Isu Strategis PW Erlis Saputra PDF
Isu Strategis PW Erlis Saputra PDF
Indonesia1
Oleh:
Erlis
Saputra
2
I. Pendahuluan
Pembangunan
wilayah
memiliki
dimensi
yang
sangat
banyak,
mulai
dari
dimensi
spasial,
ekonomi,
social,
lingkungan
dan
sebagainya.
Namun
pada
akhirnya
yang
harus
dijadikan
tujuan
akhir
suatu
pembangunan
adalah
keterpaduan
pencapian
seluruh
dimensi‐dimensi
tersebut.
Pembangunan
yang
dilakukan
baik
oleh
pemerintah,
swasta,
maupun
masyarakat
sewajarnya
memiliki
maksud‐maksud
berikut.
Pertama,
pembangunan
wilayah
memberikan
perlindungan
social
dan
ekonomi
bagi
keadaan‐keadaan
sebagai
akibat
dari
kemiskinan
dan
ketimpangan;
serta
sumberdaya
alam
yang
mengalami
tekanan.
Perlindungan
harus
diberikan
pada
pihak
yang
lemah
terhadap
akses
terpenuhinya
hak‐hak
social,
politik,
dan
ekonominya.
Kedua,
pembangunan
wilayah
menyediakan
media
bagi
beroperasinya
mekanisme
pasar
secara
efisien
dan
memperbaiki
kualitas
aliran
beragam
sumberdaya
secara
lestari.
Ketiga,
pembangunan
wilayah
dalam
konteksnya
sebagai
konsep
maupun
metodologi
menyediakan
perangkat‐perangkat
bagi
aspek
perencanaan
pembangunan.
Relevansinya,
aspek
perencanaan
merupakan
bagian
penting
dalam
setiap
pengambilan
keputusan
pembangunan
wilayah.
Keempat,
pembangunan
wilayah
merupakan
upaya‐upaya
pembangunan
system
kelembagaan
sebagai
kerangka
menyeluruh
bagi
perbaikan
dan
penyempurnaan
pembangunan.
Di
Indonesia,
meskipun
pembangunan
telah
berkomitmen
melalui
kebijakan
otonomi
daerah,
namun
masih
membutuhkan
waktu
yang
panjang
untuk
memecahkan
berbagai
macam
permasalahan
pembangunan.
Sangat
banyak
isu
strategis
dan
permasalahan
pembangunan
wilayah
yang
dikemukakan
oleh
beberapa
ahli.
Beberapa
isu
dan
permasalahan
yang
paling
sering
mengemuka
adalah
permasalahan
ketimpangan
pembangunan
antar
wilayah
dan
kemiskinan.
Berikut
beberapa
isu
1
Makalah
Dipresentasikan
pada
Diskusi
Terbatas
Insist‐REMDEC,
Yogyakarta,
22
Juni
2008.
2 1
Dosen
Prodi
Pembangunan
Wilayah
UGM
Yogyakarta;
Sekjen
Institute
for
Regional
Development
Studies
(IReDS)
Indonesia
strategis
dan
permasalahan
yang
secara
umum
ditampilkan
dengan
beberapa
hal
yang
perlu
mendapat
perhatian
lebih
lanjut.
II. Isuisu
Strategis
dan
Permasalahan
Pembangunan
Wilayah
di
Indonesia
Ketimpangan
Pembangunan
Antar
Wilayah
Perkembangan
suatu
wilayah
tidak
terlepas
dari
interaksi
wilayah
tersebut
dengan
wilayah
lainnya.
Ketika
suatu
wilayah
melakukan
interaksi,
maka
akan
tercipta
dampak
positif
atau
negative,
terutama
dalam
pertumbuhan
ekonomi.
Dampak
positif
ditimbulkan
oleh
adanya
interaksi
yang
saling
menguntungkan
(komplementer),
sedangkan
dampak
negative
timbul
karena
adanya
interaksi
yang
saling
bertentangan
berupa
persaingan
(kompetitif).
Kedua
jenis
interaksi
ini
juga
sering
terjadi
secara
bersamaan
dalam
suatu
wilayah.
Perbedaan
spasial
dan
keunggulan
wilayah
sangat
mempengaruhi
jenis
interaksi
yang
akan
terjadi.
Interaksi
komplementer
sangat
banyak
terjadi
antara
propinsi‐propinsi
yang
berada
di
Kawasan
Indonesia
Barat
(KIB)
dan
Kawasan
Indonesia
Timur
(KIT).
Ketersediaan
bahan‐bahan
pokok
produksi
ekonomi
di
propinsi‐propinsi
KIT
yang
memerlukan
pengolahan
serta
pemasaran
di
propinsi‐
propinsi
KIB
menyebabkan
interaksi
ini
terjadi.
Sedangkan
interaksi
yang
terjadi
sesama
propinsi
di
KIB
atau
KIB
cenderung
bersifat
kompetitif,
hal
ini
dikarenakan
tidak
jarang
jenis‐jenis
komoditas
yang
dihasilkan
dan
dibutuhkan
sama
satu
dengan
lainnya.
Data
BPS
tahun
2006
mengenai
penguasaan
PDRB
(Pendapatan
Domestik
Regional
Bruto)
seluruh
provinsi
menunjukkan
bahwa
Provinsi
di
Jawa
dan
Bali
menguasai
sekitar
61,0
persen
dari
seluruh
PDRB,
sedangkan
provinsi
di
Sumatera
menguasai
sekitar
22,2
persen,
provinsi
di
Kalimantan
menguasai
9,3
persen,
Sulawesi
menguasai
4,2
persen,
dan
provinsi
di
Nusa
Tenggara,
Maluku
dan
Papua
hanya
3,3
persen.
Selain
itu,
laju
pertumbuhan
PDRB
provinsi
di
Jawa
dan
Bali
pada
tahun
2004
sebesar
10,71
persen,
provinsi
di
Sumatra
sebesar
7,78
persen,
provinsi
di
Kalimantan
5,72
persen,
provinsi
di
Sulawesi
sebesar
11,22
persen,
dan
provinsi
di
Nusa
Tenggara,
Maluku
dan
Papua
sebesar
4,34
persen.
Kecenderungan
persebaran
penguasaan
PDRB
2
dan
laju
pertumbuhan
yang
tidak
sama
akan
menyebabkan
semakin
timpangnya
pembangunan
antarwilayah.
Ketimpangan
pembangunan
antarwilayah
juga
ditandai
dengan
rendahnya
aksesibilitas
pelayanan
sarana
dan
prasarana
ekonomi
dan
sosial
terutama
masyarakat
di
perdesaan,
wilayah
terpencil,
perbatasan
serta
wilayah
tertinggal.
Ketimpangan
antara
kawasan
perkotaan
dan
perdesaan
ditunjukkan
oleh
rendahnya
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
desa,
tertinggalnya
pembangunan
kawasan
perdesaan
dibanding
dengan
perkotaan,
dan
tingginya
ketergantungan
kawasan
perdesaan
terhadap
kawasan
perkotaan.
Hal
ini
disebabkan
oleh
minimnya
akses
pada
permodalan,
lapangan
kerja,
informasi,
teknologi
pendukung,
dan
pemasaran
hasil‐hasil
produksi
di
perdesaan.
Pertanyaannya
yang
kemudian
muncul
adalah:
• Apakah
kesenjangan
pembangunan
antar
wilayah
dapat
ditoleransi?
Jika
Iya,
sejauh
mana
kesenjangan
dapat
ditoleransi?
• Apakah
kesenjangan
itu
akan
dibiarkan
dan
diserahkan
ke
mekanisme
pasar?
Dengan
harapan
pada
suatu
saat
nanti
akan
terjadi
keseimbangan
dengan
sendirinya?
• Intervensi
pemerintah
seperti
apakah
yang
diperlukan
agar
interaksi
antar
wilayah
yang
bersifat
komplementer
berlangsung
secara
terus
menerus?
• Dimanakah
peran
organisasi
non
pemerintahan
dalam
mengatasi
kesenjangan
pembangunan
antar
wilayah?
Ketidakseimbangan
Pertumbuhan
Antar
KotaKota
Besar,
Metropolitan
dengan
KotaKota
Kecil
dan
Menengah
Pertumbuhan
kota‐kota
besar
dan
metropolitan
saat
ini
masih
terlalu
terpusat
di
Pulau
Jawa
dan
Bali,
sedangkan
pertumbuhan
kota‐kota
menengah
dan
kecil,
terutama
di
Jawa,
berjalan
lambat
dan
tertinggal.
Pertumbuhan
perkotaan
yang
tidak
seimbang
ini
ditambah
dengan
kesenjangan
pembangunan
antar
wilayah
menimbulkan
urbanisasi
yang
tidak
terarah
dan
terkendali.
Secara
fisik,
urbanisasi
di
Indonesia
ditandai
oleh:
meluasnya
wilayah
perkotaan
karena
pesatnya
perkembangan
dan
3
meluasnya
fringe
area
terutama
di
kota‐kota
besar
dan
metropolitan;
meluasnya
perkembangan
fisik
perkotaan
di
kawasan
sub
urban
yang
telah
mengintegrasi
kota‐
kota
yang
lebih
kecil
di
sekitar
kota
intinya
dan
membentuk
konurbasi
yang
tidak
terkendali;
meningkatnya
jumlah
desakota
(desa
yang
tergolong
daerah
perkotaan);
terjadinya
reklasifikasi
(perubahan
daerah
rural
menjadi
daerah
urban,
terutama
di
Jawa);
kecenderungan
di
propinsi‐propinsi
trans
border
(Kalimantan
Timur,
Riau,
dan
Sumatera
Utara)
memiliki
persentase
penduduk
urban
yang
tinggi;
serta
kecenderungan
tingkat
pertumbuhan
penduduk
kota
inti
di
kawasan
metropolitan
menurun,
sedangkan
di
daerah
sekitarnya
meningkat
(Napitupulu,
G.C.,
2005).
Kecenderungan
perkembangan
seperti
ini
dapat
berdampak
negatif
pada
perkembangan
kota‐kota
besar
dan
metropolitan
itu
sendiri,
maupun
kota‐kota
menengah
dan
kecil
di
wilayah
tersebut.
Dampak
negatif
yang
ditimbulkan
pada
kota
besar
dan
metropolitan
dapat
berupa:
terjadinya
ekspoitasi
yang
berlebihan
terhadap
sumberdaya
alam
di
sekitar
kota‐kota
besar
dan
metropolitan
untuk
mendukung
dan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi;
terjadinya
secara
terus
menerus
konversi
lahan
pertanian
produktif
menjadi
kawasan
permukiman,
perdagangan,
dan
industri;
menurunnya
kualitas
lingkungan
fisik
kawasan
perkotaan
akibat
terjadinya
perusakan
lingkungan
dan
timbulnya
polusi;
menurunnya
kualitas
hidup
masyarakat
di
perkotaan
karena
permasalahan
sosial
ekonomi,
serta
penurunan
kualitas
pelayanan
kebutuhan
dasar
perkotaan
dan
perdesaan;
tidak
mandiri
dan
terarahnya
pembangunan
kota‐kota
baru
sehingga
justru
menjadi
tambahan
beban
bagi
kota
inti.
Pada
tahun
2005,
dalam
rangka
pengembangan
keterkaitan
pembangunan
antar
kota,
beberapa
pemerintah
daerah
telah
mulai
melaksanakan
fasilitasi
pengembangan
pola
kerja
sama
antarkota
dan
pengembangan
prasarana
dan
sarana
perhubungan
antarkota.
Selain
itu,
dalam
rangka
pengembangan
kota‐kota
menengah
dan
kecil
telah
dilaksanakan
revitalisasi
kawasan
perkotaan/permukiman;
penanganan
air
limbah
melalui
pengembangan
sistem
terpusat
di
kota
menengah;
dan
pemberian
bantuan
rintisan
penanganan
persampahan
dan
drainase
di
kota‐kota
menengah.
Selanjutnya,
telah
dilakukan
pula
upaya
untuk
mengendalikan
pembangunan
kota‐kota
besar
dan
metropolitan
melalui
revitalisasi
kawasan
perkotaan,
penanganan
air
limbah,
4
pemberian
bantuan
rintisan
penanganan
persampahan
dan
drainase
di
beberapa
kota
besar.
Pertanyaan
yang
kemudian
muncul
adalah:
1) Bagaimana
pencapaian
pembangunan
perkotaan
pada
tahun
2008
khususnya
terhadap
pencapaian
peningkatan
level
kualitas
lingkungan
perkotaan?
2) Sudah
tersusun,
tersosialisasi,
atau
terlaksanakah
pedoman
dan
strategi
pembangunan
perkotaan?
3) Sudah
banyakkah
kerjasama
yang
terjalin
antarkota
yang
saling
menguntungkan?
Kesenjangan
Pembangunan
Antar
Desa
dan
Kota
Kondisi
sosial
ekonomi
masyarakat
yang
tinggal
di
perdesaan
umumnya
masih
jauh
tertinggal
dibandingkan
dengan
mereka
yang
tinggal
di
perkotaan.
Hal
ini
merupakan
konsekuensi
dari
perubahan
ekonomi
dan
proses
industrialisasi,
dimana
investasi
ekonomi
oleh
swasta
maupun
pemerintah
(infrastruktur
dan
kelembagaan)
cenderung
terkonsentrasi
di
daerah
perkotaan.
Selain
itu,
kegiatan
ekonomi
di
perkotaan
masih
banyak
yang
tidak
sinergis
dengan
kegiatan
ekonomi
yang
dikembangkan
di
wilayah
perdesaan.
Aibatnya,
peran
kota
yang
diharapkan
dapat
mendorong
perkembangan
perdesaan
(trickling
down
effect),
justru
memberikan
dampak
yang
merugikan
pertumbuhan
perkotaan
(backwash
effect).
Ketimpangan
desa‐kota
juga
disebabkan
oleh
urbanisasi
dan
proses
aglomerasi
yang
berlangsung
sangat
cepat.
Saat
ini,
terdapat
14
kota
metropolitan
di
Indonesia
yang
sebagian
besar
(11
kota)
terletak
di
Jawa.
Masalah
lainnya
adalah
menurunnya
luas
rata‐rata
penguasaan
tanah
per
rumah
tangga
pertanian,
yang
berdampak
pada
menurunnya
produktivitas
pertanian
dan
menurunnya
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
perdesaan.
Rata‐rata
penguasaan
tanah
di
Jawa
diperkirakan
hanya
mencapai
0,2
hektar
per
rumah
tangga
pertanian.
Belum
Berkembangnya
WilayahWilayah
Strategis
dan
Cepat
Tumbuh
Banyak
wilayah‐wilayah
yang
memiliki
produk
unggulan
dan
atau
lokasi
strategis
belum
dikembangkan
secara
optimal.
Kerjasama‐kerjasama
internasional
5
seperti
Sijori
(Singapura‐Johor‐Riau)
misalnya,
idealnya
merupakan
salah
satu
pintu
gerbang
untuk
memajukan
wilayah‐wilayah
luar
Indonesia.
Namun,
yang
terjadi
adalah
bahwa
yang
memperoleh
keuntungan
terbesar
hanya
Singapura
dan
Malaysia,
yang
mana
bebas
untuk
memperdagangkan
produk‐produk
perdagangan
mereka
serta
menyerap
tenaga
kerja
murah
yang
disediakan
oleh
Indonesia.
Sedangkan
untuk
keuntungan
ekonomis
Indonesia,
hampir
tidak
dapat
dirasakan
oleh
masyarakat.
6
(2) pembangunan
dan
fasilitasi
penyediaan
infrastruktur
sosial
dan
ekonomi
pendukung
kawasan
unggulan;
serta
(3) peningkatan
peran
pemerintah
daerah
sebagai
perencana
dan
pengelola
pengembangan
wilayah
strategis
dan
cepat
tumbuh
melalui
peningkatan
kualitas
SDM
pemerintah
daerah
dalam:
pengembangan
kelembagaan
pengelolaan
kawasan
unggulan;
peningkatan
kerjasama
antarwilayah,
antarsektor,
dan
antarpelaku
untuk
pengembangan
kawasan;
pengembangan
sistem
insentif
untuk
mendorong
pengembangan
kawasan;
serta
pengembangan
sistem
data
dan
informasi
untuk
pengembangan
daya
saing
kawasan.
Banyaknya
Wilayah
yang
Masih
Tertinggal
dalam
Pembangunan
a. Wilayah
perbatasan
dan
terisolir
kondisinya
masih
terbelakang
pemerintah
pusat
maupun
daerah.
Sementara
itu
pulau‐pulau
kecil
di
Indonesia
sulit
berkembang
terutama
karena
lokasinya
sangat
terisolir
dan
sulit
dijangkau.
Diantaranya
banyak
yang
tidak
berpenghuni
atau
sangat
sedikit
jumlah
penduduknya,
serta
belum
tersentuh
oleh
pelayanan
dasar
dari
pemerintah.
8
b. Wilayah
tertinggal
lainnya
Masyarakat
yang
berada
di
wilayah
tertinggal
pada
umumnya
masih
belum
banyak
tersentuh
oleh
program‐program
pembangunan
sehingga
akses
terhadap
pelayanan
sosial,
ekonomi,
dan
politik
masih
sangat
terbatas
serta
terisolir
dari
wilayah
sekitarnya.
Oleh
karena
itu
kesejahteraan
kelompok
masyarakat
yang
hidup
di
wilayah
tertinggal
memerlukan
perhatian
dan
keberpihakan
pembangunan
yang
besar
dari
pemerintah.
Permasalahan
yang
dihadapi
dalam
pengembangan
wilayah
tertinggal,
termasuk
yang
masih
dihuni
oleh
komunitas
adat
terpencil
antara
lain:
terbatasnya
akses
transportasi
yang
menghubungkan
wilayah
tertinggal
dengan
wilayah
yang
relatif
lebih
maju;
kepadatan
penduduk
relatif
rendah
dan
tersebar;
kebanyakan
wilayah‐
wilayah
ini
miskin
sumberdaya,
khususnya
sumberdaya
alam
dan
manusia;
belum
diprioritaskannya
pembangunan
di
wilayah
tertinggal
oleh
pemerintah
daerah
karena
dianggap
tidak
menghasilkan
PAD
secara
langsung;
belum
optimalnya
dukungan
sector
terkait
untuk
pengembangan
wilayah‐wilayah
ini;
serta
sulitnya
mencari
lahan
bagi
pemberdayaan
komunitas
adat
terpencil
secara
eksitu
development.
Kemiskinan
Saat
ini
masalah
kemiskinan
merupakan
masalah
mendesak
yang
banyak
dihadapi
wilayah‐wilayah
di
Indonesia,
terutama
di
perkotaan.
Yang
paling
mudah
terlihat
adalah
kondisi
jutaan
penduduk
yang
tinggal
di
permukiman
kumuh
atau
permukiman
liar
(slums
dan
squatter).
Kondisi
kekumuhan
ini
menunjukkan
seriusnya
permasalahan
sosial‐ekonomi,
politik,
dan
lingkungan
yang
bermuara
pada
kondisi
kemiskinan.
Pengertian
kemiskian
bermakna
multi
dimensi
dari
mulai
rendahnya
pendapatan,
kekurangan
gizi
dan
nutrisi,
tidak
layaknya
tempat
tinggal,
ketidakamanan,
kurangnya
penghargan
sosial,
dan
lain‐lain.
Berdasarkan
data
dari
BPS
pada
tahun
2007,
jumlah
penduduk
yang
berada
di
bawah
garis
kemiskinan
adalah
sebanyak
37,17
juta
jiwa,
atau
sekitar
16,58
persen.
Grafik
berikut
menunjukkan
persentase
jumlah
penduduk
miskin
di
Indonesia
dari
9
tahun
1996
hingga
2006.
Jumlah
penduduk
miskin
tertinggi
adalah
pada
tahun
1998,
yaitu
pada
saat
terjadi
krisis
moneter,
dimana
sejumlah
pabrik
dan
industry
kecil
mengalami
kebangkrutan.
Setelah
tahun
2000
hingga
2006,
jumlah
penduduk
miskin
menunjukkan
angka
dibawah
20
persen,
namun
angka
ini
tetap
merupakan
angka
yang
tinggi.
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Grafik: Fluktuasi Persentase Kemiskinan di Indonesia
Sumber: http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan‐02juli07.pdf
Berdasarkan
data
dari
“Earhtrends
Library”,
pada
tahun
2004
terdapat
7.7%
penduduk
berada
di
bawah
garis
kemiskinan
(apabila
standar
penghasilan
yang
digunakan
adalah
$US
1
per
hari),
dan
terdapat
sekitar
55.3%
penduduk
yang
berpenghasilan
kurang
dari
$US
2
per
hari.
Sebagian
besar
penduduk
miskin
di
Indonesia
terdapat
di
wilayah
perdesaan,
lebih
dari
63.52
persen
dari
jumlah
penduduk
miskin
terdapat
di
perdesaan.
Salah
satu
kunci
terpenting
untuk
mengentaskan
kemiskinan
di
perdesaan
adalah
dengan
membangun
suatu
“lingkungan”
yang
memungkinkan
masyarakat
di
perdesaan
untu
berkembang
dan
mandiri.
Kawasan
Indonesia
Timur
merupakan
kawasan
termiskin,
dimana
sekitar
95
persen
penduduk
yang
tinggal
di
perdesaan
adalah
miskin.
Persentase
jumlah
penduduk
miskin
di
kawasan
perkotaan
pada
tahun
2007
adalah
12.52
persen
dari
total
seluruh
penduduk.
10
Adanya
keinginan
pemerintah
untuk
mencabut
subsidi
BBM
telah
mengakibatkan
semakin
meningkatnya
harga‐harga
kebutuhan
pokok.
Hal
ini
tentunya
paling
dirasakan
dampaknya
oleh
masyarakat
berpenghasilan
rendah.
Menurut
Bappenas,
pada
tahun
2009
diprediksikan
sebanyak
42
juta
jiwa
penduduk
Indonesia
(sekitar
19
persen)
berada
di
bawah
garis
kemiskinan,
yang
mana
sebagian
besar
tidak
dapat
memenuhi
kebutuhan
dasar
hidupnya.
Masalah
kemiskinan
merupakan
masalah
yang
sangat
serius,
karena
terkait
erat
dengan
adanya
ketimpangan,
baik
ketimpangan
antar
golongan
sosial
ekonomi
di
perkotaan,
ketimpangan
antara
perkotaan
dan
perdesaan,
serta
ketimpangan
antar
wilayah
atau
kawasan
secara
nasional.
Kualitas
Lingkungan
hidup
perkotaan
Masalah
yang
terkait
dengan
kualitas
lingkungan
hidup
meliputi
aspek
fisik
seperti
kualitas
udara,
air,
tanah;
kondisi
lingkungan
perumahannya
seperti
kekumuhan,
kepadatan
yang
tinggi,
lokasi
yang
tidak
memadai
serta
kualitas
dan
keselamatan
bangunannya;
ketersediaan
sarana
dan
prasarana
serta
pelayanan
kota
lainnya;
aspek
sosial
budaya
dan
ekonomi
seperti
kesenjangan
dan
ketimpangan
kondisi
antar
golongan
atau
antar
warga,
tidak
tersedianya
wahana
atau
tempat
untuk
menyalurkan
kebutuhan‐kebutuhan
sosial
budaya,
seperti
untuk
berinteraksi
serta
mengapresiasikan
aspirasi‐aspirasi
sosial
budayanya;
serta
jaminan
perlindungan
hukum
dan
keamanan
dalam
melaksanakan
kehidupannya.
Kekumuhan
kota
disebabkan
karena
sumberdaya
yang
ada
di
kota
tidak
mampu
melayani
kebutuhan
penduduk
kota.
Kekumuhan
kota
bersumber
dari
kemiskinan
kota,
yang
disebabkan
karena
kemiskinan
warganya
dan
ketidakmampuan
pemerintah
kota
dalam
memberikan
pelayanan
yang
memadai
kepada
warga
masyarakatnya.
Kemiskinan
warga
disebabkan
karena
tidak
memiliki
akses
kepada
mata
pencaharian
yang
memadai
untuk
hidup
layak,
serta
akses
pada
modal
dan
informasi
yang
terbatas.
11
Kemiskinan
ini
akan
berdampak
pada
kemampuan
warga
untuk
membayar
pajak
yang
diperlukan
untuk
membangun
fasilitas
dan
infrastruktur
umum
di
kawasannya.
III. Penutup
Sangat
banyak
memang
isu‐isu
dan
permasalahan
pembangunan
yang
belum
dikemukakan.
Namun
demikian,
apabila
isu‐isu
yang
dikemukakan
di
atas
dapat
disikapi
dan
dimanfaatkan
sebagai
peluang
sebagai
modal
pembangunan,
maka
sangat
tidak
mungkin
tujuan
pembangunan
untuk
mensejahterakan
kehidupan
masyarakat
dengan
memegang
prinsip
keberlanjutan
(ekonomi,
social,
dan
lingkungan)
dapat
tercapai.
Meskipun
sekali
lagi,
tetap
membutuhkan
waktu,
pengorbanan,
dan
komitmen
seluruh
stakeholder
pembangunan.
12
IV. Daftar
Bacaan
Kompas.
2006.
Politik
Kota
dan
Hak
Warga
Kota.
Jakarta:
Penerbit
Buku
Kompas.
Mc.
Loughlin,
Brian,
J.
1969.
Urban
and
Regional
Planning,
A
System
Approach.
London:
3
Queen
Square.
Yayasan
Sugijanto
Soegijoko
dan
Urban
and
Regional
Development
Institute.
2005.
Bunga
Rampai
Pembangunan
Kota
Indonesia
Abad
21,
Konsep
dan
Pendekatan
Pembangunan
Perkotaan
di
Indonesia.
Jakarta:
Lembaga
Penerbit
Fakultas
Ekonomi,
Universitas
Indonesia.
www.bktrn.go.id
Dari berbagai sumber.
13