Anda di halaman 1dari 31

MANAJEMEN UNIT KERJA 2

MAKALAH PENYUSUTAN DAN PEMUSNAHAN BERKAS REKAM MEDIS

DI SUSUN OLEH :
Nama : Hardiansyah
NIM : 1802042002

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tugas Manajemen Unit Kerja 2
tentang “Penyusutan dan Penghapusan Berkas Rekam Medis” terselesaikan dengan lancar.
Tugas ini disusun sebagai tugas pembelajaran dengan tujuan yang lebih khusus
untuk menambah pengetahuan tentang “Penyusutan dan Penghapusan Berkas Rekam
Medis” di Unit Kerja Rekam Medis.
Harapan saya semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan
pembaca. Saya telah berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan tugas ini namun masih
jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, maka saya mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun guna menyempurnakan tugas ini dan tugas berikutnya.

Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pada hakekatnya Rumah
Sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dibutuhkan berkas rekam medis
yang berfungsi sebagai pendokumentasian kesehatan pasien yang harus dijaga oleh bagian
rekam medis. Berdasarkan PerMenKes No. 269/MENKES/PER/III/2008, rekam medis
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Berdasarkan Ismainar dalam buku Manajemen Unit Kerja tahun 2015,suatu berkas
rekam medis sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit
dan pengobatan pasien selama pasien berkunjung atau dirawat di rumah sakit. Rekam
medis juga melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Maka dari itu rekam medis menjadi sumber ingatan yang harus
didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan rumah sakit.
Berkas rekam medis mempunyai masa simpan sehingga berkas rekam medis harus
mengalami penyusutan rekam medis. Menurut Rustiyanto dan Rahayu (2011), penyusutan
rekam medis merupakan suatu proses pemindahan dokumen rekam medis dari aktif ke
inaktif, dimana dokumen rekam medis nantinya disortir satu-satu untuk mengetahui sejauh
mana dokumen rekam medis tersebut mempunyai nilai guna dantidak mempunyai nilai
guna.
Pelaksanaan penyusutan berkas rekam medis mempunyai beberapa tahap, yaitu
dimulai dari pemindahan rekam medis aktif ke inaktif, penilaian rekam medis bernilai
guna dan tidak ada nilai guna, rekam medis yang tidak bernilai guna serta rekam medis
rusak / tidak terbaca dimusnahkan. Sedangkan untuk rekam medis yang bernilai guna dan
rekam medis tertentu disimpan (Rustiyanto dan Rahayu, 2011). Seiring perkembangan
zaman, pelaksanaan penyusutan berkas rekam medis mengikuti kemajuan teknologi
elektronik dengan dilaksanakannya transaksi elektronik dengan sistem elektronik sehingga
menghasilkan dokumen elektronik.
Berdasarkan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
teknologi elektronik adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. sedangkan
transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan komputer, jaringan
komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau isimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, peta, gambar, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.

B. Tujuan
1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan penyusutan rekam medis di rumah sakit
2.Tujuan Khusus
a) Mengetahui prosedur pelaksanaan penyusutan rekam medis inaktif.
b) Mengetahui pelaksanaan penyusutan rekam medis inaktif menggunakan scanner.
c) Mengidentifikasi masalahpenggunaan scanrekam medis.
BAB II
PEMBAHASAN

a. Penyusutan Rekam Medis (Retensi)


Penyusutan (retensi) rekam medis adalah suatu proses kegiatan pengurangan berkas
dari rak penyimpanan, dengan cara memindahkan berkas non aktif dari rak penyimpanan
aktif ke rak penyimpanan non aktif. Berkas rekam medis non aktif adalah berkas rekam
medis pasien yang sudah tidak aktif selama minimal 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir
berobat.

Tujuan penyusutan arsip :


1. Mengurangi jumlah arsip rekam medis yang semakin bertambah
2. Menyiapkan fasilitas yang cukup untuk tersedianya tempat penyimpanan berkas
rekam medis yang baru.
3. Tetap menjaga kualitas pelayanan dengan mempercepat penyiapan rekam medis jika
sewaktu-waktu dibutuhkan.
4. Menyelamatkan arsip yang bernilai guna tinggi serta mengurangi yang tidak bernilai
guna / nilai gunanya telah menurun.

Jadwal Retensi Rekam Medis

No. Kelompok Aktif


Penyakit Rawat Rawat Inap In aktif
Jalan ( RJ ) ( RI ) RJ & RI
1. Umum 5 Tahun 5 Tahun 2 Tahun
2. Mata 5 Tahun 10 Tahun 2 Tahun
3. Jiwa 10 Tahun 5 Tahun 5 Tahun
4. Ortopedi 10 Tahun 10 Tahun 2 Tahun
5. Kusta 15 tahun 15 Tahun 2 Tahun
6. Ketergantungan 15 Tahun 15 Tahun 2 Tahun
Obat
7. Jantung 10 Tahun 10 tahun 2 Tahun
b. Pemusnahan Berkas Rekam Medis
adalah suatu proses kegiatan penghancuran secara fisik berkas rekam medis yang
telah berakhir fungsi dan nilai gunanya. Berkas yang dimaksud adalah berkas rekam medis
inaktif yang telah disimpan minimal 2 (dua) atau 5 (lima) tahun dan lembaran-lembaran
Rekam Medis inaktif yang tidak mempunyai nilai guna lagi. Penghancuran harus
dilakukan secara total dengan cara membakar habis, mencacah atau daur ulang sehingga
tidak dapat lagi dikenal isi maupun bentuknya.
Ketentuan Pemusnahan Rekam Medis
1. Direktur RSU. X membentuk tim penilai dan membuat Surat Keputusan untuk
penilaian Berkas Rekam Medis yang akan dimusnahkan. Tim tersebut terdiri dari:
Ka. Instalasi Rekam Medis, perawat senior, petugas Rekam Medis, Panitia Rekam
Medis dan Komite Medis.
2. Berkas rekam medis yang telah memenuhi syarat untuk dimusnahkan dikeluarkan
dari ruang penyimpanan.
3. Lembar Riwayat Ringkasan Masuk & Keluar, lembar Resume (ringkasan keluar),
lembar laporan pembedahan, lembar laporan anestesi, lembar pemeriksaan
penunjang, lembar identifikasi bayi lahir hidup, surat keterangan kematian pasien
dikeluarkan dari berkas dan tetap disimpan di ruang penyimpanan.
4. Rekam medis mempunyai nilai guna tertentu tidak dimusnahkan tetapi disimpan
dalam jangka waktu tertentu, seperti kasus kriminal (seperti percobaan bunuh diri),
pelecehan seksual, HIV/AIDS, penyesuaian kelamin, bayi tabung, cangkok organ,
kasus adopsi, kepentingan tertentu seperti kasus bom bali dan sebagainya.
5. Bila berkas-berkas rekam medis yang harus ada karena alasan tertentu yang
disebutkan tadi di atas tidak memungkinkan untuk disimpan lagi karena keterbatasan
tempat maka berkas-berkas asli tersebut dapat disimpan dengan cara discanning
.Setelah itu hasil scanningnya harus diberi label yang sesuai dengan penulisan pada
Rekam Medis dan disimpan sesuai straight numerical.
6. Berkas yang akan dimusnahkan dilaporkan kepada Direktur RSU. X.
7. Direktur RSU. X membuat surat keputusan tentang pemusnahan Rekam Medis dan
menunjuk tim pemusnahan.
8. Tim pemusnahan Rekam Medis beranggotakan sekurang – kurangnya : Ka Instalasi
Rekam Medis, petugas Rekam Medis, Ka. Bidang Umum dan Keuangan, Ka. Bidang
Keperawatan, Ka. Bidang Pelayanan Medis .
9. Disiapkan form pertelaan:
No. Nomor Rekam Tahun terakhir Jangka Diagnosa
Medis Berobat Waktu Akhir

10. Tim yang dibentuk selanjutnya melaksanakan pemusnahan dan membuat berita acara
pemusnahan.
11. Berita acara pemusnahan selanjutnya diserahkan kepada Direktur RSU. X untuk
disahkan.
Berita acara pemusnahan selanjutnya diserahkan kepada pemilik rumah sakit dengan
tembusan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan dan pertinggal di Instalasi Rekam Medis.

Aspek Hukum Rekam Medis

a. Pertanggungjawaban terhadap rekam medis


Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab atas mutu pelayanan medis di rumah
sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam medis sangat penting dalam mengemban mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh rumah sakit beserta staf medisnya. Rekam medis
merupakan milik rumah sakit yang harus dipelihara karena bermanfaat bagi pasien, dokter
maupun bagi rumah sakit.
Rumah sakit bertanggung jawab untuk melindungi informasi yang ada didalam rekam
medis terhadap kemungkinan hilangnya keterangan ataupun memalsukan data yang ada di
dalam rekam medis atau dipergunakan oleh orang yang semestinya tidak diberi izin.

1. Tanggung Jawab Dokter Yang Merawat


Tanggung jawab utama akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis terletak pada
dokter yang merawat. Nilai ilmiah dari sebuah rekam medis adalah sesuai dengan taraf
pengobatan dan perawatan yang tercatat. Oleh karena itu ditinjau dari beberapa segi rekam
medis sangat bernilai penting karena :
 Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang maupun dimasa
yang akan datang.
 Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun dokter dalam segi hukum (Mediko legal).
Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak benar maka kemungkinan akan
merugikan bagi pasien, rumah sakit maupun dokter itu sendiri.
 Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medis maupun administratif. Petugas rekam
medis hanya dapat mempergunakan data yang diberikan kepadanya. Bilamana
diagnosanya tidak benar dan tidak lengkap maka kode penyakitnya pun tidak tepat,
sehingga indeks penyakit mencerminkan kekurangan : Hal ini berakibat riset akan
mengalami kesulitan. Oleh karena itu data statistik dan laporan hanya dapat secermat
informasi dasar yang benar.

2. Tanggung Jawab Petugas Rekam Medis


Petugas rekam medis bertanggung jawab untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas rekam
medis itu sendiri guna menjamin konsistensi dan kelengkapan isinya, sehubungan dengan
hal ini, petugas rekam medis harus berpegang pada pedoman sebagai berikut :
1. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan keluar, sesuai
dengan istilah terminologi yang dipergunakan, semua diagnosa serta tindakan
pembedahan yang dilakukan harus dicatat.
2. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada sebuah catatan.
3. Bahwa laporan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dalam keadaan lengkap
dan berisi semua data penemuan baik yang positif maupun negatif.
4. Catatan Perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa klinis
keadaan pasien. Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan pasien.
5. Hasil laboratorium dan X-ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta ditanda
tangani oleh pemeriksa.
6. Semua tindakan pengobatan medis ataupun tindakan pembedahan harus ditulis
dicantumkan tanggal serta ditanda tangani oleh dokter.
7. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan staf medis
harus dicatat secara lengkap serta ditanda tangani. Hasil konsultasi, mencakup
penemuan konsulen pada pemeriksaan fisik terhadap pasien termasuk juga
pendapat dan rekomendasinya.
8. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan dicatat secara lengkap,
mencakup hasil test dan semua pemeriksaan pada saat prenatal sampai masuk
rumah sakit. Jalannya persalinan dan kelahirannya sejak pasien masuk rumah
sakit, juga harus dicatat secara lengkap.
9. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakit yang lain tentang Observasi
dan Pengobatan yang diberikan harus lengkap.
10. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang. Resume harus berisi ringkasan
tentang penemuan-penemuan dan kejadian penting selama pasien dirawat ,
keadaan waktu pulang , saran dan rencana pengobatan selanjutnya.

3. Tanggung Jawab Pimpinan Rumah Sakit


Pimpinan Rumah Sakit bertanggung jawab menyediakan fasilitas Instalasi Rekam Medis
yang meliputi ruang, peralatan dan petugas yang memakai. Dengan demikian petugas
rekam medis dapat bekerja dengan cara efektif , memeriksa kembali memuat indeks,
penyimpanan dari semua sistem medis dalam waktu singkat. Ruangan untuk memeriksa
berkas rekam medis harus cukup, untuk mencatat, melengkapi, mengulang kembali, tanda
tangan bagi dokter.

4. Tanggung Jawab Staf Medis


Staf Medis juga mempunyai peranan penting di rumah sakit dan pengorganisasian staf
medis tersebut secara langsung menentukan kualitas pelayanan kepada pasien. Agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan tepat dan baik. Direktur membuat peraturan-peraturan
yang akan mengatur para anggota staf medis juga dan membentuk komisi khusus yang
diperlukan keanggotaannya diambil diantara anggota-anggota staf medis, menunjuk
kelompok staf medis untuk melaksanakan beberapa tanggung jawab khusus yang
diperlukan.

b. Pemilikan Rekam Medis


Rumah sakit sebagai pemilik segala catatan yang ada dirumah sakit, termasuk rekam
medis. Hal ini mengingat karena karena catatan yang terdapat dalam berkas rekam medis
merupakan rangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan oleh instalasi pelayanan
kesehatan kepada pasien. Jadi bukti dokumentasi tersebut adalah sebagai tanda bukti
rumah sakit terhadap segala usahanya dalam menyembuhkan pasien. Isi rekam medis
menunjukkan pula baik buruknya upaya penyembuhan yang dilakukan instalasi pelayanan
kesehatan tersebut. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bagi para petugas
pelayanan kesehatan yang terlibat pada pelayanan kesehatan kepada pasien :
1. Tidak diperkenankan untuk membawa berkas rekam medis keluar dari instalasi
pelayanan kesehatan, kecuali atas ijin Pimpinan dan dengan sepengetahuan Kepala
Instalasi Rekam Medis yang peraturannya digariskan oleh rumah sakit.
2. Petugas Instalasi Rekam Medis antara lain bertanggung jawab penuh terhadap
kelengkapan dan penyakit, berkas yang sewaktu-waktu dapat dibutuhkan oleh
pasien.
3. Petugas ini harus betul-betul menjaga agar berkas tersebut tersimpan dan tertata
dengan baik dan terlindung dari kemungkinan pencurian berkas atau pembocoran isi
berkas rekam medis.
4. Petugas Rekam Medis harus menghayati peraturan mengenai prosedur penyelesaian
pengisian berkas bagi para aparat pelayanan kesehatan maupun tata cara pengolahan
berkas yang kesemuanya dilakukan demi menjaga agar berkas rekam medis dapat
diberikan perlindungan hukum bagi rumah sakit, petugas pelayanan kesehatan
maupun pasien.
Dalam kaitan ini boleh ataupun tidaknya pasien mengerti akan sisi dari pada rekam
medis adalah amat tergantung pada kesanggupan pasien untuk mendengar informasi
mengenai penyakitnya yang dijelaskan oleh dokter yang merawatnya. Hal ini tidak
berarti bahwa pasien diperkenankan untuk membawa berkasnya pulang. Resume
pasien yang dikeluarkan oleh dokter rumah sakit serta diteruskan kepada dokter
rujukan bila sudah dianggap memadai. Apabila dokter rujukan menghendaki
informasi mengenai penyakit pasien yang lebih terperinci maka pihak rumah sakit
diperkenankan untuk memfotocopy dan melegalisir halaman-halaman yang di foto
copy tersebut serta meneruskan kepada dokter rujukan tersebut. Harus diingat bahwa
rumah sakit senantiasa wajib memegang berkas asli, kecuali untuk resep obat pasien.
Dengan adanya minat pihak ketiga seperti badan-badan asuransi, polisi pengadilan
dan lain sebagainya terhadap rekam medis seorang pasien maka tampak bahwa
rekam medis telah menjadi milik umum. Namun pengertian umum disini bukanlah
dalam arti bebas dibaca oleh masyarakat , karena walaupun bagaimana rekam medis
hanya dapat dikeluarkan bagi berbagai maksud / kepentingan berdasarkan otoritas
pemerintah / badan yang berwewenang, yang secara hukum dapat dipertanggung
jawabkan. Rumah sakit bertanggung jawab secara moral dan hukum sehingga
karenanya berupaya untuk menjaga agar jangan sampai terjadi orang yang tidak
berwenang dapat memperoleh informasi yang terdapat dalam rekam medis pasien.
Pengamanan harus dimulai sejak pasien masuk, selama pasien dirawat dan sesudah
ia pulang.
c. Kerahasiaan Rekam Medis
Pada dasarnya informasi yang bersumber dari rekam medis ada dua kategori :
1. Informasi yang mengandung nilai kerahasiaan
Yaitu laporan atau catatan yang terdapat dalam Berkas Rekam Medis sebagai hasil
pemeriksaan, pengobatan, observasi atau wawancara dengan pasien. Informasi ini
tidak boleh disebarluaskan kepada pihak-pihak yang tidak berwenang, karena
menyangkut individu langsung si pasien. Pemberitahuan keadaan sakit si pasien
maupun kepada keluarganya oleh pihak rumah sakit merupakan tanggung jawab
dokter yang merawat, pihak lain tidak memiliki hak sama sekali atau tidak
diperkenankan.

2. Informasi yang tidak mengandung nilai kerahasiaan


Jenis informasi yang dimaksud disini adalah perihal identitas (nama , alamat dan
lain-lain) serta informasi lain yang tidak mengandung nilai medis. Lazimnya
informasi jenis ini terdapat dalam lembaran paling depan berkas rekam medis rawat
jalan maupun rawat inap (Ringkasan Riwayat Klinik ataupun Ringkasan Masuk dan
Keluar). Namun sekali lagi perlu diingat bahwa karena diagnosa akhir pasien
mengandung nilai medis maka lembaran tersebut tetap tidak boleh disiarkan kepada
pihak-pihak yang tidak berwenang. Walaupun begitu petugas tenaga bantuan,
perawat, petugas rekam medis maupun petugas rumah sakit lainnya harus berhati-
hati bahwa ada kalanya identitas pasien pun dianggap perlu disembunyikan dari
pemberitaan. Oleh karena itu dimanapun petugas itu berdinas tetap harus memiliki
kewaspadaan yang tinggi agar terhindar dari kemungkinan tuntutan ke pengadilan.
Sumber hukum bisa dijadikan acuan didalam masalah kerahasiaan suatu informasi
yang menyangkut Rekam Medis pasien dapat dilihat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Bab VII tentang
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Bagian Ketiga Paragraf 4 Pasal 48 :
Ayat (1) : Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Ayat (2) : Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
d. Sifat Kerahasiaan Rekam Medis
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis Bab IV tentang Penyimpanan,
Pemusnahan dan Kerahasiaan pasal 10 :
Ayat (1) : Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiannya
oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Ayat (2) : Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan
dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien ;
b. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum atas perintah pengadilan ;
c. Permintaan dan / atau persetujuan pasien sendiri ;
d. Permintaan institusi / lembaga berdasarkan ketentuan perundang-
undangan ; dan
e. Untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit Medis,
sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
Ayat (3) : Permintaan Rekam Medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
dan pasal 11 :
Ayat (1) : Penjelasan tentang isi Rekam Medis hanya boleh dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) : Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi Rekam
Medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasien dapat mengetahui tentang keadaan sakitnya melalui dokter dan bahwa
pasien berkewajiban untuk memberikan ijin / kuasa kepada pihak ke 3 yang ingin
mengetahui keadaan sakitnya kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku namun satu hal yang harus dilakukan petugas rekam medis dalam menjalankan
tugasnya terhadap pembukaan informasi medis pasien yaitu melaksanakannya dengan teliti
dan hati-hati.
Ketelitian dan sifat hati-hati ini membuat petugas rekam medis untuk memperhatikan :
a. Memastikan secara pasti informasi apa yang kiranya dapat memenuhi kebutuhan si
penanya, serta hanya informasi itu yang hanya dikirimkan.
b. Bila ada pertanyaan tentang kebenaran atau sah tidaknya tanda tangan pada surat
kuasa pasien di surat ijin, lakukan pengecekan dengan tanda-tanda lain pada saat
pasien dirawat dan surat ijin lainnya yang ada dalam rekam medis.
c. Bila tidak ada tanda tangan sebagai pembanding dan ada keraguan tentang sah
tidaknya tanda tangan itu, maka orang itu harus mengesahkan tanda tangannya di
notaris terlebih dahulu. Demikian pula bila terjadi perubahan bila terjadi perubahan
tanda tangan dari masa gadis kemasa nikah (nona menjadi Nyonya). Resume pasien
cukup digunakan sebagai penjelas informasi yang diinginkan, kecuali bila telah
ditentukan lebih dari pada itu (misal seluruh berkas).

e. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Sesuai dengan Permenkes No. 290 / MENKES / PER / III / 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan
Kedokteran / Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Sedangkan menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran, Persetujuan Tindakan
Kedokteran atau Kedokteran Gigi:
a) Adalah persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah
menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan.
b) Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah pernyataan sepihak dari
pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga
dapat ditarik kembali setiap saat.
c) Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses sekaligus
hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter atau dokter
gigi, dan bukan sekedar penandatanganan formulir persetujuan.
d) Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang dilakukan terhadap pasien untuk tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, atau rehabilitatif.
e) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi adalah
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi, yang dengan probabilitas tertentu dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan (kehilangan anggota badan atau kerusakan
fungsi organ tubuh tertentu), misalnya tindakan bedah dan tindakan invasif tertentu;
f) Tindakan invasif adalah tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang langsung
dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien. Tindakan invasif tidak selalu
berisiko tinggi.
g) Wali adalah orang yang secara hukum dianggap sah mewakili kepentingan orang
lain yang tidak kompeten (dalam hal ini pasien yang tidak kompeten).
h) Keluarga terdekat adalah suami atau isteri, orang tua yang sah atau anak kandung,
dan saudara kandung.
i) Pengampu adalah orang atau badan yang ditetapkan pengadilan sebagai pihak yang
mewakili kepentingan seseorang tertentu (dalam hal ini pasien) yang dinyatakan
berada di bawah pengampuan (curatele).
j) Kompeten adalah cakap untuk menerima informasi, memahami, menganalisisnya,
dan menggunakannya dalam membuat persetujuan atau penolakan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi.

Dengan mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukanlah ilmu pasti,
maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula suatu kepastian,
melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat berbeda-beda dari satu kasus ke
kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang beragama, perlu juga disadari bahwa keberhasilan
tersebut ditentukan oleh izin Tuhan Yang Maha Esa.
Dewasa ini pasien mempunyai pengetahuan yang semakin luas tentang bidang kedokteran,
serta lebih ingin terlibat dalam pembuatan keputusan perawatan terhadap diri mereka.
Karena alasan tersebut, persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat memfasilitasi
keinginan pasien tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter dan pasien
adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan. Jadi, proses persetujuan tindakan
kedokteran merupakan manifestasi dari terpeliharanya hubungan saling menghormati dan
komunikatif antara dokter dengan pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan
tindakan yang terbaik bagi pasien demi mencapai tujuan pelayanan kedokteran yang
disepakati.
Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang sah, maka
dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah :
1. Hukum Pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat
dikategorikan sebagai “penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan
pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini
sangat jarang terjadi.
2. Hukum Perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka pasien
harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya mengenai hasil
akhir tertentu dari tindakan dimaksud-padahal apabila dia telah diperingatkan
sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau menunjukkan bahwa
dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan (perbuatan melanggar hukum).
3. Pendisiplinan oleh MKDKI
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi yang
melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat memberikan
sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga rekomendasi pencabutan
Surat Tanda Registrasi.

Sebagaimana diuraikan diatas, persetujuan tindakan kedokteran adalah pernyataan sepihak


pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah
menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.
Suatu persetujuan dianggap sah apabila:

a. Pasien telah diberi penjelasan/ informasi


b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk
memberikan keputusan/persetujuan.
c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.
Kadang-kadang orang menekankan pentingnya penandatanganan formulir persetujuan
tindakan kedokteran. Meskipun formulir tersebut penting dan sangat menolong (dan
kadang-kadang diperlukan secara hukum), tetapi penandatanganan formulir itu sendiri
tidak mencukupi. Yang lebih penting adalah mengadakan diskusi yang rinci dengan
pasien, dan didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.

Ketika dokter mendapat persetujuan tindakan kedokteran, maka harus diartikan bahwa
persetujuan tersebut terbatas pada hal-hal yang telah disetujui. Dokter tidak boleh
bertindak melebihi lingkup persetujuan tersebut, kecuali dalam keadaan gawat darurat,
yaitu dalam rangka menyelamatkan nyawa pasien atau mencegah kecacatan (gangguan
kesehatan yang bermakna). Oleh karena itu sangat penting diupayakan agar persetujuan
juga mencakup apa yang harus dilakukan jika terjadi peristiwa yang tidak diharapkan
dalam pelaksanaan tindakan kedokteran tersebut. Upaya memperoleh persetujuan dapat
memerlukan waktu yang lama. Persetujuan pada berbagai keadaan akan berbeda, karena
setiap pasien memiliki perhatian dan kebutuhan yang individual. Dan meskipun waktu
yang tersedia sedikit, tetap saja tidak ada alasan untuk tidak memperoleh persetujuan.
Seorang dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan / tindakan bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak.
Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan
persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk
memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak. Jika seseorang dokter
akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka
dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan
apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya
untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia, maka
seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah
menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18
tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berisiko tinggi
apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan
hukum yang mendasarinya adalah sbb:
 Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur 21
tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan
 Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang
yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak.
Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang
kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
 Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong
anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat
sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan
persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berisiko tinggi. Untuk
itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan
membuat keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka
dapat dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.
Jika ditinjau berdasarkan kesadarannya, pasien dianggap kompeten apabila pasien
tersebut tidak terganggu kesadaran fisiknya sehingga mampu berkomunikasi secara wajar
dan mampu membuat keputusan secara bebas. Dalam hal tertentu, pasien dapat kehilangan
kompetensinya untuk sementara waktu apabila ia mengalami syok, nyeri yang sangat atau
kelemahan lain akibat keadaan sakitnya.
Bila dinilai berdasarkan kesehatan mental, pasien dianggap kompeten bila pasien tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi mental)dan tidak mengalami penyakit
mental yang membuatnya tidak mampu membuat keputusan secara bebas. Lain hal pasien
dengan gangguan jiwa (mental) dapat dianggap kompeten bila dia masih mampu
memahami informasi, mempercayainya, mempertahankannya untuk kemudian
menggunakannya dalam membuat keputusan yang bebas. Kompetensi sesorang pasien
harus dinilai oleh dokter pada saat diperlukan persetujuannya dan apabila meragukan maka
harus ditentukan oleh tim dokter yang kompeten.
Menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran (KKI, 2006), seseorang dianggap
kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila:
 Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas,
menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis.
 Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
 Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup
lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan
secara bebas.
Terhadap pasien yang mempunyai kesulitan dalam menahan informasi atau yang
kompetensinya hilang timbul (intermiten), harus diberikan semua bantuan yang dia
perlukan untuk mencapai pilihan/ keputusan yang terinformasi. Dokumentasikan
semua keputusan yang dia buat saat dia kompeten, termasuk diskusi yang terjadi.
Setelah beberapa waktu, saat dia kompeten lagi, diskusikan kembali keputusan
tersebut dengannya untuk memastikan bahwa keputusannya tersebut konsisten.

Keluarga terdekat atau pengampu umumnya dianggap dapat memberikan persetujuan


tindakan kedokteran bagi orang dewasa lain yang tidak kompeten. Yang dimaksud dengan
keluarga terdekat adalah suami atau isterinya, orangtua yang sah atau anaknya yang
kompeten, dan saudara kandungnya. Sedangkan hubungan kekeluargaan yang lain seperti
paman, bibi, kakek, mertua, ipar, menantu, keponakan dan lain-lain tidak dianggap sebagai
keluarga terdekat, meskipun mereka pada keadaan tertentu dapat diikutsertakan ke dalam
proses pemberian informasi dan pembuatan keputusan. Dalam hal terdapat
ketidaksepakatan di dalam keluarga, maka dianjurkan agar dokter mempersilahkan mereka
untuk bermufakat dan hanya menerima persetujuan atau penolakan yang sudah disepakati
bersama. Dokter tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan hubungan kekeluargaan
pembuat persetujuan dengan pasien, demikian pula penentuan mana yang lebih sah
mewakili pasien dalam hal terdapat lebih dari satu isteri atau anak. Dokter berhak
memperoleh pernyataan yang benar dari pasien atau keluarganya.

Pada pasien yang tidak mau menerima informasi perlu dimintakan siapa yang dia
tunjuk sebagai wakil dalam menerima informasi dan membuat keputusan apabila ia
menghendakinya demikian, misalnya wali atau keluarga terdekatnya. Demikian pula pada
pasien yang tidak mau menandatangani formulir persetujuan, padahal ia menghendaki
tindakan tersebut dilakukan.
Pada pasien yang tidak kompeten yang menghadapi keadaan gawat darurat medis,
sedangkan yang sah mewakilinya memberikan persetujuan tidak ditemukan, maka dokter
dapat melakukan tindakan kedokteran demi kepentingan terbaik pasien. Dalam hal
demikian, penjelasan dapat diberikan kemudian.
Anak-anak dianggap tak mampu memberikan keputusan karena sejumlah alasan,
seperti ketidakdewasaan mereka, kesulitan untuk memahami tindakan kedokteran, atau
dampak dari kondisi mereka. Pada umumnya, seseorang dengan tanggung jawab orang tua
(orang tua atau wali) atau pengadilan dapat memberikan keputusan bagi mereka. Jika
keputusan penting harus dibuat yang menyangkut tindakan kedokteran yang dapat
mempunyai akibat yang permanen, sedangkan terdapat dua orang dengan tanggung jawab
orang tua (misalnya ayah dan ibu), maka keduanya harus dimintai pendapatnya. Anak
harus selalu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, misalnya keputusan tentang
siapa yang akan tinggal bersamanya pada saat suatu tindakan kedokteran tertentu
dilaksanakan.
Proses dalam mendapatkan persetujuan dari orang tua pasien adalah sama seperti
ketika mereka memberikan keputusan untuk mereka sendiri, dengan kata lain, keputusan
harus diberikan secara bebas oleh orang yang kompeten yang telah diberikan informasi.
Kekuasaan untuk memberi persetujuan tersebut harus digunakan untuk kepentingan terbaik
bagi si anak. Demi kepentingan terbaik pasien anak, pengadilan dapat membatalkan
penolakan tindakan kedokteran oleh seseorang dalam tanggung jawab orang tua.
Orang yang dianggap memiliki tanggung jawab orangtua meliputi:
a. Orang tua si anak, yaitu apabila si anak lahir sebagai anak dari pasangan suami isteri
yang sah.
b. Ibu si anak, yaitu apabila si anak lahir dari pasangan yang tidak sah sehingga si anak
hanya memiliki hubungan perdata dengan si ibu.
c. Wali, orang tua angkat, atau Lembaga Pengasuh yang sah berdasarkan UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak.
d. Orang yang secara adat/budaya dianggap sebagai wali si anak, dalam hal tidak
terdapat yang memenuhi a, b dan c.

Dokter tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan hal-hal di atas, namun demikian
dalam keadaan ragu tentang posisi tanggung jawab orang tua seseorang terhadap anak,
maka dokter dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berwenang.
Pada pasien yang kehilangan kapasitasnya untuk memberikan persetujuan tindakan
kedokteran, terutama yang disebabkan oleh penyakit yang progresif, dokter sebaiknya
mencari kemungkinan adanya pernyataan dimuka atau pesan tentang perlakuan kedokteran
yang diinginkannya, yang dinyatakannya saat ia masih kompeten :
a. Pernyataan dimuka atau pesan tersebut dapat berupa serangkaian petunjuk tentang
tindakan kedokteran apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dilakukan
terhadap dirinya, atau berupa penunjukan seseorang lain untuk membuat keputusan.
b. Pernyataan dimuka atau pesan tersebut harus dibuat tertulis oleh pasiennya sendiri
atau dalam hal pasien tidak mampu melakukannya sendiri dapat ditulis oleh salah
satu keluarganya dan diperkuat dengan dua orang saksi.
Dokter atau sarana pelayanan kesehatan wajib melaksanakan petunjuk di dalam pernyataan
dimuka atau pesan tersebut sepanjang tidak melanggar hukum atau sepanjang tidak
terdapat bukti bahwa keinginan pasien tersebut telah berubah. Dalam terdapat keraguan
akan hal tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya yang senior
atau bahkan dapat meminta penetapan pengadilan.
Seberapa banyak informasi yang dibutuhkan pasien agar mereka mampu membuat
persetujuan yang sah?
Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan / atau
keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
Pasal 45 UU Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi yang selayaknya
diberikan kepada pasien, yaitu :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 / MENKES /
PER / III / 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran bahwa penjelasan tentang
tindakan kedokteran sekurang-kurangnya mencakup 5 (lima) hal di atas ditambah dengan
perkiraan pembiayaan.
Penjelasan tentang diagnosa dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hinggan saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terpeutik ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternative
tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat
ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)
Penjelasan tentang prognosis meliputi :
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam)
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

Menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran (KKI, 2006), penjelasan tindakan


kedokteran memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada pasien :
a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
c. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya,
termasuk pilihan untuk tidak diobati
d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan
nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan
dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa
terjadi dan yang serius
e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang
kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi
tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya
hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut
f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih
eksperimental
g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor
atau dinilai kembali
h. Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan
tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
i. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan, maka
sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan
dilakukan
j. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap
waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas
konsekuensi pembatalan tersebut.
k. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter lain
l. Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.

Cara dokter memberikan informasi kepada pasien sama pentingnya dengan informasi apa
yang akan dokter berikan kepada pasien. Pasien tidak dapat memberikan persetujuan yang
sah kecuali mereka telah diberitahu sebelumnya. Untuk membantu mereka membuat
keputusan anda diharapkan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:
a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka.
Sehingga menghadirkan seorang interpreter mungkin merupakan suatu sikap yang
penting, baik dia seorang profesional ataukah salah seorang anggota keluarga.
Ingat bahwa dibutuhkan persetujuan pasien terlebih dahulu dalam
mengikutsertakan interpreter bila hal yang akan didiskusikan merupakan hal yang
bersifat pribadi.
b. Dapat menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila
hal itu dapat membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Pastikan
bahwa alat bantu tersebut sudah berdasarkan informasi yang terakhir. Misalnya,
sebuah leaflet yang menjelaskan tentang prosedur yang umum. Leaflet tersebut
akan membuat jelas kepada pasien karena dapat ia bawa pulang dan digunakan
untuk berpikir lebih lanjut, tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak ada diskusi.
c. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau
teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder
d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress ) agar
diberikan dengan cara yang sensitif dan empati. Rujuk mereka untuk konseling
bila diperlukan
e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi,
misalnya perawat, baik untuk memberikan dukungan kepada pasien maupun
untuk turut membantu memberikan penjelasan
f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
g. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang
diberikan, dan kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi,
sebelum kemudian diminta membuat keputusan.

Lamanya pemberlakuan suatu persetujuan tindakan kedokteran, tidak ada satu


ketentuan pun yang mengatur tentang hal tersebut. Teori menyatakan bahwa suatu
persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien.
Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau
alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya
dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan
hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu
pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih
memiliki pertanyaan.
Persetujuan harus diberikan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari manapun,
termasuk dari staf medis, saudara, teman, polisi, petugas rumah tahanan / Lembaga
Pemasyarakatan, pemberi kerja, dan perusahaan asuransi. Bila persetujuan diberikan atas
dasar tekanan maka persetujuan tersebut tidak sah. Pasien yang berada dalam status
tahanan polisi, imigrasi, LP atau berada di bawah peraturan perundangundangan di bidang
kesehatan jiwa /mental dapat berada pada posisi yang rentan. Pada situasi demikian, dokter
harus memastikan bahwa mereka mengetahui bahwa mereka dapat menolak tindakan bila
mereka mau.

Bagaimana pasien menyampaikan persetujuan mereka kepada dokter?


Secara tradisional mereka dapat menyampaikannya melalui beberapa cara:
1. Persetujuan yang bersifat tersirat atau tidak dinyatakan (implied consent). Pasien
dapat saja melakukan gerakan tubuh yang menyatakan bahwa mereka
“mempersilahkan” dokter melaksanakan tindakan kedokteran yang dimaksud.
Misalnya adalah bila pasien menggulung lengan bajunya dan menyodorkan
lengannya pada saat dokter menanyakan mau atau tidaknya ia diukur tekanan
darahnya atau saat ia akan dilakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium.
2. Persetujuan yang dinyatakan (express consent). Pasien dapat memberikan
persetujuan dengan menyatakannya secara lisan (oral consent) ataupun tertulis
(written consent).
Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ayat (5) menyatakan
bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan. ”Umumnya disebutkan bahwa contoh tindakan
yang berrisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan bedah yang
secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh (lihat pengertian di depan).
Persetujuan tertulis juga dibutuhkan bila memang dibutuhkan bukti persetujuan.

Persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb:


 Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping
yang bermakna.
 Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi
 Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
 Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya


dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan
kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini
terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya
tetapi untuk meng-klarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah
mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua
kemungkinan efek sampingnya. Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana
pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan
kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter
meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut
dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini
rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh
pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.
Pada prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan
membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien
harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan
tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan
bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang
didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi
apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus
menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan
akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan.
Dokter dan dokter gigi dalam melakukan penelitian dengan menggunakan manusia
sebagai subjek harus memperoleh persetujuan dari mereka yang menjadi subjek dalam
penelitian tersebut karena prinsip dasar etika yang salah satunya adalah menghargai
otonomi atau hak seseorang mengharuskan adanya persetujuan suatu tindakan. Baik itu
tindakan medik, maupun tindakan yang hanya mencari data dengan suatu kuesioner, serta
tindakan penapisan (skrining) untuk memilih subjek yang akan digunakan dalam
penelitian.
Pastikan bahwa penelitian tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan terbaik pasien,
bahwa subyek penelitian tahu bahwa ia sedang mengikuti penelitian, dan keterlibatan
subyek penelitian adalah secara sukarela. Persetujuan harus diperoleh dengan suatu proses,
yaitu proses komunikasi antara peneliti dan calon subjek penelitian. Komunikasi dalam hal
ini adalah berupa pemberian informasi tentang segala sesuatu mengenai tindakan dan
berisi hal-hal yang sesuai dengan keperluan maupun penapisan yang akan dilakukan.
Sedang informasi yang diberikan, kecuali lisan sebaiknya juga tertulis agar bukti yang ada
dapat didokumentasikan.
f. Pelepasan Informasi Kepada Orang/Badan Yang Mendapat Kuasa
Adakalanya seorang pasien setelah menjalani perawatan di rumah sakit, informasi-
informasi pasien mengenai penyakit, hasil pemeriksaan, tindakan pengobatan dan
sebagainya harus disampaikan kepada pihak lain / ketiga, oleh karena itu rumah sakit
harus menerapkan kebijakan mengenai pelepasan / pembukaan informasi tersebut.
Pelepasan informasi medis adalah prosedur melepaskan, membeberkan atau
mengungkapkan data atau informasi medis pasien untuk kepentingan pasien dan
kepentingan lainnya yang tidak merugikan pasien yang telah diatur oleh Undang
Undang. Dalam Permenkes 269 / MENKES / PER / III / 2008 menyebutkan bahwa
ringkasan rekam medis dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang
diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk
itu. Dalam ketentuan ini dapat diartikan bahwa pelepasan informasi rekam medis pasien
kepada pihak ketiga diperbolehkan apabila pasien memberikan kuasa untuk melihat
rekam medisnya. Pemberian kuasa ini dibuktikan dengan adanya tanda tangan pasien /
keluarganya pada formulir Persetujuan Umum (General Consent).
Pihak ketiga yang dimaksud diantaranya adalah asuransi yang menanggung
biaya pengobatan pasien, perusahaan yang pegawainya mendapatkan perawatan di
rumah sakit, keluarga pasien, dokter dan staf medis, dokter dari rumah sakit lain yang
turut merawat pasien serta lembaga pemerintahan dan badan hukum lain. Meskipun
kerahasiaan menjadi faktor terpenting dalam pengelolaan rekam medis, akan tetapi
pelepasan informasi rekam medis pasien dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
Pelepasan informasi medis harus memenuhi kaidah :
1. Kaidah autonomy bahwa pasienlah yang memutuskan boleh atau tidaknya
akses terhadap informasi kesehatannya, bukan pasangannya ataupun pihak
ketiga .
2. Kaidah beneficence bahwa informasi hanya diungkapkan kepada individu
yang membutuhkannya dalam rangka melakukan perbuatan yang
menguntungkan atau untuk kepentingan pasien (misalnya kepada perusahaan
asuransi dalam rangka pembayaran klaim)
3. Kaidah non maleficence bahwa informasi tidak diberikan kepada pihak yang
tidak berwenang dan yang mungkin merugikan pasien (misalnya perusahaan
asuransi meminta informasi kesehatan untuk tujuan diskriminasi).
4. Kaidah justice bahwa informasi harus menerapkan ketentuan secara adil dan
konsisten untuk semua orang
5. Pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
c. permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang

Selain kaidah diatas juga terdapat kaidah umum terkait dengan pemberian informasi
rekam medis pasien yaitu :
1. Setiap informasi yang bersifat medis yang dimiliki oleh rumah sakit tidak boleh
disebarkan oleh pegawai rumah sakit itu, kecuali bila ada pimpinan rumah sakit
mengijinkan.
2. Rumah sakit tidak boleh dengan sekehendaknya menggunakan rekam medis
dengan cara yang dapat membahayakan kepentingan pasien, kecuali jika rumah
sakit itu sendiri yang akan menggunakan rekam medis tersebut bila perlu untuk
melindungi dirinya atau mewakilinya.
3. Para dokter yang bertanggung jawab boleh dengan bebas berkonsultasi dengan
Instalasi Rekam Medis dengan catatan yang ada hubungannya dengan
pekerjaannya. Andaikata ada keragu-raguan di pihak staf rekam medis, maka
persetujuan masuk ke tempat rekam medis itu boleh ditolak dan persoalannya
hendaknya diserahkan kepada keputusan Direktur Rumah Sakit. Bagaimanapun
salinan rekam medis tidak boleh dibuat tanpa persetujuan khusus dari Kepala
Instalasi Rekam Medis, yang akan bermusyawarah dengan pimpinan rumah sakit
jika ada keragu-raguan. Tidak seorangpun boleh memberikan informasi lisan atau
tertulis kepada seorang di luar organisasi rumah sakit tanpa persetujuan tertulis
dari Direktur Rumah Sakit (perkecualian : mengadakan diskusi mengenai
kemajuan dari pada kasus dengan keluarga atau wali pasien yang mempunyai
kepentingan yang sah).
4. Dokter tidak boleh memberikan persetujuan kepada perusahaan asuransi atau badan
lain untuk memperoleh rekam medis.
5. Badan-badan sosial boleh mengetahui isi data sosial dari rekam medis, apabila
mempunyai alasan-alasan yang sah untuk memperoleh informasi, namun untuk
data medisnya tetap diperlukan surat persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
6. Permohonan pasien untuk memperoleh informasi mengenai catatan dirinya
diserahkan kepada dokter yang bertugas merawatnya.
7. Permohonan secara lisan, permintaan informasi sebaiknya ditolak. Karena cara
permintaanya harus tertulis.
8. Informasi rekam medis hanya boleh dikeluarkan dengan surat kuasa yang ditanda
tangani dan diberi tanggal oleh pasien (walinya jika pasien tersebut secara mental
tidak kompeten atau pasien meninggal dunia ahli warisnya), atau keluarga terdekat
kecuali jika ada ketentuan lain dalam peraturan. Surat kuasa hendaklah juga ditanda
tangani dan diberi tanggal oleh orang yang mengeluarkan rekam medis dan
disimpan di dalam berkas rekam medis tersebut.
9. Informasi di dalam rekam medis boleh diperlihatkan kepada perwalian rumah sakit
yang sah untuk melindungi kepentingan rumah sakit dalam hal-hal yang
bersangkutan dengan pertanggung jawaban.
10. Informasi boleh diberikan kepada rumah sakit lain tanpa surat kuasa yang ditanda
tangani oleh pasien berdasarkan permintaan dari rumah sakit itu yang menerangkan
bahwa si pasien sekarang dalam perawatan mereka.
11. Dokter dari luar rumah sakit yang mencari keterangan mengenai pasien pada suatu
rumah sakit, harus memiliki surat kuasa dari pasien tersebut. Tidak boleh seorang
beranggapan bahwa karena pemohon seorang dokter maka seolah-olah lebih berhak
untuk memperoleh informasi dari pemohon yang bukan dokter. Rumah sakit dalam
hal ini akan berusaha memberikan segala pelayanan yang pantas kepada dokter
luar, tetapi selalu berusaha lebih memperhatikan kepentingan pasien dan rumah
sakit.
12. Ketentuan ini tidak saja berlaku bagi Instalasi Rekam Medis, tetapi juga berlaku
bagi semua orang yang menangani rekam medis di Unit Rawat Inap, Unit Gawat
Darurat dan lain-lain.
13. Rekam medis yang asli tidak boleh dibawa keluar rumah sakit, kecuali bila atas
permintaan pengadilan, dengan surat kuasa khusus tertulis dari pimpinan rumah
sakit.
14. Rekam medis tidak boleh diambil dari tempat penyimpanan untuk dibawa kebagian
lain dari rumah sakit, kecuali jika diperlukan untuk transaksi dalam kegiatan rumah
sakit itu. Apabila mungkin rekam medis ini hendaknya diperiksa di bagian setiap
waktu dapat dikeluarkan bagi mereka yang memerlukan.
15. Dengan persetujuan dari pimpinan rumah sakit, pemakaian rekam medis untuk
keperluan riset diperbolehkan. Mereka yang bukan dari staf medis rumah sakit,
apabila ingin melakukan riset harus memperoleh persetujuan tertulis dari pimpinan
rumah sakit.
16. Bila suatu rekam medis diminta untuk dibawa ke pengadilan segala ikhtiar
hendaklah dilakukan supaya pengadilan menerima salinan foto statik rekam medis
yang dimaksud. Apabila hakim minta yang asli, tanda terima harus diminta dan
disimpan di folder sampai rekam medis yang asli tersebut kembali.
17. Fakta bahwa seorang majikan telah membayar atau telah menyetujui untuk
membayar ongkos rumah sakit bagi seorang pegawainya, tidak dapat dijadikan
alasan bagi rumah sakit untuk memberikan informasi medis pegawai tersebut
kepadanya tanpa surat kuasa atau persetujuan tertulis dari pasien atau walinya yang
syah.
18. Pengesahan untuk memberikan informasi hendaklah berisi indikasi mengenai
periode-periode perawatan tertentu. Surat kuasa atau persetujuan itu hanya berlaku
untuk informasi medis termasuk dalam jangka waktu atau tanggal yang tertulis
didalamnya.
Di sisi lain, rumah sakit sebagai institusi tempat dilaksanakannya pelayanan medis,
memiliki Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi) yang diantaranya juga berkaitan dengan
rekam medis, yaitu :
1. Pasal 04 : Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip, baik medik
maupun nonmedik secara baik.
2. Pasal 09 : Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
3. Pasal 10 : Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan
tindakan apa yang hendak dilakukan
4. Pasal 11 : Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed consent)
sebelum melakukan tindakan medik

Menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran (KKI, 2006) pada umumnya


pembukaan informasi pasien kepada pihak lain memerlukan persetujuan pasien.
Persetujuan tersebut harus diperoleh dengan cara yang layak sebagaimana diuraikan di
atas, yaitu melalui pemberian informasi tentang baik-buruknya pemberian informasi
tersebut bagi kepentingan pasien. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
mengatur bahwa pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada keadaan
keadaan:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
misalnya dalam bentuk visum et repertum
c. atas permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina

Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi prinsip
“need to know”, yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga tersebut
hanya secukupnya yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta informasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rekam medis adalah segala bentuk kegiatan dari penerimaan pasien hingga pasien
kembali dari tempat pelayanan kesehatan baik dalam keadaan sehat maupun meninggal.
Yang termasuk kegiatan rekam medis adalah kegiatan pencatatan, pengelolaan
pengarsipan, dan pengelolaan data. Pengelolaan dan penyimpanan rekam medis didasarkan
pada sistem penamaan rekam medis, sistem penomoran rekam medis dan sistem
penyimpanan rekam medis.
Lokasi ruangan rekam medis harus dapat memberi pelayanan cepat kepada seluruh
pasien, mudah dijangkau dari segala penjuru, dan mudah menunjang pelayanan
administrasi serta dapat memberikan kenyamanan kepada petugas rekam medis yang
bertugas. Berkas rekam medis yang sudah tidak aktif lagi perlu disisihkan dan kemudian
dimusnahkan agar tersedia tempat untuk berkas rekam medis yang baru. Pemusnahan
berkas rekam medis harus sesuai Ketentuan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008.

B. Saran
 Sebuah instansi kesehatan harusnya memiliki petugas dan ruangan rekam medis
yang menunjang peningkatan pelayanan kesehatan.
 Segala bentuk kegiatan rekam medis harus dibuat menjadi suatu Prosedur Tetap
agar terjadi keseragaman langkah yang baik dan benar

Anda mungkin juga menyukai