Disusun Oleh:
Pembimbing:
Judul Referat:
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 11 Maret-20 Mei 2019.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Anemia
Penyakit Kronis” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yenny Dian Andayani, Sp. PD, K-HOM selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikian penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1 Definisi Anemia Akibat Penyakit Kronik ....................................... 3
2.2 Epidemiologi ................................................................................... 4
2.3 Peran Hepcidin dalam Metabolisme Besi ........................................ 5
2.4 Patogenesis ...................................................................................... 7
2.5 Pendekatan Umum Penegakan Diagnosis ....................................... 11
2.6 Pemeriksaan untuk Diagnosis .......................................................... 12
2.7 Gambaran Klinis .............................................................................. 13
2.8 Tatalaksana ...................................................................................... 15
2.9 Diagnosis Banding ........................................................................... 18
2.10 Prognosis ....................................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
defisiensi nutrisi (34%), Anemia penyakit kronik (20%), dan anemia yang tidak
dapat dijelaskan (34%).
Etiologi anemia penyakit kronik banyak dan dikelompokan berdasarkan
aktivasi sel imun dan respon sitokin inflamasi yang menyebabkan penurunan
produksi erythropoietin, menurunkan erythropoiesis, dan gangguan pada
homeostasis besi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Eritrosit <2,8 juta/mm³
2.2 Epidemiologi
Anemia penyakit kronis merupakan anemia terbanyak ke dua setelah
anemia defisiensi besi. Sekitar 20-50% anemia penyakit kronis terjadi pada
kondisi dengan peradangan kronis. Prevalensi anemia penyakit kronis meningkat
seiring dengan bertambahnya usia.(2) Anemia penyakit kronis sering dijumpai
pada pasien dengan inflamasi kronis maupun keganasan. Derajat anemia
sebanding dengan berat ringanya gejala, seperti demam, penurunan berat badan,
dan debilitas umum.(1) Pada umumnya, anemia pada penyakit kronis ditandai oleh
kadar Hb berkisar 7-11g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah,
cadangan Fe yang tinggi dijaringan dan produksi sel darah merah yang berkurang.
Indeks morfologi eritrosit pada anemia penyakit kronik adalah normositik
normokromik atau bisa dengan hipokrom ringan jika terjadi bersamaan dengan
anemia defisiensi besi.
4
2.3 Peran Hepcidin dalam Metabolisme Besi
Hepcidin dikenal sebagai hormon pengatur besi dalam tubuh. Secara
umum peran hepcidin adalah untuk menurunkan serum besi. Mekanisme kerja
hepcidin tergantung pada interaksi hepcidin dan ferroportin. Ferroportin adalah
satu-satunya iron exporter pada mamalia. Ferroportin berkerja pada permukaan
retikulo-endotelial makrofag, hepatosit, duodenal, enterosit dan sel plasenta.
Hepicidin akan berikatan dengan ferroportin dan menyebabkan internalisasi dan
degradasi di endolisosom, yang mana hal ini akan memblok transport besi melalui
ferroportin.
Dalam keadaan normal kadar hepcidin serum yang tinggi mengurangi
penyerapan zat besi di usus dan menghambat ekspor zat besi dari jaringan ke
aliran darah. Hal ini dilakukan untuk melindungi tubuh dari kelebihan zat besi
total dan peningkatan distribusi zat besi ke dalam sirkulasi. Sebaliknya, ketika
kadar besi yang bersirkulasi terbatas maka akan terjadi negative feedback untuk
menurunkan regulasi hepcidin, sehingga memungkinkan masuknya zat besi yang
tersedia dari sel enterosit duodenum dan penyimpanan zat besi jaringan. Dengan
mengatur pelepasan hepcidin, mahluk hidup dapat mengontrol level plasma besi
dan mengatur keseimbangan metabolisme besi dalam tubuh.(2)
5
Gambar 1. Peran hepcidin dalam regulasi zat besi(8)
6
hepcidin dapat dipengaruhi oleh sitokin inflamasi sitokin IL-6. Hal ini dapat
mengkonfirmasi bahwa hepcidin memiliki peran penting dalam proses terjadinya
anemia penyakit kronis.
2.4 Patogenesis
Sitokin inflamasi menginduksi perubahan dalam pola distribusi zat besi.
Pasien dengan anemia penyakit kronik memiliki konsentrasi besi serum yang
rendah, kapasitas pengikatan besi total yang rendah atau normal, dan saturasi
transferin yang rendah dan jumlah retikulosit yang rendah.(9) Pada anemia
penyakit kronik terjadi akumulasi zat besi dalam makrofag retikuloendotelial
sehingga kadar sirukulasi zat besi menurun.(10) Dengan demikian, zat besi bebas
yang tersedia untuk sintesis Hb menjadi berkurang meskipun terdapat cadangan
besi yang cukup atau tinggi.(2) Hal ini mungkin terjadi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh untuk menghambat pertumbuhan patogen yang masuk kedalam
tubuh. Patogen-patogen ini biasanya menggunakan zat besi untuk berkembang
biak dan bertahan hidup didalam tubuh, oleh sebab itu tumbuh melakukan
mekanisme pertahanan diri dengan menurunkan sirkulasi zat besi dalam tubuh.(2)
Penelitian terbaru menunjukkan kemungkinan peran hepcidin dalam defisiensi
besi fungsional pada anemia penyakit kronik.(2) Ekspresi hepcidin yang berlebihan
pada tikus menimbulkan ciri yang khas terjadi pada anemia penyakit kronik
seperti hipoferemia dan retensi besi pada makrofag. (11)
Hepcidin diproduksi di hati dan terdeteksi dalam serum dan urin. Hepcidin
memiliki aktivitas antimikroba intrinsik. Ekspresi hepcidin meningkat sebagai
respons terhadap rangsangan inflamasi. Hepcidin adalah regulator negatif
penyerapan zat besi usus dan pelepasan zat besi terkait makrofag. Interleukin (IL)
6 bekerja pada hepatosit dan dapat meningkatkan pelepasan hepcidin.(12) Hepcidin
adalah protein yang menjadi pengatur utama untuk penyerapan zat besi dalam
usus dan distribusi zat besi dari berbagai simpanan tubuh termasuk sel makrofag
retikuloendotelial. Hepsidin berperan dalam regulasi zat besi adalah dengan
melakukan pembentukan dan pendegradasian exporter besi yaitu, ferroportin.(13)
Adanya ferroportin pada permukaan sel hepatosit, enterosit duodenum dan
7
makrofag menjadikannya pengangkut penting zat besi seluler. Dengan demikian,
penipisan ferroprotein akan menghentikan transfer zat besi seluler ke dalam
plasma.
Peradangan akibat infeksi, penyakit autoimun dan kanker merangsang
sintesis banyak sitokin proinflamasi, seperti interferon, IL-1, dan IL-6 dan sitokin
proinflamasi yang telah terbukti memicu produksi hepcidin berlebih.(14) Hepsidin
akan berinteraksi dengan feropontin, yakni protein membran yang akan
menghambat absorbs besi oleh usus halus, di samping itu hepsidin juga akan
menurunkan pelepasan besi oleh makrofag. Akibat kedua efek hepsidin tersebut,
maka kadar besi dalam plasma akan menurun (hipoferemia), yang menjadi
karakterisrtik untuk anemia penyakit kronis.(2)
Mekanisme molekuler dimana peradangan mengatur hepcidin adalah
Janus kinase (JAK) - transduser sinyal dan aktivator jalur transkripsi (STAT).
Jalur IL-6 / JAK2-STAT3 mengontrol produksi hepcidin.(12) Ikatan ligan pada
reseptor IL-6 mengaktifkan JAK2. Ini pada gilirannya memfosforilasi faktor
transkripsi STAT3. Peningkatan regulasi ekspresi gen hepcidin disebabkan oleh
translokasi STAT3 terfosforilasi ke dalam nukleus dan pengikatan ke situs
pengikatan STAT3 kanonik dalam promotor hepcidin proksimal.(2)
8
Produksi aktivin B oleh sel-sel hati secara nyata meningkat selama
peradangan dan berikatan dengan tipe reseptor protein morfogenetik tulang
(BMP) 1. Aktivasi reseptor ini bekerja melalui protein transmembran SMAD dan
JAK-STAT untuk menyebabkan peningkatan ekspresi hepcidin.(4) Ekspresi IL-6
dan hepcidin hepatik telah ditemukan meningkat secara signifikan pada berbagai
keganasan Hepcidin menghambat ekspor besi dari enterosit, hepatosit, dan
makrofag sumsum(4), sehingga menciptakan lingkungan hipoferraemik, dan
dengan demikian menyangkal mikroba penyerang serta sel eritroid, besi yang
sangat dibutuhkan. IFN-γ menginduksi apoptosis pada prekursor eritroid dengan
meningkatkan produksi oksida nitrat dan produksi mRNA nitrit oksida sintase
yang dapat diinduksi.(4) IFN-γ dan pada tingkat lebih rendah IFN-α dan -β telah
diamati untuk menginduksi apoptosis dari unit eritroid burst-forming dan unit
pembentuk koloni. Tindakan ini dimediasi sebagian melalui aksi ceramide dan
karena berkurangnya reseptor erythropoietin dalam sel-sel prekursor eritroid(4).
Modalitas lain dari tindakan IFN meliputi pengurangan jumlah dan aktivitas
erythropoietin serta berkurangnya ekspresi faktor pertumbuhan lainnya seperti
faktor sel induk.
9
Dalam beberapa kasus anemia penyakit kronik, erythropoietin tidak
merespon dengan baik untuk melakukan eritropoesis sebagai mekanisme
kompensasi tubuh, sehingga muncul istilah "blunted erythropoietin response."
Sitokin, lipopolisaccharida bakteri dan IFN-γ menginduksi pembentukan oksida
nitrat dan radikal bebas oksigen, yang secara langsung menghambat ekspresi
erythropoietin in vitro.(4) Spesies oksigen reaktif ini juga dianggap menghambat
faktor transkripsi yang menginduksi erythropoietin dan juga merusak sel-sel yang
memproduksi erythropoietin.
IFN-γ dan lipopolysacharides bakteri dapat meningkatkan pengaturan
DMT-1. yang dapat meningkatkan penyerapan besi bebas ke dalam enterosit dan
monosit / makrofag, dan menyebabkan retensi besi di dalam monosit dengan
menurunkan regulasi ekspresi ferroportin mRNA. Pada pasien yang sakit kronis,
kadar TNF-α dan IL-6 yang lebih tinggi keduanya dilaporkan berkorelasi dengan
kadar serum besi yang lebih rendah, sehingga menciptakan suasana hipoferraemia
yang berlaku dengan pengurangan kapasitas eritropoietik.(4) Hal ini mungkin juga
disebabkan oleh peningkatan tingkat eritrofagositosis, suatu proses yang
dirancang untuk menghilangkan sel darah merah tua dan rusak dalam situasi
normal, kerusakan ini disebabkan oleh sitokin, endotoksin, dan spesies oksigen
reaktif. Beberapa percobaan pada hewan telah mengungkapkan bahwa dosis
sublethal TNF-α dapat menyebabkan fagositosis eritrosit oleh makrofag.
Hipoksia menyebabkan peningkatan transkripsi hepcidin mRNA. Proses
ini diperkirakan dimediasi melalui faktor pertumbuhan turunan trombosit.
Sebaliknya, produksi radikal oksigen bebas dalam peradangan menyebabkan
pelepasan sitokin pro-inflamasi termasuk hepcidin. Sitokin proinflamasi lainnya
seperti IFN-γ menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA nitrat oksida yang
diinduksi dan produksi selanjutnya dari oksida nitrat. Ini bersamaan dengan
produksi molekul superoksida dalam peradangan dapat menyebabkan pembalikan
efek hipoksia pada produksi hepcidin. Ini menginduksi apoptosis yang dimediasi
oleh oksida nitrat dari prekursor sel darah merah dan dengan demikian
memperburuk anemia.(4)
10
2.5 Pendekatan Umum Penegakan Diagnosis
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).
Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya
sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat
menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Maka tahap-
tahap dalam diagnosis anemia adalah(1):
o Menentukan adanya anemia
o Menentukan jenis anemia
o Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
o Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
memengaruhi hasil pengobatan
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat
lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia tersebut bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan
oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan
hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl).(1)
Diagnosis anemia akibat penyakit kronik hanya dapat tegak apabila
ditemukan:
- Anemia ringan-sedang
- Selularitas sumsum tulang normal
- Kadar besi serum rendah
- TIBC (Total Iron Binding Capacity) rendah
- Kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal atau
meningkat
- Ferritin serum meningkat
11
Apabila kriteria diatas tidak dapat terpenuhi, maka anemia tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meski banyak pasien
dengan infeksi kronis, inflamasi dan keganasan menderita anemia.
12
Pemeriksaan laboratorium anemia penyakit kronik biasanya ditemukan
adanya penurunan Fe serum (hipoferemia). Hipoferemia ini merupakan kondisi
sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera
setelah onset suatu infeksi atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia.
Konsentrasi protein pengikat Fe (transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe
yang lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi. Proteksi saturasi Fe ini relatif
mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu persediaan yang
kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur(1).
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada
penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama
(8-12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang
berbeda(1).
Gambar 3. Perbedaan status besi pada anemia defisiensi besi dan anemia penyakit
kronis(4)
13
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:
- Konjungtiva anemis
- Palmar anemis
Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka
gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
Gejala umum yang tidak spesifik seperti demam dan penurunan berat
badan dalam kombinasi dengan tanda-tanda anemia khas lainnya seperti
kelelahan, kelemahan, takikardia, atau gangguan penglihatan, harus
dipertimbangkan sebagai indikator yang mungkin dari anemia penyakit kronis.
Karena anemia peradangan merupakan konsekuensi dari penyakit yang
14
mendasarinya, penting juga untuk mencari gejala spesifik dari masing-masing
penyakit yang mendasarinya.
Anemia penyakit kronis umumnya bersifat ringan sampai sedang, sering
kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya. Meskipun demikian apabila
demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2
jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya. Dari anemia jenis ini biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium(1).
Karakteristik anemia umumnya adalah normokrom-normositer, meskipun
banyak pasien mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dL dan
beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan
trombosit tidak konsisten, tergantung dari penyakit dasarnya.
2.8 Tatalaksana
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia penyakit kronis,
tapi pengobatan akan berubah sesuai dengan penyakit sistemik yang
mendasarinya. Tujuan pengobatan pada anemia penyakit kronik meliputi:
meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen darah, dan mendeteksi dan
mengobati penyebab yang mendasarinya. Dalam situasi di mana kerusakan organ
akhir mungkin terjadi dalam waktu dekat dan mekanisme kompensasi jantung
yang terlalu aktif dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan, pengobatan
segera menyingkirkan hasil prognostik yang buruk terkait dengan anemia pada
sebagian besar kondisi penyakit. Anemia telah diamati memberi prognosis yang
lebih buruk pada pasien dengan CKD, kanker, dan gagal jantung kongestif.
Tingkat hemoglobin ≤8 g / dL pada pasien CKD pada hemodialisis dikaitkan
dengan peningkatan risiko kematian dua kali lipat dibandingkan dengan pasien
yang memiliki kadar hemoglobin 10-11 g / dL.(18) Pasien yang konsentrasi
hemoglobinnya dioptimalkan antara 10 dan 11 g / dL juga mengalami
peningkatan ketahanan hidup dan hasil pengobatan yang lebih baik.(4)
15
Beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a. Transfusi.
Transfusi darah tetap menjadi pilihan penatalaksanaan jangka pendek yang
penting terutama pada individu dengan anemia berat (hemoglobin <6,5 g /
dL) yang terkait dengan dekompensasi jantung.(4) Beberapa literatur
disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infark
miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb
dipertahankan 10-11 gr/dL.(1)
b. Preparat besi.
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus dalam
perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan
alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada
penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin.(1)
Suplemen besi sering diberikan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan
agen perangsang erythropoietin. Meskipun tablet besi oral mudah tersedia
dan berbiaya rendah, tetapi efektivitasnya berkurang karena blok besi
dimediasi hepcidin di usus, oleh sebab itu terapi besi intravena lebih
efektif. Namun, tingkat zat besi suprafisiologis dapat merusak. Beberapa
mikroorganisme dan sel tumor memanfaatkan zat besi berlebih untuk
proliferasi sel mereka.(2) Zat besi diketahui memiliki efek penghambatan
pada sistem kekebalan dengan menurunkan regulasi jalur mediator IFN.
Ini juga meningkatkan produksi radikal hidroksil yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan endotel.(4)
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat
dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat kanker,
gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan pasien HIV. Selain
16
dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya, pemberian
eritropoietin mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan
produksi TNF-a dan interferon-y.(1)
17
menghambat produksi hepcidin. Pemberian terapi antibodi anti-IL-6R telah
terbukti secara substansial menurunkan kadar hepcidin, menurunkan kadar protein
C-reaktif dalam 1 minggu dan meningkatkan parameter hematologi lainnya
selama periode pengobatan 4 minggu.(2)
Gambar 5. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik normositer (1)
18
Gambar 6. Diferensial Diagnosis Anemia Penyakit Kronis(1)
2.10 Prognosis
19
BAB III
KESIMPULAN
20
kronis.
Pengobatan untuk penderita anemia penyakit kronik yang terutama adalah
mengobati penyakit yang mendasarinya. Namun beberapa pilihan terapi yang
dapat dipilih untuk mengatasi anemia penyakit kronik bisa dengan transfusi darah,
zat besi, dan eritropoetin.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid 2. 6th ed. jakarta: interna
media; 2014.
2. Santosh H., Nagaraj T, Sasidaran A. Anemia of Chronic Disease: A
Comprehensive Review. J Med. 2015;1:13–6.
3. Sun C. Targeting the Hepcidin-Ferroportin Axis to Develop New
Treatment Strategies for Anemia Of Chronic Disease and Anemia of
Inflammation. Am J Hematol. 2012;
4. Madu A., Ughasoro M. Anemia of Chronic Disease: An In-Depth Review.
Med Princ Pract. 2017;26:1–6.
5. Franceschi D, Iolascon L, Taher A, M C. Clinical Management of Iron
Deficiency Anemia in Adult: Systemic Review on Advance in Diagnosis
and Treatment. Eur J Intern Med. 2017;42:16–23.
6. Ac A. Hematology: Basic Principles and Practice 5th ed. elsevier. 2008;
7. G.r L. The Anemia of Chronic Disorder. pennsylvania:lea and ferbringer.
1991;840:50.
8. Sarkar M, Rajta puja negi, Khatana J. Anemia in Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: Prevalence, Pathogenesis, and Potential Impact. lung
india. 2015;32(2):145.
9. Weiss G, Wachter H, Fuchs D. Linkage of Cell-Mediated Immunity to Iron
Metabolism. Immunologi. 1995;16:495–500.
10. Means RJ. The Anemia of Infection. Baillieres Best Pr Res Clin Haematol.
2000;13.
11. Ganz T. Hepcidin, A Key Regulator of Iron Metabolism and Mediator of
Anemia of Inlammation. 2003;102.
12. Andrews N. Anemia of Inflammation: The Cytokine-Hepcidin Link. J Clin
Invest. 2004;113.
13. I de deomenico, DM W, C L, MB V, E N. The Molecular Mechanism of
Hepcidin-Mediated Ferroportin Down-Regulation. mol biol cell. 2007;
14. Truksa J, Peng H, Lee P, Beutler E. Different Regulatory Elements are
Required for Response of Hepcidin to Interleukin-6 and Bone
Morphogenetic Protein. gerontoloy. 2004;50:49–56.
15. Raj D. Role of Interleukin-6 in the Anemia of Chronic Disease. Semin
arthritis rheum. 2009;38:382–8.
16. Langdon J, Yates S, Femnou L. Hepcidin-Dependet and Hepcidin-
Independent Regulation of Erythropoiesis in a Mouse Model of Anemia of
Chronic Inflammation. Am J Hematol. 2014;
17. N S, P S. A Review on Anemia-Types, Causes, Symptoms, and Their
Treatments. J Sci Technol Investig. 2016;1:10–7.
18. Przybyszewska J, Zekanowska E. Serum Prohepcidin and Other Iron
Metabolism Parameters in Eldery Patients with Anemia of Chronic Disease
and with Iron Deficiency Anemia. pol arch med wewn. 2013;123:105–11.
19. Corwin H, Gettinger A, Fabian T, May A, Pearl R, Heard S. Efficacy and
Safety of Epoetin Alfa in Critically Ill Patients. N Engl J Med.
2007;357(965):76.
22