Anda di halaman 1dari 33

MANAGEMENT NYERI PADA LUKA DM

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Paliatif


Pada Program Studi Profesi Ners

Disusun oleh:

Kelompok IV

1. Arif Setyoko 6. Febrina Pitasari


2. Ayu Novita Sari 7. Fitriana Khoirunnisa
3. Danik Setyo W 8. Firman Dwi Cahyo
4. Desi Waluyaningtyas 9. Gusti Ayu Komang SS
5. Deti Rizka Utami 10. Hana Aji Safitri

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri neuropatik adalah rasa nyeri yang timbul akibat adanya kerusakan

dari jaras pembawa rasa nyeri itu sendiri, baik berupa gangguan fungsi atau

perubahan patologik pada suatu saraf. Rasa nyeri neuropatik kadang tetap terasa

nyeri meskipun lesi penyebab cedera tersebut sudah lama sembuh.1 Contoh nyeri

neuropatik antara lain: nyeri neuropati diabetik (NND), trigeminal neuralgia,

postherpetic neuralgia dan lain-lain. Ciri-ciri utama dari nyeri neuropatik adalah

gejala hiperalgesia, alodinia, dan nyeri spontan (Moalem & Trace, 2006; Usunoff

et al., 2008 ).

Nyeri neuropati diabetik (NND) merupakan salah satu komplikasi dari

diabetes melitus dan sangat mengganggu aktivitas penderita sehari-hari. Selain

itu NND sangat sulit diobati dan seringkali membuat frustasi baik pasien maupun

dokternya. Patofisiologi NND masih belum sepenuhnya diketahui, sehingga

kondisi patologiknya belum dapat ditangani secara tuntas (Bennet, 2007).

Neuropati diabetik dijumpai pada 50 % pasien diabetes melitus, sedangkan

NND terjadi pada 16-26 % dari total pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik

paling sering terjadi pada DM tipe II. Sekitar 10% pasien mengeluhkan gejala

neuropati saat awal ditegakkannya penyakit DM (Callaghan et al., 2012). Bentuk

neuropati diabetik tersering adalah polineuropati distal simetri, biasanya kaki


lebih berat dari pada tangan. Insiden komplikasi meningkat sejalan dengan

lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia.

Penanganan nyeri pada neuropati perifer pada penderita diabetes mellitus

pada saat ini belum memberi hasil memuaskan. Hal ini disebabkan karena

secara struktural kelainan jaringan telah bersifat ireversibel terutama pada

keadaan diabetes lanjut. Permasalahan lain yang hampir selalu menyertai

nyeri pada neuropathic pain adalah adanya gangguan tidur dan gangguan

kejiwaan berupa anxiety dan depresi yang secara keseluruhan menurunkan

quality of life. Pengobatan yang ideal diharapkan tidak hanya dalam hal

mengatasi permasalahan nyeri yang mengganggu, tapi juga menyangkut

penyakit dasarnya, serta berbagai gejala tambahan tersebut. Dengan

perkataan lain, paradigma baru dari penanganan neuropathic pain yang harus

diusahakan haruslah mengacu kepada peningkatan quality of life dari si

penderita.

Penanganan nyeri dapat dilakukan secara farmakologi maupun non

farmakologi. Sebagai tindakan mandiri seorang perawat, teknik relaksasi non

farmakologi dibutuhkan pada pasien untuk membuat pasien nyaman dan rileks,

selain itu dapat meningkatkan kemampuan koping pasien yang akan meningkatan

quality of life pasien.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep nyeri neuropati diabetik?

2. Bagaiman konsep manajemen nyeri neuropati diabetik?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana konsep nyeri dan manajemen nyeri

terhadap pasien neuropati diabetik

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui konsep nyeri neuropati diabetik

b. Untuk mengetahui manajemen nyeri neuropati diabetik


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan

meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial,

digambarkan dalam istilah seperti kerusakan (Wilkinson, 2007). Nyeri juga

dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,

2007).

Herdman dan Kamitsuru (2015) mendefinisikan nyeri sebagai suatu

pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat

kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang digambarkan sebagai

kerusakan (international association for the study of pain); awitan yang tiba-

tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat

diantipasi atau diprediksi.

2. Karakteristik Nyeri Diabetes Mellitus

Umunya nyeri yang dirasakan pada penderita Diabetes Mellitus

sebelum adanya ulkus dibagian tubuh, penderita hanya merasakan mati rasa

dan kesemutan pada jari-jari tangan dan kaki. Hal tersebut bisa terjadi karena
terjadi kerusakan pada sistem syaraf yang disebabkan karena kadar glukosa

terlalu tinggi. Biasanya kesemutan akan muncul pada bagian tangan, kaki,

dan jari dan pada akhirnya akan mengakibatkan mati rasa. Nyeri pada

penderita DM ini umumnya menyerang pada tangan dan kaki jari terlebih

dahulu, namun tidak menutup kemungkinan dapat muncul dimana saja.

Biasanya setelah timbul luka rasa nyeri akan bertambah saat digerakkan. Hal

ini dapat mengakibatkan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu

3. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Diabetes Melitus

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:

a. Pengalaman Nyeri Masa Lalu

Semakin sering individu mengalami nyeri , makin takut pula individu

tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh

nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi

nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri

tersebut menjadi lebih parah. Individu dengan pengalaman nyeri

berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan

pengobatannva tidak adekuat (Potter & Perry, 2005).

b. Kecemasan

Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan

nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik,

kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin


merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi

nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan

peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke, 2008).

4. Etiologi Nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu

penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis.

Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik,

termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan

sirkulasi darah. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena

adanya trauma psikologis (Asmadi, 2008).

Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikis berkaitan dengan

terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. serabut saraf resptor nyeri ini

terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-jaringan tertentu

yang terletak lebih dalam. Sedangkan nyeri yang disebabkan faktor

psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik,

melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik

(Asmadi, 2008).

5. Patofisiologi Nyeri pada Arthritis Gout

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang DM adalah

ulkus diabetika yang akan menimbulkan sensasi rasa nyeri yang dirasakan
oleh penderita diabetes milletus. Ulkus diabetika disebabkan adanya tiga

factor yang sering disebut trias, yaitu: Iskemia, Neuropati, Infeksi. Pada

penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadu

komplikasu kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan haringan saraf

karena adanya penimbunan sorbitol dan frukosa sehingga mengakibatkan

akson menghilang, penurunan kecepatan induksi menurunkan reflek otot,

atrofi otot, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita tidah berhati-hati

akan terjadi trauma yang akan menjadi ulkus diabetika.

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena

kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen.

Hal ini disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah,

sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh kaki menjadi atrofi

dingin dan kaku.

Arterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan

menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah.

Menebalkan arteri di kaki dadat mempengaruhi otot-otot kaki karena

berkurangnya suplai dara, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak

nyama, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian

jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus diabetika. Umunya rasa nyeri

penderita DM akan bertambah karena ulkus diabetika yang mulai muncul

dan meluas sehingga timbul sensasi rasa nyeri (Windharto, 2007).


6. Pengkajian Nyeri

Pengkajian nyeri dapat dengan menggunakan Numeric Rating Scale

(NRS) yang dianggap lebih sederhana dan lebih mudah dimengerti, sensitif

terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Numeric Rating Scale

dianggap lebih baik daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut.

Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk

menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala

numeral dari 0 – 10. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 berarti “severe pain”

(nyeri hebat). Dengan skala NRS point, dokter/terapis dapat memperoleh

data basic yang berarti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap

pengobatan berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan.

Digunakan pada pasien dewasa dan tua. Dapat juga digunakan untuk pasien

kognitif ringan dan lansia (Andarmoyo, S., 2013).

Kemudian pengkajian atas intensitas skala nyeri. Intensitas nyeri

adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu.

Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda

oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif

yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap

nyeri itu sendiri.


a. Karakteristik Nyeri

Karakteristik nyeri meliputi lokasi, penyebaran nyeri, dan kemungkinan

penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serta irama (terus-menerus,

hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intensitas nyeri)

dan kualitas nyeri (Tamsuri, 2007).

b. Faktor yang meningkatkan dan menurunkan nyeri

Berbagai perilaku sering diidentifikasi klien sebagai faktor yang

mengubah intensitas nyeri, dan apa yang diyakini klien dapat membantu

dirinya. Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and error

(Tamsuri, 2007).

c. Efek nyeri terhadap aktivitas sehari-hari

Misalnya, terhadap pola tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi

dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas santai. Nyeri

akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis yang

berhubungan dengan depresi (Tamsuri, 2007).

d. Kekhawatiran individu tentang nyeri

Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis

serta berpengaruh terhadap peran dan citra diri (Tamsuri, 2007).


B. Management Nyeri

Manajemen nyeri atau pain management adalah salah satu bagian dari

disiplin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri

atau pain relief. Manajemen nyeri ini menggunakan pendekatan multi disipin

yang didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal dan non farmakologikal

(Long, 2001).

Menurut Soeprapto (2017), manajemen nyeri pada penderita Diabetes

Mellitus (DM) mengarah pada kondisi neuropati perifer. Nyeri neuropati perifer

adalah komplikasi yang sering ditemukan pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2.

Komplikasi ini diderita 10%-20% pasien Diabetes Mellitus. Selain gejala nyeri

kronik yang tidak jarang menimbulkan depresi, nyeri neuropati diabetes juga

dapat memperburuk kualitas hidup pasien. Gejala khas yang banyak dijumpai

adalah sensasi terbakar, geli, atau nyeri tidak nyaman yang semakin memburuk

ketika malam hari. Patologi spesifik yang banyak ditemui pada pasien dengan

nyeri neuropati diabetes adalah alodinia ( nyeri abnormal yang disebabkan oleh

stimulus yang biasanya tidak menimbulkan nyeri) dan hiperalgesia (perasaan

berlebihan terhadap nyeri). Derajat nyeri pasien juga akan mempengaruhi

kualitas tidur, mood, dan aktivitas sehari-hari.

Menurut Prasetyo (2010), manajemen nyeri mempunyai beberapa

manfaat dintaranya adalah:

1. Meringankan pasien dari penderitaannya

2. Menghilangkan nyeri dan keluhan yang mengganggu


3. Dapat meningkatkan kemampuan koping

4. Dapat digunakan sebagai terapi tambahan bersama terapi modalitas lainnya.

Fungsi manajemen nyeri adalah :

a. Dapat menurunkan nyeri dan kecemasan tanpa penggunaan obat yang dapat

menimbulkan efek samping,

b. Dapat meningkatkan kontrol pasien terhadap nyeri.

1. Manajemen Nyeri dengan Tindakan Farmakologis

Penatalaksanaan nyeri neuropati diabetes bersifat komprehensif.

Penanganan awal yang diberikan bertujuan untuk mengontrol terjadinya

hiperglikemia, yang dapat memperparah nyeri. Tanpa kontrol gula darah

yang baik, perbaikan keluhan nyeri akan sulit tercapai. Idealnya, pasien

mengharapkan keluhan nyeri yang dirasakan dapat sembuh secara total.

Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan 30% - 50% sudah

cukup memberikan kepuasan kepada pasien. Saat ini juga dosis maksimal

terapi baru berhasil menurunkan keluhan nyeri 30%-50%. (Soeprapto, 2017)

American Society of Pain Educators telah mengeluarkan panduan

umum untuk penanganan nyeri neuropati diabetes, mereka menawarkan

beberapa panduan untuk memilih obat lini pertama.


Sumber : Soeprapto (2017)

Gambar di atas menunjukan sebuah algoritma penanganan nyeri

diabetes neuropati perifer berdasarkan banyak hasil penelitian klinis.

Setidaknya ada empat kelompok utama obat (Antidepresan Trisiklik,

Antikonvulsi, SSRI dan Opiate) yang dapat dipilih dalam penatalaksanaan

nyeri neuropati diabetes.

Evaluasi obat untuk nyeri neuropati diabetes diukur dengan menilai

tingkat penurunan rasa nyeri. Semakin baik tingkat penurunan rasa nyeri,

maka semakin baik pula efek obat tersebut sebagai pilihan pertama

penatalaksanaan nyeri neuropati diabetes.


a. Antidepresan Trisiklik sebagai Obat Nyeri Neuropati Diabetes

Antidepresan Trisiklik (Tricyclic Antidepressants/TCAs) adalah

terapi lini pertama yang direkomendasikan untuk nyeri neuropati

diabetes, meskipun mekanisme kerjanya masih belum jelas. Sebagian

besar dokter senior sampai saat ini masih menggunakan obat

antidepresan trisiklik (TCAs), contohnya amitriptilin, untuk menangani

nyeri neuropati diabetes kronik. (Wahyuliati, 2006)

Sebuah review dari Coachrane menunjukkan bahwa penggunaan

antidepresan trisiklik untuk menangani nyeri neuropati diabetes

memiliki efektivitas yang baik. Setidaknya ada lima penelitian klinis

dengan jumlah sampel yang besar telah menunjukkan efektivitas terapi

TCAs untuk penatalaksanaan nyeri neuropati diabetes.

Pengobatan dengan TCAs (e.g amitriptilin) cukup murah dan

efektif untuk digunakan. Meskipun relatif aman untuk digunakan,

penggunaannya harus dengan resep dokter dan diawasi secara reguler.

Dosis pemberiannya berkisar antara 25 mg-50 mg sehari, saat akan

tidur.

Antidepresan trisiklik tidak dianjurkan diberikan pada pasien

dengan riwayat penyakit jantung. Karena semua riwayat penyakit

jantung, seperti: sindroma koroner akut, aritmia, atau infark miokard

akut adalah kontraindikasi pemberian TCAs.


b. Antikonvulsan sebagai Obat Nyeri Neuropati Diabetes

Antikonvulsan dibagi menjadi dua kategori : golongan yang

lebih baru (gabapentin dan pregabalin), dan golongan yang lebih

"tradisional" (carbamazepin dan valproat). Gabapentin dan pregabalin

digunakan sebagai penanganan nyeri neuropati diabetes lini pertama,

hanya jika terdapat kontraindikasi terhadap Antidepresan Trisiklik

(TCAs). Pregabalin dan gabapentin diduga memberikan efek terapi pada

kasus nyeri neuropati diabetes melalui mekanisme pengikatan subunit

alfa2-delta pada calcium-sensitive channel dan mengatur pelepasan

neurotransmiter yang mempengaruhi rangsang nyeri. (Soeprapto, 2017)

Pregabalin merupakan satu dari dua obat yang telah disetujui

oleh FDA sebagai obat nyeri diabetes neuropati perifer. Sebuah

metaanalisis tahun 2008 yang menganalisis tujuh penelitian klinis,

pregabalin digunakan untuk mengobati nyeri neuropati diabetes pada

1.510 pasien dan hasilnya menunjukkan efektivitas dengan respon terapi

yang baik. Ketika dibandingkan dengan placebo, Pregabalin

memberikan efek penurunan nyeri pada dosis 150, 300, atau 600 mg per

hari. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dosis terapi Pregabalin

dibagi menjadi tiga kelompok. Dosis terapi pregabalin yang dianjurkan

adalah 50-200 mg, diberikan 3 kali per hari.

Kontrol nyeri dapat dirasakan lebih awal oleh pasien, jika dosis

yang diberikan lebih tinggi. Pregabalin mulai memberikan efek


penurunan keluhan nyeri pada hari ke-4 dengan dosis 600 mg/hari,

sedangkan baru dirasakan pada hari ke-13 dengan dosis 150 mg/hari.

Antikonvulsan yang lebih "tradisional" (carbamazepin, feniton

dan valproat), telah digunakan untuk mengobati neuropati sejak tahun

1960. Carbamazepin merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk

nyeri neuropati, tetapi tidak spesifik untuk nyeri neuropati diabetes.

Monitoring laboratorium penting untuk menentukan dosis peresepan

carbamazepin. Sebelum memulai pengobatan sebaiknya pasien

dilakukan pemeriksaan: darah lengkap, faal hati, analisis urin, kadar

urea nitrogen, transaminase, dan kadar besi dalam darah pasien.

Pengukuran level obat juga direkomendasikan untuk dilakukan setiap 6-

12 bulan.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah carbamazepin dapat

menyebabkan efek samping serius: necrolisis toksik epidermis (TENs)

dan sindroma steven-johnson. Risiko ini meningkat 10 kali lipat pada

populasi Asia.

c. SNRIs dan SSRIs sebagai Obat Nyeri Neuropati Diabetes

Penelitian menunjukkan bahwa nyeri neuropati diabetes

berhubungan dengan gangguan pelepasan norepineprin dan serotonin

oleh neuron. Penghambat pengembalian serotonin-norepineprin

(Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors/SNRIs), adalah kategori


antidepresan yang memiliki potensi terapi bagus untuk pengobatan nyeri

neuropati diabetes. Contohnya adalah venlafaksin dan duloksetin.

Obat-obat golongan SNRIs lebih toleran dan memiliki lebih

sedikit interaksi dengan obat lain dibandingkan dengan TCAs. Hal ini

mungkin disebabkan karena venlafaksin memiliki efek noradrenergik

dan serotogenik yang seimbang. Efek terapi yang lebih besar muncul

pada dosis terapi yang lebih tinggi pula. (Wahyuliati, 2006)

Duloksetin adalah obat kedua (setelah pregabalin) yang disetujui

untuk mengobati nyeri diabetes neuropati perifer. Duloksetin relatif

stabil dalam kemampuannya berikatan dengan reseptor nor-adregenik

dan menghambat penyerapan kembali serotonergik. Dosis terapi yang

dianjurkan untuk duloksetin adalah 60-120 mg/hari.

d. Opiate sebagai Obat Nyeri Neuropati Diabetes

Terapi tungggal dengan opiate "hanya" boleh diterima pasien

yang tidak respon (atau kontraindikasi) terhadap terapi lain untuk

meringankan rasa nyeri. (Soeprapto, 2017)

Penelitian klinis dengan 460 responden menunjukkan efek yang

sangat signifikan penggunaan opiate untuk penurunan keluhan nyeri,

bila dibanding placebo. Meskipun penelitian klinis ini secara konsisten

menunjukkan hasil yang positif, jumlah dari pasien yang menggunakan

opiat dan merasakan penurunan nyeri hanyalah sekitar 20 sampai 30

persen.
Penggunaan opiate sebagai terapi nyeri neuropati diabetes perlu

mendapatkan kewaspadaaan terhadap efek hiperalgesia dan potensi

ketergantungan.

Tramadol merupakan obat golongan mirip opiate, dihasilkan

secara sintetik yang khususnya bekerja pada reseptor "mu opiate". Obat

ini bekerja dengan menghambat penyerapan kembali nor-epineprin dan

serotonin pada pusat saraf secara lemah. Dosis terapi yang dianjurkan

untuk terapi dengan Tramadol adalah 200-400 mg/hari.Karena tramadol

dapat menurunkan ambang kesadaran, penggunaannya harus

dihindarkan dari pasien dengan epilepsi atau mereka yang berisiko

untuk hilang kesadaran. Meskipun lebih jarang disalahgunakan oleh

pasien, tramadol tidak boleh digunakan pada pasien yang memiliki

ketergantungan opiate atau memiliki kecenderungan untuk

menyalagunakan obat-obatan.

2. Management Nyeri dengan Tindakan Non Farmakologis

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk

menanggulangi nyeri, ada pula tindakan nonfarmakologis yang betujuan

untuk mengatasi nyeri tanpa memakai terapi obat-obatan. Terapi ini terdiri

dari beberapa tindakan penanganan yaitu diantaranya:


a. Relaksasi

Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh

berespon pada ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau

kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan

fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam

posisi berbaring atau duduk dikursi. Hal utama yang dibutuhkan dalam

pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan posisi yang nyaman,

klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang tenang.

Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi

autogenik. Relaksasi ini mudah dilakukan dan tidak berisiko.

Ketika melakukan relaksasi autogenik, seseorang

membayangkan dirinya berada didalam keadaan damai dan tenang,

berfokus pada pengaturan napas dan detakan jantung.

b. Stimulasi Kulit (Cutaneus)

1) Massase

Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan

merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu

memblok atau menurunkan impuls nyeri.

2) Stimulasi electric (TENS)

Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu

pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa


memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air

hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik

transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS

merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik

ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

c. Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan

merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal

oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan

sebagainya.

d. Palliative Care Religius

Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan.

Terapi religious sangat penting dalam memberikan palliative care.

Kurangnya pemenuhan kehidupan beragama, menimbulkan masalah

pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masing-masing agama sangat

membantu dalam mengembangkan palliative care. Terkadang palliative

care spiritual sering disamakan dengan terapi paliatif religious.

Palliative care spiritual bisa ditujukan kepada pasien yang banyak

meyakini akan adanya Tuhan tanpa mengalami ritual suatu agama dan

bisa juga sebagai terapireligius dimana selain meyakini ritual agama

memiliki tata cara beribadah dalam suatu agama.


Dalam agama Islam perawatan paliatif yang bisa diterapkan

adalah:

1) Doa dan dzikir

2) Optimisme

3) Sedekah

4) Shalat tahajud

5) Puasa

6) Membaca Al-Qur’an.

e. Terapi Musik

Alunan musik dapat mempercepat pemulihan penderita penyakit

kronis seperti kanker. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan di

Finlandia bahwa mendengarkan musik pada pasien dengan penyakit

kanker dapat meningkatkan pemulihan daya kognitif dan mencegah

munculnya perasaan negative. Selain itu juga dengan mendengarkan

music juga bisa membuat pasien terlihat lebih rileks, sehingga pasien

menjadi tenang dan tidak merasa gelisah karena nyeri yang dideritanya.

f. Psikoterapi

Gangguan citra diri yang berkaitan dengan dampak perubahan

citra fisik, harga diri dengan citra fungsi sosial, fungsi fisiologis, dan

sebagainya dapat dicegah/dikurangi dengan melakukan penanganan

antisipatorik yang memadai. Tetapi hal ini belum dapat dilaksanakan

secara optimal karena kondisi kerja yang belum memungkinkan.


g. Hipnoterapi

Hipnoterapi merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang

mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran,

perasaan, dan perilaku. Hipnoterapi bisa bermanfaat dalam menerapi

banyak gangguan psikologis-organis seperti hysteria, stress, fobia

(ketakutan terhadap benda-benda tertentu atau keadaan tertentu),

gangguan kecemasan, depresi, perilaku merokok, dan lain-lain.


BAB III

ANALISA JURNAL

Nyeri adalah mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul bilamana jaringan

sedang dirusakkan dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan atau

mengurangi rasa nyeri (Depkes RI, 2011).

Hipnoterapi merupakan suatu intervensi psikologis. Hipnoterapi

mengkondisikan seseorang untuk relaksasi sehingga lebih mudah menerima saran

dari therapist. Hipnoterapi sengaja memanfaatkan kondisi trance atau kondisi

berkhayal untuk menghasilkan perubahan baik pada alam sadar maupun alam bawah

sadar pasien. Dengan demikian hipnoterapi memanfaatkan kondisi psikologis pasien

untuk mengubah persepsi rasa sakit termasuk nyeri menjadi perasaan yang lebih

nyaman.( Cawthorn, A., & Mackereth, P. A. (2010).)

Hasil riset juga menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai oksigen,

perubahan vaskular dan termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, mengurangi

kecemasan dan serta nyeri (Fontaine, 2007)

Terapi musik memiliki kelebihan sebagai intervensi yang dapat diterapkan

secara sederhana, noninvasif, perangsang relaksasi nonfarmakologis yang aman,

murah, dan efektif.15 Beberapa alasan yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar

peneliti untuk menawarkan inovasi baru Self-selected Individual Music Therapy


(SeLIMuT) di bidang kesehatan, khususnya sebagai terapi komplementer pasien

kanker paliatif dengan nyeri. Terapi SeLIMuT adalah prosedur pemberian terapi

musik yang mudah, murah, dan efektif dengan mendengarkan jenis musik slow

tempo stabil, level suara rendah dan soft dynamic, serta tekstur konsisten (kombinasi

suara dan instrumental). Terapi ini diberikan selama 15−20 menit dan memberikan

kebebasan pasien untuk memilih musik yang disukai dan dikombinasikan dengan

napas dalam..

SeLIMuT berperan dalam menurunkan nyeri dengan cara memengaruhi

hipofisis otak untuk melepaskan endorfin. Musik yang didengarkan akan masuk

melalui telinga, kemudian akan menggetarkan gendang telinga dan mengguncang

cairan yang ada di telinga bagian dalam. Musik juga menggetarkan sel-sel berambut

di dalam koklea, kemudian melalui saraf koklearis getaran tersebut menuju ke otak

dan memengaruhi hipofisis untuk melepaskan endorphin.16

Teknik relaksasi Benson adalah untuk menghilangkan nyeri, insomnia, dan

kecemasan. Relaksasi Benson merupakan teknik relaksasi yang digabung dengan

keyakinan yang dianut oleh klien, dan akan menghambat aktifitas saraf simpatis yang

dapat menurunkan konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot tubuh

menjadi relaks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman. Teknik ini

merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu focus dengan menyebut

berulangulang kalimat ritual (Kushariyadi, 2011, hlm.46).


Langkah-langkah teknik relaksasi Benson antara lain: (1) Pilihlah kalimat

spiritual yang akan digunakan. (2) Duduk atau berbaring dengan santai. (3) Kemudian

tutuplah mata Anda. (4) Kendurkan atau lemaskan otot-otot. (5) Bernafas secara

alamiah dan mulai mengucapkan kalimat spiritual yang dibaca secara berulang-ulang.

(6) Bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran. (7) Lakukan

selama 10-20 menit. (8) Jika sudah selesai beristirahatlah dan buka pikiran kembali,

kemudian lakukan aktifitas seperti biasa.hasilnya menunjukkan bahwa skala nyeri

sebelum diberikan perlakuan teknik relaksasi Nafas Dalam sebagian besar tidak nyeri

sebanyak 12 responden (80,0%) sedangkan sesudah diberikan perlakuan teknik

relaksasi Nafas Dalam sebagian besar nyeri ringan yaitu sebanyak 3 responden

(20%). (Djauzi 2008, hlm.611 dalam Nofita, 2011)

Terapi tertawa telah dianggap sebagai terapi komplementer dan alternatif

lama sejak tahun 1970.(Kim, 2015) Terapi Tertawa merupakan sebuah aplikasi yang

berisi latihan pernapasan dan gerakan fisik. Latihan tawa mulai dengan latihan

pernapasan yang tepat dan kemudian tawa dicapai dengan menggunakan bermain,

melucu, menari dan gerakan. (Mora, 2013).

Pada saat kita tertawa maka akan melemaskan otot-otot dan meningkatkan

pernapasan. Ini mengurangi ambang nyeri dan meningkatkan kesejahteraan

psikologis. Hal ini juga meningkatkan keramahan dan kolaborasi dan memfasilitasi

identitas kelompok, solidaritas dan kekompakan. Tertawa mengurangi pembuatan

hormon stres di dalam darah, dengan begitu tertawa menghilangkan efek stres.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terapi tawa efektif pada kecemasan,

depresi , stres , kualitas hidup, insomnia, kualitas tidur meningkat.

Tertawa menurunkan hormon stres dan bertindak untuk buffer efek stres pada

system. Departemen kardiovaskular berpendapat bahwa tertawa kuat dapat

menghasilkan panas, keringat dan menghilangkan stres mirip dengan hasil aerobik

exercise (Demir, 2015).

Humor dan tawa sebagai koping. Studi telah menunjukkan penggunaan

humor sebagai mekanisme coping pada berbagai tahap kehidupan: menurunkan

tingkat stres untuk sarjana, peningkatan self-efficacy untuk di tempat kerja, dan

penurunan nyeri untuk nyeri sendi. Namun, mekanisme antara humor dan tawa masih

dalam masa pertumbuhan dan studi lebih lanjut.

Efek psikologis dari tertawa. Banyak studi telah meneliti efek tertawa pada

psikologis: ini termasuk suasana hati, harga diri, self-efficacy, dan depresi, meskipun

hasilnya masih dalam meyakinkan, tampaknya tertawa mwnghasilkan mood positif

yang menyertai hasil tawa efek psikologis yang positif, juga mungkin mempunyai

efek meringankan nyeri atau meningkatkan immun.

Efek imunologi dari tertawa. Tertawa mempengaruhi otak (misalnya,

amigdala, thalamic, hipotalamus dan daerah subthalamic otak dorsal sys-tem) melalui

sistem saraf pusat (yaitu, parasympatheticand tanggapan simpatik). Khusus untuk

sistem saraf pusat, peneliti telah menyelidiki berbagai jalur, termasuk hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) axis, dan simpatik-adrenomedullary (SAM) efek system.The

tawa pada sistem ini meliputi pengurangan serum kortisol.

Effleurage adalah bentuk massase dengan menggunakan telapak tangan yang

memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh dengan arah sirkular secara

berulang yang bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi darah, memberi tekanan serta

meningkatkan relaksasi fisik dan mental. Effleurage merupakan teknik massase yang

mudah dilakukan, aman, tidak memerlukan banyak alat, tanpa efek samping dengan

tindakan utama aplikasi dari teori Gate Control yang dapat ―menutup gerbang‖

untuk menghambat perjalanan rangsang nyeri pada pusat yang lebih tinggi pada

sistem saraf pusat (Hiroshi Maruoka. 2015). Berdasarkan penelitian tindakan

Effleurage massage dapat digunakan untuk berbagai terapi, seperti mengurangi nyeri

disminore (Hartati. 2015.), nyeri saat persalinan (wulandari, 2015)) , mengurangi

nyeri pada penderita kanker(Shafira Lalani. 2013), dan mengurangi kejadian gejala

menopause(Widyatuti. 2008) .
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Nyeri dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Nyeri

pada penderita diabetes mellitus umumnya menyerang pada ektremitas yaitu

tangan dan jari kaki terlebih dahulu. Kondisi ini menyebabkan aktivitas sehari-

hari pasien terganggu dan dapat menurunkan quality of life pasien paliatif. Perlu

adanya manajemen neri untuk mengontrol nyeri pasien dan dapat meringankan

pasien dari penderitaannya

Manajemen nyeri pada pasien neuropati diabetis terbagi menjadi dua yaitu

manajemen nyeri secara farmakologis meliputi kelompok utama obat

(Antidepresan Trisiklik, Antikonvulsi, SSRI dan Opiate) yang dapat dipilih

dalam penatalaksanaan nyeri neuropati diabetes. Manajemen nyeri secara non

farmakologis meliputi teknik relaksasi, stimulasi kulit, plasebo, palliative care

religius, terapi musik, psikoterapi dan hipnoterapi.

B. Saran

Manajemen nyeri pada pasien neuropati diabetes dialkukan secara

komprehensif dan dilakukan kombinasi antara manajemen nyeri farmakologis


dan non farmakologis, agar nyeri dapat terkontrol dan quality of life pasien

paliatif tersebut dapat meningkat.


DAFTAR PUSTAKA

Asmadi.(2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan

Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Andarmoyo,S.(2013).Konsep&ProsesKeperawatanNyeri.Yogjakarta: Ar-Ruzz

Bennet, M.I., Attal, N., Backonja, M.M., Baron, R., Bouhassira, J., et al.

(2007). Using Screening Tools to identify neuropathic pain. Journal

Pain. 127:199-203.

Barbara, C.Long. 2001. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Padjajaran.

Callaghan, B.C., Cheng, H.T., Stables, C.L., Smith, A.L., Feldman, E.L. (2012).

Diabetic neuropathy: clinical manifestations and current treatments.

Lancet Neurology.11: 521–534.

Cawthorn, A., & Mackereth, P. A. (2010). Integrative hypnotherapy. Complementary

approaches in clinical case. London : Churchill Livingstone

Demir, Melike. (2015). Effects of Laughter Therapy on Anxiety, Stress, Depression

and Quality of Life in Cancer Patients. Cancer Science & Therapy, 272-273.

DepKes RI, 2011. Profil Kesehatan 2010. Jakarta


Fontaine, K.L. (2005). Complementary & alternative therapies for nursing practice.

2th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall

Hartati. (2015). The Impact of Front Effleurage Toward Dysminorhea Pain. Jurnal

Riset Kesehatan Vol. 4 No. 3 September 2015

Herdman, H. & Kamitsuru. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi

2015-2017. Ed.10. Terjemah Oleh S. Budi Ana Keliat, Dkk. Jakarta : EGC

Inoue, K., Hiroshi Maruoka. (2015). Effects of simplified lymph drainage on the

body: in females with menopausal disorder. Journal of Physical Therapy

Science Vol 29 pg 115- 118, 2017.

Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik.

Jakarta: Penerbit Salemba

Noviz. Efek Musik pada Tubuh Manusia [cited 2006 Nov 2]. Available from:

URL:http://www.indonesia_indnesia.com

Potter, P.A. dan Perry, A.G. (2010). Fundamental Keperawatan. Ed.7. Jakarta:

Salemba Medika.

Prasetyo, EP. Peran musik sebagai fasilitas dalam praktek dokter gigi untuk

mengurangi kecemasan pasien. Kedokteran Gigi 2008;38:41-44. 16..

Raena Sepriyana. (2017). Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetes di PPK 1 (Dr

Hadi Soeprapto G., Sp.S/RS MARDI WALUYO METRO). (online) dalam


https://www.scribd.com/document/339816709/Penatalaksanaan-Nyeri-

Neuropati-Diabetes-di-PPK-1 diakses tanggal 27 Juli 2018 jam 05.03 WIB

Somani S., Saima Merchant, Shafira Lalani. 2013. A literature review about

effectiveness of massage therapy for cancer pain. Journal of Nursing Vol. 63

No. 11.

Tamsuri A. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Usunoff, K.G., Popratiloff, A., Schmitt, O., Wree, A. (2008). Functional

Neuroanatomy of Pain. Department of Anatomy and Histology Medical

University – Sofia. Springer Germany, Ed 2: 49-66.

Widyatuti. 2008. Terapi Komplementer Dalam Keperawatan. Jurnal Keperawatan

Indonesia Vol. 12, No. 1 hal 53-57. (9)Wulandari, Priharyanti, Prasita Dwi

Nur Hiba. 2015. Pengaruh Massage Effleurage Terhadap Pengurangan

Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase Aktif pada Primigravida di Ruang

Bougenville di RSUD Tagurejo Semarang. Jurnal Keperawatan Maternitas

Vol. 3 No. 1 hal 59-67.

Wahyuliati, Tri. 2006. Antidepresan pada Nyeri Neuropatik. Mutiara Medika : 6 (1).

33-34
Wulansari, nofita. (2011). Efektifitas Teknik Relaksasi Benson Dan Nafas Dalam

Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Yang Dilakukan Perawatan

Ulkus Diabetik Di Rsud Tugurejo. Stikes Teleogorejo Semarang

Wulandari, Priharyanti, Prasita Dwi Nur Hiba. (2015). Pengaruh Massage Effleurage

Terhadap Pengurangan Tingkat Nyeri Persalinan Kala I Fase Aktif pada

Primigravida di Ruang Bougenville di RSUD Tagurejo Semarang. Jurnal

Keperawatan Maternitas Vol. 3 No. 1 hal 59-67.

Widharto. (2007). Kencing Manis (Diabetes Mellitus). Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka

Wilkinson, M. Judith. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi

NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai