Anda di halaman 1dari 24

3

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)


3.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang
spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem
kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi,
sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda
klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena
penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan
oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai
organ, antara lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis
keganasan juga mungkin timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak
diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi
HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi
serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe,
yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor,
berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun.
3.1.2 Proses Infeksi

HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui banyak cara, diantaranya melalui
membrane mucus yang intak, kulit yang cedera atau eczematous serta melalui jalur
parenteral, ataupun melalui hubungan seksual. Penyebaran virus HIV yang paling
banyak terjadi adalah melalui hubungan seksual. Pada saat berhubungan seksual
sel HIV dapat melekat pada sel dendritic seperti sel Langerhans atau
4

makrofag/monosit dan kemudian dapat melakukan proses replikasi melalui


koreseptor CCR-5. Sedangkan jalur lain yang tersering adalah melalui rute
parenteral seperti penggunaan obat-obatan yang melalui jalur parenteral.4

Setelah menginfeksi sel inang, HIV dapat terdeteksi pada jaringan limfe
regional ataupun nodus limfe setelah 5-6 hari. Kemudian sekitar 10-14 hari setelah
proses infeksi, virus HIV dapat terdeteksi pada seluruh badan, termasuk sistem
saraf. Kompartemen utama penyebaran sel HIV adalah melalui darah, cairan
serebrospinal dan genital (ejakulasi atau sekresi vagina). Selain itu pada kehamilan
dapat juga terjadi transmisi dari ibu ke anak yang dapat terjadi pada minggu ke 12
dari kehamilan, tetapi sebagian besar terjadi pada trimester akhir ataupun sebelum
atau sesudah proses persalinan. HIV dapat ditransmisikan melalui air susu ibu.4

Gejala dari HIV tergantung pada sistem imun humoral yang timbul pada tiap
individu. Umumnya setelah 3-6 minggu terinfeksi HIV, gejala yang timbul dapat
berupa demam, pembesaran nodus limfe, fatigue, malaise, ruam, gejala
gastrointestinal, ataupun neuropathy akut. Fase gejala ini dapat bertahan 2-6
minggu dan biasanya akan diikuti oleh fase asymptomatic ataupun satu dari gejala
yang menetap dan bertahan hingga beberapa tahun.4
5

Gambar 3.2 Patofisiologi virus HIV.

Gejala yang timbul pada infeksi HIV bergantung pada jumlah sel CD4. Gejala
awal yang timbul dapat berupa gejala non spesifik seperti demam, diare, malaise,
fatigue dan penurunan berat badan. Seiring dengan penurunan sel CD4 yang terus
terjadi, terutama bila jumlah sel CD4<300/ µl, terjadi penurunan response imun
sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi opurtunistik ataupun
perkembangan dari sel neoplasma. Pada fase ini biasanya terjadi sakit yang terus
menerus dan bertahan lebih lama daripada fase awal infeksi sekitar 2-25 tahun atau
lebih.4

Patogen penyebab terjadinya infeksi oppurtunistik diantaranya toxoplasma


gonddi, cryptosporidium parvum, pneumocystis jirovecii, mycobacterium
tuberculosis, atypical mycobacteria, salmonella spec., pneumococci, human
6

polyomavirus, cytomegalovirus dan herpes simplex virus. Sedangkan neoplasma


yang sering terjadi pada pasien HIV diantaranya adalah sarcoma Kaposi yang
disebabkan oleh infeksi herpes virus tipe 8, non hodgkins lymphomas, Epstein-
barr virus, carcinoma penis, anus ataupun serviks yang disebabkan oleh human
papilloma virus (HPV).4

Selain itu pada beberapa pasien dapat juga timbul gejala pada kulit dan gigi,
diantaranya seborrheic eczema pada kulit, sedangkan pada gigi dapat timbul gejala
berupa perubahan dari mukosa oral, retraksi gusi dan lesi pada periodontal diikuti
oleh leukoplakia pada batas lateral lidah ataupun pada mukosa bukal. WHO dan
CDC mengklasifikasikan HIV berdasarkan gejala dan penghitungan sel CD4 yang
terbagi menjadi kategori A1-C3, dimana kategori A adalah asymptomatic, kategori
B adalah gejala ringan dan kategori C adalah gejala yang disebabkan oleh AIDS.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan penghitungan sel CD4 terbagi menjadi kategori
1 CD4 >500/µl, Kategori 2 diantara 499 dan 200/µl dan kategori 3 <200/ µl.4

3.2 Epidemiologi HIV

Berdasarkan data WHO pada tahun 2017, sekitar 36,9 juta orang terinfeksi
HIV. Sekitar 0,8% orang berusia 15-49 tahun hidup dengan infeksi HIV meskipun
terdapat perbedaan jumlah orang yang terinfeksi antar satu daerah dengan daerah
lainnya. Penderita HIV terbanyak di dunia adalah pada regio afrika, dengan
persentase sekitar 4,1% orang terinfeksi HIV yang berarti 1 diantara 25 orang di
afrika mengidap HIV.5 Berdasarkan penelitian oleh Muhaimin didapatkan data
pasien hamil dari 8 ibukota provinsi di Indonesia yang terjangkit HIV memiliki
prevalensi sebesar 0,41% dari tahun 2003-2010.1

3.3 Sistem Imun Selama Kehamilan

Sistem imun pada manusia diperankan oleh sistem imun innate maupun
sistem imun adaptif. Sistem imun innate merupakan sistem imun yang berperan
sebagai 1. Respon akut terhadap organisme pathogen dan sekaligus respon seluler
terhadap stress selular ataupun kerusakan jaringan akibat serangan mikroba 2.
7

Untuk menginisiasi respon dari sistem imun adaptif. Sistem Imun adaptif
diperankan oleh sel T dan B yang memiliki reseptor yang unik dan mampu untuk
mengenali sel pathogen maupun sel self-antigen sehingga mampu mengeleminasi
dari pathogen sekaligus menghambat terjadinya proses autoimun karena adanya
mekanisme toleransi pada sistem imun adaptif yang berperan penting pada proses
kehamilan.6

Sistem toleransi pada sistem imun manusia diperankan oleh sel T regulator.
Toleransi dikendalikan oleh sistem toleransi sentral (organ timus) dan toleransi
perifer ketika sel T tersebut mengalami proses maturasi di luar timus. Pada sel
Limfosit CD4 yang matur di timus normalnya diaktivasi oleh antigen presenting
cell (APC) yang menyebabkan terjadinya proses seleksi negative, yang berefek sel
yang mengandung APC akan mengalami apoptosis ataupun proses sitotoksi oleh
sel T CD4. Oleh karena itu untuk mentoleransi efek dari sistem imun tersebut
perlu adanya kemampuan pengenalan yang spesifik terhadap autoantigen dari
tubuh.6

Autoimun regulator dihasilkan oleh sel epitel timus dan menyebabkan


terjadinya seleksi negative terhadap sel T yang reaktif, yang berpotensi
menyebabkan autoimun. Tetapi sel yang auto-reaktif tersebut dapat bermigrasi dari
timus ke perifer dan dapat menimbulkan beberapa mekanisme toleransi terhadap
sel autoreaktif tersebut, diantaranya pengabaian immunologis, eliminasi ataupun
supresi. Beberapa jaringan seperti testis dan mata cenderung menimbulkan efek
pengabaian immunologis terhadap sel yang autoreaktif tersebut dengan
menghambat akses dari sel terhadap jaringan dengan membentuk barrier. Beberapa
jaringan mengekspresikan tumour necrosis faktor (TNF) yang dapat menyebabkan
efek kematian terhadap sel yang autoreaktif tersebut. Sehingga semakin jelas
bahwa mekanisme yang menyebabkan penekanan sel T adalah sentral dan
toleransi perifer.6

Sel T regulator dapat diaktivasi oleh sifat antigen yang spesifik, tetapi
dapat menekan respon terhadap antigen yang tidak berhubungan, atau yang
8

dikenal dengan fenomena “Linked suppression”. Sehingga adanya sel T regulator


tersebut berfungsi untuk mempertahankan toleransi perifer pada manusia. Sel lain
yang memiliki kemampuan penekanan sistem imun antara lain sel CD4 Tr1, yang
distimulasi oleh IL-10 dan antigen. Sel lain yang memiliki fungsi yang sama
antara lain sel T CD8, sel NK dan sel B.6

Pada pasien dengan kehamilan terjadi penggabungan dari materi genetic ibu
dan ayah. Materi genetic ayah merupakan suatu alloantigen yang tidak dikenali
oleh ibu dan seharusnya menimbulkan efek bagi sistem imun ibu. Tetapi pada
kehamilan tidak terjadi proses ini, peneliti menduga terjadi toleransi sistem imun
ibu terhadap keberadaan janin dengan cara timbul respon pengabaian terhadap
jaringan janin yang berpotensi menimbulkan aktivasi sistem imun. Hal ini dikenal
dengan mekanisme pengelakan fetal terhadap sistem imun. Pada mekanisme ini
terbagi menjadi beberapa mekanisme diantaranya mekanisme yang menyebabkan
eliminasi dari limfosit maternal yang teraktivasi ataupun melalui penghambatan
jalur efektor yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.6

Beberapa makrofag/sel dendritik jaringan yang sebelumnya diaktivasi melalui


ekspresi marker CTLA-4 oleh sel T regulator dapat menghasilkan enzim
katabolisme tryptophan indoleamine2,3-dioxygenase (IDO) yang dapat
menghambat proses proliferasi sel T. IDO juga disekresi oleh sel
sinctitiotrophoblast dan pada beberapa penelitian terhambatnya fungsi IDO dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan deposisi komplemen pada jaringan fetal dan
terjadi reaksi penolakan terhadap fetus dan bersifat mengancam terhadap janin.7

Selain itu kerusakan jaringan ataupun sistem pengenalan fetal alloantigen oleh
sel limfosit maternal dapat mengaktivasi kaskade komplemen. Tetapi pada
kehamilan terjadi penghambatan oleh protein regulator komplemen yaitu Crry
sehingga deposisi komplemen pada jaringan materno-fetal dapat dihambat dan
menginduksi terjadinya apoptosis pada sel komplemen tersebut. Selain itu pada
sistem imun innate terjadi penghambatan efektivitas kerja dari sel NK yang
9

diinduksi oleh produksi sel Human Leukocyte Antigen (HLA-G) yang diproduksi
oleh sel trophoblast.6

HLA-G dapat menyebabkan toleransi sistem imun fetomaternal melalui


berbagai macam cara diantaranya :8

1. HLA-G berperan sebagai ligan bagi Killer Inhibitory Receptor (KIR) sel
Natural Killer maternal
HLA-G diproduksi oleh dua sel, diantaranya oleh villus dan
ekstravilus trophoblast, dan sel stroma desidua (DSC). HLA-G yang
diekspresikan oleh sel ekstravilous trofoblas (EVT) dapat mengikat pada
Killer Inhibitor Receptor sehingga potensi sitotoksik dari sel desidua natural
Killer (dNK) dapat dihambat. Sedangkan pada HLA-G DSC dapat
meningkatkan mekanisme inhibisi sel sitotoksik ini sehingga dapat
memberikan efek perlindungan terhadap fetus
2. HLA-G mempengaruhi jumlah sel T CD4
Molekul HLAG-1 dapat menghambat proliferasi sel T CD4 melalui
aktivasi sinyal non-antigenik sehingga dapat memberikan efek inhibisi atau
proapoptosis bagi sel T CD4 ataupun menyebabkan sel T CD4 menjadi tidak
responsive. Pada sistem imun adaptif, kompleks APC dan sel T CD4
merupakan komponen penting agar terjadinya aktivasi dan proliferasi sel T
CD4 sehingga ikatan antara kompleks HLA G 1 dan APC dengan sel T CD4
dapat mengganggu proses generasi sel T CD4 yang berefek terhadap
penurunan generasi dari sel limfosit T sitotoksik. Hal ini terjadi karena
kemampuang merangsang APC terhadap sel T CD4 dihambat.8

Selain itu selama kehamilan juga terjadi penurunan produksi dari


cytokine Interleukine-2 (IL-2). IL-2 merupakan sitokin yang diproduksi oleh
sel limfosit T CD4 dan berperan dalam proses proliferasi dari sel limfosit T
dan B. Selain itu IL-2 juga dapat meningkatkan kemampuan aktivitas sel
natural killer (NK) serta menginduksi keluarnya sitokin pro inflamatori seperi
interferon gamma (IFN gamma), IL-4 dan Tumor nekrosis alfa (TNF-alpha).
10

Sitokin IL-2 juga berhubungan dengan aktivitas dari sel T-helper 1. Pada
penelitian oleh Sutton didapatkan kesimpulan bahwa produksi IL-2 pada
wanita tidak hamil HIV negative lebih tinggi dibandingkan dengan positif
HIV, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara wanita hamil
dengan HIV positif dan HIV negative, sehingga disimpulkan bahwa
penurunan produksi IL-2 pada wanita hamil merupakan efek kehamilan itu
sendiri dan tidak berkaitan dengan infeksi HIV yang terjadi.9

3.4 Pengaruh kehamilan terhadap HIV

Pada kehamilan umumnya terjadi penekanan sistem imun yang fisiologis


sebagai efek toleransi terhadap janin. Efek ini timbul sebagai akibat dari turunnya
jumlah immunoglobulin, jumlah komplemen dan respon imun adaptif selama
kehamilan. Oleh karena itu timbul kekhawatiran bahwa menurunnya sistem imun
selama kehamilan dapat meningkatkan progresifitas dari infeksi virus HIV. Akan
tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan adanya pengaruh kehamilan
terhadap progresifitas dari penyakit HIV. Pada penelitian di prancis dengan 57
wanita dengan HIV positif dibandingkan dengan 114 wanita HIV positif yang
belum pernah hamil dan kemudian di follow up selama 61 bulan, tidak ditemukan
adanya percepatan dari tingkat keparahan gejala HIV pada kedua grup tersebut.3

Penelitian lain di swiss dengan variable 32 wanita hamil dengan HIV positif
yang telah dihitung sel CD4 nya dibandingkan dengan 416 wanita HIV positif
yang tidak hamil, dengan kriteria usia dan perhitungan sel CD4 yang sama saat
awal penelitian, dengan follow up selama 4,8 tahun pada wanita hamil HIV positif
dan 3,6 tahun pada control, tidak ditemukan adanya perbedaan pada tingkat
kematian ataupun progresifitas HIV yang semakin progresifitas HIV yang semakin
parah, kecuali kejadian infeksi peningkatan angka infeksi sekunder yang terjadi
pada pasien kehamilan dengan HIV positif.3 Pada penelitian di Nigeria dengan
subjek 681 wanita hamil HIV positif dan 89 wanita tidak hamil HIV positif
didapatkan hasil penghitungan CD 4 yang lebih rendah pada kelompok wanita
hamil dengan HIV positif namun tidak berbeda signifikan.10
11

3.5 Pengaruh HIV terhadap kehamilan

Infeksi HIV memiliki beberapa komplikasi pada kehamilan, beberapa


diantaranya adalah infeksi HIV dapat menyebabkan terjadinya abortus spontan.
Berdasarkan penelitian di amerika terdapat 3 kali peningkatan resiko abortus
spontan, dengan lebih dari setengah janin memiliki bukti terinfeksi virus HIV
dengan kelenjar timus yang terpengaruhi.4

Wanita hamil dengan HIV positif juga dapat meningkatkan angka kejadian
dari kehamilan ektopik yang mungkin berhubungan dengan penyakit transmisi
seksual lainnya seperti infeksi traktus genitalis yang disebabkan oleh Neiserria
gonorrhea, Chlamdia Trachomatis, Candida albicans dan Trichomonas vaginalis
dengan angka prevalensi lebih tinggi pada wanita hamil dengan HIV. Prevalensi
sifilis juga 3x lebih tinggi pada pasien dengan HIV positif selama masa kehamilan
dibandingkan dengan HIV negative pada pasien hamil.4

Infeksi oppurtunistik lainnya seperti pneumonia bacterial, infeksi traktus


urinarius dan infeksi lainnya lebih sering ditemukan pada wanita hamil dengan
HIV positif. Tuberculosis merupakan salah satu infeksi opurtunistik yang paling
sering timbul selama kehamilan. Selain infeksi oppurtunistik juga terjadi
peningkatan angka keganasan pada pasien hamil dengan HIV positif, diantaranya
terjadi peningkatan kejadian Sarcoma Kaposi’s pada wanita hamil dengan HIV
positif.4

Persalinan premature juga merupakan salah satu komplikasi pada pasien hamil
dengan HIV positif, dengan angka prevalensi 2 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita hamil dengan HIV negative. .Pada penelitian lain juga melaporkan
adanya peningkatan angka kejadian ketuban pecah dini yang meningkat pada
pasien dengan HIV positif. Terdapat perbedaan antara berat badan bayi baru lahir
pada ibu dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negative.4 Pada penelitian
di Nigeria dengan subjek 52 wanita hamil dengan infeksi HIV positif
dibandingkan dengan 162 wanita hamil tanpa infeksi HIV, didapatkan rata-rata
12

berat kelahiran bayi dengan ibu positif HIV seberat 2,87 kg, sedangkan pada bayi
dengan riwayat ibu HIV negative didapatkan rata-rata beratnya 3,43 kg, meskipun
perbedaannya tidak signifikan, tetapi hal ini menunjukkan bahwa bayi dengan
riwayat HIV memiliki kemungkinan bayi yang lahir memiliki berat badan
rendah.11 HIV juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian janin
didalam rahim. Komplikasi infeksi juga lebih sering terjadi pada pasien post
partum dengan HIV positif.4

3.5 Penularan HIV selama kehamilan, persalinan dan post partum


A. HIV dapat menulari melalui berbagai cara, diantaranya sebagai berikut 12:
1. Cairan genital : cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki virus
yang tinggi sehingga beresiko lebih tinggi untuk menularkan virus HIV
tersebut. Oleh karenanya semua hubungan seksual sangat beresiko baik oral,
genital maupun anal
2. Melalui darah atau jaringan: Virus HIV dapat menular melalui kontaminasi
darah seperti transfuse darah dan produk lainnya. Selain itu transplantasi organ
yang mengandung virus HIV juga memungkinkan terjadinya penyebaran virus
HIV. Penggunaan alat medis yang tercemar virus HIV juga dapat menyebabkan
penularan virus HIV tersebut
3. Perinatal : transmisi penularan ibu ke janin/bayi dapat terjadi selama kehamilan
melalui plasenta yang terinfeksi, selama masa persalinan melalui darah atau
cairan genital yang terinfeksi serta melalui ASI saat periode laktasi.
B. Resiko penularan HIV dari ibu ke anak
Penularan HIV dari ibu ke anak memiliki angka kejadian yang tinggi, yaitu
berkisar 20-50%. Selama masa kehamilan plasenta berfungsi sebagai pelindung
atau barrier janin terhadap proses infeksi HIV yang dimiliki oleh ibu, tetapi
apabila terjadi kerusakan pada plasenta yang disebabkan oleh infeksi ataupun
proses radang, dapat menyebabkan terjadinya transmisi virus HIV ke anak.
Selain itu pada saat persalinan terutama persalinan pervaginam terjadi
peningkatan penularan virus HIV karena kontak janin dengan darah ataupun
13

cairan pervaginam dari ibu, dan dapat juga terjadi transmisi penularan saat fase
menyusui. Berikut adalah presentase penularan HIV dari ibu ke anak12 :

Tabel 3.1 Transmisi Penularan virus HIV pada bayi

Selama Kehamilan 5-10%


Selama Persalinan 10-20%
Selama Menyusui 5-20%
Resiko penularan keseluruhan 20-50%

C. Terdapat beberapa faktor resiko penularan HIV dari ibu ke anak, diantaranya12:
1. Faktor Ibu
a. Kadar HIV dalam darah (Viral load): apabila semakin tinggi kadarnya,
maka kemungkinan penularan terhadap janin juga semakin tinggi terutama
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui
b. Kadar CD4: kadar CD4 rendah terutama <350 sel/mm3, menunjukkan
adanya daya tahan tubuh yang rendah karena rusaknya sel limfosit. Pada
fase awal kadar CD4 dan Viral load dapat tinggi sedangkan pada fase
lanjut keduanya dapat rendah terutama bila penderita mendapat terapi anti-
retrovirus (ARV),
c. Status gizi selama kehamilan : Kurangnya gizi menyebabkan ibu rentan
terkena infeksi sekunder, sehingga terjadi peningkatan virus HIV dalam ibu
dan beresiko menular terhadap bayinya
d. Masalah pada payudara : Pada puting lecet, mastitis ataupun abses
payudara dapat meningkatkan resiko penularan HIV melalui pemberian
ASI.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat janin rendah saat lahir rentan tertular HIV
karena sistem organ dan kekebalan tubuh yang berkembang belum
sempurna.
14

b. Pemberian ASI bila tanpa pengobatan dapat memperbesar angka transmisi


penularan pada bayi.
c. Adanya masalah di mulut bayi seperti luka yang dapat meningkatkan
resiko penularan ketika bayi diberi ASI.

3. Faktor Tindakan Obstetrik


Selama persalinan terdapat resiko penularan HIV yang dapat terjadi,
hal ini disebabkan karena adanya tekanan pada plasenta yang menimbulkan
efek berupa terhubungnya darah ibu dan darah bayi, selain itu paparan antara
bayi dan cairan ibu di jalan lahir juga dapat terjadi, berikut adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi diantaranya :
a. Jenis persalinan : Resiko penularan persalinan pervaginam lebih tinggi
bila dibandingkan dengan seksio caesaria, tetapi pada operasi section
caesarea memiliki efek yang kurang menguntungkan bagi ibu.
b. Lama persalinan : Semakin lama persalinan, maka kontak ibu dan bayi
juga semakin lama, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan resiko
penularan terhadap bayi.
c. Ketuban pecah dini terutama lebih dari 4 jam meningkatkan resiko
terjadinya penularan infeksi terhadap bayi.
3.7 Penegakan Diagnosis dan gejala HIV

HIV dapat muncul dalam berbagai macam gejala berdasarkan


perjalanan penyakit alamiah dari HIV serta stadium klinisnya. Sehingga perlu
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Terdapat
tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV diantaranya 12:

A. Fase 1 atau masa jendela (window period)


Fase ini berlangsung selama 2-3 bulan yang ditandai dengan gejala berupa
demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit,
nyeri sendi, sakit kepala disertai gejala batuk ataupun flu seperti biasa.
15

Hasil pemeriksaan darah pada fase ini belum ditemukan adanya antibody
anti-HIV.
B. Fase 2 : Pada fase ini gejala yang muncul bervariasi mulai dari
asimptomatik hingga gejala ringan. Masa asimptomatik dapat bertahan
hingga 2-3 tahun sedangkan gejala ringan yang muncul dapat berlangsung
hingga 5-8 tahun. Pada pemeriksaan serologis didapatkan hasil yang
positif.
Fase 3 : Merupakan fase akhir dari perjalanan infeksi HIV dimana mulai
timbul gejala yang disebabkan oleh AIDS yang ditandai dengan
munculnya infeksi opurtunistik seperti TB paru, dan gejala diare kronis
hingga penurunan berat badan lebih dari 10%.

Gambar 2.3 Perjalanan Penyakit Alamiah HIV

Tabel 2.2 Stadium Klinis HIV


16

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk diagnosis HIV pada


dasarnya terbagi menjadi pemeriksaan antibody dan pemeriksaan virus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

A. Pemeriksaan antibody
1. Pemeriksaan antibody HIV dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi
seperti ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang dapat
mendeteksi antigens HIV-1 grup M, grup O dan HIV-2. Biasanya dapat
dideteksi setelah 3 minggu tetapi sebagian besar terdeteksi pada waktu 4-5
minggu setelah terinfeksi.4
2. Pemeriksaan Rapid Test dapat mendeteksi adanya antibody HIV dengan
hasil kurang dari 30 menit. Penting untuk screening wanita tanpa riwayat
antenatal care ataupun wanita dengan resiko tinggi selama kehamilan
ataupun persalinan jika tes serologi dasar tidak tersedia.13
17

3. Uji konfirmasi Western Blot/Immunoblot, karena uji serologi ELISA


dapat mendeteksi antibody dengan kadar yang sangat rendah, rawan
terjadi false positif pada pemeriksaan ini, terutama pasien dengan
autoimmune dan wanita hamil. Oleh karena itu perlu pemeriksaan
konfirmasi dan yang digunakan adalah pemeriksaan western blot, tetapi
tes ini memiliki sensitifitas yang rendah pada fase awal infeksi HIV
dibandingkan uji tes virus.4
B. Pemeriksaan Virus
1. Pemeriksaan antigen P24
Protein P24 dari virus terbentuk di dalam kapsid. Setiap partikel virus
tersusun atas 2.000 partikel p24. Tetapi pemeriksaan ini sudah digantikan
dengan pemeriksaan nucleic acid amplification technology (NAT) di
amerika.4
2. NAT- Nucleic Acid Amplification Technology

Diagnosis dari infeksi HIV bisa dilakukan dengan menentukan DNA


proviral di sel ataupun genom RNA viral di plasma.RNA ataupun DNA
proviral diekstraksi dari partikel firus kemudian dilakukan amplifikasi dari
partikel tersebut.4

3.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien HIV selama kehamilan terbagi menjadi


pencegahan dan pengobatan selama kehamilan ataupun sesudahnya. Pencegahan
penyebaran HIV pada terbagi menjadi 12:

A. Tes atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling (TIPK)


Merupakan uji tes HIV yang dilakukan selama kunjungan pemeriksaan
rutin ataupun menjelang persalinan dan umumnya dilakukan di daerah dengan
prevalensi HIV-AIDS yang tinggi. Pelaksana kegiatan berupa pemberi
pelayanan kesehatan yang didasari oleh inisiatif sendiri dengan cara
menawarkan uji tes HIV selama hamil.
18

Bila ibu hamil tidak mau, dapat dirujuk untuk mengikuti konseling
yang lebih instensif pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS).
Langkah TIPK terbagi menjadi :12
1. Pemberian Informasi sebelum tes
Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium, petugas kesehatan
wajib memberi informasi, diantaranya :
 KIE mengenai penularan penyakit tertentu seperti TBC, HIV dan
sifilis selama kehamilan, persalinan ataupun menyusui
 KIE tentang pentingnya diagnosis dini penyakit seperti hipertensi,
penyakit jantung dan ginjal selama kehamilan
 Layanan yang dapat dijangkau pasien bila hasil tes laboratorium
positif
 KIE tentang kerahasiaan hasil tes
 Pasien memiliki hak untuk menolak, dan perlu membuat
pernyataan tertulis

2. Pengambilan darah dan tes HIV


Dilakukan dengan menggunakan tiga reagen yang berbeda
sensitivitas, spesifisitas dan preparasi serta dilakukan secara serial oleh
tenaga medis yang terlatih. Tes diagnostic yang dilakukan berupa tes
serologis menggunakan rapid diagnostic test atau enzyme
immunoassay (EIA) maupun tes virus dengan menggunakan metode
polymerase chain reaction (PCR).12
19

Gambar 2.4 Alur hasil uji serologis HIV12


Keterangan : Kelompok beresiko adalah kelompok populasi seperti pekerja seks,
pengguna NAPZA suntik, homoseksual, waria, pasien hepatitis, ibu hamil, pasien
TB, pasien IMS
a. Interpretasi hasil pemeriksaan anti HIV12
- Hasil positif : Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif
- Hasil negative : Bila hasil A1 non reaktif, Bila hasil A1 reaktif tetapi pada
pengulangan A1 dan A2 non reaktif, Bila salah satu reaktif tapi tidak
beresiko
- Hasil indeterminate: Bila dua hasil tes reaktif, bila hanya 1 tes reaktif tapi
beresiko
b. Tindak lanjut pemeriksaan anti HIV :
20

- Bila hasil positif : Rujuk ke pengobatan HIV


- Bila hasil negative : hasil negative dengan kelompok beresiko dianjurkan
pemeriksaan ulang minimal 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari
pemeriksaan pertama sampai 1 tahun, Bila hasil negative dan tidak
beresiko dianjurkan perilaku hidup sehat
- Tindak lanjut indeterminate : dianjurkan pemeriksaan PCR, dan bila
sarana PCR tidak memungkinkan maka rapid test dapat diulang 3 bulan, 6
bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Bila tetap indeterminate
dan faktor resiko rendah maka dapat dinyatakan negative.
3. Penyampaian hasil tes HIV12

Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes HIV serta kesesuaian


identitas pasien dan tatalaksana yang akan diberikan sesuai dengan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan,

4. Konseling12
Hasil konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes adalah sebagai
berikut:
- Hasil tes HIV negative
a. Penjelasan tentang masa jendela
b. Pencegahan agar tidak terinfeksi
c. KIE resiko penularan HIV dari ibu ke anak
d. Konseling agar pasangan mau dilakukan tes HIV juga
- Hasil tes HIV positif :
a. Penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau
terapi ARV, kepatuhan minum obat serta layanan faskes yang
menyediakan obat ARV.
b. KIE makanan sehat yang menunjang selama kehamilan serta diberi
tambahan terapi selama kehamilan berupa zat besi dan asam folat
c. Rencana pilihan persalinan
d. Konseling hubungan seksual selama kehamilan
21

e. Tes HIV bagi bayi dan pasangan


3. Penjelasan mengenai hasil indeterminate : tes perlu diulang dengan
specimen baru setelah 2 minggu, 3 bulan,6 bulan dan 1 tahun. Bila tetap
indeterminate tetapi memiliki faktor resiko yang rendah maka hasil dapat
dikatakan negative
B. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV

Kegiatan yang dilakukan meliputi :12

1. Pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui


konseling dan penyediaan kontrasepsi yang aman dan efektif
Penggunaan kontrasepsi wajib ditentukan dengan perempuan yang
terdiagnosis HIV. Berdasarkan urutan prioritasnya, terdapat beberapa
pilihan untuk ibu dengan HIV diantaranya :
- Kontrasepsi mantap atau sterilisasi : hanya untuk ibu dengan jumlah anak
yang cukup
- Kontrasepsi jangka panjang, terbagi menjadi:12
a. Alat kontrasepsi dalam Rahim : Dipasang setelah proses lahirnya
plasenta, serta resiko IMS rendah pada ibu ataupun pasangannya. perlu
adanya monitoring keluhan efek samping seperti perdarahan dan nyeri
b. hormonal :
 Pil KB kombinasi : aman dan efektif untuk perempuan HIV
yang tidak dalam terapi ARV, karena ARV dapat menurunkan
efektivitas pil KB kombinasi
 Pil progesterone : hanya untuk perempuan yang tidak sedang
dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas
pil progesterone
 Suntik progesterone jangka Panjang : ARV tidak
mempengaruhi metabolism dari DMPA sehingga pemberian
KB ini aman tanpa disertai adanya kehilangan efektivitas
kontrasepsi.
22

 Implan progesterone: implan etonorgestrel merupakan


kontrasepsi yang aman dan efektif pada perempuan HIV yang
tidak dalam terapi ARV.
2. Perencanaan Kehamilan12
- Bila perempuan dengan HIV memutuskan untuk memiliki anak,
maka perlu persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya :
a. Viral load tidak terdeteksi : bila tidak terdeteksi, maka transmisi
penularan ke bayi rendah
b. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3. bila CD4 kurang dari 350
sel/mm3 maka ibu rentan terkena infeksi sekunder yang berbahaya
buat ibu dan janin selama kehamilan.
- Persiapan perempuan yang ingin hamil dengan memeriksakan kadar
CD4 dan Viral load dengan interpretasi :
a. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3
maka senggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan.
b. Bila kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3, disarankan minum obat
ARV selama 6 bulan dan penggunaan kondom selama
berhubungan
- Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV berupa
a. diperbolehkan untuk berhubungan tanpa kondom apabila hasil
tes serologis HIV negative.
b. Apabila serologis positif maka perlu dilakukan pemeriksaan
Viral load untuk mengetahui resiko penularan oleh pasangan.
c. Dapat dilakukan senggama pada masa subur bila VL tidak
terdeteksi.
d. Sebaiknya kehamilan ditunda terlebih dahulu apabila masih
didapatkan kadar VL dan CD4 <350sel/mm3
C. Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan infeksi HIV12
23

Berdasarkan literatur, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan Viral load terlebih dahulu. Untuk
memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal sebagai berikut :
a. Apabila terdapat infeksi opurtunistik, maka pengobatan lebih difokuskan
terlebih dahulu untuk mengobati infeksi opurtunistiknya, kemudian setelah
stabil lalu dilanjutkan kembali terapi ARV (2 minggu sampai 2 bulan
pengobatan)
b. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2,3,4 dan atau
CD4<200sel/mm3 untuk mencegah toksoplasma, infeksi bacterial dan untuk
mencegah malaria pada daerah endemis
c. Pada ibu hamil dengan Tuberculosis harus didahulukan pengobatan OAT
nya lalu kemudian apabila kondisi pasien sudah baik, terapi ARV dapat
dilanjutkan ( sekitar 2 minggu sampai 2 bulan) dengan catatan fungsi hati
yang baik sebelum terapi ARV.
 Protokol pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV.12
- Terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI +1 NNRTI). Perlu
dihindari penggunaan 3 NRTI
- Kombinasi obat dosis tetap / fixed dose combination : TF(300mg) +
3TC(300 mg) + EFV (600mg).
- Bagi ibu dengan riwayat HIV sebelum kehamilan maka ARV dilanjutkan
dengan paduan yang sama seperti sebelum hamil
- Bagi ibu dengan status HIV diketahui saat kehamilan, maka segera
diberikan ARV tanpa melihat umur, kehamilan, nilai CD4 dan stadium
klinisnya
- Bagi ibu yang diketahui status HIV selama persalinan, segera diberikan
obat ARV.
24

Berikut adalah tabel pemberian obat ARV pada ibu hamil :


Tabel 3.3 Pemberian obat ARV pada ibu hamil dengan HIV12

Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin; NVP:


nevirapin; EFV: efavirens; TDF: tenovofir
Tabel 3.4. Efek Samping obat ARV12
25

D. Perencanaan persalinan bagi ibu hamil dengan HIV.12

Perencanaan persalinan yang aman dan tepat bertujuan untuk mengurangi


transmisi penularan penyakit dari ibu ke bayi serta tim medis maupun pasien
lainnya. Persalinan dapat dilakukan melalui pervaginam ataupun operasi sesar.
Pada persalinan pervaginam resiko penularan HIV terhadap bayi relative lebih
besar tetapi cukup aman bila ibu telah mendapatkan pengobatan ARV setidaknya
selama 6 bulan atau Viral load kurang dari 1000 kopi/mm pada minggu ke 36.
Sedangkan operasi sesar memiliki resiko lainnya terhadap ibu.

E. Penatalaksanaan Nifas pada ibu dengan HIV.12

Pada umumnya pasien dengan HIV positif pada masa perawatan nifas terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:

a. Ibu dapat memilih untuk memberikan ASI ataupun tidak


b. Pengobatan, perawatan tetap diberikan terutama tatalaksana infeksi
opurtunistik
c. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi
persalinan yang membahayakan bagi ibu dan janin
d. KIE pada ibu tentang tata cara pembuangan bahan yang berpotensi
menimbulkan penyebarluasan infeksi seperti lokia atau pembalut.
F. Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada bayi.

Bayi yang lahir dengan HIV rawan untuk tertular penyakit HIV, oleh karena
itu pada bayi yang diberikan ASI eksklusif ataupun susu formula perlu pemberian
terapi zidovudine sejak hari pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu terlebih
dahulu. Pengawasan minum obat yang ketat juga perlu dilakukan agar tidak
terjadi kegagalan pengobatan.

Dosis zidovudine/AZT yang dapat diberikan pada bayi adalah :12

a. Bayi cukup bulan : 4 mg/kgBB/12 jam selama 6 minggu


26

b. Bayi premature <30 minggu : 2mg/kgBB tiap 12 jam selama empat minggu,
kemudian 2mg/kg BB tiap delapan jam selama 2 minggu
c. Bayi premature 30-35 minggu : 2mg/kgBB tiap 12 jam selama 2 minggu
pertama, kemudian 2mg/kgBB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti
4mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu

Apabila minggu ke 6 diagnosis HIV belum tersingkirkan maka perlu


diberikan kotrimoksasol profilaksis hingga usia 12 bulan atau sampai dinyatakan
negative. Kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi yang terpajan HIV apabila
sudah dipastikan tidak tertular HIV ( setelah ada hasil lab PCR ataupun antibody).

Anda mungkin juga menyukai