Anda di halaman 1dari 34

World Trade Organization (WTO)

World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya organisasi internasional yang mengatur


perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian
yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan diratifikasi melalui parlemen.
Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan
importir dalam melakukan kegiatannya.
 
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta
perundingan sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT). WTO saat ini terdiri
dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan
terpisah. Saat ini, WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha Development
Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.
 
Pengambilan keputusan di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.
Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali.
Di antara KT, kegiatan-kegiatan pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General Council. Di bawahnya
terdapat badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas untuk
melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh negara anggota.
 
Prinsip pembentukan dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan
jaminan atas "Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan non-diskriminasi oleh dan di antara
negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional
terhadap perdagangan internasional dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai,
dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan
kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan,
keterbukaan pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai dan yang dapat
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi setiap negara anggota.
 
Terkait dengan DDA, KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran
perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata
perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan
perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas
mencakup isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access—NAMA),
perdagangan bidang jasa, dan Rules.
 
Dalam perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan tarif produk
pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses perundingan. Bagi sebagian besar negara
berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security,
livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara maju, pemberian subsidi domestik
mempunyai dimensi politis yang penting dalam kebijakan pertanian mereka.
 
Proses perundingan DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di antara
negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA. Setelah mengalami sejumlah
kegagalan hingga dilakukan "suspension" pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh
dilaksanakan kembali awal Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri dengan
harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan isu-isu single-
undertaking seperti isu perdagangan bidang jasa, kekayaan intelektual, pembangunan, dan penyelesaian
sengketa. Namun perundingan Juli 2008 juga mengalami kegagalan.
 
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan tingkat
perunding, Pejabat Tinggi, dan Tingkat Menteri; baik dalam format terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun
multilateral. Namun semua upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak
utama yang terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.
 
Target Program Kerja WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating
Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas yang akan menjadi dasar
kesepakatan single undertaking Putaran Doha pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas
keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada bulan Juli 2011; dan pada akhirnya
seluruh jadwaldan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun
target tersebut tampaknya sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja
yang ada.
 
Pada bulan Desember 2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM
menyepakati elemen-elemen arahan politis (political guidance) yang akan menentukan program kerja WTO
dan Putaran Doha (Doha Development Agenda)dua tahun ke depan. Arahan politis yang disepakati bersama
tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii)
penguatan aktivitas WTO dalam isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan
penyelesaian perundingan Putaran Doha. 

Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya
dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO telah
menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup
isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanian—merupakan sebagian dari isu
perundingan DDA.
 
Disepakatinya Paket Bali merupakan suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun
1995, baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk barang antar negara di pelabuhan
dengan melakukan reformasi pada mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk
keluar barang yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri.
 
Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security.
Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan
subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute
Settlement Body WTO.
 
Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral yang menangani
kegiatan perdagangan internasional, sekaligus memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota
WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post
Bali Work, di mana negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian DDA di
tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan
LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.
 
Indonesia di WTO
 
Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk
memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain
G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam
kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan
pencapaiandevelopment objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi
kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan
pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.

 
Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan
mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior
Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri; baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa. Hal ini
bertujuan demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi
petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki
pengaruh besar dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.
 
Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draf modalitas pertanian dan NAMA)
merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini,
adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan
mengubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.
 
Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha
berdasarkan tingkat ambisi danbalance yang ada saat ini. Selanjutnya, diharapkan negara-negara anggota ini
membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk
meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008.
 
Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan
Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan
prinsip single undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs.  (Terakhir
dimutakhirkan: 8 Januari 2014)
I.          Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)

Keanggotaan APEC

Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) adalah forum kerja sama antar 21


Ekonomi di lingkar Samudera Pasifik yang berdiri tahun 1989. Saat ini terdapat
21 Ekonomi yang menjadi anggota APEC, yaitu Australia, Brunei Darussalam,
Canada, Chile, China, Hong Kong-China, Indonesia, Japan, South Korea,
Malaysia, Mexico, New Zealand, the Philippines, Peru, PNG, Russia, Singapore,
Chinese Taipei, Thailand, the United States, dan Viet Nam. Kerja sama di APEC
merupakan kerja sama non-politis, ditandai dengan keanggotaan Hong Kong-
China dan Chinese Taipei. Anggota APEC disebut “Ekonomi” mengingat setiap
anggota saling berinteraksi sebagai entitas ekonomi, dan bukan sebagai negara.

APEC memiliki tiga pengamat (observer), yaitu ASEAN Secretariat, Pacific


Economic Cooperation Council (PECC), dan Pacific Islands Forum (PIF)
Secretariat.

Prinsip Kerja Sama APEC


Kerja sama di APEC dibangun berdasarkan beberapa prinsip yaitu:
1. Consensus, yang berarti bahwa semua keputusan di APEC harus
disepakati oleh dan bermanfaat bagi 21 Ekonomi Anggota.
2. Voluntary and non-binding yang berarti semua kesepakatan dalam forum
APEC dilakukan secara sukarela dan tidak mengikat.
3. Concerted unilateralism,  yang berarti pelaksanaan keputusan dilakukan
secara bersama-sama sesuai dengan kemampuan tiap Ekonomi, tanpa
syarat resiprositas.
4. Differentiated time frame yaitu bahwa setiap Ekonomi maju diharapkan
melakukan liberalisasi terlebih dahulu

Prinsip-prinsip tersebut terbukti telah membuat anggota APEC melaksanakan


komitmen secara lebih efektif. Fleksibilitas yang diberikan memberikan ruang
kepada anggota APEC yang beragam kapasitasnya, untuk berimprovisasi,
melakukan uji coba, dan mengembangkan pelatihan bersama secara bertahap
hingga memenuhi kesepakatan yang diinginkan.

Tujuan utama APEC

Tujuan utama APEC adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan


kesejahteraan di Asia Pasifik. Hal ini dilakukan dengan mendorong dan
memfasilitasi perdagangan dan investasi yang lebih bebas dan terbuka di
kawasan, serta meningkatkan kerja sama pengembangan kapasitas Ekonomi
anggota. Untuk itu, telah ditetapkan suatu target “the Bogor Goals”, sebagai
hasil kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Bogor pada tahun 1994
dengan komitmen sebagai berikut:
“… with the industrialized economies achieving the goal of free and open trade
and investment no later than the year 2010 and developing economies no later
than the year 2020.”

Pilar Kerja Sama APEC


Untuk mencapai “Bogor Goals”, kerjasama APEC didasarkan pada tiga pilar,
yaitu:

1. Perdagangan dan Investasi yang lebih terbuka


Perdagangan dan investasi yang lebih terbuka, diharapkan akan menurunkan
dan, dalam jangka panjang, menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif bagi
perdagangan dan investasi, membuka pasar (khususnya bagi produk-produk
Indonesia), meningkatkan perdagangan dan investasi antar Ekonomi anggota
APEC, mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Ekonomi anggota APEC,
serta meningkatkan standar hidup diseluruh kawasan Asia Pasifik.

2. Fasilitasi Perdagangan dan Investasi


Fasilitasi perdagangan dan investasi difokuskan pada pengurangan biaya
transaksi, peningkatan akses terhadap informasi perdagangan, kemudahan
administrasi pelabuhan, serta penyelarasan kebijakan. Upaya ini juga didukung
oleh masing-masing Ekonomi anggota APEC dengan menjalankan reformasi
struktural di dalam negeri. Seluruh upaya dimaksud bertujuan untuk mengurangi
besarnya biaya produksi sehingga dapat meningkatkan perdagangan,
menurunkan harga barang dan jasa, serta meningkatkan kesempatan kerja
sebagai akibat efisiennya ekonomi.

3. Kerjasama Ekonomi dan Teknik (ECOTECH)


ECOTECH difokuskan pada penyediaan pelatihan dan kerjasama di bidang
pembangunan kapasitas guna membantu Ekonomi anggota APEC mengambil
manfaat dari perdagangan global dan untuk mengembangkan kapasitas
institusional dan personil sesuai dengan potensi Ekonomi masing-masing.
Diharapkan upaya tersebut dapat mengatasi tantangan-tantangan baru di bidang
ekonomi antara lain, kesenjangan digital, terorisme, ketahanan pangan, bencana
alam, serta penyakit menular.

Siklus Pertemuan di APEC

Mekanisme kerja APEC bermuara pada para Pemimpin Ekonomi APEC yang
melakukan pertemuan setahun sekali dalam APEC Economic Leaders’
Meeting (AELM). Sebelumnya, para Menteri Luar Negeri dan Menteri
Perdagangan APEC menghadiri pertemuan bersama dalam APEC Ministerial
Meeting (AMM). Hasil kesepakatan para Pemimpin Ekonomi dan Menteri APEC
tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh para Pejabat Tinggi ( Senior Officials)
APEC yang bertemu lazimnya 3 (tiga) kali dalam setahun. Pada tingkatan teknis,
hasil-hasil pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) akan dilaksanakan oleh
Komite, Working Groups, Fora dan Subfora.

Seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu perdagangan dan investasi di


kawasan, kerja sama sektoral di APEC juga semakin luas dan kompleks. Tidak
kurang dari 34 kelompok kerja, fora dan subfora yang menyelenggarakan
pertemuan secara rutin. Dalam periode keketuaan dan ketuanrumahan Indonesia
di APEC pada tahun 2013, telah diselenggarkan sebanyak 182 pertemuan untuk
berbagai tingkatan.

Kementerian/Lembaga focal point APEC di Indonesia


Koordinator nasional Indonesia untuk APEC berada di bawah tanggung jawab
Kementerian Luar Negeri. Selain itu, guna mendukung partisipasi aktif Indonesia
di berbagai fora dan subfora APEC dimaksud, berbagai Kementerian/Lembaga
nasional terlibat aktif dan berkontribusi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing, seperti Kementerian Perdagangan di Committee on Trade and
Investment (CTI), Kementerian Koordinator bidang Perekonomian di Economic
Committee (EC), dan Kementerian PPN/Bappenas diSOM Steering Committee on
Economic and Technical Cooperation (SCE).

Peran Sektor Swasta di APEC


Sektor swasta, melalui APEC Business Advisory Council (ABAC), juga
memegang peran penting di APEC. Setiap Pemimpin Ekonomi APEC menunjuk
dan mengirimkan tiga orang pengusaha terkemuka sebagai anggota ABAC, guna
menyuarakan kepentingan dunia usaha di masing-masing Ekonomi. Ketua ABAC
Indonesia saat ini adalah Wishnu Wardhana dengan anggota Anindya Bakrie dan
Karen Agustiawan, dengan anggota pengganti adalah Gatot Suwondo, Arief
Yahya, dan Erwin Aksa.

Peranan APEC bagi Indonesia dan Kawasan

1. Manfaat APEC bagi Indonesia:


 Sarana untuk membangun kepercayaan dan hubungan yang saling
menguntungkan dengan Negara/Ekonomi mitra strategis Indonesia di
kawasan.
 Sarana untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing Indonesia, melalui
proyek-proyek pelatihan teknis dan capacity buildingserta sharing of best
practices.
 Sarana untuk memastikan bahwa pasar Asia-Pasifik tetap terbuka bagi
produk ekspor unggulan Indonesia. Terjadi peningkatan total perdagangan
Indonesia dengan Ekonomi APEC lainnya, yaitu sebesar US$ 276,589.1
Milyar pada tahun 2013 dibandingkan US$ 29,9 Milyar pada tahun
19891 pada saat Indonesia turut mendirikan APEC
 Sarana peningkatan investasi. Pada tahun 2012 tercatat total investasi
portofolio yang masuk ke Indonesia dari anggota APEC lainnya adalah
sebesar US$ 245,200.5 Milyar dibandingkan US$ 45,7. Milyar pada tahun
2001.

1. Manfaat APEC bagi Kawasan:


 Turut menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi di kawasan melalui
pertukaran informasi kebijakan. Sebagaimana tercantum dalam laporan
World Bank 2013: kawasan Asia Pasifik tetap merupakan lokomotif
pertumbuhan ekonomi global di tengah ketidakpastian ekonomi dunia
akibat krisis Eropa, hal ini terlihat dari estimasi tingkat pertumbuhan di
APEC yang lebih tinggi dari dunia:
o APEC: 4,2% (2013); 4,7% (2014)
o Dunia: 3,1% (2013); 3,8% (2014)
 Menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan perdagangan kawasan:
o Tarif rata-rata turun dari 16,9% tahun 1989 menjadi 6,6% tahun
2008, dan 5,8% tahun 2010 serta turun tipis menjadi 5.7% pada
tahun 2012.
 Sarana pembahasan isu-isu behind the border dan across the
border terkait perdagangan dan investasi, maupun isu-isu yang kerap
menjadi ancaman perekonomian seperti kesiaptanggapan bencana,
ancaman terorisme,
 Mendorong paradigma pertumbuhan yang berkualitas melalui five growth
strategy: balance, inclusive, sustainable, innovative, dan secure.
 Mempermudah dan memfasilitasi dunia usaha antara lain melalui
skema APEC Business Travel Card  (ABTC).

APEC Indonesia 2013

Pada tahun 2013, Indonesia kembali menjadi ketua dan tuan rumah KTT ke-21
APEC, setelah sebelumnya menjadi ketua di tahun 1994. Tema APEC Indonesia
2013 adalah “Resilient Asia-Pacific, Engine of Global Growth.” Kepemimpinan
Indonesia telah dimanfaatkan untuk mewujudkan kawasan Asia Pasifik yang
lebih tangguh, berketahanan, dan cepat pulih di tengah krisis ekonomi, sehingga
dapat berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.

Guna mendukung pencapaian tema tersebut, Indonesia mengusung tiga prioritas


utama, yaitu
1. mendorong upaya pencapaian Bogor Goals (Attaining the Bogor Goals) dan
penguatan integrasi ekonomi regional, melalui kerjasama perdagangan
dan investasi, dan dukungan pada sistem perdagangan multilateral.
2. mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang merata (Achieving
Sustainable Growth with Equity), termasuk didalamnya penguatan peran
UMKM dan wanita dalam perekonomian, membahas masalah ketahanan
pangan, serta mengarusutamakan isu-isu kelautan di APEC.
3. serta meningkatkan konektivitas kawasan (Promoting Connectivity),
khususnya penguatan infrastruktur fisik, institusional, dan hubungan antar
perseorangan di kawasan, diantaranya melalui peningkatan kerja sama
pengembangan dan investasi infrastruktur, kerja sama lintas batas sektor
pendidikan, kerja sama fasilitasi tanggap darurat bencana alam, serta
kerja sama fasilitasi pariwisata di kawasan Asia Pasifik.

APEC China 2014 dan Peran Indonesia

APEC China 2014, dengan tema “Shaping the Future thorough Asia Pacific
Partnership”, telah mengusung tiga prioritas utama, yaitu i)advancing regional
economic integration; ii) promoting innovative development, economic reform
and growth; dan iii) strengthening comprehensive connectivity and
infrastructure development.

Melalui forum APEC CEO Summit, ABAC Dialogue with Leaders dan Indonesia-
Tiongkok, Presiden RI telah menyampaikan program kerja pemerintah untuk lima
tahun ke depan khususnya dalam pengembangan infrastruktur, konektivitas dan
industri dalam negeri dan mengundang para pengusaha untuk berpartisipasi
pada pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Hasil KTT APEC 2014 tersebut juga memuat beberapa inisiatif Indonesia yang
perlu terus ditindklanjuti di tahun mendatang, seperti:

a. APEC Connectivity Blueprint, yaitu kelanjutan inisiatif Indonesia pada


APEC 2013 di Bali, yang memastikan bahwa kerja sama konektivitas dan
infrastruktur menjadi visi APEC hingga 2025. Dalam kaitan ini, APEC
bermanfaat dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan
infrastruktur dan konektivitas Indonesia. 
b. Dukungan tenaga ahli APEC pada pendirian Pusat Kemitraan Pemerintah-
Swasta (PPP Center) di Kementerian Keuangan RI agar berstandar
internasional dan penyusunan suatu Guidebook on PPP Framework inisiatif
Indonesia, yang mengidentifikasi praktek-praktek Kemitraan Pemerintah-
Swasta yang baik di kawasan.
c. Upaya Indonesia untuk mendorong peningkatan kerja sama kelautan yang
komprehensif dan penunjukan Indonesia selaku koordinator isu kelautan di
APEC. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong kerja sama
kelautan di APEC agar selaras dengan gagasan “Poros Maritim”.
d. Upaya Indonesia untuk melanjutkan studi tentang “development
products”, yang bertujuan memperjuangkan komoditas seperti minyak
sawit, karet alam, kertas, rotan, dan produk perikanan yang kerap
melibatkan petani kecil dan dapat mendukung pembangunan pedesaan.
Upaya ini diharapkan dapat membuka peluang dan menghilangkan
hambatan perdagangan bagi komoditas unggulan tersebut, termasuk
keringanan tarif. 
e. Melanjutkan gagasan Indonesia untuk meningkatkan sinergi antara APEC dengan berbagai
organisasi/forum regional dan internasional, sehingga berbagai tantangan yang menghambat
pertumbuhan perekonomian di kawasan dapat dihadapi oleh berbagai forum sekaligus. Terdapat 3
cara yang diusulkan yaitu dengan mendorong penyelesaian suatu masalah secara komprehensif,
membentuk kerja sama antar organisasi/forum, dan memperkuat arsitektur kerja sama
perdagangan dan investasi di kawasan.
1 http://statistics.apec.org/index.php/bilateral_linkage/bld_result/28

II.         South West Pacific Dialogue (SwPD)

Posisi geografis Indonesia pada titik persinggungan antara kawasan Asia dan
Pasifik secara alamiah menjadikan Indonesia sebagai jembatan atau
penghubung antara kedua wilayah ini. Posisi strategis ini membawa konsekuensi
hadirnya tanggung jawab Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif dalam
upaya-upaya menjaga dan mempertahankan stabilitas kawasan. Dengan
kerangka berfikir demikian, dalam kebijakan luar negeri Indonesia, negara-
negara Pasifik menjadi salah satu prioritas utama politik regionalisme Indonesia
dewasa ini disamping ASEAN. Wujud nyata dari sikap aktif Indonesia di kawasan
Pasifik tercermin melalui partisipasi aktif Indonesia selaku penggagas
pembentukan SwPD pada tahun 2002 maupun sebagai mitra wicara Pacific
Islands Forum sejak tahun 2001 dan sebagai negara peninjau pada Melanesian
Spearhead Group (MSG) sejak tahun 2011.
 

Keberadaan SwPD diharapkan dapat bersinergi dengan kepentingan nasional


Indonesia dan kepentingan kawasan secara keseluruhan. Sejak dibentuk pada 5
Oktober 2002, forum SwPD telah menjadi forum penting bagi kawasan Pasifik
Barat Daya terutama dalam memfasilitasi dialog di antara para menteri luar
negeri Australia, Indonesia, Filipina, Selandia Baru, Papua Nugini dan Timor
Leste guna membahas isu-isu yang menjadi kepentingan kawasan. Forum ini
telah mendorong diskusi mengenai pemahaman tentang terorisme, demokrasi,
isu-isu maritim, dan konektivitas.

 
Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) SwPD diadakan setahun sekali dengan tuan
rumah bergiliran. Pada awalnya, tempat sidang adalah antara salah satu kota di
negara anggota ataupun di New York di sela-sela Sidang Umum PBB. Sejak tahun
2004, PTM SwPD selalu diselenggarakan di sela-sela Sidang ASEAN Ministerial
Meeting / Post Ministerial Conference dan ASEAN Regional Forum (AMM/PMC
dan ARF).

PTM SwPD telah diselenggarakan sebanyak 10 kali, yaitu: di Jogjakarta


(host: Indonesia), 5 Oktober 2002; di New York ( host : New Zealand), 27
September 2003; di Adelaide (host: Australia), 3 Desember 2004; di Kuala
Lumpur (host: Indonesia), 26 Juli 2006; di Manila ( host: Filipina), 31 Juli 2007; di
Singapura (host: Timor Leste), 22 Juli 2008; di Phuket ( host:  PNG), 21 Juli 2009;
di Hanoi (host : New Zealand), 23 Juli 2010; di Bali (host: Australia), 21 Juli
2011; di Phnom Penh (host: Indonesia), 11 Juli 2012.

Di sub-kawasan SwPD, kesenjangan konektivitas antara negara-negara anggota


SwPD masih sangat terasa. Sebagai contoh, Australia dan Selandia Baru
memiliki konektivitas yang sangat baik, sedangkan konektivitas Indonesia-
Filipina, Indonesia-PNG dan Indonesia-Timor Leste masih perlu dikembangkan.
Oleh karena itu, Indonesia berpandangan bahwa pemerintah negara-negara
anggota SwPD perlu mengembangkan kerja sama guna menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi partisipasi sektor swasta dalam pengembangan konektivitas
antara negara-negara anggota SwPD. Kerja sama tersebut dapat dilakukan
melalui kerangka kerja sama bilateral maupun trilateral.

Selain konektivitas fisik, people-to-people contact juga tidak kalah penting untuk
dikembangkan. Dalam kaitan ini, kerja sama people-to-people contact  yang
secara rutin telah ditawarkan oleh Indonesia kepada negara - negara
SwPD antara lain:

1.      Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (the Indonesian Art and Culture


Scholarship)
2.      Journalist Visit Program
3.      Beasiswa Dharmasiswa dan Beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (the
Dharmasiswa and the Developing Countries Partnership Scholarship)
4. Diplomatic Training Course for Diplomats
      

5.      Kerjasama Teknik Negara Berkembang (the Indonesian Technical


Cooperation among Developing Countries Programme)
 

Melalui kegiatan Cultural and Educational Cooperation  dan juga Interfaith


Dialogue, Indonesia mencoba untuk melakukan Confidence Building
Measure (CBM)  dengan kalangan masyarakat negara-negara anggota SwPD.
 

Pada PTM SwPD ke-10 di Phnom Penh, Kamboja, para Menlu sepakat untuk
mengadakan Pertemuan Tingkat Menteri Ke-11 SwPD dengan Filipina bertindak
selaku tuan rumah, di sela-sela
penyelenggaraan 46th  AMM/PMC  dan  20th  ARF  di Brunei Darussalam pada
bulan Juli 2013.

 III.        Melanesian Spearhead Group (MSG)

Melanesian Spearhead Group (MSG) merupakan organisasi yang beranggotakan


negara-negara berpenduduk etnik Melanesia yaitu Fiji, Papua Nugini, Solomn
Islands, Vanuatu, dan perwakilan etnik Kanaky Kaledonia Baru Front de
liberation nationale kanak et socialiste  (FLNKS). MSG pada awalnya adalah
sebuah solidaritas negara-negara berpenduduk etnik Melanesia yang dibentuk
pada tanggal 14 Maret 1988 melalui Agreed Principles of Cooperation Among
Independent States of Melanesia.
 
Pada tanggal 7 Juni 1996 ditandatangani sebuah dokumen yang berjudul sama
yaitu “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of
Melanesia”, Kiriwana, Trobriand Island, yang isinya menyepakati kerja sama
untuk memajukan perekonomian negara anggota.

Keputusan untuk menjadikan MSG sebagai sebuah organisasi sub-regional


ditetapkan dalam sebuah perjanjian yang berjudul “Agreement Establishing the
Melanesian Spearhead Group” yang draftnya telah diselesaikan pada bulan Maret
2007. Dalam Agreement tersebut disepakati untuk menyertakan FLNKS dari
Kaledonia Baru sebagai anggota dengan reservasi terhadap pasal 10, 11, dan 12
sesuai dengan pasal 19 ayat 5 Agreement tersebut yang mengatur anggota
berstatus sebagai organisasi/wilayah yang bukan negara merdeka.

Dalam KTT ke-16 di Goroka, Papua Nugini, 19 Agustus 2005 disepakati


pembentukan Sekretariat MSG yang berkedudukan di Port Vila. Pada tanggal 14-
15 April 2008 diselenggarakan rangkaian pertemuan MSG yang berpuncak pada
KTT ke-17 di Port Vila, Vanuatu, sekaligus peresmian Sekretariat organisasi
tersebut.

Pada KTT MSG ke-18 di Fiji, Indonesia diterima sebagai Observer. Dengan


menjadi observer dalam MSG, Indonesia akan dapat bekerja sama lebih erat dan
memberikan kontribusinya kepada negara-negara anggota MSG baik dalam
bentuk kerja sama eknomi dan teknik, termasuk program capacity
building  maupun bantuan teknis lainnya. Indonesia juga berkomitmen untuk
memberikan kontribusi  terhadap pengembangan MSG Regional Police
Academy.
 

Pada bulan Maret 2012 telah diadakan KTT Khusus MSG guna membahas isu-isu
ekonomi, perdagangan, sosial-budaya dan perubahan iklim. Delegasi Indonesia
pada pertemuan ini dipimpin oleh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi
Publik yang menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus mengembangkan
kerja sama dengan negara-negara anggota MSG.

KTT MSG tahun 2013 diadakan di Noumea, Kaledonia Baru pada tanggal 20-21
Juni 2013.

 IV.       Pacific Island Forum (PIF)

Pacific Islands Forum (PIF) merupakan organisasi utama di kawasan Pasifik


yang didirikan pada tahun 1971 dengan nama South Pacific Forum (SPF).
Negara anggota PIF meliputi 16 negara yaitu: Australia, Cook Islands, Federated
States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Niue, Palau, Papua
Nugini, Samoa, Selandia Baru, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Vanuatu.

Disamping anggota tetap, PIF memiliki dua associate members  yaitu Kaledonia


Baru dan French Polynesia. PIF juga memiliki 13 mitra dialog, yaitu: Amerika
Serikat, China, Filipina, India, Indonesia, Inggris, Jepang, Kanada, Korea,
Malaysia, Perancis, Thailand, dan Uni Eropa. Indonesia menjadi mitra wicara PIF
sejak tahun 2001.

Sejak tahun 1989 Post Forum Dialogue (PFD) merupakan Pertemuan rutin PIF


dengan negara-negara mitra dialog dan organisasi-organisasi terpilih yang
dilakukan setelah Pertemuan para pemimpin PIF. Sejak bergabungnya Indonesia
sebagai negara mitra wicaraPIF, Indonesia tidak pernah absen dalam Pertemuan
PFD-PIF.

Partisipasi Indonesia sebagai   mitra wicara PIF tidak terlepas dari arti penting
kawasan tersebut bagi Indonesia. Adapun elemen penting dalam hubungan
Indonesia dengan kawasan Pasifik antara lain adalah:

 Indonesia memperkuat hubungan baik dengan seluruh negara tetangga,


termasuk di kawasan Pasifik. Hubungan timbal balik antara Indonesia
dengan negara-negara Pasifik diyakini dapat menciptakan kestabilan dan
produktivitas kerja sama.
 Hubungan Indonesia dengan negara-negara Pasifik bersifat
multidimensi. Selain mengembangkan kerja sama bilateral, Indonesia juga
membangun kerja sama dalam kerangka regional diantaranya dalam
kerangka PIF.
 Hubungan Indonesia dengan negara-negara Pasifik dikembangkan
berdasarkan isu-isu yang menjadi perhatian bersama. Secara geografis,
sebagian wilayah Indonesia adalah bagian dari kawasan Pasifik. Indonesia
juga memiliki tantangan yang sama dengan kawasan Pasifik diantaranya
masalah konektivitas dan penanggulangan bencana.

Sebagai bentuk kontribusi Indonesia selaku negara mitra dialog, Indonesia


berkomitmen untuk memberikan program kerja sama teknik dan bantuan teknik
lainnya  kepada negara-negara anggota PIF baik dalam kerangka kerjasama
bilateral maupun regional. Dalam kaitan ini, Indonesia telah mengundang dan
mengikutsertakan negara-negara di kawasan Pasifik dalam berbagai lokakarya
dan pelatihan yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga mengundang pejabat negara-negara anggota PIF untuk
berpartisipasi dalam Bandung Spirit Program  (BSP) yang diadakan setiap 2
(dua) tahun di Indonesia. Untuk tahun 2013, BSP diikuti oleh sembilan pejabat
dari Cook Islands, Fiji, Marshall Islands, Papua Nugini, dan Solomon Islands. Para
peserta BSP diantaranya berkunjung ke Ternate, Propinsi Maluku Utara, yang
memiliki karakteristik alam dan geografis yang hampir sama dengan negara-
negara Pasifik.

Pertemuan terakhir PIF yaitu yang ke-43 telah diselenggarakan pada tanggal 27-
31 Agustus 2012 di Rarotonga, Cook Islands, dihadiri oleh seluruh negara
anggota PIF, kecuali Fiji yang keanggotaannya tengah dibekukan. PIF ke-43 ini
bertemakan  “Large Oceans Islands States – the Pacific Challenges ” yang
bertujuan menjaga keseimbangan antara pengembangan dan konservasi sumber-
sumber kelautan. Adapun isu-isu utama yang menjadi pembahasan dalam
Pertemuan tersebut diantaranya adalah perikanan, konservasi laut, perubahan
iklim, kesetaraan gender dan kerjasama internasional.

Pertemuan PFD Ke-24 sebagai bagian dari rangkaian pertemuan PIF ke-43
membahas 2 isu tematik yang menjadi perhatian negara kawasan Pasifik, yaitu:
(i) Large Ocean Island States: Pacific Challenges yang memfokuskan pada
perikanan, konservasi laut dan eksplorasi laut dalam; (ii) Enhancing
Development Cooperation yang memfokuskan pada upaya penguatan sistem
nasional melalui kerjasama dengan negara-negara mitra.

 
Bagi Indonesia, tema kelautan dalam PIF tahun 2012 tersebut sejalan dengan
konsep blue economy yang menjadi bagian dari kebijakan industrialisasi
kelautan dan perikanan Indonesia. Sektor kelautan ini dapat memberikan
peluang dalam meningkatkan kerjasama ekonomi, people to people
contacts dan kerjasama teknis antara Indonesia dengan negara-negara Pasifik.
 

Pertemuan Tingkat Menteri PFD-PIF ke-25 diadakan  di Marshall Islands pada


tanggal 6 September 2013.

V.        Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR – ARC)

Latar Belakang

Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation  (IOR-ARC) adalah salah
satu organisasi regional dikawasan Samudera Hindia. IOR-ARC dibentuk pada
bulan Maret 1997 di Mauritius dan beranggotakan  20 negara (Uni Commoros
ditetapkan menjadi anggota ke-20 pada Pertemuan Tingkat Menteri IOR-ARC ke-
12, November 2012 di India)  yang terletak di kawasan yang strategis bagi rute
perdagangan dan jalur ekonomi yang menghubungkan Samudera Pasifik dan
Atlantik. Indonesia memiliki kepentingan dikawasan ini karena kawasan ini
merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Atlantik.
IOR--ARC diharapkan dapat mendorong kerja sama ekonomi, perdagangan dan
investasi serta meningkatkan people-to-people contact antara negara-
negara diSamudera Hindia yang menjadi anggota IOR-ARC.

IOR-ARC bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi dalam


kawasan. Adapun kerja sama IOR ARC digerakkan melalui tiga jalur, yaitu jalur
pemerintah, jalur akademisi, dan jalur bisnis. Adapun kerangka kerja sama IOR
ARC dikembangkan melalui tigaWorking Group yaitu:

a.    Akademisi melalui forum IOR-Academic Group (IORAG),

b.    Pengusaha melalui IOR-Business Forum (IOR-BF) dan

c.    Jalur kegiatan perdagangan dan investasi melalui Working Group on


Trade and Investment  (WGTI).
 

Setiap negara anggota memiliki focal point pada masing-masing pilar kerja


sama guna mendorong kerja sama efektif di masing-masing pilar serta
mastikan bahwa berbagai pandangan dan kepentingan tercermin sepenuhnya
dalam program kerja organisasi IOR-ARC. Sementara itu, mekanisme
kelembagaan kerjasama dilakukan melalui pertemuan Council of Ministers
(COM) yang diselenggarakan setahun sekali dan Committee of Senior
Officials (CSO) yang diselenggarakan dua kali dalam satu tahun.
 

Peranan Indonesia dalam IOR-ARC

Indonesia merupakan anggota IOR ARC yang cukup aktif. Sejak


pertemuan Council Of Ministers (COM) ke-8, Mei 2008 di Teheran, Indonesia
terlibat secara langsung dalam beberapa proyek IOR-ARC, antara lain
mengusulkan penyelenggaraan Training on Micro-Finance, penawaran Program
Beasiswa Kerjasama Negara Berkembang (KNB) dan Program Dharmasiswa
untuk program Non-Gelar.Selain itu, Indonesia juga berkesempatan untuk
melakukan sharing of knowledge  terkait strategic actions  Indonesia dalam
menangani flu burung di tanah air.

Selama tahun 2010 Indonesia telah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan di


kerangka kerjasama IOR-ARC yaitu: (1) Iran Biotech 2010, 13-15 April 2010,  di
Iran; (2) Specialized Training Course for Foreign Diplomats for IOR-ARC Member
States,  28 April - 11 May 2010; (3) Regional Experts Meeting on Herbal
Medicine Processing IOR-ARC, Tehran, 19-21 Mei 2010. Sebagai tindak lanjut
pertemuan tersebut akan dibentuk Indian Ocean Rim Traditional Medicine
Network (IORTMNET) dan India telah bersedia untuk menjadi tuan rumah
pertemuan yang sama pada tahun 2012.

Selain itu Indonesia juga terlibat aktif dalam beberapa Sub Committee yang


membahas isu-isu khusus antara lain : (1) AnggotaGoverning
Committee untuk Special  Fund sejak tahun 2008-2010; (2) Anggota Sub
Committee untuk pembahasan restrukturisasiIndian Ocean Rim Academic
Group (IORAG) yang digagas oleh Oman; (3) Anggota Sub Committee untuk
pembahasan amandemen statuta University Mobility in Indian Ocean
Region (UMIOR) .
 

Perkembangan Terbaru

Dalam pertemuan Council of Ministers   ke-11 tahun 2011 di Bangalore,  IOR-


ARC telah menetapkan enam bidang prioritas yaitu: (i) Keamanan dan
Keselamatan Maritim, (ii) Fasilitasi Perdagangan dan Investasi, (iii) Manajemen
Perikanan,  (iv)  Pengurangan Resiko Bencana, (v) Kerja sama Akademis dan
Ilmu Pengetahuan dan (vi) Teknologi, serta Promosi Pariwisata dan Pertukaran
Budaya. Keenam bidang prioritas tersebut sejalan dengan prioritas Indonesia
terutama di bidang kerja sama maritim, pariwisata dan pertukaran budaya.
Indonesia memiliki kepentingan untuk mengembangkan wilayah laut Indonesia
tidak hanya sebagai jalur perdagangan yang potensial tetapi juga potensi
pemanfaatan sumber daya laut di bidang IPTEK dan pariwisata.

Pada pertemuan Council of Ministers (COM) ke-12 pada tanggal 2 November


2012, di Gurgaon, India, Indonesia telah ditetapkan menjadi Wakil Ketua untuk
periode 2013-2015 dan kemudian sebagai Ketua untuk periode 2015-2017. Untuk
itu, Indonesia akan menjadi host  penyelengaraan rangkaian Pertemuan Tingkat
Menteri (PTM) IOR-ARC yang umumnya terdiri dari pertemuan 3 subfora/ Working
Groups di tingkat teknisIORAG, IORBF dan WGTI, dilanjutkan dengan tingkat
SOM (CSO) dan PTM (COM).

Salah satu hasil pada pertemuan ini adalah mengenai perubahan nama
organisasi dari IOR-ARC  menjadi Indian Ocean Rim Association(IORA) dan
masuknya Uni Commoros menjadi anggota ke-20 dan Amerika Serikat menjadi
mitra dialog ke-6.

VI.       Uni Afrika

Uni Afrika beranggotakan 54 negara-negara di benua Afrika dan merupakan


organisasi regional yang menjadi wadah kerjasama dan menyatukan seluruh
negara di benua Afrika. Didirikan pada 9 September 1999 dan bermarkas besar di
Addis Ababa, Ethiopia, Uni Afrika merupakan suatu kemajuan besar bagi
hubungan dan kerjasama antara negara-negara di benua Afrika.

Tujuan utama didirikannya Uni Afrika adalah untuk menghapuskan sisa-sisa


pengaruh penjajahan dan sistem apartheid, meningkatkan persatuan dan
solidaritas diantara negara-negara Afrika, membentuk mekanisme koordinasi
guna menunjang peningkatan kerjasama diantara negara-negara di Afrika,
melindungi dan mempertahankan kedaulatan dan integritas territorial dari
negara anggota dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam
kerangka PBB.

Melalui keanggotaannya di Uni Afrika, negara-negara di Afrika mampu


mengkoordinasikan kepentingan dan posisi mereka terkait dengan isu-isu yang
menjadi kepentingan bersama di forum internasional. Dengan kata lain, melalui
semangat regionalisme yang ditunjukkan oleh negara-negara Afrika dari
keanggotaannya pada Uni Afrika bukan hanya telah menciptakan suatu
mekanisme kerjasama yang efektif di kawasan sekaligus sebagai building
block yang cukup efektif dalam menyatukan visi dan misi dalam
memperjuangkan kepentingan bersama Afrika, utamanya pada forum
internasional.

Memahami perkembangan di Afrika tersebut, pada Januari 2012 Indonesia telah


menjadi salah satu negara observer pada Uni Afrika dengan Duta Besar RI di
Addis Ababa merupakan Accredited Ambassador to the African
Union. Status observer pada Uni Afrika tersebut telah memberikan peluang
yang lebih luas bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan kerjasama dengan
negara-negara Afrika secara keseluruhan.

Indonesia secara aktif mengoptimalkan status observer nya pada UA guna


meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Afrika secara keseluruhan.
Salah satu bidang kerja sama yang dikembangkan oleh Indonesia dengan UA
adalah bidang pertanian yaitu dengan memberikan bantuan kerja sama teknis
berupa pelatihan di bidang pertanian yaitu International Training Workshop on
Water Management in Agriculture for African Union Member Countries    yang
telah diselenggarakan pada 15 – 17 Mei 2013 di Addis Ababa dan kemudian
dilanjutkan dengan field trip ke Bali pada 18 – 23 Mei 2013 bagi 9 peserta dari
Liberia, Sudan, Kenya, Tunisia, Ethiopia, Mozambik, Tanzania, Uganda dan
Ajazair. Selain itu, Indonesia juga telah berkomitmen untuk memberikan bantuan
berupa 50 traktor tangan bagi negara-negara UA dan disalurkan melalui UA.

Pemerintah Indonesia juga telah diundang untuk menghadiri Special


Anniversary Summit of the African Union  yang merupakan perayaan ulang tahun
ke-50 Organization of the African Unity/African Union  (OAU/AU) dan
diselenggarakan di Addis Ababa pada tanggal 25 Mei 2013. Diundangnya
Indonesia pada perayaan ulang tahun tersebut dikarenakan UA memandang
Indonesia memiliki peranan besar dalam membantu perjuangan kemerdekaan
bangsa-bangsa Afrika serta kepeloporan Indonesia pada Konferensi Asia-Afrika
1955 di  Bandung yang merupakan wujud solidaritas negara-negara Asia dan
Afrika yang pada akhirnya telah mendorong lahirnya Gerakan Non Blok dan
G77.  

Special Anniversary Summit juga merupakan rangkaian dari pertemuan KTT UA


ke-21 serta pertemuan terkait lainnya. Beberapa hasil-hasil penting KTT UA ke-
21 antara lain adalah Declaration of the OAU/AU 50th Anniversary , yang
merupakan komitmen para pemimpin Afrika dalam mencapai visi UA, yaitu
pertumbuhan dan perkembangan benua Afrika yang digerakkan oleh
masyarakatnya sendiri, integrasi Afrika, terciptanya perdamaian, dan
kesejahteraan di Afrika.

Selain itu KTT ke-21 juga mengesahkan Strategic Action Plan of the African
Union Commission (AUC) for the years 2014 to 2017  yang merupakan panduan
bagi negara-negara anggota UA dalam mencapai visi UA. Adapun prioritas
pembangunan UA selama 50 tahun mendatang adalah di bidang pembangunan
sumber daya manusia (khususnya kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
penelitian, teknologi, dan inovasi); pertanian dan agro-business processing;
pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, pembangunan infrastruktur,
pertanian, perdagangan, dan investasi; perdamaian, stabilitas di kawasan,
dan good governance; mobilisasi sumber daya alam dan manusia; membangun
people-centred Union; memperkuat institusi UA dan semua organnya.

Indonesia akan meningkatkan kerja sama dengan UA di berbagai bidang,


terutama bidang-bidang yang juga menjadi prioritas UA.

 VII.      Liga Arab

Liga Arab merupakan organisasi regional yang didirikan pada 22 Maret 1945 dan
beranggotakan 22 negara Arab yang berada di kawasan Afrika Utara dan Timur
Laut serta Timur Tengah. Tujuan utama didirikannya organisasi Liga Arab adalah
untuk meningkatkan kerjasama antara negara-negara anggota dan untuk
meningkatkan koordinasi diantara anggota guna memperjuangkan kepentingan
bersama baik di kawasan maupun pada forum internasional.

Bagi Indonesia, Liga Arab memiliki arti penting baik secara historis maupun
strategis. Sejarah perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan
telah menunjukkan bahwa Liga Arab merupakan salah satu dari beberapa pihak
yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sedangkan
secara strategis, Liga Arab memiliki arti penting dalam mengupayakan
kepentingan nasional Indonesia dalam forum-forum internasional utamanya
terkait dengan isu-isu dimana Indonesia memiliki kesamaan posisi dengan
negara-negara Liga Arab.

Memahami pentingnya meningkatkan kerjasama dengan Liga Arab, telah


mendorong Indonesia untuk mendekatkan diri  pada organisasi regional
dimaksud. Keinginan Indonesia tersebut mendapatkan tanggapan yang positif
dari Liga Arab dan mulai September 2012, Duta Besar Indonesia di Kairo telah
menjadi Accredited Ambassador to Arab League. Melalui status tersebut,
Indonesia dapat menghadiri beberapa pertemuan Liga Arab serta memiliki
peluang yang lebih besar untuk dapat mengupayakan peningkatan kerjasama
dengan negara-negara Liga Arab dan mendapatkan informasi terkini mengenai
perkembangan kerjasama pada organisasi regional dimaksud.

VIII.    Kerjasama Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (NAASP)

Latar Belakang
Pada tanggal 22-23 April 2005, negara-negara Asia dan Afrika memperbaharui
solidaritas mereka yang telah berjalan lama pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Asia Afrika 2005 di Jakarta. Pertemuan tersebut  dihadiri oleh perwakilan
dari 106 negara Asia dan Afrika yang terdiri dari 54 negara Asia dan 52 negara
Afrika. KTT AA tahun 2005 tersebut telah menghasilkan beberapa kesepakatan
akhir: 

         Declaration on the New Asian African Strategic Partnership  (NAASP), Joint


Ministerial Statement on the New Asian African Strategic Partnership Plan of
Action; dan Joint Asian African Leaders’ Statement on Tsunami, Earthquake
and other Natural Disasters. Deklarasi NAASP tersebut merupakan
manifestasi dari pembentukan “jembatan” intrakawasan dengan komitmen
kemitraan strategis baru antara Asia dan Afrika yang mencakup tiga pilar
kerjasama, yaitu solidaritas politik, kerja sama ekonomi dan hubungan sosial
budaya, yang di dalamnya mencakup mekanisme interaksi antar pemerintah,
antarorganisasi regional/subregional serta antar masyarakat (people-to-
people contact).
 

         Disepakati  sebuah mekanisme tindak lanjut untuk proses institusionalisasi


melalui pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) setiap 4 tahun sekali
yang dilaksanakan bersamaan dengan Business Summit, Pertemuan Tingkat
Menteri setiap 2 tahun sekali, serta Sectoral Ministerial dan Technical
Meeting lainnya apabila diperlukan.

Perkembangan NAASP

Sejak tahun 2005 Indonesia dan Afrika Selatan menjadi Ketua Bersama (Co-
Chairs) NAASP. Dalam mengemban tugas sebagai Co-Chairs, Indonesia telah
berperan aktif dalam upaya mengembangkan NAASP. Indonesia dalam kurun
waktu 2006-2011 telah berhasil melaksanakan 26 program di bawah rerangka
kerja sama NAASP, antara lain: NAASP-UNEP Workshop on Environmental Law
and Policy tahun 2006; Asian African Forum on Genetic Resources, Traditional
Knowledge, and Folklore pada tahun 2007, danApprenticeship Program for
Mozambican Farmers pada tahun 2010. Indonesia juga menjadi tuan rumah bagi
NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine tahun 2008
yang dihadiri oleh 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi internasional.

Komitmen bagi pengembangan NAASP juga dibagi bersama dengan negara-


negara peserta NAASP yang lain. Menyebutkan beberapa diantaranya, Malaysia
telah melaksanakan Training Course for Diplomats tahun 2007 dan Training
Course in Disaster Management tahun 2008, serta China yang telah
melaksanakan The 5th Training Program for Staff from African Chambers  tahun
2009 dan China-Zambia Trade and Investment Forum tahun 2010.

Dengan pandangan untuk memberikan berbagai rekomendasi bagi KTT NAASP,


NAASP Senior Officials’ Meeting (SOM) diadakan di Jakarta pada tanggal 12-13
Oktober 2009. Pertemuan ini berhasil membahas beberapa agenda penting,
khususnya usulan the 8 Focus Areas of Cooperation yang dimaksudkan sebagai
mekanisme panduan untuk mengarahkan berbagai skema kerja sama di bawah
rerangka NAASP yang telah dirumuskan dalam KTT AA 2005 ke dalam beberapa
kegiatan yang realistis dan bersifat berorientasi pada hasil. Delapan bidang kerja
sama yang telah disepakati dalam pertemuan ini yaitu: Counter Terrorism;
Combating Trans-nationalOrganized Crime; Food Security; Energy Security; Small
and Medium Enterprises; Tourism; Asian African Development University
Network; serta Gender Equality and Women Empowerment. Beberapa negara
Asia seperti Bangladesh, China, Jepang, Filipina, dan Thailand telah
menunjukkan kesediaan untuk menjadi Champion Countries dari bidang kerja
sama tersebut, berdampingan dengan Champion Countries dari negara Afrika.
Indonesia sendiri menjadi Champion Country dari kawasan Asia bersama
dengan Aljazair dari kawasan Afrika untuk bidang kerja sama Counter-Terrorism.

Solidaritas NAASP bagi Palestina

Indonesia dan negara-negara NAASP memandang dengan prihatin fakta bahwa


bangsa Palestina menjadi satu-satunya peserta KTT Asia Afrika pertama yang
belum menikmati kemerdekaan penuh. Oleh karena itu, Indonesia memprakarsai
dan menjadi tuan rumah  NAASP Ministerial Conference on Capacity Building
for Palestine yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 14-15 Juli 2008.
 

Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa NAASP berkomitmen untuk


memberikan bantuan program pembangunan kapasitas bagi 10.000 warga
Palestina dalam kurun waktu 5 tahun (2008-2013). Pada kesempatan ini,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan komitmen
Indonesia untuk mengambil bagian bagi perwujudan proyek tersebut dengan
menyediakan pelatihan untuk 1.000 warga Palestina.

Implementasi Solidaritas dan Komitmen Pembangunan Kapasitas bagi Palestina


di bawah Rerangka NAASP

Indonesia, Afrika Selatan dan Palestina selaku NAASP Capacity Building for


Palestine Coordinating Unit diberikan mandat untuk memantau dan
memfasilitasi berbagai upaya negara-negara NAASP yang dilakukan dalam
kerangka pembanguna kapasitas bagi Palestina. Indonesia menjalankan
perannya sebagai koordinator bagi Afghanistan, Azerbaijan, Bangladesh, Brunei
Darussalam, China, Filipina, India, Iran, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos,
Malaysia, Myanmar, Pakistan, Singapura, Sri Lanka, Suriah, Thailand, Timor
Leste, dan Vietnam. Hingga 2010, beberapa negara peserta NAASP telah
menyampaikan laporan implementasi komitmen pembangunan kapasitas bagi
Palestina, antara lain: India (102 warga Palestina), Jepang (393 warga
Palestina), Korea Selatan (182 warga Palestina), Malaysia (121 warga Palestina),
Singapura (16 warga Palestina). Selaku NAASP Co-Chair Asia Chapter, Indonesia
juga mencatat keberhasilan Turki yang telah memberikan program pembangunan
kapasitas bagi 722 warga Palestina. Dalam hal ini Indonesia terus berupaya
untuk memenuhi komitmen bagi pembangunan kapasitas bagi Palestina
tersebut. Hingga Mei 2013, Indonesia telah berhasil memberikan pelatihan
bagi 1246 warga Palestina.

NAASP Capacity Building for Palestine Coordinating Unit Meeting  terakhir


diadakan di Amman, Jordania, 2-3 Desember 2010 dan menghasilkan summary
report yang mencakup progress report dan analytical report implementasi
pembangunan kapasitas oleh negara-negara peserta NAASP. Hasil pertemuan
dimaksud akan disampaikan pada pertemuan tingkat menteri dan KTT ke-2
NAASP.

Pelaksanaan Komitmen Indonesia

Berdasarkan hasil KTT Uni Afrika ke-20 yang diselenggarakan pada Januari
2013, telah diputuskan bahwa NAASP merupakan bagian dari mekanisme kerja
sama dalam Uni Afrika.

Kesimpulan

NAASP tetap merupakan sebuah forum yang penting dan potensial bagi kerja
sama antar negara-negara di kedua benua. Dalam dunia yang berubah, tentu
NAASP, seperti forum internasional lainnya, memiliki kewajiban untuk mengatasi
berbagai tantangan yang ada pada masa kini. Tidak diragukan lagi dalam isu
Palestina, masalah kebebasan dan kemerdekaan tetap menjadi prioritas utama
bagi NAASP. Bagi yang lain, isu stabilitas, sebagaimana juga kesejahteraan
masyarakat Asia dan Afrika adalah merupakan tema utama bagi kerja sama yang
membawa kedua benua untuk dapat bersama. Indonesia berkeyakinan bahwa
dengan bekerja bersama-sama kedua benua dapat menciptakan stabilitas,
perdamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

 
IX.       Asia Cooperation Dialogue (ACD)

A.   Latar Belakang   

Kerjasama Asia Cooperation Dialogue (ACD) merupakan forum dialog yang


berdiri pada tahun 2002 di Cha-Am, Thailand. Forum ini membahas ekonomi,
kebudayaan, pendidikan, lingkungan, kesehatan dan penanganan bencana.

Saat ini ACD beranggotakan 32 negara, yaitu Afghanistan, Bahrain, Bangladesh,


Bhutan, Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia, Jepang,
Khazakhstan, Republik Korea, Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar,
Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Thailand, Vietnam, Rusia, Iran, Saudi Arabia,
Oman, Sri Lanka, UAE,  Tajikistan, Uzbekistan dan Kyrgyztan.

ACD merupakan pertemuan informal para Menlu negara-negara Asia dan


berfungsi sebagai forum dialog dan tukar pandangan mengenai isu-isu
internasional, regional dan subregional yang menjadi kepentingan bersama.
Forum ini juga digunakan sebagai wahana untuk saling meningkatkan kerjasama
di berbagai sektor. ACD juga diharapkan dapat menjembatani hal-hal yang belum
dicakup dalam kerjasama formal yang telah ada di kawasan Asia selama ini.

Bidang Kerja Sama ACD

No Areas of Cooperation Prime Movers and Co-prime movers


.
1. Energy Bahrain, Indonesia, Kazakhstan, Qatar, China, the
Philippines and Lao PDR.
2. Poverty Alleviation Bangladesh, Cambodia and Vietnam.
3. Agriculture China, Pakistan and Kazakhstan.
4. Transport linkages India, Kazakhstan and Myanmar.
5. Biotechnology India.
6. E-Commerce Malaysia.
7. Infrastructure Fund Malaysia.
8. E-Education Malaysia and Iran.
9. Asia Institute of Standards Pakistan.
10. SMEs Cooperation Singapore and Sri Lanka.
11. IT Development Republic of Korea and Russia.
12. Science and Technology The Philippines.
13. Tourism Thailand, Cambodia, Myanmar, Pakistan and
Bahrain.
14. Financial Cooperation Thailand and Kazakhstan.
15. Human Resources Vietnam and Thailand.
Development
16. Environmental Education Japan, Qatar and Bahrain.
17. Strengthening legal Japan.
infrastructure
18. Road Safety Oman.
19. Natural Disaster Russia.
20. Cultural Cooperation Iran, India and Bahrain.
 

Peranan Indonesia dalam ACD

Indonesia telah bergabung dengan ACD sejak pembentukannya di tahun 2002.


Selain berbagai potensi kerja sama yang dapat dikembangkan, ACD juga
memiliki nilai tambah karena menyertakan dalam keanggotaannya negara
pengekspor dan pengimpor minyak dan gas. Karenanya, ACD dapat memberikan
peran penting dalam memperkuat ketahanan energy kawasan dan negara-negara
anggotanya. 

Indonesia juga mengharapkan agar dari kerja sama tersebut dapat meningkatkan
efisiensi pemanfaatan energi terutama penggunaan energi baru terbarukan dan
bahan bakar alternatif.untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

Terkait dengan hal tersebut, Indonesia menjadi ACD Co-Prime Mover di bidang


energi bersama dengan Bahrain, China, Filipina, Kazakhstan, Qatar dan
Laos. Sebagai salah satu anggota Energy Co-prime  Movers  Indonesia terlibat
secara aktif dalam berbagai aktivitas di  area kerjasama tersebut, di antaranya :
 

      Menyusun concept paper ”ACD: Concept Paper on Energy Security”  dan


dibahas pada Meeting of Prime Movers on Energy Security ACD  di Manama
pada Februari 2003;

      Menyusun ACD Plan of Action on Energy  yang dibahas dalam Meeting of


ACD Co-Prime Movers on Energy Action Plan  di Bali pada April 2007;
      Menyelenggarakan 1st ACD Energy Forum yang diadakan di Bali pada 26 – 28
September 2005, yang menghasilkan Joint Declaration of the 1st ACD Energy
Forum;
      Menyelenggarakan ACD Co-Prime Movers on Energy Action Plan di Bali 11 –
12 April 2007, yang menetapan focal point  masing-masing negara di bidang
energi untuk menuntaskan pembahasan Energy Plan of Action;

      Berpartisipasi dalam ACD Energy Cooperation Conference; Energy and


Climate Change: Challenges and Opportunity di Bahrain, 26-27 November
2008. Indonesia diwakili oleh Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mempresentasikan
materi “Climate Change Issues and Its Implication on the ACD Member States ”
dengan fokus pada keterkaitan energi dan perubahan iklim; implikasi
perubahan iklim terhadap negara ACD dan langkah-langkah yang perlu
dilakukan oleh negara ACD;

      Menjadi co-chair bersama dengan Filipina dalam penyelenggaraan ACD


Energy Working Group Meeting  tanggal 27 Maret 2013 untuk
finalisasi draft PoA sebelum Pertemuan Tingkat Menteri ACD ke-12 di
Tajikistan.

      Dalam berbagai forum PTM ACD Indonesia selalu menyampaikan perlunya


negara-negara Asia untuk memberikan perhatian kepada ketahanan energi
sebagai salah satu unsur penting dalam pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan kesejahteraan. 

Struktur Kerja Sama dan Pertemuan ACD

ACD merupakan forum dialog sehingga memiliki sifat non-institusional dan


sukarela. Chairman/Keketuaan ACD dirotasi secara bergilir setiap satu tahun
sekali di antara negara-negara anggotanya berdasarkan prinsip sukarela. Tahun
2013, Tajikistan menjadi ketua ACD semenjak September 2012 sampai dengan
peralihan masa keketuaan pada bulan September 2013. Berdasarkan
kesepakatan di antara sesama negara anggota ACD, Bahrain akan menjadi ketua
ACD meneruskan Tajikistan mulai bulan September 2013 sampai dengan
September 2014. Arab Saudi akan menjadi ketua ACD berikutnya paska
September 2014 melanjutkan keketuaan Bahrain.
 

Para menteri luar negeri ACD bertemu secara rutin 2 kali setiap tahun yakni
saat Foreign Minister’s Breakfast Meeting  bulan September di sela-sela Sidang
Umum PBB di New York dan saat PTM yang terselenggara secara rutin di negara
yang sedang menjabat sebagai ketua ACD di tahun berjalan. Selain pertemuan
tingkat menteri, sesuai dengan bidang kerja samanya negara-negara anggota
juga dapat menyelenggarakan pertemuan yang sifatnya lebih sektoral dalam
kerangka ACD.

Pertemuan Tingkat Kepala Negara (KTT) ACD yang pertama diselenggarakan di


Kuwait, tanggal 17 Oktober 2012. Pertemuan KTT ACD ke-2 disepakati akan
diselenggarakan di Thailand bulan Maret 2015 dan KTT ACD ke-3 di Iran tahun
2018. Sebagai suatu forum dialog, ACD sampai saat ini tidak memiliki sekretariat
permanen dan Thailand sebagai pencetus forum ini bertindak sebagai
koordinator. ACD sedang dalam tahap pembahasan untuk membentuk
secretariat tetap.  

 X.        BRUNEI DARUSSALAM-INDONESIA-MALAYSIA-THE PHILIPPINES EAST


ASEAN GROWTH AREA (BIMP-EAGA)

I.       Pendahuluan

1.      Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-the Philippines East


ASEAN Growth Area  (BIMP-EAGA) merupakan kerja sama dengan orientasi
proyek yang dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri  (PTM)
ke-1 di Davao City, Filipina, pada tanggal 26 Maret 1994.

2.      Kepentingan nasional RI yang ingin dicapai melalui kerja sama BIMP EAGA
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi di wilayah-wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan
negara-negara anggota BIMP. Pada kerja sama ini pihak swasta diharapkan
menjadi pelaku dan penggerak utama dengan didukung oleh pemerintah
sebagai regulator dan fasilitator.

3.      BIMP EAGA sebagai Kerja Sama Ekonomi Sub-regional (KESR) dinilai dapat
mengurangi kesenjangan pembangunan dan ikut mendorong integrasi
ekonomi ASEAN Economic Community 2015. BIMP EAGA juga sebagai
wadah untuk mengimplementasikan kesepakatan yang telah ada di ASEAN
(test-bed). Hal ini dipraktekkan dengan mengadopsi berbagai kesepakatan
ASEAN dan membahasnya di tingkat sub-regional.
 

4.      Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA adalah provinsi-


provinsi: Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua
Barat, dan Gorontalo.

5.      Sampai saat ini BIMP-EAGA telah menyelenggarakan 9 kali Konferensi


Tingkat Tinggi (KTT), 17 kali Pertemuan Tingkat Menteri, dan 21 kali
Pertemuan Tingkat Pejabat Senior. KTT BIMP-EAGA terakhir dilaksanakan di
Bandar Seri Begawan, Brunei, pada 25 tanggal April 2013.

II.      Strategi Kerja Sama BIMP-EAGA

6.      Dalam rangka merealisasikan gagasan untuk mencapai kesejahteraan dan


meningkatnya pertumbuhan ekonomi, BIMP EAGA memiliki strategi untuk:  

a.      Menjadikan BIMP-EAGA sebagai lumbung pangan bagi wilayah ASEAN


dan wilayah lain di Asia. Kerja sama pada bidang Lumbung Pangan
diarahkan untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jangka panjang;
dan memaksimalkan potensi pertanian, peternakan dan perikanan.

b.      Mendorong BIMP-EAGA sebagai tujuan utama


ekowisata (ecotourism). Kerja sama Ecoutourism menekankan pada
keterlibatan pemerintah pusat dan peran masyarakat lokal dalam
memanfaatkan sumber alam serta budaya untuk menyelenggarakan
kegiatan pariwisata yang memiliki sifat berkelanjutan. Strategi yang
akan dicapai melalui kerja sama ini adalah:

                      i.    Menciptakan
bentuk pariwisata beserta infrastrukturnya dengan
menggunakan format CBET sebagai produk utama;

                     ii.    Memfasilitasi
keterlibatan sektor swasta dan masyarakat dalam
kegiatan pariwisata; dan

                    iii.    Memasarkan daerah pariwisata di wilayah kerja sama BIMP.

 
c.      Meningkatkan konektivitas ke dalam wilayah BIMP dan keluar dalam
mendukung Master Plan of ASEAN Connectivity(MPAC). Kerja sama
pada area Konektivitas ditujukan bagi:

                      i.    Optimalisasi transportasi darat, laut dan udara;


                     ii.    Liberalisasi rute penerbangan pada wilayah kerja sama BIMP tertentu;
dan

                    iii.    Mobilisasi
sumber daya bagi pengadaan infrastruktur termasuk melalui
kemitraan swasta dan pemerintah.

7.      Sebagai panduan dalam melaksanakan strategi BIMP EAGA dimaksud, KTT 


ke-8 BIMP EAGA tanggal 4 April 2012 di Phnom Penh
mensahkan Implementation Blueprint 2012-2016, yang membagi kerja sama
utama ke dalam 4 bidang yakni Food Basket(Lumbung
Pangan); Connectivity  (Konektivitas); Community Based
Ecotourism  (CBET/Pariwisata Berbasis
Lingkungan); danEnvironment  (Lingkungan Hidup).
 

III.    Mitra Kerja Sama

Forum ini juga memiliki kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB)


sebagai regional adviser. BIMP EAGA juga menyelenggarakan konsultasi
dengan Sekretariat ASEAN dalam rangka membentuk keterpaduan antara
agenda BIMP EAGA dengan ASEAN  Community.  

 XI.       INDONESIA-MALAYSIA-THAILAND GROWTH TRIANGLE (IMT-GT)

I.       Pendahuluan

1.      Kerja sama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-


GT) diresmikan pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-1 di Langkawi,
Malaysia pada tanggal 20 Juli 1993.

 
2.      Indonesia berpartisipasi dalam kerja sama IMT-GT dengan maksud untuk
mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan
negara-negara IMT-GT melalui pemanfaatan keunggulan kompetitif masing-
masing wilayah. Dalam perkembangan terkini, sebagai salah satu kerja sama
ekonomi sub-regional, IMT-GT dapat mendorong integrasi ekonomi ASEAN
ASEAN Economic Community  2015 melalui implementasi kesepakatan yang
telah ada di ASEAN (test-bed).

3.      Provinsi-provinsi Indonesia yang menjadi anggota IMT-GT adalah Aceh,


Bangka-Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Riau,
Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Wilayah IMT-
GT Malaysia adalah: Kedah, Kelantan, Melaka, Negeri Sembilan, Penang,
Perak, Perlis, dan Selangor. Wilayah IMT-GT Thailand adalah: Krabi, Nakhon
Si Thammarat, Narathiwat, Pattani, Phattalung, Satun, Songkhla, Trang, Yala,
Chumphon, Ranong, Surat Thani, Phang Nga, Phuket.

4.      Pada pola kerja sama ini pemerintah bertindak sebagai regulator dan


fasilitator sedangkan swasta menjadi penggerak dan pelaku utama. Dalam
kaitan ini, telah dibentuk wadah bagi para pengusaha di kawasan IMT-GT
yang disebut Joint Business Council  (JBC).

5.      Perjanjian pendirian sekretariat IMT-GT/Center for IMT-GT (CIMT) telah


ditanda-tangani saat KTT ke-7 tanggal 25 April 2013 di Brunei Darussalam.
Dengan penanda-tanganan ini Indonesia melanjutkan proses ratifikasi agar
perjanjian memiliki keberlakuan secara nasional. Pendirian dan
operasionalisasi CIMT akan membantu aspek administrasi termasuk pula
perkembangan dan kemajuan dalam kerja sama ini. 

II.      Perkembangan Kerja Sama

KTT ke-6 IMT GT tanggal 4 April 2012 di Phnom Penh telah


mensahkan Implementation Blueprint 2012-2016 yang berisi sistematika
dan institusi kerja sama serta daftar proyek.    

Pada KTT ke-7 di Brunei Darussalam, 25 April 2013, para kepala


negara IMT-GT menyampaikan perhatian pada isu konektivitas dan
pelaksanaan proyek-proyek prioritas.

III.    Proyek IMT-GT

Proyek pada kerja sama ini  meliputi (a) Transportasi dan infrastruktur; (b)
Perdagangan dan investasi; (c) Pertanian, agro-based industry, dan
lingkungan; (d) Pariwisata; (e) Produk dan Jasa Halal; dan (f) Pengembangan
SDM.

Beberapa proyek yang dianggap ”fast tracked” projects untuk menopang


relevansi IMT-GT adalah Melaka-Pekanbaru Power Interconnection, dan
Melaka-Dumai RoRo connectivity.
 

XII.      Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia (CICA)

1.      Conference on Interaction and Confidence Building Measures in


Asia (CICA) adalah suatu forum antar-pemerintah mengenaiConfidence
Building Measures (CBM) yang berkembang di kawasan Asia Tengah sejak
tahun 2002. Negara-negara anggota CICA berusaha untuk meningkatkan
kerja sama, menciptakan dan memperkuat situasi damai, confidence, dan
persahabatan di benua Asia untuk mendorong keamanan kawasan. Prinsip
utama kerja sama CICA adalah menghormati kedaulatan dan integritas
teritorial sebagai dasar hubungan antarnegara. Isu separatisme dipandang
sebagai ancaman utama bagi keamanan, stabilitas, dan persatuan suatu
negara.

2.      Pembentukan CICA digagas oleh Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev


pada tahun 1992. Gagasan dasar pendirian CICA adalah sebagai forum yang
efisien dan dapat diterima oleh negara-negara Asia untuk menciptakan
perdamaian dan stabilitas. Gagasan ini kemudian ditanggapi secara positif
oleh 16 negara yang kemudian berpartisipasi pada Pertemuan Tingkat
Menteri yang pertama tanggal 14 September 1999. CICA memiliki Sekretariat
yang berkedudukan di Almaty, Kazakhstan.

3.      Anggota tetap CICA pada saat ini berjumlah 24 negara yakni Afghanistan,
Azerbaijan, Bahrain, China, India, Irak, Iran, Israel, Jordania, Kamboja,
Kazakhstan, Kyrgysztan, Mesir, Mongolia, Pakistan, Palestina, Republic of
Korea, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Uzbekistan,
Vietnam. Negara peninjau (observer) antara lain Indonesia, Jepang,
Malaysia, Qatar, Vietnam, Ukraina, Amerika Serikat serta Organization for
Security and Co-operation in Europe (OSCE), Liga Arab dan PBB.
 

4.      Mekanisme pertemuan CICA meliputi:

a.       Pertemuan Tingkat Kepala Negara/Pemerintahan (Summit), 4 tahun


sekali;

b.       Pertemuan Tingkat Menteri (PTM), 2 tahun sekali;

c.       Senior Officials Committee (SOC), 1 tahun sekali;

d.       Special Working Group  (SWG), diselenggarakan bila diperlukan terkait isu


tertentu;
e.    Specialized Meetings of Experts,  diselenggarakan untuk hal-hal yang
bersifat teknis serta pembuatan konsep mengenai pelaksanaan CBM untuk
dipresentasikan dalam SWG.

5.      Kazakhstan adalah Ketua CICA pertama sejak pendiriannya sampai dengan


tahun 2009. Turki menjabat sebagai Ketua CICA menggantikan Kazakhstan
semenjak tahun 2010 sampai 2014. Ketua CICA berikutnya adalah China
mulai 2014 sampai 2016.

6.      CICA saat ini mulai membangun kerjasama bidang ekonomi dan


mengembangkan platform kerjasama dengan organisasi di kawasan lainnya.
Dalam proyeksi mendatang, CICA secara bertahap melakukan reformasi
organisasi dengan meningkatkan statusExecutive Director menjadi General
Director, dan memindahkan Sekretariat CICA dari Almaty ke Astana.
 

7.      Indonesia menjadi peninjau sejak tahun 2002. Sejak KTT CICA I/2002,


KTT II/2006, dan KTT III/2010, Indonesia telah mengirimkan wakil untuk
menghadiri pertemuan tersebut dengan status observer. Terakhir Indonesia
telah menghadiri the 4thMinistrial meeting of CICA dan the the
20th  Anniversary of CICA di Astana, 12 September 2012.
 

8.      Indonesia berpandangan bahwa prinsip yang dianut oleh CICA sejalan dengan
kepentingan nasional RI yakni menjaga keutuhan integritas wilayah,
menganut prinsip non-intervensi dalam urusan domestik masing-masing
negara anggota serta mengutamakan dialog sebagai solusi dalam tiap
permasalahan antar negara.

9.      Keterlibatan Indonesia pada dalam tahapan saat ini selaku peninjau di CICA
merupakan pelaksanaan dari polugri bebas dan aktif untuk dapat
menjangkau negara-negara mitra di wilayah Asia selatan dan tengah. Secara
jangka panjang dan menengah kompetensi CICA yang dapat dimanfaatkan
bagi Indonesia adalah counter terrorism, trafficking in persons, drug
trafficking dan pengembangan ekonomi skala kecil dan menengah.
A. PERAN INDONESIA DALAM KERJASAMA REGIONAL
1. ASEAN (The Association of South East Asia Nations)

ASEAN mewadahi kerjasama bangsa-bangsa di Asia Tenggara dalam berbagai bidang kehidupan.
Kesadaran bangsa-bangsa Asia Tenggara akan pentingnyasolidaritas dan kerjasama di antara sesame
mereka. Kesamaan sikap dan tindakan diharapkan dapat menciptakan perdamaian, kemajuan, dan
kemakmuran di Asia Tenggara. Itulah, salah satu faktor yang mendorong lahirnya ASEAN. Saat ini,
ASEAN beranggotakan sepuluh negara di Asia Tenggara, yakni: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Mungthai, Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam dengan kantor pusatnya di Jakarta.

Peranan Indonesia dalam organisasi ASEAN adalah :


1. Sebagai penggagas ide terbentuknya ASEAN yang diwakili oleh menteri luar negeri yaitu Adam Malik
2. Kota Jakarta menjadi tempat sekretariat ASEAN yang tetap sejak tanggal 7 Juni 1976.
3. Menjadi tempat KTT ASEAN yang pertama yaitu di Denpasar, Bali yang berlangsung tanggal 23-24
Februari 1976
4. Indonesia menjadi produsen tunggal untuk pemuatan pupuk se-ASEAN yang bertempat di Aceh, yang
akan dimanfaatkan oleh anggota-anggota ASEAN.
2. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation Cooperation)

APEC merupakan forum kerja sama negara di kawasan Asia Pasifik untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, perdagangan, dan investasi di antara sesama negara anggota. Keberadaan APEC atas
prakarsa Bob Hawke (perdana menteri Australia). Tujuan dari APEC tertuang dalam Deklarasi Bogor
pada tahun 1994, yaitu menetapkan kawasan APEC sebagai kawasan perdagangan dan investasi bebas
dan terbuka yang berlaku paling lambat tahun 2020. Untuk negara anggota yang termasuk dalam
kategori negara maju, kawasan bebas dan terbuka harus sudah terealisasi paling lambat 2010.

Untuk mencapai tujuannya, APEC dalam melakukan kegiatannya selalu berlandaskan pada prinsip
kesepakatan bersama yang sifatnya tidak mengikat, dialog terbuka, serta prinsip saling menghargai
pandangan dan pendapat seluruh anggota. Keputusan yang diambil oleh APEC dibuat berdasarkan
konsensus dan kesepakatan yang sifatnya sukarela. Indonesia merupakan salah satu negara pencetus
APEC.

Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin APEC II di kota Bogor pada tahun 1994.
Keikutsertaan Indonesia dalam forum APEC diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi
perekonomian nasional, investasi, dan perdagangan internasional. Selain itu, keanggotaan Indonesia
juga diharapkan dapat memperlancar dan mempererat kerja sama nonekonomi antarsesama negara
anggota pada tingkat bilateral maupun multilateral.

B. PERAN INDONESIA DALAM KERJA SAMA INTERNASIONAL


1. OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries)
OPEC adalah organisasi negara-negara pengekspor minyak. OPEC didirikan atas prakarsa lima negara
produsen terbesar minyak dunia, yaitu Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Venezuela, pada pertemuan
tanggal 14 September 1960 di Baghdad, Irak. OPEC berkedudukan di Wina, Austria.

OPEC mempunyai beberapa tujuan berikut ini.


a) Menyatukan kebijakan perminyakan antara negara-negara anggota.
b) Memenuhi kebutuhan dunia akan minyak bumi.
c) Menstabilkan harga minyak dunia.
d) Menentukan kebijakan-kebijakan untuk melindungi negara-negara anggota.

Sejak menjadi anggota OPEC tahun 1962, Indonesia ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan
kebijakan OPEC khususnya dalam rangka menstabilisasi jumlah produksi dan harga minyak di pasar
internasional. Sejak berdirinya Sekretariat OPEC di Wina tahun 1965, KBRI/PTRI Wina terlibat aktif
dalam kegiatan pemantauan harga minyak dan penanganan masalah substansi serta diplomasi di
berbagai persidangan yang diselenggarakan oleh OPEC.

Pentingnya peran yang dimainkan oleh Indonesia di OPEC telah membawa Indonesia pernah ditunjuk
sebagai Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC. Pada tahun 2004, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (MESDM) Indonesia terpilih menjadi Presiden dan Sekjen sementara OPEC.

2. WTO (World Trade Organization)


World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan
internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan
multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan
internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.

Peran Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO di Nusa Dua Bali
sangatlah penting. Indonesia menjalankan tugas mulia untuk menjembatani kepentingan negara maju
dan berkembang itu. Tidak mudah menengahi berbagai kepentingan dari 159 negara anggota WTO
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai