BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui banyak cara, diantaranya melalui
membrane mucus yang intak, kulit yang cedera atau eczematous serta melalui jalur
parenteral, ataupun melalui hubungan seksual. Penyebaran virus HIV yang paling
banyak terjadi adalah melalui hubungan seksual. Pada saat berhubungan seksual
sel HIV dapat melekat pada sel dendritic seperti sel Langerhans atau
4
Setelah menginfeksi sel inang, HIV dapat terdeteksi pada jaringan limfe
regional ataupun nodus limfe setelah 5-6 hari. Kemudian sekitar 10-14 hari setelah
proses infeksi, virus HIV dapat terdeteksi pada seluruh badan, termasuk sistem
saraf. Kompartemen utama penyebaran sel HIV adalah melalui darah, cairan
serebrospinal dan genital (ejakulasi atau sekresi vagina). Selain itu pada kehamilan
dapat juga terjadi transmisi dari ibu ke anak yang dapat terjadi pada minggu ke 12
dari kehamilan, tetapi sebagian besar terjadi pada trimester akhir ataupun sebelum
atau sesudah proses persalinan. HIV dapat ditransmisikan melalui air susu ibu.4
Gejala dari HIV tergantung pada sistem imun humoral yang timbul pada tiap
individu. Umumnya setelah 3-6 minggu terinfeksi HIV, gejala yang timbul dapat
berupa demam, pembesaran nodus limfe, fatigue, malaise, ruam, gejala
gastrointestinal, ataupun neuropathy akut. Fase gejala ini dapat bertahan 2-6
minggu dan biasanya akan diikuti oleh fase asymptomatic ataupun satu dari gejala
yang menetap dan bertahan hingga beberapa tahun.4
5
Gejala yang timbul pada infeksi HIV bergantung pada jumlah sel CD4. Gejala
awal yang timbul dapat berupa gejala non spesifik seperti demam, diare, malaise,
fatigue dan penurunan berat badan. Seiring dengan penurunan sel CD4 yang terus
terjadi, terutama bila jumlah sel CD4<300/ µl, terjadi penurunan response imun
sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi opurtunistik ataupun
perkembangan dari sel neoplasma. Pada fase ini biasanya terjadi sakit yang terus
menerus dan bertahan lebih lama daripada fase awal infeksi sekitar 2-25 tahun atau
lebih.4
Selain itu pada beberapa pasien dapat juga timbul gejala pada kulit dan gigi,
diantaranya seborrheic eczema pada kulit, sedangkan pada gigi dapat timbul gejala
berupa perubahan dari mukosa oral, retraksi gusi dan lesi pada periodontal diikuti
oleh leukoplakia pada batas lateral lidah ataupun pada mukosa bukal. WHO dan
CDC mengklasifikasikan HIV berdasarkan gejala dan penghitungan sel CD4 yang
terbagi menjadi kategori A1-C3, dimana kategori A adalah asymptomatic, kategori
B adalah gejala ringan dan kategori C adalah gejala yang disebabkan oleh AIDS.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan penghitungan sel CD4 terbagi menjadi kategori
1 CD4 >500/µl, Kategori 2 diantara 499 dan 200/µl dan kategori 3 <200/ µl.4
Berdasarkan data WHO pada tahun 2017, sekitar 36,9 juta orang terinfeksi
HIV. Sekitar 0,8% orang berusia 15-49 tahun hidup dengan infeksi HIV meskipun
terdapat perbedaan jumlah orang yang terinfeksi antar satu daerah dengan daerah
lainnya. Penderita HIV terbanyak di dunia adalah pada regio afrika, dengan
persentase sekitar 4,1% orang terinfeksi HIV yang berarti 1 diantara 25 orang di
afrika mengidap HIV.5 Berdasarkan penelitian oleh Muhaimin didapatkan data
pasien hamil dari 8 ibukota provinsi di Indonesia yang terjangkit HIV memiliki
prevalensi sebesar 0,41% dari tahun 2003-2010.1
Sistem imun pada manusia diperankan oleh sistem imun innate maupun
sistem imun adaptif. Sistem imun innate merupakan sistem imun yang berperan
sebagai 1. Respon akut terhadap organisme pathogen dan sekaligus respon seluler
terhadap stress selular ataupun kerusakan jaringan akibat serangan mikroba 2.
7
Untuk menginisiasi respon dari sistem imun adaptif. Sistem Imun adaptif
diperankan oleh sel T dan B yang memiliki reseptor yang unik dan mampu untuk
mengenali sel pathogen maupun sel self-antigen sehingga mampu mengeleminasi
dari pathogen sekaligus menghambat terjadinya proses autoimun karena adanya
mekanisme toleransi pada sistem imun adaptif yang berperan penting pada proses
kehamilan.6
Sistem toleransi pada sistem imun manusia diperankan oleh sel T regulator.
Toleransi dikendalikan oleh sistem toleransi sentral (organ timus) dan toleransi
perifer ketika sel T tersebut mengalami proses maturasi di luar timus. Pada sel
Limfosit CD4 yang matur di timus normalnya diaktivasi oleh antigen presenting
cell (APC) yang menyebabkan terjadinya proses seleksi negative, yang berefek sel
yang mengandung APC akan mengalami apoptosis ataupun proses sitotoksi oleh
sel T CD4. Oleh karena itu untuk mentoleransi efek dari sistem imun tersebut
perlu adanya kemampuan pengenalan yang spesifik terhadap autoantigen dari
tubuh.6
Sel T regulator dapat diaktivasi oleh sifat antigen yang spesifik, tetapi
dapat menekan respon terhadap antigen yang tidak berhubungan, atau yang
8
Pada pasien dengan kehamilan terjadi penggabungan dari materi genetic ibu
dan ayah. Materi genetic ayah merupakan suatu alloantigen yang tidak dikenali
oleh ibu dan seharusnya menimbulkan efek bagi sistem imun ibu. Tetapi pada
kehamilan tidak terjadi proses ini, peneliti menduga terjadi toleransi sistem imun
ibu terhadap keberadaan janin dengan cara timbul respon pengabaian terhadap
jaringan janin yang berpotensi menimbulkan aktivasi sistem imun. Hal ini dikenal
dengan mekanisme pengelakan fetal terhadap sistem imun. Pada mekanisme ini
terbagi menjadi beberapa mekanisme diantaranya mekanisme yang menyebabkan
eliminasi dari limfosit maternal yang teraktivasi ataupun melalui penghambatan
jalur efektor yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.6
Selain itu kerusakan jaringan ataupun sistem pengenalan fetal alloantigen oleh
sel limfosit maternal dapat mengaktivasi kaskade komplemen. Tetapi pada
kehamilan terjadi penghambatan oleh protein regulator komplemen yaitu Crry
sehingga deposisi komplemen pada jaringan materno-fetal dapat dihambat dan
menginduksi terjadinya apoptosis pada sel komplemen tersebut. Selain itu pada
sistem imun innate terjadi penghambatan efektivitas kerja dari sel NK yang
9
diinduksi oleh produksi sel Human Leukocyte Antigen (HLA-G) yang diproduksi
oleh sel trophoblast.6
1. HLA-G berperan sebagai ligan bagi Killer Inhibitory Receptor (KIR) sel
Natural Killer maternal
HLA-G diproduksi oleh dua sel, diantaranya oleh villus dan
ekstravilus trophoblast, dan sel stroma desidua (DSC). HLA-G yang
diekspresikan oleh sel ekstravilous trofoblas (EVT) dapat mengikat pada
Killer Inhibitor Receptor sehingga potensi sitotoksik dari sel desidua natural
Killer (dNK) dapat dihambat. Sedangkan pada HLA-G DSC dapat
meningkatkan mekanisme inhibisi sel sitotoksik ini sehingga dapat
memberikan efek perlindungan terhadap fetus
2. HLA-G mempengaruhi jumlah sel T CD4
Molekul HLAG-1 dapat menghambat proliferasi sel T CD4 melalui
aktivasi sinyal non-antigenik sehingga dapat memberikan efek inhibisi atau
proapoptosis bagi sel T CD4 ataupun menyebabkan sel T CD4 menjadi tidak
responsive. Pada sistem imun adaptif, kompleks APC dan sel T CD4
merupakan komponen penting agar terjadinya aktivasi dan proliferasi sel T
CD4 sehingga ikatan antara kompleks HLA G 1 dan APC dengan sel T CD4
dapat mengganggu proses generasi sel T CD4 yang berefek terhadap
penurunan generasi dari sel limfosit T sitotoksik. Hal ini terjadi karena
kemampuang merangsang APC terhadap sel T CD4 dihambat.8
Sitokin IL-2 juga berhubungan dengan aktivitas dari sel T-helper 1. Pada
penelitian oleh Sutton didapatkan kesimpulan bahwa produksi IL-2 pada
wanita tidak hamil HIV negative lebih tinggi dibandingkan dengan positif
HIV, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara wanita hamil
dengan HIV positif dan HIV negative, sehingga disimpulkan bahwa
penurunan produksi IL-2 pada wanita hamil merupakan efek kehamilan itu
sendiri dan tidak berkaitan dengan infeksi HIV yang terjadi.9
Penelitian lain di swiss dengan variable 32 wanita hamil dengan HIV positif
yang telah dihitung sel CD4 nya dibandingkan dengan 416 wanita HIV positif
yang tidak hamil, dengan kriteria usia dan perhitungan sel CD4 yang sama saat
awal penelitian, dengan follow up selama 4,8 tahun pada wanita hamil HIV positif
dan 3,6 tahun pada control, tidak ditemukan adanya perbedaan pada tingkat
kematian ataupun progresifitas HIV yang semakin progresifitas HIV yang semakin
parah, kecuali kejadian infeksi peningkatan angka infeksi sekunder yang terjadi
pada pasien kehamilan dengan HIV positif.3 Pada penelitian di Nigeria dengan
subjek 681 wanita hamil HIV positif dan 89 wanita tidak hamil HIV positif
didapatkan hasil penghitungan CD 4 yang lebih rendah pada kelompok wanita
hamil dengan HIV positif namun tidak berbeda signifikan.10
11
Wanita hamil dengan HIV positif juga dapat meningkatkan angka kejadian
dari kehamilan ektopik yang mungkin berhubungan dengan penyakit transmisi
seksual lainnya seperti infeksi traktus genitalis yang disebabkan oleh Neiserria
gonorrhea, Chlamdia Trachomatis, Candida albicans dan Trichomonas vaginalis
dengan angka prevalensi lebih tinggi pada wanita hamil dengan HIV. Prevalensi
sifilis juga 3x lebih tinggi pada pasien dengan HIV positif selama masa kehamilan
dibandingkan dengan HIV negative pada pasien hamil.4
Persalinan premature juga merupakan salah satu komplikasi pada pasien hamil
dengan HIV positif, dengan angka prevalensi 2 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita hamil dengan HIV negative. .Pada penelitian lain juga melaporkan
adanya peningkatan angka kejadian ketuban pecah dini yang meningkat pada
pasien dengan HIV positif. Terdapat perbedaan antara berat badan bayi baru lahir
pada ibu dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negative.4 Pada penelitian
di Nigeria dengan subjek 52 wanita hamil dengan infeksi HIV positif
dibandingkan dengan 162 wanita hamil tanpa infeksi HIV, didapatkan rata-rata
12
berat kelahiran bayi dengan ibu positif HIV seberat 2,87 kg, sedangkan pada bayi
dengan riwayat ibu HIV negative didapatkan rata-rata beratnya 3,43 kg, meskipun
perbedaannya tidak signifikan, tetapi hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan
riwayat HIV memiliki kemungkinan bayi yang lahir memiliki berat badan
rendah.11 HIV juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian janin
didalam rahim. Komplikasi infeksi juga lebih sering terjadi pada pasien post
partum dengan HIV positif.4
cairan pervaginam dari ibu, dan dapat juga terjadi transmisi penularan saat fase
menyusui. Berikut adalah presentase penularan HIV dari ibu ke anak12 :
C. Terdapat beberapa faktor resiko penularan HIV dari ibu ke anak, diantaranya12:
1. Faktor Ibu
a. Kadar HIV dalam darah (Viral load): apabila semakin tinggi kadarnya,
maka kemungkinan penularan terhadap janin juga semakin tinggi terutama
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui
b. Kadar CD4: kadar CD4 rendah terutama <350 sel/mm3, menunjukkan
adanya daya tahan tubuh yang rendah karena rusaknya sel limfosit. Pada
fase awal kadar CD4 dan Viral load dapat tinggi sedangkan pada fase
lanjut keduanya dapat rendah terutama bila penderita mendapat terapi anti-
retrovirus (ARV),
c. Status gizi selama kehamilan : Kurangnya gizi menyebabkan ibu rentan
terkena infeksi sekunder, sehingga terjadi peningkatan virus HIV dalam ibu
dan beresiko menular terhadap bayinya
d. Masalah pada payudara : Pada puting lecet, mastitis ataupun abses
payudara dapat meningkatkan resiko penularan HIV melalui pemberian
ASI.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat janin rendah saat lahir rentan tertular HIV
karena sistem organ dan kekebalan tubuh yang berkembang belum
sempurna.
14
Hasil pemeriksaan darah pada fase ini belum ditemukan adanya antibody
anti-HIV.
B. Fase 2 : Pada fase ini gejala yang muncul bervariasi mulai dari
asimptomatik hingga gejala ringan. Masa asimptomatik dapat bertahan
hingga 2-3 tahun sedangkan gejala ringan yang muncul dapat berlangsung
hingga 5-8 tahun. Pada pemeriksaan serologis didapatkan hasil yang
positif.
Fase 3 : Merupakan fase akhir dari perjalanan infeksi HIV dimana mulai
timbul gejala yang disebabkan oleh AIDS yang ditandai dengan
munculnya infeksi opurtunistik seperti TB paru, dan gejala diare kronis
hingga penurunan berat badan lebih dari 10%.
A. Pemeriksaan antibody
1. Pemeriksaan antibody HIV dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi
seperti ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang dapat
mendeteksi antigens HIV-1 grup M, grup O dan HIV-2. Biasanya dapat
dideteksi setelah 3 minggu tetapi sebagian besar terdeteksi pada waktu 4-5
minggu setelah terinfeksi.4
2. Pemeriksaan Rapid Test dapat mendeteksi adanya antibody HIV dengan
hasil kurang dari 30 menit. Penting untuk screening wanita tanpa riwayat
antenatal care ataupun wanita dengan resiko tinggi selama kehamilan
ataupun persalinan jika tes serologi dasar tidak tersedia.13
17
3.9 Penatalaksanaan
Bila ibu hamil tidak mau, dapat dirujuk untuk mengikuti konseling
yang lebih instensif pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS).
Langkah TIPK terbagi menjadi :12
1. Pemberian Informasi sebelum tes
Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium, petugas kesehatan
wajib memberi informasi, diantaranya :
KIE mengenai penularan penyakit tertentu seperti TBC, HIV dan
sifilis selama kehamilan, persalinan ataupun menyusui
KIE tentang pentingnya diagnosis dini penyakit seperti hipertensi,
penyakit jantung dan ginjal selama kehamilan
Layanan yang dapat dijangkau pasien bila hasil tes laboratorium
positif
KIE tentang kerahasiaan hasil tes
Pasien memiliki hak untuk menolak, dan perlu membuat
pernyataan tertulis
4. Konseling12
Hasil konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes adalah sebagai
berikut:
- Hasil tes HIV negative
a. Penjelasan tentang masa jendela
b. Pencegahan agar tidak terinfeksi
c. KIE resiko penularan HIV dari ibu ke anak
d. Konseling agar pasangan mau dilakukan tes HIV juga
- Hasil tes HIV positif :
a. Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau
terapi ARV, kepatuhan minum obat serta layanan faskes yang
menyediakan obat ARV.
b. KIE makanan sehat yang menunjang selama kehamilan serta diberi
tambahan terapi selama kehamilan berupa zat besi dan asam folat
c. Rencana pilihan persalinan
d. Konseling hubungan seksual selama kehamilan
21
Berdasarkan literatur, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan Viral load terlebih dahulu. Untuk
memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal sebagai berikut :
a. Apabila terdapat infeksi opurtunistik, maka pengobatan lebih difokuskan
terlebih dahulu untuk mengobati infeksi opurtunistiknya, kemudian setelah
stabil lalu dilanjutkan kembali terapi ARV (2 minggu sampai 2 bulan
pengobatan)
b. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2,3,4 dan atau
CD4<200sel/mm3 untuk mencegah toksoplasma, infeksi bacterial dan untuk
mencegah malaria pada daerah endemis
c. Pada ibu hamil dengan Tuberculosis harus didahulukan pengobatan OAT
nya lalu kemudian apabila kondisi pasien sudah baik, terapi ARV dapat
dilanjutkan ( sekitar 2 minggu sampai 2 bulan) dengan catatan fungsi hati
yang baik sebelum terapi ARV.
Protokol pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV.12
- Terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI +1 NNRTI). Perlu
dihindari penggunaan 3 NRTI
- Kombinasi obat dosis tetap / fixed dose combination : TF(300mg) +
3TC(300 mg) + EFV (600mg).
- Bagi ibu dengan riwayat HIV sebelum kehamilan maka ARV dilanjutkan
dengan paduan yang sama seperti sebelum hamil
- Bagi ibu dengan status HIV diketahui saat kehamilan, maka segera
diberikan ARV tanpa melihat umur, kehamilan, nilai CD4 dan stadium
klinisnya
- Bagi ibu yang diketahui status HIV selama persalinan, segera diberikan
obat ARV.
24
Pada umumnya pasien dengan HIV positif pada masa perawatan nifas terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:
Bayi yang lahir dengan HIV rawan untuk tertular penyakit HIV, oleh karena
itu pada bayi yang diberikan ASI eksklusif ataupun susu formula perlu pemberian
terapi zidovudine sejak hari pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu terlebih
dahulu. Pengawasan minum obat yang ketat juga perlu dilakukan agar tidak
terjadi kegagalan pengobatan.
b. Bayi premature <30 minggu : 2mg/kgBB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2mg/kg BB tiap delapan jam selama 2 minggu
c. Bayi premature 30-35 minggu : 2mg/kgBB tiap 12 jam selama 2 minggu
pertama, kemudian 2mg/kgBB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti
4mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu