Anda di halaman 1dari 8

Fungsi Kota

Dengan menyimak definisi kota yang diutarakan oleh para ahli dan juga mengenai klasifikasi kota
seperti yang telah dijelaskan di depan, tentu dapat melihat apa fungsi kota. Oleh karenanya,
dapatlah dibuat kategori kota seperti yang dikemukakan oleh NOEL P. GIST sebagai berikut :

1) Production Center
2) Center of trade and commerce.
3) Political Capitol.
4) Cultural Center.
5) Helath and Recreation.
6) Divercified cities.

Demikianlah fungsi kota secara garis besar, yang sekaligus menunjukkan tujuan yang ingin dicapai
oleh suatu kota.

POLA LOKASI dan RUANG KOTA

Kota sebagai lingkungan hidup manusia, bergerak dalam arti selalu terjadi perubahan yang dinamis,
sesuai dengan budaya dan peradaban manusia dan meluas sebanyak dengan jumlah manusia yang
berada di dalamnya. Jadi, kota sebagai pemukiman penduduk akan selalu menyesuaikan diri dengan
mereka yang mendiaminya. Jika jumlah penduduknya meningkat banyak, tentu lahan yang
diperlukan untuk tempat tinggal pun akan bertambah juga. Begitu pula jika peradaban manusia
berubah, maka lingkungan hidupnya pun akan mengalami perubahan dengan lingkungannya, atau
mengubah lingkungannya agar dapat memenuhi keperluan manusia.

Ekologi kota mempunyai pola tertentu, sesuai dengan tujuan penduduknya dalam membina atau
membangun kota mereka. Seperti ada “kota” di wilayah pantai, “kota” pegunungan, atau “kota”
yang berada di dataran rendah. Begitu pula ada kota pelabuhan, kota perdagangan, atau kota
industri serta kota sebagai pusat rekreasi, dan lain-lain, tentu mempunyai pola pengaturan tertentu.

Pertumbuhan dan perkembangan kota sejalan dengan prinsip umum lokasi dan pertumbuhan,
sehingga sebuah kota dalam beberapa tahun kemudian menjadi sebuah kota besar, bahkan menjadi
kota metropolitan ; sedangkan kota lainnya tidak secepat itu perkembangannya, tetap sebagai kota
semula tidak banyak mengalami perubahan.

Bagi setiap kota, diperlukan adanya kemudahan yang maksimal bagi penyesuaian warga atau
penduduknya, meskipun pada kenyataannya tidak semua kota menempati lokasi yang ideal seperti
itu. Tetapi, kemudian dalam jangka panjang para pengelola kota berusaha menyediakan prasarana
dan sarana melalui perencanaan menuju ideal. Sejalan dengan fungsi kota, maka dalam kompetisi di
bidang ekonomi secara bebas, maka bagi kota yang mempunyai predikat “commercial city”, lebih
cenderung untuk menempati lokasi yang dapat dilakukan pertukaran barang-barang dan jasa-jasa
secara mudah dari sumber barang (produsen) dan mereka yang memerlukan (konsumen), baik bagi
penduduk kota atau bagi mereka di sekitarnya (dari luar).

Kota industri (factory city), cenderung mempunyai lokasi yang secara ekonomis dan efisien dapat
dikumpulkan faktor-faktor produksi (barang-barang atau bahan baku, tenaga kerja dan peralatan

1
yang lain), serta pembuangan limbah pabrik, serta pendistribusian hasil pabrik ke pasaran atau
konsumen.

Kota sebagai pusat pemerintahan (capital city), membutuhkan lokasi yang tepat sebagai sarana
pembangunan pusat pemerintahan, sehingga para pejabat mudah dikumpulkan atau mudah
komunikasi, serta penyediaan barang-barang lain serta jasa-jasa yang diperlukan untuk mendukung
tugas pekerjaan. Begitu pula untuk tempat tinggal para pejabat pemerintahan tersebut, tidak
diabaikan. Dengan demikian, lokasi kota yang baik memerlukan efisiensi yang lebih besar untuk
penyesuaian manusia dengan alam lingkungannya.

Dari gambaran di atas, maka prinsip umum yang dijadikan pedoman dalam upaya manusia untuk
menyesuaikan diri pada alam lingkungan atau penyelarasan dengan sekitarnya yang berkaitan
dengan ekologi kota, ialah :

1. Prinsip ongkos minimum, dengan mempertimbangkan empat faktor, yaitu :

a. Perbedaan antara kegunaan dan harga tanah, bahan mentah, tenaga kerja serta modal.
b. Perbedaan permintaan dan berbagai pasar akan hasil (produksi) dengan harga penjualan.
c. Ongkos transportasi bagi orang (tenaga kerja) serta barang-barang.
d. Perbedaan harga dan ongkos penempatan barang-barang setengah jadi (gudang) dengan aspek
keamanan atau resiko yang harus ditanggung.

2. Prinsip lokasi median (median location).

Untuk mendapatkan gambaran tentang ongkos minimum dari transportasi misalnya, maka jarak
lokasi antara bahan baku untuk industri dengan pasar atau tempat pendistribusian produksi yang
dihasilkan, menjadi pertimbangan dalam memilih lokasi yang tepat. Loksai yang paling tepat dapat
ditentukan di tengah-tengah atau median dari segala arah. Dengan demikian, dapat ditentukan letak
zona atau lokasi pasar, pertokoan, pusat pendidikan, budaya, rekreasi, pemerintahan, dan lain-lain
dari suatu kota menurut ukuran tertentu.

3. Faktor lain yang merupakan penentuan lokasi ialah, jalur transportasi.

Pengaruh transportasi bagi interseksion dari unit-unit pemukiman penduduk, sangat besar
artinya dalam penentuan lokasi. Apakah untuk keperluan pabrik, atau untuk keperluan yang lain.
Sebab, pertemuan antar rute transportasi merupakan median yang sangat strategis dan efisien bagi
banyak keperluan.

Demikianlah, penentuan lokasi di kota ini sangat bervariasi. Seperti telah dikemukakan, prinsip
ongkos minimum, efisiensi dan kemudian lokasi median, jalur transportasi, sumber bahan baku,
pemasaran dan jumlah penduduk, merupakan faktor yang harus diperhitungkan.

STRUKTUR KOTA

Studi tentang kota adalah penting dan menarik. Seperti telah dikemukakan di depan, apabila
berbicara mengenai kota, maka berbagai aspek mengenai gejala kota tidak mungkin untuk diabaikan
begitu saja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan pula mengenai hal ihwal tentang lokasi kota,

2
kedudukan kota, serta hubungan kota dengan daerah sekitarnya. Hal ini lebih berkaitan dengan
proses perkembangan kota itu sendiri pada tahap yang lebih lanjut. Berbicara mengenai Struktur
Kota, maka dapatlah dibedakan dalam tiga macam :

- Struktur Kota secara Demografi.


- Struktur Kota secara Ekonomi.
- Struktur Kota secara Segregasi.

Struktur Kota secara Demografi.

Ekspresi demografis dapat ditemukan di kota-kota besar. Banyak penduduk dari luar kota hilir mudik
ke kota untuk keperluan berdagang atau keperluan lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan
sehari-hari. Jenis kelamin dalam hal ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial
dipengaruhi oleh proporsi jenis kelamin. Suatu kenyataan bahwa, pada umumnya kota lebih banyak
dihuni perempuan daripada laki-laki. Keadaan ini dapat diterangkan dengan melihat sifat yang
berbeda-beda antara kota satu dengan yang lainnya, di mana di kota besar perempuan dapat
bekerja di bidang jasa yang tidak banyak memeras tenaga. Dari segi umur, penduduk kota lebih
banyak dihuni oleh orang-orang yang tergolong dalam usia produktif. Daerah inti kota, menjadi
daerah pusat kerja penduduk usia produktif.

Struktur Kota secara Ekonomi.

Kota memiliki berbagai jenis mata pencaharian, khususnya di bidang non-agraris, seperti : di bidang
perdagangan, pegawai, jasa, dan lain-lain. Dengan demikian, struktur suatu kota dari segi ekonomi
akan mengikuti fungsi dari kota tersebut. Akan tetapi, jarang sekali kota mempunyai fungsi tunggal,
kecuali kota yang sengaja didirikan untuk kegiatan industri.

Struktur Kota secara Segregasi.

Dari segi segregasi, maka di dalam kota terjadi adanya pemisahan atau pengelompokan yang timbul
akibat adanya perbedaan suku, pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, dan beberapa sebab
lainnya. Pemisahan atau pengelompokan tersebut, dapat terjadi secara sengaja maupun tidak
sengaja. Pemisahan yang disengaja, terjadi karena berkaitan dengan perencanaan kota. Adapun
pemisahan yang tidak disengaja, terjadi akibat arus urbanisasi yang memanfaatkan ruang kosong
yang ada di daerah perkotaan, sehingga menimbulkan apa yang dinamakan dengan ”slum areas”.
Apabila pengelompokan ini terdiri dari orang-orang yang satu suku dan mempunyai kesamaan kultur
dan status ekonomi, maka luas, bentuk dan letaknya dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi fisik
yang ada. Pengelompokan semacam ini, disebut dengan ”natural areas”.

Diskripsi kota

Bagaimana suatu kota menjadi besar, terutama pengaruhnya terhadap daerah sekitarnya, akan
menjadi pembicaraan pokok dalam Diskripsi Kota. Untuk melihat keadaan yang demikian, terlebih
dahulu akan dibicarakan mengenai Pola Lokasi Kota berdasarkan luas dan ruang dari daerah
perkotaan. Setiap Pola Lokasi Kota, timbul akibat perbedaan dari fungsi kota yang bersangkutan.
Pola-pola yang ada, pada dasarnya ditandai dengan tersebarnya kota-kota itu di suatu wilayah yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun Pola Lokasi Kota, pada umumnya dibedakan menjadi :

3
Pola Liniair, yaitu kota-kota yang tersebar di sepanjang jalur transportasi.

Pola Cluster, pola ini menunjukkan adanya ciri-ciri di mana terdapat pengelompokan kota dalam
jumlah yang relatif besar.

Pola Hirarkhi, pola ini mempunyai ciri-ciri di mana kota diatur berdasarkan kesamaan wilayah.

Di dalam pengembangan wilayah, pengaruh dari daerah perkotaan terhadap daerah sekitarnya tidak
dapat diabaikan begitu saja. Semakin berkembang wilayah suatu kota, maka semakin luas pula
wilayah pengaruhnya. Pengaruh kota terhadap daerah sekitarnya, biasanya tidak terlepas dari
kegiatan atau fungsi yang ada di daerah perkotaan. Oleh karena itu, teori-teori yang berkaitan
dengan pembangunan wilayah perkotaan, mencoba untuk menjelaskan bagaimana pengaruh
kegiatan yang ada pada kota terhadap daerah sekitarnya (wilayah atau daerah pengrauhnya).

Berbicara mengenai Diskripsi Kota, ada empat teori yang saling berkaitan satu sama lain. Artinya,
teori yang pertama akan menjelaskan teori yang kedua, yang kedua menjelaskan yang ketiga, dan
teori ketiga menjelaskan teori yang keempat. Adapun teori-teori tersebut, adalah :

ECONOMIC BASE THEORY

LABOUR BASE THEORY

CENTRAL PLACE THEORY

GROWTH POLE THEORY

ECONOMIC BASE THEORY

Teori ini sangat tepat untuk membicarakan mengenai perencanaan pertumbuhan kota yang
potensial dalam jangka panjang, terutama pada kota-kota yang mempunyai fungsi tunggal. Pada
pokoknya, teori ini membicarakan tentang majunya perekonomian kota yang diakibatkan oleh sektor
industri. Akibat lebih lanjut, menyebabkan arus urbanisasi yang semakin besar. Pada akhirnya, akan
mendorong perluasan perencanaan pertumbuhan kota ke daerah sekitranya, terutama yang
berkaitan dengan kegiatan pelayanan jasa dari bidang industri.

Menurut THOMPSON, perkembangan kota yang awalnya mempunyai fungsi tunggal, berubah
menjadi kota dengan fungsi ganda akibat dari pertumbuhan ekonomi kota yang didukung oleh
kegiatan industri. Perkembangan kota itu sendiri terbagi dalam 5 (lima) tahapan, di mana masing-
masing tahapan menjelaskan bagaimana peran industri dalam mendukung perekonomian kota,
sehingga kota menjadi kota metropolitan pada tahap yang ke 5 (lima). Dengan semakin majunya
perekonomian kota, baik yang didukung dari sektor industri maupun sektor pelayanan bidang
industri, pada tahap selanjutnya terjadilah perluasan industri ke daerah pedesaan.

LABOUR BASE THEORY

Pada saat kegiatan industri di daerah perkotaan sudah tidak lagi mapu menampung pembangunan
industri akibat mahalnya harga tanah di daerah perkotaan serta tingginya upah buruh, maka
terjadilah perluasan kegiatan industri ke daerah pedesaan. Di mana kegiatan, ini mempunyai

4
hubungan yang erat dengan perluasan perekonomian kota yang menuju pada pembangunan industri
di daerah pedesaan. Pembangunan industri di daerah pedesaan, pada pokoknya bukan merupakan
pembangunan perekonomian daerah pedesaan. Hal ini disebabkan, kegiatan di bidang industri
merupakan pekerjaan utama bagi masyarakat pedesaan, sedangkan kegiatan pelayanan di bidang
industri tidak dimiliki oleh masyarakat pedesaan. Dengan demikian, secara normal dapat dikatakan
bahwa, kegiatan industri di pedesaan menarik ”income in elastic industry”, di mana industri tidak
menggunakan seluruh waktunya seperti di daerah pedesaan.

CENTRAL PLACE THEORY

Lahirnya kota menyebabkan kota memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu :

- fungsi melancarkan pengawasan (administratif-politis)


- fungsi sebagai pusat pertukaran (komersial)
- fungsi memproses bahan sumber daya (industrial).

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang nyata mengenai akibat perluasan ekonomi daerah
perkotaan, khususnya mengenai kegiatan pelayanan yang diberikan oleh penduduk kota kepada
penduduk daerah sekitarnya (hinterland), teori ini cocok untuk melihat kegiatan tersebut. Secara
garis besar, teori ini menggambarkan tentang cara kerja yang secara konsepsi serasi untuk
pengertian kota sebagai pusat pelayanan. Oleh karena itu, teori CENTRAL PLACE ini disusun untuk
menjawab 3 (tiga) pertanyaan utama yang berkaitan dengan pengertian kota sebagai pusat
pelayanan, yaitu : Apakah yang menentukan

(a) banyaknya,
(b) besarnya, dan
(c) persebaran kota.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka digunakan konsep Range (jangkauan) dan Threshold
(ambang). Oleh karena itu, perkembangan suatu pusat pelayanan akan sangat tergantung pada
konsumsi barang dari penduduk sekitar kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
barang tersebut, adalah :

- Penduduk (distribusi, kepadatan dan struktur).


- Permintaan dan penawaran serta harga barang.
- Kondisi wilayah dan transportasi.

Lebih jauh digambarkan bahwa, kota sebagai pusat wilayah yang komplementari dari daerah
sekitarnya, sehingga kota merupakan pusat yang menyediakan dan melayani (goods and services)
daerah sekitarnya (hinterland). Agar kota dan daerah sekitarnya benar-benar merupakan suatu
sistem yang saling berhubungan, maka semuanya itu tergantung pada batas sampai di mana aliran
pertukaran uang yang dikeluarkan penduduk daerah sekitar kota untuk mendukung penyediaan
kebutuhan dan pelayanan yang diberikan oleh penduduk kota. Di sini, teori CENTRAL PLACE
berhubungan dengan Lokasi, Luas dan Fungsi dari pusat-pusat pelayanan.

WALTER CHRISTALLER, mengakui adanya hubungan ekonomi antara kota dan daerah sekitarnya, di
mana fasilitas pertukaran penyediaan kebutuhan dan pelayanan adalah menguntungkan. Pendapat

5
tersebut, adalah merupakan pelengkap dari teori Lokasi yang dikemukakan oleh von THUNEN, di
mana lahan pertanian mengelilingi pusat-pusat pasar ; dan teori WEBER, mengenai lokasi pabrik
yang mengelilingi pusat-pusat pasar. Pada dasarnya, teori WALTER CHRISTALLER ini ditujukan pada
kegiatan tersier dari segmen perekonomian yang dikembangkan oleh penduduk kota itu sendiri (segi
pelayanan jasa). Dengan demikian, maka teori CENTRAL PLACE tidak lain adalah, daerah yang
berbentuk atau berwujud penyediaan kebutuhan dan pelayanan untuk penduduk di sekitar kota.

Untuk mendukung teorinya itu, WALTER CHRISTALLER mengemukakan 4 asumsi guna memperjelas
konsepsi mekanis mengenai pengertian tentang peran kota sebagai pusat pelayanan. Di samping itu,
untuk mengetahui urutan pengertian teori CENTRAL PLACE, dikemukakan adanya beberapa elemen
sebagai berikut :

THRESHOLD

RANGE OF GOODS AND SERVICES

COMPLEMENTARY REGION

CONTENT HIRARCHY

CENTRAL GOODS AND CENTRAL SERVICES.

Perlu diketahui bahwa, tidak semua wilayah perkotaan dapat disebut dengan CENTRAL PLACE.
Tetapi, untuk mengetahui bagaimana bentuk distribusi dari pelayanan, harus diperhatikan berbagai
faktor lokasi yang mempengaruhi lokasi kota. Pada umumnya, faktor lokasi berpengaruh terhadap
berbagai macam aktivitas manusia di perkotaan. Apabila CENTRAL PLACE ini dihubungkan dengan
penyebaran penduduk suatu daerah sekitar kota ; jika dasar populasinya melebar, maka distribusi
penyediaan kebutuhan dan pelayanan juga akan melebar. Apabila karena sesuatu sebab penyebaran
populasinya tak sama, maka melebarnya penyediaan kebutuhan dan pelayanan juga tidak sama.

GROWTH POLES THEORY

Teori ini merupakan syarat pokok yang lebih baik dari beberapa konsep yang berhubungan dengan
pembangunan perekonomian suatu wilayah, guna mendapatkan gambaran yang penting tentang
kota. Secara teori maupun empirik, GROWTH POLES THEORY ini sangat baik digunakan untuk
pembangunan perekonomian wilayah dibandingkan dengan ECONOMIC BASE THEORY dan LABOUR
BASE THEORY. Secara konseptual, GROWTH POLES ini sangat sesuai terutama dalam proses
pertumbuhan ekonomi wilayah di negara berkembang. Banyak contoh telah menggunakan teori ini
untuk menguraikan atau lebih menekankan pada perkembangan wilayah, di dalam konteks dari
kehidupan kota-kota secara hirarkhi.

BERRY menghubungkan perkembangan wilayah dengan proses penyebaran inovasi, di mana inovasi
baru disebarkan ke pusat-pusat yang lebih kecil. Selain itu, pusat pertumbuhan dapat digunakan
untuk merencanakan perembesan ke daerah-daerah pinggiran secara efektif di dalam wilayah
metropolitan. Dari keadaan di atas, timbul perubahan substansi pada daerah yang dipengaruhi,
bukan pada industri, tetapi pada pemilihan tempat tinggal atau pemukiman yang bersih, aman dan

6
bebas dari gangguan jalur transportasi. Hal ini menurut BERRY, akan menimbulkan akibat pada
integrasi ekonomi keruangan yang begitu hebat.

PERROUX, yang pertama kali mengembangkan teori ini berdasarkan pengamatannya terhadap
proses pembangunan. Sebenarnya, ia mengakui bahwa pembangunan di mana-mana tidak terjadi
secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan intensitas berbeda. Tempat-
tempat itulah yang dinamakan dengan titik-titik pertumbuhan atau kutub-kutub pertumbuhan
(GROWTH POLES). Dari sinilah pembangunan akan menyebar melalui beberapa saluran dan
mempunyai akibat akhir yang berlainan untuk perekonomian secara keseluruhan.

Implikasi perencanaan GROWTH POLES ini terbukti berguna untuk segala kawasan, dan
menunjukkan adanya perubahan yang signifikan di dalam kebijaksanaan pembangunan wilayah.
Secara teori, adalah dinamik dan sesuai untuk semua tahapan dari proses pembangunan, di mana
pendekatannya sangat realistis terutama untuk beberapa pendekatan tingkah laku pada prioritas
waktu untuk alokasi sumber alam. Seperti dikatakan oleh PERROUX bahwa, pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah tidak seimbang tetapi terpusat secara disproporsional pada daerah-daerah tertentu.
Tetapi efek dari perkembangan yang memusat dapat diawasi bentuk elemennya – propulsive
industry – di mana menimbulkan pertumbuhan. Pertumbuhan menjadi besar dan cepat, sehingga
derajat interaksinya sangat kuat (berhubungan dengan penjualan dan pembelian). Juga menambah
pertumbuhan dari daerah yang bersangkutan, sehingga kutub-kutub pertumbuhan menjadi ekonomi
metropolitan. Hal Ini disebut dengan Circulair and Cumulative Causation.

Pada keadaan yang demikian, pelayanan menjadi faktor infra-struktur yang penting di dalam
mendorong konsentrasi dari kegiatan di negara-negara di mana industri kurang berkembang, juga
menyesuaikan dengan rangkaian perkembangan ini. Banyak contoh bahwa, pendekatan GROWTH
POLES telah digunakan untuk menguraikan proses perkembangan di dalam konteks dari kehidupan
kota-kota secara hirakhi. Di mana perencanaan kota sebagai point yang berkenaan dengan
penekanan perkembangan wilayah perkotaan. Di mana dalam proses pertumbuhan dari wilayah
pusat (Core Region) lambat laun dipindahkan ke wilayah pinggiran (Peripheral Region). Dengan
adanya pemindahan pusat kegiatan ini, muncul 6 (enam) akibat :

a) akibat yang dominan (sumber-sumber alam yang ada di daerah pusat dipindahkan).
b) akibat informasi (kecepatan interaksi dan inovasi pada daerah pusat).
c) akibat psikologi (penampakan dan perkiraan yang lebih besar yang berhubungan dengan
wilayah pusat).
d) akibat modernisasi (mendukung perubahan lingkungan sosial).
e) akibat linkage (akibat circulair and cumulatiove causation).
f) aibat produksi.

Menurut HAN REDMANA, di dalam membahas teori ini harus mendasarkan diri pada teori CENTRAL
PLACE – nya WALTER CHRISTALLER, di mana menurutnya teori GROWTH POLES ini digunakan untuk
membahas perencanaan pembangunan nasional di Indonesia, yang pelaksanaannnya menggunakan
pendekatan regional. Perencanaan pembangunan ini tidak lain adalah menyelaraskan antara
‘pembangunan nasional’ dengan ‘pembangunan regional’. Ini berarti bahwa, di dalam setiap
kegiatan pembangunan, di samping pertimbangan-pertimbangan sektoral, harus pula diperhatikan
pertimbangan-pertimbangan regional. Teori GROWTH POLES menyarankan perlunya untuk
memusatkan investasi dalam sejumlah sektor kecil sebagai sektor kunci di beberapa tempat

7
tertentu. Di dalam memusatkan usaha pada sejumlah sektor dan tempat yang kecil, diharapkan
pembangunan akan menjalar ke sektor-sektor lain pada seluruh wilayah. Dengan demikian, sumber
daya mineral dan manusia yang digunakan dapat dimanfaatkan lebih baik dan lebih efisien. Adapun
sektor kunci yang dimaksudkan di sini adalah, sektor industri atau wilayah lain dengan kaitan ke
belakang dan ke depan (backward and forward linkage). Sektor ini sering juga dinamakan dengan
‘kesatuan yang memimpin’ (leading sector) yang mempengaruhi perkembangan unit-unit lain
dengan stimulasi ataupun hambatan.

Kesatuan yang memimpin tadi akan berubah menurut waktu, bergeser dari satu kegiatan ke
kegiatan yang lain. Di negara-negara maju, kegiatan-kegiatan tersebut mungkin saja dalam sektor
jasa. Di samping itu, pengaruh dari leading sector memerlukan waktu tertentu untuk dapat
dirasakan oleh sektor-sektor lainnya dan berbeda menurut sektor-sektornya, dan juga tergantung
dari macam pengaruhnya. Faktor lain yang penting yaitu, reaksi penduduk terhadap sumber daya
alam yang tersedia ; jika tidak ada reaksi, maka pembangunan tidak berhasil. Ringkasnya, teori
kutub-kutub pembangunan itu meneranglan akibat dari sekelompok leading sector dengan istilah
polarisasi. Isinya, proses pembesaran dari kutub atau makna komprehensifnya akibat stimulasi
berasal dari integrasi ruang yang sedang berlaku.

Dari pembahasan di atas jelas bahwa, untuk penerapan teori GROWTH POLES, harus terlebih dahulu
diketahui hirarkhi tempat-tempat pusat (CENTRAL PLACES). Tetapi, di samping untuk memilih kutub-
kutub pertumbuhan diperlukan pengetahuan tentang peranan tempat pusat dalam waktu lampau,
suatu pandangan ke depan dan pertimbangan-pertimbangan lokasi. Misalnya, antara lain :
keterjangkauan suatu tempat, tersedianya sumber daya dan perubahan dari perilaku dan sikap
penduduk, serta aneka perubahan teknologi.

Sumber: Soembodo, Benny, 2012. Ekologi Kota. Surabaya: PT. Revka Petra Media

Anda mungkin juga menyukai