Anda di halaman 1dari 2

Sebutir Batu

Aku Yusuf seorang anak yang berperang terhadap kerasnya hidup. Aku hidup bersama kakek. Butiran-butiran
sampah adalah uang bagi kami. Aroma sampah adalah oksigen bagi kami. Walaupun kami hidup seperti ini, ibadah
tetap nomor satu bagi kami. Aku putus sekolah semenjak orang tuaku meninggalkanku. Aku hanya bisa sekolah
sampai kelas 5 SD. Orang tuaku begitu tega meninggalkan aku, dan kakek yang sudah tau rentan.

“Pak, saya mau pamit untuk mencari pekerjaan dikota. Saya gak mau nganggur gini terus, mau makan apa kita
kalau gini-gini aja. Saya titi istri sama anak saya ya pak...” kata Ayah.

“ Mau pergi kemana kamu? Mau kerja apa? Memangnya kerja didaerah sini ndak bisa??” jawab kakek.

“Kalo disini Cuma bisa jadi kuli panggul, uangnya hanya sedikit. Saya mau ke kota saja lebih banayak uangnya.”
Lanjut Ayah.

“Baik kalo memang niatmu benar untuk mencari kerja, setiap bulan kirim kabar dan uang untuk istri dan anakmu,
paham? Jawa kakek.

“Paham pak...” lanjut Ayah.

Ayah yang lebih awal meninggalkan kami, saat itu aku masih duduk dibangku kelas 4 SD. Ayah bilang padaku,
kalau dia akan kembali lagi, aku percaya itu. Sebulan kemudian ayah mengirimkan surat dan uang kepada kami, kami
sangat senang. Empat bulan ayah mengirimkan uang, teatpi diblan kelima ayah tidak lagi memberi uang dan kabar.
Sedangkan biaya sekolahku belum terbayar, ibu pusing memikirkan itu semua. Akhirnya ibu pergi, dengan alasan
ingin mencari aya,dan mencari pekerjaan.

Akhirnya kami hanya tinggal berdua, kakek memulung barang bekas, lumayan hasilnya utuk makan. Sekolahku
berantakan, karena aku tidak tega membiarkan kakek memulung sendirian, aku putus sekolah di kelas 5 SD. Waktu itu
pemilik kontrakan mendatangi kami, untuk menagih uang sewa yang selama ini belum terbayar.

“Yusuf mana orang tua kamu? Tante mau ngomong.” Tanya pemilik kontrakan.

“Orang tua saya pergi tante, belum pulang sampai sekarang. Lagi kerja dikota.” Jawabku

‘Bhong kamu! kecil-kecil sudah belajar berbohong! Mana orang tau kamu!” lanjutnya ketus.

Tak lama lalu kakek datang menggunakan baju koko sehabis sholat dzuhur.

“Ada apa ini ribut-ribut...?” kata kakek.


“Mana anakmu pak?.” Jawabnya
“Anakku dan menantuku sedang pergi ke kota, mereka bekerja disana...” jawab kakek membela
“Besok kalian pergi dari sisni! Kontrakan nya mau ada yang tempatin!” kata pemilik kontrakan.
“Tapi...” jawab kakek.
“Gak ada tapi-tapian” katanya langsung pergi meninggalkan kami.

“Kek kalau kita di usir dari sini, kita akan tinggal dimana?” tanyaku dengan sedih.
“Sudah suf, pasti ada jalan... minta sama Allah” kata kakek sambil memelukku dan menangis.

Esok harinya kita pergi dari kontrakan itu, kakek bingung mau kemana lagi, tidak punya rumah dan tidak punya
pekerjaan. Dalam perjalanan, aku dan kakek berhenti di masjid dan menginap semalan disana.

Semalaman kakek berdoa kepada Allah, agar diberi kemudahan. Karena mersa tidak enak, akhirnya kami
melanjutkan perjalanan. Kami belum makan selama sehari, perututku terasa perih, namun kakek selalu menguatkanku.

“Kek aku lapar... perutrku sakit kek... kapan kita makan? Kataku sambil menangis karea tidak kuat menahan lapar.
“Sabar nak sabar, nanti kita makan kok, yang sabar ya nak...” jawab kakek sedih.

Lalu kami sampai di tempat yang menurut kami cocok. Disana banyak sekali pepohonan, dan jauh dari keramaian.
Kami memustuskan untuk tinggal disitu. Karena kami tidak mempunya apa-apa, kakek memutuskan mencari kardus
bekas untuk dijadikan tempat berlindung kami untuk sementara. Kami tinggal di tempat yang sangat sederhana dan
mungkin kurang layak untuk dijadikan sebagai tempat tinngal, yang atap dan alasanya terbuat dari kardus. Kami
akhirnya memulung barang-barang bekas untuk kami bertahan hidup.

Suatu hari aku memulung di tempat samapah, dan didalam tempat sampah tersbut ada satu bungkus nasi msih utuh
yang baru saja dibuang oleh orang. Aku mengambil nasi tersebut dan membawanya pulang, untuk dimakan bersama
kakek di rumah. Hari ini hasilku memulung tidaklah banyak, karena aku memulung sendiri, kakek sedang sakit di
rumah. Jadi, terpaksa aku mengambil nasi itu.

“Kakek, aku bawa ini keek” sambil menunjukan nasi bungkus tersebut.
\ “Apa itu suf?” ta nya kakek.
“Hari ini hasil pulunganku sedikit, jadi tidak bisa dijual kek. Tapi aku menemukan ini di tempat ampah, belum basi
kok kek... masih baru” kataku
Kakek menangis mendengar perkataanku.
“Kakek kenapa nangis??” tanyaku
“ndakk.. yasudah kalo begitu.. ayoo kita makan” jawab kakek.

Aku beruntung, masih ada orang yang mau bersedekah kepadaku. Walaupun sedekahnya tidak secara langsung.
Tidak peduli dapat darimana makanan tersebut, asalkan aku dan kakek bisa bertahan hidup dan msih bisa beribadah,
itu sudah cukup.
Suatu hari aku memulung didekat masjid bersama kakek. Namun masjid itu belum selesai dibangun. Aku ingin
rasanya bersedekah untuk pembangunan masjid tersebut, tapi aku tidak memiliki banyak uang, makanpin masih
mencari di tong-tong sampah jalanan. Tapi aku yakin kalau aku bisa bersedekah untuk masjid itu walau hanya satu
butir batu.

‘Kek, nanti kalau kita punya rezeki lebih, kita sedekahkan untuk masjid itu ya..” kataku sambil tersenyum manis.
“Iya cucuku, insya Allah. Niatmu sudah bagus untuk sedekah, walaupun kita tidak memiliki banyak harta..” kata
kakek tersenyum hangat.

Setiap malam aku sellu berdo`a kepada Allah, agar aku bisa bersedekah untuk pembanguunan masjid tersebut.
Setiap pagi aku selalu bersemangat untuk mencari barang-barang bekas yang akan aku jadikan uang. Untuk makan,
minum, dan untuk bersedekah ke masjid tersebut.

Akhirnya setelah susah payah mengumpulkan uang, aku bisa bersedekah untuk masjid tersebut. Aku pergi ke
masjid tersebut, dan menemui orang yang membangun masjid itu lalu memberikan sesuatu kepadanya.

“assalamua’laikum...” sapaku.
“Wa`alaikumsalam... ada apa dek?” tanyanya
“Pak, aku boleh bersedekah untuk masjid ini?”tanyaku.
“Oh boleh dek, kami sangat mmenerima sedekah apapun , walau hanya sedikit tpi akan bernilai pahala dari
Allah....” jawabnya
“Tetapi, apa bapak tidak marah jika saya bersedekah?” tanyaku.
“ loh kenapa harus marah? Memangnya siapa yang melarang bersedekah?” jawabnya.
“Pak, saya hanyalah orang miskin yang ingin sekali bersedekah untuk masjid ini. Saya ingin sekali, rimah Allah ini
terlihat indah, tetapi saya hanya bisa memberi ini.. hanya ini yanf yang saya punya , semoga masjid ini cepat selesai
pak..” kataku sambil memberikan tiga buah batu bara.

Bapak tersebut menerimanya dengan terharu. Tidak bisa menahan tangisnya. Begitu besar cita-citanya untuk
bersedekah. Walaupun hanya 3 buat batu, namun sangatlah berarti. Yusuf hanyalah orang miskin yang hidup
menderita. Namu keinginannya sangatlah besar.

Anda mungkin juga menyukai