Anda di halaman 1dari 20

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ berwarna coklat kemerahan seperti kacang merah

yang terletak tinggi pada dinding posterior abdomen, berjumlah sebanyak dua

buah dimana masing-masing terletak dikanan dan kiri columna vertebralis (Snell,

2006). Kedua ginjal terletak di retroperitoneal pada dinding abdomen, masing-

masing disisi kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra torakal 12

sampai vertebra lumbal tiga. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dari pada

ginjal kiri karena besarnya lobus hati kanan (Moore & Anne, 2012).

8
9

Pada struktur luar ginjal didapati kapsul fibrosa yang keras dan berfungsi

untuk melindungi struktur bagian dalam yang rapuh (Guyton & Hall, 2008). Pada

tepi medial masing-masing ginjal yang cekung terdapat celah vertikal yang

dikenal sebagai hilum renale yaitu tempat arteri renalis masuk dan vena renalis

serta pelvis renalis keluar (Moore & Anne, 2012).

Ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat

digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian dalam (Guyton &

Hall, 2008). Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang merupakan

satuan fungsional ginjal, nefron terdiri atas korpuskulum renal, tubulus kontortus

proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal (Junqueira & Carneriro, 2007).

Setiap korpuskulum renal terdiri atas seberkas kapiler berupa glomelurus

yang dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula

bowman. Lapisan viseralis atau lapisan dalam kapsula ini meliputi glomerulus,

sedangkan lapisan luar yang membentuk batas korpuskulum renal disebut lapisan

parietal. Di antara kedua lapisan kapsula bowman terdapat ruang urinarius yang

menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan lapisan viseral

(Junqueira & Carneriro, 2007).

Tubulus renal yang berawal pada korpuskulum renal adalah tubulus

kontortus proksimal, tubulus ini terletak pada korteks yang kemudian turun ke

dalam medula dan menjadi ansa henle. Ansa henle terdiri atas beberapa segmen,

antara lain segmen desenden tebal tubulus kontortus proksimal, segmen asenden

dan desenden tipis, dan segmen tebal tubulus kontortus distal (Eroschenko, 2010).

9
10

Ginjal diperdarahi oleh arteri renalis yang letaknya setinggi diskus

intervertebralis vertebra lumbal satu dan vertebra lumbal dua (Moore & Anne,

2012). Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang

membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol

aferen yang menuju ke kapiler glomelurus (Guyton & Hall, 2008). Sistem vena

pada ginjal berjalan paralel dengan sistem arteriol dan membentuk vena

interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris dan vena renalis (Guyton & Hall,

2008). Persarafan ginjal berasal dari pleksus renalis dari serabut simpatis dan

parasimpatis (Moore & Anne, 2012).

2. Konsep Dasar Kasus

a.Pengertian
Anemia merupakan manesfestasi klinis penurunan sirkulasi masa sel

darah merah dan biasanya terdekteksi oleh konsentrasi hemoglobindarah

yang rendah. National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan anemia

pada gagal ginjal kronis merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi

hemoglobin >13,5 g/dl pada pria dan pada wanita <12,0 g/dl. Pada pasien

gagal ginjal kronis, produksi eritropoeitin (EPO)mungkin terganggu yang

menyebabkan kekurangan eritropoeitin (EPO) dan kematian eritropoeitin

lebih awal (KDOQI, 2007).


Eritropoeisis berasal dari kata “eritro” yang berarti sel darah merah

dan “poeisis” yang berarti membuat, jadi “eritropoeisis” merupakan proses

pembentukan atau produksi sel darah merah. Pada manusia, proses

eritropoesis terjadi di sumsusm tulang merah. Ketika ginjal mendekteksi

rendahnya kadar oksigen didarah maka ginjal akan melepaskan hormone

10
11

yang disebut eritropoietin (EPO) yang akan menuju sumsum tulang merah

untuk menstimulasi pembentukan sel darah merah (Lanskhorst dan wish,

2010)
Eritropoeitin di produksi pada bagian sel endothelial kapiler peritubular

ginjal akibat mekanisme feed back pengukuran kapasitas membawa oksigen.

Hypoxia inducible factor (HIF) dihambat jika ada penurunan oksigen yang

seharusnya terjadi anemia atau hypoxia. Adanya hypoxia inducible factor

(HIF) memicu stimulasi sintesis erittropoeitin (Lankhorst dan wish, 2010).


Eritropoetin berperan dalam pembentukan sel darah merah, sehingga

penurunan eritropoeitin menyebabkan pembentukan sel darah merah adalah

penurunan kadar hemoglobin (Druce et al, 2006). Hal-hal lain yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia adalah defiseinsi besi, kehilangan darah

(perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek

akibat terjadinya hemolysis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang

oleh subtensi uremik, dan proses inflamasi akut maupun kronis (Suwitra,

2014: Said et al, 2014).


b. Etiologi
Etiologi pada gagal ginjal kronik adalah multifaktoral, termasuk

defisiensi eritropoeitin (EPO),pemendekan masa hidup sel darah merah,

defisiensi besi, dan kehilangan darah dari hemodialysis.

1). Defisiensi Eritropoeitin (EPO)


Faktor utama penyebab terjadinya anemia pada gagal ginjal kronis

adalah defisiensi eritropoeitin (EPO) sebagai akibat kerusakan sel-sel

penghasil eritropoeitin (EPO) pada ginjal. Eritropoetin (EPO) adalah

adalah sebuah hormone glikoprotein yang diproduksi terutama oleh

11
12

ginjal. Eritropoeitin (EPO) yang akan berdiferenisasi menjadi sel darah

merah matur berinteraksi dengan reseptor spisifik pada permukaan sel

induk eritroid. Perkembangan sel eritroid ini melibatkan produksi sel

yang mengandung Hb. Hemoglobin pada sel darah merah berfungsi

mengangkut O2 dan paru kejaringan dan mengangkut CO2 dalam darah

yang berlawanan, selain itu defisiensi eritropoeitin (EPO) dapat

disebabkan karena penumpukan zat yang secara normal dikeluarkan

ginjal sehingga menyebabkan sumsum tulang membuat sel darah merah

lebih sedikitdan menyebakan anemia (Isselbacher, Braunwald dan

Wilson, 2000).
2). Pemendekan masa hidup sel darah merah
Faktor-faktor penyebab lain pada pasien gagal ginjal kronis adalah

menurunnya rentang hidup sel darah merah dari normal 120 hari menjadi

sekita 70 hingga 80 hari pada penderita dengan gagal ginjal kronis.

Factor-faktor trsebut adalah trauma sel darah merah akibat penyakit

mikrovaskuler (diabetes atau hipertensi), kehilangan dari prosedur

hemodialisa, perdarahan gastrointestinal dari penyakit ulkus peptikum

dan angiodiplasia usus, dan stres oksidatif yang mempersingkat

kelangsungan hidup sel darah merah (Lerma, Nissenson dan Allen, 2012).
3). Defisiensi besi
Anemia defisiensi besi pada pasien gagal ginjal kronis terutama

disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang, gangguan absorbs,

perdarahan kronik, inflamasi atau infeksi, serta peningkatan kebutuhan

besi, selama koreksi anemia dengan trapi eritropoeitin stimulating agent

(ESA), (Singh dan Anjay, 2014).


4). ACE inhibitor dan angiotensin receotor antagonist

12
13

Kedua golongan obat ini dapat menyebabkan penurunan reversible

konsentrasi hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronis. Mekanisme

ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocklers menurunkan Hb

dengan memblokade langsung efek proerytropoeitic dari angiotensin II

pada precursor sel darah merah, degradasi inhibitor fisiologis

hematopoiesis, dan penindasan IGF-1 (Mohanram, Zhang dan

Shanhinfar, 2008).
5). Perdarahan Gastrointestinal (GI) bagian bawah
Anemia yang terjadi karena perdarahan gastrointestinal (GI) bagian

bawah merupakan kompensasi kurangnya pasokan nutrien, sepeti besi

dan mekanisme fisiologis yang juga berkonstribusi terhadap kejadian

perdarahan gastrointestinal (GI) bagian bawah seperti disfungsi uremik

platelit, gangguan heparin intermiten di dialiasis, penggunaan agen

antiplatelet dan antikoagulan. Penyebab perdarahan ini dapat disebabkan

oleh angiodisplasia, diverticulosis, ca-colon, inflammatory bowel

disease, dialisysis related amyloidosis.


6). Tanda dan gejala anemia pada gagal ginjal kronis meliputi :
Lemah, fatigue atau kelelahan, sakit kepala, gangguan konsentrasi,

pucat, pusing, kesulitan bernafas, sakit kepala.


a. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal

kronik seperti diabetes mellitus, hipertensi, infeksi saluran kemih,

batu saluran kemih, pertambahan usia, obesitas, riwayat keluarga,

merokok, penyakit autoimun, penyakit ginjal bawaan, keracunan

obat, dan penyakit kardiovaskular


d. Klasifikasi
Tabel 1. Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik

13
14

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt)
I Kerusakan Ginjal dengan LGF Normal >90
II Kerusakan Ginjal dengan Penurunan 60-89

LGF Ringan
III Penurunan LGF Sedang 30-59

e. IV Penurunan LGF Berat 15-29

V Gagal Ginjal <15


Patofisiologi
Patofisiologi Pandangan Umum Ketika terjadi gangguan pada

glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk fungsi

endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan

konsekuensi patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya

transfer oksigen ke jaringan dan penggunaannya, peningkatan curah

jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel Hemolisis sedang yang

disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat

seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi

tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.


Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi

eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat. Defisiensi

eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien

penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular

yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring

dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian

terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam

14
15

perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia

dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum

eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel

darah merah dengan efek terjadi defisiensi erotropoetin.


Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan

pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal

terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek

imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik

dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Selain itu, telah

terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan eritopoietin

atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin. Dalam hal

pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor

eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis

yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang

menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada

pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht

biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan

kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin

serum.
Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin,

spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang kadar

serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi

efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat

granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia,

15
16

dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah

disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang

signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik.


Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm

sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH

memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut

penelitian, dilaporkan paratiroid menyebabkan peningkatan dari kadar Hb

pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara

kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek

langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara

final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sumsum

tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam

hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal ginjal. Pasien-

pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah

oleh karena terjadinya disfungsi platelet.


Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari

hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis

dapat kehilangan darah rata-rata 4,6 l/tahun. Kehilangan darah melalui

saluran cerna, sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan

defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan anemia. Kekurangan asam

folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi

hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui

membran dialisis. Kecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya

disebabkan oleh gangguan kualitatif trombosit dan dengan demikian

16
17

menyebabkan gangguan adhesi. Kekurangan zat besi dapat disebabkan

karena kehilangan darah dan absorbsi saluran cerna yang buruk (antasida

yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus).

Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi

per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga

kehilangan besi pada pasienpasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.


Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik.

Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena

malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau

sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport

besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk

mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit

ginjal kronik. Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar

separuh dari masa hidup eritrosit normal.


Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh

kelainan lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah

itu sendiri. Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang.

Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur

menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal

yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab

hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang

ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang

memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal

ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang

17
18

normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase

membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan

merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis.


Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan

dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian

eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini

menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat

atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada darah

akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah

merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal

fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in

vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.

Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2

mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat

peningkatan kadar PTH, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang

mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat

laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb.


Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit

yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat

intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan

pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides

dan diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksai

dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit.

Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan

18
19

teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah

merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin

yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak

mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan

hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga

dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau

formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan

pemendekan waktu hidup eritrosit.


Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang

distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit

reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang

hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada

beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan

hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau

karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga

dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali

atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE,

dan hipertensi maligna. 3,7 Penyebab lain yang mempengaruhi

eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan reguler

hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh

konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat

yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia

mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien

hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan

19
20

diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya

dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek

toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan

ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi

eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan

mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui

terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum

tulang.
Dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan kadar

yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks

cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan sel tubuh. Feritin

diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting dalam

proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah

merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade

pelepasan zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.

Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik Kadar feritin serum tinggi

yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan adanya kelebihan besi

yang juga dikenal dengan hemosiderosis. Kebanyakan laporan kasus

mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA,

ketika transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.


10 Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan

kondisi-kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat

menghalangi kemampuan dalam menilai status besi pada pasien GGK

yang berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Feritin serum merupakan

20
21

penanda adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell

carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga berhubungan

dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien-pasien

dengan penyakit ginjal kronik dan lebih dari 40-70% pasien dengan

penyakit ginjal kronik dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga,

inflamasi kemungkinan keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia

pada penyakit ginjal kronik.


Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit ginjal kronik Inflamasi dan

respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode

awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara

drastis. Hal ini disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh

makrofag retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan

sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau kompleks

imun. Pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan

hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10

hari. Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh

sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang mengalami respon

fase akut. Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin

penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada

sumsum tulang. Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin proinflamasi

TNF-α dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal progenitor. Efek

inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh

peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor

pada berbagai tingkatan eritropoesis.

21
22

Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama

disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi

TNF-α dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis

tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal, resistensi

ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan

peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA. Gunell

dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang

meningkat juga memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien

hemodialisis dan peritoneal dialisis, yang mendukung konsep bahwa

respon inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-

pasien gagal ginjal terminal, Manifestasi Klinis dan Temuan Fisik

Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:, Kelemahan umum/malaise,

mudah lelah , Nyeri seluruh tubuh/mialgia , Gejala ortostatik ( misalnya

pusing, dll ), Sinkop atau hampir sincope , Penurunan toleransi latihan,

Dada terasa tidak nyaman, Palpitasi , Intoleransi dingin , Gangguan,

tidur , Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, Kehilangan nafsu makan

Temuan pemeriksaan fisik : Kulit (pucat), Neurovaskular (penurunan

kemampuan kognitif), Mata (konjungtiva pucat), Kardiovaskular

(hipotensi ortostatik, takiaritmia)  Pulmonary (takipnea), Abdomen

(asites, hepatosplenomegali)

f. Manifestasi Klinis
Menurut Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan beberapa tanda

dan gejala sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari

22
23

dan usia penderita. Penyakit ini akan menimbulkan gangguan pada berbagai

organ tubuh anatara lain:


a). Manifestasi kardiovaskular Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema

pulmonal, perikarditis.
b). Manifestasi dermatologis Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-akan

berlilin diakibatkan penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit menjadi

kering dan bersisik. Rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Pada

penderita uremia sering mengalami pruritus. 10


c). Manifestasi gastrointestinal Anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan

aliran saliva, haus, stomatitis.


d). Perubahan neuromuskular Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,

ketidakmampuan berkosentrasi, kedutan otot dan kejang.


e). Perubahan hematologis Kecenderungan perdarahan.
f). Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum, lebih mudah

mengantuk, karakter pernapasan akan menjadi kussmaul dan terjadi koma

(Brunner dan Suddarth, 2001).


g). Komplikasi Anemia
Jika dibiarkan tanpa penganan, anemia beresiko menyebabkan berapa

komplikasi serius, seperti :


1. Kesulitan melakukan akifitas akibat kelehan
2. Masalah pada jantung, seperti aretmia dan gagal jantung
3. Hipertensi pulmuna
4. Rentan terkena infeksi
a. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah seperti, retikulosit, DL, SI, TIBC, FERITINE.
2. Pemeriksaan darah dalam tinja.
3. Apusan darah tepi untuk melihat ukuran dan bentuk sel darah merah.
4. Endoskopi, untuk melihat perdarahan dalam salura pencernaan.
b. Penatalaksanaan
1. Tata Laksana Umum
a. Istirahat yang cukup.
b. pemberian asupan nutrisi dan protein yang cukup.
c. pemberian asam folat untuk menaikkan Hb dan menghambat

progresifitas penurunan funngsi ginjal.


2. Terapi Anemia

23
24

a. Pada pasien anemia yang belum mendapat Pemberian terapi besi,

disarankan untuk pemberian terapi besi (trial therapy 1-3 bulan)

secara IV pada pasien HD. Bila saturasi besi < 30% dan feritin < 500

mg/ml (KDIGO, 2012)


b. Pemberian erytropoeitin 80-120 UI/kg/minggu secara SC pemberian

secara SC di anjurkan karena massa paruh lebih Panjang dan dosis yang

di btuhkan lebi kecil (KDIGO, 2012)


c. Tindakan transfusi darah sedapat mungkin di hindari pada pasien PGK

karena banyak dampak yang dapat di timbulkan baik saat transfusi

maupun setelahnya

1) Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kasus

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar pertama atau langkah awal dari proses

keperawatan secara keseluruhan dan merupakan suatu proses yang

sistematis dan pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk

mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. Pada tahap ini

semua data dan informasi tentang klien ang dibutuhkan,dikumpulkan dan

dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Tujuan dari pengkajian

adalah untuk mengumpulkan data. Menganalisa data sehingga ditemukan

diagnosa keperawatan. Adapun langkah-langkah dalam pengkajian sebagai

berikut :
1) Riwayat keperawatan
a) Identitas Pasien

24
25

Indentitas pasien meliputi nama,tempat,tanggal lahir, no register,

umur, berat badan, jenis kelamin, alamat rumah, suku bangsa, agama,

dan nama orang tua


b) Keluhan utama
Keluhan utama pasien biasanya mengeluh nyeri kepala, tungkak

kepala belakang terasa berat, mata berkunang-kunang, mual dan

muntah, tekanan darah naik dalam batas normal, pandangan mata

kabur
c) Riwayat penyakit sekarang meliputi lamanya keluhan, masing-

masing orang berbeda tergantung pada tingkatannya.


d) Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
Riwayat penyakit dahulu ang perlu ditanyakan aitu riwayat penyakit

yang pernah diderita oleh orang tua. Apakah dalam keluarga pernah

mempunyai riwayat penyakit kronis sampai harus di rawat di rumah

sakit.
e) Psikososial dan Spiritual
Psikososial dan Spiritual yang ditanyakan meliputi tugas

perkembangan sosial, kemampuan beradaptasi selama sakit,

mekanisme koping yang digunakan oleh anak dan keluarga dan

penyesuaian keluarga terhadap stress mencakup juga harapan-harapan

keluarga terhadap kesembuhan penyakit yang diderita oleh anaknya.


f) Kesehatan fisik, mental dan sosial
Kesehatan fisik meliputi pola makan, jenis makanan yang disukai

yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol.

Pola eliminasi gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (infeksi,

obstruksi, riwayat penyakit ginjal).

2) Pemeriksaan fisik

25
26

a) Keadaan umum klien


Pada pasien terdapat keluhan dan kelainan-kelainan yang perlu

mendukung perlu dikaji adanya tanda-tanda demam, kelelahan,

lemah, gangguan tidur, nafsu makan berkurang dan nyeri kepala.


b) Tanda- tanda vital
(1) Tekanan darah 110/ 70 mmhg
(2) Suhu tubuh 36,0 0C
(3) Denyut nadi 62-79 menit.
(4) Pernafasan 24x / menit
c) Keadaan
(1) Kepala : kulit kepala bersih, rambut

hitam, distribusi rambut merata


(2) Kelopak mata : Bagian dalam klopak mata pucat
(3) Telinga : Dalam batas normal
(4) Hidung : Ujung hidung terlihat pucat
(5) Bibir : Terlihat pucat
(6) Jantung : Terasa berdebar
(7) Abdomen : terasa tegang karena penumpukan cairan
(8) Integumen : Warna kulit sawo matang, turgor kulit kering
3) Pola fungsional
Pola fungsional kesehatan dapat dikaji melalui pola Gordon dimana

pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data

secara sistematis dengan cara mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan

memfokuskan pengkajian fisik pada masalah khusus. Model konsep

dan tipologi pola kesehatan fungsional menurut Gordon meliputi :


(1) Pola persepsi management kesehatan
(2) Pola nutrisi dan metabolic
(3) Pola eliminasi
(4) Pola latihan-aktivitas
(5) Pola kognitif perceptual
(6) Pola istirahat dan tidur
(7) Pola konsep diri-persepsi
b. Diagnosa keperawatan
1) Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan

dan natrium.
2) Pola nafas tidak efektif b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan

natrium.

26
27

3) Intoleransi aktivitas b.d keletihan / kelemahan, anemia, retensi produk

sampah dan prosedur dalisis.


4) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake

makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia).


5) Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d

kurangnya informasi kesehatan.


6) Resiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan

invasive.
7) Perfusi jaringan renal tidak efektif b.d gangguan afinitas Hb oksigen,

penurunan konsentrassi Hb, hipervolemia, hiperventilasi, gangguan

transpot O2, gangguan aliran gangguan arteri dan vena

27

Anda mungkin juga menyukai