Anda di halaman 1dari 56

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep suspect TB

2.1.1 Suspect TB

Tersangka penderita TB adalah seseorang yang memiliki gejala batuk

berdahak selama 2 minggu atau lebih, batuk dapat diikuti gejala tambahan seperti

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, penurunan berat badan, malaise, berkeringat di malam hari walaupun tanpa

melakukan kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut

dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronchitis

kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat, seperti bronkiektasis, bronchitis

kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini

masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala-gejala

tersebut, dianggap sebagai seorang terduga (suspect) pasien TB dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes, 2014).

Penjaringan terhadap terduga (suspect) pasien TB merupakan salah satu dari

serangkaian kegiatan untuk menemukan pasien TB sehingga tidak menularkan

penyakitnya kepada orang lain. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan difasilitas

kesehatan; didukung dengan promosi secara akif oleh petugas kesehatan bersama

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan suspect penderita TB (Kemenkes,

2014). Untuk menemukan suspek Tb perlu dukungan pengetahuan penderita Tb,

disebabkan perilaku menemukan suspek Tb muncul karena penderita telah


15

mempunyai pengetahuan yang memadai tentang penyakit Tb dan sikap yang positif

terhadap program penanggulangan TB (Aditama, Zulfikar & Baning, 2013). Kegiatan

penjaringan suspect pasien Tb dilakukan secara pasif (passive case finding) dan aktif.

Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap kelompok khusus yang rentan atau

beresiko tinggi terhadap terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/rutan, tempat

penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo, anak

dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB, kontak erat dengan pasien

TB dan pasien TB resisten obat (Kemenkes, 2014).

2.1.2 Angka penjaringan suspek

Angka penjaringan suspect adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya

diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka

penjaringan suspek ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam

suatu wilayah tertentu, dengan memperlihatkan kecenderungannya dari waktu ke

waktu (Triwulan/tahunan) (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2011).

Angka penjaringan suspek adalah jumlah suspek yang diperiksa diantara 100.

000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun (Romandhani & Wahyu,

2011). Angka Penjaringan Suspek adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya

diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka ini

digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu,

dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).

Rumus yang digunakan adalah jumlah suspek yang diperiksa dibagi jumlah penduduk

dikali dengan 100%. Penjaringan suspect Tb merupakan salah satu variabel penting

evaluasi program penanggulangan penyakit TB. Angka Penjaringan Suspek sangat

berperan dalam menentukan besarnya peluang untuk ditemukannya penderita TB,

artinya semakin besar jumlah suspek yang didapat dan diperiksa maka peluang untuk
16

ditemukannya penderita TB diantara suspect juga semakin besar (Ariyanto & Ramani,

2012).

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pencapaian suspect TB

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya pencapaian suspect

penyakit tuberkulosis dibagi menjadi 3 faktor yaitu faktor petugas pemegang program

TB, faktor kader kesehatan dan faktor sosial budaya.

2.2.1 Faktor Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan pemegang Program TB adalah petugas yang bertanggung

jawab dan mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi dalam program TB paru di puskesmas (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Dalam Nizar (2010) menyatakan bahwa kinerja daripada petugas pemegang program

TB dapat mempengaruhi terhadap rendahnya angka pencapaian suspek TB. Petugas

pemegang program TB paru di Puskesmas merupakan ujung tombak dalam

penemuan, pengobatan dan evaluasi penderita maupun pelaksanaan administrasi

program di Puskesmas. Tanpa adanya penemuan suspek maka program

penatalaksanaan atau pemberantasan TB paru mulai dari penemuan sampai

pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses penemuan pasien suspek TB paru

oleh petugas sangat menentukan keberhasilan program (Widjanarko, Prabamurti dan

Widayat, 2006). Mengingat kebijakan Program Penanggulangan TB (P2TB) bahwa

penemuan penderita dilakukan secara pasif (pasive case finding) dengan promosi aktif

yaitu penjaringan tersangka Tb paru dilakukan kepada masyarakat yang berkunjung

ke fasilitas pelayanan kesehatan, yang sebelumnya diadakan penyuluhan untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan,

maka disimpulkan bahwa petugas pemegang program Tb merupakan faktor yang


17

berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya pencapaian suspect Tb paru. Akan tetapi

proses-proses ini akan berhasil apabila Petugas pemegang program Tb memiliki

pengetahuan dan motivasi yang baik.

2.2.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).

Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan

tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga),

dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan dibagi menjadi dua tingkat yaitu

pengetahuan baik dan pengetahuan tidak baik (buruk) (Pasek, Suryani & Murdani

2013). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang

berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010 : 27). Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat

pengetahuan, yakni :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

mengintrepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud

dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut

pada situasi yang lain.


18

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan,

mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas

objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubngan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

kemampuan utnuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang

telah ada.

f. Evaluasi

Evaluasi berkaitan dengan kemmpuan seseorang untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma

yang berlaku di masyarakat (Notoatmodjo, 2010 : 28).

Sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis dari

Departemen Kesehatan RI tahun 2008, bahwa tugas serta tanggung jawab Petugas

pemegang program TB yaitu memberikan penyuluhan kepada masyarakat,

mengumpulkan dahak, mengirim sediaan hapus dahak suspek TB paru ke

laboratorium dengan mengisi formulir TB, mengisi kartu penderita TB paru dan

kartu identitas penderita TB paru, memeriksa kontak terutama dengan penderita TB


19

paru BTA positif, dan memantau jumlah penderita TB paru yang ditemukan (Depkes

RI, 2008). Petugas pemegang program TB Puskesmas memiliki tugas dan tanggung

jawab, sedangkan “tugas dan tanggung jawab sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan suatu pencapain”, dalam hal ini adalah pencapaian suspek TB (Nugraini,

Cahyati dan Farida, 2015). Seorang Petugas pemegang program TB harus memiliki

pengetahuan yang baik mengenai tugas dan tanggung jawab, maupun tentang

penyakit TB itu sendiri agar dapat melakukan tugasnya dengan baik pula, hal ini

sesuai dengan penelitian Widjanarko, Prabamurti dan Widayat, (2006) yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan petugas

pemegang program tuberkulosis paru puskesmas dengan praktik penemuan suspek

Tb paru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan yang baik dari petugas

pemegang program tuberkulosis paru puskesmas dapat menetukan daripada

pencapaian susspect Tb paru.

2.2.1.2 Motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang

menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai

suatu tujuan. Pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan (needs atau want).

Kebutuhan adalah suatu potensi dalam diri manusian yang perlu ditanggapi atau

direspons. Tanggapan terhadap kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk

tindakan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, dan hasilnya adalah orang yang

bersangkutanmerasa atau menjadi puas. Apabila kebutuhan tersebut belum direspons

atau dipenuhi maka akan selalu berpotensi untuk muncul kembali sampai dengan

terpenuhinya kebutuhan yang dimaksud (Notoatmodjo, 2010 : 119).


20

Banyak faktor yang berpengaruh dalam meningkatkan motivasi seseorang

terhadap suatu jenis perilaku. Beberapa ahli mengelompokkan dua cara atau metode

untuk meningkatkan motivasi, yaitu :

a. Metode langsung (Direct motivation)

Pemberian materi atau nonmateri kepada orang secara langsung untuk

memenuhi kebutuhan, merupakan cara yang langsung dapat menigkatkan

motivasi. Yang dimaksud dengan pemberian materi adalah misanya

pemberian bonus, pemberian hadiah pada waktu tertentu. Sedangkan

pemberian nonmateri antara lain memberikan pujian atau memberikan

penghargaan (Notoatmodjo, 2010 : 129).

b. Metode tidak langsung (Indirect motivation)

Dengan memberikan misalnya fasilitas atau sarana-sarana kesehatan kepada

masyarakat, maka secara tidak langsung masyarakat akan termotivasi untuk

berperilaku hidup sehat.

 Materiil

Alat motivasi materiil adalah apa yang diberikan kepada masyarakat dapat

memenuhi kebutuhan untuk hidup sehat.

 Nonmateri

Alat motivasi non materi adalah pemberian tersebut tidak dapat dinilai

dengan uang, tetapi pemberian sesuatu yang hanya memberikan kepuasan

atau kebanggaan kepada orang atau masyarakat.

 Kombinasi materi dan nonmateri

Alat motivasi ini adalah kedua-duanya, baik materiil maupun non materiil

(Notoatmodjo, 2010 : 131).


21

Motivasi terbagi dua kategori yaitu motivasi tinggi dan motivasi rendah

(Wijaya, 2012). Sebagai tambahan dalam meningkatkan motivasi individu, bahwa

motivasi harus menjadi bagian yang ada pada diri seseorang untuk dapat mendukung

segala keinginan yang dicapainya. Demikian juga dalam melakukan tugas atau

pekerjaan, seorang individu harus mempunyai motivasi agar dapat meyelesaikan tugas

dan pekerjaannya dengan baik dan sesuai terget atau standar (Kusumawardani, 2012).

2.2.2 Faktor Kader Kesehatan

Kader kesehatan-dinamakan juga promotor kesehatan desa (prokes)-adalah

tenaga sukarela yang dipilih oleh dan dari masyarakat yang bertugas mengembangkan

masyarakat. Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat Depkes RI memberikan batasan

kader, bahwa kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh

masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela. Tujuan daripada pembentukan kader

adalah dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang

kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat

bukanlah sebagai objek tetapi merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pada

hakikatnya, kesehatan dipolakan mengikutsertakan masyarakat secara aktif dan

tanggung jawab. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, harus

pula memperhatikan keadaan sosial budaya setempat. Sehingga untuk

mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pembangunan, khususnya dalam bidang

kesehatan, akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan dengan

edukatif yaitu, berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan

permasalahan dengan memperhitungkan sosial budaya setempat (Efendi &

Makhfudli, 2009 : 288).

Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang dipercaya untuk menjadi

pengelola upaya kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Salah satu tujuan


22

daripada pembentukan kader kesehatan merupakan upaya pemberantasan penyakit

menular di masyarakat, salah satu contohnya adalah penyakit tuberkulosis paru,

dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, dengan

terbentuknya kader kesehatan, maka pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan

oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Selanjutnya dengan

adanya kader kesehatan, maka pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan

sempurna (Efendi & Makhfudli, 2009 : 288). Menurut K. Santoso (1979, dalam

Efendi & Makhfudli, 2009 : 288), kader yang dinamis dengan pendidikan rata-rata

tingkat desa ternyata mampu melaksanakan beberapa kegiatan yang sederhaan tetapi

tetap berguna bagi masyarakat kelompoknya. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain

adalah pemberantasan penyakit menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi, serta

penyuluhan kesehatan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor kader kesehatan

merupakan tenaga non-profesional yang berasal dari masyarakat yang secara langsung

berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat dan ikut serta dalam pengendalian

penyakit tuberkulosis paru, sehingga faktor kesehatan dapat mempengaruhi

pencapaian suspect tuberkulosis paru karena salah satu dari tugas seorang kader

kesehatan adalah melakukan pencarian kasus yang secara langsung berdampak pada

pencapaian suspect Tb (Wijaya, 2012).

2.2.2.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah kumpulan informasi yang dapat dipahami dan diperoleh

dari proses belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat

untuk penyesuaian diri. Pengetahuan merupakan pengenalan terhadap kenyataan,

kebenaran, prinsip dan kaidah suatu objek dan merupakan hasil stimulasi informasi

untuk terjadinya perubahan perilaku (Rizani, Hakimi & Ismail, 2009). Seorang kader

kesehatan yang mempunyai pengetahuan yang baik akan dapat melakukan tugasnya
23

dalam pengendalian kasus tuberkulosis, dan salah satu tugas seorang kader kesehatan

adalah melakukan pencarian kasus, selain itu dengan pengetahuan yang baik akan

menjadikan kader kesehatan mempunyai kemungkinan untuk aktif 18 kali lebih besar

daripada kader dengan pengetahuan rendah (Wijaya, 2012). Fadhilah, et al. (2014)

menyatakan bahwa, pengetahuan penemuan suspek TB yang baik juga disebabkan

oleh kemampuan kader memahami informasi yang berhubungan dengan program

TB. Kader yang berpengetahuan baik berdampak pada perilaku penemuan suspek

yang baik (72,3%), tetapi kader dengan tingkat pengetahuan kurang akan berperilaku

penemuan suspek pun kurang (4,0%). Menurut penelitian Wahyudi (2010), terdapat

hubungan yang positip dan signifikan antara pengetahuan, sikap dan motivasi kader

dengan penemuan suspek Tuberkulosis Paru sehingga disarankan kepada Dinas

Kesehatan untuk melibatkan peran serta kader dalam penemuan suspek Tuberkulosis

Paru sebagai upaya meningkatkan cakupan kegiatan.

2.2.2.2 Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu usaha sadar yang dilakukan untuk

meningkatkan sumber daya manusia. Sejak dilahirkan ke dunia, hampir setiap

manusia dikenalkan dengan pendidikan meski dalam bentuk sederhana oleh orang tua

masing-masing dan melaksanakan pendidikan hingga akhir hayat. Pendidikan dapat

disebut sebagai khas manusia, karena tidak ada makhluk lain yang memerlukan

pendidikan selain manusia (Maryono, 2011). Pendidikan adalah suatu usaha dalam

mengembangkan kepribadian dan kemmampuan didalam dan diluar sekolah yang

berlangsung sumur hidup. Pengetahuan dapat mempengeruhi proses sesorang dalam

belajar, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah orang

tersebut dalam menerima informasi (Notoatmodjo, 2007). Selain itu tingkat

pendidikan penting untuk dikaji karena hal tersebut merupakan bagian dari faktor
24

individu dari teori kinerja Gibson yang merupakan faktor yang berpengaruh langsung

terhadap kinerja (Maryun, 2007). Menurut Wahyuni dan Artanti (2013) tingkat

pendidikan kader kesehatan mempengaruhi kemampuan penemuan suspek TB paru.

Pendidikan yang makin tinggi lebih mudah untuk menerima materi yang diberikan

dalam pelatihan penemuan suspek TB paru. Menurut Gibson (1987, dalam Wahyuni

& Artanti, 2013) pendidikan berperan besar dalam produktivitas, semakin

berpendidikan tingkat produktivitas pekerja semakin baik.

2.2.2.3 Motivasi

Motivasi adalah kondisi seseorang yang mendorong untuk mencari suatu

kepuasan atau mencapai suatu tujuan, atau dengan kata lain motivasi adalah suatu

alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu, melakukan

tindakan, atau bersikap tertentu. Sebenarnya, motivasi merupakan istilah yang lebih

umum yang menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang

mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang

ditimbulkannya, dan tujuan atau akhir dari gerakan atau perbuatan. Karena itu, bisa

juga dikatakan bahwa motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya

gerak, atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam

rangka mencapai suatu kepuasan atau tujuan (Sobur, 2013 : 268). Seorang kader

kesehatan yang mempunyai pengetahuan dan motivasi yang baik akan menjadikannya

semakin aktif dalam melaksanakan tugasnya, hal ini didukung dengan penelitan yang

dilakukan Wijaya (2012), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara pengetahuan, sikap, dan motivasi dengan keaktifan kader kesehatan

dalam pengendalian kasus tuberkulosis. Motivasi terbagi dalam dua kategori yaitu

motivasi tinggi dan motivasi rendah (Wijaya, 2012). Motivasi berhubungan dengan

perilaku penemuan suspek TB, motivasi yang tinggi berdampak terhadap perilaku
25

penemuan suspek yang baik (63,5%) sebaliknya dengan motivasi yang rendah

berdampak terhadap perilaku penemuan suspek yang kurang (36,4%). Motivasi

merupakan komponen psikologis yang berefek terhadap kinerja individu. Motivasi

timbul apabila diberi kesempatan dan mendapatkan umpan balik dari hasil yang

diberikan. Motivasi terbangun dari kesadaran kader kesehatan untuk membantu

masyarakat mengidentifikasi penemuan suspek yang didasarkan pada pekerjaan sosial

atau kemanusiaan (Fadhilah, et al. 2014). Menurut Gopalan, Mohanty dan Das (2012)

menyatakan bahwa “the level of performance motivation was the highest for individual factor,,”,

yaitu motivasi yang paling tinggi adalah dari diri individu pekerja kesehatan atau kader

itu sendiri.

2.2.3 Faktor Sosial Budaya

Sosial adalah cara tentang bagaimana individu saling berhubungan satu sama

lain (Enda, 2010). Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala

sesuatu yang berkaitan dengan sistem hidup bermasyarakat dari orang atau

sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai

sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya (Ranjabar, 2006). Budaya atau

kebudayaan adalah modal dasar masyarakat untuk mengantisipasi dan mengadaptasi

kebutuhan (Tumanggor, 2010). Kebudayaan juga diartikan sebagai pola pengertian

atau makna meyeluruh sebagai simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis;

sistem konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolis yang dengan cara

tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan

dan sikap mereka terhadap kehidupan (Geertz, 1973 dalam Tumanggor, 2010).

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan merupakan

keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
26

seseorang sebagai anggota masyarakat (Isniati, 2013). Sehingga sosial budaya dapat

disimpulkan sebagai berbagai hal diciptakan dan dipercayai oleh manusia dengan

pemikiran dan budi nalurinya didalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai mahluk

sosial manusia mempelajari sikap dan perilaku dari orang lain di lingkungan sosialnya.

Hampir segala sesuatu yang dilakukannya bahkan apa yang dipikirkan berhubungan

dengan orang lain dan dipelajari dari lingkungan sosial budaya. Menurut Media

(2011), sosial budaya adalah lingkungan non fisik yang merupakan faktor eksternal

yang mempengaruhi kesehatan seorang individu atau kelompok. Faktor sosial budaya

meliputi faktor pengetahuan masyarakat tentang penyakit Tb dan akses ke layanan

kesehatan.

2.2.3.1 Pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB

Becker (1974, dalam Notoatmodjo, 2010 : 115) memunculkan teori yang

menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior) yang

dikembangkan dari teori lapangan (Field theory, Lewin, 1954) menjadi model

kepercayaan kesehatan (health belief model) yang menyatakan bahwa, ketika seorang

individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakit yang dideritanya, maka

ada empat variabel kunci yang terlibat, yaitu :

1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia

harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut.

Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan

timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan

terhadap penyakit tersebut.


27

2) Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness)

Tidakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan

didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat. Penyakit polio misalnya, akan dirasakan lebih serius bila

dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan

lebih banyak diflu.lakukan bila dibandingkan dengan pencegahan

(pengobatan).

3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefits and barriers)

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang

dianggap serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini kan

bergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang

ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat

tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin

ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.

4) Isyarat atau tanda-tanda (Cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,

kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang

berupa faktor-faktor eksternal, misalnya pesan-pesan pada media massa,

nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga dari individu

tersebut (Notoatmodjo, 2010 : 117).

Pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis paru dapat

menentukan tindakan dalam mengobati dan melakukan pencegahan terhadap

penyakit tersebut. Salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk merubah perilaku

yaitu dengan memberikan pendidikan atau promosi kesehatan, dengan cara

pemberian informasi-informasi kesehatan, cara-cara mencapai hidup sehat, cara


28

pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan

pengetahuan tersebut akan menimbulkan kesadaran dan pada akhirnya akan

menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya

(Notoatmodjo, 2010 : 90). Dalam kasus lainnya, jika pengetahuan masyarakat

terhadap penyakit TB Paru terbatas atau kurang, maka akan menimbulkan persepsi

yang salah sehingga terbentuk stigma negatif yang pada akhirnya akan menyebabkan

sebagian masyarakat malu untuk memeriksakan kesehatan atau penyakitnya ke

pelayanan kesehatan, dan cenderung memilih pengobatan tradisional (Media, 2011).

Lebih dari itu, pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB sangat perpengaruh,

dimana ditemukan bahwa masyarakat cenderung untuk tidak melakukan suatu

tindakan pengobatan disebabkan anggapan bahwa gejala awal penyakit TB

merupakan gejala yang ringan, untuk itu tidak diperlukan untuk dilakukan

penanganan ataupun pengobatan (Duan, et al. 2013). Pengetahuan yang buruk pasien

mengenai penyakit Tb mereka dimungkinkan dapat berkontribusi pada beban

penyakit Tb yang tinggi di sebuah negara. Tingkat pengetahuan dan tingkat

kesadaran mengenai penyakit Tb diketahui berhubungan dengan pencarian

pengobatan dan kehadiran atau kedatangan individu ke layanan kesehatan. Melalui

pendidikan pada pasien dan menghilangkan kesalahpahaman mereka, kerelaan atau

keinginan pasien untuk melakukan pengobatan dapat meningkat dan tingkat

penyebaran penyakit dapat ditekan. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang

dilakukan dengan baik dapat berdampak pada tingkat pengetahuan dan menghasilkan

sikap dan pemahaman yang baik terhadap penyakit Tb (Khan, et al. 2006).

Pandangan sebagian masyarakat bahwa penyakit tuberkulosis paru yang

dialaminya adalah bukan penyakit berbahaya, melainkan penyakit batuk biasa, dapat
29

berpengaruh pada munculnya sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap akibat yang

dapat ditimbulkan oleh penyakit TB Paru. Selain itu sebagian masyarakat sudah

mengetahui dan menganggap penyakit TB Paru merupakan penyakit menular dan

berbahaya yang sangat memalukan, sehingga penyakit itu perlu untuk dirahasiakan.

Sedangkan sebagian masyarakat lainnya beranggapan bahwa penyakit TB Paru tidak

berbahaya dan merupakan penyakit biasa yang pada akhirnya dibiarkan tidak

ditangani dengan baik. Selanjutnya penyakit tuberkulosis paru menurut sebagian

masyarakat adalah penyakit akibat guna-guna/kiriman dari perbuatan manusia dan

setan. Lebih dari itu perilaku dan kesadaran sebagian masyarakat untuk

memeriksakan dahak dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan masih kurang,

karena mereka malu dan takut divonis menderita TB Paru (Media, 2011). Oleh

karena itu dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang penyakit

tuberkulosis paru dapat menentukan tindakan dalam mengobati dan melakukan

pencegahan terhadap penyakit tersebut, sehingga orang-orang yang dicurigai sebagai

tersangka tuberkulosis (suspect Tb) tersebut tidak dapat terjaring di fasilitas kesehatan

yang menyebabkan pencapaian suspek Tb rendah.

2.2.3.2 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan meyimpulakan informasi dan menfsirkannya.

Persepsi adalah memberikan makna kepada stimulus (Notoatmodjo, 2010 : 92).

Dalam buku Pengantar Psikologi Umum dijelaskan, persepsi merupakan suatu proses

yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh

individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak

berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya

merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses
30

penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses

persepsi (Walgito, 2010 : 99).

Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu

menerima stimulus melalui alat indera, yaitu melalui mata sebagai alat penglihatan,

telinga sebagai alat pendengar, hidung seabgai alat pembauan, lidah sebagai alat

pengecapan, kulit pada telapak tangan sebagai alat perabaan; yang kesemuanya

merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu.

Alat indera tersebut merupakan alat penghubung antara individu dengaan dunia

luarnya (Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957 dalam Walgito, 2010 : 100).

Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan

diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, megerti tentang apa yang diindera itu,

dan proses ini disebut persepsi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa

stimulus diterima oleh alat indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan

melalui proses penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti

setelah diorganisasikan dan dinterpretasikan (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2010 :

100). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga

merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang intergrated dalam diri

individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus,

sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca, 1964 dalam

Walgito, 2010 : 100).

Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, kita

tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita

memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat
31

kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka

berkomunikasi (Sobur, 2013 : 446). Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar,

tetapi juga dapat datang dalam diri individu sendiri. Namun demikian sebagian

terbesar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi

dapat melalui macam-macam alat indera yang ada pada diri individu, tetapi sebagian

besar persepsi melalui alat indera penglihatan. Karean itulah banyak penelitian

mengenai persepsi adalah persepsi yang berkaitan dengan alat penglihatan. Karena

persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada

dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka

dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir,

pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi suatu

stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu

lain (Walgito, 2010 : 100).

Faktor-faktor yang berperan dalam persesi :

Seperti yang telah dipaparkan di depan bahwa dalam persepsi individu

mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus yang diterimanya, sehingga

stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang bersangkutan. Dengan demikian

dapat dikemukakan bahwa stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan

dalam persepsi. Berkaitan dengan faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat

dikemukakan adanya beberapa faktor, yaitu :

1. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat

datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai
32

syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagaian terbesar

stimulus datang dari luar individu.

2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di

samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan

stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai

pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf

motoris.

3. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya

perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam

rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau

konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau

sekumpulan objek.

Dalam hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan

persepsi adanya beberapa faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi

persepsi, yaitu (1) objek atau stimulus yang dipersepsi; (2) alat indera dan syaraf-

syaraf serta pusat susunan syaraf, yang merupakan syarat fisiologis; dan (3) perhatian,

yang merupakan syarat psikologis (Walgito, 2010 : 101).

Proses Persepsi :

Dari segi psikologi dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi

dari cara dia mamandang. Oleh karena itu, untuk megubah tingkah laku seseorang,

harus dimulai dengan mengubah persepsinya. Sobur (2013 : 447) memaparkan bahwa

dalam persepsi, terdapat tiga komponen utama berikut.


33

(1) Seleksi, yaitu proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar,

intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit

(2) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai

arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti

pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan

kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk

mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses

mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

(3) Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku

sebagai reaksi. Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi,

dan pembulatan terhadap informasi yang sampai.

Penemuan yang berkaitan dengan kesalahpahaman atau persepsi yang salah

pada cara penularan penyakit tuberkulosis adalah sesuai dengan penelitian serupa

yang dilakukan di Pakistan. Didapatkan bahwa dari 170 pasien yang dilakukan

wawancara, delapan responden (7%) menyatakan atau berpikir bahwa penyakit Tb

paru bukanlah penyakit yang menular dan 18 responden (10,6%) menganggap bahwa

penyakit Tb paru tidak dapat dicegah. Makanan yang terkontaminasi merupakan

sumber penularan menurut 81 responden (47,6%) dan 96 responden (57%) berpikir

bahwa trauma emosi atau stress merupakan penyebab penyebab penyakit Tb paru

(Khan, et al. 2006). Memahami kesalahpahaman atau persepsi yang salah sangatlah

penting karena dimungkinkan sebagai indikasi dari adanya penundaan pencarian

pengobatan yang benar dan penolakan untuk melakukan pengobatan dan kepatuhan

melakukan pengobatan. Kesalahpahaman atau persepsi yang salah mengarah pada

stigma, yang mempersulit dalam pelibatan masyarakat dalam program pengontrolan

penyakit tuberkulosis paru. Program pendidikan kesehatan tentang penyakit


34

tuberkulosis paru harus mengarah langsung untuk mengatasi kesalahpahaman atau

persepsi salah yang secara umum terjadi di masyarakat (Gelaw, 2016). Menurut

Robbins dan Judge (2008), persepsi ada dua bentuk yaitu positif dan negatif. Persepsi

positif yaitu pandangan yang sesuai dengan pribadinya, sedangkan persepsi negatif

yaitu pandangan yang tidak sesuai dengan pribadinya. Untuk menghilangkan

kesalahpahaman atau salah persepsi masyarakat tentang penyakit Tb paru, kesadaran

masyarakat harus dibangun atau diciptakan, informasi tentang penyakit terkait, dan

pendidikan kesehatan mengenai penyakit Tb paru harus disebarkan. Kampanye

pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang dilakukan dengan baik dapat

berdampak pada tingkat pengetahuan dan menghasilkan sikap dan pemahaman yang

baik terhadap penyakit Tb paru (Khan, et al. 2006).

2.2.3.3 Kebiasaan

Masyarakat atau anggota masayarakat yang mendapat penyakit, dan tidak

merasakan sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apa-apa

terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga

merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Respon

seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :

a. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action).

Alasannya bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan

atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa

beritndak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap

dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-

tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Hal
35

ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di

dalam hidup dan kehidupannya.

Alasan lain yang kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan

sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak

responsif, dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi

ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya.

b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment atau self medication), dengan

alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan

ini adalah karena orang atau masayrakat tersebut sudah percaya kepada

diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu

usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ni

mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan. Mongobati

diri sendiri yang dilakukan masyarakat melalui berbagai cara antara lain :

kerokan, pijat, membuat ramuan sendiri, misalnya jamu, minum jamu

yang dibeli dari warung, minum obat yang dibeli bebas di warung obat

atau apotek (Notoatmodjo, 2010 : 107).

c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional

remedy). Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional

ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan penogbatan-

pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah

sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya daripada gangguan-gangguan fisik.

Identik dengan itu pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada

sosial-budaya masayarakat daripada hal-hal yang masih dianggap masih

asing. Dukun yang melakukan pengobatan tradisional merupakan bagian

dari masyarakat, berada di tengah-tengah masyarakat, dekat dengan


36

masyarakat, dan pengobatan yang dihasilkan adalah kebudayaan

masyarakat, lebih diterima oleh masyarakat daripada dokter, mantri, bidan

dan sebagainya yang masih asing bagi meraka, seperti juga pengobatan

yang dilakukan dan obat-obatnya pun merupakan kebudayaan mereka.

d. Mencari penobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern (profesional)

yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan

masyarakat, yang dikategorikan ke dalam Balai Pengobatan, Puskesmas,

dan Rumah Sakit, termasuk mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan

modern yang diselenggarakan oleh dokter praktik (private medicine)

(Notoatmodjo, 2010 : 108).

Dari hasil penelitian di Puskesmas Padang Kandis diketahui bahwa keputusan

untuk memilih pencarian pengobatan juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan istiadat

masyarakat setempat (Media, 2011). Salah satu cara membentuk perilaku agar sesuai

dengan yang diharapkan dapat ditempuh melalui kebiasaan atau pembentukan

perilaku dengan kondisioning. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku

seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. Cara ini

didasarkan atas teori belajar kondisioning baik yang dikemukakan oleh Pavlov

maupun oleh Thorndike dan Skinner, bahwa untuk pembentukan perilaku

dilaksanakan dengan kondisioning atau kebiasaan (Walgito, 2010 : 14).

Pandangan masyarakat terhadap sehat-sakit erat hubungannya dengan

perilaku pencarian pengobatan. Kedua pokok pikiran tersebut akan mempengaruhi

atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas kesehatan yang disediakan. Apabila konsep

sehat-sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat-sakit kita, maka jelas

masyarakat belum tentu atau tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan. Cara

yang tepat untuk melakukan pembetulan konsep sehat-sakit masyarakat ini adalah
37

melalui pendidikan kesehatan masyarakat. Namun sebaliknya, bila konsep sehat-sakit

masyarakat sudah sama dengan pengertian kita, maka kemungkinan besar fasilitas

yang diberikan akan mereka pergunakan (Notoatmodjo, 2010 : 109).

Ketika responden melaporkan telah mengunjungi pusat kesehatan, fasilitas

kesehatan, klinik swasta, atau rumah sakit maka dianggap telah mengunjungi fasilitas

kesehatan modern. Sebaliknya, ketika pesponden melaporkan telah melakukan

berupa pengobatan sendiri di rumah, membeli obat tanpa resep, mengkonsusmsi

obat tradisional (jamu), berkunjung ke “Holy Water” (dukun), dan tidak melakukan

pengobatan apa-apa, maka dianggap sebagai tindakan pengobatan yang tradisional

(Engeda, et al. 2016). Kebiasaan masyarakat yang biasanya cenderung untuk membeli

obat di warung ketika merasakan adanya gejala batuk dan sebagian kecil lainnya

mempercayakan kesembuhannya melalui bantuan tenaga pengobat tradisional atau

datang ke dukun, kondisi seperti ini antara lain dipengaruhi oleh kebiasaan keluarga

yang turun temurun (Media, 2011). Pada penelitian yang dilakukan di distrik Lay

Armachiho Ethiopia, ketidakhadiran atau tidak berkunjungnya orang dengan suspek

Tb paru, kemungkinan mengimplikasikan bahwa responden baik tidak menganggap

gejala atau penyakit Tb paru yang dideritanya merupakan masalah serius atau

responden telah menggunakan pengobatan tradisional yang lain untuk meringankan

gejala yang mereka alami (Engeda, et al. 2016).

2.2.3.4 Keyakinan

Becker (1974, dalam Notoatmodjo, 2010 : 115) memunculkan teori yang

menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior) yang

dikembangkan dari teori lapangan (Field theory, Lewin, 1954) menjadi model

kepercayaan kesehatan (health belief model) yang menyatakan bahwa, ketika seorang
38

individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakit yang dideritanya, maka

ada empat variabel kunci yang terlibat, yaitu :

1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia

harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut.

Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan

timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan

terhadap penyakit tersebut.

2) Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness)

Tidakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan

didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat. Penyakit polio misalnya, akan dirasakan lebih serius bila

dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan

lebih banyak diflu.lakukan bila dibandingkan dengan pencegahan

(pengobatan).

3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefits and barriers)

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang

dianggap serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini kan

bergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang

ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat

tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin

ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.

4) Isyarat atau tanda-tanda (Cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,

kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang


39

berupa faktor-faktor eksternal, misalnya pesan-pesan pada media massa,

nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga dari individu

tersebut (Notoatmodjo, 2010 : 117).

Pada penelitian di distrik Lay Armachiho Ethiopia, responden yang

merasakan (perceived) bahwa mereka sakit kemungkinan besar akan mengunjungi

fasilitas kesehatan modern dabanding mereka yang merasakan bahwa mereka baik-

baik saja (perceived wellness). Penjelasan yang paling mungkin untuk penemuan ini

adalah persepsi yang tinggi mengenai resiko pada orang dengan suspek Tb paru dapat

menggerakkan mereka untuk mengunjungi fasilitas kesehatan modern yang ada.

Kunjungan atau perujukan ke fasilitas kesehatan bila terlambat atau tertunda

berakibat pada terlambatnya mendeteksi penularan penyakit tuberkulosis paru.

Dampaknya adalah terjadi proses penyakit yang rumit, meningkatnya pasien yang

menderita, penularan penyakit yang semakin meluas di masyarakat, dan

meningkatkan resiko kematian akibat penyakit tuberkulosis paru (Engeda, et al.

2016).

Beberapa contoh yang dianggap sebagai keyakinan yang salah tentang

penyakit TB paru adalah sebagian besar masyarakat biasanya cenderung untuk

membeli obat warung ketika merasakan adanya gejala batuk, dengan alasan mereka

membeli obat warung dikarenakan masih meyakini penyakit yang dideritanya

tergolong penyakit ringan. Sedangkan sebagian kecil lainnya mempercayakan

kesembuhannya melalui bantuan tenaga pengobat tradisional, karena mereka

beranggapan bahwa penyakit TB tersebut hanya bisa dan cepat disembuhkan melalui

pengobatan tradisional karena penyakit tersebut berkaitan dengan kekuatan ghaib.

Kondisi seperti ini antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya karena
40

kebiasaan keluarga yang turun temurun, dan keyakinan mereka kepada pengobat

tradisional karena pelayanan yang diberikan oleh tenaga pengobat tradisional lebih

bersifat kekeluargaan (Media, 2011). Serupa dengan penelitian yang dilakukan di

distrik Lay Armachiho Ethiopia, ketika pesponden melaporkan telah melakukan

berupa pengobatan sendiri di rumah, membeli obat tanpa resep, mengkonsusmsi

obat tradisional (jamu), berkunjung ke “Holy Water” (dukun), dan tidak melakukan

pengobatan apa-apa, maka dianggap sebagai tindakan pengobatan yang tradisional

(Engeda, et al. 2016). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa, masyarakat dengan

keyakinan yang benar terhadap penyakit Tb paru akan berusaha mendapatkan

pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya dengan cara yang benar pula

contohnya dengan mendatangi fasilitas kesehatan modern.

2.2.3.5 Ekonomi

Kondisi ekonomi berpengaruh terhadap derajat kesehatan individu, derajat

kesehatan individu dengan status ekonomi yang rendah dapat mempersulit akses

terhadap pencapaian pelayanan kesehatan dikarenakan biaya kesehatan yang mahal

(Effendi & Makhfudli, 2009). Kemiskinan mempunyai kaitan yang erat dengan

pemahaman yang rendah tentang penyakit tuberkulosis. Orang dengan pemasukan

rendah (gaji) berkaitan dengan rendahnya tindakan pencarian pengobatan (Navio,

Yuste & Pasicatan, 2012). Seperti penelitian yang dilakukan di Puskesmas Padang

Kandis, kecamatan Guguk Kabupaten 50 Kota diketahui bahwa sebagian besar

masyarakat yang mengalami penyakit TB Paru adalah berasal dari golongan ekonomi

yang kurang mampu. Dengan kondisi keterbatasan ekonomi, walaupun biaya

pengobatan di puskesmas gratis, namun biaya transportasi apalagi pengobatan

penyakit TB Paru dilakukan selama lebih kurang 6 (enam) bulan menjadi hambatan
41

dan pertimbangan masyarakat dalam mencari upaya pengobatan. Kondisi ekonomi

masyarakat cenderung mempengaruhi masyarakat dalam pemilihan pengobatan.

Sulitnya akses menuju puskesmas dan sulitnya transportasi menyebabkan masyarakat

kesulitan untuk mengeluarkan biaya transportasi karena kemampuan ekonomi yang

relatif terbatas (Media, 2011). Sama halnya penelitian yang dilakukan di Puskesmas

Kaliwungu Kabupaten Kudus didapatkan bahwa ada hubungan tingkat ekonomi

seseorang dengan kejadian Tuberkulosis paru di Puskesmas Kaliwungu Kabupaten

Kudus (Rosiana, 2013).

Sebuah penelitian di Cambodia menemukan bahwa rendahnya ekonomi

rumah tangga (household poverty) berhubungan dengan penurunan terhadap penemuan

sputum-positive Case Notification Rate (CNR) (Wong, et al. 2013). Faktor rendahnya

level pengetahuan pada orang-orang miskin juga diperburuk dengan rendahnya level

pencarian pengobatan yang dilakukan dalam menangani penyakit yang dideritanya.

Beban penyakit tuberkulosis di antara orang-orang miskin sangatlah tinggi dengan

kondisi hidup yang kekurangan, malnutrisi, dan terpapar penyakit menular lain.

Ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis pada

masyarakat ini akan memperburuk situasi dikarenakan mereka tidak mengetahui cara

melindungi di mereka dari penyakit ini, ketika pencarian tempat pengobatan, ketika

dibutuhkan pengobatan dan pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan penyakit

tuberkulosis. Pada akhirnya akan mempersulit untuk memiliki program pengontrolan

penyakit tuberkulosis yang efektif. Orang yang memiliki ekonomi yang rendah ini,

harus dituju atau dijadikan target pada pendidikan kesehatan dan informasi mengenai

penyakit tuberkulosis, sehingga nantinya akan berkontribusi pada efektifitas pada

program pengontrolan penyakit tuberkulosis (Gelaw, 2016).


42

2.2.3.6 Akses ke layanan kesehatan

Menurut Efendi dan Makhfudli (2009 : 292), derajat kesehatan masyarakat

yang masih rendah diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan.

Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya

kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan yang mahal, kondisi

geografis yang sulit untuk menjangkau sarana kesehatan, dan lain sebagainya. Dalam

penelitian Media (2011), kondisi sulitnya masyarakat untuk mencapai akses pelayanan

kesehatan (puskesmas) karena jarak yang relative jauh dan beratnya biaya

transposrtasi adalah menjadi pertimbangan masyarakat dalam upaya pencarian

pengobatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akses ke layanan kesehatan dapat

menjadi faktor pertimbangan masyarakat dalam upaya pencarian pengobatan, dalam

hal ini pengobatan atau penanganan TB paru, sehingga secara tidak langsung akan

berdampak pada penemuan suspek TB paru.

2.3 Konsep Tuberkulosis

2.3.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru secara umum merupakan suatu penyakit infeksi yang

menyerang paru-paru, penyakit ini secara khas ditandai dengan pembentukan

granuloma dan menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan

dapat menular dari penderita kepada orang lain (Manurung, 2009 : 105). Darmanto

(2009 : 151) memberikan batasan bahwa tuberkulosis paru adalah penyakit

peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang

disebabkan oleh M. Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan

kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan selebihnya 20% merupakan tuberkulosis


43

ekstrapulmonar. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi

kuman M. Tuberculosis.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang pada

parenkim paru-paru, disebabkan oleh kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium

tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh yang lain seperti

meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Dalam tubuh manusia tuberkulosis

ditemukan dalam dua bentuk yaitu :

a. Tuberkulosis primer, infeksi bakteri TB dari penderita yang belum

mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB; terjadi pada infeksi yang

pertama kali

b. Tuberkulosis sekunder, kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan

aktif setelah bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi

tuberkulosis dewasa. Hal tersebut kebanyakan terjadi karena adanya

penurunan imunitas, misalnya karena malnutrisi, penggunaan alkohol,

penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal (Somantri, 2009 : 67).

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan

perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang meniggal setiap tahun

(Mandal, et al 2008 : 220). Laporan Global Tuberculosis Control WHO menyatakan,

22 negara High Burden Country (HBC) dengan beban tuberkulosis paru tertinggi di

dunia 50%-nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil).

Dari seluruh kasus tuberkulosis paru di dunia, India menyumbang 30%, China

menyumbang 15% dan Indonesia 5% (WHO, 2011). Penyakit TB telah dinyatakan

sebagai kedaruratan kesehatan dunia sejak dua dekade terakhir. Dengan estimasi 9

juta kasus baru dan 1,4 juta terjadi kematian setiap tahunnya, TB masih menjadi
44

resiko utama kesehatan global meskipun telah diusahakan dengan keras untuk

menahan penyebarannya serta telah dilakukan implementasi strategi penanganan yang

efektif (Haque, et al 2014). Pada tahun 2014, Estimasi sejumlah kasus TB yang paling

banyak terjadi di wilayah Asia (58%) dan wilayah Afrika (28%), proporsi kasus yang

lebih sedikit terjadi di wilayah Mediterania Timur (8%), wilayah Eropa (3%), dan

wilayah Amerika (3%) (WHO, 2015). Berdasarkan laporan global tuberculosis WHO

tahum 2015, penyakit TB masih menjadi masalah utama kesehatan global yang

menewaskan 1,5 juta orang hanya pada tahun 2014. Laporan ini juga menunjukkan

perkiraan 9,6 juta kasus tuberculosis baru yang didiagnosa pada tahun yang sama

(range 9,1 juta-10,0 juta): 5,4 juta diantaranya laki-laki, 3,2 juta diantaranya

perempuan dan 1,0 juta diantaranya anak-anak. Berdasarkan pemaparan mengenai

beban penyakit TB dapat disimpulkan bahwa penyakit ini merupakan masalah utama

kesehatan masyarakat dunia (WHO, 2015).

2.3.2 Etiologi

Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis

(Somantri, 2009 : 67). Bakteri ini merupakan kelompok dari Mycobacterium. Terdapat

beberapa spesies Mycobacterium yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA),

antara lain: M.tuberculosis, M. Africanum. M. bovis, M. leprae. Kelompok bakteri

Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan

pada saluran nafas di kenal sebagai Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT) yang

terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu

pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium

tuberculosis menjadi saran diagnosis ideal untuk TB (Kemenkes, 2014). Sifat dari

kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah dengan kandungan oksigen yang

banyak, dan daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru.
45

Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit tuberkulosis. (Somantri, 2009 : 67).

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain berbentuk batang

dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron. Bersifat tahan asam dalam

pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, dalam pemeriksaan dibawah mikroskop

kuman akan tampak berbentuk batang berwarna merah. Tahan terhadap suhu

rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara

4oC sampai minus 70oC. Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar

ultraviolet sehingga jika terpapar langsung terhadap sinar ultraviolet sebagian besar

kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Pada suhu antara 30 - 37oC kuman

dalam dahak akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. Kuman dapat bersifat

dormant (“tidur”/ tidak berkembang) (Kemenkes, 2014).

Bakteri tuberkulosis mempunyai sinding sel yang mengandung lemak/lipid

sampai hampir 60% dari berat seluruhnya, sehingga sangat sukar diwarnai dan perlu

cara khusus agar penetrasi zat warna dapat terjadi. Ada beberapa tehnik pewarnaan

tahan asam untuk bakteri ini. Pewarnaan Ziehl-Neelsen adalah satu jenis pewarnaan

yang lazim digunakan. Cara lainnya adalah pewarnaan Kinyoun-Gabett atau

pewarnaan Than Thiam Hok. Pada pewarnaan tersebut bakteri tampak berwarna

merah dengan latar belakang biru. Pada pewarnaan Flourokrom bakteri

berfluoresensi dengan warna kuning oranye. Selanjutnya, tingginya kandungan lipid

pada dinding sel menyebabkan bakteri ini sangat tahan terhadap asam, basa, dan kerja

antibiotik bakterisidal. Selain itu, bahan-bahan makanan juga sukar mengadakan

penetrasi melaui dinding selnya sehingga untuk pertumbuhannya perlu waktu yang

cukup lama (Muttaqin, 2008 : 76).


46

2.3.3 Cara Penularan Tuberkulosis

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan sangat berperan atas

peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya

terjadi secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling

sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi

basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru

dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA)

(Amin & Bahar, 2009 : 2232). Pasien dengan tuberkulosis paru aktif adalah sumber

daripada penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Lebih dari 90% orang yang

terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, patogen akan berbentuk infeksi laten yang

tidak menunjukkan gejala apapun. Diperkirakan resiko menjadi penyakit tuberkulosis

aktif adalah sebesar 5% selama 18 bulan setelah infeksi awal terjadi, dan diperkirakan

sebesar 5% selama seumur hidup (Zumla, et al. 2013).

Sumber penularan adalah pasien dengan tuberkulosis BTA positif melaui

percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB

dengan pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal

tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh

uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan

mikroskopis langsung. Pasien tuberkulosis dengan BTA negatif juga masih memiliki

kemingkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien tuberkulosis BTA

positif adalah 65%, pasien tuberkulosis BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah

26% sedangkan pasien tuberkulosis dengan hasil kultur negatif dan foto Thoraks

positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang

mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau
47

bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet

nuclei / percik renik). Dalam sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan

dahak (Kemenkes, 2014).

2.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada saat seorang klien dengan tuberkulosis paru batuk, bersin, atau

berbicara, maka secara tidak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah,

lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas,

droplet nuklei menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan

pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet

nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang yang sehat, maka

orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis. Penularan bakteri lewat

udara disebut dengan istilah air-borne infection (Muttaqin, 2008 : 72-73). Infeksi diawali

karena seseorang menghirup basil M. Tuberculosis. Bakteri meyebar melalui jalan napas

menuju alveoli lalu berkembang biak dan bertumpuk pada daerah tersebut.

Perkembangan M. Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-

paru (lobus atas). Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan aliran darah

ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, korteks serebri dan area lain dari paru-paru

(lobus atas) (Somantri, 2008 : 60). Bakteri tuberkulosis dan fokus ini disebut fokus

primer atau lesi primer atau fokus Ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe

regional, yang bersama dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam

waktu 3-6 minggu, inang atau tubuh yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif

terhadap protein yang dibuat bakteri tuberkulosis dan bereaksi positif terhadap tes

tuberkulin atau tes mantoux (Muttaqin, 2008 : 73).


48

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh

melalui berbagai jalan, yaitu :

1. Percabangan bronkhus

Penyebaran infeksi lewat percabangan bronkhus dapat mengenai area paru

atau melalui sputum menyebar ke laring dan menyebabkan ulserasi laring,

maupun ke saluran pencernaan.

2. Sistem saluran limfe

Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional limfadenopati

atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah

melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.

3. Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau

mengangkut material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini

pada akhirnya dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu

tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.

4. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang

lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut

dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi inang melemah

akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan

tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif

kembali. Inilah yang disebut reaktivasi infeksi primer atau infeksi pasca-

primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi.

Selain itu, infeksi pasca primer juga dapat diakibatkan oleh bakteri

tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri dorman
49

yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-

primer terutama berada di daerah apeks paru (Muttaqin, 2008 : 73). Ali (2007

: 97) menyatakan bahwa reaktivasi TB merupakan gambaran 90% daripada

kasus TB pada orang dewasa populasi non- infeksi HIV dan merupakan hasil

reaktivasi dormant yang sebelumnya ada ketika terjadi infeksi primer. Segmen

paru apikal bagian posterior biasanya terlibat.

Selanjutnya, sistem imun/kekebalan tubuh memberikan respons dengan

melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis

(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan

(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan eksudat

terakumulasi dalam alveoli yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia.

Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.

Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi

membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri

atas kumpulan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag yang membentuk

dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.

Bagian tengah dari jaringan tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas

makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang

penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan berubah menjadi

kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi

nonaktif (Somantri, 2009 : 68).

Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit

akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang

atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon

tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam


50

bronkhus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk

jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan

timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia

seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus

difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi

mejadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang

dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis

dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan

respons berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang

dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2008 : 60). Setelah tubuh terinfeksi oleh bakteri

M. tuberculosis, kemungkinan perkembangan menjadi tuberkulosis klinis yang aktif

adalah sangat kecil. Kurang dari 10% dari semua infeksi tersebut berkembang gejala-

gejala dan tanda menjadi penyakit yang aktif, tergantung dari pada lokasi georgrafis

seseorang tinggal , tipe strain bakteri M. tuberculosis, riwayat genetik, pemakaian obat

imunosupresan dan faktor resiko lainnya. Sebagian besar respon sistem kekebalan

tubuh individu adalah salah satu dari dua yakni mengeliminasi atau membunuh

bakteri M. tuberculosis atau bakteri menjadi laten/tidur. Infeksi bakteri M. tuberculosis

laten adalah kondisi klinis yang terjadi setelah seseorang terinfeksi bakteri M.

tuberculosis, imun dari host/tubuh merespon terhadap basil M. tuberculosis dengan cara

membuat basil tidak dapat bergerak, dengan seperti itu basil dari bakteri tidak dapat

mereplikasi diri dan mencegah kerusakan jaringan (McNerney, et al. 2012).

2.3.5 Tanda dan Gejala

Gejala klinis yang klasik dari TB paru adalah batuk kronis, produksi sputum,

nafsu makan menurun, berat badan turun, demam, Keringat di malam hari, dan

hemoptysis (Zumla, et al. 2013). Gejala utama pasien dengan tuberkulosis paru adalah
51

batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2014).

Penyakit TB paru stadium awal tidak menunjukkan tanda dan gejala yang

spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan menambah jaringan

parunya mengalami kerusakan, sehingga produksi sputum meningkat yang

ditunjukkan dengan seringnya klien batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran

dahak. Selain itu klien dapat merasa letih, lemah, berkeringat pada malam hari dan

mengalami penurunan berat badan yang berarti. Secara rinci tanda dan gejala TB paru

ini dapat dibagi atas 2 (dua) golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik.

Gejala sistemik adalah :

a. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya timbul

pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza

yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan virulensi kuman,

serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan.

Demam seperti influenza ini hilang timbul dan semakin lama semakin

panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas serangan akan makin

pendek. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40o-41oC. Hal lainnya yang

juga mempengaruhi keadaan ini adalah daya tahan tubuh daripada penderita

serta berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk (Amin & Bahar,

2009 : 2234).
52

b. Malaise

Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat terjadi rasa tidak

enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit

kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan

pada siklus haid (Manurung, 2009 : 107). Gejala malaise sering ditemukan

berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, berat badan makin kurus (berat

badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringan malam dan lain-lain.

Gejala malaise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul

secara tidak teratur (Amin & Bahar, 2009 : 2234).

Gejala respiratorik adalah :

a. Batuk

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkhus. Batuk

mula-mula terjadi oleh karena iritasi pada bronkhus; selanjutnya akibat adanya

peradangan pada bronkhus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif

ini berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak

berupa mukoid atau purulen (Manurung, 2009 : 107). Sifat batuk dimulai dari

batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk

darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Sebagian besar batuk

darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada

ulkus dinding bronkus (Amin & Bahar, 2009 : 2234).

b. Batuk darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya

batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
53

pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada

dinding kavitas, selain itu batuk darah dapat juga terjadi karena ulserasi pada

mukosa bronkhus. Batuk darah inilah yang paling sering membawa penderita

berobat ke dokter.

c. Sesak nafas

Gejala ini ditemukan pada penyakit lanjut dengan kerusakan paru yang cukup

luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah di temukan.

d. Nyeri dada

Gejala ini akan timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di pleura

terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik (Manurung, 2009 : 107-

108).

2.3.6 Tes Diagnostik

Dalam menegakkan diagnosa tuberkulosis paru, ada beberapa tes diagnostik

yang sering dilakukan antara lain :

a. Pemeriksaan radiologis : foto rontgen toraks

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto

rontgen toraks, akan tetapi terdapat beberapa gambaran yang karakteristik

untuk tuberkulosis paru yaitu :

 Apabila lesi terdapat terutama dilapangan diatas paru

 Bayangan berwarna atau bercak

 Terdapat kavitas tunggal taau multipel

 Terdapat klasifikasi

 Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru
54

 Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang

beberapa minggu kemudian

Lesi pada orang dewasa mempunyai predileksi di segmen apikal dan posterior

lobus atas serta segmen apikal lobus bawah. Umumnya lesi tuberkulosis bersifat

multiform, yaitu terdapat membran beberapa stadium pada saat yang sama misalnya

terdapat infiltrat, fibrosis dan kalsifikasi bersamaan (Manurung, 2009 : 108-109).

Lokasi lesi umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen

apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di

daerah hilus menyerupai tumor paru (Amin & Bahar, 2009 : 2235).

Gambaran yang tampak pada foto toraks tergantung dari stadium penyakit.

Pada lesi baru di paru yang berupa sarang pneumonia terdapat gambaran bercak

seperti awan dengan batas yang tidak jelas. Kemudian pada fase berikutnya bayang

akan lebih padat dan batas lebih jelas. Apabila lesi diliputi oleh jaringan ikat maka

akan terlihat bayangan bulat berbatas tegas disebut tuberkuloma. Apabila lesi

tuberkulosis meluas maka akan terjadi perkijuan, yang apabila dibatukan akan

menimbulkan kavitas. Kavitas ini akan bermacam-macam bentuknya atau

“multiloculatied”, dinding tebal dan sklerotik. Bisa juga ditemukan atelektasis pada satu

lobus bahkan pada satu paru, kadang-kadang kerusakan yang luas ditemukan pada

kedua paru. Gambaran fibrosis tampak seperti garis-garis yang padat, sedangkan

kalsifikasi terlihat sebagai bercak dengan densitas tinggi. Sering juga ditemui

penebalan yang tersebar merata dikedua paru. Gambaran efusi pleura dan

pneumotoraks juga sering menyertai tuberkulosis paru-paru (Manurung, 2009 : 109).

Foto toraks PA dan lateral biasanya sudah cukup memberikan gambaran.

Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologik khususnya seperti foto top


55

lordotik, tomogram dan bronkografi. Mengevaluasi foto dan membandingkan

hasilnya penting sekali untuk dilakukan, untuk mengentahui apakah ada kemajuan,

perburukan atau terdapat kelainan yang menetap (Manurung, 2009 : 110). Foto

rontgen dada dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal di bagian paru-paru

bagian atas, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan pada efusi

(Somantri, 2009 : 70).

b. Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis terbaik dari penyakit tuberkulosis diperoleh dengan pemeriksaan

mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara

yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat

biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan

kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan percobaan

kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Bahan pemeriksaan

untuk isolasi Mycobacterium tuberculosis berupa :

1. Sputum klien. Pemeriksaan bakteriologik dilakukan untuk menemukan

kuman tuberkulosis. Diagnosa pasti ditegakan bila pada biakan ditemukan

kuman tuberkulosis. Pemeriksaan penting untuk diagnosa definitive dan

menilai kemajuan klien (Manurung, 2009 : 110). Sebaiknya sputum diambil

pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum

diumpulkan selama 24 jam. Kadangkala tidak mudah untuk mendapatkan

sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif.

Untuk itu dianjurkan pada pasien, satu hari sebelum pemeriksaan sputum

minur air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk. Dapat juga

dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan


56

inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit (Amin & Bahar, 2009 :

2236)

2. Urine. Urine yang diambil adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang

dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan kateter maka urine

yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil. Diagnosis berdasarkan tes

urine merupakan sample klinis yang mudah didapatkan baik penderita TB

dewasa maupun anak-anak, dan sudah digunakan secara ekstensif untuk

mengevaluasi beberapa antigen dan deteksi DNA. Selain itu Diagnosis

berdasarkan tes urine dapat juga mendeteksi lipoarabinomannan (LAM) yang

terdapat pada urine pada pasien dengan tuberculosis, dimana LAM adalah

faktor virulen yang berkaitan dengan M. tuberculosis (McNerney, et al. 2012).

3. Cairan kumbah lambung. Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika

anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan sputum. Bahan pemeriksaan

diambil pagi hari sebelum sarapan.

4. Bahan-bahan lain. Misalnya pus, cairan serebrospinal (sumsum tulang

belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab tenggorok

(Muttaqin, 2008 : 94).

Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara mikroskopis dengan membuat sediaan

dan diwarnai dengan pewarnaan tahan asam serta diperiksa dengan lensa rendam

minyak. Hasil pemeriksaan mikroskopik dilaporkan sebgai berikut :

 Bila setelah pemeriksaan teliti selama 10 menit tidak ditemukan bakteri tahan

asam, maka diberikan label (penanda) : “ Bakteri tahan asam negatif atau

BTA (-)”.
57

 Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh sediaan, maka

jumlah yang ditemukan harus disebut, dan sebaiknya dibuat sediaan ulangan.

 Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka harus diberi label : “Bakteri

tahan asam positif atau BTA (+)” (Muttaqin, 2008 : 94).

Selain itu meskipun tidak sensitif dan tidak spesifik, pemeriksaan darah dapat

juga menunjang diagnosis TB paru. Pada pemeriksaan ini biasanya ditemukan

peningkatan leukosit dan laju endap darah (LED). Amin dan Bahar (2009 : 2236),

juga menambahkan, hasil pemeriksaan darah didapatkan juga anemia ringan dengan

gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium

darah menurun.

c. Tes tuberculin (Mantoux Test)

Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau

pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan Micobacteria

patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat (Amin &

bahar, 2009 : 2237). Pemeriksaan ini banyak digunakan untuk menegakkan diagnosa

terutama pada anak-anak. Biasanya dengan diberikan suntikan PPD (Protein Perified

Derivation) secara intara cutan 0,1 cc. Lokasi penyuntikan umumnya pada ½ bagian

atas lengan bawah sebelah kiri bagian depan. Penilaian test tuberkulosis dilakukan

setelah 48-72 jam penyuntikan dengan mengukur diameter dari pembengkakan

(indurasi) yang terjadi pada lokasi suntikan. Indurasi berupa kemerahan dengan hasil

sebagai berikut :

 Indurasi 0-5 mm : negatif

 Indurasi 6-9 mm : meragukan


58

 Indurasi >10mm : positif

Test tuberculin negatif berarti bahwa secara klinis tidak ada infeksi

mikrobakterium tuberkulosa, dan bila hasil meragukan dapat disebabkan karena

kesalahan tehnik reaksi silang (Manurung, 2009 : 110-111).

d. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB

inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler,

pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas

bronkhovaskular, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial. Sebagaimana pada

pemeriksaan rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya

berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu

dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap

saat.

Gambaran adanya kavitas sering ditemukan pada klien dengan TB paru dan

sering tampak pada gambaran Rontgen karena kavitas tersebut membentuk lingkaran

yang nyata atau bentuk oval radiolucent dengan dinding yang cukup tipis. Jika

penampakan kavitas kurang jelas, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk

memastikan atau menyingkirkan adanya gambaran kavitas tersebut. Pemeriksaan CT

scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih

dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa (Muttaqin, 2008 : 92).

CT scan merupakan pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini

sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan (Amin & Bahar, 2009 : 2235). Selain itu

CT scan dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kasus Tb extrapulmonary pada


59

pasien yang dicurigai menderita spinal TB, dimana CT scan dapat menunjukkan lesi

dari basal ganglia, midbrain dan brain sterm (Ali, 2007 : 100).

e. Radiologis TB Paru Milier

Jika Mycobacterial terus berkembang tanpa dilakukan pengecekan atau

penanganan, basil akan menyebar secara hematogen yang akan menghasilkan

disseminated Tb atau Tb yang menyebar. Tb Milier dideskripsikan sebagai penyakit Tb

yang menyebar lengan lesi yang menyerupai biji padi-padian (Ali, 2007 : 95).

Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi

tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan

pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal dapat memberikan keuntungan

seperti pada tuberkulosis anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas

diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan

pemeriksaan sputum hampir selalu negatif (Amin & Bahar, 2009 : 2235). Tb paru

milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier subakut

(kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh

invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut

yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.

Pada bayi dan anak-anak, penyakit dapat disebabkan oleh penyebaran dari TB

primer dan mengakibatkan manifestasi klinis yang berat. Keadaan ini biasa terjadi

pada bayi-bayi dengan gizi buruk atau penyakit kronis yang biasanya sangat rentan.

Pada sebagian besar anak-anak, jumlah bakteri hanya sedikit dalam tubuhnya

(hospes), namun cukup resisten untuk mencegah penyebaran milier sehingga tidak

menimbulkan manifestasi klinis. Pada orang dewasa, khususnya orang tua, angka

kejadian penyakit ini cukup tinggi dan sulit sekali untuk diidentifikasi. Hasil
60

pemeriksaan Rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.

Nodul-nodul dapat terlihat pada Rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi

parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beebrapa klien,

didapatkan bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul sangat kecil yang

menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat

gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing

berupa garis-garis tajam. Pada klien lain, nodul-nodul tersebut dapat berupa garis

tebal yang tidak begitu tajam dengan daerah-daerah yang kabur di sekitarnya. Pada

beberapa klien TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil Rontgen thoraks,

tetapi pada beberapa kasus, bentuk milier klasik berkembang seiring dengan

perjalanan penyakitnya (Muttaqin, 2008 : 93).

2.3.7 Penatalaksanaan Tuberkulosis

Zain (2001, dalam Muttaqin, 2008 : 79) membagi penatalaksanaan

tuberkulosis paru menjadi tiga bagian, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan

penderita (active case finding).

2.3.7.1 Pencegahan tuberkulosis paru

1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat

dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes

tuberkulin, klinis dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan

radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih

negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes

tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis. Tujuan penelusuran kontak adalah

untuk mengidentifikasi kemungkinan kasus dengan penyakit klinis, kasus lain

yang terinfeksi oleh pasien yang sama dengan atau tanpa bukti penyakit, dan
61

orang yang berkontak erat harus mendapatkan BCG (Mandal, et al. 2008 :

227).

2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok

populasi tertentu misalnya karyawan rumah sakit/puskesmas/balai

pengobatan, penghuni rumah tahanan, siswa-siswi pesantren

3. Vaksinasi BCG

BCG digunakan pada beberapa negara sebagai tindakan perlindungan untuk

infeksi mikobakterium. Vaksinasi ini memberikan kira-kira 80% perlindungan

selama 10-15 tahun dan merupakan yang paling baik untuk mencegah

penyakit diseminata pada anak.

4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan

dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih

sedikit. “Kemoprofilaksis diberikan untuk mencegah infeksi yang berlanjut

menjadi penyakit klinis” (Mandal, et al. 2008 : 227). Indikasi kemoprofilaksis

primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut :

 Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko

timbulnya TB milier dan meningitis TB,

 Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif

yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular,

 Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif

menjadi positif,

 Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif

jangka panjang

 Penderita diabetes melitus.


62

5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis

kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh

petugas pemerintah maupun petugas LSM lainnya (misalnya Perkumpulan

Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI). Pengguanaan peran

suatu komunitas untuk berkontribusi dalam pecegahan, diagnosis dan

penanganan Tb, terutama pada pasien Tb yang mempunyai kesulitan akses ke

pelayanan kesehatan formal adalah sangat diharapkan. Selain itu, kerjasama

yang kuat dengan organisasi masyarakat dan komunitas adalah satu satu dari

empat prinsip dari 2015 global Tb strategy (WHO, 2014).

2.3.7.2 Pengobatan tuberkulosis paru

Tujuan pengobatan pada penderita Tb paru selain mengobati, juga untuk

mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata

rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini

adalah mekanisme kerja obata anti-tuberkulosis (OAT) :

a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

 Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan

Streptomisin (S)

 Intraseluler, jenis obat yang digunakan adalah ialah Rifampisin dan

Isoniazid (INH/H)

b. Aktivitas sterilisasi, terhadap bakteri semidormant (the persisters)

 Ektraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid

 Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan

Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z)


63

c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitasbakteriostatis

terhadap bakteri tahn asam

 Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam para-

amino salisilik (PAS), dan sikloserine

 Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid

dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder (Muttaqin, 2008 : 80).

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat

utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan

rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan

Etambutol. Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan

panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan

kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat

kategori sebagai berikut :

Kategori I

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan

keadaan ayng berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis

masif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis; dan penderita dengan

sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan

sebagainya.

Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap hari selama dua bulan.

Bial selama dua bulan sputum menjadi negatif, maka dimulai fase lanjutan. Bila

setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4
64

minggu lagi (dalam program P2TB Depkes diberikan 1 bulan dan dikenal sebagai

obat sisipan), kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat apaakah

sputum sudah negatif atau belum. Fase lanjutannya adalah 4 HR atau 4 H3R3. Pada

penderita meningitis, TB milier, spondiolitis dengan kelainan neurologis, fase lanjutan

diberikan lebih lama, yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan.Sebagai

panduan alternatif pada fase lanjutan ialah 6 HE.

Kategori II

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.

Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum

menjadi negatif, baru diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah tiga bulan sputum

masih tetap positif, maka fase intensif diperpanjang satu bulan lagi dengan HRZE

(juga dikenal sebagai obat sisipan). Bila setelah empat bulan sputum masih tetap

positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian, periksa biakan dan uji

resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.

Bila penderita mempunyai data resisten sebelumnya dan ternyata bakteri

masih sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif sputum menjadi

negatifmaka fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan ketat.

Bila data menunjukkan resistensi terhadap H atau R, maka fase lanjutan harus diawasi

dengan ketat. Tetapi jika data menunjukkan resistensi terhadap H dan R, maka

kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Fase lanjutan adalah 5 H3R3E3 bila

dapat dilakukan pengawasan atau 5 HRE bila tidak dapat dilakukan pengawasan.
65

Kategori III

Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya

tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I. Pengobatan

yang diberikan :

2HRZ/6 HE

2 HRZ/4 HR

2 HRZ/4 H3R3

Kategori IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena

kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. Untuk negara kurang mampu dari

segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk negara maju

atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian obat

berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide,

Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya (Muttaqin, 2008 : 80-81).

Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket

KDT dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan atau kontinuitas pengobatan sampai selesai. Selain itu penyediaan OAT

dalam bentuk paket KDT mempuyai beberapa keuntungan, yaitu: 1) Dosis obat

dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan

mengurangi efek samping; 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga

menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan


66

penulisan resep; 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian

obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kemenkes, 2014).

Berikut adalah panduan OAT yang dibuat oleh Departemen Kesehatan RI

(2014) dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia :

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, pasien baru tuberkulosis paru BTA

positif, pasien tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif dan pasien

tuberkulosis ekstra paru.

Tabel 2.1
Dosis untuk kategori OAT KDT kategori – 1
Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
> 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

b. Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya, pasien kambuh, pasien gagal dan pasien dengan pengobatan setelah

putus berobat.

Tabel 2.2
Dosis untuk kategori OAT KDT kategori – 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Tiap hari 3 kali seminggu
Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150 + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT
+750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT
+1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
> 70 kg 5 tablet 4 KDT 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT
67

+1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

c. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori

1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.3
Dosis KDT untuk sisipan
Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT
> 70 kg 5 tablet 4 KDT

2.3.7.3 Penemuan Penderita (case finding)

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan

fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta

tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh sehingga tidak

menularkan penyakitnya kepada orang lain. Menurut Rye, Saleh dan Hadiwijoyo

(2009) penemuan penderita Tb paru merupakan salah satu indikator penting yang

menentukan keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis dengan strategi

DOTS. Namun dengan metode pasive case finding dan promosi yang aktif tidak dapat

menjaring suspek Tb paru secara maksimal. Untuk itu penemuan pasien TB juga

dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan,

dan harus didukung dengan kegiatan promosi aktif sehingga semua terduga TB dapat

ditemukan secara dini. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:


68

 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit Tb seperti pada

pasien dengan HIV, Diabetes mellitus dan malnutrisi,

 Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi

terjadinya penularan TB, seperti : laps/rutan, tempat penampungan

pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo,

 Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB

 Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat (Kemenkes,

2014).

2.3.8 Indikator Program TB

Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB

digunakan beberapa indikator sebagai alat ukur kemajuan program (marker of progress).

Indikator program pengendalian TB secara Nasional ada 2 yaitu :

1) Angka penemuan kasus (Case Detection Rate= CDR) adalah prosentase

jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien

baru TB paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case detection

rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru TB Paru BTA positif secara

nasional. Indikator ini masih digunakan untuk evaluasi pencapaian MDGs 2015

untuk program pengendalian TB. Setelah tahun 2015, indikator ini tidak akan

digunakan lagi dan akan diganti dengan Case Notification Rate (CNR) sebagai indikator

yang menggambarkan cakupan penemuan pasien TB. Perkiraan jumlah pasien baru

TB paru BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus baru

TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate

program pengendalian tuberkulosis nasional minimal 90% pada tahun 2015

(Kemenkes, 2014). Case detection rate adalah indikator yang digunakan untuk
69

mengevaluasi rangka kerja millennium development goal (MDG) dalam pengendalian Tb.

CDR merupakan kalkulasi daripada sejumlah kasus baru atau kasus Tb relaps yang

dinotifikasi oleh program tuberkulosi nasional, dibagi dengan estimasi jumlah insiden

kasus Tb pada tahun tahun itu. CDR dinyatakan dalam presentase; presentase ini

memberikan perkiraan indikasi proporsi semua kejadian kasus Tb yang sebenarnya

didiagnosa, yang dilaporkan ke program tuberkulosi nasional atau sistem pengawas

nasional dan dimulai untuk ditangani (WHO, 2014).

2) Angka kesembuhan (Cure rate) adalah angka yang menunjukkan prosentase

pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang sembuh setelah selesai masa

pengobatan, diantara pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis yang tercatat.

Angka minimal pencapaian Cure Rate adalah 85% (Kemenkes, 2014). Definisi cured

atau cure adalah pasien dengan Tb paru dengan bakteriologi terkonfirmasi Tb pada

awal pengobatan yang smear atau kultur negatif pada akhir bulan masa pengobatan

(WHO, 2014). Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase

penderita Tb BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara

penderita Tb BTA positif yang tercatat (Romandhani & Wahyu, 2011).

Anda mungkin juga menyukai