Anda di halaman 1dari 30

BAB 1.

PENDAHULUAN

Katarak atau kekeruhan lensa merupakan penyebab utama gangguan


penglihatan dan kebutaan di dunia, termasuk di Indonesia (51%). Faktor usia lebih
dari 50 tahun menjadi faktor utama terjadinya katarak, sekitar 65% menyebabkan
gangguan penglihatan dan 82% menyebabkan kebutaan, walaupun jumlah
kelompok usia ini hanya 20% dari populasi dunia. Selain faktor usia, terdapat
faktor lain juga yang dapat meningkatkan risiko katarak, diantaranya trauma,
toksin, diabetes melitus, hipertensi, merokok, dan herediter. Perkiraan insiden
katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1000 orang terdapat
seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan
menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah
subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55
tahun. Prevalensi katarak tertinggi di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah
Provinsi Sulawesi Utara dan terendah di DKI Jakarta.(11,18)
Masih banyak penderita katarak yang tidak mengetahui jika menderita
katarak. Hal ini terlihat dari tiga terbanyak alasan penderita katarak belum operasi,
yaiitu 51,6% tidak mengetahui jika menderita katarak, 11,6% tidak mampu
membiayai, dan 8,1% takut operasi. Cataract Surgical Rate (CSR) adalah angka
operasi katarak per satu juta populasi per tahun. Pada tahun 2006 WHO
menyebutkan angka CSR Indonesia berkisar 465, sedangkan pada tahun 2012
menurut Perdami angka CSR Indonesia berkisar 700-800. Jumlah ini akan
meningkat sesuai dengan meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya
umur harapan hidup mengingat penderita katarak sebagian besar terjadi pada
umur >50 tahun. Perkiraan insidensi katarak (kasus baru katarak) adalah sebesar
0.1% dari jumlah populasi, sehingga jumlah kasus baru katarak di Indonesia
diperkirakan sebesar 250.000 per tahun.(14,18)
Penatalaksanaan katarak adalah tindakan pembedahan yang bertujuan
untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang
cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta
memberikan kepuasan pada penderita. Hampir sebagian besar penglihatan normal

1
dapat dikembalikan melalui operasi pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh
implantasi intraocular lens (IOL). Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan,
banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan.
Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang
lingkupnya.(29) Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris
prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss.(15,24)
Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous
keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema
(CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior
capsular opacification.(3) Terdapat berbagai macam teknik operasi katarak, di
antaranya Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE), Intra Capsular Cataract
Extraction (ICCE), Small Incision Cataract Surgery (SICS), dan fakoemulsifikasi
yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.(23)
Metode operasi yang umum dipakai untuk katarak dewasa atau anak-
anak adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal sebagai
Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE). Penanaman lensa intraokular
merupakan bagian dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer
di bagian superior atau temporal. Pada ECCE bentuk ekspresi nukleus, nukleus
lensa dikeluarkan dalam keadaan utuh, tetapi prosedur ini memerulukan insisi
yang relatif besar.(8) Dengan berkembangnya teknologi yang semakin cepat,
ditemukanlah teknik dengan menggunakan fakoemulsifikasi dan mengalami
perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena
mempunyai beberapa kelebihan, yaitu rehabilitasi visus yang cepat, komplikasi
post operasi yang ringan, dan astigmatisma akibat operasi yang ringan. Teknik ini
bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis.
Teknik ini kurang efektif pada katarak senilis padat, dan keuntungan insisi limbus
yang kecil agak kurang kalau akan dimasukkan lensa intraokuler, meskipun
sekarang lebih sering digunakan lensa intra okular fleksibel yang dapat
dimasukkan melalui insisi kecil seperti itu.(25,28) Teknik fakoemulsifikasi juga
memiliki kelebihan lebih jika dibandingkan teknik SICS karena pada teknik SICS
risiko terjadinya astigmatisma, edema kornea, kekeruhan kapsul posterior, dan

2
luka pada iris mata lebih tinggi. Menurut beberapa penelitian, dibandingkan
dengan fakoemulsifikasi ada risiko astigmatisme lebih ringan dan rehabilitasi
untuk pengembalian visus maupun penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan
dengan teknik ICCE.(10)

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa


2.1.1 Anatomi Lensa
Lensa merupakan bagian dari sistem optik yang mempunyai sifat
transparan, avaskuler, dan tidak berwarna. Bersama dengan kornea, lensa
berfungsi untuk menfokuskan cahaya ke elemen sensoris retina. Untuk dapat
melaksanakan fungsinya tersebut, diperlukan sifat transparan dari lensa dan juga
indek refraksi yang lebih tinggi dari cairan disekelilingnya. Transparansi
tergantung pada organisasi struktur seluler dari lensa dan matrik protein pada serat
sitoplasma lensa. Lensa mempunyai kekuatan refraksi 15-20 dioptri dan
mempunyai kemampuan untuk berubah bentuk saat akomodasi karena bantuan
otot-otot siliaris. Kemampuan akomodasi lensa akan berkurang seiring
bertambahnya usia.(2)
Secara umum lensa dapat dibagi menjadi beberapa komponen yaitu
kapsul lensa, sel epitel lensa, korteks, dan nukleus (Gambar 2.1). Lensa di
bungkus oleh kapsul lensa pada bagian luar dan berbentuk bikonvek. Kapsul lensa
merupakan membran elastis dan aseluler yang melapisi lensa. Kapsul tersusun
dari serat-serat kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen
matriks ekstraseluler seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin dan
proteoglikan. Kapsul lensa merupakan membran halus, homogen dan tidak
mengandung pembuluh darah serta bersifat semipermeabel sehingga dapat dilalui
oleh air dan elektrolit. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior dan kapsul
posterior. Kapsul anterior melapisi bagian epitel lensa anterior dan berukuran
lebih tebal dibandingkan bagian posterior. Ketebalan kapsul lensa bervariasi
dimana yang paling tebal terdapat di daerah ekuator dan yang paling tipis di
daerah polus posterior. Kelengkungan bagian anterior lensa berbeda dengan
kelengkungan bagian posterior dimana kelengkungan bagian posterior dengan
radius kurvatura 10.0 mm sedangkan kelengkungan anterior dengan radius
kurvatura 6.0 mm.(2,4)

4
Gambar 2.1 Anatomi Lensa(4)

Pada bagian anterior lensa terjadi aktivitas metabolisme dan transpor aktif
yang membawa keluar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk
Deoxyribonucleic Acid (DNA), Ribonucleic Acid (RNA), protein dan sintesis
lipid. Di sini pula terbentuk Adenosine Triphosphate (ATP) yang dibutuhkan oleh
lensa untuk transport nutrisi karena lensa merupakan organ avaskuler.(4)
Korteks lensa merupakan bagian yang lebih lunak daripada nukleus
lensa. Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir dan
korteks merupakan serat baru yang terbentuk setelah lahir. Sesuai dengan
bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus berproduksi, sehingga lama
kelamaan lensa menjadi lebih besar dan kurang elastis. Nukleus dan korteks
terbentuk dari lamela konsentris yang panjang. Lensa secara terus menerus
membentuk serat-serat baru dimana serat yang lebih dulu dibentuk akan tergeser
dan tertekan ke bagian tengah lensa sehingga menjadi bagian dari nukleus lensa
yang tidak elastis, oleh karena itu ukuran nukleus lensa yang tidak elastis akan
bertambah besar.(2,4)

2.1.2 Fisiologi Lensa


Energi yang dibutuhkan lensa terutama dihasilkan melalui jalur
metabolisme glikolisis anaerob. Hal ini adalah konsekuensi lensa sebagai jaringan
avaskuler, dimana kadar oksigen di dalam lensa lebih rendah dibandingkan
jaringan tubuh lainnya. Glukosa sebagai sumber utama energi lensa berasal dari

5
aqueous humor dan masuk ke dalam lensa secara difusi. Selain glikolisis anaerob,
lensa memiliki jalur metabolisme glukosa alternatif yaitu jalur sorbitol dan hexose
monophosphat (HMP) shunt. Kedua jalur ini akan teraktivasi pada kondisi stres
oksidatif yang akan timbul pada keadaan glukosa yang berlebihan. Satu hal yang
perlu diingat adalah bahwa jalur HMP shunt yang teraktivasi akan menghasilkan
nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) tereduksi. Senyawa ini
diperlukan untuk menghasilkan glutation reduktase, suatu enzim yang berperan
pada sistem reduksi-oksidasi di lensa. Enzim ini memiliki fungsi menetralisir
radikal bebas yang terbentuk pada kondisi stres oksidatif dengan cara mengkatalis
reaksi antara radikal bebas dan glutation. Sebagian kecil glukosa juga akan
mengalami metabolisme aerob melalui siklus krebs. Proses ini terutama
berlangsung di sel epitel lensa dan sel serat lensa superfisial. Metabolisme aerob
ini akan menghasilkan radikal bebas endogen yang dapat mengganggu fungsi
fisiologi lensa.(4,9)

2.2 Katarak
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata yang mengenai satu atau
kedua mata dan dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, metabolik, traumatik
dan proses degenerasi. Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak
senilis. 20-40% orang usia 60 tahun ke atas mengalami penurunan ketajaman
penglihatan akibat kekeruhan lensa. Sedangkan pada usia 80 tahun ketas
insidensinya mencapai 60-80%. Prevalensi katarak kongenital pada negara maju
berkisar 2-4 setiap 10000 kelahiran. Frekuensi katarak laki-laki dan perempuan
sama besar. Di seluruh dunia, 20 juta orang mengalami kebutaan akibat
katarak.(3,6)

6
Gambar 2.2 Katarak(3)

2.2.2 Etiologi dan Patofisiologi Katarak


Etiologi katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh
terhadap terjadinya katarak antara lain umur, genetik, diabetes melitus,
kekurangan gizi antara lain defisiensi vitamin A,C,E, pemakaian obat-obatan
tertentu serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet dan merokok.
Faktor terpenting yang mempengaruhi terjadinya kekeruhan lensa pada katarak
senilis adalah usia.(6,27) Namun secara spesifik sangat sulit menentukan faktor
yang paling berperan dalam etiologi katarak. (5,6)
Kejernihan lensa dihasilkan dan dipertahankan oleh struktur sel serat lensa
yang teratur, kadar protein kristalin yang tinggi, keseimbangan cairan dan
elektrolit, metabolisme aerob yang minimal dan sistem reduksi oksidasi untuk
mengatasi stres oksidatif dalam lensa. Katarak dapat terjadi karena disorganisasi
struktur seluler serat lensa dan protein lensa, serta terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga terjadi peningkatan volume air pada lensa yang
menyebabkan kekeruhan lensa. Proses terbentuknya katarak ditandai dengan
terjadinya hidrasi akibat perubahan tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas
kapsul lensa serta denaturasi protein yang ditandai dengan peningkatan protein
tidak larut air sehingga terjadi kekeruhan lensa.(1,3,16)

7
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal disertai
influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan
mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi.(22) Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang
menderita katarak. Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu
teori hidrasi dan sklerosis:
a. Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitellensa
yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapatdikeluarkan
dari lensa. Air yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan
osmotik yangmenyebabkan kekeruhan lensa.
b. Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana
serabutkolagen terus bertambah sehingga terjadi pemadatan
serabut kolagen di tengah. Makin lama serabut tersebut semakin
bertambah banyak sehingga terjadilah sklerosis nukleus lensa.(3)

2.2.3 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Katarak


Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak
terjadi secara progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan
bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak yang diderita pasien.(16,29)
Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:
a. Penurunan visus
b. Silau
c. Perubahan miopik
d. Diplopia monocular
e. Halo bewarna
f. Bintik hitam di depan mata
Tanda pada penderita katarak adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan visus berkisar antara 6/9 sampai hanya persepsi cahaya
b. Pemeriksaan iluminasi oblik
c. Shadow test

8
d. Oftalmoskopi direk
e. Pemeriksaan sit lamp
Derajat kekerasan nukleus dapat dilihat pada slit lamp sebagai berikut.

Gambar 2.3 Derajat Kekerasan Nukleus(3)

Klasifikasi katarak diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria berbeda,


yakni:(14)
a. Klasifikasi Morfologik
 Katarak Kapsular
 Katarak Subkapsular
 Katarak Nuclear
 Katarak Kortikal
 Katarak Lamellar
 Katarak Sutural
b. Klasifikasi berdasarkan etiologinya
 Katarak yang berhubungan dengan usia
 Trauma: pembedahan Intraoculer sebelumnya seperti Vitrectomy
pars plana, pembedahan glukoma (trabeculoctomy atau iridotomy).
 Metabolik:
o Diabetes mellitus sering dihubungkan dengan katarak senilis.
o Galactosemia

9
o Toxic pada obat-obatan steroid yang dapat menyebabkan
katarak
subcapsular.
c. Klasifikasi berdasarkan kejadian
 Kongenital
 Didapat seperti :
o Katarak juvenile
o Katarak presenil
o Katarak senile

2.2.4 Diagnosa
Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk
mendeteksi adanya penyakit-penyakit yang menyertai, seperti DM, hipertensi, dan
kelainan jantung.(3,22)
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk
mengetahui kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler
posterior dapat membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan
struktur intraokuler dapat memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan
prognosis penglihatannya.(3,22)
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas
lensa tetapi dapat juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris,
bilik mata depan. Ketebalan kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran
lensa harus dicatat dengan teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator pupil,
posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluksasi
lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya, kelainan
metabolik, atau katarak hipermatur. Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk
menentukan stadium pada katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi
direk dan indirek dalam evaluasi dari intergritas bagian belakang harus dinilai.
(3,22)

10
2.2.5 Diagnosis Banding
Katarak kongenital yang bermanifestasi sebagai leukokoria perlu
dibedakan dengan kondisi lain yang menyebabkan leukokoria, seperti:
a. Retinoblastoma
b. Retinopathy of prematurity
c. Persistent hyperplastic primary vitreus (PHPV). (22)

2.2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa yaitu
intra capsuler cataract extraction (ICCE) dan ekstra capsuler cataract extraction
(ECCE).(12)

2.2.7 Indikasi
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup indikasi
visus,medis, dan kosmetik.(17)
a. Indikasi visus; merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini berbeda
pada tiap individu, tergantung dari gangguan yang ditimbulkan oleh
katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
b. Indikasi medis; pasien bisa saja merasa tidak terganggu dengan
kekeruhan pada lensa matanya, namun beberapa indikasi medis
dilakukan operasi katarak seperti glaukoma imbas lensa (lens-induced
glaucoma), endoftalmitis fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina
misalnya retiopati diabetik atau ablasio retina.
c. Indikasi kosmetik; kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta
ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan untuk mengembalikan visus)
untuk memperoleh pupil yang hitam.
Persiapan Pre-Operasi(17)
a. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit semalam sebelum operasi
b. Pemberian informed consent

11
c. Bulu mata dipotong dan mata dibersihkan dengan larutan Povidone-
Iodine 5%
d. Pemberian tetes antibiotik tiap 6 jam
e. Pemberian sedatif ringan (Diazepam 5 mg) pada malam harinya bila
pasien cemas
f. Pada hari operasi, pasien dipuasakan.
g. Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum operasi.
Tetesan diberikan tiap 15 menit
h. Obat-obat yang diperlukan dapat diberikan, misalnya obat asma,
antihipertensi, atau anti glaukoma. Tetapi untuk pemberian obat
antidiabetik sebaiknya tidak diberikan pada hari operasi untuk
mencegah hipoglikemia, dan obat antidiabetik dapat diteruskan sehari
setelah operasi.
Anestesi(31)
a. Anestesi Umum
Digunakan pada orang dengan kecemasan yang tinggi, tuna rungu, atau
retardasi mental, juga diindikasikan pada pasien dengan penyakit Parkinson, dan
reumatik yang tidak mampu berbaring tanpa rasa nyeri.
b. Anestesi Lokal :
 Peribulbar block
Paling sering digunakan. Diberikan melalui kulit atau konjungtiva
dengan jarum 25 mm. Efek : analgesia, akinesia, midriasis,
peningkatan TIO, hilangnya refleks Oculo-cardiac (stimulasi pada
n.vagus yang diakibatkan stimulus rasa sakit pada bola mata, yang
mengakibatkan bradikardia dan bisa menyebabkan cardiac arrest)
Komplikasi :
o Perdarahan retrobulbar
o Rusaknya saraf optik
o Perforasi bola mata
o Injeksi nervus opticus
o Infeksi

12
 Subtenon Block
Memasukkan kanula tumpul melalui insisi pada konjungtiva dan
kapsul tenon 5 mm dari limbus dan sepanjang area subtenon.
Anestesi diinjeksikan diantar ekuator bola mata.
 Topical-intracameral anesthesia
Anestesi permukaan dengan obat tetes atau gel (proxymetacaine
0.5%, lidocaine 2%) yang dapat ditambah dengan injeksi
intrakamera atau infusa larutan lidokain 1%, biasanya selama
hidrodiseksi.
Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang tiga prosedur
operasi pada ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu ICCE, ECCE, dan
Fakoemulsifikasi, SICS.

Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Pembedahan Katarak(19,20)


Jenis tehnik Keuntungan Kerugian
bedah katarak
Extra capsular  Incisi kecil  Kekeruhan pada
cataract  Tidak ada komplikasi kapsul posterior
extraction vitreus  Dapat terjadi
(ECCE)  Kejadian perlengketan iris
endophtalmodonesis dengan kapsul
lebih sedikit
 Edema sistoid makula
lebih jarang
 Trauma terhadap
endotelium kornea lebih
sedikit
 Retinal detachment lebih
sedikit
 Lebih mudah dilakukan

13
Intra capsular  Semua komponen lensa  Incisi lebih besar
cataract diangkat  Edema cistoid
extraction pada makula
(ICCE)  Komplikasi pada
vitreus
 Sulit pada usia <
40 tahun
 Endopthalmitis
Fakoemulsifikasi  Incisi paling kecil  Memerlukan
 Astigmatisma jarang dilatasi pupil yang
terjadi baik
 Pendarahan lebih sedikit  Pelebaran luka jika
 Teknik paling cepat ada IOL
Small Incision  Lebih murah dibanding  Insisi lebih besar
Cataract Surgery fakoemulsifikasi dibandingkan
(SICS)  Rehabilitasi cepat fakoemulsifikasi
 Tidak bergantung pada  Komplikasi
kekerasan nukleus astigmatisma
sering terjadi

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi operasi dapat berupa komplikasi preoperatif, intraoperatif,
postoperatif awal, postoperatif lanjut, dan komplikasi yang berkaitan dengan lensa
intra okular (intra ocular lens, IOL).17
a. Komplikasi preoperatif
 Ansietas; beberapa pasien dapat mengalami kecemasan
(ansietas) akibat ketakutan akan operasi. Agen anxiolytic seperti
diazepam 2-5 mg dapat memperbaiki keadaan.

14
 Nausea dan gastritis; akibat efek obat preoperasi seperti
asetazolamid dan/atau gliserol. Kasus ini dapat ditangani dengan
pemberian antasida oral untuk mengurangi gejala.
 Konjungtivitis iritatif atau alergi; disebabkan oleh tetes
antibiotik topical preoperatif, ditangani dengan penundaan
operasi selama 2 hari.
 Abrasi kornea; akibat cedera saat pemeriksaan tekanan bola
mata dengan menggunakan tonometer Schiotz. Penanganannya
berupa pemberian salep antibiotik selama satu hari dan
diperlukan penundaan operasi selama 2 hari.
b. Komplikasi intraoperatif
 Laserasi m. rectus superior; dapat terjadi selama proses
penjahitan.
 Perdarahan hebat; dapat terjadi selama persiapan conjunctival
flap atau selama insisi ke bilik mata depan.
 Cedera pada kornea (robekan membrane Descemet), iris, dan
lensa; dapat terjadi akibat instrumen operasi yang tajam seperti
keratom.
 Cedera iris dan iridodialisis (terlepasnya iris dari akarnya)
 Lepas/ hilangnya vitreous; merupakan komplikasi serius yang
dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior (accidental rupture)
selama teknik ECCE.
c. Komplikasi postoperatif awal
Komplikasi yang dapat terjadi segera setelah operasi termasuk
hifema, prolaps iris, keratopati striata, uveitis anterior postoperatif,
dan endoftalmitis bakterial.
d. Komplikasi postoperatif lanjut
Cystoid Macular Edema (CME), delayed chronic postoperative
endophtalmitis, Pseudophakic Bullous Keratopathy (PBK), ablasio
retina, dan katarak sekunder merupakan komplikasi yang dapat
terjadi setelah beberapa waktu post operasi.

15
e. Komplikasi yang berkaitan dengan IOL
Implantasi IOL dapat menyebabkan komplikasi seperti uveitis-
glaucoma-hyphema syndrome (UGH syndrome), malposisi IOL,
dan sindrom lensa toksik (toxic lens syndrome).

2.2.9 Preventif dan Promotif


Katarak senilis tidak dapat dicegah karena penyebab terjadinya katarak
senilis ialah oleh karena faktor usia, namun dapat dilakukan pencegahan terhadap
hal-hal yang memperberat seperti mengontrol penyakit metabolik, mencegah
paparan langsung terhatap sinar ultraviolet dengan menggunakan kaca mata gelap
dan sebagainya. Pemberian intake antioksidan (seperti asam vitamin A, C dan E)
secara teori bermanfaat.(20)
Bagi perokok, diusahakan berhenti merokok, karena rokok memproduksi
radikal bebas yang meningkatkan risiko katarak. Selanjutnya, juga dapat
mengkonsumsi makanan bergizi yang seimbang. Memperbanyak porsi buah dan
sayuran. Lindungilah mata dari sinar ultraviolet. Selalu menggunakan kaca mata
gelap ketika berada di bawah sinar matahari. Lindungi juga diri dari penyakit
seperti diabetes.(31)

2.2.10 Prognosis
Tindakan pembedahan secara defenitif pada katarak senilis dapat
memperbaiki ketajaman penglihatan pada lebih dari 90% kasus. Sedangkan
prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan
tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis. Adanya ambliopia dan
kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat pencapaian
pengelihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk perbaikan ketajaman
pengelihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan
paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang proresif lambat.(3)

16
2.3 Fakoemulsifikasi
2.3.1 Definisi Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi berasal dari 2 kata, yaitu phaco (lensa) dan
emulsification (menghancurkan menjadi bentuk yang lebih lunak).
Fakoemulsifikasi merupakan salah satu teknik operasi pembedahan katarak
dengan menggunakan peralatan ultrasonic yang akan bergetar dan memecahkan
nukleus lensa mata menjadi fragmen-frgmen kecil, kemudian lensa yang telah
hancur berkeping-keping akan dikeluarkan dengan menggunakan alat phaco.(21)

2.3.2 Prinsip Fakoemulsifikasi


Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan
kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat
(foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem
fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang
mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi
yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound. Massa lensa yang sudah
dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk
kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin
fakoemulsifikasi.(30)

2.3.3 Prosedur Fakoemulsifikasi


Sebelum dilakukan fakoemulsifikasi, persiapan pasien yang harus
dilakukan sebelum operasi adalah sebagai berikut:
a. Pasien sebaiknya di rawat di rumah sakit semalam sebelum
operasi,
b. Pemberian informed consent,
c. Pupil dilebarkan dengan midriatika tetes sekitar 2 jam sebelum
operasi,
d. Bulu mata dipotong dan dibersihkan dengan povidone-iodine
5%.(30)

17
Teknik pembedahan katarak dengan fakoemulsifikasi adalah sebagai
berikut:
a. Pemberian Asam mefenamat 500 mg atau Indometasin 50 mg
peroral 1 – 2 jam sebelum operasi.
b. Anastesi lokal pada mata yang akan dioperasi dengan cara
menyuntikkan langsung melalui palpebra bagian atas dan bawah.
c. Operator kemudian menekan bola mata dengan tangannya untuk
melihat apakah ada kemungkinan perdarahan, dan juga dapat
merendahkan tekanan intraokuler.
d. Operator membuat insisi sepanjang kira-kira 3mm pada sisi kornea
yang teranestesi. Karena konstruksi insisi yang teliti dan ukurannya
yang kecil, insisi ini biasanya menutup sendiri. Disebut juga
operasi tipe ‘ no-stitch ’.

Gambar 2.4 Insisi pada Fakoemulsifikasi(30)

e. Kapsulotomi anterior dengan menggunakan jarum kapsulotomi


melalui insisi kecil pada kornea. Prosedur ini yang disebut
Kapsulotomi.

18
Gambar 2.5 Kapsulotomi pada Fakoemulsifikasi(30)

f. Setelah insisi dilakukan, suatu cairan viscoelastik dimasukan untuk


mengurangi getaran pada jaringan intraokuler.
g. Dilakukan hidrodiseksi dan hidrodilemenesi untuk memisahkan inti
lensa dari korteks kemudian dilakukan fakoemulsifikasi dengan
teknik horizontal choop menggunakan mesin fako
unit.Fakoemulsifikasi adalah prosedur dimana vibrasi ultrasonik
digunakan untuk memecahkan katarak menjadi bagian-bagian
kecil. Fragmen-fragmen ini kemudian diaspirasi keluar
menggunakan alat yang sama.

19
Gambar 2.6 Pemecahan dan Aspirasi Katarak pada Fakoemulsifikasi(30)

h. Operator membuat groove pada katarak kemudian selanjutnya


memecahkan katarak tersebut menjadi bagian-bagian kecil
menggunakan ujung fakoemulsifikasi dan alat yang kedua
dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di tepi yang lain ‘side
port’.

20
Gambar 2.7 Pemecahan dan Aspirasi Katarak pada Fakoemulsifikasi(30)

i. Korteks lensa dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi


menggunakan mesin fako unit. Kapsul posterior ditinggalkan untuk
menyokong lensa tanam intraokular (IOL).

21
Gambar 2.8 Irigasi Korteks pada Fakoemulsifikasi(30)

j. Insersi lensa intraokuler foldauble pada bilik mata belakang


dilakukan secara in the bag, setelah sebelumnya diberikan bahan
viskoelastik untuk mengurangi komplikasi.

22
Gambar 2.9 Insersi Intra-Ocular Lensa pada Bilik Mata Belakang(30)

k. Bahan viskoelastik dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi


menggunakan mesin fako unit.

23
l. Luka operasi ditutup tanpa jahitan.
m. Diberikan suntikan antibiotika (Gentamisin) 0,5 ml dan
kortikostroid (Kortison Asetat) 0,5 ml, subkonjungtiva.
n. Pasca bedah diberikan tetes mata antibiotika (Neomycin-Polymixin
B) dan anti-inflamasi (Deksametason) 0,1 ml., setiap 8 jam
sekali.(13,30)

2.3.4 Indikasi dan Kontraindikasi Fakoemulsifikasi


Indikasi pembedahan katarak dengan menggunakan teknik
fakoemulsifikasi adalah sebagai berikut:
a. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit endotel,
b. Pada pemeriksaan dijumpai bilik mata yang dalam,
c. Pupil pasien dapat dilebarkan hingga 7 mm.
Sedangkan kontraindikasi untuk dilakukannya teknik fakoemulsifikasi
adalah:
a. Dijumpai adanya tanda-tanda infeksi,
b. Adanya luksasi atau subluksasi lensa.(26)

2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Operasi Fakoemulsifikasi


Secara teori operasi katarak dengan teknik Fakoemulsifikasi mengalami
perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah refraktif oleh karena
mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus yang cepat, komplikasi
setelah operasi yang ringan, astigmat akibat operasi yang minimal dan
penyembuhan luka yang cepat. (26)
Kelebihan penggunaan teknik fakoemulsifikasi pada operasi katarak
menurut Kanski dan Bowling dalam Clinical Ophtalmology A Systemic Approach
adalah sebagai berikut: (26)
a. Kinder cut, pemotongan yang lebih nyaman untuk pasien.
b. Smaller incision, insisi terdahulu biasanya 2,7 mm, dengan MICS
hanya 1.8 mm. Implikasinya adalah insisi tersebut terlalu kecil untuk
dapat menyebabkan kornea melengkung dengan abnormal, dan

24
menyebabkan astigmatisme (efek samping yang biasa terjadi pada
operasi katarak) serta kecilnya insisi tersebut juga sangat menekan
resiko terhadap terjadinya infeksi.
c. Easy to operate, karena sedikit sekali cairan yang mungkin keluar dari
insisi mikro tersebut maka tekanan pada mata cenderung stabil,
sehingga memudahkan para dokter melakukan tindakan operasi.
d. Heals faster, setelah 1-2 hari tindakan, pasien sudah bisa kembali
beraktivitas. Rasa tidak nyaman setelah operasi, hilang dalam 3 hari.(7)
Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat
memperoleh tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat
sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi.
Prosedur ini efisien, terutama jika operasi yang lancar umumnya dikaitkan dengan
hasil penglihatan yang baik. Insiden CME pada teknik fakoemulsifikasi yang
mengalami komplikasi intra operatif lebih rendah karena konstruksi insisi luka
yang kecil dan stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan teknik bedah
katarak lain. Kelemahan fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning
curve lebih lama, dan biaya pembedahan yang tinggi. (26)

2.3.6 Penyulit
Penyulit yang terjadi untuk dilakukannya teknik fakoemulsifikasi adalah
katarak hipermatur atau katarak yang keras menyebabkan susahnya penghancuran
nucleus lensa dan pemisahan nukleus yang telah rusak dari epinukleus yang
berdekatan. (26)

25
BAB 3. PENUTUP

Metode operasi yang umum dipakai untuk katarak dewasa atau anak-
anak adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal sebagai
ektraksi katarak ekstrakapsular. Penanaman lensa intraokular merupakan bagian
dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior
atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior, dan nukleus serta
korteks lensanya diangkat. Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada
“kantung kapsular” yang sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior yang utuh.
Pada ekstraksi katarak ekstrakapsular bentuk ekspresi nukleus, nukleus
lensa dikeluarkan dalam keadaan utuh, tetapi prosedur ini memerulukan insisi
yang relatif besar. Korteks lensa disingkirkan dengan penghisapan manual atau
otomatis. Saat ini, Fakoemulsifikasi adalah tekhnik ekstraksi katarak
ekstrakapsular yang paling sering digunakan. Tekhnik ini menggukanan vibrator
ultrasonic genggam untuk menghancurkan nukleus yang keras hingga substansi
nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui suatu insisi berukuran sekitar 3 mm.
Ukuran insisi tersebut cukup untuk memasukkan lensa intraokular yang dapat
dilipat (foldable intraocular lens). Jika digunakan lensa intraokular yang kaku,
insisi perlu dilebarkan hingga kira-kira 5mm.
Keuntungan-keuntungan yaang didapat dari tindakan bedah insisi kecil
adalah kondisi intraoperasi lebih terkendali, menghindari penjahitan, perbaikan
luka yang lebih cepat dengan derajat distorsi kornea yang lebih rendah, dan
mengurangi peradangan intraokular pasca operasi yang semua berakibat pada
rehabilitasi penglihatan yang lebih singkat. Walaupun demikian, tekhnik
fakoemulsifikasi menimbulkan resiko yang lebih tinggi terjadinya pergeseran
materi nukleus ke posterior melalui suatu robekan kapsul posterior, kejadian ini
membutuhkan tindakan bedah vitreoretina yang kompleks.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and


Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy
of Ophthalmology. p. 79-81.
2. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Retina and
Vitreous. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p.
167- 169.
3. American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Lens and
Cataract. United State of America: American Academy of Ophthalmology.
p. 193- 195.
4. Andley U.P., Liang J.J.N., dan Lou M.F. 2003. Biochemical Mechanism of
Age-Related Cataract. 3th ed. Philadelphia: Saunder. p. 1428-49.
5. Beebe D.C. 2003. Physiology of The Eye: Lens. St Louis: Mosby. p. 117-57.
6. Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Ocular Disease
Mechanisms and Management: Biochemical Mechanism of Age-Related
Cataract. Philadelphia: Saunders. p. 231-7.
7. Bellarinatasari N., Gunawan W., Widayanti T. W., dan Hartono. 2011. The
role of ascorbic acid on endothelial cell damage in phacoemulsification.
Journal Ophtalmology Indonesia, 7(5).
8. Benezra D. dan Chirambo M. C. 1978. Bilateral versus unilateral cataract
extraction: advantages and complications. British Journal of
Ophthalmology, 62(11): 770-773.
9. Berthoud V.M. dan Beyer E.C. 2009. Oxidative stress, lens gap junction,
and cataract. Antioxidants & Redox Signaling, 11 (2): 339-53.
10. Minassiana C., Rosenc P., Dartb J. K. G., Reidyd A., Desaid P., dan
Sidhue M.. 2001. Extracapsular cataract extraction compared with small
incision surgery by phacoemulsification: a randomised trial. British Journal
of Ophtalmology, 85: 921.
11. Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program
Kesehatan Tahun 2007-2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Departemen Kesehatan RI.
12. Taylor G., Leon D. S., dan Don B. 1992. Stability of residual postoperative
astigmatism; ECCE vs phaco and corneoscleral vs scleral pocket incisions.
Journal of Cataract & Refractive Surgery, 4(1): 19-21.
13. Goncalves, J. M. S. 2005. Phacoemulsification in hard cataracts: the “chop,
trip and free” technique. Arquiovos Brasileiros De Oftalmologia, 67(4):603-
605.

27
14. Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara.
Available from:
http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsiaTenggara.htm. Last
update: 15 Mei 2004.
15. Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S., Ponce Z.K.F., Grabowska A., dan
Cremers S.L. 2007. Clinical pseudophakia cystoid macular edema: risk
factors for development and duration after treatment. Journal of Cataract &
Refractive Surgery, 33:1550-1558.
16. Ilyas S. dan Yulianti S. R.. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
17. Kanski J.J. dan Bowling B. Clinical Ophtalmology A Systemic Approach. 7th
edition. Elsevier Saunders. p.281-9.
18. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi Gangguan Penglihatan dan
Kebutaan. Jakarta: Infodantin.
19. Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmology. Fourth edition. New
Delhi: New Age International. p. 89-202.
20. Lang G. 2000. Ophtalmology a short textbook. New York: Thieme.
21. Nishino M., Eguchi H., Iwata A., Shiota H., Tanaka M., dan Tanaka T.
2008. Are topical essential after an uneventful cataract surgery?. The
Journal of Medical Investigation, 56:11-15.
22. Ocampo V.V.D. 2009. Cataract, Senile : Differential Diagnosis and
Workup. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1210914-
overview, tanggal 15 Juli 2017.
23. Gogate P. 2010. Comparison of various techniques for cataract surgery,
their efficacy, safety, and cost. Oman Journal of Ophthalmology, 3(3): 105–
106.
24. Pascolini D. dan Mariotti S.P. 2011. Global estimates of visual impairment.
British Journal of Ophthalmology.
25. Phacoemulsification With Intraocular Lens Implantation. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1844198-overview. 15 Juli 2017
26. Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V., dan Manurung
F.M. 2010. A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-
51.
27. Riordan-Eva P., Whitcher J.P., Vaughan, dan Asbury. 2009. Oftalmologi
Umum. Alih Bahasa: Brahm U Pendit. Edisi 17. Jakarta: EGC.
28. Roque dan Manolette R. 2016. Phacoemulsification with Intraocular Lens
Implantation. Medscape.
29. Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s diseases of the eye. Elsevier, 247-
69.

28
30. Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi,
Langkah-Langkah Menguasai Teknik & Menghindari Komplikasi. Edisi 1.
Jakarta. Kelompok Yayasan Obor Indonesia. p 1-7.
31. Vaughan D.G., Asbury T., dan Riordan E.. 2008. Oftalmologi Umum. Edisi
14. Jakarta: Widya Medika.

29

Anda mungkin juga menyukai