Anda di halaman 1dari 4

Bersama Hanung: Membanalkan Pram, Memproduksi Minke

Kontroversi Bumi Manusia adalah imanen di novelnya, dan kontroversi itu harus dibunuh jika film ini
mau produksi dan mau laku.

Jika Anda membaca Bumi Manusia di tahun 80-90an, ketika buku itu dilarang Orde Baru, ada perasaan
campur aduk saat memegang stensilan cetakan-cetakan awal buku itu. Perasaan mellow terbawa oleh
cerita roman bergaya bahasa tabloid perempuan, dicampur perasaan takut diciduk aparat. Seperti
nyimeng diam-diam di bulan puasa dimana banyak operasi polisi cari THR dimana-mana. Anda bisa
diciduk, dipenjara beberapa hari, diinterogasi dan dipaksa untuk membongkar jaringan Anda. Setelah
keluarga membayar puluhan sampai ratusan juta, Anda keluar dan kawan-kawan yang Anda adukan
masuk. Keluar pun Anda akan tetap diberikan berbagai macam indoktrinasi dan penyuluhan soal anti
narkoba dll. Ya, novel Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca), seperti kata Pram, “Dipakai kuliah di luar negeri, dibakar di negeri sendiri.” Karena ganja legal di
negara maju, dan illegal di negeri ini.

Kini buku tersebut legal, dicetak ulang berkali-kali, dibundel, dan disejajarkan dengan karya-karya
populer. Hari ini harus diakui secara tampilan, Tetralogi Buru sudah sama banalnya dengan karya-karya
Tere Liye—bahkan dari pengamatan saya, Tere Liye punya cover yang jauh lebih bagus, dan kertas yang
lebih wangi daripada Tetralogi Buru. Di dalam konteks seperti ini, Hanung Bramantyo, sutradara yang
entah bagaimana caranya bisa mendapatkan hak cipta filmnya, mengalahkan Oliver Stone, Garin
Nugroho atau Riri Riza yang sebelumnya sudah berniat membuat film dari buku itu—menjadi semacam
harapan untuk bisa ‘menjual Minke.’ Pertanyaannya, Minke seperti apa yang mau dijual Hanung?

***

Penerbit buku Tetralogi Buru jelas menjual Minke dengan menjual Pramoedya, pengarang yang menjadi
Tapol dan menulis di penjara. Untuk para penggemar roman klasik, karya dari penulis penjara
mengandung eksotisme tersendiri: dia ideologis, penuh kontemplasi, dan tentunya dibuat dengan
perjuangan. Sempat ada saat-saat dimana Tetralogi Buru dijual sejajar dengan Trilogi Winnetou karya
Karl May: dua-duanya novel yang ditulis di penjara. Pram sendiri mengaku bahwa penulisan Tetralogi
Buru adalah semacam terapi kesepiannya. Minke yang ganti-ganti istri multi-etnis juga adalah
manifestasi kesepian Tapol di penjara yang isinya semuanya pria. Draftnya dinikmati para NAPI lain dan
para Sipir. Beberapa draft sempat dihilangkan sehingga harus ditulis ulang lagi. Pram sendiri mengaku
tidak pernah membaca karyanya setelah ditulis dengan alasan sederhana: kalau ia baca, maka ia ingin
mengeditnya. Bisa selesai saja sudah syukur, tak terpikir bukunya akan laku-laku amat.

Sementara itu Hanung punya pendekatan yang berbeda untuk jualan. Dari pernyataan-pernyataannya di
internet dan di wawancara ekslusif, ia berusaha “membanalkan” Bumi Manusia dan, seperti toko buku, Commented [1]: Masukin link wawancara CNN kali ye
menempatkannya di rak yang sama seperti buku-buku populer yang lain. Hanung merendahkan Bumi
Manusia dengan bilang bahwa membuat Ayat-ayat Cinta lebih sulit karena kontroversi poligaminya, atau
aktor Minke (siapapun dia) tidak perlu membaca bukunya, cukup dengan kostum Jawa saja sim sala bim
jadi Minke. Intinya, segala sejarah pahit yang melatarbelakangi penulisan dan penerbitan buku ini tak
boleh diungkit-ungkit. Calon penonton harus melupakan sejarah pemenjaraan tanpa pengadilan
terhadap Pram, atau embel-embel Lekra yang ditempelkan Orba pada Pram dan karya-karyanya. Pram,
seperti novelnya, jadi harus ditulis ulang.

Ketika sebuah karya diterbitkan, maka Roland Barthes bilang penulis telah mati. Pram, secara literal,
memang sudah mati, dan kematiannya dibutuhkan di dunia nyata ketika orangnya sudah tidak bisa
diwawancara, membela diri, atau mengajak perang argumen Goenawan Muhammad, untuk bisa Commented [2]: Kenapa goen sih bang gue
menulis ulang karyanya menjadi karya banal. Oliver Stone ditolak mentah-mentah oleh Pram karena ke- penasaran wkwk ada sumber tubirnya gak
hollywood-annya. Kalau Pram masih hidup, akankah ia menolak Hanung? Entahlah. Mungkin ia akan
menerima, setelah itu mengajak berantem.

Tapi saya bisa berargumen bahwa Bumi Manusia adalah sebuah novel yang menjadi obsesi Hanung sejak
lama. Di film ‘Perempuan Berkalung Sorban,’ Hanung memakai novel Bumi Manusia sebagai buku sakti si
tokoh utama dalam belajar feminisme. Tokoh Annissa (Revalina S. Temat) melawan patriarki Islam
dengan mencontoh Nyai Ontosoroh di buku tersebut, dan buku itu masuk di shot-shot di film. Di antara
banyak buku-buku feminisme murni yang sudah terbit, Hanung secara sadar memakai Bumi Manusia,
yang kritikus feminis bilang bernada misoginis hanya karena Minke playboy galau. Dengan kata lain,
Hanung secara independen telah membaca buku Bumi Manusia tanpa disuruh-suruh. Sementara itu,
film fenomenal Ayat-ayat Cinta, yang katanya lebih ‘berat’ isinya, adalah sebuah karya pesanan yang Commented [3]: Lebih mudah atau lebih berat, bang?
sebelum diberikan ke Hanung sudah sempat ditawarkan ke sutradara lain (yang saya tidak bisa sebutkan Agak kurang nangkep gitu saya...
namanya, tapi orangnya curhat ke saya dengan bilang ke produser Ayat-ayat Cinta, “Sorry, gue nggak
bisa bikin yang gue nggak percaya”). Melihat Bumi Manusia di Perempuan Berkalung Sorban adalah
bukti betapa ngefansnya Hanung pada novel ini.

Sulit untuk tidak jatuh cinta pada novel ini. Roman ini berlatarbelakang sejarah yang spesifik dan dilihat
dari sudut pandang poskolonialisme Pram. Sebagai orang yang mengaku “tidak pernah melupakan apa
yang pernah ia baca,” Pram jelas menempatkan kritik pada kolonialisme secara gamblang dalam
pemikiran-pemikiran Minke dan Nyai Ontosoroh. Perkebunan tebu, serta opresi terhadap rakyat yang
(di)bodoh(i), serta kaum priayi yang oportunis, bukan hanya menjadi set tapi juga menjadi motor utama
visi dan misi Minke di buku-buku selanjutnya. Sementara kisah cintanya yang gagal dengan Annelies,
perempuan Indo-Belanda yang menjadi fetishnya kaum terjajah, tidak lebih dari pematik dendam
terhadap struktur dan kondisi sosial yang menghalangi percintaan mereka. Ketika Romeo dan Juliet
dihalangi keluarga, Minke-Annelies dihalangi sesuatu yang lebih besar: kapitalisme masa kolonial.
Romantisme gagal ini adalah pematik gerakan sadar politik, koran pribumi pertama dan Serikat Islam,
yang nantinya akan melahirkan SI merah yang menjadi Partai Komunis Indonesia. Apakah ini yang
dibilang lebih ringan dari Ayat-ayat Cinta?

Kontroversi Bumi Manusia adalah imanen di novelnya, dan kontroversi itu harus dibunuh jika film ini
mau produksi dan mau laku. Berbeda dengan kontroversi Ayat-ayat Cinta, karena sekumpulan ibu-ibu
anti-poligami hampir tak mungkin membatalkan produksi film atau menurunkan filmnya dari bioskop.
Namun, ketika ada Lekra, PKI, Marxist, Komunis, Kiri, Sosialis yang menempel pada produksi film Bumi
Manusia, bisa dipastikan film ini takkan bisa diproduksi—terlepas hasilnya baik atau buruk. Tentunya
saya tidak harus menjelaskan kenapa embel-embel tersebut berbahaya untuk pemasaran filmnya.
Dalam konteks ini, secara pragmatis, teknik ‘membanalkan’ Bumi Manusia adalah teknik efektif untuk
memperkenalkan ulang novel tersebut. Karena kalau tidak, penonton yang dulu berduyun-duyun datang
untuk nonton Ayat-ayat Cinta, bisa berduyun-duyun datang lagi untuk menurunkan Bumi Manusia dari
Bioskop.

Dan sulit untuk bilang bahwa Hanung adalah sutradara tak idealis. Terbukti, Perempuan Berkalung
Sorban dan Tanda Tanya adalah film-film dengan wacana kritik terhadap Islam yang cukup keras. Kritik
yang semakin ke sini semakin kelihatan gagal melihat maraknya radikalisme akhir-akhir ini. Akhirnya
produser dan sutradara harus menyembunyikan ideologi dalam produksi filmnya, karena ternyata
mayoritas lebih menyeramkan daripada pemerintah Orba. Pemerintah Orba bisa membatalkan film
sejak dari skrip, tapi massa reformasi ini lebih menakutkan. Membuat film di Indonesia sampai saat ini
memang terbilang sulit. Dari perizinan, Lembaga Sensor Film, sampai kritik masyarakat yang mampu
menurunkan film dari bioskop, jelas membuat pembuat film, khususnya Hanung, jadi takut. Mengutip
Hanung, “Semakin susah (membuat film) karena (peran) lembaga LSF itu kecil. Lembaga yang gede itu
ormas, 'LSF' yang sesungguhnya.”

“Pembanalan ideologis” ini tentunya adalah cuma asumsi saya atas track record Hanung. Dan saya
sudah merasa cukup jahat untuk menerbitkan tulisan ini, karena artinya bisa jadi saya memberikan
kesadaran atau ingatan betapa kontroversialnya novel yang akan jadi film ini. Bisa jadi asumsi mentah
saya ini membuat produksinya jadi dibatalkan (lagi). Tapi, saya rasa asumsi ini harus saya paparkan, Commented [4]: Ga kepedean tuh bang, Iqbal udah
karena tidak ada sutradara lain yang mampu untuk membuat film ini, hari ini, selain Hanung Bramantyo. fitting kostum segala wkwk
Coba, siapa yang bisa sejahat dia untuk melupakan idealisme Pram, perjuangannya untuk mendapatkan
keadilan dan Hak Asasi manusianya? Cuma Hanung, saya rasa, yang sudah punya nama dan setega itu
untuk menghardik orang mati, menanggalkan kritik novel soal budaya priyayi dan kapitalisme kolonial,
dan membodohi anak orang yang menjadi aktornya, supaya tidak baca buku. Kalau bukan Hanung yang
menyutradarai, film ini bisa berakhir seperti Jagal, Senyap, 40 tahun kesunyian, atau minimal Gie-nya
Riri Riza, yang tidak meledak-ledak amat secara komersial. Cuma Hanung yang mungkin untuk membuat
film ini populer, sehingga di masa depan anak-anak alay bisa pake kaos bergambar Iqbaal-Minke,
dengan kutipan-kutipan cinta Pramoedya. Minke akan jadi sebanal Che Guevara atau Marx di kaos-kaos
obral. Mantab.

Mari kita berdoa saja, semoga Hanung bisa tidur nyenyak di malam hari, apalagi jika filmnya sudah
selesai syuting dan jadi film seperti promosi Hanung: film yang bebas politik. Karena Pram, meskipun
sudah meninggal, tapi ia bisa menghantui. Kenyataan bahwa masyarakat belum bisa menerima ide-
idenya seutuhnya harus diterima dan dilawan, dan bukannya dinegosiasi dengan membanalkannya.
Hanung harus hati-hati karena Pram bukan orang yang mudah memaafkan, ia benar-benar bisa bangkit
dari kubur kalau karyanya dizalimi. Pram masih hidup di pikiran para pembacanya, yang tahu pasti
bahwa sampai mati, keadilan terhadap salah satu penulis Indonesia yang pernah mendapat nominasi
nobel itu tak pernah terwujud. Tak percaya? Ya sudah, biar Pram sendiri yang ngomong: Commented [5]: Kasih sumber dong :”)

“Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-
buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak
saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya
di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan
yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya
tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya
tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara
dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini.”

Lalu kau ingin kasih apa, Hanung?

Anda mungkin juga menyukai