Anda di halaman 1dari 4

MAS ERLANGGA A.

18051010007

ESSAY

Dalam Allegory of the cave atau perumpamaan yang ditulis oleh plato mempunyai
makna bahwa untuk memperkenalkan konsep seperti realitas dan transendensi. Dan juga tujuan
menurut Allegory of the cave ialah menjelaskan tentang forma atau suatu aksi kesempurnaan
yang sifatnya intrinsic dan ekstrinsik yang menjadikan sesuatu hal yang menjadi baik di dalam
realitas. Yang bermaksud “namanya manusia, pendapatnya tentang kenyataan dibatasi oleh
persepsi”.

Dan untuk ilustrasi yang berada di dalam dinding gua memiliki makna sebagai tempat
dimana kita melihat bayangan dari suatu objek yang yang timbul akibat dari objek yang
ditunjukan dalang dan terefleksikan oleh api unggun sebagai apa yang kita lihat dan kita anggap
sebagai kebenaran. Menurut plato panca indera kita hanya melihat bayangan dari kebenaran
sedangkan kebenaran yang sebenarnya hanya bisa dilihat secara akurat dengan akal. Seperti
hal nya dalam dunia arsitektur untuk terjun disebuah proyek atau dibawah tawanan masyarakat
memerlukan ilustrasi untuk menghasilkan sebuah objek untuk dibawa ke dunia kebenaran yang
sesungguhnya.

Pandangan di Wilayah luar gua dianggap sebagai tempat dimana kebenaran yang
sebenarnya berada dan dianggap sebagai kebenaran tertinggi. Yang dimana dalam dunia
arsitektur dapat mengeksplor tempat yang dirasa terdapat kebenaran yang tertinggi. Setelah itu
menurut ilustrasi tawanan yang meninggalkan gua dianggap sebagai orang yang berpikir kritis
dan mampu mempertanyakan keyakinannya sehingga ia bisa dan mampu menemukan
kebenaran yang sebenarnya di luar gua dimana dalam lingkup arsitektur memerlukan orang
yang dapat berpikir kritis sebelum bertindak agar apapun permintaan tidak hanya patuh pada
orang yang meminta bantuan pada kita tetapi juga perlu pertimbangan-pertimbangan yang ada
sehingga menemukan masalah-masalah yang ada dan menjadi kebenaran yang sebenarnya.

Perumpamaan ini membuat tertarik karena menyimpan maksud yang dalam dan
masih make sense di kehidupan kita sampai sekarang. Menurut saya allegory of the
cave setidaknya mengajarkan kita tentang apa yang kita lihat dan persepsikan selama ini
sebagai suatu kebenaran belum tentu adalah kebenaran yang sesungguhnya. Seringnya kita
terlalu fokus untuk membuktikan bahwa kita benar daripada mencari kebenaran itu sendiri.
Padahal untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya, tidak cukup hanya dengan berpikir
tapi kita juga harus memiliki hati yang besar. Proses berpikir dan belajar inilah yang dianggap
penuh perjuangan karena kita harus melawan diri kita sendiri dari berbagai ketakutan akan
pencarian kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran tidak selalu membahagiakan.

Plato hendak mengetengahkan satu hal. Kadang, orang terjebak mengamini apa yang
mereka persepsikan sebagai ‘kenyataan sebenarnya’. Sementara faktanya belum tentu, bisa saja
apa yang dilihat itu aslinya cuma sebagian kecil. Analogi ini kemudian diperluas ke dunia
amatan kita sehari – hari. Mungkinkah bahwa semua rasa, bau, dan warna yang kita persepsi
sekadar cerminan? Plato menduga demikian. Dalam filsafat Plato, semua persepsi itu pada
dasarnya refleksi dari Forma yang merupakan bentuk kenyataan tertinggi.

Bagian selanjutnya dari ‘Perumpamaan Gua’ (Allegory of The Cave) berkisah tentang
tawanan yang dibebaskan. Orang ini tadinya seumur hidup menatap dinding. Meskipun begitu
ia kemudian diseret keluar untuk berhadapan dengan dunia luas.

Dan yang terjadi pertama-tama, orang tersebut digambarkan mengalami rasa sakit luar
biasa. Setelah itu ia digambarkan mengalami kebingungan karena ternyata ada dunia di luar
dua – dimensi yang selama ini ia tahu. Anggapan tentang realitas yang diyakini selama ini
terasa terjungkir balik. Bisa dibayangkan bahwa dia tersiksa secara lahir – batin. Si mantan
tawanan akan merasa berada di dunia yang ‘Maha Lain’. Dunia yang melampaui semua
pengetahuan dan persepsinya. Jikapun hendak dijelaskan lewat akal, maka akan mustahil sebab
benaknya tidak pernah berkenalan dengan dunia tiga – dimensi.

Dalam ilustrasi Allegory of the cave dimaknai dalam dunia arsitektur ialah ruang adalah
sesuatu yang dapat terlihat dan teraba, menjadi teraba karena memiliki karakter yang jelas
berbeda dengan semua unsur lainnya. Beliau menginginkan segala sesuatunya harus berwadah,
kasat mata, dan teraba. Karena menurut beliau ruang memiliki karakteristik sebagai tempat
melingkupi objek yang ada padanya, tempat bukan bagian yang di wadahinya, tempat dari
suatu objek yang tidak lebih besar atau lebih kecil dari objek tersebut, tempat dapat
ditinggalkan oleh ojbek dan dapat dipisahkan dari objek, dan tempat selalu mengikuti objek
walaupun objek terus bergerak.

Plato juga mengatakan apa yang dikatakan indah dan sumber dari segala keindahan
adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana. Yang
dimaksud dengan ‘sederhana’ disini adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan
lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang diberi batasan ‘lebih sederhana’ lagi. Meskipun demikian,
yang majemuk juga dapat dialami sebagai sesuatu yang indah jika tersusun secara harmonis
berdasarkan sesuatu yang benar – benar sederhana.

Berdasarkan keindahannya dengan sendirinya dapat mendapat kesan, bahwa


pandangan Plato tentang yang indah sebagai sesuatu yang secara fisik paling sederhana
bergeser kepandangan, bahwa yang indah adalah yang paling ‘bersatu’. Kesan sepintas itu
adalah keliru. Ia setuju bahwa ‘kebersatuan’ atau ‘keterpaduan’ adalah gejala yang ikut
menandai keindahan. Plato tetap mau mempertahankan kesederhanaan sebagai ciri khas dari
keindahan, baik dalam alam maupun dalam karya seni. Menurutnya keindahan bergantung dari
bentuk keindahan luarnya, yang menyangkut warna dan bentuknya. Keindahan, menurutnya
dicapai dari hubungan bentuk yang sederhana. Dalam teori menurut Plato, yang diutamakan
dalam menilai keindahan adalah bentuk (form), fisik (visual), dan warna luar dari objek desain
tersebut.

Mengenai keindahan dan kenyataan yang mungkin masih jauh dari bayangan manusia. Melalui
konsep filosofis bangunan dari segi bentuk, pemilihan bahan, serta perletakan bangunan
didasarkan pada konsep – konsep filosofis mengenai kesakralan pernikahan termasuk konsep
mengenai laki – laki dan perempuan, serta hubungan manusia dengan Tuhan dan alam.
Keindahan yang tercipta dari warna bangunan yang berwarna putih dapat berubah mengikuti
keadaan sekitar, dapat dilihat bahwa bangunan tersebut pada sore hari menjadi berwarna oranye,
sedangkan pada malam dapat berubah mengikuti warna langit yang biru.

Begitu hal nya da0lam perkembangan dunia arsitektur yang direalisasikan oleh manusia
terdapat usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dimana kebutuhan hidup manusia adalah
sandang,pangan,ruang hidup atau pemukiman,Pendidikan dan kesehatan. Dari unsur tersebut
terdapat ruang yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia baik secara psikologi
emosional (persepsi) maupun dimensional.

Seperti halnya didalam gua yang terkurung dibawah tawanan dalam manusia juga
berada dalam ruang yang bergerak serta menghayati,berfikir dan juga menciptakan suatu objek
atau ruang untuk menyatakan bentuk dunianya.

Dalam pohon arsitektur menerangkan periode-periode tentang perjalan arsitektur


dimana arsitektur adalah sebagai buah dari kehidupan manusia dan alam sebagai akarnya, dan
dalam ilustrasi allegory of the cave yang terdapat gua yang diibaratkan sebuah pohon arsitektur
yang terdapat dunia arsitektur mengungkapkan bahwa awal mula arsitektur bernaung. Dan
terdapat wujud fisik seperti bangunan tunggal maupun sebuah lingkungan buatan.

Sebuah karya arsitektur mengibaratkan kondisi masyarakat yang berada disebuah


artefak. Artefak merupakan wujud akhir yang timbul akibat adanya gagasan dan tindakan
dalam sebuah kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai