Malaria

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

MALARIA CAMPURAN
FALSIPARUM DAN VIVAX

Disusun oleh:
Antonius Christopher
01073180035

Pembimbing:
dr. Evy Novita, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 4 NOVEMBER 2019 – 11 JANUARI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
JAKARTA

1
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 22 Januari 1999
Usia : 20 tahun
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : MESS TA YON ZENI DKI JAKARTA
Pekerjaan : Marinir
No. Rekam Medis : 421***

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Rumah Sakit Marinir
Cilandak pada 26 November 2019.
i. Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari SMRS

ii. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun
tiap harinya, biasanya membaik saat pagi dan memburuk saat sore menjelang
malam hari, namun pasien belum pernah mengukur suhu demam. Pasien
menyangkal adanya mimisan, gusi berdarah, maupun timbulnya bercak-
bercak kemerahan pada kulit pasien. Tidak disertai mual dan muntah juga.
Selain demam pasien juga mengeluhkan batuk selama 3 hari SMRS, berdahak
kuning, dan mulut terasa pahit. Nafsu makan dirasa berkurang. Buang air
besar dan kecil tidak ada gangguan. Pasien mengatakan sempat bertugas di
Lampung sekitar satu setengah bulan SMRS, dan sempat demam juga untuk
1 hari sekitar lima hari setelah pulang dari Lampung. Pasien mengaku tidak
ada gangguan sejak saat itu sampai 5 hari SMRS.

iii. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku tidak memiliki riwayat asma, dan riwayat penyakit jantung.
2
iv. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes melitus, sakit jantung dan asma di keluarga
disangkal.

v. Riwayat Kebiasaan dan Sosial


Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Pasien juga mengatakan
tidak ada yang mengalami gejala serupa di sekitar tempat tinggal pasien.

vi. Riwayat Alergi


Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS = 15, E4M6V5)

Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Laju Nadi : 110x/menit
Laju Napas : 20x/menit
Suhu : 37.5֯c
SpO2 : 99%

Status Gizi dan Antropometri


Berat badan : 65 kg
Tinggi badan : 170 cm
Indeks masa tubuh (IMT) : 22,5
Kesan : berat badan normal

3
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Kepala Normosefal
Leher Pembesaaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), JVP 5 + 1
cm
Wajah Simetris, pucat (-), ikterus (-), sianosis (-)
Mata Konjungtiva Anemis (-), sklera ikterik (-)
Pupil bulat, reaktif, isokor, 3mm/3mm
Telinga Simetris, refleks cahaya (+/+), pendengaran baik
Hidung Pernafasan cuping hidung (-), Sekret (-/-),
epistaksis (-/-), deviasi septum (-)
Mulut Bibir pucat (-), kering (-), luka (-), depigmentasi (-)
Tenggorokan Tonsil T1/T1 tidak hiperemis, faring hiperemis (-)
Toraks
Paru Inspeksi : Bentuk normal, pengembangan dada
simetris statis dinamis, bekas luka (-), retraksi (-)
Palpasi : Pengembangan dada dan taktil fremitus
simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas luka (-),

Jantung pectus excavatum (-), pectus carinatum (-)


Palpasi: Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi:
Batas kanan jantung : ICS 4 linea parasternal
dekstra Batas kiri jantung: ICS 4 linea
midklavikula sinistra Batas atas jantung: ICS 2
linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

4
Abdomen Inspeksi : Datar, luka (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, masa (-), pembesaran organ (-), nyeri tekan
(-)

Perkusi : Timpani pada seluruh bagian abdomen.

D. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (24/11/2019)

HEMATOLOGI : Darah Rutin


Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Ruju
kan
Hemoglobin /Hb 13,8 gram /dL 13,0 – 17,0
Hematokrit /Ht 42 % 37,0 – 54,0
Leukosit 8,0 rb /ul 5 – 10
Trombosit 160 rb /ul 150 – 400
Mikrobiologi
Jenis Nilai
Hasil Satuan
Pemeriksaan Rujukan

Widal

Typhi O + 1/160 (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi AO - (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi BO + 1/80 (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi CO + 1/80 (-) Negatif (-) Negatif

5
Typhi H + 1/320 (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi AH + 1/320 (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi BH - (-) Negatif (-) Negatif

Para Typhi CH - (-) Negatif (-) Negatif

b. Laboratorium (25/11/2019)
HEMATOLOGI : Darah Rutin
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Ruju
kan
Hemoglobin /Hb 13,6 gram /dL 13,0 – 17,0
Hematokrit /Ht 41 % 37,0 – 54,0
Leukosit 9,4 rb /ul 5 – 10
Trombosit 210 rb /ul 150 – 400
SGOT 181 U/L 0 – 46
SGPT 110 U/L 0 – 45

HEMATOLOGI: MALARIA
Jenis Hasil Satuan Nilai
Pemeriksaan Rujukan
Malaria Ditemukan NEGATIVE
tropozoit (P.
Vivax & P.
Falciparum)

6
E. Resume
Tn D datang ke IGD Rumah Sakit Marinir Cilandak dengan keluhan demam
sejak 5 hari SMRS. Demam yang dirasakan hilang timbul, biasanya demam pasien
akan meningkat pada sore menjelang malam hari, diawali dengan menggigil, fase
demam tinggi selama malam hari kemudian suhu pasien akan kembali turun
menjelang pagi. Pasien belum sempat mengukur suhu pada saat demam terjadi.
Pasien menyangkal epistaksis, gusi berdarah, maupun timbulnya petechiae. Pasien
juga menyangkal adanya nyeri perut, mual, dan muntah. Pasien mengaku disertai
batuk selama 3 hari terakhir dengan dahak kekuningan dan rasa pahit di mulut, dan
penurunan nafsu makan. BAB dan BAK pasien dalam batas normal. Pasien
mengatakan sempat bertugas di Lampung satu setengah bulan SMRS dan pernah
lima hari setelah pulang demam dengan gejala yang sama selama satu hari saja.
Pasien mengaku belum pernah terkena malaria sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
pasien semua ditemukan dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan peningkatan enzim hati, tes widal positif dan pada pemeriksaan
laboratorium malaria juga ditemukan malaria (+) dengan jenis plasmodium
falsiparum dan vivax.

F. Diagnosis
Diagnosis Kerja :
Malaria falciparum + Vivax
Diagnosis Banding :
Malaria ovale
Demam tifoid

G. Penatalaksanaan
Tatalaksana IGD :
 Infus Dextros 5% 20 tpm
 Konsultasi Sp.Pd
 Infus : Rl selang seling dengan NaCl (20 tpm)
 Ceftriaxone injeksi dalam drip NaCl 100ml
 PCT 3 x 500mg PO
 OMZ tab 2 x 20mg PO

7
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 Rencana cek Malaria
 Diet makan lunak dan rendah serat

H. Prognosis
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad functionam : dubia ad bonam
c. Ad sanationam : dubia ad bonam

I. Follow Up
25/11/19 (hari ke-1)
S : demam (+), pegal-pegal (+), batuk (+), dahak (+)
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju nadi : 85x/menit, reguler
Laju napas : 22x/menit, reguler
Suhu : 38,1 oC
SpO2 : 99%

8
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Mata Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)
Pupil bulat, reaktif, isokor, 3mm/3mm
Toraks
Paru Inspeksi : Bentuk normal, pengembangan dada simetris
statis dinamis, bekas luka (-), retraksi (-)
Palpasi : Pengembangan dada dan taktil fremitus
simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas luka (-),

pectus excavatum (-), pectus carinatum (-)


Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 4 linea parasternal dekstra
Batas kiri jantung : ICS 4 linea midklavikula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, luka bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, masa (-), pembesaran organ (-), nyeri
tekan (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh bagian abdomen.


Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2s, edema (-/-), hiperemis (-/-),
clubbing finger (-),
pulsasi teraba simetris pada keempat ekstremitas

9
Laboratorium
HEMATOLOGI : Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin /Hb 13,6 gram /dL 14,0 – 18,0
Hematokrit /Ht 41 % 42,0 – 52,0
Leukosit 9,4 rb /ul 5 – 10
Trombosit 210 rb /ul 130 – 400
KIMIA
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
SGOT 181 U/L 0-46
SGPT 110 U/L 0-45

A : Demam tifoid, ISPA


P :
 Infus : Rl selang seling dengan NaCl (20 tpm)
 Ceftriaxone injeksi 1 x 2gr
 PCT 3 x 500mg PO
 OMZ tab 2 x 20mg PO
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 Cek malaria jika ada demam disertai dengan menggigil

26/11/19 (hari ke-2)


S : Sakit kepala (+), demam kemarin malam sampai menggigil
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Laju nadi : 80x/menit, reguler, S&D simetris
Laju napas : 20x/menit, reguler, spontan
Suhu : 37,6 oC
SpO2 : 99%

10
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Mata Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)
Pupil bulat, reaktif, isokor, 3mm/3mm
Toraks
Paru Inspeksi : Bentuk normal, pengembangan dada simetris
statis dinamis, bekas luka (-), retraksi (-)
Palpasi : Pengembangan dada dan taktil fremitus
simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas luka (-),

pectus excavatum (-), pectus carinatum (-)


Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 4 linea parasternal dekstra
Batas kiri jantung : ICS 4 linea midklavikula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, luka bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, masa (-), pembesaran organ (-), nyeri
tekan (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh bagian abdomen.


Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2s, edema (-/-), hiperemis (-/-),
clubbing finger (-),
pulsasi teraba simetris pada keempat ekstremitas

11
A : Malaria Falciparum dan Vivax, demam tifoid, ISPA
P :
 Infus : NaCl 0,9% (20 tpm)
 Ceftriaxone injeksi 1 x 2gr
 Sistenol 3 x 1
 OMZ tab 2 x 20mg PO
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 DHP 1 x 3 tab (u/ 3 hari)
 Primaquin 1 x 1 tab (1 hari)
 Hepa Balance 2 x 1

27/11/19 (hari ke-3)


S : Demam (+) naik turun, sakit kepala (+), menggigil (+)
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju nadi : 84x/menit, reguler
Laju napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 37,8 oC
SpO2 : 99%
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Mata Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-)
Pupil bulat, reaktif, isokor, 3mm/3mm
Toraks
Paru Inspeksi : Bentuk normal, pengembangan dada simetris
statis dinamis, bekas luka (-), retraksi (-)
Palpasi : Pengembangan dada dan taktil fremitus
simetris

12
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas luka (-),

pectus excavatum (-), pectus carinatum (-)


Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS 4 linea parasternal dekstra
Batas kiri jantung : ICS 4 linea midklavikula sinistra
Batas atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Datar, luka bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, masa (-), pembesaran organ (-), nyeri
tekan (-)

Perkusi : Timpani pada seluruh bagian abdomen.


Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2s, edema (-/-), hiperemis (-/-),
clubbing finger (-),
pulsasi teraba simetris pada keempat ekstremitas

A : Malaria Falciparum + Vivax, demam tifoid, ISPA


P :
 Infus : NaCl 0,9% (20 tpm)
 Ceftriaxone injeksi 1 x 2gr
 Sistenol 3 x 1
 OMZ tab 2 x 20mg PO
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 DHP 1 x 3 tab (u/ 3 hari)
 Primaquin 1 x 1 tab (14 hari)
 Hepa Balance 2 x 1

13
28/11/19 (hari ke-4)
S : Sakit Kepala (+), demam (-)
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju nadi : 80x/menit, reguler
Laju napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,5 oC
SpO2 : 99%

A : Malaria Falciparum + Vivax, Demam tifoid, ISPA


P :
 Infus NaCl 0,9% : RL : D5% = 1 : 1 : 1 = 20tpm
 Ceftriaxone injeksi 1 x 2gr
 Sistenol 3 x 1
 OMZ tab 2 x 20mg PO
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 DHP 1 x 3 tab STOP
 Primaquin 1 x 1 tab (14 hari)
 Hepa Balance 2 x 1

29/11/19 (hari ke-5)


S : Sakit Kepala (+) berkurang, demam (-) 2 hari
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Laju nadi : 75x/menit, reguler

14
Laju napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,2 oC
SpO2 : 99%

A : Malaria Falciparum + Vivax, Demam tifoid, ISPA


P :
 Infus NaCl 0,9% : RL : D5% = 1 : 1 : 1 = 20tpm
 Ceftriaxone injeksi 1 x 2gr
 Sistenol 3 x 1
 OMZ tab 2 x 20mg
 Curcuma 2 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 Primaquin 1 x 1 tab (14 hari)
 Hepa Balance 2 x 1

30/11/19 (hari ke-6) – Pasien pulang


S : Tidak ada keluhan
O :
Keadaan umum : Tampak sakit sedanag
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Laju nadi : 80x/menit, reguler
Laju napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,4 oC
SpO2 : 99%

A : Malaria Falciparum + Vivax, Demam tifoid, ISPA


P :
 Infus NaCl 0,9% : RL : D5% = 1 : 1 : 1 = 20tpm
 Cefixime 2 x 200mg
 Curcuma 3 x 1 tab
 Ambroxol 3 x 1 tab
 Primaquin 1 x 1 tab (14 hari)

15
 Hepa Pro 3 x 1
 Kontrol poli tanggal 5/12/2019

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Malaria adalah penyakit mengancam nyawa yang disebabkan oleh parasit yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi - disebut sebagai vektor
malaria - yang sebenarnya dapat dicegah dan disembuhkan. Terdapat lima spesies parasit
Plasmodia yang dapat menyebabkan malaria pada manusia yaitu, P. falciparum, P. vivax,
P. ovale, P. malariae, dan P. Knowlesi. Dari kelima spesies parasit tersebut, P.Falciparum
dan P. vivax merupakan dua jenis yang paling sering menjadi sebab infeksi.1

2.2. Epidemiologi
Malaria bisa ditemukan pada hampir semua daerah tropis di dunia, pada tahun 2017
terdapat 219 juta kasus malaria pada 87 negara, dan kasus malaria tertinggi terjadi di
Afrika, dengan 92% jumlah kasus malaria, dan 93% kematian. Epidemiologi dari malaria
bersifat kompleks dan jenisnya dapat berbeda walaupun dalam area geografis yang sama.
Pada daerah - daerah dengan risiko penularan malaria berat, individu-individu dapat
mengalami lebih dari satu gigitan yang menular per hari, dan dapat terkena malaria
berulang kali sepanjang hidup. Pada daerah-daerah tersebut, malaria yang terjadi memiliki
risiko mortalitas dan morbiditas lebih tinggi pada kasus anak-anak, dan biasanya bersifat
asimtomatis pada dewasa. Penularan infeksi yang sering dan hadir sepanjang tahun disebut
sebagai transmisi stabil. Sedangkan pada daerah dengan risiko infeksi rendah atau bersifat
fokal, infeksi simtomatis dapat terjadi pada segala usia, disebut sebagai transmisi tidak
stabil. Selain itu, insidensi malaria dipengaruhi juga oleh perubahan pada lingkungan,
ekonomi, dan kondisi sosial, seperti pada musim hujan, proses migrasi dari daerah tanpa
malaria kepada daerah endemis malaria, perang, dan gangguan sipil.7

16
Determinan utama dari epidemiologi malaria adalah densitas, perilaku nyamuk
menggigit manusia, dan jangka hidup dari vektor nyamuk Anopheles. Di dunia terdapat
lebih dari 400 spesies Anopheles, namun hanya sekitar 30 spesies yang merupakan vektor
malaria. Jangka hidup nyamuk juga sangat penting karena siklus hidup parasit Plasmodia
dalam nyamuk memperlukan waktu 8 hingga 30 hari tergantung suhu. Maka untuk
menularkan malaria, nyamuk harus hidup untuk lebih dari 7 hari. Sporogoni tidak dapat
berjalan bila temperatur lebih rendah dari 16°C untuk P. vivax and 21°C untuk P.
falciparum. Maka dari itu, transmisi malaria tidak terjadi pada daerah- daerah dengan suhu
tersebut atau pada daerah tinggi.7

Gambar 1. Distribusi kasus malaria falsiparum per 1000 penduduk di Indonesia, tahun 2017 (Sumber : Malaria
Country Profiles : Indonesia, World Health Organization)

17
Gambar 2. Distribusi kasus malaria vivaks per 1000 penduduk di Indonesia, tahun 2017. (Sumber : Malaria
Country Profiles : Indonesia, World Health Organization)

Pada tahun 2010, sebuah penelitian oleh Elyazar dkk menemukan bahwa sebanyak
132,8 juta penduduk Indonesia hidup dengan risiko terkena P. falciparum, dimana 70,3%
tinggal pada daerah transmisi tidak stabil, dan 29,7% tinggal di daerah transmisi stabil,
dengan mayoritas populasi berisiko berada di Indonesia timur. 5 Data tahun 2017 dari The
World Health Organization (WHO), menemukan bahwa sekitar 16,9 juta penduduk
Indonesia tinggal di daerah berisiko penularan malaria tinggi (>1 kasus per 1000
penduduk). Spesies Plasmodium yang tersering menyebabkan malaria di Indonesia adalah
P. falciparum dan P. vivax.10

2.3. Etiologi
2.3.1. Parasit Plasmodia
Plasmodia adalah parasit-parasit sporozoa sel eritrosit yang ditransmisikan
pada binatang (seperti mamalia, burung, reptile) melalui gigitan nyamuk.
Lima spesies dari genus Plasmodium, yaitu P. falciparum, P. vivax, dua
subspesies simpatrik P. ovale, dan P. malariae, lebih sering menginfeksi,
sedangkan P. knowlesi merupakan parasit simian yang juga dapat
menyebabkan penyakit malaria pada berberapa daerah dari Asia Tenggara.
Hampir semua kematian dan manifestasi berat dari malaria disebabkan oleh
18
P. falciparum. Dulu tergolongkan sebagai satu spesies, kini diketahui
bahwa P. ovale terdiri dari dua subspesies parasit simpatrik yaitu P. ovale
wallikeri dan P. ovale curtisi.4 Karakteristik-karakteristik individual dari
parasit- parasit tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Ciri-ciri individual parasit malaria pada manusia. (Sumber : Manson’s tropical
infectious diseases)
Ciri Spesies
P. falciparum P. vivax P. ovale P. malariae P. knowlesi
Fase
eksoeritrositik 5,5 8 9 15 7
(hari)
Siklus eritrositik 2 2 2 3 1
(hari)
Fase hipnozoit Tidak Iya Iya Tidak Tidak
Jumlah merozoit
pada skizon 30.000 10.000 15.000 2.000 -
hepatik
Eritrosit
muda, namun

Preferensi eritrosit dapat Retikulosit Retikulosit Eritrosit tua Semua usia


menyerang
semua usia
Durasi maksimum
infeksi tanpa 2 4 4 40 -
pengobatan
(tahun)

2.3.2. Vektor Anopheles


Vektor didefinisikan sebagai organisme yang tidak menyebabkan infeksi
namun membantu penyebaran infeksi dengan membawa patogen dari satu inang
ke inang lainnya. Vektor malaria adalah nyamuk genus Anopheles. Di
Indonesia, spesies-spesies yang paling berperan dalam penularan adalah An.
sundaicus, An. balabacensis, An. maculatus, An. farauti, dan An. subpictus.10

19
2.4. Patogenesis
Patofisiologi dari malaria secara garis besar dihasilkan oleh destruksi eritrosit,
pelepasan parasit Plasmodium pada sistem sirkulasi darah, dan respon tubuh terhadap
proses tersebut. Selain itu, malaria yang disebabkan P.falciparum juga menyebabkan
sekuestrasi eritrosit yang terkena parasit di mikrosirkulasi organ-organ vital, sehingga
dapat menghasilkan sumbatan peredaran darah dan mengganggu metabolisme normal
tubuh.4

2.4.1. Siklus Hidup Malaria


Infeksi malaria dimulai dengan gigitan nyamuk Anopheles betina yang
melepas sporozoit ke dalam pembuluh darah. Pada umumnya sekitar 8 sampai 15
sporozoit terinokulasi, namun jumlah sporozoit bisa mencapai 100. Setelah berada
dalam tubuh, sporozoit akan masuk dalam sistem sirkulasi dan menginfiltrasi sel-
sel hepatosit. Dalam 45 menit sporozoit menuju hati atau dihancurkan oleh sistem
imun. Setelah masuk dalam hepatosit, sporozoit akan mengalami proses
perkembangan aseksual dalam parenkim hati dan membentuk skizon hati yang
berlangsung selama 5,5 hari (P.falsiparum) hingga 15 hari (P.malariae), sebelum
skizon hepatik akan ruptur dan melepas ribuan merozoit pada sistem sirkulasi.
Proses tersebut bersifat asimptomatik. Pada infeksi P.vivax dan P.ovale, sebagian
dari hipnozoit dalam hati dapat menjadi dorman jika tidak diobati dan dapat
menginfeksi beberapa minggu, bulan atau tahun setelahnya.4

20
Gambar 3. Siklus hidup malaria (sumber : Centres for Disease Control and Prevention)

Setelah matang, skizon hati pecah dan mengeluarkan banyak merozoit


ke sirkulasi darah, kemudian merozoit akan menginvasi eritrosit. Dalam
eritrosit, merozoit akan berkembang dan mengonsumsi isi eritrosit, dimana
mayoritas adalah hemoglobin. Dalam waktu <12 jam merozoit akan berubah
menjadi bentuk ring (tropozoit imatur), setelah 36 jam parasit berkembang
menjadi skizon (tropozoit matur) Pada akhirnya, eritrosit akan penuh terisi
merozoit dan merusak sel darah merah. Eritrosit tersebut akan pecah
mengeluarkan 6-36 merozoit ( siklus hidup aseksual berlangsung sekitar 24 jam
pada P.knowlesi, 48 jam pada P.vivax dan P.ovale dan 72 jam untuk P.malariae
dan 24-48 jam pada P.falsiparum).4 Merozoit yang terlepas akan segera
menginfiltrasi sel eritrosit lain, hingga melanjutkan siklus aseksual dalam sel
darah merah.
Setelah beberapa siklus aseksual, sebagian dari populasi Plasmodia
akan berkembang membentuk gametosit, gametosit jantan (microgametocytes)
dan gametosit betina (macrogametocytes) yaitu stadium dimana parasit tersebut

21
akan diambil lagi saat nyamuk Anopheles mengingit manusia. Proses
gametositogoni membutuhkan sekitar 7 sampai 10 hari pada P.falsiparum, dan
hanya 4 hari pada P.vivax, yang dapat memulai proses tersebut langsung setelah
fase eritrositik dimulai. Setelah dikonsumsi oleh nyamuk Anopheles betina,
gametosit jantan dan betina akan teraktivasi dalam saluran cerna nyamuk yang
disebut sebagai siklus sporogonik. Gametosit jantan akan menjalankan
pembelahan sel secara cepat dan membentuk 8 mikrogamet yang dilengkapi
dengan flagela. Mikrogamet tersebut akan mencari dan mempenetrasi
makrogamet betina, untuk membentuk sebuah zigot. Setelah 24 jam, zigot
berkembang menjadi ookinet motil yang dapat mempenetrasi dinding saluran
cerna nyamuk, dan membentuk ookista. Ookista tersebut akan membelah
melalui pembelahan aseksual hingga mencapai diameter sekitar 500μm, dimana
kemudian akan ruptur dan melepaskan sporozoit. Sporozoit tersebut kemudian
bermigrasi menuju kelenjar saliva nyamuk, menunggu sampai terinokulasi
ulang pada inang selanjutnya. Siklus sporogonik berlangsung selama 8-35 hari
bergantung suhu, spesies parasit, dan nyamuk.4

2.4.2. Imunitas pada Malaria


Imunitas pada malaria sangat kompleks yang melibatkan hampir seluruh
komponen sistem imun baik spesifik dan non spesifik yang dapat didapatkan
secara alami maupun didapatkan akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas hanya
bersifat jangka pendek atau mungkin tidak ada imunitas yang permanen dan
sempurna. Pertama terdapat imunitas alamiah non imunologis berupa kelainan-
kelainan genetik polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi terhadap
malaria seperti hemoglobin S, hemoglobin C, hemoglobin E, thalasemia A/B,
defisiensi G6PD, dan golongan darah Duffy negatif.8
Kedua adalah imunitas innate non-spesifik di mana sporozoit yang
masuk darah akan dengan cepat merangsang respon imun non-spesifik, monosit
memegang peranan utama yang akan menghasilkan sitokin seperti TNF, IL-1,
IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 yang secara langsung menghambat pertumbuhan
parasit (sitostatik) dan membunuh parasit (sitotoksis). Ketiga adalah imunitas
innate spesifik, dimana dapat bersifat spesies spesifik, strain spesifik, dan
stadium spesifik.

22
Imunitas stage spesifik dibagi menjadi imunitas pada stadium
eksoeritrositik dan pada stadium aseksual eritrositik. Pada stadium eritrositik
ekstrahepatik (stadium sporozoit) respon imun dengan pembentukan antibodi
yang menghambat masuknya sporozoit ke dalam hepatosit dan membunuh
sporozoit melalui opsonisasi. Sedangkan pada stadium eksoeritrositik
intrahepatik respon imunnya adalah limfosit T sitotoksik CD8+
antigen/antibodi. Imunitas pada stadium aseksual eritrositik berupa : antibodi
yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat sitoadherens, dan
menghambat pelepasan atau menetralkan toksik-toksik parasit.7,8
Imunitas pada stadium seksual berupa antibodi yang membunuh
gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi, dan menghambat transformasi
zigot menjadi ookinet. Pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium
sporozoit.7,8

2.5. Diagnosis
Diagnosis dari malaria ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat bepergian ke daerah endemik malaria
akan sangat membantu dalam memperkirakan adanya infeksi malaria, walaupun gejala
klinis tidak spesifik. Menurut WHO standar diagnosis malaria adalah sebagai berikut3:
– Setiap individu yang tinggal di daerah endemik malaria yang menderita demam
atau memiliki riwayat demam dalam 48 jam terakhir atau tampak anemi; wajib
diduga malaria tanpa mengesampingkan penyebab demam yang lain.
– Setiap individu yang tinggal di daerah non endemik malaria yang menderita
demam atau riwayat demam dalam 7 hari terakhir dan memiliki risiko tertular
malaria; wajib diduga malaria. Risiko tertular malaria termasuk : riwayat
bepergian ke daerah endemik malaria atau adanya kunjungan individu dari
daerah endemik malaria di lingkungan tempat tinggal penderita.
– Setiap penderita yang diduga malaria harus diperiksa darah malaria dengan
mikroskop atau RDT (Rapid Diagnostic Test).
– Untuk mendapatkan pengobatan yang cepat maka hasil diagnosis malaria harus
didapatkan dalam waktu kurang dari 1 hari terhitung sejak pasien
memeriksakan diri.

23
Kriteria diagnosis di atas dapat digunakan untuk mendiagnosis malaria ringan,
namun untuk malaria berat maka harus menggunakan kriteria WHO seperti
ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari
manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium3:
– Perubahan kesadaran (GCS < 11)
– Kelemahan otot (tidak bisa duduk/berjalan)
– Kejang berulang – lebih dari dua episode dalam 24 jam
– Distres pernapasan
– Gagal sirkulasi atau syok: CRT > 3 detik, tekanan sistolik <80mmHg(pada anak
< 70mmHg)
– Jaundice (bilirubin > 3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
– Hemoglobinuria
– Perdarahan spontan abnormal
– Edema paru (radiologi, saturasi oksigen < 92%)
Gambaran laboratorium:
– Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
– Asidosis metabolic (bikarbonat plasma < 15 mmol/L)
– Anemia berat (Hb < 5 gr% untuk endemis tinggi, < 7 gr% untuk endemis
sedang rendah), pada dewasa Hb < 7gr% atau hematokrit < 15%)
– Hiperparasitemia (parasite > 2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di daerah
endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di daerah
endemis tinggi)
– Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
– Hemoglobinuria
– Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

2.5.1. Manifestasi klinis


Gejala klinis dari malaria tergantung pada imunitas penderita, dan
tingginya transmisi infeksi malaria. Selain itu, tingkat berat ringannya infeksi
dipengaruhi oleh jenis malaria dimana P.falsiparum paling banyak memberikan
komplikasi dan memiliki perjalanan klinis yang cukup serius; daerah asal infeksi
yang mempengaruhi pola resistensi terhadap pengobatan; usia dimana lebih berat
pada usia lanjut dan bayi; kesehatan dan nutrisi; kemoprofilaksis dan pengobatan
sebelumnya.8
24
Manifestasi klinis yang paling menonjol dari malaria adalah demam
bersifat periodik, anemia, dan splenomegali. Masa inkubasi berbeda-beda untuk
setiap jenis malaria. Gejala prodromal dapat timbul sebelum terjadinya demam
seperti lesu, malaise, nyeri kepala, nyeri sendi dan tulang, demam ringan,
anoreksia, nyeri perut dan diare ringan. Gejala prodromal lebih sering timbul pada
P.vivax dan P.ovale. Trias malaria dimulai dari8 :
– Stadium menggigil : berlangsung selama 15-60 menit dimulai dari
menggigil.
– Stadium puncak demam : wajah penderita mulai merah, nadi cepat, dan
suhu tubuh tetap tinggi selama beberapa jam.
– Stadium berkeringat : muncul keringan dalam jumlah banyak dan
temperatur kembali ke normal.
Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal
dari daerah non endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala
lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala
tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis
(imun).8
Anemia sering ditemukan pada penderita malaria yang terjadi oleh
karena perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara dari proses
eritropoesis, dan terjadinya hemolisis karena kompleks imun yang diperantarai
komplemen, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan
pengaruh dari sitokin. Limpa memfagosit eritrosit yang terinfeksi dengan
malaria melalui perubahan metabolisme, antigenik, dan rheological dari
eritrosit yang terinfeksi. Hal ini menyebabkan pembesaran dari limpa
(splenomegali).7,8

25
Tabel 2. Perbedaan tiap Plasmodium8
Inkubasi Bebas Relaps Rekrudensi Manifestasi Klinis
(hari) Demam
(jam)
Vivax 12-17 hari - 48 Ya Tidak Anemia kronik; splenomegali ruptur
> bulan limpa
Falciparum 9-14 24, 36, 48 Tidak Ya Gejala gastrointestinal; hemolisis;
anemia; ikterus hemoglobinuria;
syok; algid malaria; gejala serebral;
edema paru; hipoglikemi; gangguan
kehamilan; kelainan retina
Ovale 16-18 48 Ya Tidak Sama dengan vivax
Malariae 18-40 72 Tidak Ya Rekrudensi sampai 50 tahun;
splenomegali menetap; ruptur limpa
jarang ruptur; sindroma nefrotik
Knowlesi 9-12 24 Tidak ? Demam, nyeri perut,
trombositopenia, gangguan ginjal,
ikterik, hiperparasitemia

Pemeriksaan fisik pada malaria tidak spesifik dan memberikan sedikit


bantuan dalam diagnosis. Pada sebagian besar kasus, mungkin tidak ada temuan
positif selain demam yaitu suhu tubuh 37,5֯C. Splenomegali sering ditemukan
namun mungkin tidak tampak pada awal penyakit. Hepatomegali, ikterus,
hipotensi, dan nyeri tekan perut juga dapat ditemukan. Malaria tidak
menyebabkan limfadenopati dan tidak berhubungan dengan timbulnya ruam.8,11

2.5.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang membuat diagnosis pasti dari malaria
adalah dengan ditemukannya parasit malaria pada pemeriksaan mikroskopik
dan bila tidak memungkinkan dapat dibantu dengan tes diagnosa cepat atau
Rapid Diagnostic Test.7,8

26
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis malaria. Jika hasil
pemeriksaan negatif dalam 3 hari berturut-turut, maka dapat disingkirkan diagnosis
malaria. Pengambilan darah ketika suhu pasien sedang tinggi meningkatkan
kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan
membuat sediaan darah tebal dan tipis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria (positif/negatif), spesies, stadium
Plasmodium, dan kepadatan parasit.8
– Sediaan darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria
karena jumlah darahnya cukup banyak. Sediaan darah tipis digunakan untuk
mengidentifikasi jenis plasmodium, bila dengan yang tebal sulit ditemukan.3,9
– Semi kuantitatif :
(-) : negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LBP)
(+) : positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LBP)
(++) : positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LBP)
(+++) : positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LBP)
(++++) : positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LBP)
 Kepadatan parasit <100.000/uL memiliki mortalitas <1%
 Kepadatan parasit >100.000/uL memiliki angka mortalitas >1%
 Kepadatan parasit >500.000/uL memiliki angka mortalitas >50%
– Kuantitatif :
Jumlah parasit dihitung per mikro liter pada sediaan tebal (leukosit) atau sediaan
darah tipis (eritrosit). Hitung parasit pada tetes tebal dengan menghitung jumlah
parasit per 200 leukosit. Hitung parasit pada sediaan darah tipis didapatkan
berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah
merah.8
2. Pemeriksaan Tes Diagnostik Cepat (Rapid Diagnostic Test)
Pada keadaan dimana pemeriksaan mikroskopik sulit untuk dilakukan, uji
diagnostik cepat atau rapid diagnostic test (RDT) dapat dilakukan. Saat ini terdapat
dua tipe RDT yang sering digunakan. Pertama berdasarkan deteksi Plasmodium
histidine-rich protein 2(HRP-2). Walaupun pemeriksaan tersebut sensitif dan
spesifik terhadap malaria, tetapi metode tersebut masih memiliki beberapa

27
kekurangan. Pertama, pemeriksaan tersebut tidak dapat menilai respon dari terapi
karena HRP-2 akan tetap positif sampai 28 hari setelah terapi. Kedua, deteksi
berdasarkan HRP-2 terbatas hanya pada P.falsiparum. Ketiga, sensitivitas terhadap
RDT menurun pada densitas parasit <100-1000/μL. Tipe RDT yang kedua adalah
mendeteksi LDH P.falsiparum-spesifik dan LDH pan-Plasmodium. Metode uji
tersebut dapat mendeteksi tipe malaria lain, namun memiliki nilai sensitivitas yang
lebih rendah dibandingkan metode mikroskopi. Namun, deteksi LDH dapat
memberikan hasil yang proporsional terhadap derajat parasitmia, hingga dapat
digunakan untuk mengevaluasi respon terhadap terapi.8
3. Tes Serologi dengan teknik immuno fluorescent antibody (IFA)
Tes ini berfungsi dalam mendeteksi antibodi spesifik terhadap malaria atau pada
keadaan dimana parasit sangat sedikit jumlahnya. Pemeriksaan ini kurang
bermanfaat sebagai pemeriksaan diagnostik karena antibodi baru terbentuk dalam
waktu kurang lebih 2 minggu setelah terjadinya infeksi dan menetap hinggal 3
hingga 6 bulan. Tes ini berguna untuk alat uji saring donor darah. Titer >1:200
dianggap sebagai infeksi baru, dan titer >1:20 dinyatakan sebagai positif terinfeksi.8
4. Tes diagnosis molekular
Dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sequencing DNA.
Pemeriksaan ini penting dalam membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada
P.falsiparum. Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi spesies
Plasmodium jika jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang
mikroskopis.8

2.6. Perjalanan Infeksi Malaria


a. Serangan primer : keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi
serangan paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat.8
b. Periode laten : periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya
infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.8
c. Rekrudesensi : berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8
minggu sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi berupa
berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering
disebut juga sebagai relaps waktu panjang.8
d. Rekurens : berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnya serangan primer.8
28
e. Relaps atau rechute : berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama
dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer atau setelah periode yang
lama dari masa laten (hingga 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh
atau oleh bentuk diluar eritrosit (hati) pada P.vivax atau P.ovale.8

2.7. Klasifikasi
2.7.1. Malaria Asimptomatik
Malaria asimptomatik adalah ketika parasit malaria ditemukan pada
pemeriksaan darah penderita, namun penderita tidak mengeluhkan gejala.
Penderita ini biasanya ditemukan pada waktu survailes dan biasa ditemukan
pada daerah yang hiper atau holoendemik. Penderita ini memiliki tingkat
imunitas yang tinggi sehingga adanya parasit dalam darah tidak menimbulkan
gejala. Bila ditemukan kasus seperti ini tetap harus diberikan obat
antimalaria.8,12

2.7.2. Malaria Tanpa Komplikasi


Malaria tanpa komplikasi adalah ketika ditemukan parasit dalam darah dan
pasien mengalami gejala. Gejala yang dialami dapat menyerupai gejala klasik
maupun tidak klasik, sehingga tetap harus diobati dengan obat anti malaria.
Namun, pada pasien-pasien dengan jenis malaria ini, tidak ada komplikasi yang
dialami.3,8

2.7.3. Malaria Berat


Malaria berat merupakan komplikasi yang umumnya disebabkan oleh
P.falsiparum namun dapat juga disebabkan oleh P.vivax dan P.knowlesi dan
biasanya disebut sebagai pernicious manifestations. Malaria berat sering terjadi
secara mendadak tanpa didahului gejala sebelumnya, dan sering terjadi pada
penderita yang tidak imun seperti pada pendatang maupun ibu hamil.
Komplikasi terjadi sebesar 5-10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat
di Rumah Sakit, dan 20% kasus merupakan kasus yang fatal. Menurut WHO
definisi malaria berat adalah infeksi P.falsiparum dengan satu atau lebih
komplikasi berikut14,15 :

29
a. Malaria serebral : penurunan kesadaran (koma) yang bukan disebabkan oleh
penyakit lain atau >30menit setelah serangan kejang
b. Asidemia/asidosis : pH darah <7,25 atau plasma bikarbonat <15 mmol/L,
kadar laktat vena >5mmol/L, klinis pernapasan dalam atau respiratory
distress
c. Anemia berat normositik : Hb <5gr/dL atau Ht <15%
d. Gagal ginjal akut : urin <400mL/24 jam pada orang dewasa atau
12mL/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai
peningkatan kreatinin >3mg/dL
e. Edema paru : berdasarkan penemuan pada foto toraks
f. Ketidakmampuan untuk makan
g. Hipoglikemia : gula darah < 40mg/dL
h. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik < 70mmHg disertai keringat
dingin atau perbedaan suhu kulit-mukosa >1֯C
i. Perdarahan spontan
j. Kejang berulang lebih dari 2x/24 jam
k. Hiperlaktemia >5mmol/L
l. Markoskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut (bukan
karena obat malaria atau kelainan eritrosit)
m. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh darah kapiler di jaringan otak atau yang lain

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai
dengan gambaran klinik daerah setempat :
a. Gangguan kesadaran ringan (GCS <15) di Indonesia sering dalam keadaan
delirium
b. Kelemahan otot sehingga tidak dapat duduk ataupun berjalan tanpa bantuan
c. Hiperparasitemia >2% (>100.000 parasit/uL) pada daerah transmisi rendah
atau >5% (250.000 parasit/uL) pada daerah transmisi tinggi atau stabil
malaria
d. Ikterik dengan jumlah bilirubin >3mg/dL bila disertai gagal organ lain
e. Hiperpireksia pada dewasa atau anak

30
2.7.4. Malaria Rekurens
Pada infeksi P. vivax dan P. ovale, pasien yang sembuh dari episode pertama
penyakit dapat mengalami beberapa serangan tambahan (“kambuh”) setelah
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa gejala. Kekambuhan terjadi
karena P. vivax dan P. ovale memiliki parasit tahap hati yang tidak aktif
("hypnozoites") yang dapat diaktifkan kembali. Pengobatan untuk mengurangi
kemungkinan kambuh tersebut tersedia dan harus mengikuti pengobatan
serangan pertama. Hal ini disebut sebagai relaps infeksi.

Selain relaps infeksi, malaria rekuren dapat dihasilkan juga dari kegagalan
terapi (rekrudesensi). Pada umumnya, rekrudesensi terjadi dalam jangka waktu
hari atau minggu, sedangkan relaps terjadi dalam jangka waktu minggu atau
bulan. Pada rekrudesensi, parasit Plasmodia menetap dalam darah tidak
terdeteksi karena kegagalan terapi atau respons imun tubuh. P. falciparum
merupakan penyebab tersering dari rekrudesensi, sedangkan P. vivax atau P.
ovale merupakan penyebab tersering terjadinya relaps.

2.8. Tatalaksana
2.8.1. Pencegahan
Pencegahan infeksi malaria dilakukan dengan meningkatkan kewaspadaan
terhadap risiko malaria, mencegah gigitan nyamuk, pengendalian vektor dan
kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan
penggunaan kelambu ber-insektisida, repelen, obat nyamuk seperti permetrin,
deltametrin atau dietiloluamid pada pakaian atau bagian kulit yang tidak tertutup,
kawat kasa nyamuk dan lainnya.7
Pemilihan obat kemoprofilaksis tergantung dari pola resistensi daerah
kunjungan, usia pelancong, lama kunjungan, kehamilan, kondisi penyakit tertentu
penderita, toleransi obat, dan faktor ekonomi. Obat kemoprofilaksis yang dapat
dipakai sebagai obat pencegahan adalah atovaquone-proguanil (malarone),
doksisiklin, kloroquinolon, dan meflokuin. Obat yang ideal adalah malarone,
karena memiliki efek terhadap parasit yang beredar dalam darah dan hati maka
dari itu penggunaannya boleh dihentikan hingga 1 minggu setelah melakukan

31
perjalanan. Sedangkan obat lain doksisiklin, klorokuin dan meflokuin harus
dilanjutkan hingga 4 minggu setelah perjalanan.14
Malarone dan doksisiklin dapat dimulai 1-2 hari sebelum perjalanan,
klorokuin dimulai 1 minggu sebelum mulai perjalanan, sedangkan meflokuin
dimualai 2-3 minggu sebelum perjalanan. Pada daerah dengan resistensi terhadap
klorokuin dianjurkan doksisiklin dengan dosis 100mg/hari atau meflokuin
250mg/minggu atau klorokuin 2 tab/minggu ditambah proguanil (malarone)
200mg/hari. Doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah
8 tahun, dan tidak boleh digunakan selama lebih dari 6 bulan.14,15

Tabel 3. Regimen obat profilaksis malaria16

32
Vaksinasi terhadap malaria masih dalam tahap pengembangan karena
banyak terdapat antigen terhadap plasmodium pada masing-masing bentuk pada
daur plasmodium. Terdapat 3 jenis vaksin yang dikembangkan untuk
P.falsiparum yaitu vaksin sporozoit (bentuk intrahepatik), vaksin terhadap bentuk
aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit.
Vaksin sporozoit bertujuan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga
diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin yang ideal adalah vaksin yang multi-stage
(sporozoit dan aseksual), multivalent (terdiri dari beberapa antigen) sehingga
memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan
diharapkan memberikan respons terbaik dan harga yang tidak mahal.8

2.8.2. Medikamentosa17
a. Derivat kuionolon
Derivat dari kuinolon seperti klorokuin, eflokuin, kuinidin, dan kina. Obat
ini bekerja pada stadium eritrosit dengan membentuk kompleks yang
mengikat heme, hingga menghambat proses kristalisasi heme, yang berisfat
toksik.
b. Sulfadoksin-pirimetamin
Merupakan zat anti-folat yang menghambat enzim dihydrofolate reductase
(DHFR) dan dihydropteroate synthase (DHPS) yang diperlukan dalam
pembentukan asam nukleat. Pirimetamin menginhibisi DHFR dan produksi
tetrahidrofolat, sedangkan sulfadoksin menginhibisi DHPS.
c. Atovakuon-proguanil
Menghambat biosintesis pirimidin yang diperlukan dalam replikasi asam
nukleat. Atovakuon bekerja dengan menghambat transport elektron pada
mitokondria parasit, hingga mengganggu pembentukan membran potential
dan respirasi sel, dan diperkuat oleh proguanil.
d. Doksisiklin
Antimikrobial seperti doksisiklin, tetrasiklin, dan klindamisin sering
digunakan terutama doksisiklin. Doksisiklin bekerja dengan mengikat
aminoacyl-tRNA, yang merupakan bagian dari subunit ribosom 30S
sehingga menginhibisi sintesis protein.

33
e. Derivat artemisin
Mekanisme kerja dari artemisin dan derivatnya belum diketahui secara
penuh. Namun, teori dari mekanisme kerja artemisin melibatkan
pembentukan radikal bebas yang merusak protein-protein yang diperlukan
untuk berbagai proses metabolisme parasit. Artemisin dapat membunuh
semua stadium darah semua jenis.

2.8.2.1. Malaria tanpa Komplikasi


Penderita yang tergolong malaria tanpa komplikasi diobati dengan ACT
(artemisin based combination therapy). Golongan artemisin (ART) dipilih
sebagai obat lini pertama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang
resisten dalam pengobatan. Artemisin juga efektif terhadap semua spesies
plasmodium. Namun penelitian menunjukkan bahwa pengobatan hanya dengan
artemisin dapat menimbulkan rekrudensi sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.17
Pada P.falsiparum dan P.vivax saat ini menggunakan ACT ditambah
dengan primakuin. Dosis ACT dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) untuk
P.falsiparum dan P.vivax adalah sama dan diberikan berdasarkan berat badan
pasien. Namun untuk dosis primakuin berbeda, untuk P.falsiparum hanya diberi
dengan dosis 0,25 mg/kgBB pada hari pertama saja. Sedangkan untuk P.vivax
primakuin diberikan selama 14 hari.
Pada pasien dengan P.falsiparum dengan berat badan >80kg yang
datang kembali dalam waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan
sediaan darah masih positif, maka diberikan DHP dengan dosis 5 tab/hari
selama 3 hari.

Gambar 4. Pengobatan P.falsiparum berdasarkan BB dengan DHP dan primakuin18

34
Gambar 5. Pengobatan P.vivax berdasarkan BB dengan DHP dan primakuin18

Pengobatan kasus P.vivax relaps adalah dengan pemberian regimen


ACT yang sama namun dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari. Pengobatan P.ovale saat ini menggunakan DHP ditambahkan
dengan primakuin selama 14 hari. Pengobatan P.malariae cukup dengan
pemberian ACT 1x/hari selama 3 hari tanpa pemberian primakuin. Pengobatan
infeksi campur P.falsiparum + P.vivax/P.ovale diberikan pengobatan ACT
selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14
hari.17,18

Gambar 6. Pengobatan Infeksi Campuran18

2.8.2.2. Malaria pada Ibu Hamil


Prinsip pengobatan malaria pada ibu hamil adalah sama dengan
pengobatan pada orang dewasa lainnya. Namun, pada ibu hamil tidak diberikan
Primakuin.

35
2.8.2.3. Malaria Berat
Semua penderita malaria berat harus ditangani di rumah sakit. Prognosis
malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.19,20
a. Pengobatan di puskesmas/ klinik non perawatan
Segera rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum dirujuk diberikan
artesunat intramuskular dengan dosis 2,4 mg/kgBB.19
b. Puskesmas/ klinik perawat atau rumah sakit
Artesunat intravena merupakan pilihan utama, namun jika tidak
tersedia maka dapat diberikan kina drip. Dosis artesunat parenteral adalah
2,4 mg/kgBB intravena diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada jam 0,12,24.
Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB intravena setiap 24 jam/hari sampai
penderita mampu minum obat. Cara pemberiannya adalah dengan
melarutkan 60mg serbuk kering asam artesunik dengan natrium bikarbonat
5% hingga membentuk 1 ml larutan sodium artesunat. Kemudian
diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5 mL sehingga
konsentrasi 60mg/6mL. Obat diberikan secara bolus perlahan-lahan. Jika
pasien sudah dapat mengonsumsi obat oral maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen DHP atau ACT lainnya selama 3 hari dan primakuin sesuai
dengan jenis plasmodium.19,20
Jika tidak tersedia artesunat intramuskular atau intravena maka dapat
diberikan kina drip. Pemberian kina pada dewasa dimulai dengan loading
dose 20mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500ml dekstrosa 5% atau NaCl
0,9% diberikan dalam 4 jam pertama. Pada 4 jam selanjutnya, hanya
diberikan cairan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. Pada 4 jam berikutnya,
diberikan kina dosis rumatan 10mg/kgBB dalam larutan 500ml dekstrosa
5% atau NaCl 0,9%. 4 jam selanjutnya diberikan lagi cairan dekstrosa 5%
atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan kina seperti
sebelumnya sampai penderita dapat minum kina secara oral. Bila pasien
sudah dapat minum obat, kina diganti menjadi oral dengan dosis
10mg/kgBB per kali diberikan setiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama
doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa, atau klindamisin pada ibu
hamil.19,20

36
Pada anak-anak, diberikan kina HCl 25% intravena dengan dosis
10mg/kgBB. Bila usia <2 bulan, dosis yang diberikan 6-8mg/kgBB. Kina
diencerkan dengan larutan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10
ml/kgBB dan diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai pasien
bisa minum obat secara per oral.19,20
c. Pengobatan pada ibu hamil
Diberikan artesunat injeksi atau kina HCl drip intravena.19,20

2.8.3. Pemantauan Pengobatan


Pada penderita rawat jalan, evaluasi pengobatan dilakukan pada hari ke
3, 7, 14, 21 dan 28, dengan dilakukan pemeriksaan klinis dan sediaan darah
mikroskopis. Bila ditemukan gejala klinis yang memburuk selama masa
pengobatan atau evaluasi, pasien dianjurkan untuk datang kembali tanpa
menunggu jadwal. Pada penderita rawat inap, evaluasi pengobatan dilakukan
setiap hari dengan pemeriksaan klinis dan darah sampai kondisi klinis
membaik dan hasil pemeriksaan mikroskopik negatif. Evaluasi pengobatan
dilanjutkan pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan pemeriksaan klinis dan
sediaan darah secara mikroskopis.8

2.9. Prognosis
Pada umumnya, prognosis pada malaria, terutama malaria “ringan” seperti
yang disebabkan P. vivax, P. ovale, P. malariae dan P. knowlesi, cukup baik bila
ditangani secara tepat, karena hampir tidak beresiko menyebabkan malaria berat.
Namun, prognosis dari P.falsiparum berat sangat berbeda. Malaria berat, mortalitas
tergantung pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosis, dan penanganan
yang tepat. Walaupun begitu mortalitas pada malaria berat masih cukup tinggi sekitar
15% - 60% tergantung fasilitas pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi maka
akan diikuti dengan peningkatan mortalitas. Malaria P.vivax dan P.ovale juga
memiliki kecenderungan untuk terjadinya relaps.7,8

37
BAB III
ANALISA KASUS

Tn D, 20 tahun datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam
dirasakan pasien naik turun tiap harinya, biasanya demam pasien mulai meningkat pada sore
hari menjelang malam dan keesokan harinya membaik, namun pasien belum pernah mengukur
suhu demam. Pola demam yang dirasakan pasien berulang terus setiap harinya. Selain pola
tersebut, pasien juga mengaku episode demam pasien akan dimulai dengan pasien menggigil
untuk beberapa menit, kemudian panas tubuh pasien akan meningkat selama beberapa jam lalu
akan turun setelahnya. Pola demam sendiri dapat dibagi-bagi menjadi seperti berikut.1

1. Continuous/sustained fever, suhu berada di atas nilai normal sepanjang hari dan tidak
mengalami peningkatan lebih dari 1֯c dalam 24 jam. Contoh : pneumonia lobaris,
typhoid fever, infeksi saluran kemih, brucellosis.
2. Intermittent fever, peningkatan suhu terjadi untuk beberapa periode tertentu, kemudian
kembali ke suhu normal (suhu normal diantara episode demam). Contoh : pyaemia,
septikemia.
3. Remittent fever, suhu tetap berada di atas normal sepanjang hari dan mengalami
peningkatan lebih dari 1֯c dalam 24 jam. Contoh : endokarditis

38
4. Relapsing fever, suhu kembali ke normal selama beberapa hari, sebelum akhirnya
mengalami peningkatan. Contoh : demam tertiana (periode 48 jam) pada malaria
plasmodium vivax atau plasmodium ovale.

Berdasarkan pembagian di atas dan penjelasan pola demam dari pasien, pola yang
paling cocok dengan Tn. D adalah pola demam intermiten. Selanjutnya, oleh karena faktor
resiko pasien sendiri yang pernah pergi bertugas ke Lampung yang termasuk dalam daerah
endemis malaria, harus dicurigai jika gejala yang dimiliki pasien disebabkan oleh infeksi
malaria. Memang pola demam malaria sendiri berbeda-beda sesuai dengan jenis malarianya.
Berikut pola demam berdasarkan jenis-jenis malaria yang dimiliki.

39
Pola demam malaria berbeda-beda berdasarkan perbedaan proses pematangan schizont.
Pada P. vivax pematangan schizont biasa dalam waktu 48 jam, sehingga pola demam yang
terjadi adalah tertiary atau per hari ke tiga, sedangkan pada P. malariae pematangan schizont
terjadi lebih lama yaitu setiap 72 jam sehingga menimbulkan pola demam quartana. Sedangkan
pada P. falciparum pematangan schizont biasa juga terjadi dalam 48 jam, namun dapat terjadi
juga secepat 24 jam sehingga bisa juga menunjukan pola demam intermiten.
Selanjutnya, gejala-gejala demam pasien juga cocok dengan tiga tahap demam pada
malaria, yaitu pada tiap episode demam akan diawali stadium menggigil yang berlangsung
selama 15-60 menit, kemudian pasien akan masuk pada puncak demam selama beberapa jam
dan berdasarkan anamnesa pasien mengatakan biasanya demam berlangsung selama jam tidur
malam pasien, kemudian baru masuk kembali ke stadium berkeringat dan suhu tubuh pasien
berangsur-angsur turun kembali. Selain gejala klasik, pasien juga mengalami gejala-gejala
sampingan seperti sakit kepala, dan pegal-pegal. Gejala klasik demam mungkin juga tidak
ditemukan terutama pada pasien-pasien yang memang tinggal dalam daerah endemic, namun
karena pasien awalnya berasal dari Jakarta yang bukan merupakan daerah endemic, namun
sempat berpergian ke Lampung maka gejala yang dialami pasien lebih menunjukan gejala
klasik malaria.
Selain demam, penemuan pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan tanda – tanda
anemia, hepatomegaly atau splenomegaly yang mungkin bisa terjadi pada pasien malaria
karena perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara dari proses eritropoesis, dan
terjadinya hemolisis karena kompleks imun yang diperantarai komplemen, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh dari sitokin. Limpa kemudian
memfagosit eritrosit yang terinfeksi dengan malaria melalui perubahan metabolisme,
antigenik, dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi. Hal ini menyebabkan pembesaran dari
limpa. Namun demikian, memang sebagian besar kasus malaria hanya ditandai dengan gejala
demam.
Pemeriksaan penunjang yang kemudian harus dilakukan pada pasien-pasien yang
dicurigai terkena malaria selain pengecekan darah untuk tanda-tanda anemia adalah
pengecekan parasite malaria pada darah melalui pemeriksaan mikroskopik, Rapid Diagnostic
Test, Tes serologi dengan Teknik Immuno fluorescent antibody, atau tes diagnosis molekular.
Tujuan dari pemeriksaan penunjang ini adalah untuk mengkonfirmasi infeksi malaria, dan juga
mengidentifikasi jenis parasit, guna keperluan prognosis. Pada pasien ini hasil cek darah rutin
menunjukan hasil dalam batas normal, tidak ditemukan anemia, leukositosis, trombositopenia
atau trombositosis. Namun demikian, memang ditemukan peningkatan dari enzim hati SGOT
40
dan SGPT yang mengindikasikan proses-proses pemecahan dan pembentukan sel darah merah
yang lebih tinggi dan membebani hati. Selanjutnya, pemeriksaan mikroskopis darah pasien
ditemukan hasil positif Plasmodium falsiparum dan vivax dalam darah pasien. Sesuai dengan
saran diagnosis dan penanganan pasien dicurigai malaria, pemeriksaan penunjang untuk
mengkonfirmasi infeksi malaria pada pasien dilaksanakan dalam 1 hari sehingga penangan
dengan obat dapat segera diberikan.
Regimen pengobatan pada pasien malaria memiliki dua obat utama yaitu dengan
menggunakan ACT (artemisin based combination therapy) yaitu pengobatan dengan
kombinasi DHP dan Primakuin. Untuk kasus infeksi malaria campuran maka diberika
pengobatan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/KgBB/hari selama 14
hari. Pada kasus ini setelah ditemukan konfirmasi mikroskopik infeksi malaria campuran, maka
Tn. D diberikan kombinasi obat tersebut. Piperakuin bekerja dengan menghambat aktivitas
polimerase heme yang menyebabkan akumulasi heme bebas yang toksik terhadap parasit.
Primakuin bekerja dengan membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit
aseksual di eritrosit. Penangan Tn. D sudah tepat karena kasus infeksi malaria pada Tn. D juga
tergolong pada malaria tanpa komplikasi, dan oleh karena itu prognosis pada pasien ini
tergolong baik.

41
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Ogoina, D. (2011). Fever, fever patterns and diseases called “fever” – A review.
Journal of Infection and Public Health, 4(3), 108–124. doi:10.1016/j.jiph.2011.05.002
2. Fairhurst RM, Wellems TE. In: Bennett J, Dolin R, Mandell G, Blaser M, editors.
Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010. p. 3437-62.
3. Ditjen pencegahan dan pengendalian penyakit kementrian kesehatan RI. Buku saku
penatalaksanaan kasus malaria. Jakarta: Kementrian kesehatan republik Indonesia;
2017.
4. White NJ. In: Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White N, editors.
Manson’s tropical infectious diseases. 23rd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014.
p. 532-600.
5. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Lampung. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2016.
6. Kochar DK, Singh P, Agarwal P, Kochar SK, Pokharna R, Sareen PK. Malarial
hepatitis. J Assoc Physicians India. 2003;51:1069–1072.
7. White NJ, Breman JG. Malaria. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS,
Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. New
York: McGrawHill; 2015. p. 1575–90.
8. Harijanto PN. Malaria. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi
B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Internapublishing.
2014; p. 595- 610
9. Centers for disease control and prevention. Life cycle of malaria [Internet]. 2018 [cited
22 May 2019]. Available from: https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/index.html
10. World health organization. Malaria country profiles: indonesia [Internet]. World health
organization; 2017 p. 1. Available from:
https://www.who.int/malaria/publications/country-profiles/profile_idn_en.pdf?ua=1
11. Crutcher JM, Hoffman SL. Malaria. In: Baron S, editor. Medical Microbiology. 4th ed.
Galveston; 1996.
12. Ditjen pencegahan dan pengendalian penyakit kementrian kesehatan RI. Buku saku
talaksana kasus malaria. Jakarta: Kementrian kesehatan republik Indonesia; 2017.
13. Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. Severe malaria. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
42
AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

6th ed. Jakarta: Internapublishing. 2014; p. 613-20


14. World health organization. Clinical malaria and epidemiology. Guidelines for the
treatment of malaria. 3rd edition. Geneva: WHO; 2015. p. 24-5
15. Müller IB, Hyde JE. Antimalarial drugs: modes of action and mechanism of parasite
resistance. Future Microbiol. 2010;5(12):1857–1873
16. Freedman DO. Clinical practice. Malaria prevention in short-term travelers. N Engl J
Med 2008; 359:603
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan malaria. Jakarta: Menkes:
2007. P. 1-23
18. World health organization. Treatment of uncomplicated Plasmodium flaciparum
malaria. Guidelines for the treatment of malaria. 3rd edition. Geneva: WHO; 2015. p.
31-46
19. Trampuz A, Jereb M, Muzlovic I, Prabhu RM. Clinical review: Severe malaria. Crit
Care. 2003;7: p.315–23.
20. World health organization. Severe malaria, section 4: Clinical features of severe
falciparum malaria in adults. Trop Med Int Health. 2014;19: p.27- 36.
21. Ullah I, Ali MU, Ali S, Rafiq A, Sattar Z, Hussain S. Hematological Profile of Patients
Having Malaria-positive Peripheral Blood Smears: A Cross-sectional Study at a
Diagnostic Research Center in Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Cureus.
2018;10(9):e3376. Published 2018 Sep 27. doi:10.7759/cureus.3376

43

Anda mungkin juga menyukai