BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Asma Bronkhial
1. Definisi Asma
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang
mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi
(peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma
sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua
penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi
menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas.
Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas
membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran
napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas
mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat.
Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih
buruk, ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang
sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
2. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut
banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a) Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi
penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap
orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap serangan
dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan
menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam
proses mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya
temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-jaringan
tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).
b) Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu
tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya
karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia
juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
(Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks,
sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang
diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada
pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat
menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor
kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang
harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan lingkaran
setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan
(pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.
Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga
hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh
menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan
bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
(Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal
(fungsi) paru masih baik.
2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai
mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan.
Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta
terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma
malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam,
2006):
1. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak, gangguan
tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus
Puncak Aspirasi) kurang dari 80%.
2. Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk
kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
3. Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputus-
putus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari
50%.
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma
(Hadibroto & Alam, 2006):
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus
sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan
yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). Selain itu polusi
udara dari luar dan dalam ruang serta asap rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga
memicu terjadinya serangan asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi
saluran pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma. Penderita
asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan emosi/stres dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Selain itu, jangan berolahraga secara berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu
dapat menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas.
Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price, 2007).
2. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan.
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana
alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan.
Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung
atau mulut. Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon,
tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak langsung
dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma
dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat asma atau alergi
lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota
keluarga ke anggota keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat
mempengaruhi perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang
berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang
orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau
infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan
(inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada terjadinya serangan asma (Ayres,
2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek
genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.
4. Patofisiologi
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan
asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan
masing-masing dari patofisiologinya.
a) Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme
terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen
yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan
sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh
lain ialah prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila
reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan
histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil
dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak
diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim
yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan
terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah
tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b) Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan
merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir
melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung
menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat
menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan
sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total,
sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian.
Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu
(common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara
oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok
juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
5. Sel Inflamasi
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel mast, limfosit,
dan eosinofil.
a) Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena ia dapat melepaskan
berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggung-
jawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi. Berbagai mediator tersebut antara lain adalah
histamine (yang disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepas secara cepat ketika sel
mast teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan leukotrien LTC4 (yang baru disintesis setelah ada
aktivasi), dan sitokin (yang disintesis dalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi
fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah
melekat pada reseptornya (Fcereceptor) di permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking
antara alergen dengan IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast
yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon
terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel mast pada cairan
bronkoalveolar pasien asma mengindasikan bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma.
Selain itu, pada pasien asma yang dijumpai penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan
bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat
telah dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran sel
mast pada reaksi alergi fase lambat masih belum diketahui secara pasti. Namun,sel mast juga
mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas.
b) Limfosit
Peran limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta, antara lain dengan
terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada biopsy bronchial pasien asma. Selain itu,
sel-sel limfosit juga dijumpai pada cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat.
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih terbagi
lagi menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin prainflamasi,
seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam
pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia bekerja
mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang nantinya akan menempel pada sel-sel
inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.
c) Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi terhadap patofisiologi
penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma
dengan keberadaan eosinofil di saluran nafas yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma
atau alergi sering disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein
granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil peroxidase(EPO), dan eosinophil
cationic probasic protein (ECP), yang dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas,
menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil, serta secara
langsung menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas (Bussed an Reed, 1993). Selain itu,
beberapa produk eosinofil seperti LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah
keparahn asma.
6. Manifestasi Klinis
a) Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan
tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai
berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda
peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan
dan tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi
penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam
pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk,
gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya
toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam
penggunaan Preak Flow Meter.
b) Gejala
(1) Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang
jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat
memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi
(wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat
mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang
hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan Preak Flow
Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50%
sampai 80% dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2) Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk
yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara dan
berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan
cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang
dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke
dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah
sekitar mulut (sianosis), serta angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah
berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).
7. Komplikasi Asma
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada terjadinya
komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa penyakit sebagai berikut
yaitu, terjadinya pneumotorak, pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilosis,
atelektasis, gagal napas, bronkitis, fraktur iga, dan bronkopulmonar alergik.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat adanya
bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik
(Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
(a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
(b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
(c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3 baik asma
intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3.
Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat (Muttaqin, 2008).
b) Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
(3) Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4) Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5) Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
(6) X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7) Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit.
Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
(8) Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi
jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
9. Web of Caution (WOC) secara Teorits
BAB III
KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. G
DENGAN DIAGNOSA ASMA BRONKHIAL
DI RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN AHMAD
A. Uraian Kasus
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan
semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil pengkajian klien
mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya
berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat
asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang
memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada
simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas
klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna putih kental.
Dari hasil observasi didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD =
130/70 mmHg, RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37o C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin,
Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax,
didapatkan hasil paru dalam batas normal.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas Klien
Nama : Nn. G
Umur : 23 tahun
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1) BP : 130/70 mmHg
(2) RR: 36 x/menit
(3) HR: 76 x/menit
(4) T : 37oC
c) Hasil pengkajian:
Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih kental.
Palpasi
Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.
Perkusi
Resonan dikedua lapang paru.
Auskultasi
Suara napas klien terdengar wheezing.
Pemeriksaan laboratorium
- Hb = 15,5 gr%
- Leukosit = 17.000/mm3
- Trombosit 260.000/mm3
- Ht = 47vol%.
C. Analisa Data
Masalah
No Data Etiologi
Keperawatan
1 DS: Pencetus serangan Tidak
1. Klien (alergen) efektifnya
mengatakan ↓ bersihan jalan
batuk berdahak Reaksi antigen & antibodi nafas
dengan dahak ↓
berwarna putih. Dikeluarkannya substansi
2. Klien merasa vasoaktif (histamin,
sesak. bradikinin, & anafilaksin)
↓
DO: ↑ permeabilitas kapiler
1. Tanda-tanda ↓
vital: Kontraksi otot polos
BP=130/70 Edema mukosa
mmHg Hipersekresi
RR=36 x/menit ↓
HR=76x/menit Obstruksi jalan nafas
T=37oC ↓
2. Klien tampak Tidak efektifnya bersihan
sesak nafas jalan nafas
disertai batuk
berdahak,
berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas
klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
3. Disfungsi
pernafasan
3. Catat adanya adalah variable
derajat yang tergantung
dispnea, pada tahap
ansietas, proses akut
distress yang
pernafasan, menimbulkan
penggunaan perawatan di
obat bantu. rumah sakit.
4. Peninggian
kepala tempat
tidur
4. Tempatkan memudahkan
posisi yang fungsi
nyaman pada pernafasan
pasien, dengan
contoh: menggunakan
meninggikan gravitasi.
kepala tempat
tidur, duduk
pada sandara
tempat tidur. 5. Pencetus tipe
alergi
5. Pertahankan pernafasan
polusi dapat mentriger
lingkungan episode akut.
minimum,
contoh: debu,
asap dll. 6. Hidrasi
membantu
6. Tingkatkan menurunkan
masukan kekentalan
cairan sampai sekret,
dengan 3000 penggunaan
ml/ hari sesuai cairan hangat
toleransi dapat
jantung menurunkan
memberikan kekentalan
air hangat. sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
spasme
bronkus.
Kolaborasi
7. Berikan obat7. Merelaksasikan
sesuai otot halus dan
indikasi menurunkan
bronkodilator. spasme jalan
nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
a) Memberi pengarahan kapan waktunya untuk mengubah, meningkatkan atau mengurangi, dan
menambah obat-obatan yang digunakan.
b) Memberitahukan apa yang harus dilakukan, juka kondisi sang pasien tidak membaik.
c) Memberikan kesempaatan bagi penderita asma untuk segera dan lebih awal memulai
penanganan, menghadapi gejala asma yang memburuk, untuk mencegah serangan yang lebih
gawat.
Memberi arahan akan kapan dan bagaimana usaha mengurangi penggunaan obat-obatan
hingga dosis seminimal mungkin, begitu asma sudah terkendali.
7. Pengisian Buku Harian asma.
Buku harian asma adalah sarana yang sangat penting untuk mencatat gejala-gejala asma,
obat-obatan yang digunakan, dan catatan prestasi Peak Flow Meter. Jika gejala-gejala semuanya
tercatat, sang pasien akan lebih sadar akan perubahan-perubahan yang mengindikasikan bahwa
asmanya mulai lepas kendali. Dengan demikian ia bisa menyesuaikan pengobatannya
berdasarkan Rencana Tindakan. Buku Harian asma digunakan bersama dengan Rencana
Tindakan, yang disiapkan di bawah pengawasan dan persetujuan dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal dan Pijat. Jakarta: Pustaka
Anggrek
Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mansjoer, Arif dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Widjadja, Rafelina. (2009). Penyakit Kronis: Tindakan, Pencegahan, & Pengobatan secara Medis
maupun Tradisional. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Wijayakusuma, Hembing. (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit. Jakarta: Pustaka Bunda.