal-hal yang memotivasi diri untuk berkomunikasi dengan orang-
orang Medan, tetapi untuk informan yang mendefinisikan dirinya sebagai pendatang yang
diasingkan, ditolak dan berbeda, maka perilaku mereka cenderung lebih sering berkelompok
dan hanya berkomunikasi seadanya untuk urusan perkuliahan. Hal ini dijadikan sebagai
perlindungan bagi culture shock yang mereka alami. Memang benar bahwa menurut Deddy
Mulyana (dalam Mulyana, 2005: 144), lingkungan yang berisi sesama pendatang dengan asal
yang sama membantu proses penyesuaian dan penerimaan terhadap budaya lingkungan baru,
tetapi alangkah baiknya upaya menanggulangi culture shock dengan belajar dan
berkomunikasi dengan tuan rumah langsung demi penyesuaian diri.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang culture shock pada pelajar Minang di Universitas
Sumatera Utara, maka dapat ditarik kesimpulan:

1. Para mahasiswa asal Minangkabau memiliki kecenderungan culture shock tergolong


sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa
informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan
berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia
dengan baik, dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.

2. Kebanyakan informan melalui keempat fase dalam culture shock, yakni fase
optimistik, fase masalah kultural, fase penyembuhan dan fase penyesuaian.

3. Culture shock yang dirasakan dalam hal interaksi komunikasi antarbudaya ialah
terhadap bahasa, kuat dan kasarnya cara orang Medan berbicara, karakteristik orang
Medan dan juga beberapa perbedaan nilai-nilai. Dari seluruh perbedaan, bahasa yang
dianggap menjadi persoalan dalam berkomunikasi.

4. Dari penelitian ini, peneliti memperoleh temuan mengenai culture shock yang dialami
informan di luar interaksi komunikasi antarbudaya, yakni makanan, keadaan lalu
lintas, kegiatan merokok dan mencontek di lingkungan kampus dan fasilitas dan
birokrasi kampus yang masih belum memadai, tetapi kebanyakan informan mengaku
mengalami culture shock terhadap makanan dan lalu lintas kota Medan yang padat
dan tidak teratur.

5. Rata-rata reaksi terhadap culture shock yang dialami adalah rindu pada
rumah/lingkungan lama (homesick) dan gangguan fisik, seperti sakit perut karena
tidak cocok dengan makanan yang ada.

Universitas Sumatera Utara


6. Jenis kelamin, lama menetap dan asal fakultas cukup berpengaruh terhadap culture
shock yang dirasakan dan upaya dalam menanggulanginya menuju suatu penyesuaian
diri
.
7. Faktor personal seperti watak/kepribadian, pengalaman sebelumnya, pengetahuan dan
juga motivasi, serta komunikasi sosial yaitu intensitas interaksi dengan tuan rumah
dan lingkungan juga mempengaruhi proses adaptasi.

8. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa upaya dalam menanggulangi culture shock
menuju suatu penyesuaian diri, yakni memegang prinsip sebagai pendatang harus
bersedia untuk beradaptasi dengan lingkungan yang didatangi, memperbanyak teman
orang-orang Medan dan meningkatkan intensitas keterlibatan dengan orang-orang
Medan, baik di kampus maupun di luar kampus. Upaya lainnya adalah dengan tetap
memilih berkelompok dengan sesama mahasiswa asal Minang dan berlindung di balik
kenyamanan yang dirasakan selama berada denngan sesama dibawah organisasi
kedaerahan. Tetapi, mayoritas informan melakukan upaya yang pertama, yakni
beradaptasi dan memperbanyak teman orang-orang Medan .

V.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti perlu mengajukan beberapa saran:


1. Hendaknya mahasiswa asal Minang mau belajar memahami budaya Indonesia pada
umumnya dan Medan pada khususnya.

2. Hendaknya perbedaan dan keterkejutan budaya/culture shock yang dirasakan


memotivasi mahasiswa asal Malaysia untuk terus belajar mengenal dan memahami
budaya Medan yang merupakan lingkungan baru yang mereka datangi.

3. Hendaknya mahasiswa asal Minang yang masih memilih untuk hidup berkelompok
dengan sesamanya karena kenyamanan yang dirasakan mulai berupaya membuka diri
untuk melakukan interaksi dan komunikasi antarbudaya dengan orang-orang Medan,
karena hal ini juga akan membantu menanggulangi culture shock yang dialami
menuju suatu penyesuaian diri.

Universitas Sumatera Utara


4. Hendaknya mahasiswa asal Minang,yang melanjutkan studi di USU meningkatkan
sosialisasi dan toleransi dengan orang-orang Medan.

5. Hendaknya mahasiswa Medan juga menerima mahasiswa Minang dan daerah lain
dengan baik, membantu dan menghargai perbedaan budaya yang ada untuk membantu
proses adaptasi mereka juga.

6. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat culture shock yang dialami
etnis pendatang dan minoritas, serta membantu memberikan masukan mengenai
upaya lain dalam menanggulanginya dan dalam mempercepat proses adaptasi mereka.
Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang sejenis pada
kondisi atau subjek yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan.2001.Metode Penelitian Sosial.Surabaya:Airlangga University Press.

Harahap,Ahmad Rivai. 2006. Jurnal Antropologi Sosial Budaya.ETNOVISI Vol II No 1 :

Digitalized by USU digital library

Lubis, Lusiana Andriani dan Pinem, Emma Violita. 2012. Komunika Jurnal Ilmu Komunikasi

Volume VIII, No.2/2012. Indonesia, Medan: Universitas Sumatera Utara

Kriyantono,Rachmat. 2006.Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:Kencana

Liliweri,Alo 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara Perbedaan

Budaya Bandung: Digitalized by USU digital library

Mikkelesen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatorisan dan Upaya-Upaya

Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Marthin, Judith dan Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural Communication in Context.

New York : Mc. Graw Hill International Moleong, Lexy J. 2005.

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi

dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Peneltian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pinem, Emma Violita. 2011. Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada

Mahasiswa Asal Malaysia di Medan. Skripsi. Medan, Indonesia: Universitas

Sumatera Utara

Smart, Nigel. 2004. Cryptography: An Introduction (3rd Edition)

Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Cultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Samovar, dkk. Communication Between Cultures. USA: Thomson Higher Education

Universitas Sumatera Utara


Sumber Lain :

http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_sho
ck .(diakses pada tanggal 17 mei 2012).

http://suheimi.article.com/2007/06/syarak-mangato-adat-mamakai-20-2-juni.html.
(diakses pada tanggal 18 mei 2012)

Lampiran Hasil Wawancara

P = Peneliti

I = Informan

1. Salmi Hengki

P: Manuruik ki baa karakter urang minang ko?

I: satahu ki urang minag ko dikecekan kareh ndak loo doh, tapi urang minang ko lai

capek baradaptasi jo urang lain atau jo lingkungannyo, dan labiah capek bersosialisasi,

karakter urang minang ko labiah fleksibel.

P: salamo ki di medan lai ki bergaul jo urang lain, selain etnis medan

I: lai ado awak bagaul jo etnis lain katiko dikampus, jo urang batak, melayu, india

bahkan cino pokoknyo sadoalahnyo, Cuma dek lingkungan wak urang padang mako labiah

dakek wak ka urang padang.

P: baa pikiran jo persaan ki waktu tibo di medan? katiko masuak lingkungan baru?

I: dek dari sekolah sd wk lah jauh juo dari urang gaek, smp dan sma, jadi ndak terlalu

asing bagi wk untuak masuak sebuah lingkungan yang baru.

Universitas Sumatera Utara


P: sebelum kemedan kan alun tahu baa gambaran kota medan ko, jadi streotype po nan

tapikia samo hengki?

I: dalam gambaran wk medan tu kota yang kareh dan urangnyo urang batak dan wk

anggap urang batak ko urang nan terkenal kareh mangeceknyo, sebab waktu wk sma dulu

ado urang batak dan urang batak tu kareh bukan dek kceknyo se, tapi prinsipnyo kareh juo.

P: ado permasalahan katiko tibo di medan ko?

I: kalau permasalahan lai, cuma ndak terlalu barek, sebab dek awak lah biaso jauh dari

urang tuo, paling mancocokan makanan jo cuaca, itu pun ndak tarlalu lamo awak marasoan,

paling saminggu nan agak payah wak lalok jo makan, masuak minngu kaduo ndak masalah se

lai

P: apo perbedaan nan paling mancolok katiko di kampuang jo katiko kuliah dimedan?

I: perbedaan di kampuang jo medan, ko kalau dikampuang masalah-masalah pribadi

lebih capek urang tahu sebab dikampuang tu buruak elok wak langsuang capek tahu urang

mungkin dek wilayah nan ketek, beda jo medan ko individualisme urang labiah tinggi jadi

urang dimedan ko ndak ka mau tahu jo masalah wak, paling katiko wak bagabuang dalam

suatu komnitas atau kelompok lah urang mangko katahu, itu pun ndak kasado urang lo bisa

tahu.

P: katiko ado kendala atau masalah dimedan, baa caro hengki menghadapinyo?

I: misal waktu tu masalah makan, karano ado perkumpulan minang disitulah awak

banyak batanyo dima tampek makan, tampek bali buku selain tu ado dari senior-senior di

kampus atau di kost yang maagiah awak arahan.pokoknyo sadoalah tentang medan ko wak

tahu dari komunitas mahasiswa minang dan senioren awak dikampus

P: Jadi apo pelajaran yang hengki dapek katiko memasuki sebuah lingkungan baru?

I: Pelajaran yang awak dapek, awak jadi lebih menghargai urang lain, sebab awak

basobok jo urang-urang nan berbeda, dari situ awak bisa mancaliak baa gaya hidup urang,

Universitas Sumatera Utara


bantuaknyo ado alasan masing-masing setiap urang tu, baa kok anyo bersikap seperti nan

awak caliak, dan katiko awak hargai urang lain, mako disitu lah awak akan dihargai urang

lain disitulah muncul jiwa-jiwa toleransi awak terhadap urang lain.

P: apo saran hengki katiko malanjutkan pendidikan diluar sumatera barat?

I: yang partamo jaan malu-malu batanyo, jaan jadi uarang yang sok tahu wak katiko

dinagari urang ko, apo lai nan baru bapisah jo urang gaek, itu biasonyo urang tu maraso

masih barado dirumahdan itu sangat babahayo sebab ndak ado jaminan apo yang wak

inginkan bisa terwujud.intinyo jaan pernah manyamoan diri dirumah dan dirantau urang ko.

2. M.Akmal Nur

P: Baa kok Akmal dipanggia datuak?

I: Waktu ado penyambutan mahasiswa baru dari komunitas atau organisasi urang

minang, jadi disitu ado pemilihan datuak jo bundo, kebetulan lah awak nan tapiliah sajak

itulah kanti-kanti maimbau awak datuak.

P: Baa interaksi datuak jo urang-urang baru dan lingkungan baru di medan ko?

I: Buliah di kecekan biaso-biasosenyo kebetulan pas baru bana tibo dimedan ko awak

tingga samo mak tuo wak, jadi ndak kontras bana lah rasonyo dirumah jo dimedan, pas dikost

patangtu interaksi ndak bitulah bana doh, sebab wak baduo se jo bang zulfikar nan muslim

jadi sekedar say helo senyo,Cuma dek lah cukuik lamo cukuik akrab juo jadinyo tapi sabateh

kawan se

P: Jadi baa caritonyo datuak kini bisa tingga di toko eiger ko?

I: Partamokan ado senior wak di KOMPAS USU, sebelum tu wak alun tahu jo senior tu

lai, wak masuak kompas awal 2011, disitulah wak kenal jo pemilik kadai ko, tu kalo ndak

salah sabulan sudatu di telpon no wak, keceknyo dek ndak ado nan manjago kadai ko

Universitas Sumatera Utara


ditawarannyo wak, tu wak pikia-pikia ado untuangnyo, selain wak bagaji, tampek tingga gae

perai ndak mambayia, tu nan pasti wak lai suko pulo manggaleh.

P: Lai ndak tagaduah kuliah datuak dek manggaleh ko?

I: Indak lo doh da, nan jago dari pagi sampai sore ado, namonyo bang solihin. Jadi wak

kakuliah ndak masalah doh. Nan punyo tampek ko namonyo bang dejo ekonomi stambuk

96.bang dejo ko ngecekkan yang penting wak tingga dsiko.

P: Maa yang lasuah di rumah atau disiko?

I: Baa ka baa lasuah dikampuang, tapi disiko namonyo manusia awak sabagai urang

minang marantau istilahnyo untuak anak mudo harago mati kalau ndak ado usaho

dikampuang ancak marantau wak lai. Jadi untuangnyo disiko manambah wawasan wak yang

partamo pasti kuliah, karajo dan dapek pangalaman nan baru.

P: Takajuik datuak ndak waktu baru-baru tibo di medan ko apo lai tentang pergaulan?

I: Kalau dari segi pergaulan ndak lo doh, sebab dulu wak lai juo pai marantau ka kota

Gadang atau metro politan Cuma tu lah walaupun kota gadang tapi insfrasrukturnyo banyak

nan ndak layak pakai caliak lah angkotnyo jalannyo bedo jauh lah jo bukittinggi.

P: Di dalam manampuah kuliah ado ndak kendala datuak?dikampus?

I: Ado tapi ndak bitulah bana doh,Cumo tu lah kalo awak anak fisip ko memang harus

berorganisasi kalo maarokkan dari dosen se ndak kaado dohh, mencari keahlian wak yang

lain memang harus diorganisasi, po lai nantik untuak dunia kerja fisip ko masih ngambang, di

awang-awang mangko no wak butuh keahlian lain untuak manunjang wak nantik mode awak

jurusan administrasi negara kan ndak harus karajo dipemerintahan mungkin se diwirausaha.

P: Baa tuak mancaliak budaya, kebiasaan-kebiasaan orang medan ko sebab medan ko

kan multikultural?ado ndak kesulitan dalam bahaso?

I: Kalau bahaso lai lah tapi ndak lamo bana lo doh, kalo soal budaya dikota medan ko

ndak jaleh se, istilahnyo kama anagin baambuih kakian lo baliang-baliang baputa, apo nan

Universitas Sumatera Utara


trend itu lo diikuti ado nan iko, iko lo baikuikan, ado nan baru langsuang lo batuka,

kebanyakan ndak baprinsip lah mulai dari bapakain sampai caro mangecek, kini k-pop bisuak

ntah apo lolai. Mungkin dek dimedan ko majemuk multi etnis multi agamo jadi panutan tu

ndak jaleh se, kalau dikampuang kan ado datuak atau nan tuo jaleh ka jadi panutan

P: Ado streotype yang negatif ndak tentang kota medan sabalum datuak datang? Misal

orang medan ngecek kasa-kasa?

I: Ndak ado doh da sabab wak lah cari-cari info sabalum kamedan ko, bukan orang

batak lo nan banyak dikota medan ko.

P: Baa kok Mapala nan datuak piliah berorganisasi dikampus?

I: Yo sajak SMA wak lah gabuang juo di KPA Bukittinggi, selain tu dimapala ko ndak

ado menyepelaan hal nan ketek, kebersamaanyo solid pulo. Sarandah-randah awak pasti

ditarimo dimapala ko. Jadi wak bagabuang disitu ndak ado baketek-ketek hati, istilahnyo

minder-minder. Bantuak tukang becak bana nyo mahasiswa pulang bawo becak nyo ka

mapala tukang parkir nan mahasiswa ado juo.

P: ado ndak raso taragak samo urang tuo atau homesick lah?

I: Yoo kalo taragak lai lah Cuma dek dari SMP wak lah pisah samo urang gaek, awak

dulu pesantern jadi tingga diasrama.

P: Baa caro datuak mengatasi permasalahan dimedan ko?

I: awak ado panutan atau filosofi iduik lah daa

P: apo pegangan atau filosofi datuak tu?

I: ”Dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, ingek dahan kamaimpok ingek

ranting ka malantiang, kalau sasek diujuang jalan babaliak kapangka jalan”.mungkin tu

bahubuangan jo kahidupan awak jo agamo yang awak jalani,seandainyo awak baa-baa, awak

lupo atau cilako jo kehidupan wak surang pasti karano awak surang bukan karano urang lain

Universitas Sumatera Utara


nan maksud wak tu kalo wak lah terlalu jauh maninggaan agamo ingek-ingek lah baliak,

baliak lah kapangka.

P: Sampai kini itu datuak pedoman di aplikasian untuak mengatasi masalah atau

manjalani kahidupan dirantau ko?

I: insyallah, di kecekkan lancar ndak lo dohh tuu ado tasandek stek, namonyo awak

manusia, artinyo walaupun awak urang minag basosial tinggi tapi jaan lupo jo agamo, kan

mode adaik basanding syarak, syarak basandi kitabbullah

P: Apo ado nan lain datuak pahami dari rantau dinagari urang ko?

I: Ado da, mode ko wak pahami da ibaratnyo “elok-elok jo tampuo basarang randah”.

P: Makasuik datuak?

I: Tampuo tu labah, biasonyo labah tu kan basarang tinggi-tinggi bantuak diateh batang

karambia, kalaunyo basarang randah pasti ado panjagonyo dibawah kok ula nan basarang

atau pinyangek nan baracun, artinyo dalam wak bersosialisasi di masyarakat yaitu urang nan

marandah bukan urang sok tu pasti ado kalabihannyo ado palinduangnyo, ado ilmunyo, ilmu

disiko ado ilmu agamonyo, walupun wak sapele mancaliak urang tu tapi kalu dimato tuhan

tinggi derajat urang tu. Ndak baa wak hormat ka urang mode tu dari pado urang nan dari lua

tampang covernyo rancak tapi nyo sombong

P: jadi ndak ado cangguang datuak dirantau urang ko?

I: Cangguang wak insyallah ndak ado doh da, yo bak kato rang gaek juo “indak ka

disio-sionyo wak doh” bak kato ulama kalo wak manjalanan agamo patuah ka tuhan tu ndak

kadisio-sionyo wak tulah pedoman wak, sasuai jo filosofi wak tadi tu, bajalan wak mauruik

alurnyo ndak ka disio-sionyo wak dek tuhan doh, walaupun kanai, kanai-kanai saketek tando

awak manusia, sampai kini wak inssyallah ndak cangguang doh

Universitas Sumatera Utara


P: Apo pesan-pesan datuak? Tadi kan datuak lah maagiah caro mengatsi problem katiko

wak masuak ka lingkungan baru, kan banyak nantiknyo urang minang nan ka malanjuikan

studi atau marantaulah ka nagari urang?

I: Pasan wak yo, kanalah dasar wak, wak urang minang ko kan galia cadiak pandai “kok

taimpik nak diateh kok takuruang nak dilua” tukan sesuatu nan ndak mungkin kalau

diurang lain mungkin ndak masuak aka tapi diminang sesuatu nan mustahil tu mungkin se

diurang minang ko, kanalah dasar wak tu jaan menganggap remeh di nagari nan baru ko tiok

nagari ko pasti batuah kok sombong atau sok pasti ado se balehnyo kadiri wak surang, baa ka

baa na wak kan tamu disiko hormatilah urang pribumi disiko jaan samoann jo di rumah.

Haragoilah urang lain pasti urang lain maharagoi awak, ndak ka ado urang jaek ka awak kalo

ndak awak nan kamamulai doh, ibaraik papatah urang gaek lo baliak da ,kecek rang gaek da

“salah urang mangko salah awak, salah awak mangko nampak salah urang, dek awak

nan salah mangko nampak urang tu nan salah”.kalau wak ndak salah ndak ka nampak

salah urang doh.

3. Winda Zulfi

P: Di keluarga winda masih kental dak samo budaya Minang?

I: Lai, masih dipakai.

P: Kalau di keluarga Nda pakai bahaso Minang?

I: Iyo.

P: Nda ado punyo mamak?

I: Mamak Inda, iyo lai ciek di Pasaman.

P: Hubungan nda samo mamak Nda ba a?

I: Dakek, soalnyo acok la komunikasi.

P: Penanaman nilai-nilai budaya Minang dari mamak Nda ba a?

Universitas Sumatera Utara


I: Lai, misalnyo istilahnyo katiko wak bersikakp jo urang gitu, kalau ado yang salah

langsuang capek tanggap gitu mangecek an langsuang ka Inda sabalum ka Ama, kdang labiah

acok nyo dulu mangecek an ka Inda, daripado Ama mengecek an dulu ka Inda gitu a, soalnyo

dakeknyo tu katiko Nda ketek-ketek nyo lah tingga jo Ama Nda, jadi lah dakek.

P: Kalau pendapat Nda tentang budaya Minang ba a?

I: Budaya Minang kalau menurut Nda, dek Nda dari Minang, ancak.

P: Apo nyo yang rancak menurut Nda?

I: ancaknyo kalau nampaknyo dek Nda gitu, kalau dari segi awak basamo-samo

bakawan, patamo nyo yang itu, labiah dakek gitu a, labiah samo-sao peduli la dibandiangan

kalau misalnyo wak samo urang lan yang bahasa-bahasa tu, kan urang tu kebanyakan tipenyo

cuek gitu a, kalau awak kan labiah raso kekeluargaannyo, labiah dakek gitu.

P: Sabalumnyo Nda lah pernah pai marantau?

I: Lai, di Padang Panjang, pas Tsanawiyah, SMA.

P: Bara tahun tu?

I: 6 tahun.

P: Kalau Nda surang dulu, ado ndak keinginan Nda surang untuak pai marantau?

I: Iyo, memang keinginan Nda, asik se gitu, misalnyo Ndak kan dak di Pasaman do, di

Padang Panjang, katiko sakali-sakali pulang tu lasuah gitu a. Pado acok-acok na sobok, dak

lasuah do, gitu dek Inda.

P: sabalum Nda pai-pai tu ado mamak Nda pasan ndak?

I: Lai, elok-elok disitu yo, jan kalua-kalua malam, makan dijago, gitu a.

P: Kalau tentang Nda bersikap ba a?

I: Lai, misalnyo kalau ka urang tu pandai-pandai la, jan kasa-kasa gitu a, pandai-pandai

la bakawan di rantau.

P: Kalau persepsi Nda surang tentang Medan dulu ba a?

Universitas Sumatera Utara


I: Medan ko kasa (memelas), ndak nio do, sumpah ndak nio do.

P: Tu ba a dulu caritonyo dapek di USU?

I: Nyo giko a, ba a namonyo tu, pas ma isi PMP, kan Nda anak PMP, jadi pas patamo

maisinyo ambiak formulir UNAND, jadi namonyowak disaring dulu kan, tu ado persaingan

lo disitu, tu Nda mangalah se nyo, Nda ambiak se formulir USU lai, “Buk Inda se la ma isi

formulir USU buk”, cek Nda.

P: Ndak do Nda pikia-pikia na do?

I: Ndak, waktu tu dipikiran Inda Cuma Kesehatan Masyarakat.

P: Tu pas lulus ba a perasaan Nda?

I: Iyo, sanang bana ko ati Nada, soalnyo Nda urus surang dek uni.

P: Trus pas nda ka pai ka Medan ko dulu, ado dak nyari-nyari tau tentang Medan?

I: Ndak.

P: Atau nyari-nyari tau ka senior gitu?

I: Ndak lo do, tau gitu se nyo takajuik. Apolagi pas ospeknyo tu a, kan Inda kanai

berang tu, Inda talambek, tu ado kakak yang menyapo Inda, tu Nda sapo, tu diberangan dek

urang.

P: Lai ndak nangih Nda?

I: Nangih Nda, “Kau ngomong sama Ku Dek, ngapain Kau ketawa-ketawa kesana”

keceknyo, surang lo di muko tu Nda di hariaknyo.

P: Keluarga Nda ado disiko?

I: Lai, sodara nenek jo apa, jauah, tapi interaksinyo acok gitu lah.

P: Pas tibo disiko tu Nda nginap disitu dulu?

I: Patamo iyo, nginap disitu dulu, baru habis tu tingga di pembangunan Nda dulu,

nompang tampek pacar bang Jo, kak Upit.

P: Ba a Nda taunyo ado ikatan mahasiswa Minang disiko?

Universitas Sumatera Utara


I: Awalnyo kan ado penyambutan di gelanggang, disitu Nda sobok gitu, soalnyo urang

tu disitu, patamo Nda sobok jo da Rozi. Tu langsuang duduak-duduak di tikar tu ma.

P: Ba a rasonyo waktu tu patamo kali?

I: Lasuah, ndeh…awak disambut, lai rami.

P: Kalau sosialisasi nda di kampus waktu tu ba a?

I: Di kampus kebetulan, kan kami anak Minan batujuah, Inda surang yang beda

kelasnyo, salabiahnyo urang baranam ko samo kelasnyo, kelas A, Inda kelas B, jadi Nda

labiah banyak berinteraksi samo anak-anak Medan.

P: Kalau disiko Nda masih pakai bahaso Minang?

I: Disiko kalau samo-samo urang Minang, pakai bahaso Minang Inda, kalau misalnyo

lah sobok jo kawan-kawan nan indak urang Minang, pakai bahaso Indonesia, tapi kadang

pakai bahaso Minang.

P: Tu waktu Nda berinteraksi samo urang-urang Medan tu, ba a menurut Nda?

I: Awal Nda waktu tu kan Nda PMP, matrikulasi, ampia manangih Nda di pa kau an nyo

dek urang, takajuik Inda gitu a, “Kau dari mana?”. Eh…Ya Allah, di pa kau an nyo Inda, Inda

waktu tu lah kenal jo Faisal, Nda kecek an ka si Faisal, “Faisal, Nda di pa kau an nyo” cek

Inda, “ndak ba a do”. Agak cangguang Inda mandanganyo patamo, tapi nyo biaso-biaso se,

inyo santai se, Inda yang respon Inda takajuik.

P: Pas Inda tibo disiko apo lai yang buek Inda takajuik?

I: Nasinyo, dak suko, lakek-lakek ba a gitu. Ndak nio Nda makan do.

P: Apo lai?

I: Urangnyo, ba a tu, dek awak baru-baru tu, tu mandangan dialeknyo mangecek gitu

kan, apolagi supir angkot, takuik Nda.

P: Kalau naiak becak gitu?

I: Yo ndak barani Nda do.

Universitas Sumatera Utara


P: Kini?

I: Kini alah, tu awak caliak lo ba a perawakan urang tu, ba a gitu, menakutkan.

P: Kalau samo kawan-kawan disiko ado ndak perubahan sikap kawan Nda waktu nyo tau

Nda urang Minang?

I: Ndak ado na do, masih biaso-biaso se nyo, kalau untuak perubahan kayak ka

sinis gitu indak do. Paliang dak namo dipanggia nyo, uni, bundo, dindo, gitu.

P: Kalau tentang lingkungan disiko ba a menurut Nda?

I: Disiko, kumuah, angek, banyak debu, polusinyo terlalu banyak, angek bana

ko a, lameh Inda patamo disiko.

P: Tu a lai?

I: Sudah tu banyak nyamuak, pengap, dek ventilasinyo kurang. Agak aneh dek

Inda taraso, lameh Inda patamo disiko.

P: Di kampus jo sia-sia se Nda bakawan?

I: Jo urang Medan ado, Aceh Ado, Pakanbaru ado, tu urang Padang.

P: ma yang labiah acok Nda berinteraksi samo urang-urang awak atau samo

urang-urang disiko?

I: Labiah banyak Nda interaksi samo urang dak Padang do.

P: Ma yang labiah nyaman Nda?

I: Labiah nyaman Nda samo urang yang disiko.

P: Ba a tu?

I: Soalnyo nak, kalau samo urang Padang, ba a namonyo tu, pikirannyo tu, giko

a, (bingung). Jaleh perbedaannyo, misalnyo kalau samo-samo urang Padang

disiko kayaknyo beranggapan saingan gitu a, kayak-kayak saling

menjatuhkan, tapi ntah, ndak itu namonyo gitu a, labiah dulu inyo

manolongan yang disitu kalau dibandiangan Inda, urang Medan jo urang

Universitas Sumatera Utara


padng gitu kan, labiah dulu lo urang Medan ko manolongan Inda daripado

urang iko yang manolongan Inda gitu a, ba a namonyo dek uni tu.

P: Trus ado ndak Nda mambahas-bahas tentang budaya gitu?

I: Lai sakali Nda batanyo, kayak kawan Inda, urang Sidempuan, nyo kan

dilarang dek ama nyo, kalo pacaran atau kawin samo urang Padang. “Ba a

tu?” kecek Inda. Tu dikecek an nyo, mang lah persepsinyo dulu kayak gitu tu,

keceknyo urang Padang ko cadiak buruak, pilik, sagalo macam, “Jan lai, kok

gitu? Kan dak sadonyo do”, kecek Nda..

4. Silmi Tresia

P: Di keluarga Isil masih kental samo budaya Minangnyo?

I: Hmm…dak kental-kental bana sih, cuma biaso-biaso se, kalau iko mungkin

dek lah pengaruh modernisasi jadinyo lah tacampua, dak musti kayak

keluarga lain, kalau ado acara adat, iyo bana-bana harus pakai iko, pakai iko,

kalau di keluarga Isil dak gitu bana do.

P: Kalau suku Isil apo?

I: Mandailiang, ama sukonyo mandailiang.

P: Isil punyo mamak?

I: Lai, tigo urang.

P: Hubungan Isil samo mamak-mamak Isil?

I: Lai dakek.

P: Ba apengajaran budaya-budaya Minang dari mamak Isil?

I: Buliah dikecek an dak ado do, soalnyo mamak-mamak Sil lah pai marantau, ado di

Pakanbaru, Bandung, Jakarta yang ado dakek rumah yo saketek-saketek gitu, dak terlalu.

P: Kalau pengajaran tentang sopan-santun atau nilai-nilai gitu?

Universitas Sumatera Utara


I: Kalau itu labiah banyak dari apa.

P: Ba a persepsi Isil surang tentang urang Minang?

I: Kalau menurut Isil budaya Minang tu, emang yo bana-bana Islamnyo mang kuek gitu,

kayak urang lain tau kalau urang Minang, pasti urang Islam, kalau adaik Minang kan, adaik

basandi syarak, sayarak basandi kitabullah, jadi emang lebih kental ka ajaran agamanyo, trus

nilai-nilai moralnyo, yo bana-bana diparatian, kalau duduak se la misalnyo awak cewek,

harus elok-elok kalau ngecek, tata cara ngecek gitu kan, jadi yo bana harus diparatian,

walaupun kini lah zaman modern, tapi pas ado acara-acara tu lah lamo dak ditampilkan tetapi

tetap menarik, walaupun dak disiko, dak di Padang, tetap menarik gitu, punyo keunikan

surang-surang la.

P: Kalau Isil sendiri menampilkan budaya itu dalam kehidupan sehari-hari ba a?

I: Kalau Sil, emang lah Sil tanamkan dari dulu, mungkin Sil lah dari ketek diaja dek

Apa secara dak langsung, emang iyo, kdang-kadang tibo di Medan se la, kadang tapikia se

ma ado disiko yang ngecek yang kareh-kareh gitu kan, kdang tapikia dek Isil, wak urang

Minang, urang Minang ma ado kayak gitu kan, jadi emang kalau lah tibo jauah kayak giko

baru taraso, wak urang Minang, jan buek buruak namo urang Minang, jadi jagolah elok-elok

nilai-nilai tata krama yang lah di ajan dari dulu, jadi kayak gitu la munkin Isil.

P: Kalau menurut Isil sendiri urang Minang tu kayak apo?

I: Menurut Isil yang patamo, caro negeceknyo, dak do yang kasa, kalau lah ngumpua-

ngumpua beko ado pepatah petitih Minangnyo, kayak misalnyo acok pakai-pakai kiasan,

walaupun kiasannyo tu ba a gitu, tapi tetap ado gitu a, pokoknyo kayak-kayak gitu la, lebih

banyak dari perilaku nyo yang ditunjuak an.

P: Kalau dalam keluarga Isil ba a? masih pakai bahaso Minang?

I: Pakai bahaso minang, kasadonyo, kalau samo keluarga yang datang, samo anaknyo

bahaso Indonesia, tapi kalau samo-samo Ante bahasa Minang, dek nyo lah gadang di rantau.

Universitas Sumatera Utara


P: Ba a kok dak Sil ajak se bahaso Minang?

I: Kalau samo adiak-adiak lah jarang pulang, jadi ciek-ciek yang diajaannyo.

P: Kalau samo lingkungan sekitar Isil?

I: Bahaso Minang, kecuali di sekolah.

P: Pas Isil tibo disiko ado tapikia dak untuak ngumpua samo-samo urang Minang ?

I: Dari awal gitu pasti adolah komunitas Minang, lagian sil surang lo disiko, sia lai

sodara, keluarga, gitu kan, jadi emang pengen waktu tu masuak gitu, waktu tu langsuang kan

disambut samo urang Minang.

P: Kalau awalnyo Isil pengen USU dulu ba a?

I: Sabananyo dak ado minat ka USU do, sabananyo iko ko pilihan tacampak, dulu tu

mikia nyo pengen ambiak UNAND samo UNPAD, tapi salisiah antaro UNAND samo

UNPAD ko saketek, jadi kalau dak tarimo UNAND otomatis dak tarimo di UNPAD, lagian

labiah tinggi UNAND, jadi pilihan patamo ambiak UNAND, pilihan kaduo ambiak USU,

direkomendasikan kawan Isil, jauah 10% passing grade nyo randah dari UNAND. Jadi dulu

ngecek samo Universitas Sumatera Utara

Apa, kecek Apa UNAND se lah, “dak tau Isil UNAND a yang ka Isil ambiak do pa”,

disuruah ambiak pertanian atau peternakan lah. “dak do, dak minat do”. Jadi Isil ambiak se

USU yo pa. Yo lah, kecek Apa. Tu lah sudah ma agiahan, tu ditelponnyo Isil dek Apa, “Sil

dak ba a do ambiak se la USU, kawan apa ado pulo dulu di USU, kalau ditarimo di USU

bisuak diantaan, lagian di USU tu labiah murah, beasiswapun labiah murah”, kecek Apa kan”.

Oo..yo lah, caliak bisuak se lah, tapi Isil dak berminat do pa, dak tau Isil USU tu do, trus pas

pengumuman kalua, ditarimo, emang dak ado niat, dak tabayangkan, dak amuah kasiko, yang

ngurus sado-sadonyo Ama jo Apa, sempat lah ditanyo dek Ama ekstensi UNAND, waktu tu

maha, nyusahan juo kecek Isil kan, “tu ba a?” kecek Ama kan, Sil se dak talok manggarik lai

do, lah di kasua se waktu tu kan, “Apa ka masan tiket ko a”, kecek Ama. Yo lah, pai, tibo

Universitas Sumatera Utara


siko semester duo masih nangih-nangih. Semster satu awal-awal tu kan samo Memi, Amanyo

acok nelpon, pasti acok dulu dikecekannyo, “ma…Isil nangih ma, tiok malam, ba acaro nyo

Mi, ko ma?”. Dak tau mi apo yang ka dikarajoan do.

P: Tapi niaik Isil ka pai kalua tu ado ndak?

I: Ka pai kalua lai tapi di Jawa, dak disiko do. Dak tau, soalnyo sosialisasi Usu ko dak

ado dulu do. Iyo bana-bana kurang pengetahuan tentang USU, dak tau do. Apolagi pas tibo di

kampus keprawatan, kayak hutan belantara, ndak ado lai.

P: Manyasa Isil tibo disiko?

I: Awal patang tu iyo, Cuma sudah tu ka ikuik ulang tes liak, tu dak lo do, lah pikia-

pikia kan, lah dapek kawan, ikuik acara IMIB dapek kawan, tu lah taraso lamaknyo, sudah tu

ka ikuik liak kan, pas ado isu tusnami, tu dak bualiah dek Apa lai do, tambah berang Apa kan,

“yo ka pindah juo ka UNAND? Ka tsunami beko a”, Iyo lah, kecek Sil, sudah tu lah tarimo se

sampai kini. Kini lah mulai bisa manarimo.

P: Kalau tentang Medannyo dulu Isil lah ado dapek gambaran ndak kayak apo?

I: Dak sih, masalahnyo tentang Medan ko ba a, dak ado Isil pikian do, yang tau Sil USU

di Medan, yang taunyo Sil dulu tentang Medan yo urang Batak, kareh-kareh, emang sih ado

ketakutan, tajuik-takuik juo, cuma dak Isil pikia an bana, yang Isil pikia an tu kuliah di USU.

P: Trus dek gara-gara itu ado perasaan undersetimate Isil dak tentang Medan?

I: Kalau tentang Medan nyo sih indak, kalu samo urang-urangnyo iyo, jujur apolagi pas

ospek, urang tu ngecek kareh-kareh, pakai kau-kau, awak yang dak biaso pakai kau-kau sakik

ati, tu tiok asal urang tu ngecek, tutuik talingo se, kayak gitu sih, tapi kini lah mulai

manarimo, lah tabiaso.

P: Pas patamo kali Isil di Medan ko, ba a interaksi isil samo urang disiko?

I: Patamo kali, langsuang kos. Jadi patamo kali samo ibuk kos, lai elok sih urangnyo,

urang Jawa. Sudah tu pas di kampus samo urang-urang Batak tu agak illfeel, soalnyo Sil dak

Universitas Sumatera Utara


bisa danga urang ngecek kasa, kareh-kareh, dak bisa d, jadi agak menjauhkan diri gitu.

Kawannyo yo samo-samo urang Minang se, beko pai samo-samo urang-urang Islam se, samo

yangnoni-noni tu dulu yo bana-bana bajarak, tapi kini lai ndak gitu-gitu bana do.

P: Bara lamo Sil baru bisa manarimo keadaan kayak iko?

I: Sataun lah, semester 3 lah mulai-mulai manarimo, dulu semester 1-3 masih acok Apa

nelpon kini lah semester 4 ko lah mulai manarimo sepenuhnya lah gitu a.

P: Kalau patamo kali Isil pengen berinteraksi samo urang tu dulu dek a?

I: Dek ado tugas kelompok, pembagian kelompok, dek gara-gara itu se.

P: Samo urang lain di lua kampus ba a?

I: Biaso-biaso ajo sih, kalau samo urang becak/angkot, yo Memi lah tu, memi yang

labiah acok ngecek, Isil labiah banyak diam, caliak-caliak se, sampai duo semester.

P: Setelah berinteraksi gitu, ado dak Isil berusaha mengenal budaya urang disiko?

I: Dulu indak, kini lah mulai lah, apolaggi kini di kos urangnyo baragam, ado Isil tanyo

samo kakak-kakak tu, kadang-kdanag ngecek-ngecek samo kakak-kakak tu. Ado nampak

foto-foto, “kak ko acara a, acara a se?”, “kak baso Batak yang kak kecek an tadi tu a tu?”

cuma kayak-kayak gitu se

P: kalau pas isil baraja-baraja, mancaliak-caliak, atau marasoan samo urang disiko, ado

dak timbul perasaan kalau budaya Minang tu labiah rancak?

I: Lai, pasti tu, ba a ka ba a kan, tapikia kan, bahaso urang tu ntah-ntah a la tu

bahasonyo, kalau awak dak, dak urang Minang se masih bisa ngarati stek-stek kan, ado

kebanggaan surang lo la, apo lai beko kalau kayak wak ma adoan acara kan, beko urang tu

caliak-caliak foto, “e..rancak lah, pengen caliak lah”, jadi kebanggan gitu kalau disiko.

P: Apo lai yang lainnyo?

I: Kalau isil yang marasoan surang yo itu lah, dak terlalu Sil nampak an do.

Universitas Sumatera Utara


P: Trus ad dak isil marasoan perubahan sikap urang-urang tu, waktu nyo tau kalau sil

urang Minang?

I: Paliang kalau di kampusnyo, kalau di kampus kan awal-awal masuak kan dek Isil dak

biaso pakai “kau-kau” Sil pakai “Kamu” jadi urang tu lo yang maraso aneh, “kamu?”

keceknyo. Tu Isil jalehan la kan, jadi dak “kau” jadinyo do, jadi “ko”, kan dak terlalu kasa do,

kadang Isil ngecek ndak panggia kau nyo do, panggia sil/Silmi, jadi panggia namo se.

P: Kalau dalam berinteraksi samo urang tu, ba a caro Isil manunjuak an kalau Isil tu

urang Minang?

I: Mungkin kalau berkomunikasi samo urang tu yang jaleh dari caro ngecek, caro

ngecek urang Minang tu lebih beradab, tau sopan santun, kareh kayak gitu rasonyo ba a yo,

kareh-kareh dak manantu se, jadi rasonyo dak ba a gitu.

P: Jadi, kalau urang tu kayak gitu ba a sil mananggapinyo?

I: Kalau urang tu kayak gitu kadang-kdang Isil padiaan se dulu, tapi kalau lah acok bana,

Sil kecek an lai, dak mungkin di pendam se taruih kan.

P: Menurut Sil apo perbedaan yang paliang mancolok disiko?

I: Nilai tata krama nyo Sil raso, kalau tata kramanyo jaleh jauah beda, kalau urang

Minang tu sopan, bekonyo kok dapek jan manyingguang perasaan urang, kalau disiko kan

nyo langsuang-langsuang se, tu caro ngeceknyo kasa, tapi kalau caro mangecek tu kan emang

lah adat disiko kan, itu mungkn kayak sopan santunnyo, agak kurang disiko, disiko mungkin

dek lebih modern, jadi lebih individual.

P: Kalau disiko Sil labiah acok berinteraksi jo sia?

I: Kalau di kos samo di kampus beda-beda, campua-campua, dek acok ngumpua-

ngumpua kan. Taapi kalau tiok hari labiah acok samo urang Medan.

P: Tapi kalau Isil surang marasoan labiah nyaman samo sia?

I: Samo urang awak lah.

Universitas Sumatera Utara


P: Kalau kawan dakek Isil urang siko ado ndak?

I: Lai, samo kakak-kakak tadi dakek, samo kakak-kakak yang ado di kos lah dakek gitu

a, kakak tu urang sidikalang.

P: Sampai kini, apo perubahan yang taraso di diri isil salamo tingga disiko?

I: sabalum kasiko, isil tu urangnyo panakuik, kama-kama mintak kawan jo Mam, kama-

kama mintak kawanan jo apa, kama-kama mintak kawanan jo kawan. Sajak disko lah lebih

mandiri, dak panakuik lai do, walaupun ado juo takuiknyo, kama-kama lah bisa surang,

walaupun dakek-dakek tapi lah barani surang intinyo lah mandiri, kalau ado masalah bisa

nyalasaian surang.

P: Kalau perubahan dari sikap Isil?

I: Kalau dari perubahan sikap, raso Sil lai, disiko urangnyo labiah baragam, jadi disiko

dak bisa awak langsuang akrab samo urang tu do, kalau di Minang, awak tau urang Minang

tu kayak a, kadang caliak saketek se lah tau urang tu kayak a.

P: Kalau pulang kampuang, kawan-kawan sil ado yang marasoan perubahan tu dak?

I: Tanpa disadari iyo, caro ngecek banyak barubah, ba akayak urang Batak ngecek,

kareh-kareh. Kan pernah kawan Isil ngecek bahaso Indonesia kan, yaudah pakai bahasa

Indonesia, mancaliak adiak Isil, “dek a? baru alun sataun pindah lai, lah kayak urang Batak

ni”, masak iyo lah kayak urang Batak sil. Padahal kalau di kampus tu, sil lah urang Minang

yang kalau ngecek dak kayak urang Batak do, kalau kawan-kawan kayak Memi, Gina,

logatnyo jaleh gitu, tu kecek adiak Isil. Mang iyo gitu, kadang tapikia dek Sil, kalau wak

pulang, tu taraso dek urang tu.

5. Frezi Widianingsih

P: Dikeluarga Frezi tu masih kental samo budaya minang?

Universitas Sumatera Utara


I: Kalau Di keluarga, budayanya masih, cuma bahasonyo lah pake bahasa Indonesia di

rumah, yang adat adat kayak perkawinan gitu masih kental Minangnyo

P: Jo sia se Frezi pake bahasa indonesia?

I: Samo mama, papa, kalau keturunan mama sadoalahnyo pakai bahasa Indonesia, kalau

dari keluarga papa pake bahasa Minang

P: Di rumah Frezi tingga samo sia se?

I: Samo papa, papa, tambah kakek ciek, adiak, adiak.

P: Samo kakek Zi pakai bahasa Indonesia juo?

I: Iyo, bahasa Indonesia.

P: Mang lah sajak dari dulunyo pake bahasa Indonesia?

I: Iyo, lah sajak ketek diajaan pakai bahasa Indonesia.

P: Dari keturunan mama Zi?

I: Dari keturunan mama Zi, dulunyo pakai bahaso Minangnyo cuma pas di generasi

kami dibuek bahasa Indonesia.

P: Kalau samo saudara papa yang lain?

I: Kalau samo saudara papa bahaso Minang.

P: Jadi, Zi partamo kali baraja bahasa Minang samo sia?

I: Oo, samo tetangga disinan kan bahaso Minang, jadi baraja, tambah jo kawan kawan

sekolah.

P: Frezi masih ado punyo mamak?

I: Hmm..ndak ado do, mama Zi saudaranyo cewek sadonyo, kalau yang dari papa lai,

cuma ndak dakek do.

P: Jadi kalau dapek pengetahuan tentang adat budaya Minang itu Zi dari sia biasonyo?

I: Dari kakek Zi, kan Zi tingga samo kakek Zi ni, jadi kakek Zi maajaan

P: Biasonyo yang di ajaan tu tentang apo?

Universitas Sumatera Utara


I: Kayak adat perkawinan, siap tu kalau misalnyo acara buko puaso kayak maanta-

antaan gitu.

P: Kalau kayak kegiatan sehari-hari gitu?

I: Hmm, ndak ado do, di sekolah baraja itu nyo ni.

P: Atau dari papa samo mama Zi gitu?

I: Papa samo mama lai, tapi ndak intens do, pas kebetulan ado nampak, baru dikecekan.

P: Misalnyo kayak apo tu?

I: Misalnyo pas caro tatakrama ado keluarga yang baru tibo, zi alun kenal smao urang

itu lai, dikecekan iko namonyo, wak panggia nyo mamak, soalnyo iko dari garis keluarga

wak posisinyo iko.

P: Kalau caro mangecek misalnyo ka yang tuo giko, ka yang ketek giko ado ndak?

I: Ado, yang paliang apo bana maajaan kakek Zi, kakek dari mama.

P: Persepsi Zi tentang budaya Minang ba a?

I: Kalau budaya Minang kalau di daerah surang masih kental, tapi kalau dibaok kalua,

urang urangnyo lah kalua itu tu lah mulai ditinggaan samo urang-urang.

P: Panerapan budaya Minang dalam kehidupan Zi ba a ?

I: Kalau zi pribadi kurang menerapkan sih ni budayo minang, paliang cuma sopan

santun, tatakramanyo se lai kan, kayak pakaian, cara berbicara tu lah agak beda, lah agak

maninggaan.

P: Kalau dilingkungan masyarakat selain samo tetangga, samo sia lai Zi pakai bahaso

Minang?

I: Samo kawan kawan di sekolah, kadang-kadang ado lo kawan kawan yang disekolah

tu yang pake bahasa Indonesia, sebagian bahasa Minang.

P: Waktu SMA ba a?

Universitas Sumatera Utara


I: Bahaso Indonesia yang banyak ni, kalau SMP bahaso Minang. kalau kini bahsa

Indonesia samo urang siko, bahasa Minang masih, samo kawan kawan disiko.

P: Kampuang Frezi dima?

I: Di Ampek Angkek, Canduang. Agam.

P: Kalau SMA Zi dima?

I: SMA 1 Bukittinggi.

P: Sebelum Zi kamari, ado ndak motivasi Zi surang untuak pindah kamari? kalua

Sumbar gitu?

I: Hmm...indak, dulu kan waktu tu pilihan tes, jadi pilihan di luar daerah ko di agiah tau

lo samo kakak, kakak yang megajukan, pai lah kalua, sebalumnyo pengennyo di dalam

Sumbar se.

P: Caritonyo zi kamari ba a ?

I: Dek miliah pilihan terakhirnyo apo yo, Sumatera uTara, ambiak USU, setelah jebol di

siko baru dapek izin, sebelumnyo ndak dapek izin do.

P: Ba a tu?

I: Ndak tau, mungkin dek anak cewek mungkin, susah dilapeh samo papa.

P: Zi anak kabara?

I: Anak partamo.

P: Yang cowok ado?

I: Cowok, paliang ketek nyo, Zi batigo, yang kaduo cewek lo.

P: Kalau rencana kalua Sumbar dulu ado ndak?

I: Ado, tapi ndak kamari do. Nionyo ka Jakarta, masuak UI.

P: Trus pas Zi tau Zi dapek di Medan, ba a perasaan Zi?

I: Takuik zi kak, soalnyo kan waktu maambiak pilihan USU tu kurang direstui samo

papa, takuik papa, tapi ba a la Zi lulus. kato mama ambiak se la, lagian ado keluarga disiko.

Universitas Sumatera Utara


P: Sia disiko?

I: Kakak sepupu Zi disiko lah karajo.

P: Dakek samo kakak sepupu tu?

I: Ndak lo do.

P: Sabalum kamari dulu apo bayangan Zi tentang Medan?

I: Kalau yang Zi bayangan, Medan tu kareh kareh gitu urangnyo, siap tu agak susah

bersosialisasi, soalnyo kan budayanyo alah beda bana, agama se mayoritas beda samo yang

disitu.

P: Zi dapek gambaran kayak gitu dari sia?

I: Patamo Zi tanyo tanyo ka kawan Zi keturunan Batak di Bukik, nyo caritoan kayak

gitu, urang disiko lumayan kareh urangnyo, siap tu zi tanyoan samo kakak yang tingga disiko,

memang kayak gitu, jadi mental wak harus siap. kalau misalnyo ka berinteraksi samo urang

disiko.

P: Pas Zi tibo disiko, jo sia Zi partamonyo bersosialisasi?

I: Samo ibuk kosnyo dulu, baru ado sobok kawan-kawan yang waktu samo-samo

pendaftaran, urang disiko lo, sampai kini masih kawan samo inyo.

P: Buk kosnyo urang ma?

I: Urang Karo.

P: Waktu Zi tibo disiko, ado ndak keinginan Zi untuak gabuang samo komunitas Minang

lo?

I: Yo memang itu dulu motivasi Zi kan dakek zi samo urang Minang, jadi harus cari

kawan urang Minang lo, soalnyo kan Zi tingga disiko surang, ba a ka ba a nyo pasti labiah

dakek samo urang yang asal daerahnyo samo. Universitas Sumatera Utara

P: Sia urang Minang yang partamo Zi kenal disiko?

I: Ni Minda, kawan kawan ni Minda, ni Dini, da Hendra.

Universitas Sumatera Utara


P: Setelah Zi pindah kamari, ba a pendapat Zi tentang urang disiko?

I: Ba a yo, ternyata kareh urangnyo, tapi urangnyo solid gitu ni, kalau dicaliak pas

bakawan di kampus se kan banyak kawan Zi dak urang Minang, dicaliak dari kesehariannyo

urang tu memang tegas-tegas, tapi nyo solid, kalau lah bakawan jo urang siko, nyo jago la

kawannyo.

P: Ba a perasaan Zi pas partamo tibo di kampus dulu?

I: Partamonyo takuik sih, soalnya di kampus, urang Minang di kampus ado, tapi lah

keturunan, ngeceknyo lah ngecek bahaso Indonesia, jadi, agak cangguang stek, namonyo wak

urang Minang, tapi ngeceknyo bahasa Indonesia, agak cangguang stek.

P: Kalau perasaan takuik Zi tu, ilangnyo pas bilo?

I: Pas lah akrab bana samo kawan Zi yang pas pendaftaran tu, jadi lah mulai tabiaso

ngecek ngecek samo urang disiko kan. Siap tu lah pas mulai banyak kawan Zi lah ndak ado

lai kiro kiro sabulan lah ni.

P: Ba a tanggapan urang disiko pas nyo tau kalau Zi urang Padang?

I: Ndak ado, urang tu, ba a yo, o biaso se nyo, o dari Padang, ajaan la baso Padang,

kirim-kiriman la randang lai ancak la respon nyo yo.

P: Ado ndak Zi bertukar informasi tentang kebudayaan gitu? Apo sajo tu?

I: Carito kalau pasdi awak kan, tradisi pas rayo, pas rayo beda samo di siko, siap tu ado

baralek-baralek, apo se makanan-makanannyo. Ba a caro nikahnyo, pakaiannyo.

P: Ba a usaho Zi untuak manampakaan kalau Zi tu urang Minang?

I: Hmm..pengen berusaha manampakaan sih ni, cuma kayaknyo yang ka dinampak an tu

ndak ado do. Kalau misalnyo baso Minang kan ndak mungkin. Jadi, mungkin yo jo pakaian

se mungkin kan. Bajilbab kan biasonyo urang Minang.

P: Kalau dari gaya Zi ngecek ba a ?

Universitas Sumatera Utara


I: Kalau dari ngecek sih, lah tabaok baok jo urang disiko, cuman kalau misalnyo sedang

ado urang medan dakek Zi, ado lo urang minang dakek Zi, Zi tetap bahaso Minang samo

urang tu, walaupun urang Medan tu ndak ngarati. tapi Zi tetap berusaha untuak make bahaso

Minang.

P: Bara lamo Zi butuh waktu untuak membiasoan diri pake bahaso urang siko?

I: Membiasakan diri, sabananyo sampai kini alun tabiaso bana lai ni, cuma karena

lingkungan, dek banyak kawan yang urang siko jadi alah bisa baraja saketek, rasonyo pas 2

bulan disiko la, la ndak cangguang lai.

P: Komunikasi Zi disiko labiah intens samo urang siko atau samo urang Minang?

I: Samo urang Minang sih ni. Kalau di kampus samo urang siko, tapi biasonyo habis

siang dari kampus langsuang pulang, ndak ado ikuik kegiatan-kegiatan tu do. rencananyo nio

ikuik, tapi alun dapek rasonyo yang pas le do.

P: Mengalami kesalahpahaman karna ado perbedaan bahaso ndak?

I: Ndak.

P: Menurut Zi, perbedaan yang mencolok antara budayo Minang samo budaya disiko

apo?

I: Kalau yang mencolok mungkin lah norma-normanyo beda, disiko Zi caliak, kalao pas

di minang, kesopanan tu iyo bana di apoan, kalo disiko lah mulai berkurang tata kramanyo.

kalau di kampus yang nampak bana caro ngecek samo dosen, kalau kawan kawan disiko ko

agak kurang sopan, beda kalau di kampuang awak, kalau guru tu iyo bana diharagoi bana.

P: Ado ndak awalnyo keengganan Zi untuak berkomunikasi samo urang disiko?

I: Enggan ndak sih ni, cangguang yang lai nyo, dek faktor bahasonyo beda yang

partamo ni, siap tu dek baru disiko kan, berarti pengetahuan tentang daerah disiko alun

banyak bana lai, beko takuiknyo salah-salah mangecek atau ba a.

P: Trus cari Zi mancari tau tentang kondisi di siko ba a?

Universitas Sumatera Utara


I: Tanyo tanyo smao kawan Zi yang urang siko. kalau urang urang disiko ba a se

kriterianyo.

P: Kalau mengalami culture shock ado ndak Zi?

I: Kalau cuacanyo angek, tu makanan yang jaleh na bedanyo, barehnyo se lah

contohnyo lah beda. Disiko barehnyo agak agak pulen gitu. kurang lamak. sudah tu

sambanyo beda lo. Kalau di tampek awak kan banyak padeh-padehnyo. Kalau disiko

padehnyo ado manih-manihnyo.

P: Sampai kini, apo perubahan yang Zi rasoan salamo kurang labiah satahun Zi disiko?

I: Rasonyo alah mulai bisa Zi berkomunikasi samo urang walaupun nyo ndak dari

daerah awak la gitu. bisa Zi mambaokan diri Zi, jadi bisa mambaokan ka urang tu, walaupun

wak beda, tapi bsia la Zi berkomunikasi samo urang tu.

P: Kalau disiko zi labiah nyaman berkomunikasi samo sia?

I: Samo urang awak pastinyo ni, soalnyo kebiasaannyo, komunikasi nyo lah lancar kan,

jadi smao kebiasaannyo, jadi dek raso kebersamaan itu lah nampak bana. Soalnyo awak dari

daerah yang samo. makonyo labiah nyaman samo urang Minang disiko.

6. Gally Angga Ananta

P: Kalo di keluarga Gally masih kental ndak samo budaya Minang?

I: Hmm...kental. Tapi Minangnyo ba a yo, lah Minang modern gitu kak, bahasonyo

ndak pake pake kiasan gitu, tapi tetap bahaso Minang la kak.

P: Kalo mamak Gally ado?

I: Ado, tapi marantau sadonyo.

P: Bara urang mamak Gally?

I: Duo kak, di Batam kaduonyo.

Universitas Sumatera Utara


P: Bilo sajo mamak Gally pulang?

I: Ado sakali satahun, pas Rayo pulonyo.

P: Di keluarga Gally sia yang labiah banyak berperan dalam maajaan budaya Minang?

I: Labiah banyak dari ama, apa kalo nenek alah maningga.

P: Di rumah Gally tingga jo sia se?

I: Ama, apa, adiak Gally, abang, tapi abang lah jarang pulang kuliah di Padang.

P: Bara urang Gally basaudara?

I: Batigo, Gally nomor duo, adiak gally SD kelas 6 kini.

P: Kali di keluarga Gally bara urang ama bersaudara?

I: Hmm... bara tu yo 4, 4 Kak.

P: Ama Gally anak ka bara?

I: Katigo.

P: Kalo persepsi Gally surang tentang budaya minang tu ba a?

I: Oo..menurut Gally surang?

P: Hmm..

I: Ba a yo, Gally banyak diagiah kiasan-kiasan tu sajak ka pai ka Medan lo nyo.

P: Sia tu yang ma agiah?

I: Ama, apa jo kiasan-kiasan tu barajanyo. Jo kayak-kayak gitu se baraja budaya Minang

nyo.

P: Misalnyo kayak apo tu?

I: Ee...apo ee, misalnyo kayak maukua bayang-bayang sapanjang badan tu.

P: Gally tanyo, apo tu artinyo? kan Gally ndak tau do kan?

I: Oo... ingek sia awak, jan terlalu maninggi bana.

P: Tu apo lai?

I: Apo lai yo (ketawa).

Universitas Sumatera Utara


P: Ndak ado takana yang lain lai do?

I: Takana, kalo diingek-ingek takana.

P: Trus motivasi Gally kamari?

i: Motivasi Gally marantau dulu kak, pai kuliah tu ingin yang jauah

P: ba a kok ndak di Padang sajo?

I: Abang galy lah di padang lo, tu keceknyo apo la di padang ko, ndak berkembang,

ndak lamak do, bahaso wak bahaso minang juo, bisuak ko wak ndak nio ka mode-mode itu ce

dow, ncak kalua lai, iyo tu galy nio lo kalua

P: Rencananyo kalua dulu kama?

I: Partamonyo di Banduang.

P: Bimbel di Banduang?

I: Indak, Gally PMP, awalnyo Gally tanyo-tanyo kawan, Banduang, Banduang

Banduang keceknyo, ee..kok ka Banduang se urang sadonyo ko?

P: Tu indak ikuik jo kawan-kawan do?

I: Ndeeh, suruik se jadinyo bukan dek banyak saingan tu dow, berarti rami-rami, itu jo

urangnyo, bakawan nyo jo itu itu juo, tu pasa PMDK Gally isi ka medan ka USU

P: Tu apo se nan tapikia dek galy tentang medan?

I: Partamonyo sebelum itu, sebelum maisi PMDK ko, Gally ikuik tes SMUP ( saringan

masuk Universitas Padjadjaran), galy ambiak tu, tu lulus Gally.

P: Ba a kok ndak ambiak tu?

I: Urang kasitu se sadonyo dek abang.

P: Apo jurusannyo?

I: Samo, samo perpustakaan.

P: Tu ba a kok ndak disitu se?

I: Ndak, Gally disiko se la lu, beko S2 baru ambiak ka lua.

Universitas Sumatera Utara


P: Dek gara-gara banyak urang kasitu Gally ndak nio ka banduang?

I: Banyak urang kasitu, iyo, dek Gally pengen ba a yo? Gally pengen dapek yang baru,

ba a Medan tu, tu Gally cari tau tentang Medan ko di apo, di internet.

P: Aponyo yang Gally cari tau tentang medan?

I: Yang partamo tu cari tau tentang USU lu, tu Gally kamari tu dulu ngaja 21 (galak-

galak) tu bacaliak lai ndak 21 di Medan, lai, tu tibo disiko langsuang kali pai nonton.

P: Jo sia Gally pai?

I: Patamo kasiko jo apa 3 hari se nyo.

P: Ado keluarga disiko?

I: Indak, ado anak murid apa, nyo dokter hewan disiko, eh farmasi, eh ntah hapo tu, nyo

tingga di pasa 8.

P: Tu nyari kos disiko ba a ?

I: Habis dari sinan, tu nginap di cherry pink, lah 3 hari pulang, tu bisuaknyo barangkek

lo liak ka medan samo abang sepupu, baru ado keluarga disiko, tu samo jo inyo se nyari-nyari

kosan, pas nyari kosan, tu tau dari Camaik, kenal pas penyambutan anak-anak Minang yang

di pendopo tu.

P: Trus ba a tanggapan Gally pas ado penyambutan tu?

I: Hmm..rami ma, ramah-ramah urangnyo, tu batamu jo Camaik. Lah jo Camaik se

main-main, dek sajurusan gai sakali. Diajaknyo ka tampek bang Rehan, lah, kasitu se Gally

acok, kebetulan ado kamar kos kosong, tu ngekos kasitu, kebetulan ado Fahmi.

P: Kenal samo Fahmi dima?

I: Fahmi 3 tahun samo SMA, "Fahmi baduo wak kos la", kebetulan Gally caliak kamar

gadang lo. "jadih" keceknyo.

P: Pas Gally tibo disiko, ado ospek di kampus?

I: Lai, ospek di kampus ado, tapi ndak pai dow. Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


P: Trus ba a se partamonyo Gally bergaul di kampus?

I: Patamonyo, ba a yo, Gally surang-surang se patamo, pas duduak Gally baok hape,

Gally iduikan se lagu-lagu dakek Gally, ado urang nan suko lagu-lagu tu, lah duduaknyo di

situ, ado se nan sealiran sekawan, tu batamu Romi, Romi Fernanda, anak Aceh nyo, nyo

urang Minang, dari ma keceknyo kan. dari Bukittinggi, dima Bukittinggi? Di lambau

patamonyo Gally kecekan, oo..wak SMP di SMP 2 ceknyo, tu lah dakek ce jo inyo lai.

P: Tu jo sia se lai, pas partamo kali tu? ado urang batak ndak?

I: Urang Batak, kawan Gally ndak ado urang batak ow, yang cewek cewek yang rami

urang Batak nyo.

P: Yang banyak disitu cowok atau cewek? yang rami urang apo?

I: Cewek, urang ma yo? urang berastagi ka ateh tu kak a, sibolangit, ka ateh ateh tu la.

P: Lai ramah ramah urangnyo?

I: Ramah-ramah sih.

P: Kalo pas partamo Gally kamari, ba a menurut Gally Kota Medan?

I: Gally, ba a yo, pengen rancaknyo se, pengen lasuah nyo se, pengen cari hiburan se

Gally dulu. ma tampek nan lasuah Gally jajaki sadonyo, wisata kuliner dulu, jalan-jalan.

P: Yang ado dalam bayangan Gally Medan tu kayak apo?

I: Dulu tentang Medan, Gally ndak tau jo Medan ko dow, tu pas nyari-nyari informasi

ba a yo, medan ko kota no 3 di Indonesia.

P: Pas nyampe disiko ba a perasaan Gally?

I: Asik, tapi angek, pas tibo disiko mikiaan sanang nyo ce nyo.

P: Ado ndak Gally menjumpai masalah-masalah disiko?

I: Hmm,..biaso ce nyo, Medan tu kareh, itu se kecek urang, emang iyo taraso karehnyo

dek Gally.

P: Apo karehnyo?

Universitas Sumatera Utara


I: Cingik-cingik urangnyo. Angkotnyo manjajok, sumbarang cucuak se, kapalonyo lia.

P: Salamo Gally disiko ado ndak bermasalah samo urang lain?

I: Yang Gally cari masalah, ndak ado kayaknyo do. galy kawan galy jo urang medan

disiko, ndak jo urang batak nyo do.

P: Apo yang Gally ndak suko dari urang-urang disiko?

I: A yo? ndak ado do, anak Medan tu ba a yo, suko suko inyo se, slengekan. tapi kalo ka

Gally nyo slengekan yo sakik ati Gally, kalo ka urang lain bia se lah. Tapi kalo dakek jo

urang tu slengekan lo Gallynyo

P: Kalo ngecek samo urang tu, Gally pake bahaso Indonesia Gally atau bahasa Indonesia

Medan?

I: Bahasa Indonesia Medan, sajak kawan urang Medan, lah akhir-akhir semester awal

lah agak fasih Gally bahaso nyo.

P: Kalo kawan Gally tanyo-tanyo dak tentang budaya Minang?

I: Ado, kebanyakan dek Gally laki-laki dek ngumpua-ngumpua jo laki-laki yang

buruak-buruak di Minang se ditanyo nyo bahaso-bahaso nyo, tu Gally ajaan, tu di hapa nyo lo,

tu dek bagarah-bagarah disabuiknyo lo ka Gally.

P: Kalo Gally yang nanyo-nanyo ka urang tu ado ndak?

I: Ado, urang tu pake maaf mananyo.

P: Ba a tu?

I: Suko lo Gally caliak gayanyo " maaf ya pengen nanya" padahal nyo nanyo biaso

biaso se nyo. Takuik tasingguang urang tu. kalo di Minang ba a ?

P: Dek nyo tau Gally urang padang kali yo?

i: Iyo, dek nyo tau Gally urang Padang, tu pake-pake mintak maaf nyo, nanyo-nanyo

tentang Islam, dek nyo urang noni, minta maaf lo nyo tu, mode itu lo urang-urang disiko.

Universitas Sumatera Utara


P: Tu gali kalau nanyo ka urang tu, pake minta maaf lo?

I: Indak, indak ado dow.

P: Tu pas partamo kali Gally disiko, urang disiko kan pake kau-kau gitu, ba a tanggapan

Gally?

I: Aa..itu yang agak takasa dek Gally nyo. Pas galy PMP ado namonyo matrikulasi, ba a

yo, Gally mada na urangnyo mungkin, 3 hari se Gally masuaknyo, 3 hari terakhir urang lah

ngumpua sadonyo, dek anak baru ma, di tanyo nyo "kau-kau-kau". Oo.. mode ko ma, kasa ma

kecek Gally. tu ba a yo. Gally biaso-biaso se nyo.

P: Tu taunyo urang disiko mang kek gitu ba a?

I: Yo, bang Re jo bang Camaik ngecek, emang mode-mode tu urang disiko. Ooo.. iyo la.

P: Tu ado ndak Gally pakai kau-kau lo ka urang tu?

I: Iyo kini iyo, pakai kau kau atau ko.

P: Trus perbedaan yang mencolok menurut Gally antaro urang disiko jo di kampuang ba

a?

I: Kalau di minang itu, urang masih mikia, ba a yo kesopanan-kesopanan tu, tu kalo

disiko banyak yang pake-pake rok-rok pendek gitu. bebas. Urang tu samo se dek nyo sadonyo

dnak sagan-sagan gai urang tu do. Kalau awak kan kalau cowok tu ado sagan-sagan nyo, iko

ndak ado.

P: Kalau menurut Gally urang-urang di kampusnyo sopan-sopan ndak?

I: Yang ndak sopan tu anak Medan nyo kayaknyo lah, kalo anak karo, suku-suku gitu

masih sopan kalau urang karo tu kan labiah lambuik.

P: Kalau Gally samo kawan-kawan galy ado ndak yang Gally ndak suko?

I: Dak ah, tapi kalau jo urang batak ko agak lain kak lah, kasa-kasa nyo lameh Gally

mancaliak, mancaliak muko urang tu se jo gaya urang tu gali Gally jadinyo.

P: Kalau kawan Gally ado ndak nan urang batak?

Universitas Sumatera Utara


I: Lai, tapi Bataknyo ndak kental bana dow, dek lah lamo di Medan mungkin yo.

P: Kalau kawan dakek Gally di kampus?

I: Lai barampek, balimo an, urang siantar, urang kisaran, urang Medan, urang Aceh.

P: Kalau diantaro nan balimo tu sia na paliang dakek jo Gally?

I: Si Romi, yang urang Minang-Aceh tadi.

P: Kalau Gally curhat-curhat gitu labiah acok kasia?

I: Ka Si Romi tu?

P: Kalau kini apo yang taraso perubahan di diri Gally?

I: Paliang, kalau pulang kampuanglah ba-kau kau lo Gally ngecek, ado kawan Gally nyo

acok bahaso Indonesia tu wak bahaso Indonesia lo, tapi dek Gally tabiaso di Medan, tabaok

lo bahasa Medan, tu galak se Gally nyo.

P: Tu Gally kalau samo Romi Gally pake bahaso Minang?

I: Iyo.

P: Kalau di antaro kawan-kawan Gally pas ngecek jo Romi ado nan indak urang minang

ba a?

I: Tu ciek lai, kalo Gally acok pakai bahaso Minang "apa la yang kalian omongkan?".

Baco se lah text di bawah, kecek Gally.

P: Tu urang tu pernah maraso tasingguang ndak kalau kalian ngecek-ngecek bahaso

Minang?

I: Ndak, urang tu ado ngarat-ngarati nyo jo bahaso Minang, nyo murahnyo keceknyo

bahaso Minang tu, plesetan-plesetan bahasa Indonesia se nyo.

P: Lai ndak ado salah paham dek gara-gara itu do kan?

I: Ndak, pandai mungkin Gally mambaok an nyo ka urang tu, urang tu sanang lo di

hatinyo.

P: Lai Gally bakawan jo urang batak di siko?

Universitas Sumatera Utara


I: Lai, kawan-kawan gitu se nyo, ndak dakek-dakek bana dow.

P: Kalau kawan-kawan Gally disiko ado ndak nanyo-nanyo tentang urang Minang tu ba

a?

I: Ado, lai urang tu nanyo tentang garis keturunan matrilineal, tu Gally jalehan

matrilineal tu garis keturunan ibu, kalo disiko kan pake patrilineal, "tu kalo nikah jo urang

minang tu ba a tu?" kalau urang Batak nikah jo urang Minang, kalau urang Minangnyo

cowok, urang Bataknyo cewek, ndak basuku anaknyo beko do. "iyo nak". Kawan Gally tu

kironyo ndak ado sukunyo do. Tu ntah dari ma lo urang tu tau, kalau urang minang tu di bali

yo? Di Pariaman ma, kecek Gally. Tiok-tiok daerah tu kan ado lo, samo kayak di siko, Karo,

suku-suku tu kan ado lo pengaturannyo.

P: Trus kalo Gally nanyo ka urang tu tentang apo?

I: kalao urang disiko ba a? kecek galy. kalau tambunan tu cocoknyo jo pasaribu, pariban,

yo mode mode tu lah.

P: lai ngarati galy tentang pariban?

I: Kalau setau Gally kalau yang dicaritoan kawan, kalau yang cewek nyo tambunan,

cowoknyo pasaribu, walaupun urang ndak setuju tapi nyo dijodohan. Harus narimo kayak-

kayak gitu.

P: Kalau tentang yang lain?

i: A yo? urang pesta, kan disiko acok pesta, urang-urang batak tu, tu Gally tanyo-tanyo.

P: Trus kalo galy disiko, ba a urang lian tu tau kalau galy urang minang?

I: Dek Gally baok kereta BA tu kan dari Padang " Oo..dari Padang" kecek urang tu.

"urang awak" keceknyo. tu lah carito tentang Padang se lai.

P: Di kampus ado ndak galy di imbau " uda", "ajo" atau apo gitu panggilan urang

minang?

I: Ado, diimbau "waang" gitu.

Universitas Sumatera Utara


7.Dilla Sepri Susanti

P: Di keluarga Dilla masih kental dak samo budaya Minangnyo?

I: Masih, apa samo apa Dilla Minang, kalau di lingkungan Dilla rato-rato Minang

sadonyo.

P: Suku Dilla apo?

I: Patapang.

P: Kampuang Dilla?

I: Di Muaro Bodi, Sijunjuang.

P: Kalau masyarakat disinan masih menerapkan budaya Minang?

I: Ho..oh..lebih kentalan si kampuang daripado di rumah.

P: Rumah Dilla dima?

I: Di Pandan, Solok.

P: Kalau budaya Minang di sinan ba a?

I: Kalau adaik, yo cuma sekedar atau adaik, tapi dak teralu dikarajoan.

P: Di keluarga Dilla masih pakai bahaso Minang?

I: Di keluarga masih.

P: Pas Dilla kamari, ado dak keinginan Dilla sabalumnyo untuak pai marantau?

I: Sabananyo sih ado, dulunyo sih pengennyo ka Psikologi UI, Cuma dak buliah, karano

kalau masih ado di Sumatera, yo dah di Sumatera ajo la, tapi kalau di lua Sumatera dak

diizinan do.

P: Alasannyo?

I: Katanyo sih jauah,, kalau nengoko jurusannyo pun, katonyo dak manjamin kalau

untuak di daerah wak do, kato ama.

Universitas Sumatera Utara


P: Ba a caritonyo dulu Dilla bisa masuak kamari?

I: Waktu tu di SMA ado PMDK, jadi kan PMDK USU, yo da la, karna peluangnyo pu

kayaknyo labiah banyak, urang pun labiah banyak miliah ka UNAND, UNP, kayaknyo masih

daerah-daerah awak juo, o..indak lah, Dilla pengen cubo kalua. Lah… ambiak USU, trus ado

Nampak AN, ambiak AN, samo manajemen.

P: Trus pas hasilnyo kalua, ba a perasaan Dilla?

I: Sanang, akhirnyo bisa kalua juo dari daerah awak gitu.

P: Ba a kok nio kalua Dilla dulu?

I: Yo alasannyo klise sih ni, alasannyo pengen nengok di lua, jan lah tau nyo Cuma

nagari awak se, tengok lah nagari urang, trus ado perbandingan gitu.

P: Sabalum Dilla kamari, apo bayangan Dilla tentang Medan?

I: Banyangan tentang Medan, dulu yo kayak lah kota gitu kan ni, Cuma yo tapikia bakal

ado cultural shock, tapi dak terlalu.

P: Kalau menurut Dilla dulu urang-urang disiko ba a?

I: Pikia nyo sih pasti urang-urang tu kareh, gitu la ni.

P: Trus pas tibo disiko?

I: Pas tibo disiko ruponyo itu lah budaya urang tu disiko, yo terakhir lah maklum se.

P: Ado ndak Dilla mengalami culture shock?

I: Ado, paliang yo culture shock nyo tu, tabodoh-bodoh la ni, awak yang dak biaso di

hariak-hariak gitu kan, tibo disiko di hariak-hariak, trus yo yang disiko tu yo yang bana-bana

sorang, yang atas namo diri sendiri, dak ado keluarga, dak ado sia-sia gitu.

P: Trus kalau Dilla di kampus bakawan jo sia se?

I: Kalau Dilla bakawan ni bisa masuak kama se, bisa ka yang noni, bisa yang indak, tapi

lebih intensnyo tu samo urang-urang Siska, Icha, Diba, itu ni.

Universitas Sumatera Utara


P: Kalau samo kawan-kawan Dilla ado dak yang mempermasalahkan dek Dilla urang

Minang?

I: Kalau kini lai ndak ni, tapi pas wak tu dulu, pas baru-baru nyo iyo, urang tu pas

matrikulasi banyak yang dicemeh-cemeehan, kayak “Padangkik” gitu, awak pun “apo la

padangkik” tu, kiro Dilla cari-cari tau, kironyo “Padang pilik”, tapi tu pas matrik se, pas

sudah matrik dak do lai do.

P: Waktu dicemeehan kayak gitu, ado dak usaho Dilla untuak mambela?

I: Ado sih ni, tapi itu pas yo bana-bana ba a, misalnyo kayak padangkik tu Dilla jalehan,

sabananyo bukannyo pilik, tapi paretongan, yo kayak gitu. Kan mayoritas urang Padang pado

manggaleh, jadi kan paretongannyo tu masih jaleh.

P: Kalau usaho Dilla untuak mancari tau kebiasaan-kebiasaan urang disiko ba a?

I: Mancari tau sih indak ni, tapi mamparatian se, jadi tau sorang se, oo..urang tu mode tu.

8.Putri Oktaviani

P: Kampuang Puput Dima?

I: Sawahlunto, Aia Dingin.

P: Kalau disitu masih kental dak samo budaya Minang nyo?

I: Oo..di Sawah Lunto tu apo ni, lah campuran, dak lo Minang bana do, urang Jawa ado

juo, banyak urang parantauan, tapi kalau urang di Aia Dingin tu umumnyo urang Minang,

keluarga-keluarga apa juo, masih di situ lah keluarga sadonyo.

P: Di keluarga Put masih pakai bahaso Minang?

I: Iyo, samo urang-urang yang masih keluarga la, mang make bahaso Minang taruih,

dak ado pakai bahaso-bahaso Indonesia do.

Universitas Sumatera Utara


P: Kalau yang labiah berperan dalam keluarga Put dalam ma ajaan nilai-nilai Minang

sia?

I: Dari keluarga ama biasonyo, soalnyo keluarga ama kan keturunan dari Batusangka,

kan masih kental bana Minangnyo, kakek dari ama tu datuak, jadi dari keluarga ama lebih

kental budaya minangnyo.

P: Kalau dari mamak-mamak Put sia yang lebih berperan dalam maajaan budaya Minang

Put?

I: Kalau berperan bana mungkin indak ni, kan Puput tingganyo dak di Sangka do, sajak

ketek di Sawah Lunto samo ama samo apa, jadi dak terlalu bana do, misalnyo kalau kumpua-

kumpua keluarga, acara-cara keluarga, beko ciek-ciek dimasuak an mamak-mamak tu, kalauc

giko tu salah, kalau di Minang tu, giko, giko, giko.

P: Misalnyo kayak apo tu?

I: Nyo indak lo secara langsung do ni, misalnyo Put kan di kampuang, sadang liburan,

beko tibo mamak Put, disuruahnyo, “Ambiak an mak ngah makan”, kan biasonyo kan emang

keponakan yang ma apoan mamak nyo kan.

P: Pas PMb ba a kok Put tertarik gabuang-gabuang samo komunitas awak?

I: Put dari awal kan emang lah sobbok juo, pas pendataan tu, rasonyo ado se keluarga

disiko kan, setidaknyo ado lah tampek nan samo awak, awak tu dak surang gitu.

P: Kalau Put di kampus samo urang-urang awak pakai bahaso Minang?

I: Kalau Put samo kawan urang Minang lo, samo Nika misalnyo, sakelas gitu ni, kami

baso Minang juo nyo, walaupun kawan tu dak nagrati, beko kawan tu tertariknyo, “kalau itu

artinya pa?”, gitu-gitu nnyo, kami baso Minang se sadonyo kalau samo-samo yang urang

Minang.

P: Pas Put tibo disiko apo yang mabuek Put takajuik atau heran, gitu?

Universitas Sumatera Utara


I: Patamo kali yang Put apoan bana, O..urang tub a kau-kau ngeceknyo, waktu

pendaftaran patamo kali. Ado urang nanyo kan, pokoknyo pakai kau la, takajuik Put, Put dak

pernah di pa kau an urang soalnyo do. Put dak buliah ba kau-kau dek ama do kan, kalau awak

kan ado juo yang ba kau-kau tapi Put dak pernah do. Dak buliah dek ama do kan. Tu

takajuuik dek uni gara-gara kawan ko kan, raso nio nangih dek uni, nyo nanyo biaso se nyo

“Kau ada bawa inim bawa ijazah?” gitu ajo, tapi awak dak terlalu kenal do misalnyo

Universitas Sumatera Utara

kan awak nanyo ka urang se, sadang daftar-daftar tu, hah…(kaget), oooh…iya-iya, raso ka

nangih Put di pa kau an nyo jo kawan tu. Sudah tu, oio la baso disiko kayak gitu kali nak, gitu.

Sudah tu baru Put nyadar, urang siko emang kayak gitu kan, tapi di mkampus bana kalau

urang tub a kau ka Put, tapi Put dak pernah ba kau ka urang tu do, manggia namo se, Put dak

biaso ba kau tu do.

P: Pas Put patamo batamu jo kawan-kawan Put ba a?

I: Batamu di kelas ni, kan kami sakelas, dek samo-samo urang Islam, kami saketek yang

padusi yang Islam di kelasnyo, yang pakai jilbab la gitu kan, yang samo la alirannyo, yang

dakek yo smao-samo ajo wak rasonyo kalau samo-samo bajilbab. Dek gara-gara itu dakeknyo.

P: Apo menurut Put hal yang sangaik babeda antaro urang di kampuang jo disiko?

I: Apo yo bedanyo, dak terlalu banyak do ni, soalnyo Put ni, di Sawah Lunto tu kan lah

dak terlalu ketat bana do peraturan-peraturan adatnyo. Yo lah kayak kota juo, pergaulannyo.

Tapi kalau Put maraso, pergaulan disiko ampiang-ampiang samo juo jjo yang di Sawah Lunto

gitu ni, dak beda bana do. Yang beda disiko samo kawan-kawan tu lamak-lamak se ba a,

samo kawan-kawan cowok la, lamak-lamak se. Kalau di kampuang kan dak gitu-gitu bana.

Tapi kalau disiko mang lah ampiang samo se.

P: Puput labiah acok berinterakasi jo sia disiko?

Universitas Sumatera Utara


I: Samo urang awak banyak ni, paliangan kalau samo urang0urang siko yo di kampus,

yo yang acok-acok kayak gitunyo. Kalau samo urang-urang awak banyak basobok, disiko se

sobok samo urang awak juo, yang dakek kawan dakek Put, urang awak juo. Sudah tu labiah

banyak samo urang awak, tu kalau pai-pai.

P: Kalau sampai kini nak, perubahan apo yang taraso dek Puput setelah tingga di

Medan?

I: Kalau dek pai marantau, yo tambah mandiri gitu kan. Tu kalau dulu Put di rumah-

rumah se, kini lah labiah banyak bergaul.

9.Masria Umami

P: Kalau di keluarga Memi masih kental ndak samo kebudayaan minangnyo?

I: Masih ni, lumayan lah. Sabananyo Memi kurang tau lo lah kalau kebudayaan

minangnyo, soalnyo Memi samo mama kan pisah, dak sarumah do, ama apa tingganyo di

Riau, memi samo uni yang di Sangka. Jadi mungkin kalau dibilang kebudayaan minang bana,

rasonyo lah ado campuran dari unsure budaya Riau gitu ni, tapi masih minang juo, ama kan

sakali sabulan pulang.

P: Ama apa Memi apo karajonyo?

I: ngaja ni di Bangkinang, Muaro takus.

P: Baa kok dak pindah ka Riau se Memi?

I: Soalnyo kan dulu waktu ketek Memi memang di Riau, sampai kelas 3 SD, kelas 4

pindah kasiko. Jadi samo uni, ini kelas 1 SMP, Memi kelas 4 SD lah tingga di rumah yang di

kampuang.

P: Baa kok ndak ditaruiah an disitu ajo memi?

Universitas Sumatera Utara


I: Mungkin faktor lingkungan, factor angko2, tu dari segi pornografinyo, dari segi

kelayakan pendidikan disitu kurang, trus mungkin dari segi pergaulan urang-urang disitu baa,

agak bebas, jadi ama menghindari itu, jadi di pindahan ka kampuang.

P: Di kampuang samo sia tingga?

L: Samo uni baduo.

P: Dak ado keluarga yang lain?

I: Kalau keluarga kini tetanggaan, tetangga tu emang keluarga juo gitu.

P: Di kampuang tu jo siam Memi paliang dakek?

I: samo mamak Memi, kakak mama ado 3 urang, cuma yang dakek sorangnyo, dulu

tingga di Sangka, tapi memi lah SMA. Lah kelas 3 SMP. Nyo dulu rumahnyo lumayan jauah

lah pindah nyo ka SawahLunto jadi hubuangannyo lewat telpon se lai nyo.

P: Sampai kini masih ado komunikasi?

I: Masih.

P: Mamak Memi ado dak maagiah/maajaan tentang nilai-nilai minang?

I: Ado, misalnyo dulu acok la main ka rumahnyo, dulu rumahnyo dakek SD Memi, jadi

main disitu. Jadi kalau misalnyo baa-baa yo mamak Memi lah yang maajaan memi.

P: Kalau persepsi memi tentang minang sendiri baa?

I: unik, soalnyo dari sadoalah suku-suku yang memi tau, cuma minang yang matrilineal,

walaupun di satu sisi ayah berperan dalam adat, tapi peran mamak labiah gadang daripado

peran ayah. Meskipun di sisi lain ayah tetap berperan penting dalam keluarga.

P: Kalau keinginan Memi sendiri untuak marantau dulu ado ndak?

I: sabananyo sih, keluarga tidak terlalu member batasan, terserah memi pengennyo

dima.. jadi kalau masalah marantau, masalah pisah samo urang tuo lah dari lamo. Jadi dak

ado masalah kalau pai marantau. Pengen bana kalua. Kalau awak Cuma di sekitar Sumbar.

Universitas Sumatera Utara


Awak tu jadi ndak bisa melihat dunia luar, mungkin kebudayaan orang lain beda, pengen

caliak yang lain lah. Pengen cari pengalaman gitu.

P: Pas ado keinginan pai marantau ado bayangan dak ka pai kama?

I; Mungkin kalau spesifikasinyo kama, dak bagitulah. Dulu awal-awalnyo pengen di lua

Sumatera, Cuma kebetulan tasasek lo ka Medan, jadi masih di dalam Sumatera.

P: Baa caritonyo dulu memi bisa sampai ka USU ko?

I: (tertawa)…soalnyo dulu giko ni, ambiak UMB, cubo-cubo iseng se nyo, soalnyo kan

dulu UMB dak adi di UNAND do, dulu pengen juo sih di UNAND, yang di jawa kayak UI

atau di UNPAD la, cuma yang UI lah ambiak lulusnyo di USU gitu, ya jadi baa lai? Dek lulus

disitu urang tuo pun, lah..lah lulus, alah ama itu se.

P: Ado tabayang dulu dek memi USU tu baa?

I: Dulu yo banyak juo bayangan nyo, USU yo berarti Medan, Medan identik dengan

hal-hal uniknyo, cuma ya udahlah hadapi se lah, baa ka baa bisuak, wak caliak bisuak,

mungki itu se nyo.

P: Sebelum memi miliah ka USU dulu ado pertimbangan lain ndak?

I: USU memang dak masuak List Memi doh, Unsyiah indak lo masuak list memi do,

memi kan jawa dulu, memang pengennyo di lua Sumatera, Cuma waktu tu di UMB

pilihannyo Cuma beberapa universitas yang agak dakek tu cuma USU. Ciek lai memang UI

pengennyo, yaudahlah memang itu se dipiliah, alternatif lah di Unand, mungkin dek

pangaruah kawan2 juo.

P: Keluarga memi dak ado disiko?

I: Keluarga dakek ndak ado do, yang keluarga alah tau Memi disiko baru tau itu

keluarga. Itu pun keluarga jauah apa.

P: Masih acok komunikasi jo keluarga Memi tu?

I: hmm, lumayan lah.

Universitas Sumatera Utara


P: Pas Memi tibo disiko, ado perasaan kecewa Memi dak dating kasiko?

I: Ado, partamo kali dating. Dek dulu kan bimbel di Padang, Padang kan lumayan

barasiah, tertata la kotanyo. Jadi partamo kali datang ka Medan, wah..kok jorok gitu kan,

emang kumuah lah kesannyo, pas awal turun di Polonia tu, jalannyo distu ado yang balubang-

lubang, mungkin dek ndak jalan kotanyo lo ka tampek ante kan, jadi rasonyo, eee…jorok

banal ah. Tukang becak batebaran diam-dima, dak jaleh se do rasonyo tatanan kotanyo. Jadi

agak ilfeel partamo kali nyo dan partamo kali masuak kampus pun kayak gitu. Dulu memi

partamo masuak kampus F.Kep dak kayak gitu do, masih lumuik sado catnyo, masih banyak

rimbo, jadi partamo kali datang kan, wah…kayak giko, sasek masuak ma, sadiah raso ati,

patamo2nyo agak kecewa la, ndak sasuai jo apo yang dibayangkan.

P: Yang dibayangan Memi baa?

I: Mungkin karena USU kecek urang, yo rancak gitu lah kan, jadi setidaknyo dari segi

bangunan mungkin oke, dari segi Medan, kota besar ma dan terbesar di Sumatera, pasti

metropolitan giman gitu kan..ee, ternyata di luar dugaan. Ancak juo nagari wak lai.

P: Dulu partamo kali jo sia memi basosialisasi?

I: Dak punyo batasan memi basosialisasi do, nio samo sia tasarah, samo urang asli

Medan, asli batak, atau urang minangnyo, mungkin dulu dek alun kenal komunitas minang

partamo kalinyo jadi partamo kali kenalan samo urang Medan, samo urang batak asli ado juo.

Jadi open-open jo nyo, dak bagitu mambatasi lah.

P: Ado shock ndak Memi samo urang-urang tu?

I: Shock banget, mungkin dari segi bahasa kan, di kampuang dak ado kato-kato “kau”

do kan, ndak di pa”kau” an wak do, doisiko wak di pa”kau”an nyo kan, Kau orang batak?

Jadi langsuang patah hati kan (merengut), jadi agak baa sih, bantuak ko bana urang batak

kironyo ma, Cuma dek lah acok bana, jadi lah oke-oke se lai.

P: Bara lamo Memi mulai tabiaso kayak gitu?

Universitas Sumatera Utara


I: Sekitar sebulan duo bulanan lah.

P: Tapi dek gara-gara urang tu agak kasa gitu, masih ingin dak Memi berkomunikasi?

I: Masih, kan emang kalau semakin dakek wak samo urang tu kan semakin dakek wak

tau budayanyo, setidaknyo tau lah wak budaya orang lain. Dak budaya awak se yang awak

tau.

P: Kalau maraso jengkel gitu samo urang siko pernah ndak?

I: Kalau jengkel masalh mungkin indak, tapi mungkin lebih ke personal, kan sifatnyo

ado yang beda-beda. Tapi secara umum indak sih, terkait ke masalah agama mungkin,

kadang2 urang tu sedikit baa gitu.

P: Yang sedikit baa gitu tu apo?

I: Mungkin dulu partamo-tamo agak mengesalkan pas bulan puaso, kan bulan puaso

partamo disiko, sudah lah lingkuangannyo ndak mandukuang, kalau dulu pas di kampuang

sado kadai pasti tutuik. Kalau disiko kan indak, jadi urang itu pun seolah-olah lebih

menggoda, urang itu malahan yang mambagi minuman, jus jus di muko kami, samo

kawan2nyo, heboh bana, jadi agak tasingguang la kami yang puaso gitu, dak ado

penghargaan samo skali do.

P: Dari hal yang kayak gitu ado pembelaan dak dari memi?

I: Raso baa gitu yo, tolong lah dihargoi, kami sadang puaso, tolongalah salaing

maharagoi la gitu kan. Soalnyo dulu di SMA ado juo yang noni kan, tapi saling menghargai

la, ndak ado kayak-kayak giko do.

P: Setelah hal-jhal yang kayak gitu tu manjauah dak Memi?

I: Awal-awalnyo yo agak manjauah, kurang respek samo urang-urang tu, tapi mungkin

dek lah ado pembauran, misalnyo ado pembagian kelompok, gabuang samo urang-urang tu

kan, jadi mungkin ado beberapa orang personal yang sifatnyo kayak gitu, ya saling

memahami se lai, jadi lah saling menghormati la.

Universitas Sumatera Utara


P: Disiko kebanyakan urang ma?

I: Campua bana la sadonyo. Urang Minang pun banyak, mayoritas urang Batak sih.

P: Ba a kawan-kawan Memi tau kalau Memi urang Minang?

I: Hmmm…dulu patamo kali kenalkan, Memi samo Tiara lah patamo kali kenal, jadi

dek lah bahaso Minang baduo kan, jadi ditanyoan “kamu orang mana?”, “orang Padang”. Jadi

setelah itu tambahan kami rami memang di kelas tu yang urang Padang/urang minang la gitu,

terakhir, Memi, Gina, Si Isil, tiara, ado Rina namonyo, ado anak yang keturunan Padang yang

nyo ngarati baso Minang, cuma kami saling carito la gitu kan, jadi dek saking hebohnyo

carito-carito baso Minang dan kakak-kakak kelas tu kan “Yang urang Minang yang ma?” gitu

kan, bakumpua, maota-ota, jadi kayak gitu urang tu tau. Jadi dek kami heboh bana kan, jadi

urang tu “Oo..orang Padang”.

P: Setelah urang-urang tu tau Memi dan kawan-kawan urang Padang, ba a tanggapan

urang-urang tu?

I: Banyak yang nanyo “Eh…kalau orang Padang itu cowoknya dibeli ya?” banyak la

yang tertarik samo kebudayaan awak, kebudayaan awak agak unik la, beda samokebudayaan

lain. Jadi urang tu banyak yang nanyo-nanyo “Bahasa Padang nya ini apa? Oo..gitu ya….”,

“Aku tengok l bahasa kalian, kalian ngomong-ngomong ya”, gitu-gitu lah urang tu. Kadang

kami maota dicaliaknyo elok-elok tu. “Ntah apa-apa pun ngomongnya”.

P: Memi maraso PD ajao gitu yo jadinyo?

I: PD ba a, bangga lo lah gitu kan, secara emang itulah identitas wak urang Minang,

kami samo kami samo urang Minang atau yang mungkin bisa babaso Minang dak pernah lah

babahaso Indonesia gitu.

P: Kalau kawan-kawan di sekitar Memi yang mandanga itu ado yang maraso

tasingguang dak/

Universitas Sumatera Utara


I: Kalau tasingguang sih indak, tapi ado juo dek kami asik ngomong kan,

“Aiiih…bahasa Indonesia aja napa, aku dak ngerti” keceknyo, ado juo yang gitu.

P: Pernah maraso ado perbedaan atau diskriminasi ndak?

I: Dak sih, dak ado do.

P: Kalau dapek julukan-julukan dek Memi urang Minang gitu ado ndak?

I: Ado, dapek panggilan uni, tapi saketek urang yang kayak gitu, yang dakek ajo.

P: Pernah terjadi kesalah pahaman samo urang-urang siko?

I: Ndak lo do.

P: Kalau di kosan memiurang-urang ma se?

I: Campua, ado urang Minang, ado urang Jawa ado urang Bataknyo.

P: Banyak an yang ma?

I: Kalau di kosan yang kini urang Minang yang banyak, urang Batak pun banyak, urang

Minangnyo sapatigo lah.

P: kalau di kosan Memi labiah banyak bagaua samo sia?

I: Gabuang ajo sih.

P: Kalau di kampus?

I: Gabuang juo nyo. Memi samoan se sadonyo.

P: kalau perbedaan kebiasaan yang mencolok taraso dek Memi antaro urang Awak jo

urang disiko?

I: apo yo, kurang memperhatikan lo la apo perbedaannyo, dek Memi pukul rata se

sadonyo. Dak lo Nampak bana apo perbedaannyo paliangan kalo masalah gaya, soalnyo

kalau urang Padang kalau menurut Memi ba a yo, awak lah yang paliang rancak, awak lah

yang paliang apo, paliang banyak yang kayak-kayak gitu. Masalah fashion mungkin kan

urang siko lebih cuek lah menurut Memi masalah style samo penampilan, ya suka-suka ajo

lah gitu a. kalau urang Padang kan, menurut Memi ba awak yang paliang rancak ba a lah.

Universitas Sumatera Utara


Tapi kalau urang Padang disiko dak lo gitu-gitu bana Nampak dek Memi do, dek lah gabuang

lo samo urang-urang tu, jadi lah mirip gitu lo lah. Itulah nan tacaliak dek Memi.

P: Kalau pas ospeknyo ado masalah ndak?

I: Nah….pas ospeknyo, alah wak patamo kali kasiko awak dibentak-bentak, dak biaso

samo bahasonyo, dibentak-bentak dak jaleh, cari-cari kesalahan, trus dengan bahaso nyo yang

“tunduk klen deek..” jadi raso makin kesal lah,sampai kini pun kalau caliak urang-urang tu

yang pribadinyo kayak itu, jadi dak respek.

P: Maleh dak Memi bersosialisasi samo urang tu sudah tu?

I: maleh, dulu kan senior tu, sampai kini pun kalau basuo samo senior tu yang bentak-

bentak awak tu, jadi ndak respek ajo lah caliak inyo kayak gitu. Mungkin waktu itu se nyo

bantuak itu, tapi ntah lah tabaok-baok se sampai kini. Trauma la gitu istilahnyo.

P: salamo Memi disiko, identitas Memi disiko membantu Memi ndak?

I: Membantu sih, dalam banyak hal. Misalnyo, di kampus lah kan, kayak bagaian

kemahasiswaan Memi kan yang ngurus-ngurus apo-apo itu, apak tu kan urang Minang,

walaupun apak tu lahia disiko Cuma nyo ngarati bahaso Minang, jadi dakeklah samo apak tu.

Jadi, kalau wak ado keperluan, lai lah nyo bantu-bantu. Tapi kami bahasa Indonesia se samo

inyo. Trus di lain hal kalau wak balanjo-lanjo, “Urang Minang diak?” beko lai dilabiah-

labiahan.

P: Kalau samo urang-urang disiko?

I: Ndak ado sih, kalau nampak-nampaknyo bana ndak ado do.

P: Kenal samo komunitas Minang disiko ba a carito nyo?

I: Waktu tu kawan samo sa Sangka, si Widya, kato Isil inyo masuak SNMPTN, tu

otomatis disambuik samo IMIB. Nah..disambuik samo IMIB, Memi kan UMB, waktu tu

emang telat ka rektorat, jadi dak tau Memi do, dek urang tu dikecek an nyo “Memi, ado urang

Minang lo disiko, capek lah ngumpua wak, kayak gitu la patamo kalinyo.

Universitas Sumatera Utara


P: Pas Memi tau ado komunitas Minang tu ba a?

I: Yo, sanang sih, dunsanak la rasonyo. Wak tingga jauah kan, wak tingga surang disiko,

rasonyo jadi ado kawan-kawan yang bisa dibaok babagi lah.

P: Kawan-kawan dakek Memi bara urang?

I: Kami batigo nyo, Memi, Tiara, ado Martha yang anak Medan.

P: Kalau samo Martha ba a?

I: Yo dek lah dakek mungkin kan. Kalau pun dak sebudaya, tapi deknyo dulu tingga di

Jambi, jadi kalau kami ngomong, nyo ngarati bahaso Minang gitu kan , jadi yo enjoy se,

sanang se berbeagi samo nyo.

P: Sajauah ko Memi tingga disiko, apo perubahan yang taraso dek Memi?

I: Jadi labiah barani, lebih mandiri, dulu yang mungkin ado lah takuiknyo atau ba a,

kini..ahh.. wak lah gadangnyo, dek seiring usia pun kan jadi lebih dewasa menyikapi hal-hal

itu.

P: Di kampus Memi ikuik organisasi?

I: Ciek sih, FORKIS, urang musholla, relawan di BSMI, Cuma dak begitu aktif sih,

kalau ado acara yo ikuik-ikuik berpartisipasilah itu, trus selain itu di IMIB.

P: Motivasi Memi ikuik-ikuik kegiatan di kampus tu apo?

I: Ba a yo, patamo tu kan yang Memi butuhkan pengalaman, banyak pengalaman, yo

makin banyak lo lah pengetahuan kan yang dak wak dapek an di kuliah, trus semakin bayak

relasi, semakin banyak yang wak kenal, semakin banyak lo wak tau karakter urang tu beda-

beda.

Universitas Sumatera Utara


10. Wahyu Eko Putra

P: Di keluarga wahyu masih kental ndak samo budaya minangnyo?

I: Kalau keluarga yang di kota mungkin lah agak puda lah budaya minangnyo, tapi

keluarga yang di kampuang urang tuo masih kental.

P: Kampuang urang tuonyo dima?

I: Kalau apa di Palembayan, Agam. Kalau ibu di Muaro labuah, Solok Selatan.

P: Acok pulang ka kampuang?

I: Sakali sataun, paliang ndak dalam sataun tu ado pai kasitu.

P: Kalau yang tingga di Padang sia se?

I: Nenek dari ama, tu keluarga Wahyu, ama, apa, adiak-adiak 2 urang.

P: Di rumah Wahyu masih pakai bahaso minang?

I: Masih,

P: Kalau di sekolah?

I: Kalau di SMP dulu dilarang bahasa daerah, SMP di pesantren Hamka, Padang

Pariaman, kalau di SMA baru pakai bahaso minang. Sabananyo sih dilarang, tapi kami pakai

bahaso minang juo.

P: Suku Wahyu apo?

I: Suku apa Chaniago, suku ama Panai ateh, suku urang Solok Selatan.

P: Mamak wahyu ado?

I: Mamak? Adiak ama kan?

P: Acok komunikasi samo mamak?

I: Acok, mamak yu 3 urang. Jadi acok komunikasi, yang surang di Solok Selatan, yang

2 urang lai di Padang.

Universitas Sumatera Utara


P: Yang mamak Wahyu 2 urang tu ado ndak maagiah pembelajaran tentang budaya

minang?

I: Kalau mamak yang di Padang tu kurang acok komunikasi, tapi yang di Solok Selatan

nyo kan acok juo ka Padang, caliak nenek kan, jadi itulah yang acok maajan Wahyu tentang

nilai-nilai kehidupan.

P: Kalau mamak yang di padang tu kok jarang?

I: Yang surang tu lah bakaluarga, yang surang lai lah bakarajo.

P: Dari mamak yu yang di Solok Selatan tu apo ajo sih yang diajaannyo?

I: Tentang bagaul samo urang, tentang raso jo pareso, tentang baa ma manajemen diri,

baa caro batindak.

P: Panyampaiannyo kayak apo?

I: Misalnyo kadang sadang baduo di ateh onda, tu carito-carito, kalau di nagari urang

mode-mode iko.

P: kalau sabalum kamari, lai mamak yu magiah samacam nasehat, gitu?

I: Lai, elok-elok se di nagari urang, di nagari urang tu kalau bisa cubo la dakek samo

urang-urang minang disitu tu.

P: Trus, taunyo samo urang-urang minang disiko baa?

I: kan pas ado PMB tu, nan itu lah, diajak ngumpua-ngumpua jo urang minang, awalnyo

pas patamo-tamo kuliah, maleh gabuang kan, dek sibuk kan, jadi dek alah agak-agak ado

waktu luang stek baru baliak liak, sampai kini.

P: Baa dulu awalnyo Wahyu bisa miliah kuliah kamari?

I: Awalnyo pai ka Medan..patamonyo dulu..Medan ko piliahan kaduo, piliahan partamo

UI, kaduo USU, katigo UNAND, karena memang dari dulu bosan di Sumbar. Sabananyo kan

niaik yang paliang gadang tu pai ka Jawa, makonyo ambiak piliahan partamo tu di UI.

Universitas Sumatera Utara


P: Miliah USU dulu baa? Ado keluarga yang disiko?

I: Iyo, ado keluarga disiko, adiak kanduang apa, ante yo?

P: Pas awal-awal masuak kamari apo pandapek Wahyu tentang kota Medan?

I: Pandapek yu tentang kota Medan, kalau kota Medan tu kan kota besar, jadi tau lah

kan,, baa kota besar tu, urang-urang disitu tu dak urang-urang batak se do, tapi ado juo urang-

urang selain urang Batak. Tapi pas tibo di Medan, basobok jo urang batak saketekyo,

kebanyakan urang Aceh atau urang Melayu, kalau di lingkungan Wahyu kini ko yo

kebanyakan urang Melayu atau urang Aceh.

P: Kalau gambaran yu tentang urang-urang nyo baa?

I: Secara keseluruhan, sebelum pai kamari, danga-danga kecek urang, katonyo kareh,

tapi alah carito-carito lo samo senior2 yang ado di Medan ko, tapi nyo pindah liak ka Padang,

keceknyo yo di Medan tu kareh, trus ciek lai pergaulannyo terlalu bebas, jadi elok-elok se di

Medan, kecek senior tu. Tapi lah pai kasiko, indak lo bantuak tu bana do, lingkuangannyo

biaso-biaso se nyo.

P: Katiko awal-awal disiko, apo se yang buek wahyu takajuik disiko?

I: hmm, takajuiknyo caliak watak-watak urang disiko lah, yang bataknyo, misalnyo

kalau di jalanan, urang-urang tu ndak amuah mangalah, masuak se taruih, dak amuah

mangalah do, tu ciek lai,,pernah lo dulu kanai tipo dek tukang becak, dak tau wak ongkosnyo

waktu tu doh, wak agiah pitih 100 ribu, nyo baliak an 15 ribu, tu kaburnyo lai.

P: Dari ma?

I: Dari amplas, ka kamari, wak pacik an becaknyo, wak egangan, tapi kabur juo nyo,

dek awak macik koper lo ciek.

P: Surang se Wahyu pai kamari?

I: Iyo, surang se, wak dak tantu ado urang-urang tu ado di kos doh, kalau tau kan wak

panggia kawan kos tu. Baa lai, sajak tu sampai kini ndak pernah naiak becak lai do.

Universitas Sumatera Utara


P: Kalau tentang makanan disiko baa?

I: aa.. iyo..makanan di medan partamo kali mancubo makanan di Medan, jauah bana

beda rasonyo samo nasi yang di Padang..nasinyo agak-agak lengket, tapi kini lah tabiaso.

P: Makan di lua atau masak surang?

I: Makan di kos, di masak an bu kos.

P: Kalau sambanyo disiko baa?

I: Sambanyo samo-samo se nyo, nasinyo yang beda.

P: Partamo kali disiko dulu samo sia wahyu partamo kali bagaul?

I: Samo senior-senior di SMA, kak Dini, bang Ezy, bang Egith, bang Eko, barampek.

P: Kalau di kampus pas ospeknyo dulu ado masalah ndak?

I: Ndak, pas ospek dulu dibaok sanang se nyo, soalnyo kan bahaso nyo lain, kalau

disiko kan ospeknyo kan pake bahaso melayu lah gitu, jadi beda la rasonyo. Kalau jo yang di

Padang, wak danga-danga kawan wak kanai ospek kan, kalau wak mandanganyo baa

tu??sakik ati rasonyo. Tapi kalau urang-urang Medan ko yang ma hariak-hariak, dak ka awak

rasonyo do.

P: Ado dak yang kasa-kasa gitu?

I: Indak, paliang yang kurang suko wak dek disuruah botak itu se nyo, itu se yang buek

sakik ati, yang lain nyo indak ado.

P: Kalau masalah bahaso ado kesulitan dak?

I: Awal-awalnyo ado, kesulitan bahaso, tapi kalau logat ndak masalah do, banyak

bahaso2 lokal lah yang awak dak tau.

P: Misalnyo bantuak apo?

I: Misalnyo kayak kareta, pajak, dak tau do, dulu kan taunyo kereta tu kereta api,

banyak la yang lain.

P: Baa se taunyo?

Universitas Sumatera Utara


I: Dari kawan-kawan di kampus. Wak galak-galak se kan, dak tau wak bahaso tu, kalau

masalah logat bisa.

P: Trus kalau kawan2 yu nanyo dari ma? Apo wahyu jawek?

I: Dari Padang, kan emang dari Padang.

P: Apo tanggapan kawan2 Wahyu?

I: Dak do, paliang cuma ngecek-ngecek dari Padang,,,jauh yaa, gitu ajo.

P: Di kampus yu banyak bakawan samo urang batak?

I: Urang Batak lai, urang malayu.

P: Kalau urang awak di kampus bara yo ?

I: Kalau yang yo bana urang awak sorangnyo, paliang banyak keturunan gitu.

P: Yang paliang acok wahyu ajak interaksi sia?

I: Urang batak sih, urang awak ado juo, tapi labiah acok samo urang batak.

P: Pertukaran informasi tentang budaya salamo yu bainteraksi ado ndak?

I: Ado, paliang ado diskusi-diskusi tentang budaya, misalnyo tentang pambagian

warisan, yang tentang harto pusako tu kan, baa kok padusi yang macik, kalau dalam islam

kan laki-laki, tu wak kecek an, yang padusi macik tu bukan harta pencarian, tapi harato

pusako, tu wak jalehan, harato pusako tu kayak iko, kayak iko,..

P: Dari ma wahyu tau tentang itu?

I: Dari sekolah, kan pernah baraja.

P: Dak dari keluarga do?

I: Dari keluarga ado lo, dari keluarga tu mama ado maagiah tau, lai di kecek an.

P: Trus, yang lain apo lai?

I: Urang tu kalau maagiah informasi tentang urang batak, paliangan dak lo awak khusus

lo wak nanyo do.

Universitas Sumatera Utara


P: Selain harato pusako tu apo lai yang pernah dibahas?

I: Tentang marantau, misalnyo baa kok suko bana marantau?”keceknyo kan, yo bosan,

kecek yuk an, tapi kebanyakan urang minang tu marantau cari harato, tapi kalau kami yang

mahasiswa ko kan cari ilmu, gitu.

P: Kalau salamo satuhun ko wahyu berinteraksi tu, pernah ngalami kesulitan?

I: Kesulitannyo, misalnyo kalau wak buek salah, kesulitannyo payah minta maafnyo ka

urang tu. Pernah tu, ba masalah jo urang batak, lamo mintak maafnyo.

P: Baa dulu tu kok bisa gitu?

I: Ado la yang wak galak2an, ee..padang..ee batak,” kecek wak kan, ado yang

tasingguang kan, tu via sms se, ngamboknyo lamo.

P: Kalau menurut Wahyu apo perbedaan yang mancolok antaro masyarakat disiko jo di

kampuang?

I: Kalau masyarakat, wak caliak kan, wak pai jalan2 ka Berastagi, lain rasonyo suasana

di tapi2 jalan tu, kalau misalnyo disiko, perkampungan urang Batak asli kan, wak caliak

halaman rumahnyo tu kumuah lah, tu dari pandangan wak, urangnyo ibaratnyo ndak barasiah

do. Kalau di kampuang kan wak caliak, asalkan ado anak gadih di dalam rumah tu, pasti

halamannyo tu barasiah, kalau di Minang tu wak caliak tapi-tapi jalannnyo tu kan rapi,

Payakumbuah, Bukittinggi, kalau pulang kan acok lewat2 situ.

P: Kalau di Medan menurut yu baa?

I: Kalau disiko kan, lingkuangannyo anak kos kebanyakan, dek nyo bacampua2 jadi

payah lo mandeskripsikannyo.

P: Di dakek kosan wahyu baa?

I: Kalau di kos yu, ado urang batak, urang duri, urang aceh, jadi biaso-biaso se nyo, dak

ado interaksi yang mancolok bana do, tapi kami tu akrab se.

P: Kalau di kosan Wahyu pakai bahaso apo?

Universitas Sumatera Utara


I: Pakai bahaso Indonesia, kalau di kos dek urang minangnyo sadonyo keturunan, jadi

bahaso Indonesia juo, yang sorang kawan SMA, tapi gaek padusinyo yang urang minangnyo,

tapi iduiknyo di Aceh. 3 tahun se di Maninjau nyo

P: Kalau perbedaan sikap urang-urangnyo baa?

I: Kalau jo urang batak ko nyo main langsuang2 se nyo, dak mikian parasaan urang,

mungkin lah memang gitu tabiatnyo kan, mungkin kalau nyo sasamo urang Batak kayak-

kayaknyo gitu tu biaso2 se nyo, tapi kalau awak urang minang yang marasoan agak lain gitu,

kadangnyo di muko urang rami gai kan, mode tu.

P: Pernah takanai?

I: Pernah, waktu tu misalnyo wak talambek pai waktu tu kan, tu wak batanyo, dak

dijaweknyo do, “ kok gak dijawab.” Kecek wak kan, malas jawab ah, kau tadi

terlambat.”keceknyo di muko urang rami, tu wak, ooo…iyo lah.

P: Trus baa tanggapan wahyu?

I; Awak diam se nyo.

P: Maraso sakik ati ndak?

I: Iyo lah,

P: Tu baa, dak ado bakecek an do?

I: Padian se lah, tapi kan dek urang-urang tu biaso dek nyo nyo, di daerah2 siko kan tu

biaso se nyo, kalau di awak yang urang minang kan, maagak-agak an hati urang.

P: Yang lainnyo apo?

I: Aa..tu masalah itu, kalau di Minangkan, kalau biasonyo wak sadang makan, rami-

rami gitu kan, kalau basandao tu kan dak elok do, kalau disiko baru tadi pagi baru wak

sadang makan, yang tukang manjua nyo tu malahan, kareh..is..wak sadang makan, baa la…..

P: Trus Wahyu maanghadapi hal-hal bantuak itu baa?

Universitas Sumatera Utara


I: Biasonyo diam se nyo, ndak pernah protes do, takuiknyo beko awak lo yang salah,

masalahnyo awak di lingkungan urang.

P: Kalau konflik atau masalah disiko ado ndak?

I: Ndak, dak ado do. Paliang batak-batak ko, nyo keceknyo kasa kan, kadang ado gai

nada mengancam, tapi itu wak anggap sebagai gurauan se nyo.

P: Kalau urang tu ngecek “kau-kau” gitu baa?

I: Kalau itu kan, dek factor bahaso, itu biaso se nyo, kan dulu di sekolah ado juo urang

Medan, jadi kadang nyo ba”kau-kau” juo.

P: Wahyu sendiri kalau carito-carito gitu, labiah nyamannyo jo sia?

I: Nyaman lah samo urang minang lai, dek labiah masuak ngecek kan, dek bahaso,

bahaso ibu wak sorang. Kadang kalau ngecek jo urang-urang Batak, tabaok-baok lo bahaso

Minang.

P: Menurut Wahyu pandangan yu tentang budaya minang tu baa?

I: Budaya Minang tu halus lah, kalau dibandiangan jo batak, tu lebih sopan. Kan kalau

kesopanan tu dalam konteks budaya itu tu relative, misalnyo dek urang batak tu ngecek

kareh-kareh tu sopan mah, tapi kalau dek awak tu lain. Jadi budaya minang tu lebih sopan

dan halus.

P: Wahyu sendiri caro manunjuak an identitas Wahyu sebagai urang minang baa?

I: Kalau budaya secara mancolok dak ado do, tapi kalau dalam pergaulan lai, contohnyo

kalau misalnyo wak basalah ka urang, yo lah awak duluan yang minta maaf. Baa caronyo

wak tu harus mintak maaf samo urang tu. Tu awak tu harus bausaho manjago, ibaraiknyo

layang2 gitu ni, banyak patimbangan lah. Kalau misalnyo lah talampau tagang, di uluan stek,

kalau dak ado angin di tagangan stek, gitu lah. Pandai-pandai baco situasi.

P: Kalau perubahan yang wahyu rasoan ado ndak salamo tingga disiko?

Universitas Sumatera Utara


I: Misalnyo, dek pergaulan labiah luas kan, ado urang batak, urang minang, urang aceh,

urang melayu, pokoknyo banyak kan urang2 gai, jadi ibaraiknyo kini ko labiah luas lah

pengetahuan tentang baa caro menghadapi urang-urang ko, du kan agak pandiam, kalau kini

kan agak-agak banyak ngecek lah stek jo urang-urang tu.

P: Apo dorongan Wahyu untuak banyak-banyak ngecek jo urang tu?

I: Cari kawan, memang niaik dari dulu, selain pai kuliah, yo tambah kawan-kawan.

P: Kalau samo logat urang siko tabaok-baok ndak?

I: Tabaok, pernah waktu tu di Padang, reuni kan, jadi tabaok kan, tu digalak an dek

kawan-kawan yu.

P: Sajak bilo tu wahyu tabiaso samo bahaso urang siko?

I: Sajak 6 bulan disiko la. Tapi itu sakali-sakali se nyo.

P: Kalau culture shock yang lain baa?

I: Culture shock yo bantuak bahaso tadi, kayak sopan santun yang kurang tadi, kalau

dibandiangan jo budaya minang kan. Trus kalau disiko kan lebih individual, paliang wak tau

samo yang sobok jo awak, sabalah kosan wak dak tau ntah jo sia-sia do.

P: Kalau kedekatan wahyu samo kawan-kawan kampus baa?

I: Dakek ajo sih sadonyo. O iyo, tu kalau masalah culture shock tu dek balainan agama

gitu. Agama di Medan kan banyak, dikelas tu se ado 4 agama, budha, hindu ado. Tapi kalau

masalah kedekatan yo labiah dakek lah inyo samo inyo ajo.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai