Anda di halaman 1dari 15

Makalah Kelompok 3

AGAMA DAN NEGARA

Dosen Pembimbing : Wahyuddin Bakri, S.Si, M.

Disusun Oleh:

NURUL FADILLAH LATIF (17.3200.010)


SUKMAWATI (18.3200.042)
ANITA LESTARI (18.3200.018)
RAFIKA (18.3200.059)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PARE-PARE

2019
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb.

Puji syukur kita panjatkan Tuhan yang Maha Esa sang pencipta
yang telah memberikan rahmat dan berkahnya, Salawat beserta salam kita
curahkan kepada sang proklamor Islam, Tokoh reformis dan reformasi Ummat
yakni Nabiullah Muhammad SAW, sehingga makalah yang berjudul “Agama dan
Negara ”, dapat terselesaikan.

Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada semua orang tua


penulis yang telah memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang
kepada penulis yang tidak terbalaskan dalam bentuk apapun.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kami masih
dalam proses belajar. Oleh karena itu kami senantiasa terima kritik dan saran dari
pembaca.

Parepare, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………..
1.1 LATAR BELAKANG…………………………………………………
1.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………………...
1.3 TUJUAN……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….
2.1 DEFINISI AGAMA...................………………………………….....
2.2 DEFINISI NEGARA………………………......................................
2.3 HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA……….…………………....
BAB III PENUTUP……………………………………………………………....
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….....
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama dan kenegaraan (Religion and Nation State) merupakan tema


diskursus penting di wilayah sosial kemasyarakatan Indonesia, mengingat ketika
masa-masa awal Orde Baru gerakan Agama –Islam- sering diklaim sebagai
gerakan ekstrim, fanatis, puritanis serta sangat tekstualis, yang berusaha mencoba
menggoyahkan sendi dasar negara Indonesia.

Pengalaman historis telah menunjukan bahwa, gerakan idiologisasi Islam,


memang pernah muncul dalam dekade Orde Lama, seperti adanya desakan
sejumlah politikus Islam agar dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta.

Peralihan dekade enam puluhan ke dekade tujuh puluhan terjadi


pertarungan, di mana ide modernisasi baik ekonomi maupun politik dipromosikan
untuk mendominasi tatanan Orde Baru pengganti Orde lama. Pada dekade 70-an
ini juga, merupakan babakan cemerlang, dimana konseptor modernisasi
mengambil peranan bahwa konsepsi modernisasi itu ditandai dengan serangan
terhadap agama terutama Islam, yang oleh kalangan tertentu agar tidak
dimasukkan atau turut menggerakkan kehidupan politik. Dengan demikian
kecenderungan pemerintahan pada dekade ini telah mengadakan restrukturisasi
politik dalam upaya menciut bahkan mengebiri peran politik masyarakat untuk
suksesnya stabilitas. Pada abad ini, sistem politik bercorak powermilitary, yaitu
semakin kuatnya kekuatan negara melalui ABRI. Selain itu dominasi birokrasi,
Golkar bahkan partai-partai lain telah diakomodasi menjadi dua partai yaitu PPP
dan PDI. Kebijakan lain adalah reproduksi elite politik. Dalam merekrut pengikut
politiknya, Pemerintah telah mengambil langka lunak satu sisi dan paksaan secara
tidak langsung dari pihak lain seperti; menarik pemimpin partai lain yang
dianggap lunak dengan pemerintah dan berusaha menekan secara halus bagi
kelompok partai yang keras atau dianggap berseberangan dengannya. Bersama
dengan depolitisasi massa itu, pemerintah Orde Baru mencanangkan apa yang
disebut dengan pembangunan nasional dengan modernisasi sebagai isu sentralnya.

Sepak terjang pemerintahan itu melahirkan reaksi dari kalangan intelektual


muslim yang bertumpu pada dua hal pokok yaitu, reaksi terhadap kebijakan
pemerintah ORBA yang kurang memberikan peluang bagi berkembangnya politik
Islam dan reaksi atas munculnya gagasan modernisasi yang secara langsung
bersentuhan dengan dasar doktrinal Islam. Pada aspek modernisasi itu telah
menempatkan umat Islam dalam posisi resistention dan kurang terlibat, sehingga
timbul fakta sejarah yang menunjukan bahwa massa dalam Islam selalu berada
pada kawasan marginal.

Dari kondisi real itu, telah menciptakan jarak antara massa Islam di satu
pihak dengan kekuatan negara di pihak lain, sehingga hubungan keduanya kurang
harmonis dan dinamis. Persoalannya, massa Islam berorientasi semata-mata
menciptakan kehidupan yang religius dan menjalakan ajaran agama secara hanif.
Sedangkan kekuatan negara lebih cenderung untuk bersikeras sebagai kekuatan
hegemonik.

Fenomena itu, kemudian di tangkap dan di respon oleh para intelektual


muslim guna menjelaskan serta begitu pentingnya dan suatu keharusan
memberikan penjelasan secara konseptual dalam bentuk wacana. Berdasar uraian
tersebut dapat diberikan fokus masalah dalam makalah ini tentang bagaimana
relevansi keagamaan, kenegaraan, serta hubungan agama dan negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu agama?
2. Apa itu negara?
3. Bagaimana hubungan agama dan negara?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu agama
2. Mengetahui apa itu negara
3. Mengetahui hubungan agama dan negara
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Agama

Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus


seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari
bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan
gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara
berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.

Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta,


agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang
bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.

Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki


perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata
‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan
kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki
inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada
Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan
keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk
menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap
bentuk diskriminasi buruk.

Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan


manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat
akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan
kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah
dan larangan kekuatan ghaib tersebut. 1

1
Djalaludin H, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm.15
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang
sering mendifinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya
pada agama yang di anutnya. menurut “Mukti Ali”, mantan menteri
agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya tuhan
yang esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-
utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Sedangkan menurut ”James Martineau” agama adalah kepercayaan


kepada tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang
mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.

FriedrichSchleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak


dari pengetahuan rasional, juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama
berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga
(feelingofabsolutedependence).2

Agama merupakan aspek penting dalm kehidupan manusia. Agama


merupakan fenomena universal karena ditemukan di setiap masyarakat.
Eksistensinya telah ada sejak zaman prasejarah. Pada saat itu, orang sudah
menyadari bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya yang alih-alih bisa
dikontrolnya, kekuatan-kekuatan tersebut bahkan memengaruhi kehidupannya.

Menurut Taylor, berpendapat bahwa agama manusia mengalami


perkembangan dari animisme, totemisme, dan fetishisme. Animisme merupakan
suatu kepercayaan bahwa roh atau jiwa mempunyai eksistensi secara independent
dalam dunia material. Totemisme adalah kepercayaan yang menganggap binatang
dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa dan roh. Sementara itu, fetishisme adalah
kepercayaan bahwa manusia dapat “membujuk” atau memengaruhi kekuatan-
kekuatan supranatural sehingga berpihak bagi kepentingannya.

2
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: PT. Mlizan Pustaka,2004)
hlm. 20-22
Sedangkan menurut Michael Hill, agama adalah seperangkat kepercayaan
yang mempostulatkan: adanya perbedaan antara realitas empiris dan superiotitas
realitas supra-empiris; bahasa dan simbol yang digunakan dalam hubungan
terhadap perbedaan itu; aktivitas dan institusi yang mencurahkan perhatiannya
pada regulasi.

Agama pada umumnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan-


pertanyaan yang sulit dijawab dan didekati dengan ilmu pengetahuan ilmiah.
Agama terdiri atas seperangkat kepercayaan, simbol, dan ritual. Kepercayan
tersebut mengikat individu dan menjadi pedoman hidup bersama. Ritual secara
regular diulang-ulang dan merupakan bentuk perilaku yang ditentukan secara hati-
hati yang melambangkan nilai-nilai atau kepercayaan yang dihargai.

Agama secara umum dapat didefinisikan sebagai sistem kepercayaan dan


praktik-praktik keagamaan yang berdasarkan beberapa nilai-nilai sakral dan
supernatural yang mengarahkan perilaku manusia, memberikan makna hidup, dan
menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral. 3

Metafora Marx mengenai “agama sebai candu masyarakat” secara implisit


merupakan pendeskripsian hubungan antara agama dan negara. Negara
“memanfaatkan” institusi agama untuk kepentingan-kepentingan praktisnya. Pada
masyarakat kapitalis, kaum borjuis sebagai “the rulling class” menggunakan
fatwa-fatwa gereja untuk “membenarkan” eksploitasinya terhadap kaum buru.
Analis Marx ini kemudian banyak diuji dengan sejumlah studi yang bertujuan
untuk membuktikan apakah agama mempunyai kontribusi bagi kepentingan-
kepentigan negara. Studi yang dilakukan Cosgel & Micelli (2009) merupakan
salah satu contoh. Menurut kedua peneliti ini, agama mempunyai dampak positif
bagi negara dalam dua hal yaitu:

3
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: PT. Ar-Ruzz
Media, 2015) hlm. 25-28
1. Pertama, agama menyediakan utilitas bagi penduduk jadi memungkinkan
negara memperoleh pajak sebelum menghadapi reservasi utilitas negara
(berupa revolusi).
2. Kedua, secara potensial menghasilkan legitimasi bagi negara sehingga
meminimalkan biaya penarikan pajak.

Jika dampak yang terakhir cukup kuat, negara dapat mengontrol secara
optimal terhadap agama, meningkatkan efek legitimisasi, atau menekan efek
delegitimisasi. Kompetesi yang lebih ketat dengan pasar agama dan politik
demokratis menyebabkan rendahnya kontrol negara terhadap agama.

Agama dan negara menjadi dua institusi sosial terpenting dalam kehidupan
manusia. Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa agama berperan dalam
mendukung kemampuan negara dalam mengekstraksi sumber daya dari
masyarakat melalui pajak. Hal ini dimungkinkan karena pemerintahannya
dianggap sah (legitimate) dan negara yang berada dalam kondisi stabil (tanpa
revolusi). Kedua persyaratan tersebut memungkinkan negara mengontrol agama,
misalnya melalui penyediaan dana atau keinginan menekan agama. Alasannya
ialah bahwa pasar agama yang independent menyediakan fungsi menenangkan
masyarakat sehingga tidak ada distorsi dalam pembayaran pajak. Jadi, jika agama
hanya berfungsi seperti ini dalam negara, negara mungkin mengorbankan
kedaulatannya untuk mengontrol agama, bahkan biaya untuk mengambil pajak
dalam rangka memaksimalkan keuntungannya (Cosgel & Miceli, 2009). 4

4
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta: PT. Ar-Ruzz
Media, 2015) hlm. 183-184
2.2 Definisi Negara

Negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing,


yakni state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata
tersebut berasal dari bahasa latin status atau statum yang memiliki pengertian
tentang keadaan yang tegak dan tetap. Pengertianstatus atau station (kedudukan).
Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar
manusia yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang
terakhir inilah katastatus selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.

Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi


tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita
untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang
pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah,
dan pemerintahan yang berdaulat. 5

Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :

1. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat)


atau authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan –
persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat
yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan
yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup
bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

5
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006),
hlm. 24
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politk, ia adalah organisasi
pokok dari kekuasaan politik negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat

Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan


kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaanlainnya dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu negara menetapkan
cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam
kehidupan bersama itu, baik oleh individu maupun golongan atau asosiasi,
ataupun juga oleh negara sendiri. 6

2.3 Hubungan Agama dan Negara

Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep


hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran, antara lain paham teokrasi,
paham sekuler dan paham komunis.

1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi


Menurut paham ini, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut
paham ini dijalankan berdasarkan aturan-aturan atau firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan.

2. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler


Menurut paham ini, norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan meskipun mungkin norma-norma
tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.

3. Hubungan agama dan negara menurut paham komunisme


Menurut paham ini, kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai

6
Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani,
(Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000) hal, 31-33
realisasi fantastis makhluk manusia dan agama merupakan keluhan makhluk
tertindas. 7

Dalam sejarah Islam, ada tiga topologi hubungan antara agama dan negara.
Din Syamsuddin membaginya sebagai berikut:

1) Golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara


berjalan secara integral.Domain agama juga menjadi domain negara berjalan
secara integral. Demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan
negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukung
gerakan ini adalah al-Mududi.
2) Golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara
berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan hubungan langsung,
sehinggah kedua wilayahnya masih ada jarak dan kontrol masing-masing,
sehingg agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk
kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan
lembaga negara untuk melakukan ekslerasi pengembangannya, demikian juga
lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan
sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini
diantaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr
Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
3) Golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua
dominan yang berada dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini
memisahkan antara agama dan politik/negara. Oleh sebab itu, golongan ini
menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama
kedalam sistem hukum negara. Salah satu tokoh muslim dunia yang masuk
golongan ini adalah Ali Abd Razid.8

7
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakaat Madani,
(Jakarta : Prenada Media, 2000), hlm. 58-61.

8
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/view/635
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Agama dan negara mempunyai hubungan yang saling berkaitan, di mana


agama itu berhubungan dengan persoalan-persoalan negara. Namun di antara
agama dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman
agama yang berbeda, bukan saja karena alasan sejarah yang berbeda, tetapi
masyarakat Indonesia sendiri memiliki perbedaan-perbedaan.

Indonesia adalah negara yang secara konstitusional bukan negara Islam


ataupun negara agama, tetapi Indonesia mayoritas masyarakatnya memeluk agama
Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Djalaludin H, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004)


Rakhmat Jalaluddin, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: PT. Mlizan
Pustaka, 2004)
Haryanto Sindung, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Postmodern (Yogyakarta:
PT. Ar-Ruzz Media, 2015)
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006),
Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat
madani, (Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000)
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/view/635
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/viewfile/833/802

Anda mungkin juga menyukai