Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. HIV (Human Immunodeficiency Virus)


1.1 Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh
adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh
defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh
human immunodeficiency virus.
HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan
terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui
oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko
yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling
mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah)
ibunya, namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena
bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui jalan lahir.
Intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya
vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu
terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui
menyusui. Tetapi mengingat ASI memiliki banyak manfaat yang lebih besar,
maka sebaiknya bayi dari ibu terinfeksi HIV tetap diberikan ASI ekslusif
dengan pengobatan yang adekuat ataupun dengan susu pengganti ASI
disertai pengobatan yang tepat.
1.2 Transmisi
Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat
persalinan sekitar 10 – 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui
sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terjadi pada minggu –
minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui.
Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya
terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan
kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat
melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi,
sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular
HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV,
namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri ataupun
parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat
rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir
ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi.
Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan
cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi. ASI dari
ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih
rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi
HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti
ASI. Frekuensi penularan melalui asi dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15%
dari populasi.

Gambar 1. Penularan HIV Ibu ke Bayi8


Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke
anak selama persalinan adalah:
1. Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan
melalui bedah sesar (sectio caesaria).
2. Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam.
4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
Berdasarkan tahapan waktu seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan
kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, yaitu:
1. Antepartum
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral,
jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV,
malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat,
perokok, korionik villus sampling (CVS), amniosintesis,berat badan
ibu.
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama
terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka
penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala
yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya
keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis
dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan
imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas
(dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di
dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap
menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan
antiretrovirus.
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga
mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya.
Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia
ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus
(CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko
tinggi untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan
hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk
menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu
pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan
yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan
vertikal.
2. Intrapartum
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah
ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode,
penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, dan
episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan
vertikal. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti
tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala janin dan
episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.
3. Post partum melalui menyusui
a. Telah diketahui air susu ibu dengan infeksi HIV mengandung proviral
HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti
antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV
dengan CD4+. Kebanyakan kasus penularan terjadi pada wanita yang
diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat
pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV,
pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh
karena terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga di
Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki
resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan pilihan
terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2 strategi
sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan
pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu.
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi
yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding).
Risiko akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet
(mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara
berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang
peranan penting. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah
dengan teknik menyusui yang baik.

1.3 Manifestasi klinis


Orang yang telah terinfeksi HIV pada umumnya akan mengalami
berbagai gejala – gejala sebagai berikut :
- Gejala Konstitusi
Sering disebut sebagai AIDS related complex, dimana penderita
mengalami paling sedikit 2 gejala kelinis yang menetap yaitu:
a. Demam terus menerus >37,5°C
b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah
bening di luar daerah inguinal
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus
- Gejala infeksi oportunistik
Gejala infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh
penderita sudah sangat lemah sehingga tidak mampu melawan infeksi
bahkan terhadap patogen yang normal pada tubuh manusia. Infeksi yang
paling sering ditemukan ,yaitu:
a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), infeksi yang paling banyak
yang disebabkan protozoa yang masuk kedalam paru dan berkembang
sangat pesat menjadi pneumonia, gejala yang ditimbulkan batuk
kering, demam dan sesak.
b. Tuberkulosis , disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis
c. Toksoplasmosis , gejalanya berupa sakit kepala, demam, sampai
kejang dan koma.
d. Infeksi mukokutan, seperti herpes simpleks, herpes zoster dan
kandidiasi adalah yang paling sering ditemukan.
Menurut klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO dapat dibagi
menjadi 4 stadium, yaitu :7
1) Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
2) Stadium 2
 Berat badan turun < 10 %
 Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi
jamur, kuku, ulkus oral rectum, cheilitis angularis)
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 Infeksi saluran nafas atas rekuren
3) Stadium 3
 Berat badan turun > 10 %
 Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
 Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan
 Kandidiasis oral
 Oral hairy leucoplakia
 Tuberculosis paru
 Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis)
4) Stadium 4
 HIV wasting syndrome
 Pneumonia Pneumocystis carinii
 Toksoplama serebral
 Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
 Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah
bening (misalnya retinitis CMV)
 Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
 Progressive multifocal leucoencephalopathy
 Mikosis endemic diseminata
 Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
 Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
 Septikemia salmonela non-tifosa
 Tuberkulosis ekstrapulmoner
 Limfoma
 Sarkoma Kaposi
 Ensefalopati HIV
2. Hepatitis
2.1 Definisi
Hepatitis adalah inflamasi dari hepar yang dapat disebabkan oleh
terpaparnya hepar dengan bahan kimia tertentu, penyakit autoimun, atau
infeksi bakteri tetapi paling sering disebabkan oleh beberapa virus.
Seorang ibu dikatakan mengidap atau menderita hepatitis B kronik apabila :
1. Bila ibu mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan
dan tetap positif selama masa kehamilan dan melahirkan.
2. Bila status HbsAg positif tidak disertai dengan peningkatan SGOT/PT
maka, status ibu adalah pengidap hepatitis B.
3. Bila disertai dengan peningkatan SGOT/PT pada lebih dari 3 kali
pemeriksaan dengan interval pemeriksaan setiap 2-3 bulan, maka status
ibu adalah penderita hepatitis B kronik.
4. Status HbsAg positif tersebut dapat disertai dengan atau tanpa HBeAg
positif.
2.2 Patogenesis
Infeksi virus HBV biasanya ditularkan melalui perkutaneus atau mukosa
yang terpapar dengan darah yang terinfeksi dan berbagai cairan tubuh
lainnya, termasuk saliva, darah menstruasi, cairan vagina, dan cairan mani.(5)
Menurut teori, ada tiga rute yang mungkin untuk transmisi HBV dari ibu
yang terinfeksi kepada bayinya:
1. Transmisi transplasental dalam rahim.
a) Melewati barrier plasenta: darah ibu yang mengandung HbeAg positif
dapat melewati plasenta yang dapat diinduksi oleh kontraksi uterus
selama kehamilan dan gangguan barrier plasenta (seperti persalinan
prematur atau abortus spontan).
b) Penelitian lain juga menyebutkan bahwa HBV- DNA ada pada oosit
wanita yang terinfeksi dan sperma dari pria yang terinfeksi. Oleh
karena itu, janin dapat terinfeksi HBV sejak konsepsi jika salah satu
pasangan terinfeksi HBV.
c) Kemungkinan lain transmisi intrauterin selain melalui darah ibu adalah
melalui sekret vagina yang mengandung virus.(1)
2. Transmisi saat melahirkan.
Transmisi HBV dari ibu ke janin saat persalinan dipercaya karena
akibat dari terpaparnya janin dengan sekret serviks dan darah yang
terinfeksi saat persalinan.
3. Transmisi postnatal selama perawatan atau melalui ASI.
Infeksi HBV dapat terjadi postnatal, bukan hanya karena transmisi dari
ibu ke bayi namun dapat pula antar anggota keluarga yang terinfeksi ke
bayi. Selain itu, meskipun HBV-DNA ada pada ASI ibu yang terinfeksi,
menyusui bayi mereka bukan merupakan resiko tambahan untuk transmisi
HBV asalkan sudah diberikan imunoprofilaksis atau imunisasi sesaat
setelah lahir dan diberikan sesuai jadwal. Tidak perlu menunda menyusui
hingga bayi tersebut divaksin lengkap sesuai usia.
2.3 Gejala Klinik
1. Fase Akut
Fase pre-ikterik atau fase prodormal dari gejala awal sampai fase
ikterik biasanya berkisar antara 3 hingga 10 hari. Fase ini biasanya tidak
memiliki gejala spesifik, namun biasanya pasien merasa tidak enak
badan, anorexia, mual, muntah, nyeri perut pada kuadran kanan atas,
demam, sakit kepala, myalgia, rash pada kulit, arthralgia dan arthritis,
dan urin berwarna gelap, gejala-gejala ini dapat terjadi 1 sampai 2 hari
sebelum fase ikterik. Fase ikterik biasanya terjadi selama 1 hingga 3
minggu dan ditandai dengan ikterik, feses yang berwarna pucat atau
keabu-abuan, dan hepatomegali (splenomegali jarang terjadi).
Hepatitis B akut terdiri dari fase ikterik dan fase resolusi. Fase ikterik
ditandai dengan sklera menjadi kuning dengan waktu rata-rata 90 hari
sejak terinfeksi sampai menjadi kuning. Pada pasien dengan bilirubin
lebih dari 10 mg/dL, keluhan lemas dan kuning biasanya berat dan
keluhan dapat bertahan sampai beberapa bulan sebelum resolusi
sempurna. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, nafsu makan
menurun, demam, nyeri perut dan ikterik. McMahon dkk, melaporkan
hanya sekitar 30-50% orang dewasa mengalami fase ikterik pada
hepatitis B akut, sedangkan pada bayi dan anak-anak lebih jarang terjadi
ikterik pada hepatitis B akut. Resolusi dari hepatitis B akut berhubungan
dengan eliminasi virus dari darah dan munculnya anti-HBs.(8) Pasien
hepatitis B akut dengan sistem imun yang baik dapat sembuh spontan
pada lebih dari 95% pasien, sedangkan sisanya dapat berkembang
menjadi infeksi hepatitis B kronik atau hepatitis fulminan walaupun
jarang terjadi.
2. Fase Kronik
Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B Kronik dapat
dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
a) Hepatitis B kronik aktif. HbsAg positif dengan DNA VHB lebih dari
105 IU/ml didapatkan kenaikkan ALT (alanin aminotransferase) yang
menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda
penyakit hati kronis. Pada biopsi hati didapatkan gambaran
peradangan yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokkan
menjadi Hepatitis B Kronik HbeAg positif dan Hepatitis B Kronik
HBeAg negatif.
b) Carrier VHB Inaktif ( Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok
ini HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang
dari 105 IU/ml. Pasien menunjukkan kadar ALT normal dan tidak
didapatkan keluhan.
Pada hepatitis B tidak semua orang memiliki gejala dan tidak
mengetahui dirinya telah terinfeksi, khususnya pada anak-anak.
Kebanyakan pada orang dewasa gejalanya terjadi setelah 3 bulan
paparan. Jika telah kronis akan memunculkan gejala yang sama dengan
infeksi akut setelah bertahun-tahun.
Masa Inkubasi infeksi hepatitis B adalah 90 hari (rata-rata 60-150
hari). Onset penyakit ini sering tersembunyi dengan gejala klinik yang
tergantung usia penderita. Kasus yang fatal dilaporkan di USA sebesar
0,5-1 %. Sebagian infeksi akut VHB pada orang dewasa menghasilkan
penyembuhan yang sempurna dengan pengeluaran HBsAg dari darah
dan produksi anti HBs yang dapat memberikan imunitas untuk infeksi
berikutnya. Diperkirakan 2-10 % infeksi VHB menjadi kronis dan
sering bersifat asimptomatik dimana 15-25 % meninggal sebelum
munculnya sirosis hepatis atau kanker hati. Gejala akut dapat berupa
mual, muntah, nafsu makan menurun, demam, nyeri perut dan ikterik.

3. Sifilis
3.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan
oleh bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat
sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh.
Terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan
kepada bayi di dalam kandungan.
3.2 Patogenesis Sifilis pada Kehamilan
Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual,
dimana pada sifilis kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari
transmisi transplasental dari Treponema pallidum. Penularan melalui
hubungan seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit
pada sifilis primer atau sekunder. Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak
diobati tampaknya dapat pulih, namun dapat mengalami kekambuhan dalam
periode sampai dengan dua tahun. Oleh karena itu, seseorang dapat lebih
berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan kedua dari periode
terinfeksi sifilis yang tidak diobati.
Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali
kontak seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara
sistemik, treponema menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi.
Pada ibu hamil yang terinfeksi treponema dapat mentransmisikan infeksi
pada fetus dalam uterin segera setelah onset infeksi. Transmisi pada fetus
intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini pada minggu
kesembilan kehamilan. Ibu hamil terinfeksi sifilis yang berada pada stadium
laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus.

Gambar. Transmisi sifilis dari ibu ke fetus

3.3 Manifestasi Klinis Infeksi Sifilis pada Kehamilan


Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang
kemudian menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal,
tidak nyeri, dasar bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun
kaang dapat multipel. Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada
pria, lesi umumnya ditemukan di sulkus koronal pada glan penis atau batang
penis, sedangkan pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina,
atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang terjadi. Apabila tidak diobati,
ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu tanpa
meninggalkan bekas luka.
Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan
infeksi sifilis secara umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang
didiagnosis dengan sifilis masih berada dalam tahap asimptomatis. Adapun
gejalanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:19
A. Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90
hari (ratarata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai
berdiameter 0,5-1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi
yang menghasilkan chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau
sedikit memanjang, dengan tepi yang mengeras sebanyak 1-2 cm).

Gambar. Chancre pada sifilis primer


Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm,
tanpa disertai rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan seringkali terjadi secara
bilateral. Pada sifilis primer, biasanya ditemukan lesi soliter tetapi lesi
multipel juga dapat terjadi. Lesi primer pada area non-genital dapat
terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi atipikal, khususnya pada
area anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di area genital,
perineal atau anal. Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang
lainnya juga dapat terkena. Kebanyakan chancre ditemukan pada penis
(untuk pria), dan labia atau servik (untuk wanita). Chancre pada wanita
ini cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri. Akibatnya, sifilis
primer pada wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang menjadi
sifilis sekunder. Di lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan
dalam 3-6 minggu melalui mekanisme imun tubuh, walaupun tanpa
mendapatkan pengobatan.19
B. Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang
disertai beberapa perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise,
radang tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun
mukosa. Pada tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui
sistem hematogen dan limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada
darah, kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan serebrospinal. Sekitar 25%
pasien sifilis sekunder memiliki kelainan pada cairan serebrospinal,
dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang
hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien
sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul
erupsi makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas,
termasuk telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan,
menyebar, dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau
terkadang halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula,
kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki.
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus
dengan tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai
sariawan/apthous ulcer yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa
sebagai plak keabuan yang lebih besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan
terjadi pada beberapa kasus.
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi
putih atau keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah
yang hangat dan lembab. Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis
sekunder yang mengalami perubahan kulit pada area yang hangat dan
lembab, seperti aksila dan daerah lipat paha. Saat ini kondiloma lata
seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre primer, utamanya daerah
perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penyebaran
secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder merupakan
penyakit sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya memperhatikan
manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun
hasil tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga
dilakukan pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi
neurosifilis asimptomatis, walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan
pungsi lumbal pada semua pasien dengan kemungkinan sifilis laten.

Gambar Manifestasi kutaneus dan mukosa sifilis sekunder


.
C. Tersier

Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan


oleh manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf
pusat (SSP), ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh
darah besar. Interval waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium
tersier dari penyakit ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada
era sebelum penggunaan antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks
sifilis yang tidak diobati akan berkembang menjadi komplikasi tersier,
dimana neurosifilis merupakan komplikasi tersering. Sifilis tersier secara
umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: neurosifilis, sifilis
kardiovaskular, dan late benign syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi
yang tidak diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi
meningitis sifilis asimtomatik, ataupun berkembang menjadi meningitis
sifilis simptomatik. Perkembangan selanjutnya dapat menuju sifilis
meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer) atau terus
berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia
(31%), and kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala
umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan
mood selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan gangguan
perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi
granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan.
Kebanyakan terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih
jarang pada mukosa dan viscere seperti otot, dan struktur okular.
Manifestasi pada kulit dapat berupa nodular atau nodul ulseratif dan lesi
soliter.
4. Eliminasi Penularan
4.1 Target
Pemerintah menetapkan target pencapaian awal program Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak pada tahun 2022,
dengan indikator Eliminasi Penularan sebagai berikut:
a. HIV : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru HIV pada bayi baru lahir
dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi HIV per 100.000 kelahiran
hidup.
b. Sifilis : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Sifilis pada bayi baru
lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi Sifilis per 100.000
kelahiran hidup.
c. Hepatitis B : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Hepatitis B pada
bayi baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi Hepatitis B
per 100.000 kelahiran hidup.
Pemeriksaan ada atau tidaknya penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis dari
ibu ke anak dilakukan sesuai waktunya masing-masing sebagai berikut :
a. Infeksi HIV dilakukan dengan pemeriksaan PCR DNA kualitatif
menggunakan sediaan darah (serum) atau Dried Blood Spot (DBS) pada
bayi usia 6 minggu atau lebih dan dinyatakan terinfeksi HIV jika hasil
pemeriksaan positif.
b. Infeksi Sifilis dengan pemeriksaan titer Reagen Plasma Reagin (RPR)
bayi pada usia 3 bulan dan ibu dan dinyatakan terinfeksi Sifilis jika: a.
Titer bayi lebih dari 4 kali lipat titer ibunya, misal jika titer ibu 1:4 maka
titer bayi 1:16 atau lebih; atau b. Titer bayi lebih dari 1:32.
c. Infeksi Hepatitis B dengan pemeriksaan HBsAg pada saat bayi berusia 9
bulan ke atas dan dinyatakan terinfeksi Hepatitis B jika HBsAg positif.
Dalam menentukan tercapainya indikator Eliminasi Penularan tersebut
dapat dilihat dari cakupan kegiatan sebagai berikut:

Kegiatan HIV Sifilis Hepatitis B


1. Pelayanan Cakupan 2018 : 60% dari ibu hamil diperiksa HIV,
antenatal, Sifilis, dan Hepatitis B Cakupan 2019 : 70% dari
deteksi dini ibu hamil diperiksa HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
lengkap Cakupan 2020 : 80% dari ibu hamil diperiksa HIV,
berkualitas Sifilis, dan Hepatitis B Cakupan 2021 : 90% dari
ibu hamil diperiksa HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
Cakupan 2022 : 100% dari ibu hamil diperiksa
HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
2. Penanganan 100% ibu 100% ibu 100% ibu hamil
bagi ibu hamil dengan hamil dengan dengan
hamil dengan HIV diobati Sifilis diobati Hepatitis B
hasil positif Antiretroviral dengan mendapatkan
(ARV), berupa Benzatin rujukan untuk
Kombinasi Penicilin G 2,4 kasus Hepatitis
Dosis Tetap juta IU IM B.
(KDT) yang dosis tunggal
dikonsumsi pada fase dini,
satu kali dalam diulang 2 kali
1 hari, seumur dengan selang
hidup waktu 1
minggu atau
dirujuk
3. Persalinan 100% ibu bersalin di fasilitas pelayanan kesehatan
dan ditolong oleh tenaga kesehatan
4. Penanganan 100% anak 100% anak dari 100% anak dari
anak dari ibu dari ibu HIV ibu Sifilis ibu Hepatitis B
terinfeksi mendapat mendapat mendapat
profilaksis pengobatan pelayanan
ARV dalam 6- dosis tunggal standar vitamin
12 jam, paling Benzatin K dan imunisasi
lambat 72 jam Penicilin G HB0 <24 jam
sampai usia 6 50.000 dan HB1 <24
minggu, IU/kgBB IM, jam, dilanjutkan
selanjutnya pemeriksaan dengan
ditambahkan titer RPR usia imunisasi HB1,
profilaksis 3 bulan 2, dan 3, dan 4
kotrimoksazol, dibandingkan (vaksin
pemeriksaan titer ibunya, DPTHB-Hib)
EID (PCR atau sesuai dengan
kualitatif dgn pemeriksaan program
DBS) dan atau lain atau imunisasi
RNA/Viral pemantauan nasional;
load mulai 6 klinis sampai 2 pemeriksaan
minggu, atau tahun serologis
pemeriksaan HBsAg saat
serologis pada bayi usia 9-12
usia 18 bulan bulan.
5. Hasil 95%-100% 95%-100% 95%-100% anak
pemeriksaan anak dari ibu anak dari ibu dari ibu
pada anak HIV, hasil Sifilis hasil Hepatitis B hasil
pemeriksaan- pemeriksaanny pemeriksaan
nya negatif a negatif titer HBsAg nya
RPR negatif negatif.
atau sama
dengan titer ibu
anak sehat,
tanpa cacat
atau kematian
4.2 Kegiatan Eliminasi Penularan
Penyelenggaraan Eliminasi Penularan dilakukan melalui kegiatan
promosi kesehatan, surveilans kesehatan, deteksi dini, dan/atau penanganan
kasus.
1. Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi advokasi,
pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan, yang ditujukan untuk:
a. meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat deteksi dini
penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B secara inklusif terpadu dalam
pelayanan antenatal sejak awal kunjungan pemeriksaan trimester
pertama (K1).
b. meningkatkan pengetahuan dan tanggung jawab ibu hamil sampai
menyusui, pasangan seksual, keluarga, dan masyarakat perihal
kesehatan dan keselamatan anak, termasuk perilaku hidup bersih dan
sehat serta pemberian makanan pada bayi.
c. meningkatkan peran serta masyarakat untuk turut serta menjaga
keluarga sehat sejak dari kehamilan.
Dalam kegiatan promosi kesehatan, dipastikan tersosialisasikannya
peraturan dan pedoman ini bagi setiap ibu hamil, masyarakat, dan
pelaksana serta pengambil kebijakan di setiap jenjang pemerintahan,
dengan cara sebagai berikut:
a. meningkatkan pengetahuan, peran dan tanggung jawab tenaga
kesehatan pada umumnya dalam menjamin kelahiran anak yang sehat
dan bebas dari penyakit serta ancaman kecacatan dan kematian.
b. meningkatkan peran dan tanggung jawab penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam memenuhi standar pelayanan, standar prosedur
operasional.
Secara khusus pesan promosi kesehatan yang utama bagi ibu hamil
yaitu:
a. Ibu hamil dan bayi yang dikandungnya berhak tetap sehat dan makin
sehat.
b. Pelayanan antenatal terpadu 10 T bermanfaat bagi kesehatan ibu
hamil dan bayi yang dikandungnya.
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak.
d. Deteksi dini penyakit baik menular maupun tidak menular wajib
ditangani secara dini pada ibu hamil.
e. Rujukan dan pendampingan dapat dilakukan tenaga kesehatan untuk
memastikan kehamilan berlangsung dengan baik dan janin yang
dikandung sejahtera.
f. Masyarakat dapat mendukung secara pribadi ataupun kelompok agar
setiap ibu/perempuan hamil tetap sehat.
2. Surveilans Kesehatan
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian
penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan
untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Dalam program Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis
B dari ibu ke anak, populasi utama target surveilans kesehatan adalah
populasi ibu hamil di wilayah kerja setiap tahun secara
berkesinambungan. Surveilans kesehatan pada program Eliminasi
Penularan ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan, pelaporan,
dan analisis terhadap data ibu hamil dan anak yang terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Eliminasi Penularan. Pencatatan, pelaporan, dan analisis data tersebut
dapat menggunakan sistem informasi.
Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan, dalam melakukan
analisis data mengacu pada indikator kegitan Eliminasi Penularan yang
dibuat berdasarkan lingkup dalam Eliminasi Penularan. Indikator
kegiatan Eliminasi Penularan tersebut terdiri atas indikator program
kesehatan ibu dan anak/kesehatan keluarga, program pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS dan PIMS khususnya Sifilis, serta program
pencegahan dan pengendalian Hepatitis Virus khususnya Hepatitis B.
3. Deteksi Dini
Deteksi dini adalah upaya untuk mengenali secepat mungkin gejala,
tanda, atau ciri dari risiko, ancaman, atau kondisi yang membahayakan.
Deteksi dini, skrining, atau penapisan kesehatan pada ibu hamil
dilaksanakan pada saat pelayanan antenatal agar seorang ibu hamil
mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat,
serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Deteksi dini dilakukan
sejak masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses persalinan,
sifatnya wajib melalui pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mewujukan deteksi
dini yang paripurna maka dilakukan:
a. Deteksi dini kehamilan dalam pelayanan antenatal terpadu
berkualitas dan lengkap dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di setiap
fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Deteksi dini risiko infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dilakukan
melalui pemeriksaan darah paling sedikit 1 (satu) kali pada masa
kehamilan.
Pada Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari ibu ke
anak, deteksi dini penularan infeksi hanya dapat diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium sampel darah pada ibu hamil dan deteksi dini
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis
B.
Alur Deteksi Dini HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu Hamil Dalam
Pelayanan Antenatal Terpadu
Dari gambar skema ini terlihat bahwa pintu masuk upaya Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B adalah pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test (RDT) pada kunjungan antenatal ibu hamil yang
dilakukan bersama-sama secara inklusif dengan pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya pada ibu hamil yaitu golongan darah dan Hb,
disertai malaria untuk daerah endemis, protein dari urin dan sputum
dahak untuk basil tahan asam (BTA) tuberkulosis bila ada indikasi batuk
atau B3B. Permintaan pemeriksaan laboratorium lain pada pelayanan
antenatal di Puskesmas dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hasil
yang diharapkan pada deteksi dini Eliminasi Penularan adalah hasil
yang negatif sehingga upaya lanjut yang dilakukan adalah
mempertahankan ibu hamil tersebut tetap negatif. Deteksi dini pada
kehamilan ini dapat diulang pada ibu hamil dan pasangan seksualnya
minimal 3 bulan kemudian atau menjelang persalinan, atau apabila
ditemukan indikasi atau kecurigaan.
4. Penanganan Kasus
Penanganan kasus adalah proses atau cara menangani atau mengatasi
kasus/keadaan yang tidak diharapkan atau berisiko membahayakan agar
berubah menjadi tidak berisiko atau tidak membahayakan. Untuk
menghindari risiko atau bahaya penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
dari ibu ke anak, dilakukan:
1) Penanganan yang diberikan sesuai kebutuhan kesehatan
masingmasing ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B
dan bayi yang lahir dari ibu tersebut.
2) Penanganan bagi ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis
B dilakukan sesuai dengan tata laksana kedokteran.
3) Penanganan bagi bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B dilakukan sesuai kondisi kesehatan bayi
tersebut.
Penanganan kasus terbagi atas penanganan pada ibu hamil terinfeksi
HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dan penanganan bayi dari ibu yang
terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B. Bentuk penanganan
tersebut sebagai berikut:
1) Penanganan Pada Ibu Hamil Terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B
Penanganan pada ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
secara ringkas dapat dilihat pada skema berikut:
2) Penanganan Pada Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B
Penanganan pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B dilakukan dengan:
a. Tata Laksana Medis
Tata laksana medis pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B dilaksanakan sesuai dengan tata laksana
keprofesian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Pemberian Makanan
Pemberian makanan pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B seharusnya telah dilakukan edukasi dan
konseling selama kehamilan. Secara umum Air Susu Ibu (ASI)
adalah makanan terbaik bayi dan pilihan pertama, adapun
pemberian ASI sebagai berikut:
- Pada bayi dari ibu dengan Sifilis dan Hepatitis B, ASI
Eksklusif dapat diberikan pada bayi dari ibu terinfeksi Sifilis
dan Hepatitis B.
- Pada bayi dari ibu dengan HIV, pemberian makanan pada bayi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
c. Jadwal Kunjungan Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B
Jadwal kunjungan pemeriksaan bayi dari ibu terinfeksi HIV,
Sifilis dan Hepatitis B relatif sama waktunya, terkecuali bila
dianjurkan lain oleh dokter spesialis anak yang menanganinya.
Jadwal Kunjungan pemeriksaan Bayi dari Ibu HIV, Sifilis
dan/atau Hepatitis B
d. Pemberian Imunisasi Bagi Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B
Imunisasi pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggaraan immunisasi.
- Anak dengan HIV tetap perlu diberikan imunisasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
beberapa jenis vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup
seperti BCG dan Polio oral. Pemberian imunisasi BCG dan
Polio oral pada ibu dengan HIV positif harus menunggu hasil
pemeriksaan bayi yang dilahirkan. Dalam hal hasil
pemeriksaan positif maka imunisasi BCG dan Polio oral tidak
boleh diberikan. Imunisasi campak/MR yang juga mengandung
mikroorganisme hidup dapat diberikan kepada bayi dengan
HIV apabila secara klinis kondisi bayi baik (asimtomatik).
Dianjurkan pemberian imunisasi pada bayi dengan HIV
dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.
- Immunisasi pada bayi dari Ibu Sifilis.
Setiap bayi dari ibu Sifilis wajib dilakukan imunisasi sesuai
dengan jadwal imunisasi rutin nasional. Dianjurkan pemberian
imunisasi pada bayi lahir dari ibu sifilis dilakukan dengan
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.
- Imunisasi pada bayi dari Ibu Hepatitis B
Setiap bayi dari ibu Hepatitis B wajib dilakukan imunisasi
dengan jadwal imunisasi seperti telah ditetapkan, terutama
untuk jadwal Imunisasi Hepatitis yaitu HB0,1,2,3.
Keberhasilan Eliminasi Penularan Hepatitis B dari ibu ke anak
bukan semata-mata terlindungi dengan pemberian HBIg saat
lahir tetapi lebih merupakan kombinasi dengan imunisasi
4.3 Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi merupakan kegiatan yang berkelanjutan.
pemantauan adalah pengawasan kegiatan secara rutin dalam menilai
pencapaian program terhadap target melalui pengumpulan data mengenai
input, proses, dan luaran secara regular dan terus menerus yang dapat
menghasilkan indikator-indikator perkembangan dan pencapaian suatu
kegiatan terhadap tujuan yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut
diperuntukkan bagi kegiatan yang sedang berjalan. Pemantauan biasanya
menjawab pertanyaan “apa yang terjadi”, dan dilakukan selama proses
kegiatan atau program berlangsung. Evaluasi adalah suatu proses untuk
membuat penilaian secara sistematik mengenai suatu kebijakan, program,
proyek, atau kegiatan berdasarkan informasi dan hasil analisis dibandingkan
relevansi, keefektifan biaya, dan keberhasilannya untuk keperluan pemangku
kepentingan.
Pemantauan dan evaluasi dalam program Eliminasi Penularan meliputi
kegiatan pemantauan ibu hamil selama masa hamil, bersalin, dan nifas, dan
pemantauan tumbuh kembang anak dan imunisasi secara khusus terkait HIV,
Sifillis, dan Hepatitis B. Pemantauan dan evaluasi kegiatan Eliminasi
Penularan dilakukan secara berkala paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali.
Adapun tujuan pemantauan dan evaluasi Eliminasi Penularan antara lain:
a. Memantau proses dan perkembangan implementasi kegiatan Eliminasi
Penularan secara berkala dan berkelanjutan.
b. Mengidentifikasi masalah dan kesenjangan dalam implementasi kegiatan
Eliminasi Penularan.
c. Mengatasi masalah yang teridentifikasi serta mengantisipasi dampak dari
permasalahan.
d. Menganalisis relevansi, efisien, efektifitas, dampak, dan keberlanjutan
kegiatan program Eliminasi Penularan.
Dalam penilaian keberhasilan Eliminasi Penularan, Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dapat memberikan Sertifikat Eliminasi Penularan
sebagai penghargaan atas keberhasilan Eliminasi Penularan. Sertifikat
Eliminasi Penularan berupa pernyataan tertulis telah tercapainya Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dari ibu ke anak, sesuai dengan
target dan indikator yang telah ditetapkan.
Pemberian Sertifikat Eliminasi Penularan harus memenuhi
ketentuanketentuan sebagai berikut:
a. Kriteria Eliminasi Penularan
1. HIV : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru HIV pada bayi baru
lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi HIV per 100.000
kelahiran hidup, selama 3 tahun berturut-turut.
2. Sifilis : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Sifilis pada bayi
baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi Sifilis per
100.000 kelahiran hidup, selama 3 tahun berturut-turut.
3. Hepatitis B : Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Hepatitis B
pada bayi baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi
Hepatitis B per 100.000 kelahiran hidup, selama 3 tahun berturut-
turut.
Eliminasi penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak
dapat ditetapkan secara terpisah ataupun bersama-sama.
4.4 Pencegahan
Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah kegiatan yang
komprehensif, dari pelayanan, pencegahan, terapi, dan perawatan, untuk ibu
hamil dan bayinya, selama masa kehamilan, persalinan, dan sesudahnya.
Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke
bayi yang dikandungnya merupakan inti dari PPIA. Intervensi yang
dilakukan berupa: pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif,
layanan testing dan konseling, pemberian obat antiretrovirus (ARV),
konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi,
dan persalinan yang aman.
Pada ibu hamil, HIV merupakan ancaman bagi keselamatan jiwa ibu
dan bayi yang dikandungnya, karena penularan terjadi dari ibu ke bayi.
Lebih dari 90 persen penularan HIV pada anak didapat vertikal akibat
transmisi dari ibu ke bayi. Mayoritas ditemukan pada anak di bawah 5 tahun.
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada kehamilan 5-10 persen,
persalinan 10-15 persen, dan pasca-persalinan 5-20 persen. Menurut data
Pusdatin 2017, prevalensi infeksi HIV, sifilis dan hepatitis B pada ibu hamil
berturut-turut 0,3 persen, 1,7 persen, dan 2,5 persen. Risiko penularan dari
ibu ke anak, untuk sifilis adalah 69-80 persen dan untuk hepatitis B lebih
dari 90 persen. Jumlah kasus human immunodeficiency virus (HIV) di
Indonesia periode Januari-Mei 2018 sebanyak 12.578 penderita, sedangkan
kasus acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) sebanyak 3.448 kasus.
Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan, 75 persen penderita AIDS
di Indonesia terinfeksi HIV saat masih berusia remaja. Setiap 25 menit, di
Indonesia terdapat 1 orang terinfeksi HIV, yaitu 1 dari setiap 5 orang yang
terinfeksi berusia di bawah usia 25 tahun.
Support dan konseling keteraturan minum obat serta pemeriksaan viral
load pada ibu hamil dengan HIV positif pada kehamilan 34-36 minggu
dilakukan untuk menentukan cara persalinan dan pemberian makanan pada
bayi. Konseling makanan pada bayi yang dikandung dari ibu menderita HIV
bisa memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa mix
feeding/makanan campuran atau bila diberikan susu formula
memperhatikan Prinsip AFASS,
yaitu acceptable (diterima), feasible (terlaksanakan), affordable (terjangkau)
, sustainable (berkelanjutan), dan safe (aman).
Pemberian profilaksis pengobatan pada bayi baru lahir juga dilakukan
sebelum bayi berumur 12 jam. Pemeriksaan pada bayi yang lahir dari ibu
dengan HIV positif dilakukan pada umur 6 minggu dengan melakukan EID
(Early Infant Diagnosis). Semua pelayanan untuk ibu hamil ini dilakukan
secara terintegrasi dari Unit Rawat Jalan, Unit Gawat Darurat, Kamar
Bersalin, Unit Perinatal dan Unit Nifas di RS St. Carolus sebagai Rumah
Sakit Sayang Ibu dan Bayi yang turut berperan serta menyukseskan program
WHO tentang penghapusan penularan HIV dari ibu ke anak, hepatitis B, dan
sifilis di Asia dan Pasifik tahun 2018-2030.

Anda mungkin juga menyukai