Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A. Istihsan
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama
menggunakan secara praktis. Pada dasarnya ulama menggunakan istihsan
dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik.”
Tetapi dalam pengertian istilahnya (biasa berlaku), para ulama berbeda
pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mengartikan
“istihsan”. Ulama yang menggunakan istihsan dalam metode untuk
berijtihad mendefinisikan istihsan dengan “pengertian” yang berlainan
dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Begitupun
sebaliknya, seandainya mereka sepakat dalam mengartikan istihsan itu,
maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya
sebagai suatu metode ijtihad.1
1. Arti Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan,
yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.2
Adapun pengertian istihsan secara istislahi, ada beberapa definisi
“istihsan” yang dirumuskan ulama ushul. Diantara definisi itu ada yang
berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang
disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan
dalam pengamalannya.
a. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
1) Beralih dari Penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih
kuat daripada qiyas pertama.
2) Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat keebiasaan
karena suatu kemaslahatan.

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, cet. Ke-7 (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 346.
2
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-5 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 111.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak
diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan.
Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya.
Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena
berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada
penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya,
baik dalam bentuk nash atau ijma’.
b. Di dalam kalangan Malikiyyah istilah istihsan diantarannya adalah
sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (Termasuk Pakar
Malikiyyah), Istihsan dalam mazhab maliki adalah menggunakan
kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat
kulli.
c. Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana
dikemukakan Ibn Qudamah:
1) Beralihnya Mujahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu
masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil
khusus dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
2) Istihsan itu adalah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh
seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.
3) Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.
d. Dikalangan ulama Hnafiyah istihsan itu ada dua macam yang
dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh al-Sarkhisi:
1) Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan
sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita.
2) Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasagka
sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah
diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam
hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu

1
ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan
oleh karenanya wajib diamalkan.3
2. Macam-Macam dan Kehujjahan Istihsan
Ulama Hanafiyah membagi istihsan kepada enam macam4, yaitu:
a. Istihsan bin nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadis). Maksudnya
ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut
ketentuan umum atau qiyas, wasiat itu tidak boleh, karena
pemindahan hak milik kepada penerima wasiat dilakukan ketika orang
yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Akan tetapi,
kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah Swt. dalam surat
an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
‫ُوصي بِ َها أ َ ْو دَي ٍْن‬ ِ ‫ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي‬

Artinya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah


dibayar hutangnya”.5

Berdasarkan ayat ini, kaidah umum tersebut tidak berlaku untuk


masalah wasiat. Adapun misal istihsan dengan sunnah Rasulullah
Saw. adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa
ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang
tersebut batal karena ia telah memasukkan sesuatu ke dalam
kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan
tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis Rasulullah Saw. yang
berbunyi:

‫ قال رسول هللاا صلى هللاا عليه وسلممن نسى وهوصائم‬,‫عن ابي هريرة قال‬

‫ رواه البخاري ومسلم‬,‫فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه هللاا وسقاه‬

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, cet. Ke-7 (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 347.
4
Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 171.
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Gema Ar-Risalah, 1989), hlm.
116

2
Artinya: “Barangsiapa yang lupa dan ia sedang berpuasa,
kemudian ia makan dan minum, maka sesungguhnya Allah
memberikannya makan dan minum”.

b. Istihsan bil ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’). Misalnya,


pada kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi
dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal tersebut
dilakukan, maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu,
ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama
waktu yang terpakai.
c. Istihsan bil qiyasil khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi). Misalnya dalam masalah wakaf lahan pertanian.
Menurut ketentuan qiyas jali (qiyas yang nyata), wakaf ini sama
dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak
miliknya melalui pemindah tanganan lahan tersebut. Oleh sebab itu,
hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya ke tanah
tersebut tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan
dalam akad. Menurut qiyas khafi (qiyas yang tersembunyi) wakaf
tersebut sama dengan sewa-menyewa, karena maksud dari wakaf
adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat
ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian
tersebut termasuk dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam
akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas
khafi), maka ia berdalil dengan istihsan.
d. Istihsan bil maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya,
ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak
bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditas yang diproduksi
pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena
mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi

3
kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para
buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam
masalah keamanan produk, maka ulama mazhab Hanafi
mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik tersebut, baik
disengaja maupun tidak disengaja. Ulama Maliki mencontohkannya
dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang dilarang melihat aurat orang
lain. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka
bajunya untuk kepentingan diagnosis atas penyakitnya, maka untuk
kemaslahatan diri orang tersebut, menurut kaidah istihsan seorang
dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
e. Istihsan bil urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum). Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan
ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan
banyak air dan lama pemandian itu dipergunakan oleh seseorang,
karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam
menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
f. Istihsan bid darurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Artinya
ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid
tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus
sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit
untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya mata air sulit untuk
dikeringkan. Akan tetapi, ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa
dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup
dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena
keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan
dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.6

6
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Jakarta: Pustaka Amzah, 2011), hlm. 202.

4
Sebagaimana kita ketahui, bahwa ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul fiqh tentang kedudukan istihsan sebagai salah satu
metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’, di mana masing-masing
ulama tersebut memiliki argumentasi/dalil dalam mempertahankan
pendapatnya.

Menurut ulama Hanafi dan Maliki, istihsan merupakan dalil yang


kuat dalam menetapkan hukum syara’. Adapun alasan-alasan yang
mendukung pendapat mereka adalah sebagai berikut:

a. Ayat-ayat yang mengacu kepada menghilangkan kesulitan dari umat


manusia, yaitu firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 185
yang berbunyi:
‫َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َو ََل ي ُِريد ُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر‬
َّ ُ ‫ي ُِريد‬

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak


menghendaki kesukaran bagimu”.7

b. Sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi:

‫رسول هللاا صلى هللاا عليه َوسلم فَما َ َر ا َهُ المسلمون حسنا فهو‬
ُ ‫ قاَل‬,‫عن َع ْبد ُ هللاا بِن َمسعُود قاَل‬

‫رواه احمد‬.‫عند هللاا حسن‬

Artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia


juga dihadapan Allah adalah baik”.

c. Hasil induksi dari berbagai ayat dan hadis terhadap berbagai


permasalahan parsial menunjukkan bahwa memberlakukan hukum
sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan
bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk
menghilangkannya dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab
itu, apabila seseorang mujtahid dalam menetapkan hukum

7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Gema Ar-Risalah, 1989), hlm.
75.

5
memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat diberlakukan,
maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang dapat memberikan
hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Dalam hal ini, Imam asy-Syatibi (w.790 H) mengatakan kaidah


istihsan merupakan hasil rangkuman dari berbagi ayat dan hadis yang
secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini didukung
oleh syara’. Asy-Syatibi memberikan contoh tentang masalah mudarabah
(kerja sama pemilik modal dan pengelola modal dalam perdagangan
dengan perjanjian bagi hasil), sesuai dengan ketentuan kaidah umum akad
ini tidak dibolehkan, karena objek akad ini sesuatu yang belum ada dan
imbalan/keuntungan bagi pengelola modal pun masih bersifat spekulatif.
Akan tetapi, demi menghindari kesulitan dan untuk kepentingan orang
banyak, akad ini dibolehkah oleh syara’. Menjamak shalat Maghrib
dengan Isya, misalnya, apabila diikuti kaidah umum tidak dibolehkan,
karena menjamak shalat tersebut berarti mengerjakan salah satu sholat di
luar waktunya, sedangkan penyebab wajibnya shalat adalah datangnya
waktu.

Akan tetapi, demi untuk kepentingan orang-orang yang sedang


musafir, syara’ membolehkan.Demikian juga bagi orang yang berpuasa
dalam keadaan musafir, diperbolehkan berbuka untuk menghindari
kesulitan bagi mereka. Contoh-contoh kasus yang bersifat menghilangkan
kemudaratan dan kesulitan dari umat manusia amat banyak sekali dalam
syari’at Islam.

Selanjutnya Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa dari sekumpulan


peristiwa itulah dirumuskan istihsan. Dengan demikian, menjadikan
kaidah istihsan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ bukanlah
didasarkan pada akal semata, akan tetapi didasarkan kepada nas dan

6
ijma’.8

Adapun istihsan berdasarkan urf dan maslahah, seluruh ulama


menerima urf dan maslahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
syara’. Sedangkan istihsan berdasarkan keadaan darurat, mengandung
pengertian melakukan pengecualian hukum terhadap masalah yang
sifatnya darurat. Hal ini juga didukung oleh nas dan ijma’, serta diterima
oleh seluruh ulama mazhab.

Menurut ahli fiqh mazhab Hanafi, sisa yang di makan oleh


binatang buas seperti burung Garuda, burung gagak, elang, burung bazi,
hadaah (elang yang putih kepalanya) burung rajawali. Sekalipun suci dan
baik, namun dianggap najis secara qiyas.9

Bentuk qiyas. Sisa yang dimakan oleh binatang yang haram


dagingnya itu seperti binatang buas yang menerkam binatang ternak.
Umpamanya macan tutul, harimau belang, dan serigala. Sisa yang
dimakannya itu mengikut kepada hukum dagingnya.

Bentuk istihsan, burung buas itu haram dagingnya. Selain dari itu
air ludah yang keluar dari dagingnya, bukan bercampur dengan sisa yang
dimakannya itu. Burung itu minum dengan paruh, padahal paruhnya itu
adalah tulang yang bersih. Adapun binatang buas itu minum dengan
lidahnya bercampur dengan air ludahnya. Dalam hal ini dianggap najis
sisa-sisa barang yang dimakannya itu.10

Ketika kita berbicara tentang sumber-sumber hukum fiqh telah


diungkapkan bahwa dalil-dalil yang disepakati jumhur ulama sebagai
sumber hukum islam ada empat: al-Qur’an, al-Hadis, ijma’ dan qiyas.
Selebihnya seperti istihsan dan lain-lainnya termasuk kepada dalil yang

8
Nasrun Harun, Ushul Fiqih I, cet. Ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), hlm. 109.
9
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 95.
10
Ibid.,

7
diperselisihkan pemakaiannya. Artinya para ulama tidak sepakat untuk
memakai itu semuanya sebagai sumber hukum. Ada yang memakai
istihsan ada pula yang menolaknya, dan begitu pula seterusnya.

Ulama Syafi’iyyah, Zahiriyyah dan Mu’tazilah tidak menerima


istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan
mereka adalah senada dengan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i.

B. Maslahah Mursalah
Kata‚ maslahah berakar pada al-aslu, merupakan bentuk masdar
dari kata kerja salaha dan saluha, yang secara etimologis berarti manfaat,
faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu Saraf
(morfologi), kata maslahah satu pola dan semakna dengan kata manfa’ah.
Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah diubah ke dalam bahasa
Indonesia menjadi "maslahat" dan "manfaat".
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafaz al-
manfa’at, baik artinya maupun wazan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat
masdar yang sama artinya dengan kalimat al-salah seperti halnya lafaz al-
manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-
maslahah itu merupakan bentuk tunggal dari kata al-masalih. Sedangkan
arti dari manfa’at sebagaimana yang dimaksudkan oleh pembuat hukum
syara’ (Allah SWT) yaitu sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan
hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-
Nya. Ada pula ulama yang mendefinisikan kata manfa’at sebagai
kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.
Maslahah al-Mursalah secara lebih luas, yaitu suatu kemaslahatan
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika
terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada
‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’,
yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau
untuk menyatakan suatu manfaat maka kejadian tersebut dinamakan

8
maslahah al-mursalah. Tujuan utama maslahah al-mursalah adalah
kemaslahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga
kemanfaatannya.11
Menurut ahli ushul fiqh, maslahah al-mursalah ialah kemaslahatan
yang telah disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapatnya dalil yang
membenarkan atau menyalahkan. Karenanya, maslahah al-mursalah itu
disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar dan
salah.
Berdasarkan pada pengertian tersebut, pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari
kemaslahatan manusia. Artinya, dalam rangka mencari sesuatu yang
menguntungkan, dan juga menghindari kemudharatan manusia yang
bersifat sangat luas. Maslahat itu merupakan sesuatu yang berkembang
berdasar perkembangan yang selalu ada di setiap lingkungan. Mengenai
pembentukan hukum ini, terkadang tampak menguntungkan pada suatu
saat, akan tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat.
Begitu pula pada suatu lingkungan terkadang menguntungkan pada
lingkungan tertentu, tetapi mudharat pada lingkungan lain.
Adapun dalil tentang ke-hujjah-an Maslahah al-Mursalah adalah
sebagai berikut :12
1. Sesungguhnya permasalahan tentang perbaikan manusia selalu
muncul dan tidak pernah berhenti. Jika seandainya tidak
menggunakan maslahah al-mursalah maka tidak dapat mengatur
permasalahan-permasalahan yang baru yang timbul untuk
memperbaiki manusia.
2. Sesungguhnya sudah banyak orang yang menggunakan maslahah al-
mursalah, yakni dari para Sahabat, para Tabi’in dan para Mujtahid.
Mereka menggunakan maslahah al-mursalah untuk kebenaran yang

11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-5 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 117.
12
Ibid., hlm. 125.

9
dibutuhkan, seperti Sahabat Abu Bakar mengumpulkan mushaf-
mushaf lalu dibukukan menjadi Al-Qur’an.

Mengenai berbagai persyaratan untuk membuat dalil maslahah al-


mursalah yang akan diterapkan untuk menggali suatu hukum, ialah :
1. Hendaknya maslahah al-mursalah digunakan pada suatu obyek
kebenaran yang nyata, tidak kepada obyek yang kebenarannya hanya
dalam dugaan.
2. Hendaknya maslahah al-mursalah digunakan pada obyek yang
bersifat universal bukan pada obyek yang bersifat individual/khusus.
3. Hendaknya tidak bertentangan dengan hukum syara’ yang sudah
ditetapkan oleh Nash atau Ijma’.

Pendapat lain, dikemukakan oleh Imam Maliki, menjelaskan


bahwa syarat-syarat maslahah al-mursalah bisa dijadikan dasar hukum
ialah :

a. Kecocokan/kelayakan di antara kebaikan yang digunakan secara pasti


menurut keadaannya dan antara tujuan-tujuan orang-orang yang
menggunakan maslahah al-mursalah. Sementara maslahah al-
mursalah sendiri tidak meniadakan dari dalil-dalil pokok yang telah
ditetapkan dan tidak pula bertentangan dengan dalil-dalil Qat’iyyah.
b. Hendaknya maslahah al-mursalah dapat diterima secara rasional di
dalam keadaannya terhadap permasalahan yang ada. Artinya terhadap
permasalahan yang sesuai secara akal. Kemudian apabila maslahah
al-mursalah ditawarkan kepada cendekiawan, maka mereka dapat
menerimanya.
c. Hendaknya menggunakan maslahah al-mursalah itu tidak
menghilangkan yang sudah ada, dan sekiranya apabila tidak
menggunakan teori itu secara rasional, maka manusia akan mengalami
kesempitan dalam berpikir. Allah SWT dalam firmannya
menyebutkan, yang artinya "Allah SWT tidak menjadikan agama bagi

10
kalian secara sempit".13

13
Ibid., hlm. 130.

11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istihsan merupakan mengambil maslahah yang merupakan bagian
dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-
istidlal al-mursal lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah
tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam
kata lain sering dikatakan bahwa al istihsan adalah beralih dari satu qiyas
ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan. Al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum,
jangan sampai membawa dampak merugikan taoi harus mendatangkan
maslahah atau menghindari madharat, namun bukan bearti istihsan adalah
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu
dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan
tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan
dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu: dalam rangka memelihara
agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan atau kehormatan.
Perbedaan pendapat mengenai maslahah mursalah sebagai hujjah
syar’iyyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah
mursalah.

12
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir. 2014. Ushul Fiqih Jilid 2. Cetakan ke-7. Jakarta: Kencana.
Syafe’i Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan ke-5. Bandung: Pustaka Setia.
SA Romli. 2017. Pengantar Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
RI Agma Departemen. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Gema Ar-
Risalah.
Dahlan Rahmad Abd. 2011. Ushul Fiqih. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Amzah.
Harun Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Cetakan ke-2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khallaf Wahab Abdul. 2012. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan ke-6. Jakarta: Rineka
Cipta.

13

Anda mungkin juga menyukai