Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari kita tentunya pernah merasakan peristiwa
yang terjadi akibat adanya kebijakan dari pemerintah. Peristiwa itu misalnya
kenaikan harga BBM yang diikuti oleh naiknya biaya transportasi, adanya konversi
minyak tanah dengan LPG, Pendidikan gratis, dan lain-lain. Peristiwa- peristiwa
yang dicontohkan tersebut bukan terjadi secara alami, atau sebagai peristiwa yang
terjadi Karena proses perkembangan yang normal. Peristiwa-peristiwa tersebut
dipengaruhi adanya kebijakan Negara, karena secara sadar atau tidak sadar, mengerti
atau tidak mengerti kebijakan negaralah yang banyak mempengaruhi kehidupan kita
sehari-hari.
Study tentang kebijakan sangat penting karena dengan analisis kebijakan kita
dapat meminimalisir adanya kesalahan dengan adanya suatu kebijakann yang dibuat.
Karena sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan akan dianalisa terlebih dahulu
mengenahi dampak yang akan ditimbulkan pasca penerapan suatu kebijakan.
Makalah ini akan dibahas tentang konteks sejarah analisis kebijakan . Pembahasan
mengenai sejarah analisis kebijakan akan dibahas mulai dari awal munculnya
analisis kebijakan sampai pada perkembangan analisis kebijakan.

1.2 Tujuan
Makalah ini akan membahas beberapa permasalahan yang berhubungan
dengan analisis kebijakan yang ditinjau dari sisi histories antara lain :
1. Konsep dasar analisis kebijakan
2. Sejarah perkembangan dan evolusi analisis kebijakan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Analisis Kebijakan


Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai
pedoman untuk bertindak (Sholihin, 2002). Pedoman itu bisa jadi sangat sederhana
atau komplek, bersifat umum atau khusus, Abstrak atau nyata. Menurut Carl
Frederich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang
peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Menurut William N Dunn analisis kebijakan dapat dijelaskan sebagai proses
menghasilkan pengetahuan tentang dan dan dalam proses kebijakan. Analisis
kebijakan dapat dimengerti sebagai proses menghasilkan pengetahuan tentang dan
dalam proses kebijakan. Dalam definisi yang luas ini analisis kebijakan setua
peradaban itu sendiri, dan mencakup berbagai bentuk pengkajian, dari penggunaan
mistik atau tenaga gaib sampai ke ilmu-ilmu moderen.Keuntungan dari rumusan
yang umum ini adalah bahwa rumusan tersebut memungkinkan kita mengkaji variasi
makna di masa lalu yang telah mewarnai proses pembuatan pengetahuan yang
relevan dengan kebijakan. Secara Etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari
bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan
Sansekerta polis (negara-kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam bahasa Latin
menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris Pertengahan Policie,
yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Asal usul Etimologis kata policy sama dengan dua kata penting
lainnya: police dan politics.Inilah salah satu alasan mengapa banyak bahasa-bahasa
modern, misalnya Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (politik, politika)
untuk dua pengertian policy danpolitics. Ini juga merupakan salah satu faktor yang
saat ini menimbulkan kebingungan seputar batas disiplin ilmu politik, administrasi
negara, dan ilmu kebijakan, semuanya menaruh perhatian besar pada studi politik
(politics) dan kebijakan (policy).
Menurut Wayne Parson (2205), kebijakan adalah istilah yang dalam
penggunaannya secara umum, dianggap berlaku untuk sesuatu yang ’lebih besar’
ketimbang keputusan tertentu, tetapi ’lebih kecil’ ketimbang gerakan sosial. Jadi,
kebijakan, dari sudut pandang tingkat analisis, adalah sebuah konsep yang kurang
lebih berada di tengah-tengah. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu
yang tidak sengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktek
administrasi.
Dror (1989) di dalam Wayne (2005) mengatakan bahwa gagasan ’pembuatan
kebijakan’ adalah sebagai ’kesadaran memilih’ di antara dua alternatif untuk
mengatur masyarakat. Makna modern dari gagasan ’kebijakan’ (policy) dalam
Bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan
politik – yang berbeda dengan makna ’administration’ (administrasi).
Makna ’kebijakan’ juga harus dipahami dalam konteks yang berubah-ubah.
Pasalnya, sebagaimana konsep ’publik’, makna ’kebijakan’ yang senantiasa berubah,
ini juga menunjukkan kepada kita perubahan-perubahannya dalam praktik kebijakan.
Akan tetapi jika direnungkan secara seksama, perubahan terminologi itu sebenarnya
membawa akibat yang cukup mendasar bagi proses pendewasaan diri analisis
kebijakan itu sendiri. Sebab, perubahan itu ternyata bukan sekadar pada kemasannya,
tetapi juga pada substansinya. (Wahab, 1999:1). Konkritnya, perubahan substansial
itu menyentuh persoalan restrukturisasi konsep dan dimaksudkan untuk memperjelas
karakteristik, serta tujuan dari analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah
kebijakan. Selain itu juga, dimaksudkan untuk dapat memilah-milah secara
sistematik bidang-bidang kajian, serta profesi yang digeluti para ahli.
Konteks yang berubah-ubah ini dapat kita temukan dalam beberapa contoh.
Yang pertama, dalam karya Shakespeare, kita menjumpai empat makna ”kebijakan”
(policy) yang berbeda, yakni: kehati-hatian, sebentuk pemerintahan, tugas, dan
administrasi serta sebagai ”Machiavellianisme”. Kebijakan mencakup seni ilusi
politik dan duplikasi. Penonjolan, penampakan luar dan tipuan (ilusi) adalah
beberapa unsur yang membentuk kekuasaan (power). Kekuasaan tidak dapat
dipertahankan hanya dengan kekuatan paksa (force).
Contoh yang kedua, kekuasaan memerlukan kebijakan (policy) dalam
pengertian Machiavellianisme, dan policy menunggangi kesadaran, demikian
dikatakan sang penyair dalam Timon of Athens.
Contoh ketiga, policy bermakna sebagai kecerdikan (craftiness). Kita dapat
melihat salah satu ilustrasi yang paling menarik mengenai penggunaan
gagasan policyMachiavellian dalam karya dramawan besar Marlowe yang hidup
sezaman dengan Shakespeare. Dalam drama The Few of Malta gagasan
tentang policy menempati peran sentral; kata ini muncul berkali-kali dalam teksnya.
Misalnya, seorang ksatria menyebut ’simple policy’ yang kemudian, oleh seorang
tokoh Barabas ditambahkan, ’Ah policy’, itulah profesi mereka. Dan itu tidak
sederhana. Kata policy di sini mengandung dua makna, sederhana dan perencanaan
cerdik (Scheming). Policy di sini dapat berarti menciptakan atau merekayasa sebuah
cerita masuk akal dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa; salah
satu makna policy di sini adalah bertindak, dan seperti yang dikatakan Ithamore,
”maksud mengandung makna”. Dengan menggunakan policy-nya, Barabas
mendapatkan tempat yang setara dengan Gubernur Malta. Dia mengadu domba
bangsa Turki dengan kaum Kristiani, dan karena itu dia mendapatkan ’keuntungan’
dari policy-nya. (Wayne Parson, 2005:16).
Francis Bacon, tokoh sezaman Shakespeare, juga mendefinisikan kebijakan
(policy)dari segi kecerdikan rasional. Tetapi gagasan kebijakan sebagai politik, dan
gagasan politik sebagai kebijakan, nantinya akan diganti oleh gagasan kebijakan
sebagai politik yang menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan, sebagai
administrasi atau birokrasi. Dengan berkembangnya industri dan administratifnya di
beberapa negara, maka birokrasi, seperti yang ditunjukkan oleh Weber, menjadi
ekspresi dari komponen nasional dalam negara, yang berfungsi untuk menjalankan
kehendak penguasa politik yang terpilih.
Istilah kebijakan menjadi ekspresi nasionalitas politik karena birokrasi
memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai badan nonpolitis, sedangkan
politisi mengklaim otoritasnya berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau
”platform” mereka oleh elektorat. Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan
atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami
persoalan beserta solusinya. Kebijakan mengemukakan apa yang sedang terjadi dan
apa yang seharusnya dilakukan. Sebuah kebijakan memberikan semacam teori yang
mendasari klaim legitimasi.

2.2 Sejarah Perkembangan dan Evolusi Analisis Kebijakan


A. Awal Munculnya Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan dapat dilacak ke satu titik evolusi masyarakat dimana
pengetahuan tentang kebijakan dibuat secara sadar sehingga dapat memungkinkan
dilakukannya pengujian secara explisit dan reflektif terhadap hubungan antara
pengetahuan danaksi.Waktu kapan pertama kali kebijakan dihasilkan tidak dapat
diketahui secara tepat. Akan tetapi dipercaya bahwa perkembangan analisis
kebijakan publik berhubungan dengan pertumbuhan peradaban dari bangsa-bangsa
yang memiliki kebebasan laut yang luas. Contoh dokumen terkuno dari analisis
kebijakan publik ditemukan di Mesopotamia yang berupa pakta-pakta pemerintahan
dan politik. Dokumen itu disebut kode Hammurabi yang ditulis oleh penguasa
Babilonia pada abad 18 sebelum masehi, yang mengexpresikan keinginan untuk
membentuk ketertiban publik yang bersatu dan adil pada masa ketika babilonia
mengalami transisi dari negara kecil menjadi negara wilayah yang luas. Kode
Hammurabi memiliki kesamaan dengan hukum Musa yang mencantumkan
persyaratan-persyaratan ekonomi dan sosial untuk suatu pemukiman urban yang
stabil dimana hak dan tanggung jawab didefinisikan menurut posisi sosial. Kode
mencakup proses kriminal, hak milik, perdagangan hubungan keluarga dan
perkawinan,dana kesehatan dan apa yang dikenal sekarang sebagai akuntabilitas
publik.
Sejarah yang tertulis tentang para spesialis menghasilkan pengetahuan
tentang kebijakan dapat ditelusuri sampai abad ke empat sebelum masehi. Di
India,Arthashastra karya Kautilya, satu dari tuntunan-tuntunan awal tentang
pembuatan kebijakan, keahlian bernegara dari administrasi pemerintahan,
mensarikan apa yang telah ditulis sampai ketika itu (300 SM) mengenai materi yang
saat ini disebut Ilmu Ekonomi. Kautilya, yang mengabdi sebagai penasehat kerajaan
Mauyan di India Utara, dapat dibandingkan dengan Plato (427-327 SM), Aristoteles
(384- 322 SM),dan Machiavelli (1469-1527), kesemuanya secara mendalam terlibat
dalam aspek-aspek praktis pembuatan kebijakan pemerintah selain pekerjaan mereka
sebagai pemikir-pemikir sosial. Plato mengabdi sebagai penasehat dari penguasa di
Sisilia, sementara Aristoteles mengajar Alexander dari Macedonia sejak orang
tersebut terakhir berusia 14 tahun sampai ia naik tahta pada usia 20 tahun.
Aristoteles, seperti para pemikir sosial kontemporer, yang menemukan bahwa politik
praktis menjijikkan, cenderung menerima kedudukan tersebut dengan harapan agar
dapat menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah publik.

B. Perkembangan pada Abad Pertengahan


Ekspansi dan diferensiasi secara bertahap peradaban kotasepanjang abad
pertengahan berlangsung dengan diikuti oleh strukturokupasi yang memudahkan
pengembangan pengetahuan yang terspesialisasi. Berbagai kelompok spesialis
kebijakan diangkat oleh para pemimpin untuk memberikan saran dan bantuan teknis
terhadap hal-hal yang kurang dikuasai oleh para penguasa misalnya pengambilan
keputusan yang efektif, keuangan, perang dan hukum. Pertumbuhan ”Politisi
Profesional”, memperoleh kedudukan yang berbeda di dunia. Di Eropa, India, Cina,
Jepang dan Mongolia pada abad pertengahan para pendeta merupakan kelompok
yang terpelajar, karena kelompok ini secara teknis sangat dibutuhkan. Para penulis
yang terpelajar, yang pada zaman modern saat ini adalah penulis pidato presiden
adalah juga memiliki pengaruh terhadap pembuatan kebijakan. Di Inggris para
bangsawan rendahan dan para investor diangkat tanpa kompensasi untuk
mengendalikan pemerintahan kota untuk kepentingan meraka sendiri. Pada akhirnya
para ahli hukum ternama juga memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan.

C. Zaman Revolusi Industri


Pada zaman kuno dan pertengahan pertumbuhan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan mengikuti evolusi peradaban. Namun ketika terjadi revolusi
industri pertumbuhan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan menjadi aktivitas
yang relatif otonom dengan ciri khasnya sendiri dan dipisahkan dengan kepentingan
politik sehari-hari. Zaman revolusi industri adalah masa dimana kepercayaan tentang
perkembangan manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi lebih
dominan di kalangan para pengambil kebijakan dan penasehatnya. Pada masa ini
pembangunan dan pengujian teori-teori ilmiah dan masyarakat secara bertahap mulai
dilihat sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan permasalahan sosial. Pengaruh
mistik, klenik, dan sihir sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Mulai pada masa
ini muncul pengetahuan yang relevan dengan kebijakan menurut ukuran empirisme
dan metode ilmiah.

D. Perkembangan pada Abad ke-19


Pada abad 19 di eropa mulai munsul generasi baru yang menghasilkan
pengetahuan tentang kebijakan mulai mendasarkan efektivitas mereka pada dokumen
data empiris yang sistematis. Pada masa ini perhatian terhadap pengumpulan fakta
secara sistematis dapat diilustrasikan dengan beberapa cara. Misalnya dengan
pengembangan statistik dan demografi sebagai bidang spesialisasi. Pada masa itu
mulai bermunculan lembaga-lembaga yang memperhatikan secara khusus pada
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Lembaga-lembaga tersebut diorganisir
oleh para bankir, ilmuwan, industrialis yang berusaha mengganti cara berfikir lama
dalam menghadapi masalah sosial dengan metode baru yang lebih sistematis.
Pada abad 19, metode untuk menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan secara jelas mengalami perubahan dan transformasi yang besar.
Pengetahuan mengenai alam dan masyarakat tidak lagi ditentukan menurut
kesesuaiannya dengan otoritas, ritual dan prinsip-prinsip filsafat, tetapi dinilai
berdasarkan konsistensinya dengan observasi empiris. Tetapi transformasi ini
bukanlah merupakan hasil dari komitmen formal terhadap norma-norma empirisme
dan metode ilmiah sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ketidakpastian yang
datang bersama dengan transisi dari peradaban agraris ke industri.

E. Perkembangan Abad ke-20


Perkembangan ilmu yang mempelajari tentang kebijakan pada abad ini dapat
digambarkan dengan adanya profesionalisasi ilmu politik, administrasi negara,
sosiologi, ekonomi dan disiplin ilmu sosial lainnya yang terkait. Selama abad 20 para
ilmuwan kebijakan bukan lagi kelompok yang heterogen seperti bankir, industrialis,
jurnalis, dan sarjana-sarjana yang mengendalikan lembaga statistik kuno dan
lembaga penelitian kebijakan lainnya.
Fungsi utama dari ilmuwan sosial pada masa ini adalah mengkaji masalah
masalah kebijakan dan merumuskan solusi yang potensial. Adanya perang dunia II
dan masalah penyesuaian kembali pasca perang memberi kesempatan para ilmuwan
sosial untuk menerapkan nilai-nilai yang dianutnya untuk memecahkan masalah
praktis. Menurut Laswell dalam pengantarnya ” ilmu kebijakan” tidak dibatasi oleh
tujuan teoritis ilmu, tetapi juga memiliki orientasi praktis yang mendasar. Tujuan
ilmu kebijakan tidak hanya memberi sumbangan pada pengambilan keputusan yang
efisien tapi juga untuk memberikan pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka
pengembangan pelaksanaan demokrasi.

F. Analisis Kebijakan dalam Masyarakat Pasca Industri


Masyarakat pasca industri adalah sebuah masyarakat dimana
perkembangannya didominasi oleh kelas teknis-profesional yang terdidik.
Masyarakat pasca industri merupakan perpanjangan dari pola-pola pembuatan
kebijakan dan organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri yang terkait
langsung dengan evolusi sejarah dan kepentingan analisis kebijakan :
1. Pemusatan ilmu pengetahuan teoritis
2. Penciptaan teknologi intelektual yang baru
3. Meluasnya kelas ilmu pengetahuan
4. Perubahan dari barang ke pelayanan
5. Instrumentalisasi ilmu
6. Produksi dan penggunaan informasi

G. Perkembangan Awal Akademik


Menurut Wayne Parson (2005:28-30) pertumbuhan kebijakan sebagai bidang
akademik merupakan implementasi lapangan dari hasil dua pertemuan yang
diselenggarakan oleh American School Research Council. Hal itu mungkin terjadi
pada akhir 1960-an. Pertemuan itu merupakan dua konference (perundingan) yang
menghasilkan dua koleksi kertas kerja (paper) yang diedit oleh Austin Ranney
(Ranney, 1965). Tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi berharga dalam
perkembangan ini antara lain Lasswell (1951, 1959, 1970, 1971), Simon Herbert
(1947), David Easton (1965), Lindblom (1968), Almond Powell (1966), Deutsch
(1963), Vickers (1965).
Pada periode 1960-an dua karya awal yang mengekspresikan sudut pandang
yang berbeda mengenai rasionalitas pembuatan kebijakan adalah Lindblom (1968)
dan Dror (1968). Teks-teks lainnya juga dipublikasikan pada 1968 antara lain Bauer
dan Gergen (eds) dan Ranney (ed).
Pada periode 1970-an pendekatan kebijakan muncul dalam bentuk buku-buku
ajar(text books). Beberapa buku menjadi teks kunci untuk memahami berbagai studi
kebijakan baru. Diantaranya, Jones (1970), Dye (1972), Anderson (1975), dan
Jenkins (1978) yang menempati posisi istimewa adalah studi krisis misil Kuba oleh
Graham Allison (1971) yang meskipun merupakan studi kebijakan negara asng,
segera diadopsi sebagai teks utama dalam kuliah-kuliah pembuatan keputusan dalam
konteks ”kebijakan publik”. Pada periode ini juga muncul serial buku yang
diterbitkan oleh Policy Studies Organization. Buku-buku itu bertujuan
mempromosikan ”penerapan ilmu politik pada problem kebijakan yang penting”.
Dua diantaranya penting bagi mahasiswa karena menyediakan survey yang bagus
mengenai State of the Art di pertengahan 1970-an. (Nagel (ed), 1975a dan b). Pada
pertengahan 1970-an ini juga terbit teks-teks studi perbandingan kebijakan publik,
dan ang paling menonjol adalah Heldenmeir (et.al., 1975) dan Hayward dan Watson
(1975). Pada 1979 muncul sumbangan penting, yaitu karya Wildavsky,
yaitu Speaking The Truth,buku ini terbit di luar Amerika dengan judul The Art and
Craft of Policy Analysis (Wildavsky, 1980).
Periode 1980-an adalah dekade dimana buku-buku ajar pendekatan kebijakan
berkembang dengan pesat. Buku-buku tersebut terlalu banyak untuk disebutkan,
tetapi diantara buku-buku itu, yang paling banyak digunakan adalah buku dari Burch
dan Wood (1983); Peters (1982), dan Richardson dan Jordan (1979 / 1985). Periode
1970-an dan 1980-an menjadi saksi munculnya lembaga-lembaga pemikiran dan
riset dimana mereka mulai menggunakan pedekatan interdisipliner untuk mengkaji
kebijakan. Insentif kajian akademik masih lebih banyak berhubungan dengan agenda
masing-masing disiplin ketimbang pada pada ”agenda kebijakan”. Di lain pihak,
”lembaga-lembaga pemikiran” (think-tanks) telah menyediakan pendekatan yang
berfokus pada problem dan kebijakan yang sangat kondusif bagi pembaharuan
”orientasi kebijakan” yang pertama kali dikemukakan oleh Lasswell.
Salah satu ciri utama dari bidang kebijakan publik pada periode 1980-an dan
1990-an adalah penyebarannya ke negara-negara bagian Amerika Serikat. Bahkan
ada sejumlah pemikiran yang paling inovatif dan pendekatan baru muncul di benua
Eropa. Ini adalah perkembangan yang penting,sebab sebahagian besar sejarah bidang
ini cenderung di dominasi oleh gagasan dan materi dari Amerika Serikat.
2.3 Sejarah Perkembangan Dan Evolusi Kebijakan Pendidikan Di Indonesia
A. Jaman pergerakan: masa kolonial belanda
Di zaman kolonialisme, pendidikan sebagai cermin dari sistem ekonomi kolonial
yang bersifat penghisapan bangsa atas bangsa. Pendidikan dirancang oleh kekuasaan
politik kolonialisme yang bersifat diskriminatif. Pendidikan dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis yaitu pendidikan bagi kaum kolonialis dan pendidikan bagi bangsa
terjajah atau kaum pribumi. Pada akhir abad ke-18 menjelang abad ke-19,
perusahaan VOC mengalami kemunduran sehingga tidak dapat berfungsi sebagi
lembaga yang mengatur pemerintahan dan masyarakat di daerah Hindia Timur.
Pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan Belanda yang selanjutnya
mengatur masyarakat dan pemerintahan di daerah jajahannya. Bersamaan dengan
itu peristiwa tersebut terjadi pulalah perubahan pandangan tentang prinsip
pendidikan baik di Eropa maupun di Hindia Belanda sendiri. Akibatnya timbullah
prinsip pendidikan di daerah kolonial sebagai berikut. Pemerintah colonial
berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu. Pendidikan diarahkan agar
para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum
penjajah. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite-sosial
(penjilat penjajah) Belanda. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan
Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat.
Bermula dari prinsip inilah pemerintah Hindia Belanda menerapkan
kebijakan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan pada anak-
anak bangsawan bumi putera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial
yang diharapkan kelak mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan
penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidank langsung kepada
masyarakat dan bangsa Indonesia. (Ary H. Gunawan, 1985: 11).
1. Pengaruh “Aufklӓrung”
Tiupang angin “Aufklӓrung” pada abad ke -18 dari Eropa memberikan cuaca
cerah kepada pendidikan di Indonesia.Paham “Aufklӓrung” menjadi pelopor dari
sistem pendidikan bar, yaitu pendidikan yang diselenggrakan oleh negara yang
kemudian menjelma dalam bentuk sekolah-sekolah negeri. Berbeda dengan sistem
pendidikan yang diselenggrakan oleh gereja atau penganut agama tertentu yang
mengutamakan bagi warga gereja atau penganut agamanya masing-masing, maka
paham baru tersebut memperkenalkan sistem pendidikan untuk masyarakat atau
rakyat banyak yang membebankan kewajiban itu kepada negara (pemerintah) (Ary
H. Gunawan, 1985: 12).
Sebagai pengaruh dari “Aufklӓrung” terhadap pendidikan di Indonesia adalah
diterbitjannya Keputusan Raja Belanda tertanggal 30 September 1848 no 95, yang
memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menyediakan biaya f.25.000,-
setahun bagi pendirian sekolah-sekolah bumiputera di pulau Jawa dengan tujuan
untuk mendidik calon-calon pegawai negeri.(Ary H. Gunawan, 1985: 12).
Berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 September 1892, termuat dalam
Lembaran Negara (Staatblad) nomor 125 tahun 1893, terjadi reorganisasi pada
kebijakan pendidikan dasar sebagai berikut. Sekolah dasar Bumiputera dibedakan
menjadi:
a. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerstse School) adalah sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak para pemuka, tokoh terkemuka, dan orang-
orang terhormat bumiputera.
b. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) adalah sekolah
bagi anak-anak bumiputera pada umumnya, diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan bagi masyarakat biasa pada umumnya (Ary H.
Gunawan, 1985: 13).
Sekolah Dasar Kelas Satu itu kemudian menjadi ELS ( Europe Lagere
School), untuk anak-anak orang Belanda di Indonesia dan anak bangsawan; HIS
(Hollandsch Inlandsche School), untuk anak-anak tokoh bumiputera, anak-anak
pegawai negeri (ambtenaar) yang bergaji sekurang-kurangnya f.75,- sebulan atau
bertitle Raden (Ary H. Gunawan, 1985: 16).
Di samping kedua Sekolah Dasar Negeri elite tersebut terdapat pula sekolah
elite di Tondano (1865-1872 sebagai percobaan) dan di Bandung, Magelang, dan
Probolinggo (1878) yang sering disebut dengan “Sekolah Raja” (Hoofdenschool).
Terdapat tingkatan lanjutan Sekolah Raja, yaitu MOSVIA (setingkat SMTA) atau
Middelbare Opleiding School Voor Indische Anbtenaren. Selain itu juga didirikan
sekoalh kejuruan seperti Sekolah Pertukangan dan Sekolah Pendidikan Guru
(Kweekschool). Pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah bagi wanita, yaitu
(Hollandsch Burgelijke School) untuk gadis Betawi. Selain itu didirikan pula
Sekolah Dokter (Ary H. Gunawan, 1985: 18).
Kebijakan Pendidikan akibat Politik Etis
Kebijakan pendidikan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda melalui
Politik Etis, yaitu sebagai berikut.
a. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi
golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat
menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah.
b. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan
dengan kebutuhan mereka.
B. Masa Kemerdekaan: Pendidikan Masa Penjajahan Jepang
Pada awal pendudukan Jepang, sekolah-sekolah ditutup, dan apda akhir April
1942 sekolah-sekolah dibuka kembali dengan sistem baru. Bekas sekolah desa (volk
school), vervlog school (sekolah lanjutan), volledige tweede klas school (sekolah
pribumi lengkap), dan meisjes vervolg school (sekolah lanjutan putri) dibuka
kembali dengan dasar Undang-Undang No. 12.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah militer Jepang di Indonesia, sangat
berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan pada masa Belanda, karena semua
lapisan masyarakat pribumi diberikan hak untuk dapat mengaksesnya. Dengan
menyederhanakan sistem pendidikan dan menghilangkan dualisme pendidikan
pemerintah Jepang memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, mereka tidak
perlu meneruskan system pendidikan masa kolonial Belanda yang rumit dan
memerlukan kontrol yang ketat dari pemerintah, karena penyelenggaraan pendidikan
yang berlapis-lapis. Keuntungan kedua, dihapuskannya dualisme pendidikan
mendukung propaganda Jepang dalam rangka mengambil simpati masyarakat
pribumi saat itu, bahwa tidak adanya pelapisan masyarakat dalam mengakses
pendidikan membuat semua warga Indonesia menjadi mengerti akan pentingnya
pendidikan. Apabila ditelusuri dari riwayat kedatangannya, setelah Februari 1942
menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas
terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1)
dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan
menggantikan Bahasa Belanda; (2) adanya integrasi system pendidikan dengan
dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas social (dualisme pendidikan) di
era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang tersebut adalah sebagai
berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat), lama studi 6
tahun. Termasuk SR (Sekolah Rakjat) adalah Sekolah Pertama yang merupakan
konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia
Belanda; (2) Pendidikan Lanjutan, yang terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun; (3) Pendidikan Kejuruan,
mencakup sekolah lanjutan yang bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian; (4) Pendidikan Tinggi.
Dalam menerapkan kebijakan pendidikannya, guna memperoleh dukungan tokoh
pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera (Pusat Tenaga
Rakyat) di bawah pimpinan Sukarno, M. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan K.H. Mas
Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple
Movement yang sudah dibentuk sebelumnya tetapi tidak menyertakan wakil tokoh
pribumi. Namun demikian Putera akhirnya mengalami nasib serupa setahun
kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hadjar Dewantara sebagai penasehat
bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini
dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan
China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia
mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa
pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize
kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk
menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya. Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman
pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan
tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu
latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat
Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olahraga dan nyanyian
Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap
murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1)
Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan
bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
(3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-
cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam
Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa
Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang
juga wajib diajarkan di sekolah.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-
sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda danbahasa-bahasa
Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS (Hoolands Chinese
School), sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa
Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada
adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan
bangsa China).
Kondisi tersebut akhirnya memaksa para guru untuk mentranslasikan
bukubuku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses
pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan
sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan
sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus
mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya
terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman
Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan
dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa
Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok
pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3)
Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni
kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4)
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H.
Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang
belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan
semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya
hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya
kemerdekaan.
Kebijakan untuk menyederhanakan sistem persekolahan oleh pemerintah
Jepang menimbulkan banyak sekali dampak setelahnya. Pendidikan yang
sebelumnya berlapis-lapis dan sangat eksklusif menjadi lebih sederhana dan
dinyatakan terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, rupanya
kebijakan tersebut kurang membawa dampak positif di masyarakat. Dampak pertama
yang terlihat dari penerapan kebijakan tersebut adalah kebijakan peleburan
mengakibatkan banyak sekolah yang kemudian ditutup dan tidak beroperasi lagi.
Banyak gedung-gedung sekolah yang kemudian berubah fungsi menjadi
barak-barak militer dan gudang penyimpanan amunisi dan bahan makanan
persediaan perang milik militer Jepang. Filosofi pendidikan untuk semua ternyata
hanya propaganda belaka, karena pasca pemberlakuan kebijakan tersebut justru
mengakibatkan semakin turunnya jumlah siswa yang bersekolah dan jumlah sekolah
juga berkurang dengan sangat drastis.
Selain menghapus dualisme pendidikan dan menggantinya dengan kebijakan
sekolah umum serta memberi kesempatan kepada seluruh lapisan untuk dapat
mengakses pendidikan, pemerintah militer Jepang di Indonesia juga berusaha
menghapuskan pengaruh Barat dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu dengan
cara menghapus Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar di sekolah. Bahasa yang
diperbolehkan saat itu adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Selain itu,
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang juga lebih ditekankan pada
physical training, bukan mental disiplin. Pendidikan militer ditekankan dalam rangka
tercapainya target Jepang untuk memenangkan perang melawan sekutu.
C. Pendidikan jaman orde lama: dari kolonialistik sampai nasionalistik
Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Segera
setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia menjadikan pendidikan sebagai hak
setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan nasional.
Dicanangkanlah bahwa dalam 10 tahun ke depan pada waktu itu seluruh anak
Indonesia harus bisa menikmati sekolah. Oleh karena itu dilakukan berbagai
pembenahan seperti penambahan jumlah pengajar, pembangunan gedung sekolah,
dan sebagainya.
Pemerintah juga membagi tingkatan pendidikan seperti Sekolah Dasar.
Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Pada
awal kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat
nasionalisme dan membela tanah air.Soekarno, presiden pertama Indonesia
membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di
seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak anak dicari untuk disekolahkan
tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang
diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2. (Rianti
Nugroho, 2008: 16). Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal
kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan
di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar ketertinggalan di berbagai sektor
kehidupan
Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada
kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan supaya segera mungkin
mengusahakan agar pembaharuan pendidikan dan pengajaran dijalankan sesuai
dengan rencana pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru (Somarsono
Moestoko, 1986: 145). Adapun pokok-pokok pengajaran tersebut adalah: Untuk
menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan
pengajaran. Paham perseorangan yang hingga kini berlaku haruslah diganti dengan
paham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran
harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa
tanggung jawab.
Untuk memperkuat persatuan rakyat kita hendaknya diadakan satu macam
sekolah untuk segala lapisan masyarakat. Metode yang berlaku di sekolah-sekolah
hendaknya berdasarkan sistem sekolah kerja agar aktivitas rakyat kita kepada
pekerjaan bisa berkembang seluasluasnya. Lain dari perguruan-perguruan biasa
hendaklah diadalkan perguruan orang dewasa yang memberi pelajaran
pemberantasan buta huruf dan seterusnya hingga bersifat Taman Imu Rakyat.
Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup
mendapat perhatian yang semestinya dengantidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya.
Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan
sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat bakar dalam
masyarakat Indonesia umumnya.
Pengajaran tinggi hendaknya diadakan seluas-luasnya dan jika perlu dengan
menggunakan bantuan bangsa asing sebagai guru besar. Lain dari hal itu hendaklah
diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri untuk keperluan
negara. Kewajiban belajar dengan lambat laun dijalankan dengan ketentuan bahwa
dengan tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun, bisa berlaku dengan
sempurna dan merata.
Pengajaran teknik dan ekonomi terutama pengajaran pertanian, industri,
pelayaran dan perikanan hendaklah mendapat perhatian istimewa. Pengajaran
kesehatan dan olahraga hendaklah tertur sebaik-baiknya hingga terdapat kemudian
hasil kecerdasan rakyat yang harmonis.
Di sekolah Rendah tidak dipungut uang sekolah. Untuk sekolah Menengah
dan Perguruan Tinggi hendaklah diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang
luas, sehingga soal keuangan jangan menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang
kurang mampu.
D. Masa Orde Baru
Pendidikan pada masa kekuasaan Orde Baru menjadi salah satu kebijakan
politik dan pemerintahan yang terangkum dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pendidikan pada
masa ini dijadikan sebagai salah satu sektor utama untuk menyokong pembangunan
ekonomi Orde Baru. Target utama pembangunan pendidikan nasional pada Repelita
I (1969-1974) adalah pendidikan dasar 9 tahun yang semakin meluas dalam waktu
15tahun, serta perbaikan kualitas, akses, dan relevansi pendidikan yang semakin
terarah demi peningkatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia (Mohammad Ali,
2009: 16). Kebijakan inilah yang tertuang dalam GBHN tahun 1973 seperti yang
telah disebutkan sebelumnya.
Sedangkan pada Repelita II (1974 -1979), strategi kebijakan pendidikan
nasional meliputi empat butir, yaitu: peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, relevansi pendidikan, dan efisiensi pendidikan
(Mohammad Yamin, 2009: 99). Konsep pendidikan nasional ini bertahan cukup
lama, bahkan masih diterapkan hingga akhir masa pemerintahan Orde Baru.
Produk pendidikan pada masa Orde Baru pernah identik dengan penataran P4
(Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) serta mata pelajaran Pendidikan
Moral Pancasila (PMP). Kedua produk ini disebut-sebut sebagai perwujudan bahwa
pendidikan nasional pada era Orde Baru selalu berlandaskan kepada Pancasila dan
UUD 1945. PMP adalah nama pengganti untuk mata pelajaran Kewarganegaraan
yang telah diterapkan sebelum tahun 1976. Dalam pandangan Darmaningtyas
(2004), digantinya nama pelajaran Kewarganegaraan menjadi PMP tersebut
memiliki dampak politik yang cukup besar. Mata pelajaran Kewarganegaraan
mengajarkan hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan juga kewajiban
Negara terhadap rakyatnya (Darmaningtyas, 2004: 10). Dengan demikian, setiap
peserta didik sudah diajarkan untuk bersikap kritis terhadap negara.
Bagi pemerintahan Orde Baru yang pada akhirnya dikenal sebagai rezim
yang terkesan otoriter, pengajaran sikap kritis kepada peserta didik dikhawatirkan
bisa menimbulkan efek yang tidak baik. Pasalnya, apabila setiap siswa lulusan
sekolah memiliki sikap kritis terhadap pemerintah, maka akan memunculkan
kesulitan tersendiri bagi kalangan penguasa.
Oleh karena itu, mata pelajaran Kewarganegaraan kemudian dihapuskan dan
diganti dengan mata pelajaran PMP yang menekankan bahwa setiap siswa dan warga
negara pada umumnya harus taat dan patuh terhadap negara tanpa dikenalkan dengan
hak-haknya. Darmaningtyas (2004) pun menyimpulkan bahwa menjadi suatu hal
yang wajar apabila kemudian produk yang lahir dari mata pelajaran SMP adalah
orang-orang yang penurut, penakut, pengecut, tidak kritis, dan tidak berprinsip
(Darmaningtyas, 2004: 11).
Bukan hanya soal PMP, penerapan penataran P4 juga menjadi sinyalemen
bahwa pendidikan nasional di era Orde Baru terlalu banyak dicampuri dengan
kepentingan politik penguasa. Kala itu, penataran P4 wajib diikuti oleh setiap peserta
didik, dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga jenjang perguruan tinggi, termasuk
untuk para guru atau dosen. Sejak tahun 19843, penataran P4 menjadi hal yang harus
diikuti oleh setiap siswa baru di semua sekolah di seluruh wilayah Indonesia
(Darmaningtyas, 2004: 11).
Pemerintahan Orde Baru menegaskan bahwa P4 atau yang dikenal juga
dengan nama Ekaprasetya Pancakarsa, adalah petunjuk operasional untuk
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang
pendidikan. Rezim Soeharto saat itu mencanangkan tujuan dari penataran P4 adalah
terwujudnya secara nyata sikap dan tingkah laku segenap aparatur pemerintah dan
warga masyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (Madiri Thamrin
Sianipar, 1984: 60).
Penataran P4 menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan bagi masa
depan siswa dalam penyelenggaraan pendidikan di era Orde Baru. FranzMagnis-
Suseno (2009), pernah berkata: “Di zaman Presiden Soeharto ada penataran P4.
Salah satu ciri penataran itu adalah bahwa orang harus berada di tempat 10 menit
sebelum acara dimulai. Semua harus diabsen dulu. Datang terlambat berarti
dikeluarkan, padahal lulus penataran P4 penting bagi pegawai negeri dan banyak
profesi lainnya.”( Franz Magnis-Suseno, 2009).
Selain PMP dan penataran P4, ada juga upaya politisasi lainnya dalam proses
pendidikan di zaman Orde Baru. Ketika Nugroho Notosusanto menjabat sebagai
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985), dimunculkanlah mata pelajaran
Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) yang berlaku sejak Kurikulum
1984. PSPB menurut sebagian pengamat dinilai sebagai upaya hegemoni pendidikan
yang lekat dengan nuansa politis karena hanya terfokus pada peranan Angkatan
Darat dalam menghadapi PKI pada tahun 1965-1966 (Darmaningtyas, 2004 :13).
Darmaningtyas (2004) menilai bahwa penambahan mata pelajaran PSPB
tersebut sebenarnya lebih dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik yang
dominan pada saat itu, yakni ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia),
khususnya Angkatan Darat. Melalui mata pelajaran PSPB diharapkan secara evolutif
para lulusan pendidikan formal memiliki apresiasi yang tinggi terhadap ABRI PMP,
P4, ataupun PSPB bisa dikatakan merupakan upaya pemerintah Orde Baru untuk
membentuk watak bangsa Indonesia (Darmaningtyas, 2004 :13).
Selain itu, salah satu kebijakan yang paling populer dalam penyelenggaraan
pendidikan pada era Orde Baru adalah upaya penuntasan kemiskinan dan kebodohan
melalui program Wajib Belajar 9 Tahun. Menurut A. Daliman (1995), program wajib
belajar sebagai upaya untuk menuntaskan pendidikan dasar sebenarnya sudah mulai
digagas sejak tahun 1950 meskipun belum dapat berjalan sebagaimana mestinya
karena adanya pergolakan politik yang terjadi secara terus-menerus (A. Daliman,
1995: 138).
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Kebijakan (Policy) adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diinginkan oleh seseorang, institusi, pemerintah dalam suatu daerah yang
berhubungan dengan kendala tertentu serta untuk mencari peluang dalam
memcapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan Analisis kebijakan adalah
suatu proses sebelum mengeluarkan suatu kebijakan dengan memperhatikan
dampak apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Dari sejarahnya tujuan
analisis kebijakan adalah untuk menyediakan informasi-informasi yang dapat
digunakan untuk memikirkan kemungkinan pemecahan masalah-masalah
kebijakan bagi para pengambil kebijakan.
2. Analisa kebijakan pada awalnya dilakukan ketika politik praktis harus
dilengkapi dengan pengetahuan agar dapat memecahkan maslah publik. Awal
munculnya di India pada tahun 300 SM yang kemudian berkembang pada
masa revolusi industri dan dikembangkan kembangkan pada abad 20 an
kemudian hingga dikembangkan sebagai bidang akademik pada akhir tahun
1960-an.
DAFTAR PUSTAKA

AG.Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dr. Syafaruddin, M.Pd, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka
Cipta.

Edi Suharto, Ph.D, 2010, Analisa Kebijakan Publik panduan praktis mengkaji masalah
dan kebijakan public, Bandung:Alfabeta.

William N. Dunn, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada


University Press.

Anda mungkin juga menyukai