Anda di halaman 1dari 13

Isu
Strategis
dan
Permasalahan
Pembangunan
Wilayah
di


Indonesia1


Oleh:
Erlis
Saputra
2


I. Pendahuluan

Pembangunan
 wilayah
 memiliki
 dimensi
 yang
 sangat
 banyak,
 mulai
 dari

dimensi
 spasial,
 ekonomi,
 social,
 lingkungan
 dan
 sebagainya.
 Namun
 pada
 akhirnya

yang
 harus
 dijadikan
 tujuan
 akhir
 suatu
 pembangunan
 adalah
 keterpaduan
 pencapian

seluruh
dimensi‐dimensi
tersebut.

Pembangunan
 yang
 dilakukan
 baik
 oleh
 pemerintah,
 swasta,
 maupun

masyarakat
 sewajarnya
 memiliki
 maksud‐maksud
 berikut.
 Pertama,
 pembangunan

wilayah
 memberikan
 perlindungan
 social
 dan
 ekonomi
 bagi
 keadaan‐keadaan
 sebagai

akibat
 dari
 kemiskinan
 dan
 ketimpangan;
 serta
 sumberdaya
 alam
 yang
 mengalami

tekanan.
 Perlindungan
 harus
 diberikan
 pada
 pihak
 yang
 lemah
 terhadap
 akses

terpenuhinya
 hak‐hak
 social,
 politik,
 dan
 ekonominya.
 Kedua,
 pembangunan
 wilayah

menyediakan
 media
 bagi
 beroperasinya
 mekanisme
 pasar
 secara
 efisien
 dan

memperbaiki
kualitas
aliran
beragam
sumberdaya
secara
lestari.
Ketiga,
pembangunan

wilayah
 dalam
 konteksnya
 sebagai
 konsep
 maupun
 metodologi
 menyediakan

perangkat‐perangkat
 bagi
 aspek
 perencanaan
 pembangunan.
 Relevansinya,
 aspek

perencanaan
 merupakan
 bagian
 penting
 dalam
 setiap
 pengambilan
 keputusan

pembangunan
 wilayah.
 Keempat,
 pembangunan
 wilayah
 merupakan
 upaya‐upaya

pembangunan
 system
 kelembagaan
 sebagai
 kerangka
 menyeluruh
 bagi
 perbaikan
 dan

penyempurnaan
pembangunan.

Di
 Indonesia,
 meskipun
 pembangunan
 telah
 berkomitmen
 melalui
 kebijakan

otonomi
daerah,
namun
masih
membutuhkan
waktu
yang
panjang
untuk
memecahkan

berbagai
 macam
 permasalahan
 pembangunan.
 Sangat
 banyak
 isu
 strategis
 dan

permasalahan
pembangunan
wilayah
yang
dikemukakan
oleh
beberapa
ahli.
Beberapa

isu
 dan
 permasalahan
 yang
 paling
 sering
 mengemuka
 adalah
 permasalahan

ketimpangan
 pembangunan
 antar
 wilayah
 dan
 kemiskinan.
 Berikut
 beberapa
 isu

1

Makalah
Dipresentasikan
pada
Diskusi
Terbatas
Insist‐REMDEC,
Yogyakarta,
22
Juni
2008.

2 1


Dosen
Prodi
Pembangunan
Wilayah
UGM
Yogyakarta;
Sekjen
Institute
for
Regional
Development
Studies
(IReDS)

Indonesia



strategis
dan
permasalahan
yang
secara
umum
ditampilkan
dengan
beberapa
hal
yang

perlu
mendapat
perhatian
lebih
lanjut.



II. Isu­isu
Strategis
dan
Permasalahan
Pembangunan
Wilayah
di
Indonesia

Ketimpangan
Pembangunan
Antar
Wilayah

Perkembangan
 suatu
 wilayah
 tidak
 terlepas
 dari
 interaksi
 wilayah
 tersebut

dengan
wilayah
lainnya.
Ketika
suatu
wilayah
melakukan
interaksi,
maka
akan
tercipta

dampak
 positif
 atau
 negative,
 terutama
 dalam
 pertumbuhan
 ekonomi.
 Dampak
 positif

ditimbulkan
 oleh
 adanya
 interaksi
 yang
 saling
 menguntungkan
 (komplementer),

sedangkan
 dampak
 negative
 timbul
 karena
 adanya
 interaksi
 yang
 saling
 bertentangan

berupa
 persaingan
 (kompetitif).
 Kedua
 jenis
 interaksi
 ini
 juga
 sering
 terjadi
 secara

bersamaan
 dalam
 suatu
 wilayah.
 Perbedaan
 spasial
 dan
 keunggulan
 wilayah
 sangat

mempengaruhi
jenis
interaksi
yang
akan
terjadi.
Interaksi
komplementer
sangat
banyak

terjadi
 antara
 propinsi‐propinsi
 yang
 berada
 di
 Kawasan
 Indonesia
 Barat
 (KIB)
 dan

Kawasan
Indonesia
Timur
(KIT).
Ketersediaan
bahan‐bahan
pokok
produksi
ekonomi
di

propinsi‐propinsi
 KIT
 yang
 memerlukan
 pengolahan
 serta
 pemasaran
 di
 propinsi‐
propinsi
 KIB
 menyebabkan
 interaksi
 ini
 terjadi.
 Sedangkan
 interaksi
 yang
 terjadi

sesama
 propinsi
 di
 KIB
 atau
 KIB
 cenderung
 bersifat
 kompetitif,
 hal
 ini
 dikarenakan

tidak
 jarang
 jenis‐jenis
 komoditas
 yang
 dihasilkan
 dan
 dibutuhkan
 sama
 satu
 dengan

lainnya.

Data
 BPS
 tahun
 2006
 mengenai
 penguasaan
 PDRB
 (Pendapatan
 Domestik

Regional
 Bruto)
 seluruh
 provinsi
 menunjukkan
 bahwa
 Provinsi
 di
 Jawa
 dan
 Bali

menguasai
 sekitar
 61,0
 persen
 dari
 seluruh
 PDRB,
 sedangkan
 provinsi
 di
 Sumatera

menguasai
sekitar
22,2
persen,
provinsi
di
Kalimantan
menguasai
9,3
persen,
Sulawesi

menguasai
 4,2
 persen,
 dan
 provinsi
 di
 Nusa
 Tenggara,
 Maluku
 dan
 Papua
 hanya
 3,3

persen.
 Selain
itu,
laju
pertumbuhan
 PDRB
 provinsi
di
Jawa
dan
 Bali
 pada
 tahun
2004

sebesar
10,71
persen,
provinsi
di
Sumatra
sebesar
7,78
persen,
provinsi
di
Kalimantan

5,72
persen,
provinsi
di
Sulawesi
sebesar
11,22
persen,
dan
provinsi
di
Nusa
Tenggara,

Maluku
dan
Papua
sebesar
4,34
persen.
Kecenderungan
persebaran
penguasaan
PDRB


2



dan
 laju
 pertumbuhan
 yang
 tidak
 sama
 akan
 menyebabkan
 semakin
 timpangnya

pembangunan
antarwilayah.

Ketimpangan
 pembangunan
 antarwilayah
 juga
 ditandai
 dengan
 rendahnya

aksesibilitas
pelayanan
sarana
dan
prasarana
ekonomi
dan
sosial
terutama
masyarakat

di
 perdesaan,
 wilayah
 terpencil,
 perbatasan
 serta
 wilayah
 tertinggal.
 Ketimpangan

antara
 kawasan
 perkotaan
 dan
 perdesaan
 ditunjukkan
 oleh
 rendahnya
 tingkat

kesejahteraan
 masyarakat
 desa,
 tertinggalnya
 pembangunan
 kawasan
 perdesaan

dibanding
 dengan
 perkotaan,
 dan
 tingginya
 ketergantungan
 kawasan
 perdesaan

terhadap
 kawasan
 perkotaan.
 Hal
 ini
 disebabkan
 oleh
 minimnya
 akses
 pada

permodalan,
lapangan
kerja,
informasi,
teknologi
pendukung,
dan
pemasaran
hasil‐hasil

produksi
di
perdesaan.

Pertanyaannya
yang
kemudian
muncul
adalah:

• Apakah
kesenjangan
pembangunan
antar
wilayah
dapat
ditoleransi?
Jika
Iya,
sejauh

mana
kesenjangan
dapat
ditoleransi?

• Apakah
 kesenjangan
 itu
 akan
 dibiarkan
 dan
 diserahkan
 ke
 mekanisme
 pasar?

Dengan
 harapan
 pada
 suatu
 saat
 nanti
 akan
 terjadi
 keseimbangan
 dengan

sendirinya?

• Intervensi
pemerintah
seperti
apakah
yang
diperlukan
agar
interaksi
antar
wilayah

yang
bersifat
komplementer
berlangsung
secara
terus
menerus?

• Dimanakah
 peran
 organisasi
 non
 pemerintahan
 dalam
 mengatasi
 kesenjangan

pembangunan
antar
wilayah?


Ketidakseimbangan
 Pertumbuhan
 Antar
 Kota­Kota
 Besar,
 Metropolitan
 dengan

Kota­Kota
Kecil
dan
Menengah

Pertumbuhan
 kota‐kota
 besar
 dan
 metropolitan
 saat
 ini
 masih
 terlalu
 terpusat

di
 Pulau
 Jawa
 dan
 Bali,
 sedangkan
 pertumbuhan
 kota‐kota
 menengah
 dan
 kecil,

terutama
 di
 Jawa,
 berjalan
 lambat
 dan
 tertinggal.
 Pertumbuhan
 perkotaan
 yang
 tidak

seimbang
ini
ditambah
dengan
kesenjangan
pembangunan
antar
wilayah
menimbulkan

urbanisasi
 yang
 tidak
 terarah
 dan
 terkendali.
 Secara
 fisik,
 urbanisasi
 di
 Indonesia

ditandai
 oleh:
 meluasnya
 wilayah
 perkotaan
 karena
 pesatnya
 perkembangan
 dan


3



meluasnya
 fringe
 area
 terutama
 di
 kota‐kota
 besar
 dan
 metropolitan;
 meluasnya

perkembangan
 fisik
 perkotaan
 di
 kawasan
 sub
 urban
 yang
 telah
 mengintegrasi
 kota‐
kota
 yang
 lebih
 kecil
 di
 sekitar
 kota
 intinya
 dan
 membentuk
 konurbasi
 yang
 tidak

terkendali;
 meningkatnya
 jumlah
 desakota
 (desa
 yang
 tergolong
 daerah
 perkotaan);

terjadinya
 reklasifikasi
 (perubahan
 daerah
 rural
 menjadi
 daerah
 urban,
 terutama
 di

Jawa);
kecenderungan
di
propinsi‐propinsi
trans
border
(Kalimantan
Timur,
Riau,
dan

Sumatera
 Utara)
 memiliki
 persentase
 penduduk
 urban
 yang
 tinggi;
 serta

kecenderungan
 tingkat
 pertumbuhan
 penduduk
 kota
 inti
 di
 kawasan
 metropolitan

menurun,
sedangkan
di
daerah
sekitarnya
meningkat
(Napitupulu,
G.C.,
2005).

Kecenderungan
 perkembangan
 seperti
 ini
 dapat
 berdampak
 negatif
 pada

perkembangan
 kota‐kota
 besar
 dan
 metropolitan
 itu
 sendiri,
 maupun
 kota‐kota

menengah
 dan
 kecil
 di
 wilayah
 tersebut.
 Dampak
 negatif
 yang
 ditimbulkan
 pada
 kota

besar
 dan
 metropolitan
 dapat
 berupa:
 terjadinya
 ekspoitasi
 yang
 berlebihan
 terhadap

sumberdaya
 alam
 di
 sekitar
 kota‐kota
 besar
 dan
 metropolitan
 untuk
 mendukung
 dan

meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi;
terjadinya
secara
terus
menerus
konversi
lahan

pertanian
 produktif
 menjadi
 kawasan
 permukiman,
 perdagangan,
 dan
 industri;

menurunnya
kualitas
lingkungan
fisik
kawasan
perkotaan
akibat
terjadinya
perusakan

lingkungan
dan
timbulnya
polusi;
menurunnya
kualitas
hidup
masyarakat
di
perkotaan

karena
 permasalahan
 sosial
 ekonomi,
 serta
 penurunan
 kualitas
 pelayanan
 kebutuhan

dasar
perkotaan
dan
perdesaan;
tidak
mandiri
dan
terarahnya
pembangunan
kota‐kota

baru
sehingga
justru
menjadi
tambahan
beban
bagi
kota
inti.

Pada
tahun
2005,
dalam
rangka
pengembangan
keterkaitan
pembangunan
antar

kota,
 beberapa
 pemerintah
 daerah
 telah
 mulai
 melaksanakan
 fasilitasi
 pengembangan

pola
 kerja
 sama
 antarkota
 dan
 pengembangan
 prasarana
 dan
 sarana
 perhubungan

antarkota.
Selain
itu,
dalam
rangka
pengembangan
kota‐kota
menengah
dan
kecil
telah

dilaksanakan
 revitalisasi
 kawasan
 perkotaan/permukiman;
 penanganan
 air
 limbah

melalui
 pengembangan
 sistem
 terpusat
 di
 kota
 menengah;
 dan
 pemberian
 bantuan

rintisan
 penanganan
 persampahan
 dan
 drainase
 di
 kota‐kota
 menengah.
 Selanjutnya,

telah
 dilakukan
 pula
 upaya
 untuk
 mengendalikan
 pembangunan
 kota‐kota
 besar
 dan

metropolitan
 melalui
 revitalisasi
 kawasan
 perkotaan,
 penanganan
 air
 limbah,


4



pemberian
 bantuan
 rintisan
 penanganan
 persampahan
 dan
 drainase
 di
 beberapa
 kota

besar.


Pertanyaan
yang
kemudian
muncul
adalah:

1) Bagaimana
 pencapaian
 pembangunan
 perkotaan
 pada
 tahun
 2008
 khususnya

terhadap
pencapaian
peningkatan
level
kualitas
lingkungan
perkotaan?

2) Sudah
 tersusun,
 tersosialisasi,
 atau
 terlaksanakah
 pedoman
 dan
 strategi

pembangunan
perkotaan?

3) Sudah
banyakkah
kerjasama
yang
terjalin
antarkota
yang
saling
menguntungkan?


Kesenjangan
Pembangunan
Antar
Desa
dan
Kota

Kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
yang
tinggal
di
perdesaan
umumnya
masih

jauh
 tertinggal
 dibandingkan
 dengan
 mereka
 yang
 tinggal
 di
 perkotaan.
 Hal
 ini

merupakan
 konsekuensi
 dari
 perubahan
 ekonomi
 dan
 proses
 industrialisasi,
 dimana

investasi
 ekonomi
 oleh
 swasta
 maupun
 pemerintah
 (infrastruktur
 dan
 kelembagaan)

cenderung
 terkonsentrasi
 di
 daerah
 perkotaan.
 Selain
 itu,
 kegiatan
 ekonomi
 di

perkotaan
 masih
 banyak
 yang
 tidak
 sinergis
 dengan
 kegiatan
 ekonomi
 yang

dikembangkan
 di
 wilayah
 perdesaan.
 Aibatnya,
 peran
 kota
 yang
 diharapkan
 dapat

mendorong
 perkembangan
 perdesaan
 (trickling
 down
 effect),
 justru
 memberikan

dampak
yang
merugikan
pertumbuhan
perkotaan
(backwash
effect).

Ketimpangan
desa‐kota
juga
disebabkan
oleh
urbanisasi
dan
proses
aglomerasi

yang
 berlangsung
 sangat
 cepat.
 Saat
 ini,
 terdapat
 14
 kota
 metropolitan
 di
 Indonesia

yang
 sebagian
 besar
 (11
 kota)
 terletak
 di
 Jawa.
 Masalah
 lainnya
 adalah
 menurunnya

luas
 rata‐rata
 penguasaan
 tanah
 per
 rumah
 tangga
 pertanian,
 yang
 berdampak
 pada

menurunnya
 produktivitas
 pertanian
 dan
 menurunnya
 tingkat
 kesejahteraan

masyarakat
 perdesaan.
 Rata‐rata
 penguasaan
 tanah
 di
 Jawa
 diperkirakan
 hanya

mencapai
0,2
hektar
per
rumah
tangga
pertanian.


Belum
Berkembangnya
Wilayah­Wilayah
Strategis
dan
Cepat
Tumbuh

Banyak
 wilayah‐wilayah
 yang
 memiliki
 produk
 unggulan
 dan
 atau
 lokasi

strategis
 belum
 dikembangkan
 secara
 optimal.
 Kerjasama‐kerjasama
 internasional

5



seperti
 Sijori
 (Singapura‐Johor‐Riau)
 misalnya,
 idealnya
 merupakan
 salah
 satu
 pintu

gerbang
untuk
memajukan
wilayah‐wilayah
luar
Indonesia.
Namun,
yang
terjadi
adalah

bahwa
 yang
 memperoleh
 keuntungan
 terbesar
 hanya
 Singapura
 dan
 Malaysia,
 yang

mana
 bebas
 untuk
 memperdagangkan
 produk‐produk
 perdagangan
 mereka
 serta

menyerap
 tenaga
 kerja
 murah
 yang
 disediakan
 oleh
 Indonesia.
 Sedangkan
 untuk

keuntungan
ekonomis
Indonesia,
hampir
tidak
dapat
dirasakan
oleh
masyarakat.



Beberapa
 permasalahan
 yang
 mengakibatkan
 wilayah
 strategis
 dan
 cepat



tumbuh
tidak
dapat
berkembang
secara
optimal
adalah:


1) rendahnya
 sumber
 daya
 manusia,
 baik
 pemerintah
 daerah
 maupun
 masyarakat



pelaku
pengembangan
kawasan;


2) terbatasnya
 infrastruktur
 pendukung
 yang
 membuka
 akses
 antara
 pusat

pertumbuhan
wilayah
atau
pasar
dengan
wilayah
pendukung
sekitarnya;


3) belum
 berkembangnya
 sistem
 informasi
 yang
 dapat
 memberikan
 akses
 pada

informasi
produk
unggulan,
pasar,
dan
teknologi;


4) belum
 tertatanya
 sistem
 kelembagaan
 dan
 manajemen
 yang
 belum
 terkelola
 baik

untuk
pengelolaan
pengembangan
kawasan
yang
terpadu,
dan
berkelanjutan,
dalam

memberikan
 dukungan
 kepada
 peningkatan
 daya
 saing
 produk
 dan
 kawasan
 yang

dikembangkannya;
serta


5) koordinasi
dan
kerjasama
lintas
sektor
dan
lintas
pelaku
yang
belum
optimal
untuk

meningkatkan
 kualitas
 produk‐produk
 unggulan,
 sehingga
 dapat
 menciptakan

sinergitas
antar
kawasan,
menciptakan
nilai
tambah
yang
besar,
dan
pada
akhirnya

meletakkan
 fondasi
 yang
 kuat
 bagi
 pengembangan
 ekonomi
 daerah,
 dalam
 satu

sistem
 keterkaitan
 antara
 wilayah
 strategis
 cepat
 tumbuh
 dengan
 wilayah

perbatasan
dan
wilayah
tertinggal.

Wilayah
strategis
dan
cepat
tumbuh
merupakan
salah
satu
wilayah
yang
harus

diprioritaskan
 pembangunannya.
 Beberapa
 kebijakan
 yang
 dapat
 dilakukan
 (sebagai

prioritas)
diantaranya:


(1) penyusunan
 kajian,
 kebijakan,
 standar,
 dan
 rencana
 tindak
 termasuk
 konsep‐
konsep
strategis
pengembangan
wilayah;



6



(2) pembangunan
 dan
 fasilitasi
 penyediaan
 infrastruktur
 sosial
 dan
 ekonomi

pendukung
kawasan
unggulan;
serta

(3) peningkatan
 peran
 pemerintah
 daerah
 sebagai
 perencana
 dan
 pengelola

pengembangan
 wilayah
 strategis
 dan
 cepat
 tumbuh
 melalui
 peningkatan
 kualitas

SDM
pemerintah
daerah
dalam:
pengembangan
kelembagaan
pengelolaan
kawasan

unggulan;
peningkatan
kerjasama
antarwilayah,
antarsektor,
dan
antarpelaku
untuk

pengembangan
 kawasan;
 pengembangan
 sistem
 insentif
 untuk
 mendorong

pengembangan
 kawasan;
 serta
 pengembangan
 sistem
 data
 dan
 informasi
 untuk

pengembangan
daya
saing
kawasan.


Banyaknya
Wilayah
yang
Masih
Tertinggal
dalam
Pembangunan

a. Wilayah
perbatasan
dan
terisolir
kondisinya
masih
terbelakang


Kawasan
 perbatasan
 termasuk
 pulau‐pulau
 kecil
 terluar
 mempunyai
 potensi



sumberdaya
 alam
 yang
 cukup
 besar,
 serta
 merupakan
 wilayah
 yang
 strategis
 bagi

pertahanan
 dan
 keamanan
 negara.
 Namun
 demikian,
 pembangunan
 di
 beberapa

kawasan
perbatasan
masih
sangat
jauh
tertinggal
dibandingkan
dengan
pembangunan

di
wilayah
negara
tetangga.
Kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
yang
tinggal
di
daerah

ini
 umumnya
 jauh
 lebih
 rendah
 dibandingkan
 kondisi
 sosial
 ekonomi
 masyarakat
 di

negara
 tetangga.
 Hal
 ini
 telah
 mengakibatkan
 timbulnya
 berbagai
 kegiatan
 ilegal
 di

daerah
 perbatasan
 yang
 dikhawatirkan
 dalam
 jangka
 panjang
 dapat
 menimbulkan

bebagai
 kerawanan
 sosial.
 Permasalahan
 utamanya
 yaitu
 rendahnya
 kesejahteraan

masyarakat
 karena
 kurang
 optimalnya
 pelayanan
 sosial
 dasar
 yang
 menjangkau

masyarakat
 di
 perbatasan
 dan
 terhambatnya
 kegiatan
 ekonomi
 lokal
 karena

terbatasnya
sarana
dan
prasarana.


Faktor
 lain
 yang
 menyebabkan
 ketertinggalan
 pembangunan
 di
 wilayah



perbatasan
 adalah
 arah
 kebijakan
 pembangunan
 kewilayahan
 yang
 selama
 ini

cenderung
 berorientasi
 “inward
 looking”
 sehingga
 seolah‐olah
 kawasan
 perbatasan

hanya
 menjadi
 halaman
 belakang
 dari
 pembangunan
 negara.
 Akibatnya
 wilayah‐
wilayah
 perbatasan
 dianggap
 bukan
 merupakan
 wilayah
 prioritas
 pembangunan
 oleh

7



pemerintah
 pusat
 maupun
 daerah.
 Sementara
 itu
 pulau‐pulau
 kecil
 di
 Indonesia
 sulit

berkembang
 terutama
 karena
 lokasinya
 sangat
 terisolir
 dan
 sulit
 dijangkau.

Diantaranya
 banyak
 yang
 tidak
 berpenghuni
 atau
 sangat
 sedikit
 jumlah
 penduduknya,

serta
belum
tersentuh
oleh
pelayanan
dasar
dari
pemerintah.


Ketertinggalan
 pembangunan
 di
 beberapa
 wilayah
 terisolir,
 termasuk
 yang



masih
 dihuni
 oleh
 komunitas
 adat
 terpencil
 antara
 lain:
 (1)
 terbatasnya
 akses

transportasi
yang
menghubungkan
wilayah
tertinggal
dengan
wilayah
yang
relatif
lebih

maju;
 (2)
 kepadatan
 penduduk
 relatif
 rendah
 dan
 tersebar;
 (3)
 kebanyakan
 wilayah‐
wilayah
ini
miskin
sumber
daya,
khususnya
sumber
daya
alam
dan
manusia;
(4)
belum

diprioritaskannya
 pembangunan
 di
 wilayah
 tertinggal
 oleh
 pemerintah
 daerah
 karena

dianggap
 tidak
 menghasilkan
 pendapatan
 asli
 daerah
 (PAD)
 secara
 langsung;
 dan
 (5)

belum
optimalnya
dukungan
sektor
terkait
untuk
pengembangan
wilayah‐wilayah
ini.


Arah
 kebijakan
 pembangunan
 untuk
 pengurangan
 ketimpangan
 pembangunan



wilayah
perbatasan
dan
terisolir
adalah:


1) Pengelolaan
dan
pembangunan
wilayah
perbatasan
serta
pulau‐pulau
kecil
terluar,

dengan
fokus
pada:


a) Penegasan
 dan
 penataan
 batas
 negara
 di
 darat
 dan
 di
 laut
 termasuk
 di
 sekitar

pulau‐pulau
kecil
terluar;


b) Peningkatan
 kerjasama
 bilateral
 di
 bidang
 politik,
 hukum,
 dan
 keamanan

dengan
negara
tetangga;


c) Penataan
 ruang
 dan
 pengelolaan
 sumber
 daya
 alam
 dan
 lingkungan
 hidup
 di

wilayah
perbatasan
dan
pulau‐pulau
kecil
terluar;

d) Pemihakan
 kebijakan
 pembangunan
 untuk
 percepatan
 pembangunan
 wilayah

perbatasan
dan
pulau‐pulau
kecil
terluar;


2) Percepatan
pembangunan
wilayah
terisolir,
dengan
fokus
pada:


a) Pengembangan
sarana
dan
prasarana
ekonomi
di
daerah
terisolir;

b) Peningkatan
sarana
dan
prasarana
pelayanan
sosial
dasar
di
daerah
terisolir.



8



b. Wilayah
tertinggal
lainnya


Masyarakat
 yang
 berada
 di
 wilayah
 tertinggal
 pada
 umumnya
 masih
 belum

banyak
 tersentuh
 oleh
 program‐program
 pembangunan
 sehingga
 akses
 terhadap

pelayanan
sosial,
ekonomi,
dan
politik
masih
sangat
terbatas
serta
terisolir
dari
wilayah

sekitarnya.
Oleh
karena
itu
kesejahteraan
kelompok
masyarakat
yang
hidup
di
wilayah

tertinggal
 memerlukan
 perhatian
 dan
 keberpihakan
 pembangunan
 yang
 besar
 dari

pemerintah.
 Permasalahan
 yang
 dihadapi
 dalam
 pengembangan
 wilayah
 tertinggal,

termasuk
 yang
 masih
 dihuni
 oleh
 komunitas
 adat
 terpencil
 antara
 lain:
 terbatasnya

akses
transportasi
yang
menghubungkan
wilayah
tertinggal
dengan
wilayah
yang
relatif

lebih
 maju;
 kepadatan
 penduduk
 relatif
 rendah
 dan
 tersebar;
 kebanyakan
 wilayah‐
wilayah
 ini
 miskin
 sumberdaya,
 khususnya
 sumberdaya
 alam
 dan
 manusia;
 belum

diprioritaskannya
 pembangunan
 di
 wilayah
 tertinggal
 oleh
 pemerintah
 daerah
 karena

dianggap
tidak
menghasilkan
PAD
secara
langsung;
belum
optimalnya
dukungan
sector

terkait
 untuk
 pengembangan
 wilayah‐wilayah
 ini;
 serta
 sulitnya
 mencari
 lahan
 bagi

pemberdayaan
komunitas
adat
terpencil
secara
eksitu
development.


Kemiskinan

Saat
 ini
 masalah
 kemiskinan
 merupakan
 masalah
 mendesak
 yang
 banyak

dihadapi
 wilayah‐wilayah
 di
 Indonesia,
 terutama
 di
 perkotaan.
 Yang
 paling
 mudah

terlihat
 adalah
 kondisi
 jutaan
 penduduk
 yang
 tinggal
 di
 permukiman
 kumuh
 atau

permukiman
liar
(slums
dan
squatter).
Kondisi
kekumuhan
ini
menunjukkan
seriusnya

permasalahan
 sosial‐ekonomi,
 politik,
 dan
 lingkungan
 yang
 bermuara
 pada
 kondisi

kemiskinan.
 Pengertian
 kemiskian
 bermakna
 multi
 dimensi
 dari
 mulai
 rendahnya

pendapatan,
kekurangan
gizi
dan
nutrisi,
tidak
layaknya
tempat
tinggal,
ketidakamanan,

kurangnya
penghargan
sosial,
dan
lain‐lain.


Berdasarkan
data
dari
BPS
pada
tahun
2007,
jumlah
penduduk
yang
berada
di

bawah
 garis
 kemiskinan
 adalah
 sebanyak
 37,17
 juta
 jiwa,
 atau
 sekitar
 16,58
 persen.

Grafik
 berikut
 menunjukkan
 persentase
 jumlah
 penduduk
 miskin
 di
 Indonesia
 dari


9



tahun
 1996
 hingga
 2006.
 Jumlah
 penduduk
 miskin
 tertinggi
 adalah
 pada
 tahun
 1998,

yaitu
 pada
 saat
 terjadi
 krisis
 moneter,
 dimana
 sejumlah
 pabrik
 dan
 industry
 kecil

mengalami
 kebangkrutan.
 Setelah
 tahun
 2000
 hingga
 2006,
 jumlah
 penduduk
 miskin

menunjukkan
angka
dibawah
20
persen,
namun
angka
ini
tetap
merupakan
angka
yang

tinggi.










1996



1997


1998



1999



2000



2001



2002



2003



2004



2005



2006




2007


Grafik:
Fluktuasi
Persentase
Kemiskinan
di
Indonesia


Sumber:
http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan‐02juli07.pdf


Berdasarkan
 data
 dari
 “Earhtrends
 Library”,
 pada
 tahun
 2004
 terdapat
 7.7%

penduduk
 berada
 di
 bawah
 garis
 kemiskinan
 (apabila
 standar
 penghasilan
 yang

digunakan
 adalah
 $US
 1
 per
 hari),
 dan
 terdapat
 sekitar
 55.3%
 penduduk
 yang

berpenghasilan
kurang
dari
$US
2
per
hari.



Sebagian
 besar
 penduduk
 miskin
 di
 Indonesia
 terdapat
 di
 wilayah
 perdesaan,

lebih
dari
63.52
persen
dari
jumlah
penduduk
miskin
terdapat
di
perdesaan.
Salah
satu

kunci
 terpenting
 untuk
 mengentaskan
 kemiskinan
 di
 perdesaan
 adalah
 dengan

membangun
 suatu
 “lingkungan”
 yang
 memungkinkan
 masyarakat
 di
 perdesaan
 untu

berkembang
 dan
 mandiri.
 
 Kawasan
 Indonesia
 Timur
 merupakan
 kawasan
 termiskin,

dimana
 sekitar
 95
 persen
 penduduk
 yang
 tinggal
 di
 perdesaan
 adalah
 miskin.

Persentase
 jumlah
 penduduk
 miskin
 di
 kawasan
 perkotaan
 pada
 tahun
 2007
 adalah

12.52
persen
dari
total
seluruh
penduduk.



10



Adanya
 keinginan
 pemerintah
 untuk
 mencabut
 subsidi
 BBM
 telah

mengakibatkan
semakin
meningkatnya
harga‐harga
kebutuhan
pokok.
Hal
ini
tentunya

paling
 dirasakan
 dampaknya
 oleh
 masyarakat
 berpenghasilan
 rendah.
 Menurut

Bappenas,
 pada
 tahun
 2009
 diprediksikan
 sebanyak
 42
 juta
 jiwa
 penduduk
 Indonesia

(sekitar
19
persen)
berada
di
bawah
garis
kemiskinan,
yang
mana
sebagian
besar
tidak

dapat
memenuhi
kebutuhan
dasar
hidupnya.



Masalah
kemiskinan
merupakan
masalah
yang
sangat
serius,
karena
terkait
erat

dengan
 adanya
 ketimpangan,
 baik
 ketimpangan
 antar
 golongan
 sosial
 ekonomi
 di

perkotaan,
 ketimpangan
 antara
 perkotaan
 dan
 perdesaan,
 serta
 ketimpangan
 antar

wilayah
atau
kawasan
secara
nasional.


Kualitas
Lingkungan
hidup
perkotaan

Masalah
 yang
 terkait
 dengan
 kualitas
 lingkungan
 hidup
 meliputi
 aspek
 fisik

seperti
 kualitas
 udara,
 air,
 tanah;
 kondisi
 lingkungan
 perumahannya
 seperti

kekumuhan,
 kepadatan
 yang
 tinggi,
 lokasi
 yang
 tidak
 memadai
 serta
 kualitas
 dan

keselamatan
 bangunannya;
 ketersediaan
 sarana
 dan
 prasarana
 serta
 pelayanan
 kota

lainnya;
 aspek
 sosial
 budaya
 dan
 ekonomi
 seperti
 kesenjangan
 dan
 ketimpangan

kondisi
antar
golongan
atau
antar
warga,
tidak
tersedianya
wahana
atau
tempat
untuk

menyalurkan
 kebutuhan‐kebutuhan
 sosial
 budaya,
 seperti
 untuk
 berinteraksi
 serta

mengapresiasikan
 aspirasi‐aspirasi
 sosial
 budayanya;
 serta
 jaminan
 perlindungan

hukum
dan
keamanan
dalam
melaksanakan
kehidupannya.



Kekumuhan
kota
disebabkan
karena
sumberdaya
yang
ada
di
kota
tidak
mampu

melayani
kebutuhan
penduduk
kota.
Kekumuhan
kota
bersumber
dari
kemiskinan
kota,

yang
 disebabkan
 karena
 kemiskinan
 warganya
 dan
 ketidakmampuan
 pemerintah
 kota

dalam
 memberikan
 pelayanan
 yang
 memadai
 kepada
 warga
 masyarakatnya.

Kemiskinan
 warga
 disebabkan
 karena
 tidak
 memiliki
 akses
 kepada
 mata
 pencaharian

yang
memadai
untuk
hidup
layak,
serta
akses
pada
modal
dan
informasi
yang
terbatas.


11



Kemiskinan
ini
akan
berdampak
pada
kemampuan
warga
untuk
membayar
pajak
yang

diperlukan
untuk
membangun
fasilitas
dan
infrastruktur
umum
di
kawasannya.


Permasalahan
 utama
 prasarana
 dan
 sarana
 kota
 termasuk
 perumahan
 adalah



tidak
 memadainya
 supply
 dibandingkan
 dengan
 kebutuhan.
 Hal
 ini
 menyebabkan

terbatasnya
kesempatan
masyarakat
untuk
mendapatkan
pelayanan
yang
layak.
Akibat

adanya
 keterbatasan
 supply
 dibandingkan
 dengan
 kebutuhan,
 maka
 masyarakat
 yang

berpenghasilan
 rendah
 justru
 harus
 membayar
 harga
 mahal
 untuk
 memperoleh

pelayanan
 sarana
 dan
 prasarana
 tersebut.
 Berkaitan
 dengan
 perumahannya,
 mereka

terpaksa
menggunakan
lahan‐lahan
secara
liar
dengan
kualitas
perumahan
yang
jauh
di

bawah
standar.


Kesenjangan
 sosial
 merupakan
 permaslahan
 kota
 yang
 dapat
 mengganggu



stabilitas
 keamanan
 dan
 kenyamanan
 kota.
 Sumber
 dari
 kesenjangan
 sosial
 adalah

timpangnya
 kondisi
 kelompok
 masyarakat
 miskin
 dan
 masyarakat
 miskin
 dan

masyarakat
kaya
di
kota,
yang
disebabkan
karena
tidak
adilnya
akses
bagi
pemanfaatan

sumberdaya
yang
ada
di
kota,
sehingga
menyebabkan
semakin
terpinggirnya
kelompok

miskin.



III. Penutup

Sangat
 banyak
 memang
 isu‐isu
 dan
 permasalahan
 pembangunan
 yang
 belum

dikemukakan.
 Namun
 demikian,
 apabila
 isu‐isu
 yang
 dikemukakan
 di
 atas
 dapat

disikapi
dan
dimanfaatkan
sebagai
peluang
sebagai
modal
pembangunan,
maka
sangat

tidak
 mungkin
 tujuan
 pembangunan
 untuk
 mensejahterakan
 kehidupan
 masyarakat

dengan
 memegang
 prinsip
 keberlanjutan
 (ekonomi,
 social,
 dan
 lingkungan)
 dapat

tercapai.
Meskipun
sekali
lagi,
tetap
membutuhkan
waktu,
pengorbanan,
dan
komitmen

seluruh
stakeholder
pembangunan.




12



IV. Daftar
Bacaan

Kompas.
2006.
Politik
Kota
dan
Hak
Warga
Kota.
Jakarta:
Penerbit
Buku
Kompas.



Mc.
 Loughlin,
 Brian,
 J.
 1969.
 Urban
 and
 Regional
 Planning,
 A
 System
 Approach.

London:
3
Queen
Square.


Nugroho,
 Iwan
 dan
 Dahuri,
 Rokhmin.
 2004.
 Pembangunan
 Wilayah,
 Perspektif



Ekonomi,
Sosial,
dan
Lingkungan.
Jakarta:
LP3ES.


Yayasan
 Sugijanto
 Soegijoko
 dan
 Urban
 and
 Regional
 Development
 Institute.
 2005.

Bunga
 Rampai
 Pembangunan
 Kota
 Indonesia
 Abad
 21,
 Konsep
 dan
 Pendekatan

Pembangunan
Perkotaan
di
Indonesia.
Jakarta:
Lembaga
Penerbit
Fakultas
Ekonomi,

Universitas
Indonesia.


www.bktrn.go.id



Dari
berbagai
sumber.


13


Anda mungkin juga menyukai