Anda di halaman 1dari 78

EFEK TERAPI SALEP KITOSAN CANGKANG KERANG

DARAH (Anadara granosa) PADA HEWAN MODEL


LUKA INSISI NOSOKOMIAL PASCA OPERASI
BERDASARKAN KADAR RELATIF
TGF-β DAN KETEBALAN
JARINGAN IKAT

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
NIKEN PUSPITA NINGRUM
135130101111054

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
EFEK TERAPI SALEP KITOSAN CANGKANG KERANG
DARAH (Anadara granosa) PADA HEWAN MODEL
LUKA INSISI NOSOKOMIAL PASCA OPERASI
BERDASARKAN KADAR RELATIF
TGF-β DAN KETEBALAN
JARINGAN IKAT

PROPOSAL SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

Oleh:
NIKEN PUSPITA NINGRUM
135130101111054

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

i
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL SKRIPSI

EFEK TERAPI SALEP KITOSAN CANGKANG KERANG DARAH


(Anadara granosa) PADA HEWAN MODEL LUKA INSISI
NOSOKOMIAL PASCA OPERASI BERDASARKAN
KADAR RELATIF TGF-β DAN KETEBALAN
JARINGAN IKAT

Oleh:
NIKEN PUSPITA NINGRUM
NIM. 135130101111054

Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji


pada tanggal
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Sri Murwani, drh., MP drh. Dahliatul Qosimah, M.Kes


NIP. 19630101 198903 2 001 NIP. 19820127 201504 2 001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Aulanni´am, drh., DES


NIP. 19600903 198802 2 001

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Niken Puspita Ningrum
NIM : 135130101111054
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul:
Efek Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa) pada
Hewan Model Luka Insisi Nosokomial Pasca Operasi Berdasarkan Kadar Relatif
TGF- β dan Ketebalan Jaringan Ikat
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di
daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,
makasaya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Malang, 7 Februari 2017


Yang menyatakan,

Niken Puspita Ningrum


NIM. 135130101111054

iii
Efek Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa) Pada
Hewan Model Luka Insisi Nosokomial Pasca Operasi Berdasarkan
Kadar Relatif TGF- β dan Ketebalan Jaringan Ikat

ABSTRAK

Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapatkan di rumah sakit,


termasuk rumah sakit hewan. Infeksi luka pasca operasi termasuk infeksi nosokomial
dan salah satu bakteri penyebab infeksi ini adalah Staphylococcus aureus. Pengobatan
luka insisi nosokomial di rumah sakit menggunakan antibiotik dan dapat menyebabkan
multidrug resistant sehingga perlu pengobatan alternatif menggunakan bahan alami
seperti cangkang kerang darah. Kitosan cangkang kerang darah berfungsi dalam
haemostasis, anti inflamasi, bakteriostatik, fungiostatik, meningkatkan proliferasi
fibroblas dan produksi kolagenase serta mempercepat regenerasi jaringan luka. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui efek terapi salep kitosan cangkang kerang darah
terhadap peningkatkan kadar relatif TGF-β dan peningkatan ketebalan jaringan ikat
untuk mempercepat kesembuhan luka insisi nosokomial. Penelitian ini bersifat
eksperimental labolatorik menggunakan Rangcangan Acak Lengkap (RAL) dengan
post control design only. Hewan model yang digunakan yaitu mencit (Mus musculus)
BALB/c jantan dengan berat 24 ± 3 g berumur 8 minggu sebanyak 20 ekor dan dibagi
menjadi kelompok 1 kontrol positif (mencit di insisi dan dijahit dengan benang
dikontaminasi bakteri), kelompok 2 kontrol negatif (mencit di insisi dan dijahit dengan
benang tanpa dikontaminasi bakteri), dan kelompok 3,4,5 kelompok terapi (mencit di
insisi dan dijahit dengan benang dikontaminasi bakteri) dengan masing-masing dosis
terapi salep kitosan yaitu 2%, 4%, 8%.. Pembuatan model luka insisi pasca operasi
dilakukan dengan menginsisi longitudinal mildline sepanjang 2,3 ± 0,2 cm sampai
dengan panniculus cranosus dan dijahit menggunakan benang silk 4/0 yang
dikontaminasi bakteri Stapylococcus aureus 105 CFU/ml dengan pola simple
continuous suture. Parameter yang diukur adalah kadar relatif TGF-β menggunakan
flowcytometry yang dianalisis secara stastistik menggunakan One Way Analysis of
Variance (Anova) dengan α=0,05 dan pengamatan histopatologi kulit berdasarkan
ketebalan jaringan ikat dengan pewarnaan masson trichrome yang dianalisis secara
deskriptif.

Kata kunci: Infeksi nosokomial, Staphylococcus aureus, Cangkang kerang darah,


Kitosan, TGF-β, dan Jaringan ikat.

iv
Therapeutic Effect of Chitosan from Blood Cockle Shell (Anadara granosa)
In Animal Model Wounds Incision Nosocomial Post Operation Based
Relative Levels Tgf-Β and Thickness of Connective tissue

ABSTRACT

Nosocomial infections are infections acquired in the hospital, including in


the veterinary. Postoperative wound infections including in nosocomial infections.
One of the bacteria causing nosocomial infections are Staphylococcus aureus
which can cause harm multidrug resistant so it needs to be an alternative treatment
using natural materials such as blood cockle shells. Chitosan from blood cockle
shells have a function in haemostasis, anti-inflammatory, bacteriostatic,
fungiostatik, increasing fibroblast proliferation and the production of collagenase
and accelerate the regeneration of injured tissues. The purpose of this study to
know the therapeutic effect of chitosan ointment at enhancing relative levels of
TGF-β and increases the thickness of the connective tissue to accelerate the
healing of wounds. This study is an experimental research using randomize
complete design and the post-control design only. Animal models are used is 20
male mice (Mus musculus) BALB /c with a weighing 24 ± 3 g and 8 weeks old.
Making the incision wound model of post-surgery by do incision along the
longitudinal mildline 2.3 ± 0.2 cm to panniculus cranosus and stitched using silk
thread 4/0 contaminated with bacteria Staphylococcus aureus 105 CFU/ml with a
simple continuous suture pattern and divided into group 1 positive control (mice
in the incision and stitched with thread contaminated with bacteria), group 2
negative control (mice in the incision and stitched with thread without
contaminated bacteria), and 3,4,5 group therapy group (mice in the incision and
stitched with thread contaminated with bacteria) with each ointment therapeutic
dose of chitosan which is 2%, 4%, 8%. The measured parameter is the relative
levels of TGF-β using flowcytometry with statistical analyzed using One Way
Analysis of Variance (ANOVA) with α = 0.05 and histopathological observations
based on the thickness of the skin connective tissue analyzed descriptively.

Keywords : Nosocomial infection, Blood Cockle Shell, Staphylococcus aureus,


Chitosan, TGF-β, and Connective Tissue.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya
sehingga penulis dapat meneyelesaikan proposal Skripsi yang berjudul “Efek
Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa) pada Hewan
Model Luka Insisi Nosokomial Pasca Operasi Berdasarkan Kadar Relatif TGF-β
Dan Ketebalan Jaringan Ikat”. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam penyusunan proposal Skripsi ini tidak lepas akan adanya bantuan
serta dukungan moril dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis berterima
kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Sri Murwani, drh., MP selaku dosen pembimbing I tugas akhir ini atas
segala bantuan, kesempatan, nasihat, bimbingan dan arahan yang diberikan
kepada penulis.
2. drh. Dahliatul Qosimah, M. Kes selaku dosen pembimbing II akhir ini atas
segala bantuan, kesempatan, nasihat, bimbingan dan arahan yang diberikan
kepada penulis.
3. drh. Indah Amalia Amri, M.Si selaku dosen penguji I yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan yang sangat membangun.
4. drh. Dodik Prasetyo, M.Vet selaku dosen penguji II yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan yang sangat membangun.
5. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya.
6. drh Dyah Ayu Oktavianie A.P. M.Biotech selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
7. Secara khusus penulis ingin mengucapkan beribu terimakasih kepada Ayah
Yazid Nasir, Ibuk Nurul Afifah, dan adik Arsila Mustika Ninghapsari atas
doa, kasih sayang, semangat dan dukungan dalam bentuk moril maupun
materil tiada henti kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang.

vi
8. Kitosan squad Faradina, Katrin, Ardhi dan Dendra yang selalu ada dalam
kondisi apapun.
9. Keluarga besar Angkatan CAVITAS 2013 atas cinta, persahabatan,
semangat, inspirasi, keceriaan dan mimpi-mimpi yang luar biasa.
10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya angkatan 2013 yang telah memberikan semangat dan
saran yang membangun.
11. Seluruh staf dan karyawan FKH, yang telah membantu jalannya proses
administrasi dalam membuat tugas akhir.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan
proposal ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
laporan praktek kerja lapangan ini. Oleh karena itu, penulis sangat menerima
kritik atau saran yang membangun. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan
manfaat karena pengalaman adalah guru terbaik.

Malang, 7 Februari 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ..................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah ............................................................................................ 5
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 8
2.1 Kulit ............................................................................................................... 8
2.1.1.Histologi Kulit......................................................................................... 8
2.2 Luka................... ......................................................................................... 10
2.3 Proses Penyembuhan Luka .......................................................................... 11
2.3.1. Fase Haemostasis ................................................................................. 11
2.3.2. Fase Inflamasi ...................................................................................... 12
2.3.3 Fase Proliferasi ..................................................................................... 13
2.3.4 Fase Remodelling ................................................................................. 14
2.4 Infeksi Nosokomial ...................................................................................... 15
2.4.1. Patogenesis Infeksi Nosokomial ......................................................... 16
2.4.2. Etiologi Infeksi Nosokomial ............................................................... 17
2.4.3. Kriteria Infeksi Nosokomial ............................................................... 17
2.4.4. Dampak Infeksi Nosokomial .............................................................. 17
2.5 Obat Topikal ................................................................................................ 18

viii
2.5.1. Salep.................................................................................................... 18
2.6 Kerang Darah ............................................................................................... 20
2.7 Kitosan dan Manfaat terhadap Luka ............................................................ 22
2.8 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β)................................................ 23
2.9 Jaringan Ikat................................................................................................. 24
2.10 Staphylococcus aureus .............................................................................. 26
2.11 Hewan Coba Mencit (Mus musculus) ....................................................... 26
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 29
3.1 Kerangka Konseptual .................................................................................. 29
3.2 Hipotesa Penelitian ...................................................................................... 32
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 33
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 33
4.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 33
4.3 Tahapan Penelitian....................................................................................... 34
4.3.1. Rancangan Penelitian .......................................................................... 35
4.3.2. Penetapan Sampel Penelitian .............................................................. 36
4.3.3. Variabel Penelitian .............................................................................. 36
4.4 Prosedur Kerja ............................................................................................. 37
4.4.1. Persiapan Hewan Coba ....................................................................... 37
4.4.2. Prosedur Sintesis Kitosan Cangkang Kerang Darah........................... 37
4.4.3. Pembuatan Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah........................... 39
4.4.4. Pembuatan Suspensi Bakteri ............................................................... 39
4.4.5. Identifikasi Kemurnian Bakteri Staphylococcus aureus ..................... 40
4.4.6. Pembuatan Benang Dikontaminasi Bakteri Staphylococcus aureus .. 40
4.4.7. Pembuatan Luka Model Nosokomial pada Mencit............................. 41
4.4.8. Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah .................................. 41
4.4.9. Pengambilan Jaringan Kulit ................................................................ 42
4.4.10. Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit ............................................ 42
4.4.11. Pengukuran Kadar Relatif TGF-β menggunakan Flowcytometry ..... 45
4.5 Analisa Data................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
LAMPIRAN ......................................................................................................... 52

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Histologi Kulit............................................................................................... 10
2.2 Kerang Darah ................................................................................................ 21
2.3 Mencit Mus musculus ................................................................................... 27

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Rancangan Penelitian ....................................................................... 53


Lampiran 2. Perhitungan Konsentrasi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah ... 54
Lampiran 3. Perhitungan Pengenceran ................................................................ 55
Lampiran 4. Langkah Kerja Penelitian ................................................................. 56

xi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

α : Alfa
g : Gram
o
C : Derajat celcius
% : Persen
μL : Mikroliter
ml : Mililiter
mm : Milimeter
cm : Centimeter
ECM : Extraceluler Matrix
TGF β : Transforming Growt Factor Beta
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
MMP : Matrix Metalloproteinase
CFU : Colony Forming Unit
RAL : Rancangan Acak Lengkap
M : Molar
pH : Potential of Hydrogen
BNF : Buffer Neural Formalin
NB : Nutrient Broth
MT : Masson’s Trichrome
PBS : Phosphate Buffer Saline
rpm : Revolutions per minute
NA slant : Nutrient Agar slant
PMN : Polymorphonuclear
BNJ : Beda Nyata Jujur
ANOVA : One Way Analysis of Variance
NaOH : Natrium Hidrosida
HCl : Hydrogen Chlorida
NaCl : Natrium Chlorida
MSA : Mannitol Salt Agar

xii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi nosokomial dapat didefinisikan sebagai infeksi lokal maupun

sistemik akibat agen infeksi atau toksin yang didapat di rumah sakit, termasuk

rumah sakit hewan (Milton et al., 2015). Selain itu infeksi luka pasca operasi

termasuk dalam infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial pada luka operasi terjadi

ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau lingkungan, alat

kesehatan dan tenaga medis masuk kedalam insisi yang ditandai adanya discharge

purulen disekitar luka, abses atau selulitis yang meluas dari luka (WHO, 2002).

Salah satu penyebab utama infeksi nosokomial post operasi adalah

Staphylococcus aureus. Bakteri patogen ini termasuk dalam flora normal pada

kulit pasien dan dapat ditularkan dari petugas kesehatan ke pasien selama

perawatan selain ituinfeksi organisme tersebut sulit untuk diobati (Shrestha et al.,

2009). Implikasi bakteri multidrug resistant terhadap infeksi nosokomial menjadi

perhatian utama karena dapat mengakibatkan morbiditas tinggi, biaya perawatan

tinggi dan durasi pengobatan lama akibat sulitnya mengeliminasi bakteri dari

tubuh serta berpotensi risiko zoonosis (Milton et al., 2015).

Infeksi nosokomial umumnya menjadi hambatan yang dihadapi oleh

manusia saat perawatan di rumah sakit, dan infeksi nosokomial pasca operasi

menyebabkan 77% kematian pada pasien (Singhal dkk., 2009). Sedangkan faktor

risiko di rumah sakit hewan sebanding dengan yang ada pada rumah sakit

1
2

manusia. Studi prevalensi telah menunjukkan bahwa 4-9% pasien dapat bertahan

dari infeksi nosokomial (Milton et al., 2015).

Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu fase hemostasis,

fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi atau fase remodeling. Menurut

Gurtner (2007), fase awal yakni hemostasis merupakan mekanisme untuk

menghentikan perdarahan yang terjadi akibat luka. Kemudian dilanjutkan dengan

fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya suatu cidera, dengan tujuan untuk

menyingkirkan jaringan mati dan mencegah infeksi. Fase proliferasi berlangsung

kemudian, di mana akan terjadi keseimbangan antara pembentukan jaringan parut

dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir yaitu fase remodeling yang

bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari luka.

Pada fase proliferasi, fibroblas memegang peranan yang penting. Fibroblas

merupakan salah satu komponen penyembuhan luka berupa sel yang terdistribusi

secara luas di jaringan ikat, memproduksi substansi prekursor kolagen, jaringan

elastis, dan jaringan retikuler. Dalam tahapan penyembuhan luka, fibroblas

berperan penting dalam proses fibroplasia. Fibroplasia adalah proses proliferasi

fibroblas yang ditandai oleh sintesis kolagen. Fungsi TGF β (Transforming growt

factor-β) juga berpengaruh secara positif terhadap fibroblas yaitu sebagai

kemotaksis. Sifat dari kemotaksis antara lain menstimulasi proses terjadinya

proliferasi, memproduksi ECM (Extraceluler Matrix) pada proses proliferasi dan

maturasi untuk membentuk kolagen dan fibronektin (Kristianto, 2010). Jadi

semakin tinggi TGF β maka produksi kolagen oleh fibroblas akan semakin
3

banyak sehingga akan mempercepat pembentukan jaringan ikat sehingga proses

penyembuhan luka menjadi lebih cepat.

TGF β juga berperan dalam kemotaksis dan mediator inflamasi untuk

berbagai jenis sel imun, termasuk sel polimorfonuklear (PMN) (basofil, eosinofil,

neutrofil dimulai 24-48 jam setelah terjadi luka) dan monosit (dimulai 48-96 jam

setelah terjadi luka). TGF β berpartisipasi dalam kedua proses untuk merangsang

respon imun awal sebagai sitokin proinflamasi, melalui perekrutan PMN, dan

membatasi terjadinya respon inflamasi sebagai sitokin antiinflamasi (Gilbert et

al., 2016).

Kerang darah (Anadara granosa) merupakan jenis kerang yang populer di

Indonesia. Hasil produksi yang tinggi juga diikuti dengan timbulnya limbah

cangkang kerang darah yang melimpah dan belum banyak dimanfaatkan.

Cangkang kerang darah memiliki kandungan kitin. Salah satu senyawa kitin yang

banyak dikembangkan adalah kitosan (Afranita dkk, 2014). Kitosan memiliki sifat

bakteriostatik, fungiostatik, haemostatik, mempengaruhi aktivitas makrofag, serta

menstimulasi proliferasi sel dan susunan jaringan. Kitosan secara bertahap

mengalami depolimerisasi untuk melepaskan N-asetil-b-D-glukosamin, yang

memicu proliferasi fibroblas, membantu deposisi kolagen, serta meningkatkan

sintesis asam hialuronik alami di lokasi luka (Paul dan Sharma, 2004). Kitosan

dapat meningkatkan kolagenisasi, dan mengakselerasi regenerasi sel (reepitelisasi)

dan sekresi siokin seperti TGF β selama proses penyembuhan luka (Anggraeni,

2012). Dengan sifat-sifat kitosan tersebut dapat digunakan sebagai obat alternatif
4

untuk mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi

nosokomial pada luka pasca operasi.

Penggunaan kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara granosa) dalam

bentuk sediaan salep karena salep memiliki beberapa kelebihan seperti stabilitas

yang baik, berupa sediaan halus, mudah terdistribusi merata, mudah digunakan,

mudah disimpan mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit dan

mempunyai tampilan yang lebih menarik (Febram dkk., 2010).

Berdasarkan tinjauan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh pemberian salep kitosan ekstrak cangkang kerang darah

(Anadara granosa) berdasarkan ketebalan jaringan ikat dan peningkatan kadar

relatif TGF-β yang berperan dalam membantu mempercepat proses kesembuhan

luka pada hewan model luka insisi nosokomial pasca operasi.

1.2 Rumusan Masalah

1.1.1. Apakah pemberian salep kitosan cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dapat digunakan sebagai terapi hewan model luka insisi

nosokomial pasca operasi yang di tandai dengan peningkatan ketebalan

jaringan ikat dan mempercepat proses penyembuhan luka?

1.1.2. Apakah pemberian salep kitosan cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dapat digunakan sebagai terapi hewan model luka insisi

nosokomial pasca operasi yang di tandai dengan meningkatkan kadar

relatif TGF-β dan mempercepat proses penyembuhan luka?


5

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disebutkan di atas, maka

penelitian ini dibatasi pada :

a. Hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) BALB/c

jantan dengan berat 24 ± 3 g berumur 8 minggu (Dai, 2011). Mencit

diperoleh dari PUSVETMA (Pusat Veterinary dan Farmasi) Surabaya

yang telah mendapatkan persetujuan layak etik dari Komisi Etik Penelitian

Universias Muhammadiyah Malang dan dikandangkang secara individu.

b. Anestesi untuk pembuatan model luka menggunakan kombinasi Ketamine

HCl (dosis 100 mg/kgBB) dan Xylazine (dosis 5 mg/kgBB). Untuk

mempermudah injeksi, dilakukan pengenceran Xylazine 20 mg/ml

sebanyak 0,5 ml dicampur dengan 20 ml aqua pro injeksi dan Ketamine

HCl 100 mg/ml sebanyak 2 ml dicampur dengan 18 ml aqua pro injeksi.

Campuran Ketamine HCl – Xylazine disuntikkan melalui rute

intramuscular dengan dosis 0.1 ml/10 gBB (Clouthier dan Luther, 2015;

Plumb, 2008). (Clouthier dan Luther, 2015; Plumb, 2008).

c. Pembuatan model luka insisi nosokomial dibuat berdasarkan Dai (2011)

yang dimodifikasi yakni dengan insisi longitudinal midline sepanjang 2,3

± 0,2 cm sampai dengan panniculus cranosus dan luka dijahit dengan

benang silk 4/0 terkontaminasi bakteri Staphylococcus aureus (105

CFU/ml). Penjahitan dilakukan dengan jarum tapper 1/2 GT 35 mm pola

simple continuous suture pada panniculus carnosus punggung.


6

d. Cangkang kerang darah (Anadara granosa) yang diperoleh dari pasar

Blimbing Malang dan di sintesis menjadi kitosan dengan tahapan

deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi yang dilakukan di

Laboratorium Biokomia Universitas Brawijaya Malang (Hastuti dan

Nurina, 2015).

e. Cangkang kerang darah yang digunakan berbentuk bulat, agak lonjong,

mempunyai dua belahan cangkang yang simetris, cangkang berwarna putih

ditutupi periostrakum yang berwarna kuning kecoklatan sampai cokelat

kehitaman (Sahari, 2011).

f. Bentuk sediaan obat yang digunakan yaitu salep dengan penambahan

vaselin album sehingga didapatkan salep dengan masing-masing

konsentrasi 2%, 4%, 8% dan setiap konsentrasi salep dibuat sebanyak 140

g. Salep diberikan secara topikal pada luka dua kali sehari selama 7 hari

sebanyak 2 g pada luka (Djamaluddin, 2009 modifikasi).

g. Variabel pada penelitian ini yaitu pengamatan preparat histopatologi luka

peningkatan ketebalan jaringan ikat dengan pewarnaan Masson Trichrome

(Febram, dkk, 2010) dan peningkatan kadar relatif TGF-β yang diamati

dengan metode flowcytometri (Sysmex-Europe, 2015).

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Mengetahui efek terapi pemberian salep kitosan dari cangkang kerang

darah (Anadara granosa) dapat meningkatkan ketebalan jaringan ikat dan


7

mempercepat penyembuhan luka pada hewan model luka insisi

nosokomial pasca operasi.

2. Mengetahui efek terapi pemberian salep kitosan dari cangkang kerang

darah (Anadara granosa) dapat meningkatkan kadar relatif TGF-β dan

mempercepat penyembuhan luka pada hewan model luka insisi

nosokomial pasca operasi.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memperoleh dasar informasi potensi sintesis kitosan dari cangkang kerang

darah dapat mempercepat penyembuhan luka dengan mempengaruhi

peningkatan ketebalan jaringan ikat dan peningkatan kadar relatif TGF-β

sebagai terapi luka pada hewan model luka insisi nosokomial pasca

operasi.

2. Memberi nilai tambah pada limbah cangkang kerang darah (Anadara

granosa).
8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh yang berfungsi sebagai

pertahanan pertama terhadap mikroorganisme, bahan kimia, dan radiasi, selain itu

juga berfungsi sebagai reseptor sensorik terhadap sentuhan, tekanan, nyeri,

temperatur (panas dan dingin), dapat mengubah pro vitamin D menjadi vitamin D

dengan bantuan sinar matahari, penyimpanan air, lemak, protein, dan karbohidrat

(Pavletic, 2010). Kulit secara embriologis berasal dari dua laipisan, yaitu lapisan

luar adalah epidermis yang merupakan epitel berasal dari ektoderm, sedangkan

lapisan dalam berasal dari mesoderm yaitu dermis atau korium yang merupakan

jaringan ikat (Perdanakusuma, 2007).

2.1.1. Histologi Kulit

Menurut Vasudeva and Mishra (2014), gambaran histologi kulit (Gambar

2.1) dan penjelasan dari masing-masing bagian kulit adalah sebagai berikut :

a. Epidermis

Epidermis merupakam lapisan terluar kulit yang tipis dan avaskuler.

Epidermis terdiri dari epitel squamos komplex ber keratin, terdapat sel melanosit,

langerhans, dan markel. Epidermis memiliki ketebalan yang berbeda-beda pada

setiap bagian tubuh, tetapi yang paling tebal terdapat pada telapak tangan dan

kaki. ketebalan epidermis mencapai 5% dari seluruh ketebalan kulit dana

mengalami regenerasi setiap 4-6 minggu (Perdanakusuma, 2007).


9

Epidermis memilili lima lapisan yaitu dari lapisan terluar sampai ke dalam

adalah stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum,

dan stratum basale atau stratum germinativum. Epidermis berfungsi sebagai

proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan

mobilisasi sel, sebagai pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel

Langerhans) (Perdanakusuma, 2007).

b. Dermis

Dermis terdiri dari dua lapisan dengan batas yang tidak terlalu nyata yaitu

stratum papilare bagian luar dan stratum retikular bagian dalam. Berikut

penjelasan dari kedua lapisan tersebut :

 Lapisan papiler terdiri dari jaringan ikat longgar, fibroblas, dan sel jaringan

ikat lain seperti sel mast dan makrofag. Lapisan ini memiliki serabut kolagen

yang menyelip ke dalam lamina basalis dan meluar ke dalam dermis. Serabut

kolagen memiliki fungsi untuk mengikat dermis pada epidermis sehingga

disebut sebagai serabut penambat.

 Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat padat tidak teratur (terutama

serabut kolagen tipe I), memiliki lebih banyak serat, dan lebih sedikit sel

daripada lapisan papiler (Junqueira, 2007).

Dermis memiliki banyak pembuluh darah, derivat epidermis yaitu folikel

rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Kualitas kulit dapat didasarkan

pada jumlah derivat epidermis di dalam dermis. Dermis memiliki fungsi sebagai

struktur penunjang, pemberi nutrisi, menahan shearing forces, dan respon

inflamasi (Pradanakusuma, 2007).


10

c. Subkutis atau Hipodermis

Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri

dari lapisan lemak, jaringan ikat yang menghubungkan kulit dengan jaringan di

bawah. Subkutis memiliki jumlah dan ukuran yang berbeda-beda berdasarkan

daerah di tubuh dan kualitas nutrisi setiap individu. Lapisan subkutis memiliki

fungsi sebagai penunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi, untuk

melekatkan kulit pada daerah di bawah, isolasi panas, sebagai cadangan kalori,

mengkontrol bentuk tubuh, serta sebagai mechanical shock absorber

(Perdanakusuma, 2007).

Gambar 2.1 Histologi Kulit (Vasudeva and Mishra, 2014).

2.2 Luka

Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau

pembedahan (Kartika, 2015). Sedangkan menurut Suryadi dkk., (2013), luka

adalah suatu cedera dimana kulit robek, terpotong atau tertusuk, atau trauma

benda tumpul yang menyebabkan kontusi. Luka dikategorikan dua jenis yaitu luka
11

terbuka dan tertutup. Luka terbuka diklasifikasikan berdasarkan obyek penyebab

luka antara lain: luka insisi, luka laserasi, luka abrasi, luka tusuk, luka penetrasi,

dan luka tembak. Luka tertutup dibagi menjadi tiga: kontusi, hematoma dan luka

tekan. Luka tertutup memiliki bahaya yang sama dengan luka terbuka. Selain itu

terdapat pula beberapa jenis luka lainnya seperti luka bakar, luka sengatan listrik,

luka akibat zat kimia, cedera suhu dingin, luka radiasi dan ionisasi serta luka gigit

dan sengatan serangga.

2.3 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses tubuh untuk memperbaiki kerusakan

jaringan agar dapat berfungsi kembali. Tubuh berusaha untuk menormalkan

kembali semua kondisi abnormal akibat luka dengan proses penyembuhan.

Respon tubuh apabila integritas kulit mengalami kerusakan berupa fase yang

saling tumpang tindih, tetapi secara biologis dapat dibedakan. Setelah terjadi luka,

terjadi fase hemostasis merupakan mekanisme untuk menghentikan perdarahan

yang terjadi akibat luka. Lalu terjadi fase inflamasi yang bertujuan untuk

menghilangkan jaringan nonvital dan mencegah infeksi bakteri invasif.

Kemudian, terjadi fase proliferasi dimana terjadi keseimbangan antara

pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Pada fase yang terakhir,

terjadi fase remodelling yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan

integritas struktural dari luka (Lorentz dkk., 2006).

2.3.1. Fase Haemostasis

Luka dapat menyebabkan perdarahan, sehingga secara normal tubuh akan

merespon untuk menghentikan perdarahan. Respon tersebut dilakukan dengan


12

kontraksi otot polos dinding pembuluh darah, sehingga dalam beberapa menit,

aliran darah akan berkurang dimediasi oleh penyempitan arteriol akibat dari

agreasi platelet yang menyebabkan hipoksis jaringan dan asidosis. Hal tersebut

akan menyebabkan peningkatan produksi oksida nitrat, adenosin, dan metabolit

vasoaktif yang menyebabkan refleks vasodilatasi dan relaksasi pembuluh arteri,

secara bersamaan histamin akan keluar dari sel mast untuk meningkatkan

vasodilatasi dan permeabilitas pembuluh darah, sehingga akan memfasilitasi sel

inflamasi masuk ke ruang ekstraseluler luka. Dalam fase ini trombosit memiliki

peran penting untuk pembekuan darah sehingga darah yang keluar berkurang

(Harper, 2014).

2.3.2. Fase Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari

kelima, dan menjamin terjadinya homeostasis, penghilangan jaringan mati dan

mencegah terjadinya infeksi invasif oleh mikroba patogen Jaringan yang rusak

dan sel mast akan melepascan histamin dan mediator lain, sehingga menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah sekeliling yang masih utuh, serta meningkatnya

penyediaan darah ke daerah tersebut. Hal ini menyebabkan daerah di sekitar luka

menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah meningkat dan cairan yang

kaya akan protein mengalir ke dalam spasium interstisial, menyebabkan edema

lokal (Morison, 2004).

Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke jaringan yang

luka. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel

ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Neutrofil juga
13

mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa.

Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh

makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi,

keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk

mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi

menjadi luka kronis. Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam

penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati.

Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM)

dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan

mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth

factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan

pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Lawrence, 2002).

2.3.3 Fase Proliferasi

Fase proliferasi terjadi pada hari ke- 3-14, apabila tidak terjadi infeksi atau

kontaminasi maka fase inflamsi berlangsung pendek. Fase prolioferasi ditandai

dengan pembentukan jaringan granulasi. Fase proliferasi meliputi angiogenesis,

pembentukan jaringan granulasi, deposisi kolagen, epitelisai dan retraksi luka

yang terjadi bersamaan (Triyono, 2005).

Proses angiogenesis dimulai dengan pelepasan faktor stimulus

angiogenetik, sehingga akan menstimulus proliferasi sel endotel dan sel radang.

Faktor tersebut memiliki target sel endotel yaitu Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF). Vascular Endothelial Growth Factor memiliki peranan untuk


14

meningkatkan proliferasi, migrasi sel endotel, dan membantu pembentukan

struktur pembuluh darah (Frisca dkk., 2009).

Pembentukan jaringan granulasi dimulai dengan fibroblas distimulus

untuk berkembang biak oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh faktor

pembekuan hemostatik dan kemudian bermigrasi ke luka. Pada hari ketiga, luka

menjadi kaya fibroblas dan kemudian memproduksi kolagen dan fibronektin.

Fibroblas akan memproduksi kolagen dalam jumlah besar berupa glikoprotein

berantai tripel. Kolagen tersebut merupakan unsur utama matriks ekstraseluler

yang berfungsi untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut. Selanjutnya akan

terjadi proses deposisi kolagen yang pertama kali didteksi pada hari ketiga setalh

luka, menigkat sampai minggu ketiga, dan akan terus menumpuk sampai tiga

bulan (Triyono, 2005).

Proses epitelisasi, dimulai dengan proses embriologikal yaitu sel epitel

akan bergerak menyeberangi permukaan luka. Kemudian luka akan menutup, fase

ini akan selesai setelah 24 jam. Proses retraksi luka terjadi pada hari ketujuh

seletah luka, proses ini dimediasi oleh myofibroblas. Proses ini akan

menyebabkan aktin dan myosin saling menarik tubuh dari sel untuk mengurangi

luas area luka. Kontraksi tersebut dapat terjadi 0,75 mm per hari (Harper, 2014).

2.3.4 Fase Remodelling

Fase remodelling jaringan ikat adalah fase terlama dari proses

penyembuhan. Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Fase ini

dimulai segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses

reepitelialisasi usai. Perubahan yang terjadi adalah penurunan kepadatan sel dan
15

vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan dan penataan serat

kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru.

(Gurtner, 2007).

Pada fase ini terjadi keseimbangan antara proses sistesis dan degradasi

kolagen. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan

kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir

dari fase ini berupa jaringan ikat yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan

dari dasarnya. Sehingga pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil.

Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 %

dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka

secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen

tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga

minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai

90% dari kekuatan kulit normal (Lawrence, 2002).

2.4 Infeksi Nosokomial

Infeksi adalah masuk dan berkembangnya mikroorganisme dalam tubuh

yang menyebabkan sakit yang disertai dengan gejala klinis baik lokal maupun

sistemik (Potter dan Perry, 2005). Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai

infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit. Infeksi yang timbul dalam kurun

waktu 48 jam setelah dirawat sampai dengan 30 hari setelah selesai dirawat di

rumah sakit (Nasution, 2012). Menurut WHO (2002), infeksi nosokomial juga

dapat terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit.


16

2.4.1. Patogenesis Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial disebabkan oleh virus, jamur, parasit, dan bakteri.

Faktor predisposisi dari infeksi nosokomial adalah kualitas imun pasien yang

rendah, pemakaian obat imunosupresif dan antimikroba, tindakan invasif seperti

pemasangan kateter, endotrakeal tube, dan trakeotomi, serta transfusi darah yang

non aseptis. Infeksi nosokomial dapat ditularkan melalui kontak langsung, kontak

tidak langsung, melalui droplet, dan melalui udara (Nasution, 2012).

Penularan oleh agen infeksius dari rumah sakit dapat melalui beberapa

cara adalah sebagai berikut (Nasution, 2012) :

a. Penularan secara kontak, yang terbagi menjadi tiga bentuk yaitu : penularan

melalui kontak langsung yang melibatkan kontak tubuh yang terinfeksi dengan

tubuh yang rentan, penularan melalui kontak tidak langsung yang melibatkan

tubuh yang rentan dengan alat rumah sakit yang terkontaminasi, dan penularan

melalui droplet yang terjadi ketika individu terinfeksi batuk, bersin, berbicara,

atau melalui prosedur medis seperti bronkoskopi.

b. Penularan melalui udara yang mengandung mikroorganisme atau partikel debu

yang mengandung agen infeksius. Mikroorganisme akan terbawa melalui udara

sehingga terhirup oleh individu yang rentan. Sebagai contoh mikroorganisme

yang dapat terbawa oleh udara adalah Legonella, Mycobacterium tuberculosisl,

Rubela, dan virus varisela.

c. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan, dan peralatan yang

terkontaminasi.

d. Penularan melalui vektor, seperti nyamuk, lalat, tikus, dan kutu.


17

2.4.2. Etiologi Infeksi Nosokomial

Persentase mikroorganisme penyebabkan infeksi nosokomimial pada luka

operasi yaitu Staphylococcus aureus 20%, Pseudomonas aeruginosa 16%,

Coagulase-negative Staphylococci 15%, Enterococci, jamur, Enterobacter, dan

Escherichia coli < 10% (Nasution, 2012).

2.4.3. Kriteria Infeksi Nosokomial

Kriteria terjadinya infeksi nosokomial pada pasien diantaranya yaitu pada

waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis

infeksi, pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa

inkubasi infeksi, tanda-tanda klinis infeksi baru timbul sekurangkurangnya 48 jam

sejak mulai perawatan, infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.

Infeksi nosokomial yang terjadi di kulit ditandai dengan pengelupasan kulit yang

luas, terjadi sepsis, dan nekrosis epidermal (Nasution, 2012).

2.4.4. Dampak Infeksi Nosokomial

Dampak infeksi nosokomial menambah ketidakberdayaan fungsional,

tekanan emosional dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kecacatan

sehingga menurunkan kualitas hidup. Terjadinya infeksi nosokomial tentunya

akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan angka mortalitas serta

dapat meyebabkan kerugian lain seperti rasa tidak nyaman bagi pasien,

perpanjangan hari rawat inap (length of stay), menambah biaya perawatan dan

pengobatan sehingga dapat memberikan kesan buruk terhadap rumah sakit.

Infeksi nosokomial dapat berpotensi risiko zoonosis (Milton, et al., 2015).


18

2.5 Obat Topikal

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu

zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan

topikal yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian

inaktif dari sediaan topikal dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan

aktif berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah

dibersihkan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu,

bahan aktif harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepascan

(Yanhendri dan Yenny, 2012).

2.5.1. Salep

Menurut Yanhendri dan Yenny (2012), salep merupakan sediaan

semisolid berbahan dasar lemak ditujukan untuk kulit dan mukosa. Dasar salep

yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok yaitu: dasar salep

senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang bisa dicuci dengan air

dan dasar salep yang larut dalam air. Setiap bahan salep menggunakan salah satu

dasar salep tersebut. Berikut ini merupakan dasar kelompok salep diantaranya

yaitu :

a. Dasar salep hidrokarbon

Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak seperti vaselin album

(petrolatum), parafin liquidum. Vaselin album adalah golongan lemak mineral

diperoleh dari minyak bumi, titik cair sekitar 10-50°C, mengikat 30% air, tidak

berbau, transparan, konsistensi lunak. Hanya sejumlah kecil komponen air dapat

dicampurkan ke dalamnya. Sifat dasar salep hidrokarbon sukar dicuci, tidak


19

mengering dan tidak berubah dalam waktu lama. Salep ini ditujukan untuk

memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai penutup

(Yanhendri dan Yenny, 2012).

b. Dasar salep serap

Dasar salep serap dibagi dalam 2 tipe, yaitu bentuk anhidrat (parafin

hidrofilik dan lanolin anhidrat (adeps lanae) dan bentuk emulsi (lanolin dan cold

cream) yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan tambahan. Adeps lanae

ialah lemak murni dari lemak bulu domba, keras dan melekat sehingga sukar

dioleskan, mudah mengikat air. Adeps lanae hydrosue atau lanolin ialah adeps

lanae dengan akua 25-27%. Salep ini dapat dicuci namun kemungkinan bahan

sediaan yang tersisa masih ada walaupun telah dicuci dengan air, sehingga tidak

cocok untuk sediaan kosmetik (Yanhendri dan Yenny, 2012).

c. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air

Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air misalnya salep hidrofilik.

Dasar salep ini dapat dicuci dengan air karena mudah dicuci dari kulit, sehingga

lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Dasar salep ini tampilannya

menyerupai krim karena fase terluarnya adalah air. Keuntungan lain dari dasar

salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang

terjadi pada kelainan dermatologi (Yanhendri dan Yenny, 2012).

d. Dasar salep larut dalam air

Kelompok ini disebut juga dengan dasar salep tak berlemak terdiri dari

komponen cair. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti

halnya dasar salep yang dapat dicuci dengan air karena tidak mengandung bahan
20

tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat. Contoh dasar salep ini ialah

polietilen glikol (Yanhendri dan Yenny, 2012).

2.6 Kerang Darah

Kerang darah (Anadara granosa) adalah spesies kerang yang hidup di

daerah pantai berpasir atau berlumpur. Kerang darah merupakan kelompok kerang

yang memiliki belahan cangkang yang melekat satu sama lain pada batas

cangkang. Lapisan luar cangkang umumnya berwarna putih dan berselaputkan

suatu lapisan berwarna kecokelatan (Ghufran, 2011). Cangkang kerang darah

memiliki kandungan kitin. Salah satu senyawa kitin yang banyak dikembangkan

adalah kitosan (Afranita dkk, 2014).

Cangkang kerang darah memiliki bentuk bulat, agak lonjong, mempunyai

dua belahan cangkang yang simetris, cangkang berwarna putih ditutupi

periostrakum yang berwarna kuning kecoklatan sampai cokelat kehitaman,

memiliki garis palial pada cangkang sebelah dalam lengkap dan garis palial

bagian luar beralur, bagian dalam halus dengan warna putih mengkilat, warna

dasar yaitu kemerahan atau merah darah, bagian daging berwarna merah dan

ukuran lebar cangkang dapat mencapai 4 cm (Gambar 2.2). Disebut kerang darah

karena kelompok kerang ini memiliki pigmen darah merah atau haemoglobin

yang disebut bloody cockles, sehingga kerang ini dapat hidup pada kondisi kadar

oksigen yang relatif rendah (Sahara, 2011).


21

Berdasarkan Arita (2014), klasifikasi kerang darah (Anadara granosa)

adalah sebagai berikut:

Filum : Moluska

Kelas : Pelecypoda

Ordo : Arcoida

Famili : Arcoidae

Genus : Anadara

Spesies : Anadara granosa

Gambar 2.2 Kerang Darah (Hafisko, 2014).

Cangkang kerang darah memiliki senyawa kimia asam suksinat, asam

glikolat, dan kitosan (Afranita dkk, 2014 dan Arita, 2014). Asam suksinat disebut

juga asam butanadioat adalah substansi stabil berupa padatan yang larut dalam air

dengan bobot molekul 118 g/mol dengan titik didih 235 oC, titik leleh 185 oC, titik

nyala 206 oC, dan memiliki kelarutan 1,56 g/cm3 dalam air. Asam suksinat banyak

digunakan sebagai perasa pada makanan dan minuman, obat penghilang rasa

sakit, sebagai antioksidan, dan antiflek pada kosmetik (Siregar, 2006). Asam

glikolat dapat berperan dalam melindungi kulit dari paparan kimia ataupun sinar

ultraviolet matahari (Kornhauser, et al., 2009).


22

2.7 Kitosan dan Manfaat terhadap Luka

Kitosan merupakan polisakarida yang disusun dari glukosamin dan N-

asetilglukosamin yang diperoleh dari turunan kitin melalui reaksi deasetilasi, yang

diekstraksi dari serbuk cangkang crustaceae yang merupakan komponen terbesar

dari kitosan. Kitosan tidak berbau, berupa serbuk atau serpihan berwarna putih

atau krem. (Rowe, dkk, 2009). Sifat kitosan tidak dapat larut dalam air atau

larutan alkali di atas pH 6,5. Kitosan larut dengan cepat dalam asam organik cair

seperti asam formiat, asam sitrat, dan mineral lain, kecuali sulfur. Kitosan aman

bagi lingkungan karena dapat mengalami degradasi secara biologis dan tidak

beracun (Djamaludin, 2009).

Kitosan memiliki empat fungsi yaitu dalam proses penyembuhan luka

yaitu sebagai haemostasis dengan cara mempercepat proses pembekuan darah

dengan menstimulasi faktor pembekuan darah seperti protrombin dan fibrinogen,

sehingga mengurangi darah yang keluar, sebagai anti inflamasi yaitu dengan

mengurangi produksi COX-2 sehingga akan menekan peningkatan ekspresi

sitokin pro inflamasi secara berlebihan seperti IL-4 dan akan menghambat PGE2

yang bekerja sebagai mediator inflamasi, dengan penurunan produksi enzim

COX-2 dan PGE2 makan akan mempercepat proses inflamasi, dan sebagai anti

mikroba dengan cara berikatan dengan dinding sel mikroba dan membran

sitoplasma, sehingga akan menurunkan stabilitas osmotik, gangguan membran,

dan terutama menyebabkan kebocoran bagian intraseluler mikroba, serta kitosan

dapat menembus nukleus dari bakteri untuk menghambat sintesis mRNA dan

protein dengan cara berikatan pada DNA mikroba, dan yang terakhir kitosan dapat
23

berperan dalam mempercepat fase proliferasi luka dengan cara mengaktivasi

migrasi sel PMN, makrofag, dan memediasi proses fagositosis pada jaringan yang

terluka, sehingga akan mempercepat pembentukan jaringan baru pada luka

(Hanifah, 2015, Karakecili, et al., 2008, dan Ratnawati, 2014).

Kitosan yang diaplikasikan ke daerah luka akan menginduksi analgesia dengan

memberikan efek dingin, nyaman, dan sejuk. Kitosan juga mengatur fungsi

makrofag dan sekresi sejumlah enzim (seperti kolagenase) dan sitokin (seperti

interleukin dan tumornecrosis factor) selama proses penyembuhan luka dan

degradasi kitosan pada daerah luka, secara signifikan mempercepat proses

penyembuhan luka. Kitosan juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan

hemostasis, menurunkan fibroplasia, memfasilitasi osteogenesis dan

meningkatkan regenerasi jaringan serta memiliki aktivitas antimikroba.

(Anggraeni, 2012).

2.8 Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β)

Transforming Growth Factor Beta (TGF-β) adalah sitokin poplipeptida

multifungsional yang disekresikan oleh berbagai sel dalam tubuh seperti platelet,

lymphocyctes T, makrofag, sel endotel, keratinosit, sel-sel otot polos, hepatosit,

eosinofil, dan fibroblas. TGF-β memiliki sifat kemotaktik mirip dengan PDGF

(platelet derived growth factor) dan limfosit. TGF-β juga memiliki efek mitogenik

kuat pada makrofag, sel-sel otot polos, dan osteoblas. Seperti PDGF, TGF-β juga

berperan dalam proses angiogenesis dan fibroplasia serta migrasi keratinosit.

TGF-β juga dapat merangsang produksi TIMP (tissue inhibitor of matrix

metalloproteinase) sehingga dapat menghambat produksi MMP, proliferasi


24

keratinosit, pertumbuhan sel endotel, limfosit, dan sel-sel epitel. (Pavletic, 2010).

Ekspresi TGF-β dipicu oleh adanya infeksi atau keadaan hipoksia dan iskemia

jaringan atau sel (Kristianto, 2010).

Menurut Ester dan Troef (2012), TGF-β memiliki fungsi penting dalam

proliferasi dan migrasi fibroblast, meningkatkan sintesis kolagen dan fibronektin

serta mengurangi degradasi atau pemecahan matriks ekstraseluler oleh

metalloproteinase. Peran TGF-β ini sangat penting dalam proses penyembuhan

luka.

Peran TGF-β adalah sebagai faktor pertumbuhan yang memainkan peran

penting pada proses perbaikan jaringan dan pembentukan jaringan parut. Bila

sekresinya terhambat maka akan terbentuk jaringan parut yang meluas, yang

dikenal dengan sebutan keloid (scar). Tetapi bila sekresinya meningkat maka

kolagen sebagai unsur jaringan ikat pada penyembuhan luka akan turut

meningkat, sehingga luka akan sembuh lebih cepat dan lebih baik. TGF-β ini

dapat terekspresi pada sel radang, fibroblast dan sel endotel dan intensitasnya

bervariasi dari lemah hingga kuat (Ester dan Troef, 2012).

2.9 Jaringan Ikat

Jaringan ikat adalah salah satu tanda bahwa penyembuhan luka sedang

berjalan. Fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam

proses penyembuhan luka. Setelah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari

jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang

(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic

acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam rekontruksi jaringan


25

baru (Febram, dkk, 2010). Dalam tahapan penyembuhan luka, fibroblas berperan

penting dalam proses fibroplasia.

Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis

kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak

akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi kolagen

akan berkurang secara perlahan-lahan (Novriansyah, 2008).

Kolagen disekresikan ke ruang ekstraseluler dalam bentuk prokolagen.

Bentuk ini selanjutnya membelah diri pada segmen terminal dan disebut

tropokolagen. Tropokolagen dapat bergabung dengan molekul tropokolagen

lainnya membentuk filamen kolagen. Filamen ini kemudian bergabung

membentuk fibril. Fibril-fibril ini selanjutnya bergabung membentuk serat-serat

kolagen. Bentuk filamen, fibril dan serat erjadi di dalam matrik glikosamiglikan,

asam hialuronidase, chondroitin sulfat, dermatan sulfat dan heparin sulfat yang

dihasilkan oleh fibrolas. Sintesis kolagen dikontrol oeh enzim kolagenase

(Novriansyah, 2008).

Kolagenase dan metalloprotein di dalam luka akan membuang kelebihan

kolagen sementara sintesis kolagen yang baru tetap berlanjut. Selanjutnya selama

remodelling, kolagen menjadi teroganisasi. Secara bertahap fibronektin akan

menghilang, asam hialuronidase dan glikosamioglikan diganti tempatnya oleh

proteoglikan. Kolagen tipe III digantikan oleh kolagen tipe I, air akan diserap dari

jaringan parut. Pada saat yang sama serat-serat kolagen menutup bersama,

menyebabkan kolagen cross linking dan akhirnya mengurangi ketebalan jaringan


26

parut. Kolagen intermolekul dan intramolekul cross link menghasilkan

peningkatan kekuatan luka (Novriansyah, 2008).

2.10 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur

seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen

paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna

abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan

berkilau. Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit dan selaput

mukosa (Fischetti, et, al., 2000).

Staphyloccus aures merupakan penyebab terjadinya infeksi yang bersifat

piogenik (sifat bakteri menghasilkan nanah pada luka yang mengalami infeksi).

Bakteri ini dapat masuk dalam kulit melalui folikel-folikel rambut, muara kelenjar

keringat dan luka-luka kecil. Staphylococcus aureus dikenal sebagai bakteri yang

paling sering mengkontaminasi luka pasca bedah sehingga menimbulkan

komplikasi. Bila terjadi bakteriemia, infeksi dapat bermetastasis ke berbagai

organ (DeLeo et, al., 2009).

2.11 Hewan Coba Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan hewan yang umum digunakan dalam penelitian

laboratorium sebagai hewan percobaan, yaitu mencapai 40-80%. Mencit

merupakan omnivora alami, sehat, kuat, dan jinak. Mencit memiliki keunggulan

sebagai hewan percobaan, yaitu jumlah anak banyak yaitu 4-13 ekor dengan
27

durasi beranak 5-10 kali per tahun (Gambar 2.3) (Muliani, 2011), siklus hidup

pendek, variasi sifat yang tinggi, mudah dihandling, harga relatif murah, dan

biaya ransum rendah (Tahani, 2013).

Mencit memiliki ciri yaitu bentuk tubuh kecil (Akbar, 2010), berwarna

putih keabu-abuan, warna abdomen sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam,

kulit berpigmen, dan memiliki berat badan pada mencit jantan dewasa 20-40

gram, sedangkan betina dewasa 18-35 gram dengan umur dewasa yaitu 35-60 hari

serta dikawinkan pada umur delapan minggu. Lama hidup mencit mencapai satu

sampai tiga tahun, dengan masa kebuntingan 18-21 hari dan masa aktifitas

reproduksi 2-14 bulan. Mencit dapat hidup pada temperatur 30oC (Muliani, 2011).

Gambar 2.3 Mencit Mus musculus (Arrington, 2002).

Klasifikasi Mencit putih (Mus musculus) menurut Arrington, (2002)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Klas : Mamalia

Ordo : Rotentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus


28

Pada penelitian tentang kesembuhan luka infeksi Staphylococcus aureus

digunakan hewan coba mencit (Mus musculus) jantan strain BALB/c (Umar, dkk.,

2012). Menurut Dao and Kazin (2007), mencit jantan memiliki ketebalan kulit

40% lebih tebal dari pada kulit mencit betina. Sedangkan pada penelitian

Djamaludin (2009), kitosan secara nyata mampu membantu penyembuhan luka

pada kulit mencit. Secara makroskopik kitosan dapat mempercepat pengeringan

luka dihari ke-0, penyempitan luka pada hari ke-2, dan mempercepat pelepasan

jaringan parut di hari ke-4 setelah perlakuan. Secara mikroskopik kitosan pada

hari ke-2 dapat mempercepat infiltrasi sel radang seperti neutrofil, limfosit dan

makrofag serta membantu mempercepat proses neokapilerisasi dan re-epitelisasi

serta dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan ikat pada hari ke-4. Kitosan juga

memiliki kemampuan sebagai katalis dan membantu peran trombosit dalam

pembekuan darah.
29

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Keterangan:

: Variabel bebas : Stimulasi

: Variabel terikat : Efek terapi salep kitosan kerang

darah
30

Rangkaian proses penyembuhan luka dimulai sesaat setelah proses luka

terjadi. Luka insisi yang diinfeksi bakteri Staphylococcus aureus akan

menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit. Selanjutnya akan dimulai fase

hemostasis yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan.

Selanjutnya luka akan memasuki fase inflamasi akut, yang berfungsi untuk

menyingkirkan jaringan mati, dan melawan infeksi oleh bakteri patogen. Sel

yang mengalami kerusakan akan mengeluarkan sitokin proinflamasi yang

berfungsi sebagai faktor kemotaktik dari sel radang sebagai respon inflamasi.

Faktor kemotaktik akan menyebabkan sel radang seperti sel

polimorfonuklear, makrofag, dan limfosit bergerak menuju luka. Sel radang

akan melakukan pertahanan terhadap agen infeksius seperti bakteri yang

mengontaminasi luka. Makrofag akan menghasilkan growth factor, MMP

(matrix metalloproteinase), sitokin, dan radikal bebas. Apabila proses

inflamasi berlangsung berkepanjangan, maka dapat menimbulkan inflamasi

kronis yang dapat merusak jaringan sehingga luka sembuh lebih lama.

Salep kitosan yang diaplikasikan ke daerah luka bersifat sebagai

hemostat yang dapat mempercepat penghentian pendarahan yang

menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah. Kontraksi otot polos pembuluh

darah menyebabkan hipoksia dan asidosis pada jaringan luka. Kemudian

disekresikan histamin oleh sel mast yang dapat meningkatkan vasodilatasi

dan permeabilitas pembuluh darah. Ketika terjadi vasokontriksi maka akan

dihasilkan TGF β dari sel endotel yang berfungsi sebagai pembentukan

pembuluh darah baru. Pembentukan pembuluh darah yang banyak pada area
31

luka dapat meningkatkan pembentukan fibroblas. TGF β juga berfungsi

sebagai kemoaktraktan neutrofil, monosit, fibroblas ke jaringan luka.

Kitosan juga memiliki fungsi sebagai bakteriostatik, dan antiinflamasi

sehingga dapat mempersingkat waktu terjadinya inflamasi serta dapat

mempengaruhi peningkatan makrofag saat awal terjadinya inflamasi. TGF β

juga berfungsi sebagai inhibitor terjadinya inflamasi dengan cara

memproduksi TIMP (Tissue inhibitor of matrix metaloproteinase) dan jika

respon inflamasi selesai, maka ekspresi sitokin proimflamasi dan jumlah sel

radang akan menurun. Selanjutnya luka akan mengalami proses proliferasi.

Pada fase ini, sel-sel keratinosit mengalami proliferasi yang mempercepat

epitelisasi. Selain itu, kitosan menstimulasi proliferasi sel fibroblas,

membantu deposisi kolagen, serta meningkatkan sintesis asam hyaluronic

alami di lokasi luka sehinggga membentuk jaringan granulasi dan berperan

pembentukan jaringan ikat. Tahap terakhir dari proses penyembuhan luka

adalah fase remodeling atau maturasi. Pada fase ini fibroblas mulai

meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai

berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen

bertambah banyak untuk memperkuat terbentuknya jaringan ikat. Kitosan

juga dapat membantu dalam sekresi enzim kolagenase yang dapat memecah

kolagen muda yang terbentuk pada fase proliferasi menjadi kolagen yng lebih

matang sehingga kekuatan dari struktur jaringan dapat menjadi lebih kuat dan

poses penyembuhan luka dapat terjadi lebih cepat.


32

3.2 Hipotesa Penelitian

Dari rumusan permasalahan, maka hipotesa dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Terapi pemberian salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dapat meningkatkan kadar relatif TGF-β pada luka hewan model

luka insisi nosokomial pasca operasi.

2. Terapi pemberian salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dapat meningkatkan ketebalan jaringan ikat pada hewan model

luka insisi nosokomial pasca operasi.


33

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2017

dan penelitian ini dilakukan dibeberapa laboratorium yaitu :

1. Pemeliharaan, pemberian perlakuan hewan coba, dan pembuatan salep di

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Malang dan dikandangkan secara individu.

2. Pembuatan suspensi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml dan

pembacaan hasil histopatologi kulit di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya Malang.

3. Prosedur sintesis kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara granosa) di

Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya.

4. Uji flocytometry untuk pengamatan kadar relatif TGF-β yang dilkukan di

Laboratorium Biomolekuler FMIPA Universitas Brawijaya Malang.

5. Pembuatan preparat histopatologi kulit dilakukan di Laboratorium Patologi

Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang tikus,

restrainer, spuit 1 ml, dissecting set, oven, tumbukan , magnetic stirrer, labu

alas, desikator, mikroskop, glove, masker, autoclave, jarum tapper 1/2 GT,

mikrotom, serta alat untuk uji flowcytometri seperti yellow tip, blue tip,
34

mortir, sentrifuge tube, alat uji flowcytometry dan software pembaca hasil

flowcytometry.

Bahan yang dipersiapkan dalam penelitian ini antara lain mencit (Mus

musculus) BALB/c jantan dengan berat 24 ± 3 g berumur 8 minggu, akuades,

cangkang kerang darah, NaOH, HCl, vaselin album, benang silk 4/0, alkohol

70 %, ketamin, formalin 10%, antibodi anti TGF-β, pewarnaan Masson

Trichome, akuades, NaCl fisiologis 0,9%, dan fenol 4%.

4.3 Tahapan Penelitian

Adapun tahapan penelitian sabagai berikut :

1. Rancangan penelitian dan persiapan hewan coba.

2. Prosedur sintesis kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara granosa).

3. Pembuatan suspensi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml.

4. Perlakuan insisi dan penjahitan hewan coba dengan benang dikontaminasi

bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml dan digunakan pola simple

interrupted suture

5. Terapi salep kitosan cangkang kerang darah (Anadara granosa).

6. Pengambilan sampel kulit dan pembuatan preparat histopatologi kulit.

7. Penghitungan kadar relatif TGF-β dengan metode flocytometry.

8. Tahap perhitungan ketebalan jaringan ikat dengan metode pewarnaan

Masson Trichrome.

9. Analisis data.
35

4.3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan post control design only.

Tiap kelompok terdiri dari beberapa kelompok perlakuan mencit. Kelompok

perlakuan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1) Kelompok 1 adalah mencit yang diinsisi dan dijahit dengan benang silk

4/0 dikontaminasi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml tanpa

pemberian terapi salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara

granosa (kontrol positif).

2) Kelompok 2 adalah mencit yang diinsisi, dijahit dengan benang silk 4/0

secara aseptis (kontrol negatif).

3) Kelompok 3 adalah mencit diinsisi dan dijahit dengan benang silk 4/0

dikontaminasi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml serta dilakukan

terapi salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara granosa)

dengan konsentrasi 2%.

4) Kelompok 4 adalah mencit diinsisi dan dijahit dengan benang silk 4/0

dikontaminasi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml serta dilakukan

terapi salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara granosa)

dengan konsentrasi 4%.

5) Kelompok 5 adalah mencit yang telah dilakukan insisi dan dijahit dengan

benang silk 4/0 dikontaminasi bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml

serta dilakukan terapi salep kitosan dari cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dengan konsentrasi 8%.


36

4.3.2. Penetapan Sampel Penelitian

Kriteria hewan model yang digunakan pada penelitian ini adalah

mencit (Mus musculus) BALB/c jantan dengan berat 24 g ± 3 g berumur 8

minggu. Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan, sehingga banyaknya

pengulangan yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan

menggunakan rumus t (n-1) ≥ 15 (Montgomery and Kowalsky, 2011) :

t (n-1) ≥ 15 Keterangan :

5 (n-1) ≥ 15 t : Jumlah perlakuan

5n – 5 ≥ 15 n : Jumlah ulangan yang diperlukan

5n ≥ 20

n≥4

Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk 5 macam kelompok

perlakuan diperlukan jumlah ulangan minimal 4 kali dalam setiap

kelompok perlakuan sehingga dibutuhkan 20 ekor mencit.

4.3.3. Variabel Penelitian

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel bebas : dosis terapi salep kitosan cangkang kerang darah (Anadara

granosa) dan bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml.

b. Variabel terikat : ketebalan jaringan ikat dan kadar relatif TGF β.

c. Variabel kontrol : homogenitas mencit meliputi jenis kelamin, berat badan,

umur, pakan, dan kandang serta perlakuan luka model

insisi nosokomial.
37

4.4 Prosedur Kerja

4.4.1. Persiapan Hewan Coba

Sampel penelitian menggunakan mencit sebagai hewan percobaan.

Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Mus musculus

galur BALB/c jantan dengan berat 24 ± 3 g berumur 8 minggu. Mencit

diadaptasi selama tujuh hari sebelum digunakan untuk penelitian dan

dikandangkan secara individu. Menurut Muliani (2011), hewan coba diberi

minum secara ad libitum dan pakan berbentuk pelet sebanyak 10% berat

badan setiap pagi dan sore. Mencit kemudian dibagi menjadi lima

kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok terdapat empat

ekor mencit di dalam kandang secara individu. Kandang mencit berbahan

plastik dibagi empat bagian dengan menggunakan sekat berupa kawat dan

dilengkapi tutup kawat serta diberi alas berupa sekam kayu agar kandang

tidak lembab. Mencit dipelihara dalam Laboratorium Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

4.4.2. Prosedur Sintesis Kitosan Cangkang Kerang Darah

Bahan baku cangkang kerang darah (Anadara gransa) yang

didapatkan dari Pasar Blimbing Malang. Cangkang kerang darah yang

digunakan dibersihkan dari daging kerang, kotoran, bulu yang melekat

menggunakan air kran dan dibilah dengan akuades, kemudian dikeringkan

menggunakan oven. Setelah cangkang kerang darah dihaluskan dengan

cara ditumbuk dan diayak menggunakan ayakan berukuran 100 mesh.


38

Selanjutnya dilakukan sintesis kitosan yang terdiri dari tahapan

deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi.

a. Deproteinasi

Sebanyak 400 gram serbuk cangkang kerang darah yang telah

diayak direaksikan dengan 3000 ml NaOH 1 M dan dihomogenkan

menggunakan magnetik stirrer pada suhu 80ᴼC selama 1 jam. Kemudian

padatan disaring dan residu dicuci dengan akuades hingga pH netral.

Kemudian residu tersbut dikeringkan dengan menggunakan oven dengan

suhu 80ᴼC hingga kering ± 3 jam (Hastuti dan Tulus. 2015).

b. Demineralisasi

Sebanyak 200 gram serbuk hasil deproteinasi ditambah dengan 2000

ml HCl 1 M dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer selama 60 menit

pada suhu kamar. setelah itu endapan disaring dan residu dicuci dengan

akuades hingga pH netral. Kemudian residu tersebut dikeringkan kembali

dengan menggunakan oven bersuhu 80ᴼC selama 3 jam. Hasil endapan ini

disebut dengan kitin (Hastuti dan Tulus. 2015).

c. Deasetilasi

Sebanyak 40 gram serbuk hasil demineralisasi ditambah dengan 250

ml NaOH 50% (b/v), kemudian direfluks didalam labu alas bulat selama 8

jam pada suhu 100ᴼC. Hasil refluks didinginkan, disaring lalu dicuci dengan

akuades sampai pH netral. Setelah itu endapan dikeringkan menggunakan

oven dengan suhu 80ᴼC selama 3 jam dan lalu endapan yang telah kering

diletakan dalam desikator selama 24 jam (Hastuti dan Tulus. 2015).


39

4.4.3. Pembuatan Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah

Salep dibuat dengan bahan vaselin album yang termasuk dasar

salep hidrokarbon. Pemilihan sediaan salep dengan bahan basis vaselin

album karena sifatnya yang dapat menutup luka dengan baik serta dapat

menyerap air dalam luka sehingga dapat meningkatkan hidrasi pada kulit

(Naibaho dkk., 2013). Efek hidrasi pada stratum korneum akan membuka

struktur lapisan tanduk yang kompak dan juga benang-benang keratin dari

stratum korneum akan mengembang sehingga kulit menjadi lebih

permeabel (Khielhorn, 2006). Dengan kemampuan basis vaselin album

yang dapat menghidrasi kulit maka dapat meningkatkan absorpsi zat aktif

kitosan pada kulit.

Salep kitosan cangkang kerang darah (Anadara granosa) dibuat

dengan menformulasikan kitosan dengan bahan pembawa vaselin album

dengan masing-masing konsentrasi yaitu 2%, 4%, 8% yang dibuat

sebanyak 140 gram. Dilakukan dengan cara mencampur kitosan dan

vaselin album menggunakan mortar. Setelah itu disimpan dalam tube dan

diberi label.

4.4.4. Pembuatan Suspensi Bakteri

Kultur murni Staphylococcus aureus dalam NA Slant yang telah

diremajakan selama 1 hari diinokulasikan 1 ose ke dalam 2 ml NB steril

kemudian diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37ºC. Kultur cair

Staphylococcus aureus dalam NB steril disetarakan dengan larutan standar

Mc.Farland No I (kekeruhan bakteri ± 3×108 CFU/ml). Selanjutnya,


40

biakan bakteri diencerkan dengan NB steril hingga konsentrasinya menjadi

105 CFU/ml (Sujono, 2010).

4.4.5. Identifikasi Kemurnian Bakteri Staphylococcus aureus

Identifikasi kemurnian bakteri Staphylococcus aureus dapat

dilakukan dengan mengamati karakteristik pertumbuhan bakteri pada

media MSA (Mannitol Salt Agar). Identifikasi bakteri dengan media MSA

(Mannitol Salt Agar) dapat dilakukan dengan cara yaitu koloni bakteri dari

media NA (Nutrient Agar) slant diambil dan digoreskan pada media MSA

(Mannitol Salt Agar). Setelah itu diinkubasi selama 24 jam. Jika

Staphyllococcus aureus positif tumbuh pada media MSA, media dan

koloni berwarna kuning karena terjadi fermentasi manitol menjadi asam.

Produk yang dihasilkan bakteri ini adalah asam organik yang mengubah

indikator pH di MSA, merubah warna merah media MSA menjadi kuning

cerah dan hasil negatif tidak ada perubahan warna (Tambayong, 2009).

Media MSA mengandung konsentrasi garam NaCl yang tinggi

(7,5%-10%) sehingga membuat MSA menjadi media selektif untuk

Micrococcaceae dan Staphylococcus, karena tingkat NaCl yang tinggi

menghambat bakteri yang lain tumbuh (Boerlin et al., 2003).

4.4.6. Pembuatan Benang Dikontaminasi Bakteri Staphylococcus aureus

Benang silk 4/0 yang digunakan dikontaminasi dengan bakteri

Staphylococcus aureus 105 CFU/ml. Benang silk 4/0 tersebut dipotong

dengan panjang 10 cm. Kemudian benang silk 4/0 dimasukkan ke dalam

tabung reaksi yang berisi 9 ml dalam pengenceran suspensi


41

Staphylococcus aureus yang dihomogenkan selama 10 detik dan direndam

dalam suspensi selama 30 menit. Selama periode ini, sekitar 105 sel

terabsorpsi pada benang. Setelah direndam, benang dikeluarkan dari

tabung dan dikeringkan (Mcripley and Whitney, 1976).

4.4.7. Pembuatan Luka Model Nosokomial pada Mencit

Masing-masing mencit diberi label pada ekornya dengan

menggunakan spidol tahan air sesuai kelompoknya. Kemudian mencit

BALB/c jantan dianestesi menggunakan kombinasi Ketamine HCl (dosis

100 mg/kgBB) dan Xylazine (dosis 5 mg/kgBB). Untuk mempermudah

injeksi, dilakukan pengenceran Xylazine 20 mg/ml sebanyak 0,5 ml

dicampur dengan 20 ml aqua pro injeksi dan Ketamine HCl 100 mg/ml

sebanyak 2 ml dicampur dengan 18 ml aqua pro injeksi. Campuran

Ketamine HCl – Xylazine disuntikkan melalui rute intramuscular dengan

dosis 0.1 ml/10 gBB (Clouthier dan Luther, 2015; Plumb, 2008).

Punggung mencit yang akan diinsisi dibersikan dengan air sabun.

Kemudian dilakukan pencukuran pada daerah punggung dan dibersihkan

dengan alkohol 70%. Setelah itu dilakukan insisi longitudinal midline

sepanjang 2.3 ± 0.2 cm sampai dengan panniculus carnosus. Luka dijahit

dengan benang silk 4/0 dikontaminasi bakteri Staphylococcus aureus (105

CFU/ml) (Dai, 2011). Penjahitan dilakukan dengan jarum tapper 1/2 GT

35 mm pola simple continuous suture dengan panjang benang 5 cm pada

panniculus carnosus (Mcripley and Whitney, 1976).

4.4.8. Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah


42

Pada masing-masing konsentrasi salep dibuat sebanyak 140 g

dengan teknik pemberian dua kali sehari setiap 12 jam dengan cara

dioleskan salep kitosan sebanyak 2 g dengan di area luka jahitan selama 7

hari secara aseptis (Djamaluddin, 2009 modifikasi).

4.4.9. Pengambilan Jaringan Kulit

Pengambilan kulit pada hewan coba mencit (Mus musculus)

BALB/c jantan dilakukan pada hari ke-15 dan dilakukan eutanasi pada

mencit dengan cara dislokasi leher. Mencit diposisikan dengan rebah

dorsal. Daerah punggung yang akan diambil kulitnya dibersihkan dari bulu

yang mulai tumbuh kembali, kulit digunting dengan ketebalan ± 3 mm

sampai dengan subcutan dan panjang 2,3 ± 0,2 cm. Bagian kulit insisi

diisolasi dan dibilas dengan NaCl fisiologis 0,9%. Kulit yang diperoleh

kemudian dipotong menjadi dua bagian lalu masing-masing bagian

dimasukkan dalam pot dan di fiksasi dengan larutan Buffer Neutral

Formalin atau BNF 10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam

(Febram, dkk., 2010).

4.4.10. Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit

Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan Buffer

Neutral Formalin atau BNF 10% lalu dilakukan trimming jaringan dan

dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik. Tahap selanjutnya

dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi alkohol yang

bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol

absolut II masing-masing selama 2 jam, kemudian dilakukan penjernihan


43

menggunakan xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 jam. Proses

pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin

II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin

setengah volume dan potongan melintang sedian melekat pada dasar

parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat

pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras (Febram dkk.,

2010).

Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer

dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita

(ribbon) tersebut dibentangkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan

langsung diangkat yang berguna untuk meregangkan potongan agar tidak

berlipat atau menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan

tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan

dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 600C sehingga dapat

dilakukan pewarnaan Masson’s Trichrome (MT) untuk melihat ketebalan

jaringan ikat (Febram dkk., 2010).

Prosedur pewarnaan Masson’s trichrome jaringan diawali dengan

proses penghilangan parafin (deparafinisasi) menggunakan xilol

sebanyak tiga kali pengulangan, masing-masing selama 2 menit,

dilanjutkan dengan pemasukkan air kembali ke dalam jaringan (rehidrasi)

menggunakan larutan alkohol absolut sebanyak tiga kali pengulangan

selama lima menit, dalam alkohol 95%, dan 80% masing-masing selama

5 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir selama 1-2 menit.


44

Sebelum diwarnai dengan perwanaan Masson’s trichrome, masing-

masing preparat difiksasi kembali dalam larutan Bouin selama 1 jam.

Kemudian dibilas dengan menggunakan air mengalir sebanyak tiga kali

masing-masing selama 15 menit, selanjutnya jaringan diwarnai dengan

menggunakan pewarna hematoksilin selama 1 menit (sambil dikontrol di

bawah mikroskop). Jika terlalu gelap, maka pemucatan dilakukan dengan

0,5% hidrogen klorida (HCl) dalam alkohol 70% dan direndam dalam air

keran sampai warna hematoksilin berubah biru ungu cerah, lalu dicuci

dengan air suling secukupnya. Lalu jaringan diwarnai dengan pewarna

Ponceau 2R selama 10-15 menit, selanjutnya dicuci menggunakan

larutan asam asetat 1% (sambil dikontrol di bawah mikroskop).

Pewarnaan berikutnya adalah merendam slide dalam pewarna Orange G

selama 5 menit dan dicuci dengan menggunakan 1% asam asetat (sambil

dikontrol di bawah mikroskop). Pewarnaan terakhir menggunakan

pewarna Anilin Blue dengan merendam slide dalam 1 menit dan dicuci

kembali menggunakan larutan 1% asam asetat hingga warna biru kontras

dengan warna lainnya (sambil dikontrol di bawah mikroskop). Tahap

berikutnya adalah proses dehidrasi menggunakan larutan alkohol 100%

(absolut I dan II) masing-masing selama 5 menit dan preparat dijernihkan

dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 5 menit dan

diakhiri penutupan slide jaringan dengan kaca penutup (proses mounting)

dengan menggunakan bahan perekat Entellan®. Selanjutnya preparat


45

diamati menggunakan mikroskop cahaya (Olympus BX51) dengan

perbesaran 400x dan 1000x. (Sari dkk, 2016).

4.4.11. Pengukuran Kadar Relatif TGF-β menggunakan Flowcytometry

Sampel yang diuji dengan flowcytometri adalah kulit. Selanjutnya

sampel kemudian dibilas dengan menggunakan PBS sebanyak dua kali,

diletakan dalam cawan petri yang berisi 5 ml PBS, digerus menggunakan

pangkal spuit dan dihomogenisasi serta disuspensi dengan PBS. Sel-sel

yang diperoleh dari hasil isolasi difilter dengan menggunakan ayakan

berukuran 200 mesh. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500

rpm, pada suhu 20oC selama 5 menit. Pellet yang dihasilkan disuspensi

dengan 1 ml PBS dan dipipeting untuk mendapatkan homogenat.

Sebanyak 200 μL homogenat dipindahkan pada tabung mikrosentrifus

baru dan ditambahkan 500 μL PBS. Selanjutnya disentrifugasi dengan

kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 20oC. Hasil supernatan

dibuang dan pelletnya ditambah kandengan staining extraseluler CD68

dan didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya pellet direndam dalam

cytofix dan cytoferm 100 μL selama 20 menit lalu ditambahkan 50 μL

antibodi intraseluler staning (anti TGF-β) yang dikonjugasi dengan label

PE. Kemudian data hasil dari flowcytometri dianalisis dengan

menggunakan softwer BD cellquest ProTM. Program diatur sesuai

dengan pewarnaan dan jenis sel yang diidentifikasi. Gated dilakukan

berdasarkan pola ekspresi sel yang terlihat dalam layar komputer (Hefni,

dkk., 2013).
46

4.5 Analisa Data

Data hasil penghitungan kadar relatif TGF β (Transforming growt

factor-β) dianalisis secara kuantiatif dengan menggunakan metode One Way

Analysis of Variance (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata

Jujur (BNJ) dengan tingkat kepercanyaan 5% (α = 0,05). Sedangkan data

hasil pengamaatan preparat hitopatologi kulit dianalisa secara kualitatif

dengan metode deskriptif berdasarkan ketebalan jarigan ikat dengan bantuan

mikroskop cahaya (Olympus BX51) dengan perbesaran 400x dan 1000x.


47

DAFTAR PUSTAKA

Afranita, G., S. Anita, dan T. A. Hanifah. 2014. Potensi Abu Cangkang Kerang
Darah (Anadara granosa) sebagai Adsorben Ion Timah Putih. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Kampus Binawidya. Pekanbaru.
Akbar, B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press. Jakarta
Anggraeni, Yuni. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang
Kitosan-Tripolifosfat yang Mengandung Asiatikosida sebagai Pembalut
bioaktif untuk Luka.[Skripsi]. Depok. Universitas Indonesia.
Arita, S., Adelia, S.A., dan Deasy P.S. 2014. Pembuatan Katalis Heterogen Dari
Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa) dan Diaplikasikan pada Reaksi
Transesterifikasi dari Crude Palm Oil. Fakultas Teknik. Universitas
Sriwijaya. Jurnal Teknik Kimia No. 3, Vol. 20, Agustus 2014.
Arrington, L. R. 2002. Introductory Animal Science, the Breeding Care and
Management of Experimental Animal. The Interstate Printers and Publisher,
Inc. Denville.
Boerlin, P., Kuhnert, P., Hussy, D., and Schaellibaum, M. 2003. Methods for
Identification of Staphylococcus aureus Isolates in Case of Bovine Mastitis.
American Society for Microbiology. Journal of Clinical Microbiology, Vol.
41, No. 2, Februari 2003, Pages 767-771.
Clouthier, S. & Luther, T., 2015. SOP-BCR-6.3 Ketamine/Xylazine Containing
Anesthesia for Mouse Surgery Preparation.
http://www.med.umich.edu/wicha-lab/SOP/SOP%206%203-
%20Ketamine%20Xylazine%20Anesthesia%204-2-2015.pdf [Diakses 23
Februari 2017].

Dai, T., Kharkwal, G. B., Tanaka,M., Huang, Y., de Arce, V.C.B., dan Hamblin,
M. 2011. Animal models of external traumatic wound infections. Virulence
2(4): 296-315.
Dao, H. Jr., and Kazin, R. A. 2010. Gender Differences in Skin: A Review of the
Literature. Gend Med. 2007;4:308-328.
DeLeo, F.R., Diep, B.A., Otto, M. 2009. Host Defense and Pathogenesis in
Staphylococcus aureus Infections. J Dent, vol. 23, no. 1, hlm. 17-34.

Djamaludin, A.M. 2009. Pemanfaatan Khitosan Dari Limbah Krustasea Untuk


Penyembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus) [Skripsi].
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
48

Djamaludin, A.M. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Krustasea untuk


Penyembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus) [Skripsi].
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ester, A., N., I., S., dan Troef, S. 2012. Pengaruh Pemberian Low-Level Laser
Therapy pada Proses Penyembuhan Luka Bakar Derajat II. Departemen
Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Febram, B. P., I. Wientarsih dan B. Pontjo. 2010. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak
Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam
Proses Persembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus). Majalah
Obat Tradisional, 15(3), 121 – 137.
Fischetti, A.V., Novick, R.P., Ferreti, J.J., Portnoy, D.A., and Rood, J.I. 2000.
Gram Positif. ASM Press. Washington DC.

Frisca, C.T. Sardjono, dan Sandra. F. 2009. Angiogenesis : Patofisiologi dan


Aplikasi Klinis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 8 (2) 174-187.
Ghufran, M. 2011. Budidaya 22 Komoditas Laut untuk Konsumsi Lokal dan
Ekspor. Lily Publisher. Yogyakarta.
Gilbert, R.W. D., Vickaryous, M., K and Alicia M. 2016. Signalling by
Transforming Growth Factor Beta Isoforms in Wound Healing and Tissue
Regeneration. J. Dev. Biol. 2016, 4, 21; doi:10.3390/jdb4020021.

Gurtner, G. C. 2007. Wound Healing: Normal and Abnormal. Dalam: Thorne CH,
penyunting. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. Edisi ke-6.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Hanifah, N. dan Endang D. 2015. Efek Anti Inflamasi Kitosan Dari Cangkang
Udang Pantai Trisik Pada Tikus Model Rheumatoid Arthritis. Yogyakarta :
Fakultas Farmasi. Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Pharmaciana, Vol. 5,
No. 2, 2015: 177-184

Harper, D., Young A., and McNaught C,E. 2014. The Physiology Of Wound
Healing. Elsevier Surgery.
Hastuti, B., dan N. Tulus. 2015. Sntesis Kitosan dari Cangkang Kerang Bulu
(Anadara inflata) sebagai Absorben Ion CU2+. ISBN :978-602-73159-0-7.
Hefni, M., M. Rifa’i., dan Widodo. 2013. Aktivitas Ekstrak Daun Kelor Terhadap
Respons Imun Humoral Pada Mencit Yang Diinfeksi Salmonella Typhi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya.
Malang.
Junqueira, L.C. 2007. Persiapan Jaringan Untuk Pemeriksaan Mikroskopik.
Histology Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC. 3 – 5.
49

Karakecili, A.G., Cristiana, S., Menemse, G., and Giovanni M. 2008.


Enhancement Of Fibroblastic Proliferation On Chitosan Surfaces By
Immobilized Epidermal Growth Factor. Elsevier. Acta Biomaterialia 4
(2008) 989–996.
Kartika, R.W. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing Wound
Care. Diabetic Center. Vol. 42 No. 7.
Kielhorn, J., S. M. Kollmub, I. Mangelsdorf. 2006. Dermal Absorption.
Environmental Health Criteria.
Kornhauser, A., Wei, R.R., Yamaguchi, Y., Coelho, S.G., Kadbey, K., Barton, C.,
Takahashi, K., Beer, J.Z., Miller, S.A., and Hearing, V.J. 2009. The Effects
Of Topically Applied Glycolic Acid And Salicylic Acid On Ultraviolet
Radiation-Induced Erythema, DNA Damage And Sunburn Cell Formation
In Human Skin. J Dermatol Sci. 2009 July ; 55(1): 10–17.
Kristianto, H. 2010. Perbandingan Perawatan Luka Teknik Modern dan
Konvensional Terhadap Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF β 1) dan
Respon Nyeri pada Luka Diabetes Melitus.[Tesis].Universita Indonesia.
Lawrence, W. T, 2002. Wound Healing Biology and Its Application to Wound
Management. Dalam: O’Leary P, penyunting. The Physiologic Basis of
Surgery. Edisi ke-3. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Lorentz, H. P., and Longaker, M. T. 2006. Wound Healing: Repair Biology and
Wound and Scar Treatment in Mathes Plastic surgery. Saunders Elsevier
Philadelphia.
Mcripley R. J. And R. R. Whitney.1976. Characterization and Quantitation of
Experimental Surgical-Wound Infections Used to Evaluate Topical
Antibacterial Agents. The Squibb Institute for Medical Research, Princeton.
New Jersey. Antimicrobial Agent and Chemotherapy Vol.10. No. 1.
Milton, A.A.P., Priya, G. B., Aravind, M., Parthasarathy, S., Saminathan, M.,
Jeeva, K. Agarwal, R. K. 2015. Nosocomial Infections and Their
Surveillance in Veterinary Hospitals. Advances in Animal and Veterinary
Sciences.
Montgomery, D., and S. Kowalsky. 2011. Design And Analysis of Experiment.
John Willey an Sains Inc. ISBN 978-0-470-16990-2.

Morison, M. J. 2004. Manajemen Luka. EGC. Jakarta.


Muliani, H. 2011. Pertumbuhan Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Biji
Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Jurusan Biologi F. MIPA UNDIP.
Semarang. Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XIX, No. 1, Maret 2011.
50

Naibaho, O.H., V.Y.Y Paulina, dan W. Weny. 2013. Pengaruh Basis Salep
terhadap Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Daun Kemangi (Omicum
sanctum L.) pada Kulit Punggung Kelinci yang Dibuat Infeksi
Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSTRAT Vol. 2 No. 02.
Nasution, L H. 2012. Infeksi Nosokomial. Sumatera Utara. FK Universitas
Sumatera Utara. Vol. 39. No.1 Tahun 2012: 36-41.
Novriansyah, R. 2008. Perbedaan kepadatan kolagen di Sekitar lua Insisi Tikus
Wistar yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penuup Oklusif Hodrokoloid
Selama 2 dan 14 Hari. [Tesis]. Program Pendidikan Dokter Spesalis Ilmu.
Paul, W. dan Sharma, C.P. 2004. Chitosan and Alginate Wound Dressings: A
Short Review. Trends Biomater. Artif. Organs.
Pavletic, M. M. 2010. Atlas of Small Animal Wound Management and
Reconstructive Surgery. Third Edition. Wiley Blackwell. Massachusetts.
Perdanakusuma, D.S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Surabaya. 1-8.
Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. 6th ed. Wisconsin:
PharmaVet Inc.

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses,
dan Praktik. Edisi 4 volume 1. EGC. Jakarta.
Ratnawati, A., Djoni, I.R., dan Adri, S. 2014. Sintesis Dan Karakterisasi Kolagen
dari Teripang-Kitosan sebagai Aplikasipembalut Luka. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Airlangga. Surabaya.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical
Excipient. 6 Edition. Pharmaceutical Press. London.
Sahara, R. 2011. Karakteristik Kerang Darah (Anadara granosa). Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sari, M., N., Wahyuni2, S., Hamny, Jalaluddin, M., Sugito, dan Masyitha, D.
2016. Efek Penambahan Ampas Kedelai yang Difermentasi dengan
Aspergillus niger dalam Ransum Terhadap Histomorfometri Vili Usus
Halus Ayam Kampung (Gallus domesticus). Jurnal Medika Veterinaria
Masyitah Nafli Sari, dkk P-ISSN : 0853-1943; E-ISSN : 2503-1600.

Shrestha, B., Pokhrel, B., and Mohapatra, T. 2009. Study of nosocomial isolates
of Staphylococcus aureus with special reference to methicillin resistant S.
aureus in a tertiary care hospital in Nepal. Nepal Med Coll J 2009; 11(2): 123-126.

Singhal H,Kaur K, Zammit C. 2009. Wound Infection. http://www.emedicine.com.


Diakses pada 22 Desember 2016.
51

Siregar, T.U. 2006. Kinetika Biotransformasi Suksinonitril Menjadi Asam


Suksinat Oleh Pseudomonas sp. [Skripsi]. Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sujono, E. 2010. Uji Antibakteri Senyawa N-Fenil-N’-(Klorobenzoil) Tiourea


Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. [Skripsi]. Unika
Widya Mandala. Surabaya.

Suryadi, I. A., A. Asmarajaya, S. Maliawan. 2013. Proses Penyembuhan dan


Penanganan Luka. Ilmu Penyakit Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Denpasar. Bali.

Sysmex-Europe. 2015. Fluorescence Flow Cytometry. http://www.sysmex-


europe.com/academy/knowledgeentre/measurementtechnologies/fluorescen
ce-flow-cytometry.html. Diakses pada 22 Desember 2016.
Tahari, N.A. 2013. Laporan Teknik Instrumentasi Laboratorium Biosistem
(Hewan Coba). Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Tambayong, J. 2009. Mikrobiologi untuk Keperawatan.Widya Medika. Jakarta.

Triyono, B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus
Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang
Tidak Diberi Levobupivakain. [Thesis]. Universitas Diponegoro.
Umar, A., Krihariyani, D., dan Mutiarawati, D. T. 2012. Pengaruh Pemberian
Ekstrak daun Binahong (Adrederacordifolia (TEN) steenesis) Terhadap
Kesembuhab Luka Infeksi Staphylocccus aureus pada Mencit. Analis
Kesehatan sains Vol 01 No 02 2012. ISSN 2302-3635.
Vasudeva, N., and Mishra, S. 2014. Inderbir Singh’s Textbook of Human
Histology With Colour Atlas and Practical Guide. Seventh Edition. The
Health Sciences Publishers. London.
World Health Organization. 2002. Prevention Of Hospital-Acquired Infections A
Practical Guide 2nd Edition. World Health Organization.
Yanhendri, dan Yenny, S.W. 2012. Berbagai Bentuk Sediaan Topikal dalam
Dermatologi. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Andala. CDK-194/Vol.39 No. 6.
52

LAMPIRAN
53

Lampiran 1. Rancangan Penelitian

Mencit (Mus musculus) BALB/c Jantan

LAMPIRAN
Aklimatisasi selama 7 hari

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5


Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit
V Positif)
(Kontrol (Kontrol Negatif)

Insisi dan dijahit Insisi dan dijahit Insisi dan dijahit Insisi dan dijahit Insisi dan dijahit
benang + benang secara benang + benang + benang +
Stapylococcus aseptis Stapylococcus Stapylococcus Stapylococcus
aureus hari ke-8 hari ke-8 aureus hari ke-8 aureus hari ke-8 aureus hari ke-8

Diterapi salep Diterapi salep Diterapi salep


kitosan 2% kitosan 4% kitosan 8%
hari ke 8-14 hari ke 8-14 hari ke 8-14

Euthanasi dan pengambilan jaringan kulit hari ke-15

Pengukuran kadar relatif TGF-β Pembuatan preparat histopatologi kulit


dengan Flowcytometry dengan pewarnaan Masson’s Trichrome

Kadar relatif TGF-β Pengamatan histopatologi jaringan ikat

Analisa data
54

Lampiran 2. Perhitungan Konsentrasi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah

Sediaan salep yang akan digunakan pada penelitian ini masing-masing

memiliki konsentrasi kitosan cangkang kerang darah yaitu 2%, 4%, 8% dan dibuat

sebanyak 140 gram yang dioleskan dua kali sehari pada luka selama tujuh hari.

a. Perhitungan salep kitosan konsentrasi 2%

R/ Kitosan cangkang kerang darah 2,8 gram

Vaselin album 137,2 gram

m.f salep 140 gram

b. Perhitungan salep kitosan konsentrasi 4%

R/ Kitosan cangkang kerang darah 5,6 gram

Vaselin album 134,4 gram

m.f salep 140 gram

c. Perhitungan salep kitosan konsentrasi 8%

R/ Kitosan cangkang kerang darah 11,2 gram

Vaselin album 128,8 gram

m.f salep 140 gram


55

Lampiran 3. Perhitungan Pengenceran Mc. Farland

Sediaan Mc. Farland awal 3x108 CFU/ml (1 ml)

Sediaan dibutuhkan 105 CFU/ml sebanyak 9 ml

Perhitungan:

1 𝑚𝑙 𝑥
=
105 3 × 108
𝑥
105 × 𝑥 =
3 × 108

3 × 108
𝑥 =
105

𝑥 (1𝑚𝑙) = 3 × 103 𝑚𝑙

Dimana jika x dijadikan dalam satuan mikroliter maka 1 mikroliter adalah 3 ml.

Total yang dibutuhkan 9 ml Mc. Farland 105 maka dibutuhkan 3 mikroliter

sediaan bakteri dengan konsentrasi Mc. Farland 3x 108 CFU/ml.


56

Lampiran 4. Langkah Kerja Penelitian

a. Persiapan Hewan Coba

Mencit (Mus musculus) galur


BALB/c Jantan
- diadaptasi selama 7 hari

- diberikan pakan berbentuk pelet dan minum ad libitum

- dibagi menjadi lima kelompok perlakuan masing-masing

kelompok terdiri 4 ekor mencit yang dikandangkan secara

individu

Hasil

b. Prosedur Sintesis Kitosan Cangkang Kerang Darah

Cangkang Kerang Darah

- dibersihkan dari daging, kotoran, bulu menggunakan air

kran dan dicuci dengan akuades

- dikeringkan menggunakan oven

- dihaluskan dengan cara ditumbuk dan diayak dengan

ayakan berukuran 100 mesh

- dilakukan deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi

Deproteinasi

- 400 g serbuk direaksikan dengan 3000 ml NaOH 1 M dan

dihomogenkan dengan magnetik stirrer suhu 80oC selama 1

jam

- disaring padatan dan residu dicuci dengan akuades


57

- dikeringkan residu menggunkan oven dengan suhu 80oC

Demineralisasi
- 200 g serbuk hasil deproteinasi ditambah 2000 ml HCL

1M

- diaduk dengan manegtic stirrer selama 60 menit pada

suhu kamar

disaring endapan

- residu dicuci dengan akuades dan dikeringkan dengan

oven bersuhu 80oC selama 3 jam


Deasetilasi

- 40 g hasil demineralisasi ditambah 250 ml NaOH 50%

- direfluks didalam labu alas bulat selama 8 jam pada suhu

100 oC

- didinginkan hasil refluks dan disaring

- dicuci dengan akuades

- endapan dikeringkan dengan oven 80oC selama 3 jam

- dimasukan endapan dalam desikator selama 24 jam

Hasil
c. Pembuatan Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah

Mortar

- ditimbang kitosan sebanyak 2,8 gram dan vaselin album

sebanyak 137,2 gram (konsentrasi 2%)


58

- ditimbang kitosan sebanyak 5,6 gram dan vaselin album

sebanyak 134,4 gram (konsentrasi 4%)

- ditimbang kitosan sebanyak 11,2 gram dan vaselin album

sebanyak 128,8 gram (konsentrasi 8%)

- dicampur kitosan dan vaselin album hingga homogen

- disimpan dalam tube dan dilabel

Hasil

d. Pembuatan Suspensi Bakteri

Kultur murni Staphylococcus aureus


- diremajakan selama 1 hari di NA Slant

- diinokulasi 1 ose ke dalam 2 ml NB streril

- diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC

- disetarakan dengan larutan standar Mc Farland No 1

dengan kepadatan bakteri 3x108 CFU/ml

- diencerkan dengan Nb steril hingga kosentrasi menjadi 105

CFU/ml

Hasil

e. Identifikasi Kemurnian Bakteri Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcys aureus


- diinokulasikan 1 ose biakan bakteri pada media MSA

- diinkubasi selama 24 jam

- hasil positif jika media berubah menjadi kuning dan hasil

negatif tidak terjadi perubahan warna

Hasil
59

f. Pembuatan Benang Terkontaminasi Bakteri Staphylococcus aureus

Benang silk 4/0

- dipotong dengan panjang 10 cm

- dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 8 ml suspensi

bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml

- dihomogenkan 10 detik dan direndam dalam suspensi 30

menit

- dikeluarkan benang dari tabung reaksi dan dikeringkan

Hasil

g. Pembuatan Luka Model Nosokomial pada Mencit

Mencit (Mus musculus) galur BALB/c Jantan

- dilabel pada ekornya dengan spidol tahan air

- dianestesi dengan campuran ketaminn HCL-zylazine dosis

0,1 mg/10 g BB IM pada kaki belakang

- dibersihkan daerah insisi punggung mencit dengan air

sabun dan dicukur

- dibersihkan area insisi dengan alkohol 70%

- diinsisi longitudinal midline dengan panjang 2,3 ± 0,2 cm

sampai dengan panniculus carnosus

- dijahit luka insisi dengan benang silk 4/0 terkontaminasi

bakteri Staphylococcus aureus 105 CFU/ml

Hasil
60

h. Terapi Salep Kitosan Cangkang Kerang Darah

Mencit (Mus musculus) galur BALB/c Jantan

- dioleskan salep kitosan ± 2 gram dua kali sehari selama

tujuh hari

Hasil

i. Pengambilan Jaringan Kulit


Mencit (Mus musculus) galur BALB/c Jantan

- dilakukan eutanasi dengan cara dislokasi leher

- diposisikan rebah dorsal

- dibersihkan area insisi di punggung dari bulu

- digunting kulit dengan ketebalan ± 3 mm hingga subcutan

dengan panjang 2,3 ± 0,2 cm

- diisolasi dan dicuci kulit dengan NaCl fisiologis 0,9%

- dipotong kulit menjadi dua bagian

- dimasukan masing-masing bagian kulit dalam pot berisi

BNF 10% dan dibiarkan selama 48 jam

Hasil

j. Pembuatan Preparat Hitopatologi Kulit

Kulit

- dilakukan trimming jaringan dan dimasukkan ke dalam

cassete tissue

- direndam dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I

dan alkohol absolut II masing-masing selama 2 jam


61

- dilakukan penjernihan menggunakan xylol I dan xylol II

masing-masing selama 2 jam

- dilakukan parafinisasi menggunakan parafin I dan parafin II

dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak

yang berisi parafin setengah volume

- setelah mulai membeku parafin ditambahkan kembali

hingga alat pencetak penuh

- dibiarkan sampai parafin mengeras

- blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5

mikrometer dengan menggunakan mikrotom

- dibentangkan hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon)

di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat

- diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman

dalam inkubator bersuhu 600C

- dilakukan pewarnaan Masson’s Trichrome (MT)

Pewarnaan Masson’s Trichrome


- dilakukan penghilangan parafin (deparafinisasi) dengan

xilol sebanyak tiga kali pengulangan masing-masing

selama 2 menit

- dilanjutkan dengan rehidrasi menggunakan larutan alkohol

absolut sebanyak tiga kali pengulangan dan dalam alkohol

95%, 80% masing-masing selama 5 menit

- dicuci dengan air mengalir selama 1-2 menit.


62

- difiksasi preparat dalam larutan Bouin selama 1 jam

- dicuci dengan menggunakan air mengalir sebanyak tiga

kali masing-masing selama 15 menit

- diwarnai jaringan dengan menggunakan pewarna

hematoksilin selama 1 menit (sambil dikontrol di bawah

mikroskop).

- Jika terlalu gelap, maka pemucatan dilakukan dengan 0,5%

hidrogen klorida (HCl) dalam alkohol 70% dan direndam

dalam air keran sampai warna hematoksilin berubah biru

ungu cerah

- dicuci dengan air suling

- diwarnai jaringan dengan pewarna Ponceau 2R selama 10-

15 menit

- dicuci menggunakan larutan asam asetat 1% (sambil

dikontrol di bawah mikroskop)

- direndam slide dalam pewarna Orange G selama 5 menit

- dicuci dengan menggunakan 1% asam asetat (sambil

dikontrol di bawah mikroskop)

- direndam slide dengan pewarna Anilin Blue 1 menit

- dicuci kembali menggunakan larutan 1% asam asetat

- dilakukan dehidrasi menggunakan larutan alkohol 100%

(absolut I dan II) masing-masing selama 5 menit


63

- dijernihkan preparat dengan larutan xylol I, II, dan III

masing-masing selama 5 menit

- dilakukan penutupan slide jaringan dengan kaca penutup

(proses mounting) dengan menggunakan bahan perekat

Entellan®

- diamati menggunakan mikroskop cahaya (Olympus BX51)

dengan perbesaran 400x dan 1000x.

Hasil
k. Pengukuran Kadar Relatif TGF-β Menggunakan Flocytometry

-
Kulit
- dicuci dengan PBS sebanyak dua kali

- diletakan diatas cawan petri berisi 5 ml PBS

- digerus menggunakan pangkal spuit dan dihomogenkan

- disuspensi dengan PBS

- difilter hasil isolasi menggunakan wire

- disetrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm pada suhu 20oC selama 5

menit

- pellet disuspensi dengan 1 ml PBS dan dipipeting

- dihasilkan 20 μL homogenat dan dipindahkan ke tabung

mikrosentrifus

- ditambahkan 500 μL PBS

- disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu

20oC
64

- dibuang hasil supernatan dan pellet ditambahkan dengan staining

permukaan sel yaitu anti CD68

- didiamkan selama 20 menit.

- ditambahkan cytofix dan cytoferm 100 μL dan didiamkan 20 menit

- ditambah 50 μL antibodi intraseluler staning (anti TGF-β) dan

dikonjugasi dengan label PE

- hasil dianalisis dengan softwer BD cellquest ProTM

Hasil

Anda mungkin juga menyukai