Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasir

Pasir adalah bahan material yang memiliki bentuk butiran. Butiran-butiran

pada pasir, umumnya memiliki ukuran yang berkisar antara 0,0625 mm sampai 2

mm. Materi yang membentuk pasir adalah silikon dioksida, tetapi pada beberapa

daerah pantai tropis dan subtropis, pasir umumnya terbentuk dari batuan kapur.

Pasir memiliki rongga-rongga yang cukup besar. Pasir juga memiliki warna yang

sesuai dengan warna asal pembentukannya. Pasir merupakan material yang sangat

penting untuk bahan bangunan (Wilantara, 2016).

Pasir terbentuk melalui dua proses pelapukan yang terjadi pada batuan,

yaitu pelapukan fisika dan kimia. Pelapukan fisika sendiri terdiri dari dua jenis

pelapukan. Pertama, penghancuran batuan yang disebabkan pembasahan dan

pengeringan yang terjadi secara terus-menerus. Kedua, akibat pengikisan yang

disebabkan oleh air, angin, maupun sungai es (glacier). Proses ini akan

menghasilkan butiran yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar, yang

memiliki komposisi yang masih tetap sama dengan batuan asalnya (Wesley,

2010).

Pelapukan secara kimiawi adalah proses yang lebih rumit dibandingkan

pelapukan fisika. Pada proses pelapukan kimiawi diperlukan air serta oksigen dan

karbon dioksida. Proses kimiawi ini mengubah mineral yang terkandung di dalam

batuan menjadi jenis mineral lain yang memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda.

7
Mineral ini umumnya memiliki butiran yang lebih kecil dari 0,002 mm. Mineral

lempung inilah yang menghasilkan sifat lempaung yang khusus, yaitu sifat kohesi

serta plastisitas. Pelapukan kimia umumnya menghasilkan lempung.

Pasir merupakan jenis tanah yang tidak memiliki daya lekat atau disebut

sebagai non kohesif (cohesionless soil). Tanah yang bersifat non kohesif

mempunyai sifat antar butiran lepas (loose). Hal ini dibuktikan dengan butiran

tanah yang akan terpisah apabila berada dalam kondisi kering dan hanya akan

melekat apabila dalam keadaan yang disebabkan oleh gaya tarik permukaan.

Pasir alam sebagai hasil disintegrasi alami batuan atau pasir yang

dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir terbesar 5,0

mm (SNI 032847-2002). ASTM D 2487 – 06 membagi ukuran butir pasir menjadi

3 sebagai berikut.

a. Pasir berbutir kasar memiliki ukuran butiran 4,75 mm atau lolos saringan

nomor 4 sampai dengan ukuran > 2 mm atau tertahan saringan nomor 10.

b. Pasir berbutir sedang memiliki ukuran butiran 2 mm atau lolos saringan

nomor 10 sampai dengan ukuran > 0,425 mm atau tertahan saringan nomor

40.

c. Pasir berbutir halus memiliki ukuran butiran 0,425 mm atau lolos saringan

nomor 40 sampai dengan ukuran > 0,075 mm atau tertahan saringan nomor

200.

2.1.1 Syarat-Syarat Pasir

Material pasir yang baik adalah material yang tidak memiliki endapan

lumpur, kotoran ataupun bahan-bahan lain yang dapat menimbulkan masalah

8
ketika pasir akan digunakan. Menurut SNI 03-6820-2002 syarat pasir yang

berkualitas antara lain sebagai berikut.

1. Memiliki gradasi yang baik.

2. Memiliki kadar lumpur yang minimal.

3. Rendahnya kandungan bahan organis.

4. Memiliki bentuk potongan pasir yang kuat.

2.1.2 Jenis-jenis Pasir

Pasir merupakan material yang cukup penting dalam suatu pekerjaan

konstruksi. Di Indonesia sendiri, terdapat banyak jenis pasir yang terkadang sulit

dibedakan. Jenis-jenis pasir tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Pasir Galian

Pasir ini diperoleh lansung dari permukaan tanah atau dengan cara

menggali. Bentuk pasir ini biasanya tajam, bersudut, berpori dan

bebas dari kandungan garam walaupun biasanya harus dibersihkan

dari kotoran tanah dengan cara dicuci terlebih dahulu.

b. Pasir Sungai

Pasir ini diperoleh lansung dari dasar sungai, yang pada umumnya

berbutir halus, bulat-bulat akibat proses gesekan. Daya lekatan antar

butiran agak kurang karena bentuk butiran yang bulat.

c. Pasir Laut

Pasir laut adalah jenis pasir yang diambil dari pantai. Butir-butirnya

halus dan bulat karena gesekan. Pasir ini merupakan pasir yang jelek

karena mengandung banyak garam. Garam ini menyerap kandungan

9
air dari udara dan mengakibatkan pasir selalu agak basah serta

menyebabkan pengembangan volume bila dipakai pada bangunan.

Selain dari garam ini mengakibatkan korosi terhadap struktur beton.

Oleh karena itu pasir laut sebaiknya tidak dipakai.

2.1.3 Garadasi Agregat ( SNI T-15-1990-03 )

Gradasi agregat menurut BS dan SK. SNI T-15-1990-03

kekasaran pasir dikelompokkan menjadi 4 zona yaitu :

d. Zona/ Daerah 1 : pasir kasar

e. Zona/ Daerah 2 : pasir agak kasar

f. Zona/ Daerah 3 : pasir agak halus

g. Zona/ Daerah 4 : pasir halus

Gambar Tabel 2.1 persyaratan gradasi agregat halus


Lubang Persen berat tembus kumulatif
ayakan Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4
(mm)
100 100 100 100
10
90-100 90-100 90-100 95-100
4,80
30-70 75-100 85-100 95-100
2,40
15-34 35-59 60-79 80-100
1,20
5-20 8-30 12-40 15-50
0,30
0-10 0-10 0-10 0-15
0,15
Sumber : Teknologi Beton ; Kardiyono Tjokrodimulyo. 1994

10
2.1.4 Berat jenis pasir ( SNI-1970-2008 )

Penentuan berat jenis pasir serta daya serap pasir serta tersebut

di dalam air dilakukan dalam dua tahap yaitu :

Tahap I : Penetuan keedaan fisik bahan (pasir dalam keadaan kering

permukaan atau SSD).

Tahap II : Penentuan berat jenis pasir (specific gravity).

a. Bulk specific gravity (perbandingan berat pasir kering dengan

volume pasir total).


𝐴
= 𝐵+𝐷−𝐶…………………………………………….(2.2)

b. Bulk specific gravity SSD (perbandingan berat pasir dalam

keadaan SSD dengan volume pasir total).


𝐷
= 𝐵+𝐷−𝐶…………………………………………………... (2.3)

c. Appearent specific gravity pasir (perbanding berat pasir kering

dibandingkan volume pasir kering)


𝐴
= 𝐴+𝐵−𝐶……………………………………………….……(2.4)

d. Absorbtion (besarnya air yang diserap pasir)


𝐷−𝐴
= X 100%.........................................................................(2.5)
𝐴

11
Keterangan :

A = berat pasir oven

B = berat volumetric flash air

C = berat pasir + air + volumetric flash

D = berat pasir SSD

2.1.5 Angka Pori (SNI 03-. 3637-1994. 7 )

Angka pori (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume

rongga (Vv) dengan volume butiran (Vs), biasanya dinyatakan dalam

desimal.

𝑉𝑣
e = 𝑉𝑠 …………………………………………………………(2.6)

Keterangan :

e = Angka pori

VV = Volume rongga

Vs = Volume butiran

2.1.6 Kerapatan Relatif ( SNI 1964:2008 )

Kerapatan relatif (Dr) umumnya dipakai untuk menunjukkan tingkat

kerapatan tanah granuler (berbutir kasar) di lapangan. Kerapatan relatif

dinyatakan dalam persamaan :

𝑒 mak𝑠− 𝑒
Dr = 𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠− 𝑒 𝑚𝑖𝑛………………………………………………(2.7)

12
Keterangan :

emaks = Kemungkinan angka pori maksimum

emin = Kemungkinan angka pori minimum

e = angka pori pada kondisi tertentu di lapangan.

2.1.7 Derajat Kejenuhan ( SNI 03-2812-1992 )

Derajat Kejenuhan (S) didefinisikan sebagai perbandingan antara

volume air dengan volume pori. Derajat kejenuhan dinyatakan dalam

presentase dan nilainya berkisar antara 0% sampai 100% atau 0

sampai 1. Bila tanah dalam keadaan jenuh maka nilai derajat

kejenuhannya adalah 1 (100%), jika tanah dalam keadaan kering

maka nilai derajat kejenuhannya adalah 0 (0%). Nilai derajat

kejenuhan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑉𝑤
S (%) = x 100 %....................................................................(2.8)
𝑉𝑣

Keterangan :

S = Derajat Kejenuhan %

Vv = Volume Pori

Vw = Volume Air

2.2 Abu Batubara (Fly Ash) ( SNI S-15-1990-F )

Sejak Indonesia mengalami krisis bahan bakar minyak, nama batubara

saat ini begitu terkenal, baik dikalangan masyarakat umum maupun industriawan

Semua sumber tenaga yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari

13
minyak bumi kalau memungkinkan diganti dengan batubara. Berdasarkan

data dari BP Statistical Review of Energy, 2004, Indonesia mempunyai

cadangan batubara terbesar ke lima dunia setelah Amerika Serikat, Jerman,

Afrika Selatan dan Ukraina. Saat ini penggunaan batubara di kalangan

industri semakin meningkat volumenya, karena selain harga yang relatif

murah juga kian langka dan harga bahan bakar minyak untuk industri cenderung

naik. Penggunaan batubara sebagai sumber energi pengganti BBM, disatu sisi

sangat menguntungkan namun disisi yang lain menimbulkan masalah, yaitu

abu batubara yang merupakan hasil samping pembakaran batubara. Dari

sejumlah pemakaian batubara akan dihasilkan abu batubara sekitar 2 – 10 %

(tergantung jenis batubaranya, low calory atau hight calory). Sampai

saat ini pengelolaan limbah abu batubara oleh kalangan industri hanya

ditimbun dalam areal pabrik saja (ash disposal).

Abu batubara adalah bagian dari sisa pembakaran batubara yang

berbentuk partikel halus amorf dan abu tersebut merupakan bahan anorganik

yang terbentuk dari perubahan bahan mineral (mineral matter) karena proses

pembakaran. (micbahul munir.,2008)

Dari proses pembakaran batubara pada unit penmbangkit uap (boiler)

akan terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom

ash) Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10 - 20 % abu

dasar, sedang sisanya sekitar 80 - 90 % berupa abu terbang. Abu terbang

ditangkap dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui

cerobong (Edy B., 2007).

14
Menurut ACI Committee 226, dijelaskan bahwa abu terbang (fly ash)

mempunyai butiran yang cukup halus, yaitu lolos ayakan No. 325 (45 mili

mikron) 5 – 27 % dengan spesific gravity antara 2,15 – 2,6 dan berwarna

abu-abu kehitaman. Abu batubara mengandung silika dan alumina sekitar 80

% dengan sebagian silika berbentuk amorf. Sifat-sifat fisik abu batubara

antara lain densitasnya 2,23 gr/cm3, kadar air sekitar 4% dan komposisi

mineral yang dominan adalah α-kuarsa dan mullite. Selain itu abu batu bara

mengandung

SiO2 = 58,75 %, Al2O3 = 25,82 %, Fe2O3 = 5,30 % CaO = 4,66 %,

alkali = 1,36 %, MgO = 3,30 % dan bahan lainnya = 0,81 %.

Beberapa logam berat yang terkandung dalam abu batubara seperti

tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn), kadmium (Cd), chrom (Cr).

Gambar Tabel 2.2. : Kandungan logam berat pada abu batubara

No. Jenis abu batubara Kandungan logam berat (ppm)


Cu Pb Zn Cd Cr
1 Abu batubata Bukit Asam 298 19 391 11 224
2 Abu batubata Ombilin 87 15 153 T 120
Sumber : Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen
t
ESDM, 2003

Menurut SNI S-15-1990-F tentang spesifikasi abu terbang sebagai

bahan tambahan untuk campuran beton, abu batubara (fly ash)

digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu :

- Kelas F : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari

pembakaran batubara jenis antrasit dan bituminous.

15
- Kelas C : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari

pembakaran batu bara jenis lignite dan

subbituminous.

- Kelas N : Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale, tufa,

abu gunung berapi atau pumice.

Sebenarnya abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti

halnya semen, namun dengan kehadiran air dan ukurannya yang halus,

oksida silika yang dikandung didalam abu batubara akan bereaksi secara

kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen

dan akan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat

(Djiwantoro, 2001).

2.3 Kuat Geser langsung ( SNI 03-2813-1992, ASTM D 3080-90 )

Percobaan geser langsung merupakan salah satu jenis pengujian tertua dan

sangat sederhana untuk menentukan parameter kuat geser tanah c dan Ø. Dalam

percobaan ini dapat dilakukan pengukuran secara langsung dan cepat nilai

kekuatan geser tanah dengan kondisi tanpa pengaliran atau dalam konsep

tegangan total. Pengujian ini diperuntukan bagi tanah non-kohesif, namun dalam

perkembangannya dapat pula diterapkan pada jenis tanah kohesif. Prinsip dasar

dari pengujian ini adalah dengan pemberian beban geser/horizontal pada contoh

tanah melalui cincin/kotak geser dengan kecepatan yang tetap sanpai tanag

mengalami keruntuhan. Sementara itu tanah juga diberi beban vertikal yang

besarnya tetap selama pengujian berlangsung. Selama pengujian dilakukan

pembacaan dial regangan pada interval yang sama dan secara bersamaan

16
dilakukan pembacaan beban dial geser pada bacaan regangan yang bersesuaian,

sehingga dapat digambarkan suatu grafik hubungan regangan dan tegangna geser

yang terjadi. Umumnya pada pengujian ini dilakukan pada 3 sampel tanah yang

identik, dengan beban normal yang berbeda untuk melengkapi satu seri pengujian

geser langsung. Dari ketiga hasil pengujian akan didapatkan 3 pasang data

tegangan normal dan tegangan geser, sehingga dapat digambarkan suatu grafik

hubungan keduanya untuk menentukan nilai c dan Ø. Adapun prosedur

pembebanan vertikal dan kecepatan regangan geser akibat pembebanan horisontal,

sangat menentukan parameter – parameter kuat geser tanah yang diperoleh.

Kuat geser langsung ialah gaya-gaya perlawanan yang dibuat oleh butiran-

butiran terhadap tarikan (Hary Cristady, 2002). Dengan adanya kombinasi

keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser dapat mengakibatkan

keruntuhan pada suatu bahan (Mohr, 1910). Tanah yang tidak berkohesi, memiliki

kekuatan geser yang terletak pada gesekan antara butir tanah (c = 0), sedangkan

dalam kondisi jenuh tanah tersebut berkohesi, maka ø = 0 dan S = c. Nilai

kekuatan geser dirumuskan oleh Coulomb dan Mohr dalam persamaan berikut ini:

τ = c + σ tan

Keterangan:

τ = kekuatan geser maksimum (kg/cm2)

c = kohesi (kg/cm2)

σ = tegangan normal (kg/cm2)

Ø = sudut geser dalam (o)

17

Anda mungkin juga menyukai