Anda di halaman 1dari 14

PRILAKU KONSUMEN DALAM PANDANGAN EKONOMI ISLAM

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat serta
taufik-Nya saya dapat menyusun makalah ini dengan judul “Perilaku Konsumen dalam
Pandangan Ekonomi Islam” ini untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi,
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW yang akan
menjadi shafa’atul uthma bagi kita semua di akhirat kelak.Amin.
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Ely Masykurah, S.E, M.Si yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini dan yang senantiasa
membimbing dan memberikan ilmunya kepada saya. Kepada temen-temen yang telah
memberikan masukan atas kesempurnaan makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari dosen pengampu sangat kami harapkan
demi kebaikan makalah kami selanjutnya dan semoga apa yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi
kita semua.

Ponorogo, Oktober 2015


Hormat Kami

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman judul…………………………………………………………… 1
Kata pengantar………………………………………………………….. 2
Daftar isi………………………………………………………………... 3
Bab I Pendahuluan …………………………………………………….. 4
a. Latar belakang……………………………………………….. 4
b. Rumusan masalah……………………………………………. 5
Bab II Pembahasan……………………………………………………… 6
a. Definisi perilaku konsumen ………………………………… 6
b. Dasar hokum perilaku konsumen ……………………………. 6
c. Konsep dasar konsumen dalam Islam……………………….. 8
d. Konsep Maslahah dalam perilaku konsumen islam ………… 9
e. Prinsip-prinsip konsumsi muslim……………………………. 10
f. Model Kesimbangan dalam konsumsi ………………………. 11
g. Makro ekonomi perilaku konsumen dalam islam……………. 13
Bab III Kesimpulan …………………………………………………….... 16
Daftar Pustaka …………………………………………………………… 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam sesungguhnya adalah satu realitas “baru” dalam dunia ilmiah modern saat
ini. Ekonomi Islam tumbuh menyempurnakan diri di tengah-tengah beragamnya system sosial
dan ekonomi konvensional yang berbasiskan pada sistem sekuler. Dikatakan baru karena system
ekonomi Islam sudah pernah dipraktikkan secara sempurna di masa rasulullah hingga masa
keemasan daulah islamiyah. Yang kemudian ekonomi Islam terlahir kembali di masa
berkecamuknya perang dingin antara dua super power dunia Amerika Serikat yang didukung
sekutu Baratnya, berhadapan dengan Uni Soviet yang didukung negara Eropa Timur. Kedua blog
ini merupakan cerminan dari paham kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Ditengah kedua
arus ini, ekonomi Islam merupakan jawaban atas ketidakseimbangan antara system kapitalisme
dan sosialisme-komunisme dalam mengatur konsumsi, distribusi dan produksi dan lain
sebagainya.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian karena
manusia tidak aka nada kehidupan tanpa adanya konsumsi. Mengabaikan konsumsi berarti
mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan kehidupan manusia terhadap
tugasnya dalam kehidupan. Begitu pentingnya masalah konsumsi, Islam telah mengatur
bagaimana manusia berguna bagi ke-maslaht-an kehidupannya. Seluruh aturan Islam mengenai
aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ia akan menjalankan konsumsi
yang jauh dari sifat hina. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-
Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan dalam hidupnya.
Karena konsumsinya tidak hanya berdasarkan kebutuhan duniawi akan tetapi juga kebutuhan
akherat.
Untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas tentang prilaku konsumen dalam
pandangan ekonomi islam sehingga memberikan gambaran bagi kita untuk menjalankan
pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
B. Rumusan Masalah
Diharapkan dalam makalah ini bisa menjawab rumusan masalah berikut ini:
1. Apa dasar hokum prilaku konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
2. Bagaimana konsep dasar konsumen dalam pandangan ekonomi islam?
3. Bagaimana prinsip Islam dalam konsumsi?
4. Bagaimana prilaku konsumen muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perilaku Konsumen
Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang
selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dan selalu bertindak rasional. Para
konsumen akan berusaha memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan
finansialnya memungkinkan. Mereka memiliki pengetahuan tentang alternatif produk
yang dapat memuaskan kebutuhan mereka.[1]
Menurut Kotler dalam The American Marketing Assosiation, sebagaimana dikutip
Nugroho J. Setiadi, prilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan
kognisi, perilaku dan lingkungannya, di mana manusia melakukan kegiatan pertukaran
dalam hidup mereka. Dari hal tersebut terdapat tiga ide penting yang dapat
disimpulkan yaitu: 1) perilaku konsumen adalah dinamis; 2) hal tersebut melibatkan
interaksi antara afeksi dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar; 3) juga melibatkan
pertukaran.[2]
Sedangkan menurut Swastha dan Handoko perilaku konsumen (consumer
behavior) dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung
terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa,
termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan menentukan
kegiatan-kegiatan tertentu[3]. Menurut Engel adalah tindakan langsung yang terlibat
untuk mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk jasa, termasuk proses
keputusan yang mengikuti dan mendahului tindakan ini. Sedangkan menurut Loudan
dan Bitta lebih menekankan perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan
keputusan. Mereka mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah pengambilan
keputusan yang mensyaratkan aktifitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh,
menggunakan, atau mengatur barang dan jasa.[4]
Dari pengertian diatas, maka perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan
dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun
organisasi untuk menilai, memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa
melalui proses pertukaran atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan
keputusan yang menentukan tindakan-tindakan tersebut.
B. Dasar Hukum Prilaku Konsumen
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada
manusia untuk dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Salah satu
pemanfaatan yang telah diberikan adalah kegiatan ekonomi secara umum dan lebih sempit lagi
dalam kegiatan konsumsi. Hassan Sirry menyatakan bahwa sumber hokum tersebut antara lain
yaituyang berasal dari ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. [5]
Firman Allah:
”Makanlah dan minumlah, namun jangan berlebihan-lebihan. Sesungguhnya Allah itu
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.[6]
Hadith Rasulullah:
“Abu Said al-Chodry berkata: ketika kami dalam bepergian bersama nabi. Mendadak
dating seorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah mengharapkan
bantuan makanan, maka nabi bersabda: siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus
dibantukan pada yang tidak menpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal
harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal. Kemudian rasulullah menyebut berbagai
macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih
dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim)
Selain firman allah dan sabda rasullah diatas masih banyak kita temui di al-Qur’an dan
hadith yang menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi baik itu konsumsi, produksi,
distribusi dan muamalah-muamalah yang lainnya.
C. Konsep Dasar Konsumen Dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan akan sandang pangan dan papan harus
dilandasi dengan nilai-nilai spritualisme islami dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan
harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi
kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had al-kifayah), baik atas kebutuhan pribadi
maupun keluarga.[7] Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai spritualisme
islami, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan materalistik.
Dalam melakukan nilai konsumsi, nilai guna atau tingkat kepuasan (utility) diterima
harus sebanding dengan apa yang telah dikeluarkan atau dibelanjakan. Sehingga terjadi antara
keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Kendati demikian, utility konsumen
dipengaruhi tentang cita rasa, pendapatan dan preferensi dari barang dan jasa yang tersedia.
Dalam perkembanganya, preferensi seseorang terhadap sebuah komoditas sangat beragam
dimana sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan pemahaman manusia terhadap kehidupam.
Preferensi seorang muslim akan sangat jauh berbeda dengan preferensi seorang non-muslim.
Karena itu ada tiga unsur yang dapat mempengaruhi prilaku seorang konsumen dalam
berkonsumsi yaitu rasionalitas, kebebasan ekonomi dan utility.
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan
atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu
barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam
prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)
dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,
maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas
konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam
D. Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan kata maslahah yang maknanya lebih luas dari sekedar utility
atau kepuasaan dalam terminologo ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hokum
syara’ yang paling utama. Ada lima elemen dasar menurut beliau yakni kehidupan atau jiwa (al-
nafs), harta (al-maal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql) dan keluarga atau keturunan (al-
nasl).
Dari kelima elemen diatas, maslahah terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama, maslahah
terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akherat. Kedua, maslahah
terhadap elemen yang menyangkut hanya kehidupan akerat. Pada tingkatan tertentu, konsumen
muslim memiliki alokasi untuk hal-hal menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi lebih sedikit
daripada nonmuslim. Dalam membandingkan konsep pemenuhan kebutuhan yang terkandung
didalamnya maslahah, perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hokum syara’ yakni:[8]
1. Daruriyyah
Tujuan daruriyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan
di dunia dan akhirat yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa,
keyakinan, agama, akal dan keturunan serta harta benda. Jika tujuan ini diabaikan maka tidak
akan ada kedamaian dan akan timbul kerusakan dan kerugian di dunia dan akhirat.
2. Hajiyyah
Hukum Syara dalam kategori ini dimaksudkan untuk lebih berhati-hati dalam pemenuhan
konsumsi seorang muslim.
3. Tahsiniyyah
Syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman didalamnya. Tujuanya untuk mencapai
pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dari daruriyyah dan hajiyyah.
E. Prinsip Konsumsi Muslim
Ada beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakan
dengan prilaku konsumsi nonmuslim. Prinsip tersebut disarikan dari ayat al-Qur’an dan hadith.
Prinsip itu adalah:[9]
1. Prinsip syariah
Prinsip ini terdiri dari prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a. Memperhatikan tujuan konsumsi atau maslahah
b. Memperhatikan kaidah ilmiah seperti kebersihan, kehalalan dan lain-lain
c. Memperhatikan bentuk konsumsi
2. Prinsip kuantitas
Prinsip ini terdiri dari prinsip-prinsip turunan diantaranya yaitu
a. Sederhana dan tidak bermegah-megahan sebagimana dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 67,
al-Isra’ ayat 27
b. Keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-
thalaq ayat 7
3. Prinsip prioritas
Prioritas atau urutan konsumsi alokasi harta menurut syariat islam antara lain adalah
a. Untuk nafkah diri, istri, anak dan saudara
b. Untuk memperjuangkan agama Allah
4. Prinsip moralitas
Prinsip ini mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu barang maka harus menjaga
martabat manusia yang mulia. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika.
Menurut Manan terdapat lima prinsip konsumsi dalam Islam yaitu: pertama, prinsip
keadilan. Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak
dilarang hukum. Kedua, prinsip kebersihan. Maksudnya adalah bahwa makanan harus baik dan
cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Ketiga, prinsip
kesederhanaan. Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang
tidak berlebihan. Keempat, prinsip kemurahan Hati. Dengan mentaati perintah Islam tidak ada
bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan
Tuhannya, Kelima, prinsip moralitas. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah
SWT. sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.[10]
Sedangkan prinsip konsumsi menurut Ali Sakti, bahwa ada empat prinsip utama dalam
sistem ekonomi islam yang diisyaratkan dalam al-Qur’an: 1) hidup hemat dan tidak bermewah-
mewahan. Ini berarti tindakan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan
keinginan (wants); 2) implementasi zakat, infak, dan shadaqah; 3) pelarangan riba. Menjadikan
sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem kredit dan
instrumen bunganya; 4) menjalankan usaha-usaha yang halal; dari produk atau komoditi, proses
produksi hingga distribusi.
Sesungguhnya Islam tidak mempersulit jalan hidup seseorang konsumen. Jika seseorang
mendapatkan penghasilan dan setelah dihitung dan hanya mampu memenuhi kebutuhan pribadi
dan keluarganya saja, maka tak ada keharusan untuk membelanjakan untuk konsumsi sosial.
Sedangkan apabila pendapatannya melebihi konsumsi tidak ada alasan baginya untuk tidak
mengeluarkan kebutuhan konsumsi sosial. Pendapatan dan penghasilan yang diperoleh dengan
cara yang halal akan digunakan untuk menutupi kebutuhan individu dan keluarga dengan jalan
yang halal pula, yang secara langsung menguntungkan pasar mulai dari produsen hingga
pedagang. Setiap uang yang dibelanjakan konsumen menjadi revenue bagi pengusaha sebagai
bentuk pertukaran antara barang dan uang. Konsumen mendapatkan kepuasan dari barang yang
di beli dan pengusaha mendapatkan keuntungan dari barang yang dijualnya. Konsumen
memerlukan barang untuk kelangsungan hidupnya, secara langsung membutuhkan produsen dan
pedagang. Sedangkan pengusaha memerlukan konsumen agar dia dapat melanjutkan produksi
sekaligus pula menghidupkan diri dan keluarga dari keuntungan barang yang dijualnya. Tidak
jarang, dalam satu segi konsumen bisa berperan sebagai produsen dan produsen bisa berperan
sebagai konsumen.
F. Model Keseimbangan dalam Konsumsi Islam
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada keadilan distribusi.
Keadilan konsumsi adalah di mana seorang konsumen membelanjakan penghasilannya untuk
kebutuhan materi dan kebutuhan sosial. Kebutuhan materi dipergunakan untuk kehidupan
duniawi individu dan keluarga. Konsumsi sosial dipergunakan untuk kepentingan akhirat nanti
yang berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Dengan kata lain konsumen muslim akan
membelanjakan pendapannya untuk duniawi dan ukhrawi. Di sinilah muara keunikan konsumen
muslim yang mengalokasikan pendapatannya yang halal untuk zakat sebesar 2,5 %, kemudian
baru mengalokasikan dana lainnya pada pos konsumsi yang lain. Baik berupa konsumsi individu
maupun konsumsi sosial yang lainnya.
Dalam Ekonomi Islam kepuasan konsumen bergantung pada nilai-nilai agama yang dia
terapkan pada rutinitas kegiatannya yang tercermin pada uang yang dibelanjakannya. Ajaran
agama yang dijalankan baik menghindarkan konsumen dari sifat israf, karena israf merupakan
sifat boros yang dengan sadar dilakukan untuk memenuhi tuntutan nafsu belaka.
Selain karena keseimbangan konsumsi maka di antara pendapatan konsumen merupakan
hak-hak Allah terhadap para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka. Yakni dalam bentuk
zakat-zakat wajib, diikuti sedekah dan infak. Semua konsumsi itu dapat membersihkan harta dari
segala noda syubhat dan dapat mensucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya
seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois.
Dalam perspektif ekonomi Islam. perilaku konsumsi seorang muslim didasarkan pada
beberapa asumsi sebagaimana dikemukakan oleh Monzer Kahf, yaitu :[11]
1. Islam merupakan suatu agama yang diterapkan di tengah masyarakat.
2. Zakat hukumnya wajib.
3. Tidak ada riba dalam masyarakat.
4. Prinsip mudharabah diterapkan dalam aktivitas bisnis.
5. Konsumen berperilaku rasional yaitu berusaha mengoptimalkan kepuasan.
Dalam ekonomi Islam, unsur pendapatan masyarakat dialokasikan pada beberapa bentuk
pengeluaran, yaitu untuk konsumsi, tabungan dan sebagian dari pendapatan itu dikurangkan
untuk infak dan shadaqah. Hal ini selaras dengan makna hadith Nabi SAW yaitu "Yang engkau
miliki adalah apa-apa yang engkau konsumsi dan apa-apa yang engkau infakkan". Dari
penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan suatu fungsi pendapatan dalam ekonomi Islam
sebagai berikut:
Y = C + S + Infaq
Y = C + Infaq + S
Jika……………..FS = C + Infaq
Maka…………...Y =FS+S
……..FS = Final spending (konsumsi yang dikeluarkan seseorang baik untuk pribadi dan untuk di jalan Allah)
Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya
ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan
sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga
mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat
seluruhnya mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu
sehingga muncul kemapanan sosial.[12] Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian
pada maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman).
Konsumen muslim selalu menggunakan kandungan berkah dalam setiap barang sebagai indikator
apakah barang yang dikonsumsi tersebut akan menghadirkan berkah atau tidak.[13] Dengan kata
lain konsumen akan jenuh apabila mengkonsumsi suatu barang atau jasa apabila tidak terdapat
berkah di dalamnya. Konsumen merasakan maslahah dan menyukainya dan tetap rela melakukan
suatu kegiatan meskipun manfaat kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.[14]
G. Makro Ekonomi Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa perilaku konsumsi seorang
muslim ditujukan untuk dimensi dunia dan akhirat. Berangkat dari sasaran pokok ini, maka utuk
menghasilkan fungsi makro ekonomi perilaku konsumen dalam Islam perlu ditentukan asumsi
sebagai dasar pijakan. Asumsi yang harus dipenuhi untuk membangun fungsi makro perilaku
konsumen dalam Islam adalah:[15]
1. Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sistem ekonomi dimana hokum Islam dan institusi Islam
berjalan dan mayoritas masyarakat meyakini terhadap ideology Islam dan mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Istitusi zakat dijadikan sebagai struktur sosio-ekonomi masyarakat dan lembaga zakat telah
melakukan pengumpulan zakat dan penyaluran sesuai peritah Islam.
3. Perilaku riba dapat dilarang atau tidak terjadi.
4. Qirod menjadi isntitusi ekonomi yang legal. Qirod didefinisikan sebagai suatu aktivitas
mengembangkan uang untuk proses produksi melalui kerjasama antara pemilik modal dengan
pemilik keahlian.
5. Dikembangkannya pasar yang untuk producer’s goods, consumer’s goods dan secara khusus
untuk instrument keuangan.
6. Konsumen diasumsikan berusaha memaksimumkan kepuasan atas pendapatannya. Hal ini
sebagai implikasi dari hadith rasul yang menyatakan: “upayakan harta anak yatim, sehingga
harta tersebut tidak habis dimakan zakat”. Hal ini diasumsikan bahwa konsumen dianjurkan
untuk menjaga tingkat kekayaan dari pengurangan setelah pembayaran zakat.
Jika asumsi tersebut dipenuhi, maka bangunan makro ekonomi mengenai perilaku
konsumen dapat dicapai. Situasi makro ini tergantung pada bagaimana perilaku konsumen dalam
membelanjakan hartanya. Perilaku konsumen yang mempengaruhi situasi makro ekonomi adalah
tergantung padavkeputusan pengeluaran akhir atau the final spending decisions dan keputusan
investasi atau the investment decisions.
BAB III
KESIMPULAN
Perilaku konsumen merupakan tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang
dilakukan oleh konsumen perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai,
memperoleh dan menggunakan barang-barang serta jasa melalui proses pertukaran
atau pembelian yang diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan
tindakan-tindakan tersebut. Pemenuhan kebutuhan akan sandang pangan dan papan harus
dilandasi dengan nilai-nilai spritualisme islami dan adanya keseimbangan dalam pengelolaan
harta kekayaan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dalam memenuhi
kebutuhannya harus berdasarkan batas kecukupan (had al-kifayah), baik atas kebutuhan pribadi
maupun keluarga. Ketentuan dalam ekonomi Islam yang berlandaskan nilai-nilai spritualisme
islami, menafikan karakteristik perilaku konsumen yang berlebihan dan materalistik. Dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai seorang muslim harus memperhatikan prinsip-prinsip
dalam berkonsumsi yaitu prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip
kemurahan hati, prinsip moralitas.
Dengan adanya konsumsi sosial akan membawa berkah dan manfaat, yaitu munculnya
ketentraman, kestabilan, dan keamanan sosial, karena segala rasa dengki akibat ketimpangan
sosial dan ekonomi dapat dihilangkan dari masyarakat. Rahmat dan sikap menolong juga
mengalir deras ke dalam jiwa orang kaya yang memiliki kelapangan harta. Sehingga masyarakat
seluruhnya mendapatkan karunia dengan adanya sikap saling menyayangi, saling bahu membahu
sehingga muncul kemapanan sosial. Di sinilah, nampak ekonomi Islam menaruh perhatian pada
maslahah sebagai tahapan dalam mencapai tujuan ekonominya, yaitu falah (ketentraman).
DAFTRA PUSTAKA
Hakim, Lukman. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga, 2012.
Nasution, Edwin Mustafa, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenadan Media
Group, 2010.
Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakrta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Nawawi, Ismail. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010
Hidayat, Miftahul Muhammad. Teori Konsumsi Berorientasi Teologis-Etis, Yogyakarta: Tesis,
Universitas Islam Indonesia, 2000
Simamora,Bilson. Panduan Riset Perilaku Konsumen
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia. Ekonomi Islam,
Yogyakarta : Grafindo, 2008
Sarwono. Analisis Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam. Innofarm Jurnal Inovasi
Pertanian, 2009

Anda mungkin juga menyukai