Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun

1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 faktor yang mempengaruhi

ketahanan pangan yaitu : kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan

pangan, aksesibilitas terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan. Sehingga

dari defenisi pangan diatas dapat disimpulkan bahwa, ketersediaan pangan

merupakan bagian dari faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan.

Ketersedian (food availabillity) yaitu ketersedian pangan dalam jumlah yang

cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi

sendiri, impor, cadangn pangan maupun bantuan pangan. Ketersedian pangan ini

diharapakan mampu mencukupi pangan yang di defenisikan sebagai jumlah kalori

yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

Pangan meliputi produk serealia, karena porsi utama dari kebutuhan kalori harian

berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh dari kebutuhan

energi per orang per hari. Maka yang digunakan dalam analisis kecukupan pangan

yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia yaitu padi,

jagung dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk

memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten

(Peta Ketahanan Pangan Gorontalo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


8

Pangan yang digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang

bersumber dari produksi pangan pokok serelia :

1. Padi : Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk famili tumbuhan gramineane

atau rumpu-rumputan dengan batang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman

padi memiliki sifat merumpun, yang dalam waktu singkat bibit padi yang

ditanam hanya satu batang dapat membentuk rumpun sejumlah 20 sampai 30

anakan (Pithantomo, 2007).

2. Jagung : Jagung termasuk tanaman berumah satu dengan bunga betina terletak

pada infloresen yang berbeda dengan bungan jantannya, tetapi masih berada

dalam satu tanaman. Bunga jantan tersusun dalam bulir rapat yang terletak

pada ujung batang dan dinamakan malai atau tessel. Bunga betinanya terletak

pada ketiak daun dan berbentuk tongkol. Biasanya bunga betina terletak pada

buku keenam atau kedelapan dari atas dan terus pada setiap buku dibawahnya.

Tanaman jagung bersifat protandri, yaitu bunga jantan umumnya tumbuh 1-2

hari sebelum munculnya rambut pada bunga betina. Bunga betinanya meliputi,

tangkai, tunas, tongkol, klobot, calon janggel,penutup klobot, dan rambut.

Pertumbuhan tanaman jagung bersifat apikal dominan, yaitu titik dominasi

pertumbuhan ada pada pucuk batang, mengakibatkan tongkol yang paling atas

berkembang lebih besar dari pada yang di bawah dan terjadi kompetisi antar

tongkol (Novik, 2013).

3. Ubi kayu : Batang tanaman sngkong berkayu, beruas-ruas dengan ketinggian

mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi, ketika masih muda

umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi keputih-putihan, kelabu, atau

hijau kelabu. Batang berlobang, berisi empulur bewarna putih, lunak, denga

Universitas Sumatera Utara


9

struktur seperti gabus. Susunan daun singkong berurat, menjari dengan cangap

5-9 helai daun singkong, terutama yang masih muda mengandung racun

sianida, namun demikian dapat dimanfaatkan sebagai sayuran dan dapat

menetralisir rasa pahit sayuran lain, misalnya daun pepaya dan kenikir. Bunga

tanaman singkong berumah satu dengan penyerbukan silang sehingga jarang

berbuah. Umbi yang berbentuk merupakan akar yang menggelembung dan

berfungsi sebagai tempat penampung makanan cadangan. Bentuk umbi

biasanya bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis (ari) bewarna kecoklat-

coklatan (kering), kulit dalam agak tebal bewarna keputih-putihan (basah) dan

daging bewarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung

sianida dengan kadar yang berbeda (Suprapti Lies, 2005).

4. Ubi jalar : Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis

tanaman budidaya bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk

dengan kadar gizi (karbohidrat0 yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar menjadi

salah satu sumber makanan pokok yang penting di Asia. Selain dimanfaatkan

umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula ubi jalar yang

dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya (Hafsah MJ, 2004).

Kebijakan ketersedian pangan adalah suatu hal yang ditetapkan dan diberlakuakan

sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian pengambilan keputusan

mengenai ketersediaan pangan untuk menjamin produksi dan perdagangan pada

tingkat makro (nasional) dalam hal undang-ungdang dan peraturan pemerintah

(Institut Pertanian Bogor, 2009).

Universitas Sumatera Utara


10

Karena ketersedian pangan merupakan hal yang vital pada menyangkut kehidupan

manusia yang paling asasi. Unutk mempertahankan eksistensinya, manusia

berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Apabila kebutuhan primer tersebut tidak dapat terpenuhi, maka

kerentanan pangan akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan.kejadian

rentan pangan dan gizi buruk mempunyai arti politis negatif bagi penguasa.

Sejarah membuktikan bahwa di beberapa berkembang, krisis pangan dapat

menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa

(Handewi P.S. Rachman, dkk 2008).

Laju peningkatan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju

peningkatana kemampuan produksi. Disamping peningkatan produktivitas

tanaman ditingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan produksi,

penurunan kapasitas kelembagaan petani, serta kualitas penyuluhan pertanian

yang jauh dari memadai. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia

menjadi tantangan lain yang perlu dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan pangan

(FSVA, 2009).

Perhitungan rasio konsumsi terhadap ketersediaan bersih sereal dan umbi-umbian

ini diasumsikan untuk mengukur tingkat konsumsi serealia penduduk dan tingkat

kemampuan suatu daerah dalam menyediakan bahan pangan/sereal dalam

mencukupi kebutuhan penduduknya. Rasio konsumsi normatif terhadap

ketersediaan netto pangan serealia per kapita per hari adalah merupakan petunjuk

kecukupan pangan pada suatu wilayah.

Universitas Sumatera Utara


11

Konsumsi normatif (Cnorm) didefenisikan sebagai jumlah pangan serealia yang

harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi

dan serealia. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir

50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori per

hari per kapita adalah 2.000 Kkal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan kalori dan

serealia dan umbi-umbian (menurut angka pola pangan harapan), maka seseorang

harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gram serealia per hari. Oleh sebab itu

dalam analisisi ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi normatif

(konsumsi yang direkomendasikan) (FSVA, 2009).

Perhitungan produksi pangan tingkst kabupaten dilakukan dengan menggunakan

data rata-rata produksi tiga tahunan untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan

ubi jalar karena sumber energi utamadari asupan energi makanan berasal dari

seralia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan

bahwa hampir 50% dari kebuthan total kalori berasal dari tanaman serealia. Data

rata-rata bersih dari komoditi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar dihitung dengan

menggunakan faktor konversi baku.

Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras,

maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekivalen dengan 3 kg

ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori). Kemudian dihitung total produksi

serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per kapita dihitung

dengan membagi total ketersediaan serealia kabupaten dengan jumlah penduduk.

Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data

tersebut tidak tersedia di tingkat kabupaten. Berdasarkan profil konsumsi

Universitas Sumatera Utara


12

Indonesia, konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram. Kemudian

dihitung konsumsi normatif per kapita terhadap rasio produksi (World food

programe, 2009).

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan International

Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992

mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (household food

security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan

pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu

melakukan kegiatan seharihari”. Dalam sidang Committee on World Food

Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan

“Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal

lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat

rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan

merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun

ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang

memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam

UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan

bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik

jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Hal itu diperkuat

Universitas Sumatera Utara


13

dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tahun

2006 Tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan.

Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity)

tingkat rumahtangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu

terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh

rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di

daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua,

ketidaktahanan pangan akut (transitori) terjadi secara mendadak yang

disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan

harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk

menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995). Menurut Sutrisno (1996)

kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus

kepada mereka yang memiliki risiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh

pangan yang cukup.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga

tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 4 faktor. Berdasarkan definisi ketahanan

pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi

dari FAO, ada 4 faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan yaitu:

kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, aksesibilitas

terhadap pangan sertakualitas/keamanan pangan.

Universitas Sumatera Utara


14

2.2.2 Definisi Kemiskinan

Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan

semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain

yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi

ekonomi melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan

dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah

ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi

kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi

penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang

perbulan. Definisi kemiskinan menurut UNDP adalah ketidakmampuan untuk

memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak

adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu

indikator kemiskinan.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana

seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu

memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain,

terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan,

air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman

dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi

dalam kegiatan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, pemahaman utamanya mencakup:

Universitas Sumatera Utara


15

1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan

sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini

dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

2. Gambaran tentang kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial,

ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal

ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya

dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan

moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.

Makna memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan

ekonomi di seluruh dunia.

Pada dasarnya kemiskinan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:

a) Kemiskinan absolut

Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan

kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar

minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan

demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan

orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan

dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin

kelangsungan hidupnya. Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut

sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD $1/hari dan kemiskinan

menengah untuk pendapatan di bawah $2/hari. Sementara itu Deklarasi

Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai sebuah kondisi yang

dicirikan dengan kekurangan parah pada kebutuhan dasar manusia, termasuk

Universitas Sumatera Utara


16

makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah,

pendidikan, dan informasi.

b) Kemiskinan relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah

dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih

rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar

ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah

maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan

miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi

pendapatan. Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan di

negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

(1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2)

perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan, (3)

perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya

manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan

struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi

dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur

politik dan kelembagaan dalam negeri. Sedangkan menurut Jhingan (2000),

mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab

dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana

dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya

jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian.

Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya

Universitas Sumatera Utara


17

sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang

ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan

dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman.

2.2.3 Pangan

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia

suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan

dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan

aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari

sepanjang waktu (Saliem, dkk; 2002).

Pangan sebagai bagian dari hak azasimanusia (HAM) mengandung arti bahwa

negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhanpangan bagi warganya. Menurut

Suryana (2004) pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan

merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang

diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global.

Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa ketersediaan pangan per kapita

sampai dengan tahun 1996 cenderung berlebih dibandingkan dengan tingkat

konsumsi riil penduduk (Sawit dan Ariani, 1997; Erwidodo dkk, 1999; Ariani

dkk, 2000). Terjadinya krisis ekonomi sejak pertengahan 1997 berdampak pada

perubahan pola konsumsi pangan penduduk. Hasil kajian Ariani dkk (2000)

menunjukkan bahwa secara nasional krisis ekonomi antara lain berdampak pada

peningkatan pangsa pengeluaran pangan rumahtangga dan peningkatan jumlah

rumah tangga defisit energi dan protein, perubahan tersebut terjadi pada semua

Universitas Sumatera Utara


18

segmen rumahtangga baik kota/desa maupun kelompok pendapatan (rendah,

sedang dan tinggi).

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia

yang memiliki kontribusi terbesar terhadap konsumsi kalori (55%) dan

konsumsi protein (44%). Menurut Bappenas (2011), pangan pokok adalah

pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara

teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai

makanan pembuka atau penutup. Konsumsi pangan merupakan kebutuhan

pokok bagi setiap individu, sehingga wajib bagi setiap individu untuk

memenuhinya. Kualitas dan kuantitas konsumsi pangan oleh setiap individu

akan mempengaruhi status ketahanan pangan individu tersebut. Ketersediaan

pangan dalam rumah tangga merupakan salah satu indikator keberhasilan

ketahanan pangan dalam rumah tangga itu sendiri.

Menurut Sina et all (2009), terwujudnya ketahanan pangan sampai pada

tingkat rumah tangga berarti mampu memperoleh pangan yang cukup jumlah,

mutu, dan beranekaragam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi.

Ketahanan pangan menurut Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002

didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Kecukupan pangan secara nasional

tidak dapat menjamin bahwa semua orang (keluarga) memperoleh makanan yang

dibutuhkannya.

Universitas Sumatera Utara


19

2.2.4 Konsumsi Energi dan Protein

Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan sumberdaya

manusia. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu

wilayah belumlah dapat digunakan sebagai jaminan akan terhindarnya penduduk

dari masalah pangan dan gizi, karena selain ketersediaan, juga perlu diperhatikan

aspek pola konsumsi atau keseimbangan kontribusi di antara jenis pangan yang

dikonsumsi, sehingga memenuhi standar gizi tertentu. Kekurangan konsumsi gizi

bagi seseorang dari standar minimum tersebut umumnya akan berpengaruh

terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka

panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada

anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas SDM. Dalam hal ini, kecukupan

energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi

masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan,

pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999).

Lebih lanjut Irawan (2002) menuatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah

tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan

protein rumah tangga tersebut.

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi, penyimpanan,

metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk

mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ,

serta menghasilkan energi. (Supariasa, dkk, 2002).Komponen gizi terdiri dari

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Clarck, 2001). AKE

(Angka Kecukupan Energi) & AKP (Angka Kecukupan Protein) pada tingkat

Universitas Sumatera Utara


20

konsumsi untuk penilain konsumsi energi & protein penduduk secara agregatif

(makro) adalah 2150 kkal & 57 g protein per kapita per hari (Boh Mks, 2013).

2.2.5 Perhitungan Nilai Kalori Bahan Makanan

Untuk menghitung nilai kalori bahan makanan diperlukan beberapa instrumen

antara lain :

Nilai kalori makanan

1 gr karbohidrat dapat menghasilkan 4 kalori

1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kalori

I gram protein menghasilkan 4 kalori

Daftar komposisi bahan makanan (DKBM)

Daftar berupa tabel (Lampiran 1) yang memuat berbagai jenis makanan beserta

kandungan zat gizinya. Kandungan zat gizi yang terbaca dalam DKBM

merupakan kandungan setiap 100 gr bahan makanan.

Ukuran Rumah Tangga (URT)

URT berupa daftar takaran bahan makanan yang dapat dilihat dilampiran 2.

Keterangan :

JKK = Jumlah kalori (Kalori)

BBM = Berat bahan makanan (gram)

BBD = Bagian bahan makanan yang dapat dikonsumsi pada tabel (%)

JKBMT = Jumlah kalori bahan makanan pada tabel (Kalori)

Universitas Sumatera Utara


21

Keterangan :

JP = Jumlah protein (gram)

BBM = Berat bahan makanan (gram)

BBD = Bagian bahan makanan yang dapat dikonsumsi pada tabel (%)

JPBMT = Jumlah protein bahan makanan pada tabel (gram)

(Cerika, 2014).

2.2.6 AKG (Angka Kecukupan Gizi )

AKG merupakan nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh

untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua orang dalam populasi (97,5%)

menurut kelompok umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis tertentu seperti hamil,

menyusui. Terdapat beberapa istilah terkait dengan kecukupan gizi seseorang

yaitu:

1. Indonesia disebut dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang berarti

Recommended Dietary Allowances (RDA), KEMENKES

2. Filipna disebut Recommended Energy and Nutrient Intakes (RENI). FRENI

3. FAO/WHO disebut Recommended Nutrients Intakes (RNIs)

4. Australia dan Selandia Baru disebut Nutrient Reference Values (NRVs)

5. Amerika Serikat dan Kanada disebut Dietary Reference Intakes (DRI)

AKG 2012 digunakan untuk perencanaan konsumsi & penyediaan pangan

nasional, penilaian konsumsi pangan secara agregatif (makro) tingkat nasional,

serta penetapan komponen gizi dalam perumusan garis kemiskinan & upah

Universitas Sumatera Utara


22

minimum dengan penyesuaian pada tingkat aktifitas. AKG tidak untuk digunakan

menilai pemenuhan kecukupan gizi seseorang.

2.3 Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa

hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca

diantaranya :

Penelitian yang dilakukan oleh Dian Banita, dkk (2013) dalam jurnalnya yang

berjudul Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi pada Rumah Tangga

Petani di Kabupaten Wonogiri, dan menyimpulkan bahwa yang pertama rata-rata

tingkat ketersediaan pangan pokok (beras) pada rumah tangga petani di

Kabupaten Wonogiri sebesar 1.584,56 kkal/kap/hari yang termasuk dalam

kategori sedang. Kedua, berdasarkan kuantitas konsumsi pangan di Kabupaten

Wonogiri rata-rata Tingkat Konsumsi Energi sebesar 80,94% yang tergolong

sedang dan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein sebesar 82,41% yang tergolong

sedang. Terdapat perbedaan pola konsumsi pangan berbagai wilayah yaitu di

Kecamatan Pracimantoro pola konsumsi energi dan proteinnya masih rendah.

Kecamatan Selogiri dan Kecamatan Wonogiri sudah tercukupi kebutuhan

energi dan proteinnya meskipun belum sesuai dengan AKG yang dianjurkan

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII Tahun 2004. Ketiga,

sebagian besar rumah tangga petani di Kabupaten Wonogiri tergolong tahan

pangan, yaitu tahan pangan energi sebesar 43,33 %, dan tahan pangan

protein sebesar 50 %.

Universitas Sumatera Utara


23

Triastuti Dewi Kusumawati (2013) dalam jurnal yang berjudul Analisis

Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani di

Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali menyimpulkan bahwa rata-rata tingkat

ketersediaan pangan pokok (beras) pada rumah tangga petani padi sawah

termasuk dalam kategori rendah. Pangan pokok rumah tangga petani adalah

beras. Umbi-umbian yang paling banyak dikonsumsi adalah singkong. Pangan

sumber protein nabati lebih sering dikonsumsi daripada pangan sumber protein

hewani. Pangan sumber vitamin dan mineral, yaitu sayuran lebih sering

dikonsumsi daripada buah-buahan. Pangan sumber lemak yang sering

dikonsumsi adalah minyak goreng. Makanan jadi jarang dikonsumsi oleh rumah

tangga petani. Rata-rata TKE dan TKP rumah tangga petani termasuk dalam

kategori sedang. Mayoritas rumah tangga petani termasuk dalam kategori

tahan pangan. Pendapatan anggota rumah tangga berpengaruh nyata terhadap

konsumsi energi dan konsumsi protein anggota rumah tangga.

2.4 Kerangka Pemikiran

Ketersedian (food availabillity) yaitu ketersedian pangan dalam jumlah yang

cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi

sendiri, impor, cadangn pangan maupun bantuan pangan. Ketersedian pangan ini

diharapakan mampu mencukupi pangan yang di defenisikan sebagai jumlah kalori

yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Pangan adalah karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia,

yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan

Universitas Sumatera Utara


24

untuk mengetahui jumlah ketersediaan. Untuk tingkat konsumsi maka digunanak

data makanan sehari-hari baik berupa sumber serealia maupun sumber makanan

yang lainnya.

Untuk lebih jelasnya konsep kerangka pemikiran dan penelitian ini, secara

skematis dapat dilihat pada gambar 1.

Universitas Sumatera Utara


25

Konsumsi Normatif Bahan Pokok


Karbohidrat :
1. Beras
2. Jagung
3. Ubi Kayu
4. Ubi Jalar

 Rendah
KETERSEDIAAN PANGAN  Sedang
 Tinggi

TINGKAT KONSUMSI

Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) : - Baik


-Tingkat Konsumsi Energi (TKE) - Sedang
-Tingkat Konsumsi Protein (TKP) - Kurang
- defisit

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan : Menyatakan Indikator

Universitas Sumatera Utara


26

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori- teori yang ada maka diperoleh hipotesis sebagai berikut :

1. Ketersediaan pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian dalam kategori

rendah.

2. Tingkat konsumsi pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian dalam

kategori kurang.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai