Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

VITILIGO

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:
Izzatun Nisa Syahidah
G4A016010

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
HALAMAN PENGESAHAN

“VITILIGO”

Disusun oleh:
Izzatun Nisa Syahidah G4A016010

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, September 2017

Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah dan
bimbingan-Nya, presentasi kasus dengan judul “Vitiligo” ini dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK selaku dosen pembimbing
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-asisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dari FK
Unsoed dan FK UPN atas semangat dan dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak
yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.

Purwokerto, September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
II. LAPORAN KASUS ....................................................................................... 2
A. Identitas Pasien ............................................................................................ 2
B. Anamnesis.................................................................................................... 2
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 3
D. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 5
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 5
F. Resume ........................................................................................................ 5
G. Diagnosis Kerja ........................................................................................... 6
H. Diagnosis Banding ....................................................................................... 6
I. Penatalaksanaan ........................................................................................... 6
J. Prognosis ...................................................................................................... 7
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 8
A. Definisi ........................................................................................................ 8
B. Epidemiologi................................................................................................ 8
C. Etiologi ........................................................................................................ 9
D. Patogenesis .................................................................................................. 9
E. Manifestasi Klinis ........................................................................................ 11
F. Penegakan Diagnosis ................................................................................... 11
G. Diagnosis Banding ....................................................................................... 12
H. Penatalaksanaan ........................................................................................... 13
I. Prognosis ....................................................................................................... 15
III. PEMBAHASAN ............................................................................................ 16
IV. KESIMPULAN ............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19
1

I. PENDAHULUAN

Vitiligo berasal dari kata "vituli" yang berarti: "daging anak sapi yang
berkilauan", atau dari kata Latin "vitelius" yang berarti "anak sapi" karena ada
bagian putih pada bulu anak sapi (Anurogo & Ikrar, 2014). Vitiligo
merupakan kelainan depigmentasi yang paling banyak. Destruksi selektif pada
melanosit menyebabkan depigmentasi pada kuilt, rambut, dan permukaan
mukosa (Allam & Riad, 2014).
Vitiligo dapat terjadi pada 0,5%-1% dari populasi dunia. Di Amerika,
sekitar 2 juta orang menderita vitiligo. Di Eropa Utara dialami 1 dari 200
orang. Di Eropa, sekitar 0,5% populasi menderita vitiligo. Di India, angka
kejadian vitiligo mencapai 4%. Prevalensi vitiligo di China sekitar 0,19%.
Sebagian besar kasus terjadi sporadis, sekitar 10-38% penderita memiliki
riwayat keluarga (Anurogo & Ikrar, 2014). Vitiligo banyak terjadi pada usia di
bawah 20 tahun, namun dapat juga terjadi pada usia lanjut. Prevalensi
berdasarkan jenis kelamin adalah sama baik pada laki-laki maupun perempuan
dan tidak ada perbedaan angka kejadian berdasarkan tipe kulit atau ras.
Beberapa faktor etiologi diajukan, bukti yang paling memungkinkan
melibatkan lingkungan, genetik, dan faktor imunologi yang menyebabkan
destruksi melanosit autoimun (Allam & Riad, 2013; Lukas & Sibero, 2015).
Predileksi vitiligo berada pada periorifisial, wajah, genital, membran
mukosa, daerah ekstensor, tangan, dan kaki. Vitiligo generalisata merupakan
jenis yang paling banyak ditemukan. Patogenesis pasti masih belum diketahui,
namun diduga terjadi gangguan neurogenik simpatetik, stres oksidatif, dan
autoimun. Vitiligo biasanya terjadi secara persisten, jarang terjadi
repigmentasi spontan, dan mempunyai pola perifolikular (Lukas & Sibero,
2015).
2

II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 13 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Langgongsari 2/3, Cilongok
No.CM : 0000527649794
Tanggal Pemeriksaan : 17 September 2017
Metode Anamnesis : Autoanamnesis
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bercak-bercak putih pada wajah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien An.S, laki-laki 13 tahun, datang ke Poliklinik Puskesmas II
Cilongok pada tanggal 17 September 2017 pukul 10.00 WIB dengan
keluhan muncul bercak-bercak putih pada wajah sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien baru menyadari munculnya bercak-bercak putih tersebut
saat ada pemeriksaan kesehatan di sekolahnya pada 1 bulan yang lalu.
Awalnya bercak putih tampak samar dan hanya muncul sebanyak 3
buah di pipi kanan, lalu warna bercak semakin jelas dan jumlahnya
semakin bertambah banyak dalam satu bulan ini. Bercak terkadang
terasa gatal jika terkena panas matahari namun tidak dirasa
mengganggu. Keluhan gatal jika berkeringat disangkal. Keluhan baal
pada lesi disangkal. Pasien sudah pernah mendapatkan obat salep
Daktarin dari hasil pemeriksaan kesehatan di sekolahnya namun
bercak tidak menghilang. Pasien lalu mendatangi Puskesmas II
Cilongok dengan diantar guru dari sekolahnya karena dikhawatirkan
bercak semakin bertambah banyak.
3

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat sakit kulit sebelumnya disangkal
c. Riwayat alergi obat, makanan, dan debu disangkal
d. Riwayat kontak dengan bahan iritan disangkal
e. Riwayat asma disangkal
f. Riwayat bersin-bersin di pagi hari disangkal
g. Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat, makanan, dan debu disangkal
c. Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pelajar kelas VII di salah satu MTS di
Cilongok. Pasien tinggal bersama ayah, ibu, 1 orang kakak, 1 orang
adik, dan 1 orang adik sepupu. Pasien memiliki hobi olahraga bermain
sepak bola. Pasien biasa mandi 3x sehari dengan menggunakan sabun,
jarang melakukan kebiasaan cuci tangan. Sumber air yang digunakan
di rumah pasien berasal dari PAM. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan KIS.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Antropometri : BB: 48 kg, TB: 155 cm IMT : 20 (normal)
Vital Sign : Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 16x/menit
Suhu : 36.5°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
4

Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)


Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1 tenang, tidak hiperemis
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
2. Status Dermatologis
a. Lokasi
Regio facialis dan oksipitalis
b. Efloresensi
Makula hipopigmentasi berbatas tegas, tepi rata, multiple di regio
facialis dan oksipitalis.

Gambar 2.1 Efloresensi yang Gambar 2.2 Efloresensi yang


ada pada kasus (region ada pada kasus (region
oksipatalis) facialis)
5

Gambar 2.3 Efloresensi Gambar 2.3 Efloresensi


yang ada pada kasus (regio yang ada pada kasus (regio
facialis dextra) facialis sinistra)

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lampu Wood
2. Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH
3. Histopatologi
F. Resume
Pasien An.S, laki-laki 13 tahun, datang ke Poliklinik Puskesmas II
Cilongok pada tanggal 17 September 2017 pukul 10.00 WIB dengan
keluhan muncul bercak-bercak putih pada wajah sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien baru menyadari munculnya bercak-bercak putih tersebut saat ada
pemeriksaan kesehatan di sekolahnya pada 1 bulan yang lalu. Awalnya
bercak putih tampak samar dan hanya muncul sebanyak 3 buah di pipi
kanan, lalu warna bercak semakin jelas dan jumlahnya semakin bertambah
banyak dalam satu bulan ini. Bercak terkadang terasa gatal jika terkena
panas matahari namun tidak dirasa mengganggu. Keluhan gatal jika
berkeringat disangkal. Keluhan baal pada lesi disangkal. Pasien sudah
pernah mendapatkan obat salep Daktarin dari hasil pemeriksaan kesehatan
di sekolahnya namun keluhan tidak membaik. Pasien lalu mendatangi
6

Puskesmas II Cilongok dengan diantar guru dari sekolahnya karena


dikhawatirkan bercak semakin bertambah banyak.
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, debu, dan makanan. Riwayat
asma dan kontak dengan bahan iritan pada pasien juga disangkal. Keluarga
tidak pernah mengalami keluhan seperti pasien dan tidak memiliki riwayat
alergi. Pasien merupakan seorang pelajar kelas VII di salah satu MTS di
Cilongok. Pasien tinggal bersama ayah, ibu, 1 orang kakak, 1 orang adik,
dan 1 orang adik sepupu. Pasien memiliki hobi olahraga bermain sepak
bola. Pasien biasa mandi 3x sehari dengan menggunakan sabun, jarang
melakukan kebiasaan cuci tangan. Sumber air yang digunakan di rumah
pasien berasal dari PAM. Pembiayaan kesehatan pasien menggunakan
KIS.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 48
kg dan TB 155 cm. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pemeriksaan status lokalis didapatkan efloresensi makula hipopigmentasi
berbatas tegas, tepi rata, multiple di regio facialis dan oksipitalis.
Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang ditemukan pada pasien,
maka dapat ditegakkan diagnosis vitiligo.
G. Diagnosis Kerja
Vitiligo
H. Diagnosis Banding
1. Morbus Hansen
2. Pitiriasis Versikolor
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Kortikosteroid topikal: Bethametasone cream 0,05% 2 kali sehari
2. Non medikamentosa
a. Menyarankan untuk menggunakan tabir surya untuk mencegah
paparan sinar matahari yang berlebihan pada kulit.
b. Merujuk ke pelayanan sekunder, dokter spesialis kulit dan kelamin.
7

3. Edukasi
a. Memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita pasien.
b. Memberi informasi untuk menghindari pemicu yang dapat
memperparah keadaan seperti terpapar cahaya matahari dan
trauma.
J. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad comesticam : dubia ad bonam
8

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan adanya
makula berwarna putih yang dapat meluas. Vitiligo dapat mengenai
seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit (Soepardiman,
2010).
Vitiligo diklasifikasikan menjadi 2 bentuk, yaitu (Soepardiman, 2010):
1. Lokalisata
a. Fokal: Terdapat satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak
segmental.
b. Segmental: Terdapat satu atau lebih mkula pada satu area, dengan
distribusi menurut dermatom.
c. Mukosal: Hanya terdapat pada membran mukosa.
2. Generalisata
a. Akrofasial: Depigmentasi hanya terjadi pada bagian distal
ekstremitas dan muka, merupakan stadium awal dari vitiligo
generalisata.
b. Vulgaris: Makula tanpa pola tertentu di banyak tempat.
c. Campuran: Depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir
menyeluruh merupakan vitiligo total.

Vitiligo generalisata biasanya muncul pada usia lanjut, pada tempat


yang sensitif terhadap tekanan, gesekan, dan atau trauma, dan biasanya
bersifat progresif. Rambut dapat terkena pada stadium lebih lanjut.
Seringkali berhubungan dengan riwayat penyakit autoimun personal atau
pada keluarga. Vitiligo segmental biasanya terjadi pada usia anak-anak,
pada umumnya muncul di wajah dan bersifat stabil (Allam & Riad, 2013).

B. Epidemiologi
Prevalensi vitiligo di seluruh dunia yaitu sekitar 0,1-2% dari populasi.
Vitiligo dapat terjadi pada semua usia, mumnya berawal pada masa anak-
anak atau dewasa muda, dengan onset puncak 10-30 tahun. Penyakit kulit
9

ini tidak dipengaruhi ras tertentu atau jenis kelamin, namun pasien lebih
banyak mencari pengobatan dengan alasan osmetik khususnya pada kaum
perempuan. Pasien dengan riwayat keluarga vitiligo mempunyai rerata
onset lebih dini untuk menderita vitiligo. (Lukas & Sibero, 2015).
Kemungkinan penderita vitiligo akan memiliki anak dengan vitiligo
sebanyak 5% (Soepardiman, 2010).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit autoimun, termasuk
penyakit tiroid autoimun, SLE (systemic lupus erythematosus) dan IBD,
berkelompok pada keluarga penderita vitiligo. Vitiligo juga terkait erat
dengan berbagai penyakit autoimun organ spesifik, seperti: penyakit tiroid,
tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, diabetes melitus tipe 1,
hipotiroidisme primer, anemia pernisiosa, dan alopesia aerata (Anurogo &
Ikrar, 2014).
C. Etiologi
Penyebab dari vitiligo masih belum diketahui (Soepardiman, 2010).
Etiopatogenesis vitiligo multifaktorial. Misalnya: faktor defek genetik
(pola poligenetik, multifactorial inheritance), beragai jenis stres (stres
emosional, stres oksidatif dengan akumulasi radikal bebas), kerusakan
melanosit karena mekanisme autoimmunity (kekebalan tubuh), self-
destructive, sitotoksik (keracunan tingkat seluler), ketidakseimbangan
kalsium, peningkatan ROS (reactive oxygen species), oksidan-antioksidan,
autotoksik/metabolik, penyakit autoimun, dan mekanisme biokimiawi
yang diperantarai saraf (Anurogo & Ikrar, 2014).
D. Patogenesis
Walaupun penyebab vitiligo masih belum diketahui, namun ada tiga
hipotesis untuk menjelaskan patogenesisnya yaitu biokimiawi/sitotoksik,
neural dan autoimun (Ghafourian et al., 2014).
1. Biokimiawi/sitotoksik
Hipotesis biokimiawi/sitotoksik menekankan bahwa vitiligo terjadi
ketika melanosit dibunuh oleh prekursor sitotoksik terhadap sintesis
melanin (Ghafourian et al, 2014). Menurut teori biokimia, menyatakan
disregulasi biopterin merupakan faktor pencetus sitotoksik melanosit
10

dan vitiligo. Pteridin (6R)-L-eritro 5,6,7,8 tetrahidrobiopterin (6BH4)


dan (7R)-L-eritro 5,6,7,8 tetrahidropterin (7BH4) meningkat pada
vitiligo. 6BH4 merupakan kofaktor penting hidroksilase fenilalanin
yang merupakan enzim yang mengubah fenilalanin menjadi tirosinase.
6BH4 yang meningkatkan akibat aktivitas berlebih enzim GTP-
siklohidrolase I atau aktivitas enzim 4a-hifroksi BH4 dehidratase yang
berkurang dapat menyebabkan akumulasi 7BH4 dan H2O2. 7BH4 yang
meningkat akan menghambat fenilalanin hidroksilase. Hal ini
mengakibatkan 6BH4 meningkat. 6-biopterin bersifat sitotoksik pada
konsentrasi yang tinggi (Lukas & Sibero,2015).
2. Neural
Menurut teori neural. vitiligo segmental sering terjadi dengan pola
dermatomal. Hal ini menyebabkan timbul suatu hipotesis neural yang
menyatakan mediator kimia tertentu dari akhir serabut saraf dapat
mengakibatkan produksi melanin berkurang. Kerusakan melanosit
disebabkan oleh disregulasi sistem saraf lokal atau sistemik. Lesi
vitiligo dapat memperlihatkan kadar norepinefrin yang meningkat dan
aktivitas asetilkolin esterase parasimpatis yang menurun.
Neurotransmiter dapat secara langsung menyebabkan sitotoksik
terhadap sel atau secara tidak langsung menyebabkan vasokonstriksi
lokal sehingga terjadi hipoksia kemudian stres peroksida hidrogen.
Konsentrasi norepinefrin lokal yang tinggi dapat menyebabkan
aktivitas N-metil transferase menurun dan aktivitas tirosin hidroksilase
meningkat. Kadar katekolamin yang tinggi mungkin menyebabkan
aktivitas enzimatik katekol-o-metiltransferase intralesi meningkat,
yang pada keadaan normal akan menetralisasi neurotransmiter dan
bahan toksik, dimana bahan toksik ini dpat mengakibatkan kerusakan
sel (Lukas & Sibero, 2015).
3. Autoimun
Hipotesis autoimun didasarkan pada data genetik yang
berhubungan dengan penyakit autoimun (Ghafourian et al, 2014).
Penyakit autoimun yang berkaitan dengan vitiligo antara lain gangguan
11

tiroid, khususnya tiroiditis Hashimoto dan penyakit Grave, disertai


dengan endokrinopati lain seperti penyakit Adison dan diabetes
melitus. Gangguan yang lain yang juga berkaitan dengan vitiligo
namun masih diperdebatkan yaitu alopesia aerata, anemia pernisiosa,
lupus eritematosus sistemik, inflammatory bowel disease, astritis
rematoid, psoriasis, dan sindrom poliglandular autoimun. Bukti yang
meyakinkan patogenesis autoimun adalah ditemukan autoantibodi di
dalam sirkulasi pasien vitiligo. Pasien vitiligo yang disertai penyakit
autoimun biasanya mempunyai kadar 25 hidroksi vitamin D yang
rendah (Lukas & Sibero, 2015).
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang muncul berupa makula berwarna putih dengan
diameter beberapa millimeter hingga beberapa sentimeter, dapat berbentuk
bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang
lain. Selain makula apigmentasi kadang-kadang terlihat makula
hipomelanotik (Soepardiman, 2010). Daerah yang sering terkena dalah
bagian ekstensor tulang terutama di atas jari, periorifisial sekitar mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan tanganbagian fleksor.
Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang terkena trauma
dapat timbul vitiligo. Vitiligo jarang mengenai mukosa, kadang-kadang
dapat mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan gingiva
(Soepardiman, 2010).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Awitan penyakit
b. Riwayat keluarga mengenai timbulnya lesi dan uban yang timbul
dini
c. Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia aerate, diabetes mellitus,
dan anemia pernisiosa
d. Kemungkinan faktor pencetus (misal: stress, emosi, terbakar surya,
dan pajanan bahaya kimawi)
e. Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit sebelum bercak putih
12

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik vitiligo didapatkan berupa makula
amelanotik berwarna putih susu atau seperti kapur, biasanya berbatas
tegas dan tepi padat berlekuk. Lesi meluas secara sentrifugal dan dapat
timbul di semua area tubuh, termasuk membran mukosa. Lesi awal
sering timbul di area kulityang terpajan sinar matahari, tangan, lengan
bawah, kaki, dan wajah, serta area kulit yang sering terjadi gesekan
dan trauma. Perioral dan periokular merupakan area wajah yang paling
sering terkena pada vitiligo. Pada ekstremitas, lesi sering terdapat pada
siku, lutut, jari, dan pergelangan tangan fleksor (Lukas & Sibero,
2015).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) tidak ditemukan
melanosit, kadang-kadang ditemukan limfosit pada tepi makula.
Reaksi dopa untuk melanosit negatif pada daerah apigmentasi, dan
meningkat pada tepi yang hiperpigmentasi (Soepardiman, 2010).
b. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan
dopa menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma
dan kulit normal (Soepardiman, 2010).
G. Diagnosis Banding
1. Morbus Hansen
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Lesi diawali dengan bercak putih bersisik
halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas.
Jika sudah mengenai saraf, penderita dapat mengeluh kesemutan/baal
pada bagian tertentu, ataupun kesukaran untuk menggerakkan anggota
badan yang berlanjut dengan kesukaran sendi. Rambut alis dapat
rontok (Siregar, 2005).
2. Pitiriasis Versikolor
13

Pitiriasis versikolor adalah penyakit jamur superfisial kronik yang


disebabkan oleh Malassezia furfur. Penyakit ini biasanya berupa
bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat
hitam,terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang
ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala
yang berambut. Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal
ringan (Budimulja, 2010).
H. Penatalaksanaan
Terapi pada vitiligo bertujuan untuk meminimalisasi atau mencegah
progresivitas penyakit, mencapai repigmentasi atau depigmentasi, dan
memperoleh kepuasan kosmetik (Allam & Riad, 2013).
1. Fototerapi
Mengekspos kulit dengan sinar UVB dari lampu UVB merupakan
terapi yang umum dilakukan untuk vitiligo. Terapi dapat dilakukan di
rumah dengan lampu domestik UVB atau di layanan kesehatan. Waktu
pajanan harus diatur sehingga kulit tidak terbakar akibat
overexposure. Terapi dapat berlangsung beberapa minggu jika lokasi
berada pada area leher dan wajah dan jika munculnya tidak lebih dari 3
tahun. Jika lokasi berada pada tangan dan kaki dan sudah ada lebih dari
3 tahun, terapi dapat berlangsung selama beberapa bulan. Terapi di
layanan kesehatan dapat dilakukan 2-3 kali dalam seminggu, dan
setiap hari di rumah, hal ini akan membuat terapi di rumah lebih
efektif. Jika lokasi berada pada area tubuh yang luas dibutuhkan terapi
untuk seluruh tubuh di layanan kesehatan atau rumah sakit (Ghafourian
et al., 2014).
Terapi dengan sinar ultraviolet A (UVA) biasanya dilakukan di
rumah sakit. Terapi psoralen dan ultraviolet A (PUVA) dilakukan
dengan menggunakan obat yang meningkatkan sensitivitas kulit
terhadap sinar ultraviolet, lalu memajankan kulit dengan sinar UVA
dosis tinggi. Terapi dilakukan dua kali seminnggu selama 6-12 bulan
atau lebih lama. Karena penggunaan dosis tinggi UVA dan psoralen,
PUVA dapat menyebabkan efek samping reaksi seperti terbakar sinar
14

matahari atau bintik-bintik kulit (skin freckling). Saat ini fototerapi


UVB lebih sering digunakan daripada PUVA yang menyebabkan efek
samping pada kulit (Ghafourian et al., 2014).
2. Kortikosteroid
Obat golongan kortikosteroid seperti triamcinolone,
hydrocortisone, atau prednison, dapat dipakai untuk menghentikan
penyebaran vitiligo dan menyempurnakan pembentukan kembali
pigmen kulit (Anugoro & Ikrar, 2014). Kortikosteroid topikal sering
menjadi terapi lini pertama untuk anak. Lesi pada leher dan ekstremitas
(kecuali jari tangan dan jari kaki) mempunyai respon yang baik. Lesi
lokalisata dapat diobati dengan kortikosteroid potensi tinggi selama 1
ampai 2 bulan, kemudian secara bertahap diganti dengan kortikosteroid
potensi lebih rendah (Lukas & Sibero, 2015).
3. Imunomodulator
Topikal takrolimus merupakan suatu makrolid imunosupresan yang
dapat menghambat aktivasi dan maturasi sel T dengan cara memblok
transkripsi beberapa sitokin, seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, tumor
nekrosis faktor a, dan interferon gama. Topikal takrolimus salep0,03-
0,1% efektif untuk repigmentasi vitiligo, dioleskan dua kali sehari
untuk lesi lokalisata, terutama pada wajah dan leher. Efek samping
yang dapat terjadi antara lain eritema, pruritus, rasa terbakar, iritasi,
hiperpigmentasi, dan akne. Pengobatan ini aman untuk orang dewasa
dan anak (Lukas & Sibero, 2015).
4. Kamuflase kulit
Pada kasus yang ringan, bercak vitiligo dapat disembunyikan
dengan penggunaan makeup atau kosmetik kamuflase (Ghafourian et
al., 2014). Kamuflase dapat temporer seperti makeup (compact, liquid,
dan stick foundation, dsb), semipermanen seperti self-tanning agents,
atau permanen seperti mikropigmentasi dan tato (Allam dan Riad,
2013).
15

5. Depigmentasi
Pada kasus vitiligo yang luas pilihan depigmentasi kulit yang tidak
terkena dipertimbangkan untuk membuat warna kulit yang rata.
Depigmentasi dilakukan dengan obat topikal seperti monobenzene,
mequinol, atau hydroquinone. Penghilangan seluruh pigmen kulit
dengan monobenzene bersifat permanen. Perlindungan matahari harus
dipatuhi seumur hidup untuk menghindari sengatan sinar matahari
yang parah dan melanoma. Depigmentasi membutuhkan waktu sekitar
satu tahun hingga selesai (Ghafourian et al., 2014).
6. Transplantasi melanosit
Pada bulan Oktober 1992, sebuah laporan ilmiah mengenai
transplantasi melanosit pada vitiligo dipublikasi. Prosedur dilakukan
dengan mengambil lapisan tipis kulit berpigmen dari regio gluteal.
Melanosit kemudia dipisahkan menjadi suspensi seluler yang diperluas
dalam kultur. Area yang akan dirawat kemudian digunduli dengan
dermabrader dan graft melanosit diterapkan. Sekitar 70-85% pasien
akan mengalami repigmentasi yang sempurna. Lamanya repigmentasi
berbeda pada setiap orang (Ghafourian et al., 2014).
I. Prognosis
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi
prognosisnya masih meragukan dan tergantung pada kesabaran dan
kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan. Repigmentasi
spontan dapat terjadi pada 10-20% pasien tetapi hasilnya jarang
memuaskan secara kosmetik (Herperian, 2016).
16

IV. PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis
Kelainan kulit yang terjadi pada kasus adalah vitiligo. Vitiligo
merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan adanya makula
berwarna putih yang dapat meluas. Vitiligo dapat mengenai seluruh bagian
tubuh yang mengandung sel melanosit (Soepardiman, 2010). Alasan
penegakan diagnosis vitiligo yaitu:
1. Anamnesis
a. Keluhan bercak-bercak putih pada wajah sejak satu bulan yang
lalu.
b. Awalnya bercak hanya muncul 3 buah dan tampak samar, lalu
warna bercak semakin jelas dan jumlahnya bertambah banyak
dalam waktu satu bulan ini.
c. Pasien sudah pernah mendapatkan obat topikal antijamur namun
keluhan tidak membaik.
d. Keluhan gatal jika berkeringat disangkal.
e. Keluhan rasa baal pada area lesi disangkal.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lokasi: Regio facialis dan oksipitalis
b. Efloresensi: Makula hipopigmentasi berbatas tegas, tepi rata,
multiple di regio facialis dan oksipitalis.
B. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari vitiligo pada kasus adalah:
1. Morbus Hansen
Morbus hansen tipe pausi basiler (PB) biasanya terjadi di daerah
endemis, warna lesi hipopigmentasi tidak terlalu putih dan biasanya
terdapat makula anestesi yang berbatas tidak tegas (Herperia, 2016).
2. Pitiriasis Versikolor
Pada pitiriasis versikolor dapat ditemukan sisik halus dengan
warna fluoresensi kuning kehijauan di bawah lampu Wood dan hasil
17

pemeriksaan KOH positif. Pitiriasis versikolor ini dapat mengenai


wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha dan lipatan paha. Gejala
penyakit ini ditandai dengan terjadinya eritema dan skuama yang
biasanya mendahukui pembentukan hipopigmentasi (Herperia, 2016).
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien adalah memberikan obat
secara topikal. Obat topikal yang diberikan adalah kortikosteroid topikal
berupa Bethametasone krim 0,05% diberikan 2 kali sehari. Tatalaksana
non farmakologis berupa penggunaan tabir surya untuk mencegah paparan
sinar matahari yang berlebihan pada kulit dan merujuk pasien ke
pelayanan sekunder, dokter spesialis kulit dan kelamin. Edukasi pasien
mengenai informasi penyakit yang dideritanya dan menyarankan untuk
menghindari pemicu yang dapat memperparah keadaan seperti terpapar
cahaya matahari dan trauma.
18

V. KESIMPULAN

1. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan adanya


makula berwarna putih dan dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang
mengandung sel melanosit.
2. Keluhan sejak 1 bulan yang lalu awalnya berupa bercak putih yang samar
sebanyak 3 buah di pipi kanan, lalu warna bercak semakin jelas dan
jumlah bertambah banyak di regio facialis dan oksipitalis
3. Didapatkan makula hipopigmentasi berbatas tegas, tepi rata, multipel di
regio facialis dan oksipitalis
4. Terapi farmakologis yang diberikan berupa kortikosteroid topikal.
Penatalaksanaan non farmakologis dengan pemberian tabir surya dan
dirujuk ke pelayanan sekunder.
19

DAFTAR PUSTAKA

Allam, M. dan H. Riad. 2013. "Concise review of recent studies in vitiligo", Qatar
Medical Journal, 2013(10): 1-19.

Anurogo, D. dan T. Ikrar. 2014. "Vitiligo", CDK-220, 41(9): 666-675.

Budimulja, Unandar. 2010. Mikosis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ghafourian, E. et al. 2014. "Vitiligo: Symptomps, Pathogenesis and Treatment",


International Journal of Immunopathology and Pharmacology, 27(4):
485-489.

Herperian. 2016. "Terapi Vitiligo pada Pelayanan Kesehatan Primer", Jurnal


Medula Unila, 4(3): 74-78.

Lukas, R. dan H.T. Sibero. 2015. "Vitiligo", JuKe Unila, 5(9): 94-103.

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Kulit, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Soepardiman, Lily. 2010. Kelainan Pigmen. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai