Sebuah titik terang muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3 – 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya
dalam sejarah WTO, organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO telah
menyepakati “Paket Bali” sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup
isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan dan LDCs, serta Pertanian—merupakan sebagian dari isu
perundingan DDA.
Disepakatinya Paket Bali merupakan suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun
1995, baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus keluar masuk barang antar negara di pelabuhan
dengan melakukan reformasi pada mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk
keluar barang yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk ekspor Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stokholding for food security.
Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan
subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin, tanpa khawatir digugat di forum Dispute
Settlement Body WTO.
Dengan Paket Bali, kredibilitas WTO telah meningkat sebagai satu-satunya forum multilateral yang menangani
kegiatan perdagangan internasional, sekaligus memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota
WTO mengenai pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post
Bali Work, di mana negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian DDA di
tahun 2014. Selesainya perundingan DDA akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan
LDCs dalam berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.
Indonesia di WTO
Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan nasional
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk
memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain
G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam
kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan
pencapaiandevelopment objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi
kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan
pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.
Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan
mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan Duta Besar/Head of Delegations, Senior
Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri; baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa. Hal ini
bertujuan demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi
petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki
pengaruh besar dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.
Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draf modalitas pertanian dan NAMA)
merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini,
adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan
mengubah keseimbangan yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.
Negara-negara anggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha
berdasarkan tingkat ambisi danbalance yang ada saat ini. Selanjutnya, diharapkan negara-negara anggota ini
membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun adanya dorongan dari negara maju untuk
meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008.
Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan
Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan
prinsip single undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs. (Terakhir
dimutakhirkan: 8 Januari 2014)
I. Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC)
Keanggotaan APEC
Mekanisme kerja APEC bermuara pada para Pemimpin Ekonomi APEC yang
melakukan pertemuan setahun sekali dalam APEC Economic Leaders’
Meeting (AELM). Sebelumnya, para Menteri Luar Negeri dan Menteri
Perdagangan APEC menghadiri pertemuan bersama dalam APEC Ministerial
Meeting (AMM). Hasil kesepakatan para Pemimpin Ekonomi dan Menteri APEC
tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh para Pejabat Tinggi ( Senior Officials)
APEC yang bertemu lazimnya 3 (tiga) kali dalam setahun. Pada tingkatan teknis,
hasil-hasil pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) akan dilaksanakan oleh
Komite, Working Groups, Fora dan Subfora.
Pada tahun 2013, Indonesia kembali menjadi ketua dan tuan rumah KTT ke-21
APEC, setelah sebelumnya menjadi ketua di tahun 1994. Tema APEC Indonesia
2013 adalah “Resilient Asia-Pacific, Engine of Global Growth.” Kepemimpinan
Indonesia telah dimanfaatkan untuk mewujudkan kawasan Asia Pasifik yang
lebih tangguh, berketahanan, dan cepat pulih di tengah krisis ekonomi, sehingga
dapat berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.
APEC China 2014, dengan tema “Shaping the Future thorough Asia Pacific
Partnership”, telah mengusung tiga prioritas utama, yaitu i)advancing regional
economic integration; ii) promoting innovative development, economic reform
and growth; dan iii) strengthening comprehensive connectivity and
infrastructure development.
Melalui forum APEC CEO Summit, ABAC Dialogue with Leaders dan Indonesia-
Tiongkok, Presiden RI telah menyampaikan program kerja pemerintah untuk lima
tahun ke depan khususnya dalam pengembangan infrastruktur, konektivitas dan
industri dalam negeri dan mengundang para pengusaha untuk berpartisipasi
pada pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Hasil KTT APEC 2014 tersebut juga memuat beberapa inisiatif Indonesia yang
perlu terus ditindklanjuti di tahun mendatang, seperti:
Posisi geografis Indonesia pada titik persinggungan antara kawasan Asia dan
Pasifik secara alamiah menjadikan Indonesia sebagai jembatan atau
penghubung antara kedua wilayah ini. Posisi strategis ini membawa konsekuensi
hadirnya tanggung jawab Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif dalam
upaya-upaya menjaga dan mempertahankan stabilitas kawasan. Dengan
kerangka berfikir demikian, dalam kebijakan luar negeri Indonesia, negara-
negara Pasifik menjadi salah satu prioritas utama politik regionalisme Indonesia
dewasa ini disamping ASEAN. Wujud nyata dari sikap aktif Indonesia di kawasan
Pasifik tercermin melalui partisipasi aktif Indonesia selaku penggagas
pembentukan SwPD pada tahun 2002 maupun sebagai mitra wicara Pacific
Islands Forum sejak tahun 2001 dan sebagai negara peninjau pada Melanesian
Spearhead Group (MSG) sejak tahun 2011.
Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) SwPD diadakan setahun sekali dengan tuan
rumah bergiliran. Pada awalnya, tempat sidang adalah antara salah satu kota di
negara anggota ataupun di New York di sela-sela Sidang Umum PBB. Sejak tahun
2004, PTM SwPD selalu diselenggarakan di sela-sela Sidang ASEAN Ministerial
Meeting / Post Ministerial Conference dan ASEAN Regional Forum (AMM/PMC
dan ARF).
Selain konektivitas fisik, people-to-people contact juga tidak kalah penting untuk
dikembangkan. Dalam kaitan ini, kerja sama people-to-people contact yang
secara rutin telah ditawarkan oleh Indonesia kepada negara - negara
SwPD antara lain:
Pada PTM SwPD ke-10 di Phnom Penh, Kamboja, para Menlu sepakat untuk
mengadakan Pertemuan Tingkat Menteri Ke-11 SwPD dengan Filipina bertindak
selaku tuan rumah, di sela-sela
penyelenggaraan 46th AMM/PMC dan 20th ARF di Brunei Darussalam pada
bulan Juli 2013.
Pada bulan Maret 2012 telah diadakan KTT Khusus MSG guna membahas isu-isu
ekonomi, perdagangan, sosial-budaya dan perubahan iklim. Delegasi Indonesia
pada pertemuan ini dipimpin oleh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi
Publik yang menyampaikan komitmen Indonesia untuk terus mengembangkan
kerja sama dengan negara-negara anggota MSG.
KTT MSG tahun 2013 diadakan di Noumea, Kaledonia Baru pada tanggal 20-21
Juni 2013.
Partisipasi Indonesia sebagai mitra wicara PIF tidak terlepas dari arti penting
kawasan tersebut bagi Indonesia. Adapun elemen penting dalam hubungan
Indonesia dengan kawasan Pasifik antara lain adalah:
Selain itu, Indonesia juga mengundang pejabat negara-negara anggota PIF untuk
berpartisipasi dalam Bandung Spirit Program (BSP) yang diadakan setiap 2
(dua) tahun di Indonesia. Untuk tahun 2013, BSP diikuti oleh sembilan pejabat
dari Cook Islands, Fiji, Marshall Islands, Papua Nugini, dan Solomon Islands. Para
peserta BSP diantaranya berkunjung ke Ternate, Propinsi Maluku Utara, yang
memiliki karakteristik alam dan geografis yang hampir sama dengan negara-
negara Pasifik.
Pertemuan terakhir PIF yaitu yang ke-43 telah diselenggarakan pada tanggal 27-
31 Agustus 2012 di Rarotonga, Cook Islands, dihadiri oleh seluruh negara
anggota PIF, kecuali Fiji yang keanggotaannya tengah dibekukan. PIF ke-43 ini
bertemakan “Large Oceans Islands States – the Pacific Challenges ” yang
bertujuan menjaga keseimbangan antara pengembangan dan konservasi sumber-
sumber kelautan. Adapun isu-isu utama yang menjadi pembahasan dalam
Pertemuan tersebut diantaranya adalah perikanan, konservasi laut, perubahan
iklim, kesetaraan gender dan kerjasama internasional.
Pertemuan PFD Ke-24 sebagai bagian dari rangkaian pertemuan PIF ke-43
membahas 2 isu tematik yang menjadi perhatian negara kawasan Pasifik, yaitu:
(i) Large Ocean Island States: Pacific Challenges yang memfokuskan pada
perikanan, konservasi laut dan eksplorasi laut dalam; (ii) Enhancing
Development Cooperation yang memfokuskan pada upaya penguatan sistem
nasional melalui kerjasama dengan negara-negara mitra.
Bagi Indonesia, tema kelautan dalam PIF tahun 2012 tersebut sejalan dengan
konsep blue economy yang menjadi bagian dari kebijakan industrialisasi
kelautan dan perikanan Indonesia. Sektor kelautan ini dapat memberikan
peluang dalam meningkatkan kerjasama ekonomi, people to people
contacts dan kerjasama teknis antara Indonesia dengan negara-negara Pasifik.
Latar Belakang
Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR-ARC) adalah salah
satu organisasi regional dikawasan Samudera Hindia. IOR-ARC dibentuk pada
bulan Maret 1997 di Mauritius dan beranggotakan 20 negara (Uni Commoros
ditetapkan menjadi anggota ke-20 pada Pertemuan Tingkat Menteri IOR-ARC ke-
12, November 2012 di India) yang terletak di kawasan yang strategis bagi rute
perdagangan dan jalur ekonomi yang menghubungkan Samudera Pasifik dan
Atlantik. Indonesia memiliki kepentingan dikawasan ini karena kawasan ini
merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Atlantik.
IOR--ARC diharapkan dapat mendorong kerja sama ekonomi, perdagangan dan
investasi serta meningkatkan people-to-people contact antara negara-
negara diSamudera Hindia yang menjadi anggota IOR-ARC.
Perkembangan Terbaru
Salah satu hasil pada pertemuan ini adalah mengenai perubahan nama
organisasi dari IOR-ARC menjadi Indian Ocean Rim Association(IORA) dan
masuknya Uni Commoros menjadi anggota ke-20 dan Amerika Serikat menjadi
mitra dialog ke-6.
VI. Uni Afrika
Selain itu KTT ke-21 juga mengesahkan Strategic Action Plan of the African
Union Commission (AUC) for the years 2014 to 2017 yang merupakan panduan
bagi negara-negara anggota UA dalam mencapai visi UA. Adapun prioritas
pembangunan UA selama 50 tahun mendatang adalah di bidang pembangunan
sumber daya manusia (khususnya kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
penelitian, teknologi, dan inovasi); pertanian dan agro-business processing;
pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, pembangunan infrastruktur,
pertanian, perdagangan, dan investasi; perdamaian, stabilitas di kawasan,
dan good governance; mobilisasi sumber daya alam dan manusia; membangun
people-centred Union; memperkuat institusi UA dan semua organnya.
VII. Liga Arab
Liga Arab merupakan organisasi regional yang didirikan pada 22 Maret 1945 dan
beranggotakan 22 negara Arab yang berada di kawasan Afrika Utara dan Timur
Laut serta Timur Tengah. Tujuan utama didirikannya organisasi Liga Arab adalah
untuk meningkatkan kerjasama antara negara-negara anggota dan untuk
meningkatkan koordinasi diantara anggota guna memperjuangkan kepentingan
bersama baik di kawasan maupun pada forum internasional.
Bagi Indonesia, Liga Arab memiliki arti penting baik secara historis maupun
strategis. Sejarah perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan
telah menunjukkan bahwa Liga Arab merupakan salah satu dari beberapa pihak
yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sedangkan
secara strategis, Liga Arab memiliki arti penting dalam mengupayakan
kepentingan nasional Indonesia dalam forum-forum internasional utamanya
terkait dengan isu-isu dimana Indonesia memiliki kesamaan posisi dengan
negara-negara Liga Arab.
Latar Belakang
Pada tanggal 22-23 April 2005, negara-negara Asia dan Afrika memperbaharui
solidaritas mereka yang telah berjalan lama pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Asia Afrika 2005 di Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan
dari 106 negara Asia dan Afrika yang terdiri dari 54 negara Asia dan 52 negara
Afrika. KTT AA tahun 2005 tersebut telah menghasilkan beberapa kesepakatan
akhir:
Perkembangan NAASP
Sejak tahun 2005 Indonesia dan Afrika Selatan menjadi Ketua Bersama (Co-
Chairs) NAASP. Dalam mengemban tugas sebagai Co-Chairs, Indonesia telah
berperan aktif dalam upaya mengembangkan NAASP. Indonesia dalam kurun
waktu 2006-2011 telah berhasil melaksanakan 26 program di bawah rerangka
kerja sama NAASP, antara lain: NAASP-UNEP Workshop on Environmental Law
and Policy tahun 2006; Asian African Forum on Genetic Resources, Traditional
Knowledge, and Folklore pada tahun 2007, danApprenticeship Program for
Mozambican Farmers pada tahun 2010. Indonesia juga menjadi tuan rumah bagi
NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine tahun 2008
yang dihadiri oleh 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi internasional.
Berdasarkan hasil KTT Uni Afrika ke-20 yang diselenggarakan pada Januari
2013, telah diputuskan bahwa NAASP merupakan bagian dari mekanisme kerja
sama dalam Uni Afrika.
Kesimpulan
NAASP tetap merupakan sebuah forum yang penting dan potensial bagi kerja
sama antar negara-negara di kedua benua. Dalam dunia yang berubah, tentu
NAASP, seperti forum internasional lainnya, memiliki kewajiban untuk mengatasi
berbagai tantangan yang ada pada masa kini. Tidak diragukan lagi dalam isu
Palestina, masalah kebebasan dan kemerdekaan tetap menjadi prioritas utama
bagi NAASP. Bagi yang lain, isu stabilitas, sebagaimana juga kesejahteraan
masyarakat Asia dan Afrika adalah merupakan tema utama bagi kerja sama yang
membawa kedua benua untuk dapat bersama. Indonesia berkeyakinan bahwa
dengan bekerja bersama-sama kedua benua dapat menciptakan stabilitas,
perdamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
IX. Asia Cooperation Dialogue (ACD)
A. Latar Belakang
Indonesia juga mengharapkan agar dari kerja sama tersebut dapat meningkatkan
efisiensi pemanfaatan energi terutama penggunaan energi baru terbarukan dan
bahan bakar alternatif.untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Para menteri luar negeri ACD bertemu secara rutin 2 kali setiap tahun yakni
saat Foreign Minister’s Breakfast Meeting bulan September di sela-sela Sidang
Umum PBB di New York dan saat PTM yang terselenggara secara rutin di negara
yang sedang menjabat sebagai ketua ACD di tahun berjalan. Selain pertemuan
tingkat menteri, sesuai dengan bidang kerja samanya negara-negara anggota
juga dapat menyelenggarakan pertemuan yang sifatnya lebih sektoral dalam
kerangka ACD.
I. Pendahuluan
2. Kepentingan nasional RI yang ingin dicapai melalui kerja sama BIMP EAGA
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi di wilayah-wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan
negara-negara anggota BIMP. Pada kerja sama ini pihak swasta diharapkan
menjadi pelaku dan penggerak utama dengan didukung oleh pemerintah
sebagai regulator dan fasilitator.
3. BIMP EAGA sebagai Kerja Sama Ekonomi Sub-regional (KESR) dinilai dapat
mengurangi kesenjangan pembangunan dan ikut mendorong integrasi
ekonomi ASEAN Economic Community 2015. BIMP EAGA juga sebagai
wadah untuk mengimplementasikan kesepakatan yang telah ada di ASEAN
(test-bed). Hal ini dipraktekkan dengan mengadopsi berbagai kesepakatan
ASEAN dan membahasnya di tingkat sub-regional.
i. Menciptakan
bentuk pariwisata beserta infrastrukturnya dengan
menggunakan format CBET sebagai produk utama;
ii. Memfasilitasi
keterlibatan sektor swasta dan masyarakat dalam
kegiatan pariwisata; dan
c. Meningkatkan konektivitas ke dalam wilayah BIMP dan keluar dalam
mendukung Master Plan of ASEAN Connectivity(MPAC). Kerja sama
pada area Konektivitas ditujukan bagi:
iii. Mobilisasi
sumber daya bagi pengadaan infrastruktur termasuk melalui
kemitraan swasta dan pemerintah.
I. Pendahuluan
2. Indonesia berpartisipasi dalam kerja sama IMT-GT dengan maksud untuk
mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan
negara-negara IMT-GT melalui pemanfaatan keunggulan kompetitif masing-
masing wilayah. Dalam perkembangan terkini, sebagai salah satu kerja sama
ekonomi sub-regional, IMT-GT dapat mendorong integrasi ekonomi ASEAN
ASEAN Economic Community 2015 melalui implementasi kesepakatan yang
telah ada di ASEAN (test-bed).
III. Proyek IMT-GT
Proyek pada kerja sama ini meliputi (a) Transportasi dan infrastruktur; (b)
Perdagangan dan investasi; (c) Pertanian, agro-based industry, dan
lingkungan; (d) Pariwisata; (e) Produk dan Jasa Halal; dan (f) Pengembangan
SDM.
3. Anggota tetap CICA pada saat ini berjumlah 24 negara yakni Afghanistan,
Azerbaijan, Bahrain, China, India, Irak, Iran, Israel, Jordania, Kamboja,
Kazakhstan, Kyrgysztan, Mesir, Mongolia, Pakistan, Palestina, Republic of
Korea, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Uzbekistan,
Vietnam. Negara peninjau (observer) antara lain Indonesia, Jepang,
Malaysia, Qatar, Vietnam, Ukraina, Amerika Serikat serta Organization for
Security and Co-operation in Europe (OSCE), Liga Arab dan PBB.
8. Indonesia berpandangan bahwa prinsip yang dianut oleh CICA sejalan dengan
kepentingan nasional RI yakni menjaga keutuhan integritas wilayah,
menganut prinsip non-intervensi dalam urusan domestik masing-masing
negara anggota serta mengutamakan dialog sebagai solusi dalam tiap
permasalahan antar negara.
9. Keterlibatan Indonesia pada dalam tahapan saat ini selaku peninjau di CICA
merupakan pelaksanaan dari polugri bebas dan aktif untuk dapat
menjangkau negara-negara mitra di wilayah Asia selatan dan tengah. Secara
jangka panjang dan menengah kompetensi CICA yang dapat dimanfaatkan
bagi Indonesia adalah counter terrorism, trafficking in persons, drug
trafficking dan pengembangan ekonomi skala kecil dan menengah.
A. PERAN INDONESIA DALAM KERJASAMA REGIONAL
1. ASEAN (The Association of South East Asia Nations)
ASEAN mewadahi kerjasama bangsa-bangsa di Asia Tenggara dalam berbagai bidang kehidupan.
Kesadaran bangsa-bangsa Asia Tenggara akan pentingnyasolidaritas dan kerjasama di antara sesame
mereka. Kesamaan sikap dan tindakan diharapkan dapat menciptakan perdamaian, kemajuan, dan
kemakmuran di Asia Tenggara. Itulah, salah satu faktor yang mendorong lahirnya ASEAN. Saat ini,
ASEAN beranggotakan sepuluh negara di Asia Tenggara, yakni: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Mungthai, Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam dengan kantor pusatnya di Jakarta.
APEC merupakan forum kerja sama negara di kawasan Asia Pasifik untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, perdagangan, dan investasi di antara sesama negara anggota. Keberadaan APEC atas
prakarsa Bob Hawke (perdana menteri Australia). Tujuan dari APEC tertuang dalam Deklarasi Bogor
pada tahun 1994, yaitu menetapkan kawasan APEC sebagai kawasan perdagangan dan investasi bebas
dan terbuka yang berlaku paling lambat tahun 2020. Untuk negara anggota yang termasuk dalam
kategori negara maju, kawasan bebas dan terbuka harus sudah terealisasi paling lambat 2010.
Untuk mencapai tujuannya, APEC dalam melakukan kegiatannya selalu berlandaskan pada prinsip
kesepakatan bersama yang sifatnya tidak mengikat, dialog terbuka, serta prinsip saling menghargai
pandangan dan pendapat seluruh anggota. Keputusan yang diambil oleh APEC dibuat berdasarkan
konsensus dan kesepakatan yang sifatnya sukarela. Indonesia merupakan salah satu negara pencetus
APEC.
Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin APEC II di kota Bogor pada tahun 1994.
Keikutsertaan Indonesia dalam forum APEC diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi
perekonomian nasional, investasi, dan perdagangan internasional. Selain itu, keanggotaan Indonesia
juga diharapkan dapat memperlancar dan mempererat kerja sama nonekonomi antarsesama negara
anggota pada tingkat bilateral maupun multilateral.
Sejak menjadi anggota OPEC tahun 1962, Indonesia ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan
kebijakan OPEC khususnya dalam rangka menstabilisasi jumlah produksi dan harga minyak di pasar
internasional. Sejak berdirinya Sekretariat OPEC di Wina tahun 1965, KBRI/PTRI Wina terlibat aktif
dalam kegiatan pemantauan harga minyak dan penanganan masalah substansi serta diplomasi di
berbagai persidangan yang diselenggarakan oleh OPEC.
Pentingnya peran yang dimainkan oleh Indonesia di OPEC telah membawa Indonesia pernah ditunjuk
sebagai Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC. Pada tahun 2004, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (MESDM) Indonesia terpilih menjadi Presiden dan Sekjen sementara OPEC.
Peran Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO di Nusa Dua Bali
sangatlah penting. Indonesia menjalankan tugas mulia untuk menjembatani kepentingan negara maju
dan berkembang itu. Tidak mudah menengahi berbagai kepentingan dari 159 negara anggota WTO
tersebut.