Lapsus Asuhan Kebidanan Pada Anak Dengan
Lapsus Asuhan Kebidanan Pada Anak Dengan
DENPASAR
NIM : S.12.1019
BANJARMASIN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga berkat karuniaNya penulis
dapat mnyelesaikan laporan kasus berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Thalasemia Mayor dan Anemia Sedang”, di Ruang Poliklinik Anak RSUP
Sanglah Denpasar
1. Ibu Anggrita Sari, S.Si.T., M.Pd., M.Kes, selaku direktur Akbid Sari
Mulia Banjarmasin.
2. Ibu Nurul Hidayah, SST, selaku bagian praktik klinik AKBID Sari mulia
Banjarmasin.
3. Ibu Ni Nyoman Wirati, AMK selaku Pembimbing Klinik (CI)
4. Ibu Sulasmi, SST selaku Pembimbing Pendidikan (CT) yang telah
membantu dalam penulisan laporan ini.
5. Serta seluruh pihak yang membantu penulisan laporan ini.
Penulisan laporan ini saya rasakan masih jauh dari kesempurnaan, maka
saya mohon saran dan kritiknya dari pembaca sekalian. Akhir kata saya berharap
penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Denpasar,........................2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Pengesahan......................................................................................................ii
Kata Pengantar................................................................................................................iii
A. Pengertian Thalasemia.......................................................................................4
B. Klasifikasi ............................................................................................................4
C. Etiologi ...............................................................................................................8
D. Patofisiologi .......................................................................................................10
E. Gejala Klinis ........................................................................................................10
F. Komplikasi ..........................................................................................................11
G. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................12
H. Pencegahan ........................................................................................................13
I. Penatalaksanaan Medis .....................................................................................16
J. Pengertian Anemia ............................................................................................18
K. Pembagian Anemia ............................................................................................19
L. Etiologi ...............................................................................................................19
M. Patofisiologi .......................................................................................................20
N. Tanda Gejala ......................................................................................................21
O. Kemungkinan Komplikasi ...................................................................................21
P. Pemeriksaan Khusus Dan Penunjang .................................................................21
Q. Penatalaksanaan ................................................................................................22
BAB III Tinjauan Kasus .............................................................................................23
A. Subjektif Data.....................................................................................................23
B. Objektif Data ......................................................................................................28
C. Analisis Data .......................................................................................................26
D. Penatalaksanaan ................................................................................................27
E. Implementasi .....................................................................................................27
BAB IV Pembahasan ........................................................................................................30
A. Kesimpulan.........................................................................................................31
B. Saran ..................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
LATAR BELAKANG
A. LATAR BELAKANG
Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang
menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul
hemoglobin (Hb).Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik
heterogen yang timbul akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha
atau beta (Hoffbrand, 2005).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi
sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur,
nafsu makan hilang, dan infeksi berulang (NUCLEUS PRECISE, 2010).
Presentasi klinis thalasemia di seluruh dunia mencapai 15 juta orang.
Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang
terbanyak. Yayasan Thalasemia Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya
100.000 anak lahir di dunia dengan Thalasemia α. Di Indonesia sendiri, tidak
kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini. Sedang mereka yang
tergolong thalasemia β jumlahnya mencapai sekitar 200.000 orang. Angka
kejadian carrier thalasemia β di Indonesia sekitar 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%. 2500 bayi baru lahir diperkirakan akan mengidap
thalasemia setiap tahunnya (I Wahidiyat, PA Wahidiyat, 2006 ; Yaish Hassan
M, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas maka sangat penting bagi seorang
perawat untuk memberikan asuhan pada pasien sedini mungkin, mulai pada
deteksi dini, cara penanganan serta cara pencegahan sebagai upaya deteksi
adanya penyakit yang memerlukan tindakan segera serta perlunya rujukan
agar mencapai derajat kesehatan yang tinggi pada pasien dengan penyakit
tersebut sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan kebidanan kepada pasien anak dengan
Thalasemia Mayor dan Anemia Sedang di Ruang Poliklinik Anak RSUP
Sanglah Denpasar.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan yang dapat diambil dari penyusunan laporan ini adalah agar
mahasiswa mampu:
C. MANFAAT
1. Bagi Instansi Pelayanan
Diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif tentang pasien
anak dengan Thalasemia Mayor dan Anemia Sedang sehingga dapat
menjadi pedoman dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan
memberikan pendidikan kesehatan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada pasien anak dengan masalah serupa.
TINJAUAN TEORI
A. Thalasemia
1. Pengertian
Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit
genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen
utama molekul hemoglobin (Hb).Thalasemia merupakan kelompok
kelainan genetik heterogen yang timbul akibat berkurangnya kecepatan
sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan
kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel
darah normal (120 hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami
gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar
tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang (NUCLEUS PRECISE,
2010)
Nama Thalassemia berasal dari gabungan dua kata Yunani
yaitu thalassa yang berarti lautan dan anaemia (“weak blood”).
Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah ini pertama kali
ditemui pada pasien yang berasal dari negara-negara sekitar Mediterranean
(TIF, 2010). Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok
hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik di
mana sintesisnya terganggu (Chen, 2006). Nama Mediterranean anemia
yang diperkenalkan oleh Whipple sebenarnya tidak tepat karena kondisi
ini bisa ditemuikan di mana saja dan sesetengah tipe thalasemia biasanya
endemik pada daerah geografi tertentu (Paediatric Thalassemia,
Medscape).
2. Klasifikasi
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada
Thalassemia terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11
mempunyai satu gen β pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan
dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total
empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α
dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya
separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan
produksi subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen
globin gagal, dan produksi protein globin subunit tidak seimbang.
Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh
gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan
defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang
mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek
secara delesi dan nondelesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak,
2007).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada
kromosom 16, maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi
gen sering terjadi pada Thalassemia α maka terminologi untuk
Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah pada
satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat
lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis)
atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada
dua gen dilabel αo (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α
sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu
pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu
tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa menurunkan kepada
anaknya (Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik
mikrositik dan anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya
kelihatan dan merasa normal dan mereka merupakan karier yang
bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2007).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering
memerlukan transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar
antara produksi rantai α dan β menyebabkan akumulasi rantai β di
dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu
Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan
biasanya meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah
dilahirkan, yang biasanya diakibatkan oleh hydrop fetalis.
Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan rantai γ
(diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan
masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin
Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen sangat tinggi)
(Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva, 2006).
b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada
kromosom 11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β
disebabkan point mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen,
2006). Penyakit ini diturunkan secara resesif dan biasanya hanya
terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di daerah dengan
prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).
1) Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan
(Rodak, 2007). Satu pertiga penderita Thalassemia mengalami tipe
ini (Chen, 2006).
2) Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β
terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal
dihasilkan pada keadaan ini (Rodak, 2007).
Secara klinis, Thalassemia β dikategori kepada:
a) Thalassemia β minor / Thalassemia β trait(heterozygous) /
(β+β) or (βoβ)
Salah satu gen adalah normal (β) sedangkan satu lagi abnormal,
sama ada β+ atau βo. Individu dengan Thalassemia ini biasanya
tidak menunjukkan simptom dan biasanya terdeteksi sewaktu
pemeriksaan darah rutin. Meskipun terdapat
ketidakseimbangan, kondisi yang terjadi adalah ringan karena
masih terdapat satu gen β yang masih berfungsi secara normal
dan formasi kombinasi αβ yang normal masih bisa terjadi
(Wiwanitkit, 2007). Anemia yang terjadi adalah mikrositik,
hipokrom dan hemolitik (Rodak, 2007). Penurunan ringan pada
sistesis rantai globin β menurunkan produksi hemoglobin.
Rantai α yang berlebihan diseimbangkan oleh peningkatan
produksi rantai δ di mana keduanya akan berikatan membentuk
HbA2 / α2δ2 (3.5-8%). Individu tersebut sepenuhnya
asimptomatik dan selain dari anemia ringan, tidak
menunjukkan manifestasi klinis yang lainnya (Sachdeva, 2006)
b) Thalassemia β mayor / Cooley's Anemia (homozygous) (β+βo)
or (βoβo) or (β+β+)
Pada kondisi ini, kedua gen rantai β mengalami disfungsi
(Wiwanitkit, 2007). HbA langsung tidak ada pada βoβo dan
menurun banyak pada β+β+. Penyakit ini berhubungan dengan
gagal tumbuh dan sering menyebabkan kematian pada remaja
(Motulsky, 2010). Anemia berat terjadi dan pasien memerlukan
transfusi darah (Rodak, 2007) dan gejala tersebut selalunya
bermanifestasi pada 6 bulan terakhir dari tahun pertama
kehidupan atas akibat penukaran dari sistesis rantai globin γ
(Hb F/ α2γ2) kepada β (Hb A / α2β2) (Yazdani, 2011).
c) Thalassemia β intermedia (β+/β+) atau (βo/β+)
Simptom yang timbul biasanya antara Thalassemia minor dan
mayor (Rodak, 2007).
3. Etiologi
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang
diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen
yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11.
Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta
ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat
thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen
dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa
sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin
terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari
kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari
ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-
masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan
terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak
dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak
hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak
hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak
mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah
penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh
pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/
Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia
trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka
menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka
akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka
akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak
seorang diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor.
Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-
anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa
sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga
memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalassemia mayor.
4. Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia.
Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit.
Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai
rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-
badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi
RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan
cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder.
Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang
tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab
sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume
plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi
eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya
hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi
berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang
tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
5. Gejala Klinis
Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
a. Thalasemia Mayor:
1) Pucat
2) Lemah
3) Anoreksia
4) Sesak napas
5) Peka rangsang
6) Tebalnya tulang kranial
7) Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
8) Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
9) Disritmia
10) Epistaksis
11) Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
12) Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
13) Kadar besi serum tinggi
14) Ikterik
15) Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar
hidung lebar dan datar.
b. Thalasemia Minor:
1) Pucat
2) Hitung sel darah merah normal
3) Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml
di bawah kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
sedang
6. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung.
Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan
kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai
jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini
menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia
disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan
Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah
transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis
mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi
kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi
melanin (Herdata, 2008)
7. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
a. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1) Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi
pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent
carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada
diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit.
Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi
natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui
probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang
bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol <
spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan
sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu
penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi
81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%
(Wiwanitkit, 2007).
3) Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi
hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang
memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan
(Wiwanitkit, 2007).
4) Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus
telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x
(MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi
besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang
diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi
sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita
Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan
anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula
MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala
lanjut (Yazdani, 2011).
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin
di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah
Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan
kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai
abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia
Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi
Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
2) Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan
Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual
Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini
berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung
konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).
3) Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan
tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang
berlaku (Wiwanitkit, 2007).
8. Pencegahan
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan
kehamilan dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa
sifat Talasemia. Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program
nasional pemerintah. Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting
dilakukan bagi pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak yang
menderita suatu defek hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil
diketahui menderita kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa
untuk menentukan apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya
memperlihatkan adanya kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius
pada anak (khususnya Talasemia-β mayor) maka penting untuk
menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
a. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot
atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya
bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
Talasemia β berat
3) Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai
hasil penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit,
bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar
HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila
kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis
gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan
Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko
mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang
dimana gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot
dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya
adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2
normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan
analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada
kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb
(Permono, & Ugrasena, 2006)
b. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian
sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan
menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun
pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis
DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus
sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah
untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik
CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini.
Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA
janin menggunakan restriction fragment length
polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage atau
deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan
dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan
mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini
sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari
Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin. Perkembangan
PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida untuk
mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam pendekatan
baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan
diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari
ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk
memperbesar region gen globin β melalui membran nilon. Sejak
sekuensi dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu
hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur
diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis
prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation
system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,
oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini,
kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada
DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan
RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya,
maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding
pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa
strategi, yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2)
konsultasi genetik (genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan
retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa
sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui
penelusuran keluarga penderita Talasemia (family study). Kepada
pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang
keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik
untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan
prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus
dibedakan antara usaha program pencegahan di negara berkembang
dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih
mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun
untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen
dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam
tahap penelitian.
a. Medikamentosa
1) Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi
transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
2) Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
3) Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat.
4) Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
b. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
1) limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya rupture
2) hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi
darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg
berat badan dalam satu tahun.
c. Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat,
menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam
bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1
g/dl.
B. Anemia
1. Pengertian anemia pada umumnya
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel
darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah
normal (Smeltzer, 2002 : 935).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel
darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells
(hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
Seorang pasien dikatakan anemia bila konsentrasi hemoglobin
(Hb) nya kurang dari 13,5 g/dL atau hematokrit (Hct) kurang dari 41%
pada laki-laki, dan konsentrasi Hb kurang dari 11,5 g/dL atau Hct kurang
dari 36% pada perempuan.
Berikut adalah HB, Ht, dan E normal manusia:
a. Nilai Normal Hemoglobin :
1) Infant (neonatus) = 14 – 22 gr/dl
2) 6 bulan = 11 – 14 gr/dl
3) Anak (1 – 15 th) = 11 – 15 gr/dl
4) Dewasa :
a) Laki-laki = 14 – 18 gr/dl
b) Perempuan = 12 – 16 gr/dl
5) Nilai normal hematokrit
a) Laki-laki = 40 – 48%
b) Perempuan = 37 – 43%
6) Nilai normal eritrosit
a) Laki-laki = 4,5 – 5,5 juta/l
b) Perempuan = 4,0 – 5,0 juta/l
4. Patofisiologi
Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan
sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum (misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi
akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau penyebab
lain yang belum diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemolisis (destruksi).
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik
atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.
Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran
darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera
direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤
1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sklera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi,
(pada kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk
mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal
dan kedalam urin (hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien
disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah
merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1.
hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah
merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti
yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan
hemoglobinemia.
8. Penatalaksanaan
a. Anemia aplastik:
1) Transplantasi sumsum tulang
2) Pemberian terapi imunosupresif dengan globulin
antitimosit(ATG)
Tinjauan Kasus
Denpasar
A. SUBJEKTIF DATA
1. Identitas
Anak
Nama : An. A
Umur : 5,4 th
Umur 34 th 34 th
Pendidikan S1 S1
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Prenatal
a. Kehamilan ke :1
b. Tempat ANC : BPM
c. Imunisasi TT : Lengkap
d. Obat-Obatan yang pernah diminum selama hamil : Vitamin dan tablet
tambah darah
e. Penerimaan Ibu/Keluarga Terhadap kehamilan : baik
f. Masalah yang pernah dialami ibu saat hamil
No Keluhan / Masalah Umur Tindakan Oleh Ket
Kehamilan
4. Riwayat IntraNatal
a. Persalinan ke :1
b. Tempat dan penolong persalinan : RS/Bidan
c. Masalah saat persalinan : Tidak ada
d. Cara Persalinan : Spontan belakang kepala
e. Lama persalinan
Kala 1 : 5 jam
Kala II : 30 menit
5. Riwayat Kesehatan
a. Anak
Orang tua mengatakan anaknya sering masuk rumah sakit untuk
rawat dengan penyakit thalasemia
b. Keluarga
Orang tua mengatakan dari pihak keluarganya tidak memiliki riwayat
penyakit seperti anaknya
6. Status Imunisasi
HB 0 0 hari Bidan
7. Tumbuh kembang
Personal sosial : Berjalan dan bermain dengan lincah
Motorik halus : Mengidentifikasi gambar, mampu mengingat dan
menjelaskan peristiwa yang telah lampau
Bahasa : Mampu berbicara dengan lancar dengan kosa kata
banyak, dapat mengenali dan menuliskan namanya
Motorik kasar : Melepas pakaian sendiri
Tes perilaku : Memilih teman-temannya, mampu bermain sendiri,
memiliki kesukaan sendiri
Banyaknya : ½ porsi
Masalah : Tidak ada
b. Kebutuhan Eliminasi
BAB
Frekuensi : 1x sehari
Konsistensi : Lembek
BAK
Frekuensi : 2-3x sehari
c. Personal Hygiene
Frekuensi Mandi : 2x sehari
B. OBJEKTIF DATA
1. Pemeriksaan umum
a. Keadaan umum : baik
S 36,2 °C
R 22 x/menit
2. Pemeriksaan Antropometri
a. BB : 18 kg
b. TB : 114 cm
3. Pemeriksaan Khusus
a. Inspeksi
1) Kepala : kulit kepala tampak bersih, tidak ada massa
2) Muka : tampak simetris, muka tampak pucat
3) Mata : tampak simetris, konjungtiva pucat, sklera
tidak ikterik
limfe
C. Analisa Data
1. Diagnosa : Resiko infeksi, resiko cedera
2. Masalah : Tidak ada
3. Kebutuhan : KIE, health education dan terapi
D. Penatalaksanaan
b. Suhu : 36,2 °C
c. Respirasi : 22 x/menit
d. Berat badan : 18 kg
e. Hb : 7,7 gr%
1) I 250 ml
2) II 100 ml
Orangtua mengerti dan menyetujui tindakan yang akan diberikan oleh
dokter.
BAB IV
PEMBAHASAN
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Ganie, A, 2004. Kajian DNA thalasemia alpha di medan. USU Press, Medan
Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2.Media
Aesculapius Fkul.
Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT
Fajar Interpratama : Jakarta.
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-
Book, St. Louis