Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1
Menurut World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016, menyebutkan bahwa
17,5 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, yang
mewakili dari 31% kematian di dunia. Di Amerika Serikat penyakit gagal jantung
hampir terjadi 550.000 kasus pertahun. Sedangkan di negara-negara berkembang di
dapatkan kasus sejumlah 400.000 sampai 700.000 per tahun.2

Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk memompa darah secara
adekuat untuk memelihara sirkulasi darah.3 Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah
penyakit arteri koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor
risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati,
aritmia, gagal ginjal, dan penyakit katup jantung.4 Dengan data perkembangan seperti
ini, penyakit jantung kongestif akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi
masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan
angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera
memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Berdasarkan
alasan tersebut, kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai
praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar
mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

Pada tahun 1968, WHO mengartikan kardiomiopati sebagai “ penyakit karena


sebab yang tidak diketahui dengan manifestasi yang dominan berupa kardiomegali
dan gagal jantung.” Perkembangan yang terbaru adalah definisi menurut WHO tahun
1995, yaitu penyakit-penyakit miokardium yang berhubungan dengan disfungsi
kardia serta mencakup adanya aritmogenik dari kardiomiopati / displasia ventrikular

1
{arrythmogenic Right Ventricular Cardiomyopathy/Dysplasia (ARVC/D)} dan
kardiomiopati restriktif primer untuk pertama kalinya Akhir-akhir ini, insidens
kardiomiopati semakin meningkat frekuensinya.

Kejadian DCM yang dilaporkan bervasiasi setiap tahunnya mulai dari lima
hingga delapan kasus per 100.000 populasi. Kejadian sesungguhnya mungkin tidak
diketahui karena tidak dilaporkan atau tidak terdeteksinya kasus DCM yang
asimptomatis, yang dapat mengenai 50%-60% pasien. Pada kebanyakan penelitian
acak di banyak pusat mengenai gagal jantung, sekitar satu per tiga dari pasien yang
dirawat merupakan noniskemik DCM.4,5 Prevalensi kejadian DCM di Amerika
Serikat rata-rata 36 kasus per 100.000 populasi dan tercatat 10.000 kematian akibat
DCM setiap tahunnya.6 Kira-kira 50% dari kasus kardiomiopati dilatasi adalah
penyakit idiopatik. Pada 20-30% pasien selebihnya berhubungan dengan fenomena
genetik, inflamasi dan imunologi seperti miokarditis; sedangkan sisanya akibat
penyakit jantung iskemik, hipertensi, infeksi HIV, toksik, dan beberapa penyebab
lain.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. RR
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jakarta Timur
Agama : Islam
Status : Menikah
Masuk RS : Sabtu, 11 Januari 2020

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
Keluhan Utama : Sesak sejak pagi hari
Keluhan Tambahan : Kedua kaki bengkak sejak 1 minggu SMRS, dan dada
berdebar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke igd RS Polri Tanggal 11 Januari 2020 pukul 02:09
dengan keluhan sesak sejak pagi hari. Sesak mulai di rasakan saat pasien
sehabis jalan pagi tiba-tiba terasa sesak tanpa nyeri dada. Sebelumnya pasien
memiliki riwayat penyakit jantng sejak tahun 2017 dan selalu mengonsumsi
obat rutin, tetapi 2 minggu SMRS pasien tidak minum obat.
Pasien juga mengeluh kaki nya bengkak sejak 1 minggu SMRS dan
lebih nyaman tidur dengan sanggahan 3 bantal.
Keluhan lain seperti mual,muntah,demam disangkal. Keluhan lain
yang dirasakan pasien adalah batuk kering dan pusing.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki riwayat sakit jantung sejak tahun 2017. Pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi, tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Pasien
tidak memiliki riwayat Asma, Trauma, dan Ginjal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat pernyakit serupa.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien bekerja sebagai mantan purnawirawan, pasien dapat


melakukan melakukan aktivitas sehari-hari nya sendiri. Pasien memiliki
riwayat kebiasaan merokok dan minum kopi.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

Tekanan Darah : 120/90 mmHg

Nadi : 90 kali permenit

Pernapasan : 26 kali permenit

Suhu : 37 oC

Berat Badan : 82 kg

Tinggi Badan : 167 cm

4
STATUS GENERALIS

a. Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
- Kulit : Tidak ada kelainan
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Bentuk normal, simetris
- Hidung : Bentuk normal, tidak deviasi, tidak ada napas
cuping hidung
b. Thorax
Bentuk normal, tidak ada retraksi, simetris saat statis dan dinamis.

c. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan: ICS IV linea sternalis
dextra. Batas pinggang jantung: ICS III linea
midclavicularis sinistra Batas jantung kiri: ICS
IV linea axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : BJ I – BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

d. Paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dan bentuk dada simetris
kanan dan kiri
- Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri
simetris, nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-)

4
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikular (+/+), rhonki (-/+), wheezing(-/-)

e. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
- Auskultasi : Bising usus normal
- Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-), massa (-
)
- Perkusi : Shifting dullness (-)

f. Ekstremitas
- Superior : Edema (-/-), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-),
capillary refill time < 2 detik
- Inferior : Edema (+/+), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-
), capillary refill time < 2 detik.

5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium IGD RS POLRI
a. Hematologi pada Jumat, 10 Januari 2020 pukul 22:01:21 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hemoglobin *12,8 13-16 g/dl

Leukosit 6.400 5000-10.000 /ul

Hematokrit 42 40-48%

Trombosit 165.000 150.000-400.000/ul

b. Analisa Gas Darah pada Minggu, 12 Januari 2020 pukul


17:51:57 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

PH 7,43 7,35-7,45

pCO2 28* 35-45mmhg

Po2 155* 85-95mmhg

O2 saturasi 99* 85-95%

HCO3 21 21-25

Base Excess -6* (-2,5)-(+2,5)

Total CO2 19* 21-27mmol/L

6
c. Kimia klinik dan elektrolit Minggu, 12 Januari 2020 pukul
19:03:26 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Albumin 3,6 3,5-5,2

SGOT 29,2 <37

SGPT 16,0 <40

UREUM 57* 10-50

CREATININ 1,2 0,5-1,5

Estimasi GFR 63* >=90

GDS 137 <200

CKMB 84* <24

NATRIUM 140 135-145

KALIUM 4,4 3,5-5,0

CHLORIDA 104 98-18

7
2. A. Pemeriksaan EKG
Pada tanggal 13 Januari 2020

Interpretasi : sinus reguler, rate 73x/menit, axis normal, Lateral T inverted, poor R
wave pregression.

Pada tanggal 15 Januari 2020

Interpretasi : irama sinus, rate 77x/menit, aksis nya normal, ST depresi inferior
8
Pada tanggal 16 januari 2020

Interpretasi : irama sinus, rate 65x/menit, aksis normal, ST depresi

B. Radiologi
Rontgen Thorax AP (tanggal 10 Januari 2020)

9
CTR (Cardio Thoracic Ratio)
 Diameter terjauh jantung dibandingkan
lebar torak
𝐀+𝐁
 𝐗 𝟏𝟎𝟎%
𝒁
𝟏𝟑+𝟏𝟒
 𝟑𝟑
 𝐊𝐚𝐫𝐝𝐢𝐨𝐦𝐞𝐠𝐚𝐥𝐢 ∶ 𝐂𝐓𝐑 81%

2.5 TATALAKSANA MEDIS


13 Januari 2020
a. Inj lasix 20mg
b. Inj rantin 50mg
c. Lisinopril 1x5mg
d. Bisoprolol 1x2.5mg
e. Sprironolakton 1x25mg
f. Ambroxol 3x1
g. HCT 1x25mg
h. Digoxin 1x3
i. Aspilet 1x8mg
14 Januari 2020
a. Drip lasix 2amp/24 jam
b. HCT 1x25mg
c. Codein 3x10mg
d. Spironolakton 1x25mg
e. Ambroxol 3x1
f. Aspilet 1x8mg
g. Digoxin 1x1

10
15 Januari 2020
a. IV lasix 1 amp/24 jam
b. HCT 1x2mg
c. Spironolakton 1x25mg
d. Digoxin 1x1
e. Codein 3x10mg
f. Paracetamol 3x500mg
16 Januari 2020
a. Furosemid tab 1x40mg
b. HCT 1x25mg
c. Spironolakton 1x25mg
d. Aspilet 1x8mg
e. Digoxin 1x1
f. Ambroxol 3x1mg
g. Inj ceftriaxon 1x2gr

2.6 RESUME
Pasien datang ke igd RS Polri Tanggal 11 Januari 2020 pukul 02:09
dengan keluhan sesak sejak pagi hari. Sesak dirasa setelah berjalan tanpa nyeri
dada. Pasien lebih nyaman tidur menggunakan sanggahan minimal 3 bantal..
Pasien mengeluh kedua kaki bengkak sudah 1 minggu. Lalu pasien juga memiliki
keluhan batuk kering dan pusing. Sebelumnya pasien memiliki riwayat penyakit
jantung sejak 2017 dan rutin minum obat tetapi 2 minggu SMRS pasien tidak
mengkonsumsi obat.
Pada pemeriksaan hematologi tanggal 10 Januari 2020, didapakan hasil
Hemoglobin 12,8 g/dl (13-16 g/dl). Pemeriksaan Analisa Gas Darah tanggal 12
Januari 2020, didapatkan pCO2 28 mmHg (35-45 mmHg), pO2 155 mmHg (85-
95 mmHg), O2 Saturasi 99 mmHg (85-95 mmHg), total CO2 19 mmol/L (21-27
mmol/L). Pada pemeriksaan kimia klinik tanggal 12 Januari 2020, didapatkan

11
ureum 57 mg/dL (10-50 mg/dL), GFR 63 ml/min/1.73m2 (≥90 ml/min/1.73m2),
CK-MB 84 U/L (<24 U/L).
Pada pemeriksaan EKG didapatkan poor R wave progression, Old
Anterior MCI. RO Thorax : Kardiomegali, elongasio aorta, LVH, RVH,
LAH.

2.7 PEMERIKSAAN ANJURAN


a. BNP / NT- pro BNP
b. Troponin I atau troponin T
c. Urinalisa lengkap

2.8 MONITORING
a. Vital Sign
b. EKG
c. Gejala Klinis

2.9 PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad malam
Quo Ad sanacionam : Dubia ad malam
Quo Ad functionam : Dubia ad malam

12
FOLLOW UP

Pada tanggal 13 Januari 2020

S: Sesak dan batuk


O: KU: lemah
TD: 120/70
HR: 75 x/menit
RR: 25 x/menit
SpO2: 100%
Thorax: simetris, tidak ada retraksi
Cor: Bunyi Jantung I dan II iregular, murmur (-), gallop (-)
Pulmonal: suara napas vesikuler +/+, rhonki +/+. wheezing -/-
EKG : old anterior miocarditis
RO Thorax :Kardiomegali
A: CHF
Dilated Cardio Myopathy
P: a. inj rantin 50mg
b. inj lasix 20 mg
c. Lisinopril 1x5mg
d. Bisoprolol 1x2,5mg
e. Spironolakton 1x25mg
f. ambroxol 3x1
g. HCT 1x25 mg
h. Digoksin 1x3
i. Asplet 1x8mg

Pada tanggal 14 Januari 2020


S: Sesak nafas berkurang, masih batuk
O: KU: Lemah
TD: 100/80
HR: 64 x/menit, ireguler
RR: 25 x/menit

13
SpO2: 94%
Thorax: simetris, tidak ada retraksi
Cor: Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmonal: suara napas vesikuler +/+, rhonki +/+. wheezing -/-
EKG : -
RO Thorax : Kardiomegali
A: CHF
Dilated Cardio Myopathy
P: a. Drip Lasix 2amp/24jam
b. HCT 1x25mg
c. codein 3x10 mg
d. Spironolakton 1x25mg
e. ambroxol 3x1
f. aspilet 1x8mg
g. digoxin 1x1

Pada tanggal 15 Januari 2020

S: Sesak nafas, hemomptoe, batuk


O: KU: lemah
TD: 100/70
HR: 77 x/menit
RR: 24 x/menit
SpO2: 96%
Thorax: simetris, tidak ada retraksi
Cor: Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmonal: suara napas vesikuler +/+, rhonki +/+. wheezing -/-
EKG : Poor preggresion R V1-V6
A: CHF
Dilated Cardio Miopathy
P: IV Lasix 1 amp/24 jam
HCT 1x2mg
Spironolakton 1x25mg
Digoksin 1x1
14
Codein 3x10mg
Paracetamol 3x500mg

Pada tanggal 16 Januari 2020


S: sesak berkurang, susah tidur
O: KU: lemah
TD: 90/60
HR: 71 x/menit
RR: 22 x/menit
SpO2: 100%
Thorax: simetris, tidak ada retraksi
Cor: Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmonal: suara napas vesikuler +/+, rhonki +/-. wheezing -/-
EKG : irama sinus, rate 65x/menit, aksis normal, ST depresi
A: CHF
Dilated Cardio Miopathy
P:
Furosemid tab 1x40mg
HCT 1x25mg
Spironolakton 1x25mg
Aspilet 1x8mg
Digoxin 1x1
Ambroxol 3x1
Inj ceftriaxon 1x2gr

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 CHF

3.1.1 Definisi

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke suluruh jaringan tubuh secara
adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien dengan
gagal jantung harus memenuhi kriteria sebagai berikut.5
Sesak napas saat istirahat atau

Gejala aktifitas, lelah, letih, pembengkakan


pergelangan kaki

DAN

Takikardi, takipnu, rales pada paru,

Tanda khas efusi pleura, peningkatan JVP,


edema perifer, hepatomegali

DAN

Abnormalitas dari struktur dan


fungsional jantung (LVH,

Bukti Objektif kardiomegali, S3, bising jantung,


peningkatan konsentrasi natriuretic
peptide).5

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat / rapid onset atau adanya
perubahan mendadak gejala atau tanda khas gagal jantung. Ini merupakan kondisi
mengancam jiwa yang memerlukan perhatian medis segera dan biasanya perlu dibawa ke
rumah sakit. Gejala akut dapat bervariasi, perburukan dapat terjadi dalam hitungan hari
ataupun minggu (misalnya sesak napas yang berat atau edema) tetapi beberapa

16
berkembang dalam hitungan jam sampai menit (misalnya yang berhubungan dengan
infark miokard akut).5

Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot jantung, atau
beban jantung yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Beban jantung yang berlebihan
pada preload atau beban volume terjadi pada defek dengan pirau kiri ke kanan, regurgitasi
katup, atau fistula arteriovena. Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau
beban tekanan terjadi pada obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta,
stenosis pulmonal, atau koarktasio aorta.

3.1.2 Klasifikasi
Heterogenitas penyebab yang melekat dari gagal jantung akut membuat skema
klasifikasi sulit dibuat, dan tidak ada satupun klasifikasi yang dapat diterima secara
universal. Salah satu pembeda yang mempunyai pengaruh berdasarkan adaa atau tidak
adanya riwayat dari gagal jantung.6
Gagal jantung onset baru atau de novo (hanya sekitar 20% yang di hospitalisasi)
tidak memiki riwayat gagal jantung sebelumnya, atau hanya terdapat riwayat resiko
terhadap gagal jantung (Stadium A pada guidelines AHA) atau kelainan struktural
jantung yang asimtomatik (Stadium B pada guidelines AHA). Mayoritas pasien gagal
jantung telah mempunyai riwayat gagal jantung kronik sebelumnya. Terdapat
simplifikasi yang membagi tiga grup dari pasien gagal jantung akut:
1. Decompensated Heart Failure
Kelompok ini terdiri dari pasien dengan perburukan tanda dan gejala dari kongesti
yang didasari oleh gagal jantung kronik. Waktu perburukannya dapat akut, subakut,
dan indolent, dengan perburukan yang berangsur dari beberapa hari hingga beberapa
minggu. Mereka dapat HFrEF atua HFpEF, dengan cardiac output dan tekanan darah
dalam batas normal. Kelompok ini menyumbang hospitalisasi untuk gagal jantung
akut paling banyak.
2. Acute Hypertensive Heart Failure
Hipertensi sering menjadi penyebab pada gagal jantung akut, dengan 50% pasien
terdapat gejala TDS > 140 mmHg dan 25% nya diatas 160 mmHg. Hipertensi dengan
penigkatan afterload pada kelompok ini menjadi pemicu dari dekompensasi.

17
3. Cardiogenic Shock
Kelompok ini memberikan tanda dan gejala hipoperfusi organ meskipun dengan
preload yang adekuat. Sering terjadi penurunan TDS.6

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York Heart
Association (NYHA) classification for heart failure membaginya, sebagai berikut :
11,12

1. Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik,
dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak nafas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak nafas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak nafas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart Association,
yaitu antara lain: 11,12
1. Stage A
Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak
menunjukkan struktur abnormal dari jantung .
2. Stage B
Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.
3. Stage C
Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.
4. Stage D
Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan
standar.
Jenis gagal jantung yang paling umum adalah gagal jantung sisi kiri. Sisi kiri
jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa volume darah ke seluruh tubuh.
Hal ini dapat menyebabkan penumpukan cairan di paru-paru dan membuat sulit
bernafas saat berlangsung. Cairan ini memberi nama gagal jantung kongestif.15
18
Ada dua jenis gagal jantung sisi kiri15:
Gagal jantung sistolik: Ventrikel kiri tidak dapat berkontraksi secara normal,
membatasi kemampuan memompa jantung.
Gagal jantung diastolik: Otot di ventrikel kiri menegang. Jika otot tidak bisa rileks,
tekanan di ventrikel meningkat, menyebabkan gejala.
Gagal jantung sisi kanan lebih jarang terjadi. Ini terjadi ketika ventrikel kanan
tidak dapat memompa darah ke paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan tahanan darah
di pembuluh darah, yang dapat menyebabkan retensi cairan di kaki dan lengan bagian
bawah, perut, dan organ lainnya.15
Seseorang dapat memiliki gagal jantung sisi kiri dan kanan pada saat yang
bersamaan. Namun, gagal jantung biasanya dimulai di sisi kiri dan dapat
mempengaruhi sisi kanan jika seseorang tidak menerima perawatan yang efektif.15
3.1.3 Epidemiologi
Pasien dengan gagal jantung akut berkisar lebih dari 70 tahun dan hampir
separuhnya adalah laik laki. Kebanyakan dari mereka mempunyai riwayat gagal jantung
sebelumnya, sementara gagal jantung akut de novo merepresentasikan sepertiga hingga
seperempat kasus gagal jantung. Sekitar 40 – 55 % mempunyai ejeksi fraksi yang normal
(HFpEF). Mengenai kondisi komorbid kardiovaskular, kebanyakan pasien gagal jantung
akut mempunyai riwayat hipertensi, sekitar separuhnya mempunyai PJK, dan
sepertiganya mempunyai atrial fibrilasi. Sedangkan terkait komorbid non-kardiovaskular,
sekitar 40% mempunyai riwayat diabetes mellitus, sepertiganya mempunyai CKD dan
PPOK.7
3.1.4 Etiologi
1. Sindrom Koroner Akut
2. Hipertensi emergensi
3. Aritmia
4. Penyebab mekanikal akut
5. Emboli Paru.6

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu: 11,12
1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan akibat penyakit jantung bawaan atau didapat yaitu :
a. Beban volume (preload)
19
b. Beban tekanan (afterload)
2. Abnormalitas otot jantung
a. Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia),
rheumatoid heart disease, toksin atau sitostatika.
b. Sekunder : Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
3.1.5 Patofisiologi
Gagal jantung kronis dapat diakibatkan oleh berbagai gangguan kardiovaskular.
Secara etiologis hal ini dapat dikelompokkan sebagai faktor faktor yang (1) menghambat
kontraktilitas ventrikel, (2) meningkatkan afterload, dan (3) menghambat relaksasi dan
peningkatan ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan oleh kelainan pada pengosonga
ventrikel disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh
kelainan relaksasi diastolik atau pengisian ventrikel diseut disfungsi diastolik. Namun
sering terjadi tumpang tindih, dan banyak pasien menunjukkan kelainan sistolik dan
diastolikk, maka terdapat pula klasifikasi yang didasari dengan fraksi ejeksi, yaitu gagal
jantung dengan EF menurun dan gagal jantung dengan EF yang normal.8

20
Terdapat mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien dengan gagal jantung
untuk menangani penurunan curah jantung dan membantu menjaga tekanan darah yang
cukup untuk menyuplai organ vital. Kompensasi ini termasuk (1) mekanisme Frank-
Starling, (2) perubahan neurohormonal dan terjadinya hipertrofi ventrikel dan
remodeling.8

21
3.1.6 Manifestasi Klinis
Menurut PERKI ( Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) dalam
pedoman tata laksana gagal jantung, manifestasi klinis dari gagal jantung dibedakan atas
gejala tipikal, kurang tipikal, dan tanda spesifik.

Gejala Tanda

Tipikal Spesifik
- sesak nafas - Peningkatan JVP
- ortopnea - Refluks hepatojugular
- PND (Paroxysmal Nocturnal - suara jantung S3(gallop)
Dyspneu) - apex jantung bergeser ke lateral
- Toleransi aktifitas yang - bising jantung
berkurang
- cepat lelah
- bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
- batuk di malam / dini hari - edema perifer
- mengi - krepitasi pulmonal
- berat badan bertambah > 2 - suara pekak di basal paru pada
kg/minggu perkusi
- berat badan turun (gagal - takikardia
jantung stadium lanjut) - nadi irreguler
- perasaan kembung/begah - nafas cepat
- nafsu makan menurun - hepatomegali
- perasaan bingung(terutama - asites
pasien lanjut) - kaheksia
- depresi
- berdebar
- pingsan
(PERKI,2015)

22
1.Dispnea

Sesak nafas atau yang biasa disebut dispnea merupakan gejala yang paling
umum dari pasien gagal jantung. Pada gagal jantung ringan sesak nafas (dispnea)
hanya muncul pada saat beraktivitas . Pada kondisi dispnea yang bertambah berat
akan terjadi edema pulmonal sehingga tekanan kapiler dapat mendorong cairan
masuk ke alveoli, dan terjadi edema paru. Kondisi ini dapat mengurangi pertukaran
gas dan menyebabkan hipoksia .13

2. Ortopneu
Ortopneu adalah keadaan sesak nafas ketika dalam posisi berbaring, sehingga
harus mengambil posisi tegak atau duduk agar pernafasan normal kembali.
Ortopneu terjadi akibat adanya sumbatan pada vena yang mengarah ke jantung.
Penyebab lainnya yaitu penumpukan darah dijantung akibat kurangnya kapasitas
pemompaan darah yang dialirkan dari paru-paru.13
3. Dispneu Nokturnal Paroksimalis (PND)
Keadaan ini mengacu pada episode dimana pasien mengalami sesak napas parah
secara akut dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari, sehingga pasien
mudah terbangun dari tidurnya, gejala ini biasanya terjadi 1-3 jam setelah pasien
tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk atau mengi, mungkin karena
meningkatnya tekanan dalam arteri bronkial menyebabkan tertekannya jalan nafas.
Pasien dengan PND sering mengalami batuk terus-menerus dan mengi walaupun
pasien sudah dalam posisi tegak.13
4. Edema Perifer
Pada gagal jantung kanan yang kronis, ventrikel kanan tidak dapat memompa
darah secara adekuat sehinga terjadi peningkatan tekanan akhir diastol yang di ikuti
dengan peningkatan tekanan atrium kanan sehingga terdapat bendungan pada
seluruh sistem vena. Tekanan hidrostatik meningkat melampaui tekanan osmotic
kapiler sehingga menimbulkan edema perifer. Bendungan pada sistem vena juga 24
dapat menyebabkan bendungan pada vena jugularis eksterna, hepatomegali dan
splenomegali.13

23
3.1.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Ditanyakan gejala dan tanda khas pada gagal jantung seperti fatik, dyspnea,
cepat lelah dan napas pendek dapat juga dibantu dengan pertanyaan dalam
Framingham Score. Keluhan dapat berupa saluran penccernaan seperti anoreksia,
nausea, rasa penuh. Jika berat dapat terjadi konfusi, disorientasi, gangguan pola tidur
dan mood.9
24
Selain itu ditanyakan riwayat hipertensi, onset gagal jantung, adakah riwayat
aritmia, tanda tanda konngesti seperti edema di perifer, peningkatan berat badan
signifikan tanpa intake kalori yang melebihi sehari hari, riwayat penyakit kronik
seperti CKD, dan pertanda infeksi.9
b. Pemeriksaan fisik

Posisi pasien dapat tertidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah
dapat normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena
disfungsi ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan
pengisian vena, adanya bising jantung, dan irama gallop perlu dideteksi pada saat
auskultasi. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah halus pada kedua basal paru.
Terdapat distensi vena saat pemeriksaan hepatojugular reflux. Pada abdomen bisa
terdapat heaptomegali yang merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites,
icterus karena fungsi hepar terganggu. Edema yang umumnya simmetris dapat
ditemukan.9

 Pulsasi pada arteri lemah


 JVP meningkat
 Rales (ronkhi basah halus)
 Edema perifer.6
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium Rutin
i. Natriuretic peptide (NP)
Pada pasien AHF, level plasma dari NP harus diukur pada semua
pasien yang menderita dyspnea untuk mendifrensiasi dari penyebab
non-kardiak dari dyspneu tersebut. NP mempunyai sensitivitas yang
tinggi dan saat kondisi normal pada pasien AHF tidak bermakna
apabila BNP < 100 pg/mL, NT-proBNP < 300 pg/mL.10
ii. Troponin
Pemeriksaan troponin bertujuan untuk mendeteksi riwayat sindrom
coroner akut sebagai faktor yang mendasari AHF.10
iii. Elektrolit
iv. Ureum dan Kreatinin
25
v. SGOT dan SGPT
Tes fungsi hati bertujuan menilai kongesti vena dan prognosisnya
lebih buruk.10
vi. TSH
Menilai faktor yang mendasari AHF salah satunya hipertiroid yang
dapat meningkatkan laju metabolisme
vii. Glukosa
2) EKG
Pada EKG jarang ditemukan kesan yang normal. Ini dapat berguna untuk
mengidentifikasi penyebab yang mendasari penyakit jantung yang diderita
contoohnya atrial fibrilasi atau akut miokard infark.10
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis`

Sinus Takikardia Gagal jantung Penilaian klinis


dekompensasi, anemia, pemeriksaan
demam, hipertiroidisme laboratorium

Sinus Bradikardia Obat penyekat 𝛽, anti Evaluasi terapi obat


aritmia, hipotiroidisme, pemeriksaan
sindroma sinus sakit laboratorium.

Atrial Hipertiroidisme, infeksi, Perlambatan konduksi


takikardia/flutter/fibrilasi gagal jantung AV, konversi medik,
dekompensasi, infark elektroversi, abiasi
miokard kateter, antikoagulan

Aritmia Ventrikel Iskemia infark, Pemeriksaan


kardiomiopati, laboratorium, tes latihan
hypokalemia, beban, pemeriksaan
hypomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD

Iskemia/Infark Penyakit jantung Ekokardiografi,


koroner atroponin,

26
angiografikoroner
revaskularisasi

Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,


hipertrofi, LBBB, angiografi koroner
preexitasi
Hipertrofi ventrikel kiri Hipertendi, peyakit Ekokardiografi, Doppler
katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi
Blok atrioventricular Infark miokard, Evaluasi penggunaan
intoksikasi obat, obat, pacu jantungm
miokarditis, sarcoidosis, penyakit sistemik
penyakit lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, Ekokardiograf, rontgen
efusi perikard, torax
amiliodosis
(PERKI, 2015)

d. Rontgen thorax
Pemeriksaan rontgen thorax dapat berguna untuk menentukan diagnosis AHF.
Terdapat gambaran kongesti vena pulmonal, efusi pleura, edema alveolar, dan
kardiomegali adalah temuan paling spesifik pada AHF. Selain itu berguna untuk
identifikasi diagnosis alternatif non-kardiak.10
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiograf, doppler
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Hipertrofi ventrikel Hipertensi,stenosis aorta, Ekokardiograf, doppler
kardiomiopati hipertrofi
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis
pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri

27
Edema intersital Peningkatan tekanan Mendukung diagnosis
pengisian ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi pleura -Gagal jantung dengan Pikirkan etiologi non
peningkatan tekanan kardiak jika efusi banyak
pengisian jika efusi
bilateral
-Infeksi paru, pasca
bedah/keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal
limfatik jantung kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau Pemeriksaan CT,
emfisema spirometri,
ekokardiografi
Infeksi Paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua
akibat kongesti paru penyakit: gagal jantung
dan infeksi paru
Infiltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik
lanjutan

(PERKI,2015)
e. Ekokardiografi
Ekokardioografi bertujuan untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik
dengan pasien dengan fungsi sistolik normal (HFpEF). Pada HFpEF harus terdapat
tiga kriteria wajib yaitu (1) terdapat tanda dan atu gejala gagal jantung (2) Fungsi
ejeksi fraksi > 45%, dan (3) terdapatbukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel
kiri abnormal / kekakuan diastolik).1
Ekokardiografi wajib dilakukan secepatnya hanya pada pasien dengan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil (khususnya pada syok kardiogenik) dan pada suspek
pasien dengan kondisi akut mengancam jiwa kelainan fungsi dan struktural ginjal
(komplikasi mekanis, regurgitasi katup akut, diseksi aorta). Ekokardiogafi dini
harus dipertimbangkan padda pasien AHF de novo, walaupun waktu optimalnya
beelum ditentukan secara jelas (biasanya 48 jam setelah penetapan diagnosis).10
28
Diagnosis Banding
a. Syok kardiogenik
b. Asma bronkial
c. Infeksi Paru
d. Gangguan keseimbangan elektrolit
3.1.8 Penatalaksanaan

29
30
Tujuan dari pengobatan gagal jantung adalah Meningkatkan kualitas hidup,
mencegah memburuknya fungsi jantung (mengurangi beban kerja jantung)
mengurangi gejala (pengurangan overload dan meningkatkan kontraktilitas
miokard), mencegah atau meminimalkan rawat inap, memperlambat perkembangan
penyakit, dan memperpanjang kelangsungan hidup.1

31
1) Tatalaksana Non-Farmakologis
a. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung.1
b. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi Pemantauan berat badan mandiri Pasien
harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan
> 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter. 1
c. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.1
d. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.1
e. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari
berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.1

32
f. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah.1
g. Aktivitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak
boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.1
2) Tatalaksana Farmakologi
a. Diuretik
Diuretik direkomendasikan untuk mengurangi tanda dan gejala dari kongesti
pada pasien. Sebuah penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa pada pasien dengan
gagal jantung kronik, diuretic loop dan thiazide dapat mengurangi resiko kematian dan
perburukan gagal jantung setelah dikomparasi dengan placebo.10

b. Vasodilator
Vasodilator intravena merupakan obat kedua yang tersering digunakan pada AHF
dengan symptom yang jelas. Golongan ini mempunyai keuntungan ganda mengurangi
venous tone (optimalisasi preload) dan arterial tone (mengurangi afterload). Alhasil,
ini dapat meningkatkan stroke volume. Vasodilator sangat berguna khususnya pada
pasien AHF hipertensi.

33
c. Inotropik
Penggunaan inotropic harus diberikan kepada pasien dengan penurunan cardiac
output yang berat yang mengakibatkan perfusi organ yang terganggu sering terjadi pada
AHF hipotensi. Inotropic tidak direkomendasikan pada kasus hipotensi AHF dengan
dasar penyebab hipovolemik. Dalam kasus apapun, intotropik digunakan dengan dosis
awal yang rendah dan titrasi naik perlahan dengan pengawasan yang ketat. 10

3.1.9 Komplikasi
1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau
deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi,
terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan
digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
34
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden
cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.14
3.1.10 Prognosis
Prognosis penderita gagal jantung yang mendapat terapi:
1. Kelas NYHA I : mortilitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II: mortilitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortilitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortilitas 5 tahun 70-90%
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak dapat diketahui,
meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang,
tetapi prognosis masih tetap jelek, dapat dilihat dari angka mortalitasnya. prognosis
akan lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi <20%).
Gejala menonjol dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigenmaksimal
<10ml/kg/menit). insufisiensi ginjal sekunder, hyponatremia, dan katekolamin plasma
yag meningkat. sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
mesipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya
merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiaganosis.
Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progrsif atau oenyakit lainnya. Pasien-
pasien yan mengalami gagal janyung stadium lanjut dapat menderita dyspnea dan
memerlukan bantuan terapi yang sangat cermat. 14
3.2 Cardio Miopati Dilatasi
3.2.1 Definisi

Konsep sebagai penyakit otot jantung adalah sejarah penting mengenai definisi
kardiomiopati yang terus berkembang hingga kini. Pada pertengahan tahun 1850-an,
miokarditis kronis merupakan satu-satunya yang dikenal sebagai penyakit otot jantung.
Pada tahun 1900, sebutan sebagai penyakit miokard primer mulai diperkenalkan,
hingga pada tahun 1957 istilah “kardiomiopati” digunakan untuk pertama kalinya.
Lebih dari 25 tahun setelah itu, berbagai macam definisi dari kardiomiopati
berkembang sesuai dengan bertambahnya kewaspadaan dan pemahaman terhadap
35
penyakit ini. Bahkan, pada pengklasifikasian oleh WHO tahun 1980, kardiomiopati
diartikan sebagai “penyakit otot jantung karena sebab yang tidak diketahui”,
menunjukkan tidak adanya informasi yang cukup mengenai penyebab dan mekanisme
dasar dari penyakit ini

Kardiomiopati dilatasi atau dilated cardiomyopathy (DCM) adalah


gangguan miokard yang didefinisikan oleh dilatasi dan gangguan fungsi sistolik
ventrikel kiri, atau kedua ventrikel, tanpa adanya penyakit arteri koroner,
kelainan katup, atau penyakit perikard. Terdapat sejumlah penyakit jantung dan
sistemik yang berbeda terkait dengan pelebaran ventrikel kiri dan gangguan
kontraktilitas, tetapi pada kebanyakan pasien, tidak ada penyebab yang dapat
diidentifikasi.

3.2.2 Etiologi

Penyebab yang tersering adalah penyakit jantung iskemik atau penyakit katup
jantung. Masalah yang mendasar adalah menghilangnya kontraktilitas
miokardium, yang ditandai dengan menghilangnya kemampuan sistolik
jantung. Kardiomiopati dilatasi menyebabkan penurunan fraksi ejeksi,
peningkatan volume end-diastolik, dan volume residual, penurunan volume
sekuncup ventrikel, serta gagal biventrikel(3).

36
Sekitar setengah kasus, etiologi kardiomiopati dilatasi adalah idiopatik, tetapi
kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat
produksi berbagai macam toksin, zat metabolit, atau infeksi. Kerusakan akibat infeksi
viral akut pada miokard yang akhirnya mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini
terjadi melalui mekanisme imunologis. Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan
oleh penggunaan alkohol, kehamilan (pada 3-4 bulan pertama), penyakit tiroid,
penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik yang tidak terkontrol, dikatakan
kardiomiopati tersebut bersifat reversibel. Obesitas akan meningkatkan risiko
terjadinya gagal jantung, sebagaimana juga gejala sleep apnea(3,5,6).

Kardiomiopati dilatasi dapat juga diakibatkan oleh konsekuensi lanjut infeksi virus,
bakteri, parasit atau proses autoimun. Respon inflamasi dan autoimun termasuk
pelepasan sitokin dan interleukin yang menghasilkan terjadinya miokarditis dan fungsi
kontraktil. Jenis ini diklasifikasikan ke dalam “inflammatory cardiomyopathy” oleh
WHO(3).

Penyakit ini bersifat genetik heterogen tetapi kebanyakan transmisinya secara


autosomal dominan, walaupun dapat pula secara autosomal resesif dan diturunkan
secara x-linked. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana seseorang akan memiliki
predisposisi kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini
dalam keluarganya(2).

3.2.3 Gejala Klinis

Gejala klinis yang menonjol adalah dyspnoe dan fatigue. Kongesti pulmonal sering
didapati namun edema pulmonal jarang ada. Palpitasi, disritmia, sinkop merupakan
gejala yang biasa. Tanda-tanda gagal jantung kongestif timbul secara bertahap pada
sebagian besar pasien. Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam
beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum timbul gejala. Pada beberapa
kasus sering ditemukan gejala nyeri dada yang tidak khas, sedangkan nyeri dada yang
tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila terdapat keluhan nyeri dada yang tipikal,
dipikirkan kemungkinan terdapat penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat
dari aritmia dan emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering ditemukan keluhan nyeri

37
dada akibat sekunder dari emboli paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali
kongestif(3,6).

Keluhan seringkali timbul secara gradual, bahkan sebagian besar awalnya


asimptomatik walaupun telah terjadi dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Dilatasi ini kadangkala diketahui bila telah timbul gejala atau
secara kebetulan bila dilakukan pemeriksaan radiologi dada yag rutin.

3.2.4 Pemeriksaan Fisis

Pembesaran jantung dengan derajat yang bervariasi dapat ditemukan, begitupula


dengan gejala-gejala yang menyokong diagnosis gagal jantung kongestif. Pada
penyakit yang lanjut dapat pula ditemukan tekanan nadi yang sempit akibat gangguan
pada isi sekuncup. Pulsus Alternans dapat terjadi bila terdapat gagal ventrikel kiri yang
berat. Tekanan darah dapat normal atau rendah. Jenis pernapasan Cheyne-stokes
menunjukkan prognosis yang buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila terdapat
gagal jantung kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula terdengar, serta
dapat ditemukan regurgutasi mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan
seringkali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada gagal jantung
kanan yang lanjut.

Pada pemeriksaan fisis jantung dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:

 Prekordium bergeser ke arah kiri


 Impuls pada ventrikel kanan
 Impuls apikal bergeser ke lateral yang menunjukkan dilatasi ventrikel kiri
 Gelombang presistolik pada palpasi, serta pada auskultasi terdengar presistolik gallop (S4)
 Split pada bunyi jantung kedua
 Gallop ventrikular (S3) terdengar bila terjadi dekompensasi jantung

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung akibat dilatasi
ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran pada seluruh ruang jantung. Pada

38
lapang paru akan terlihat gambaran hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan
interstitial.

Elaktrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus takarkadi atau fibrilasi atrial,


aritmia ventrikel, abnormalitas atrium kiri, abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik
dan kadang-kadang tampak gambaran gangguan konduksi intraventrikular dan low
voltage(1).

3.2.6 Pengobatan

Terapi kardiomiopati dilatasi ini ditujukan untuk pengutangan garam dan penggunaan
digitalis glikosida, vasodilator, dan diuretik. Antikoagulan diberikan untuk mencegah
emboli sistemik atau pulmonal. Istirahat total dianjurkan untuk perawatan jangka
panjang agar terjadi penurunan beban kerja jantung yang melemah. Kortikosteroid dan
immunosupressan dapat berguna bagi orang yang mengalami inflamasi, serta
vasodilator digunakan untuk melawan kongesti. Dilatasi vena mengurangi volume
preload dengan meningkatkan pooling vena perifer, sehingga terjadi penurunan volume
darah sentral dan mengurangi kongesti pulmonal(3).

Golongan kalsium antagonis tidak dianjurkan untuk dikombinasi pemberiannya


dengan pengobatan standar seperti di atas, dan bukan merupakan pengobatan lini
pertama. Kemungkinan terdapatnya hubungan antara kardiomiopati dilatasi dengan
abnormalitas sirkulasi mikrovaskular, gangguan kanal kalsium merupakan alasan
pertimbangan pemberian golongan obat ini sebagai salah satu pilihan pengobatan.
Secara umum penggunaan obat-obat golongan ini dapat ditoleransi dengan baik,
walaupun efek depresi miokardium yang merupakan efek samping penting yang harus
dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan.(6)

Jenis obat yang paling umum digunakan untuk mengobati gagal jantung termasuk
diuretik, agen inotropik, agen pereduksi afterload dan beta-blocker.

Diuretik, mengurangi kelebihan cairan di paru-paru atau organ lain dengan


meningkatkan produksi urin. Hilangnya kelebihan cairan mengurangi beban kerja
jantung, mengurangi pembengkakan. Diuretik dapat diberikan secara oral atau
39
intravena. Diuretik yang umum termasuk furosemide, spironolactone, bumetanide dan
metolazon. Efek samping umum dari diuretik termasuk dehidrasi dan kelainan pada
kimia darah (terutama kehilangan kalium).

Agen inotropik digunakan untuk membantu jantung berkontraksi secara lebih efektif.
Obat inotropik dan paling umum digunakan secara intravena untuk mendukung anak-
anak yang mengalami gagal jantung parah dan tidak cukup stabil untuk berada di
rumah. Umumnya jenis-jenis obat inotropik meliputi:

• Digoxin (diminum): meningkatkan kontraksi jantung. Efek samping termasuk detak


jantung rendah, dan, dengan tinggi kadar darah, muntah dan irama jantung yang tidak
normal.

• Dobutamin, dopamin, epinefrin, norepinefrin (obat intravena yang diberikan di rumah


sakit): obat yang meningkatkan tekanan darah dan kekuatan kontraksi jantung. Efek
samping termasuk peningkatan denyut jantung, aritmia dan bagi sebagian orang,
penyempitan pembuluh nadi.

• Vasopresin (obat intravena): meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan aliran


darah ke ginjal. Efek samping termasuk penyempitan arteri yang berlebihan dan
natrium yang rendah.

• Milrinone (obat intravena): meningkatkan kontraksi jantung dan mengurangi kerja


jantung dengan merilekskannya arteri. Efek samping termasuk tekanan darah rendah,
aritmia dan sakit kepala.

Agen Pengurang Afterload mengurangi kerja jantung dengan mengendurkan arteri


dan membiarkan darah mengalir lebih banyak dengan mudah ke tubuh. Obat penurun
afterload yang umum meliputi:

• Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor): kaptopril, enalapril,


lisinopril, monopril (diminum). Sisi efeknya termasuk tekanan darah rendah, jumlah sel
darah putih rendah, kadar kalium tinggi dan kelainan ginjal atau hati.

• Angiotensin I Blocker: Losartan (diminum). Efek samping termasuk diare, kram otot
dan pusing.
40
• Milrinone adalah agen inotropik (lihat di atas) yang juga melemaskan arteri.

Beta-blocker

memperlambat detak jantung dan mengurangi kerja yang diperlukan untuk kontraksi
otot jantung. Memperlambat detak jantung dapat membantu menjaga jantung yang
lemah agar tidak bekerja terlalu keras. Dalam beberapa kasus, beta-blocker
memungkinkan pembesaran jantung menjadi lebih normal dalam ukuran. Beta-blocker
yang umum (diminum) termasuk carvedilol, metoprolol, propanolol dan atenolol. Efek
samping termasuk pusing, detak jantung rendah, tekanan darah rendah, dan, dalam
beberapa kasus, retensi cairan, kelelahan, gangguan kinerja sekolah dan depresi.

Selain memperbaiki gejala gagal jantung, ACE inhibitor dan beta-blocker telah terbukti
kembali ukuran jantung menuju normal dan mengurangi jumlah kematian dan rawat
inap pada pasien dewasa dengan dilatasi kardiomiopati tanpa gejala. Inhibitor ACE
direkomendasikan pada anak-anak dengan dilatasi kardiomiopati bahkan tanpa adanya
gejala.

Obat Antikoagulasi

Obat antikoagulasi, juga dikenal sebagai pengencer darah sering digunakan dalam
pengobatan gagal jantung. Pilihan obat antikoagulan tergantung pada seberapa besar
kemungkinan bekuan darah akan terbentuk. Obat antikoagulasi yang kurang kuat
termasuk aspirin dan dipyridamole. Obat antikoagulasi yang lebih kuat adalah warfarin,
heparin, dan enoxaparin; obat-obatan inimembutuhkan pemantauan cermat dengan tes
darah rutin. Sementara variabel, efek samping umum dari anti-koagulan termasuk
memar berlebihan atau perdarahan akibat luka kulit ringan, interaksi dengan obat lain
dan, untuk warfarin, fluktuasi kadar antikoagulasi darah yang disebabkan oleh
perubahan asupan makanan sehari-hari. Informasi mengenai makanan apa kelompok
secara signifikan dapat mempengaruhi kadar warfarin dapat diperoleh dari ahli jantung
Anda.

Obat Anti-aritmia

41
Pada beberapa pasien DCM, terutama mereka yang ventrikelnya sangat melebar dan
kontraktil yang buruk, mungkin ada risiko yang lebih tinggi dari irama jantung yang
abnormal dan mengancam jiwa (ventricular tachycardia), dan obat-obatan digunakan
untuk mencegah atau mengendalikan irama abnormal ini yang kemudian membuat
jantung berdetak dalam pola yang teratur. Obat antiaritmia umum termasuk:
amiodarone, procainamide dan lidocaine. Efek samping umum mungkin termasuk
detak jantung lebih lambat, darah lebih rendah tekanan, ggn GI (mual / sembelit), sakit
kepala, suasana hati tertekan, sulit berkonsentrasi, pusing, dan kulit ruam antara lain.

3.2.7 Prognosis

Secara umum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi kinis yang dapat menjadi
prediktor pasien kardiomiopati dilatasi yang mempunyai resiko kematian tinggi antara
lain : terdapatnya gallop protodiastolik (S3), aritmia ventrikel, usia lanjut, dan
kegagalan stimulasi inotropik terhadap ventrikel yang telah mengalami miopati
tersebut. Dapat dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang disertai disfungsi
semakin berat berhubungan erat dengan prognosis yang semakin buruk. Khususnya bila
terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai gangguan fungsinya. Uji latih kardiopulmonal
juga berguna sebagai gambaran prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas
latihan yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen aiatemik maksimal
merupakan prediktor mortalitas dan dipergunakan sebagai indikator dan pertimbangan
untuk trensplantasi jantung.(6) Kematian biasanya baru terjadi setelah 5 tahun(3).

42
BAB V

KESIMPULAN

Kondisi gagal jantung akut merupakan keadaan yang mengancam jiwa karena
terdapat penurunan curah jantung dengan onset yang cepat sehingga terjadi penurunan
perfusi aliran darah yang tidak adekuat untuk menyokong kebutuhan secara sistemik,
pengananan yang tepat dan ccpat dapat mencegah perburukan pasien dan
menyelamatkan jiwa. Terapi gagal jantung akut diklasifikasikan berdasarkan gejala
hipoperfusi (warm/cold) dan tanda kongesti nya (wet/dry) untuk menentukan terapi
selanjutnya yang akan diberikan seperti diuretik, vasodilator, dan inotropik.

Kardiomiopati dilatasi atau dilated cardiomyopathy (DCM) adalah gangguan


miokard yang didefinisikan oleh dilatasi dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri,
atau kedua ventrikel, tanpa adanya penyakit arteri koroner, kelainan katup, atau
penyakit perikard. Terapi di butuhkan untuk memperbaiki

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Pedoman Tatalaksana


Gagal Jantung Edisi Pertama. Jakarta: Indonesian Heart Association; 2015 [Available
from http://www.inaheart.org/guidelines/page/8 accessed 15th January 2020]
2. World Health Organization (WHO). Prevention of Cardiovascular Disease. WHO
Epidemologi Sub Region AFRD and AFRE. Genewa: WHO; 2016
3. Grossman S dan Brown D. Congestive Heart Failure and Pulmonary Edema; 2009
4. Brashaers VL. Gagal jantung kongestif. Dalam: Aplikasi klinis patofisiologi, pemeriksaan
dan manajemen. 2nd ed. Jakarta: EGC.2007
5. Setiati S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam, Jakarta: Interna Publishing;
2014
6. Zipes DP, et al. Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 11th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2019
7. Farmakis D, Parissis J, Lekakis J, and Filippatos G. Acute Heart Failure: Epidemiology,
Risk Factors, and Prevention. Revista Espanola De Cardiologia, 2015; 68(3) [Available
from http://www.revespcardiol.org/en/acute-heart-failure
epidemiologyrisk/articulo/90387088/ accessed 15th January 2020]
8. Lilly LS, et al. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016
9. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, dan Tahapary DL. Penatalaksanaan di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis, Jakarta: Interna Publishing; 2015
10. European Society of Cardiology (ESC). 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure. European Journal of Heart Failure, 2016;
18(8) [Available from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27207191 accessed 16th
January 2020]
11. Kumar, Cotran, Robbins. 2015. Buku Ajar Patologi. Edisi 9 Volume 2. Jakarta : EGC
12. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 9. Jakarta : EGC
13. Panggabean MM, Manurung D, Ghanie A. Buku ajar ilmu penyakit dalam.edisi 6. Jakarta:
Interna publishing; 2018. h. 1583-97.

44
14. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter spesialis Penyakit
Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
15. Villines, Zawn. 2019. What to Know About Congestive Heart Failure. Medical News
Today. [Available from https://www.medicalnewstoday.com/articles/317848.php accessed 16th
January 2020]

45

Anda mungkin juga menyukai