PEMBAHASAN
A. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama
menggunakan secara praktis. Pada dasarnya ulama menggunakan istihsan
dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik.”
Tetapi dalam pengertian istilahnya (biasa berlaku), para ulama berbeda
pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mengartikan
“istihsan”. Ulama yang menggunakan istihsan dalam metode untuk
berijtihad mendefinisikan istihsan dengan “pengertian” yang berlainan
dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Begitupun
sebaliknya, seandainya mereka sepakat dalam mengartikan istihsan itu,
maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya
sebagai suatu metode ijtihad.1
1. Arti Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan,
yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.2
Adapun pengertian istihsan secara istislahi, ada beberapa definisi
“istihsan” yang dirumuskan ulama ushul. Diantara definisi itu ada yang
berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang
disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan
dalam pengamalannya.
a. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
1) Beralih dari Penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih
kuat daripada qiyas pertama.
2) Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat keebiasaan
karena suatu kemaslahatan.
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, cet. Ke-7 (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 346.
2
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-5 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 111.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak
diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan.
Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya.
Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena
berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada
penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya,
baik dalam bentuk nash atau ijma’.
b. Di dalam kalangan Malikiyyah istilah istihsan diantarannya adalah
sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (Termasuk Pakar
Malikiyyah), Istihsan dalam mazhab maliki adalah menggunakan
kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat
kulli.
c. Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana
dikemukakan Ibn Qudamah:
1) Beralihnya Mujahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu
masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil
khusus dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
2) Istihsan itu adalah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh
seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.
3) Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.
d. Dikalangan ulama Hnafiyah istihsan itu ada dua macam yang
dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh al-Sarkhisi:
1) Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan
sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita.
2) Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasagka
sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah
diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam
hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu
1
ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan
oleh karenanya wajib diamalkan.3
2. Macam-Macam dan Kehujjahan Istihsan
Ulama Hanafiyah membagi istihsan kepada enam macam4, yaitu:
a. Istihsan bin nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Maksudnya
ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut
ketentuan umum atau qiyas, wasiat itu tidak boleh, karena
pemindahan hak milik kepada penerima wasiat dilakukan ketika orang
yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Akan tetapi,
kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah Swt. dalam surat
an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
ُوصي بِ َها أ َ ْو دَي ٍْن ِ ِم ْن بَ ْع ِد َو
ِ صيَّ ٍة ي
قال رسول هللاا صلى هللاا عليه وسلممن نسى وهوصائم,عن ابي هريرة قال
رواه البخاري ومسلم,فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه هللاا وسقاه
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, cet. Ke-7 (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 347.
4
Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 171.
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Gema Ar-Risalah, 1989), hlm.
116
2
Artinya: “Barangsiapa yang lupa dan ia sedang berpuasa,
kemudian ia makan dan minum, maka sesungguhnya Allah
memberikannya makan dan minum”.
3
kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para
buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam
masalah keamanan produk, maka ulama mazhab Hanafi
mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik tersebut, baik
disengaja maupun tidak disengaja. Ulama Maliki mencontohkannya
dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang dilarang melihat aurat orang
lain. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka
bajunya untuk kepentingan diagnosis atas penyakitnya, maka untuk
kemaslahatan diri orang tersebut, menurut kaidah istihsan seorang
dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
e. Istihsan bil urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum). Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan
ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan
banyak air dan lama pemandian itu dipergunakan oleh seseorang,
karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam
menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
f. Istihsan bid darurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Artinya
ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid
tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus
sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit
untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya mata air sulit untuk
dikeringkan. Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa
dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup
dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena
keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan
dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.6
6
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Jakarta: Pustaka Amzah, 2011), hlm. 202.
4
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul fiqh tentang kedudukan istihsan sebagai salah satu
metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’, di mana masing-masing
ulama tersebut memiliki argumentasi/dalil dalam mempertahankan
pendapatnya.
رسول هللاا صلى هللاا عليه َوسلم فَما َ َر ا َهُ المسلمون حسنا فهو
ُ قاَل,عن َع ْبد ُ هللاا بِن َمسعُود قاَل
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Gema Ar-Risalah, 1989), hlm.
75.
5
memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat diberlakukan,
maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang dapat memberikan
hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
6
ijma’.8
Bentuk istihsan, burung buas itu haram dagingnya. Selain dari itu
air ludah yang keluar dari dagingnya, bukan bercampur dengan sisa yang
dimakannya itu. Burung itu minum dengan paruh, padahal paruhnya itu
adalah tulang yang bersih. Adapun binatang buas itu minum dengan
lidahnya bercampur dengan air ludahnya. Dalam hal ini dianggap najis
sisa-sisa barang yang dimakannya itu.10
8
Nasrun Harun, Ushul Fiqih I, cet. Ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), hlm. 109.
9
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 95.
10
Ibid.,
7
diperselisihkan pemakaiannya. Artinya para ulama tidak sepakat untuk
memakai itu semuanya sebagai sumber hukum. Ada yang memakai
istihsan ada pula yang menolaknya, dan begitu pula seterusnya.
B. Maslahah Mursalah
Kata‚ maslahah berakar pada al-aslu, merupakan bentuk masdar
dari kata kerja salaha dan saluha, yang secara etimologis berarti manfaat,
faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu Saraf
(morfologi), kata maslahah satu pola dan semakna dengan kata manfa’ah.
Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa
Indonesia menjadi "maslahat" dan "manfaat".
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafaz al-
manfa’at, baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat
masdar yang sama artinya dengan kalimat al-salah seperti halnya lafaz al-
manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-
maslahah itu merupakan bentuk tunggal dari kata al-masalih. Sedangkan
arti dari manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat hukum
syara’ (Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-
Nya. Ada pula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at sebagai
kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.
Maslahah al-Mursalah secara lebih luas, yaitu suatu kemaslahatan
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika
terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada
‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’,
yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau
untuk menyatakan suatu manfaat maka kejadian tersebut dinamakan
8
maslahah al-mursalah. Tujuan utama maslahah al-mursalah adalah
kemaslahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga
kemanfaatannya.11
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan
yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang
membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah itu
disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan
salah.
Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang
menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang
bersifat sangat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang
berdasar perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai
pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu
saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat.
Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada
lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.
Adapun dalil tentang ke-hujjah-an Maslahah al-Mursalah adalah
sebagai berikut :12
1. Sesungguhnya permasalahan tentang perbaikan manusia selalu
muncul dan tidak pernah berhenti. Jika seandainya tidak
menggunakan maslahah al-mursalah maka tidak dapat mengatur
permasalahan-permasalahan yang baru yang timbul untuk
memperbaiki manusia.
2. Sesungguhnya sudah banyak orang yang menggunakan maslahah al-
mursalah, yakni dari para Sahabat, para Tabi’in dan para Mujtahid.
Mereka menggunakan maslahah al-mursalah untuk kebenaran yang
11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-5 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 117.
12
Ibid., hlm. 125.
9
dibutuhkan, seperti Sahabat Abu Bakar mengumpulkan mushaf-
mushaf lalu dibukukan menjadi Al-Qur’an.
10
kalian secara sempit".13
13
Ibid., hlm. 130.
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istihsan merupakan mengambil maslahah yang merupakan bagian
dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-
istidlal al-mursal lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah
tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam
kata lain sering dikatakan bahwa al istihsan adalah beralih dari satu qiyas
ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan. Al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum,
jangan sampai membawa dampak merugikan taoi harus mendatangkan
maslahah atau menghindari madharat, namun bukan bearti istihsan adalah
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan
tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan
dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu: dalam rangka memelihara
agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan atau kehormatan.
Perbedaan pendapat mengenai maslahah mursalah sebagai hujjah
syar’iyyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah
mursalah.
12
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2014. Ushul Fiqih Jilid 2. Cetakan ke-7. Jakarta: Kencana.
Syafe’i Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan ke-5. Bandung: Pustaka Setia.
SA Romli. 2017. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
RI Agma Departemen. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Gema Ar-
Risalah.
Dahlan Rahmad Abd. 2011. Ushul Fiqih. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Amzah.
Harun Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Cetakan ke-2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khallaf Wahab Abdul. 2012. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan ke-6. Jakarta: Rineka
Cipta.
13