Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012
0
A. Definisi Anestesi
B. Anestesi Lokal
1
Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang
disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu
dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari
itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa
nyeri.
Pemakaian anestesi lokal pada praktek kedokteran gigi merupakan suatu
hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Tuntutan mengerjakan suatu kasus tanpa
disertai rasa sakit sehingga memberikan kenyamanan baik untuk pasien dan
operator merupakan kebutuhan dasar saat melakukan pembedahan maupun
pencabutan gigi. Anestesi lokal yang digunakan dalam kedokteran gigi dianggap
sangat aman dan memiliki efek samping yang rendah terkait dengan
penggunaannya. Namun, masih terdapat reaksi tidak menguntungkan akibat
anestesi lokal berupa reaksi lokal maupun sistemik. Reaksi yang tidak
menguntungkan dan bahkan membahayakan inilah yang disebut sebagai
komplikasi.
Dokter gigi harus tetap mengingat bahwa dalam setiap suntikan anestesi
yang dilakukan, dapat menimbulkan komplikasi anestesi dan harus diambil
langkah-langkah tertentu untuk memastikan bahwa praktisi kedokeran gigi benar-
benar mengenali macam-macam, peyebab, dan penanganan komplikasi tersebut.
Kontraindikasi absolut :
1. Pasien menolak
2. Ada riwayat alergi terhadap obat anestesi lokal
3. Infeksi ditempat suntikan
4. Pasien dengan terapi antikoagulan
5. Pasien dengan gangguan perdarahan
2
6. Pemakaian adrenalin pada pembedahan daerah end organ ( jari, penis),
atau pasien dengan terapi MAO inhibitor
Kontraindikasi relatif :
3
jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis
yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di
bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha (Ellis &
Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita
suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang
kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea
lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”,
fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot
wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia
mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus
brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan
diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).
Tajamnya jarum merupakan faktor penting dan karena itulah, perlu
dipastikan bahwa dokter gigi hanya menggunakan jarum disposibel berkualitas
tinggi yang dipasarkan oleh industri farmasi yang sudah ternama. Bila jaringan
tegang dan ujung yang tajam dari jarum diinsersikan tegak lurus terhadap mukosa,
penetrasi dapat terjadi segera. Tindakan lain yang dapat memperkecil rasa tidak
enak yaitu menghangatkan larutan dan menyuntikannya perlahan-lahan.
Sakit dapat ditimbulkan dari penyuntikan larutan nonisotonik atau larutan
yang sudah terkontaminasi. Penggunaan catridge yang tepat akan dapat
menghilangkan kemungkinan ini. Pemberian suntikan blok gigi inferior kadang-
kadang menyebabkan pasien mengalami sakit neuralgia yang hebat pada jaringan
yang disuplai oleh saraf tersebut. Simtom ini merupakan indikator bahwa jarum
sudah menembus selubung saraf dan harus segera ditarik keluar. Bila dokter gigi
tetap bersikeras untuk mendepositkan larutan anestesi pada situasi seperti ini, akan
terjadi gangguan sensasi labial yang berlangsung cukup lama. Digunakannya
tekanan yang cukup besar untuk mendepositkan larutan pada jaringan resisten
juga akan menimbulkan rasa sakit, dan karena itu harus dihindari sebisa mungkin.
4
Sedangkan menurut jenisnya komplikasi anestesi dapat dibedakan menjadi
komplikasi lokal dan komplikasi sistemik,
1. Komplikasi Lokal
5
Pencegahan: gunakan anestetik lokal yang pH kira-kira 5, injeksi larutan
perlahan-lahan (1ml/menit), cartridge disimpan pada suhu kamar, lokal
anestetik tetap steril.
Penyebab: teknik injeksi salah, jarum tumpul, deposit larutan cepat, jarum
mengenai periosteum.
Pencegahan: penyuntikan yang benar, pakai jarum yang tajam, pakai
larutan anestesi yang steril, injeksikan jarum perlahan-lahan, hindari
penyuntikan yang berulang-ulang.
Penanganan: tidak perlu penangana khusus.
6
Penanganan: terapi panas (kompres daerah trismus 15-20 menit) setiap
jam. Analgetik obat relaksasi otot, fisioterapi (buka mulut 5- 10 menit tiap
3 jam), megunyah permen karet, bila ada infeksi beri antibiotik alat yang
digunakan untuk membuka mulut saat trismus.
g. Infeksi.
Penyebab: jarum dan daerah operasi tidak steril, infeksi mukosa masuk
kedalam jaringan, teknik pemakaian alat yang salah
Pencegahan: jarum steril, aseptik, hindari indikasi berulang-ulang.
Penanganan: terapi panas, analgesik, antibiotik.
i. Bibir Tergigit
7
Masalah: bengkak dan sakit.
Pencegahan: pilih anastetik durasi pendek, jangan makan/minum yang
panas, jangan mengigit bibir.
Peanganan: analgesik, antibiotik, kumur air hangat beri vaselin lipstik.
8
m. Syncope (fainting)
Sinkope atau kolaps merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari
penggunaan anestesi lokal di kedokteran gigi. Kolaps merupakan bentuk dari syok
neurogenik yang disebabkan oleh iskeminya jaringan serebral sehingga terjadi
vasodilatasi pembuluh darah perifer disertai penurunan tekanan darah.
2. Komplikasi Sistemik
Komplikasi sistemik biasanya terjadi akibat keteledoran saat menyuntikan
obat anestesi lokal sehingga masuk kedalam sirkulasi sistemik atau intratekhal
Secara garis besar hal ini dapat terjadi oleh karena 4 hal, yaitu,
a. Hipersensitif.
Dengan dosis yang masih jauh dari dosis maksimal sudah timbul tanda-
tanda komplikasi sistemik. Hal ini dapat dihindari dengan anamnesa yang teliti
serta tes sensitifivas.
b. Over dosis
Penyuntikan yang berulang tanpa memperhatikan volume dan konsentrasi
obat yang dipakai merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya over dosis.
Hal ini sering terjadi pada pasien yang menjalani operasi yang cukup luas dan
tidak kooperatif, dimana operator tanpa disadari sering menambah suntikan
anestesi lokal. Pada umumnya semakin potensialnya suatu anestetikum semakin
besar pula memberikan efek toksik. Dosis toksik bagi kebanyakan anestetikum
yang digunakan dalam bedah mulut yaitu berkisar 300-500mg
9
c. Intravasasi
Obat anestesi lokal dapat langsung masuk kedalam pembuluh darah
sehingga disamping tujuan anestesi tidak tercapai, juga dapat timbul penyulit
sistemik dengan segera. Hal ini dapat dicegah dengan cara melakukan aspirasi
sebelum kita memasukan obat.
d. Hiperabsorbsi
Absorbsi obat yang berlebihan dapat terjadi pada penyuntikan obat di
daerah wajah, leher, aksila dan inguinal serta daerah yang mengalami peradangan
yang merupakan daerah kaya pembuluh darah. Pencampuran epinefrin dapat
mengurangi bsorbsi obat anestesi lokal, disamping juga akan memperpanjang
aksinya.
e. Gejala komplikasi sistemik
Terutama melibatkan susunan saraf pusat dan system kardiovaskuler.
Secara umum SSP lebih rentan terhadap anestesi lokal dibandingkan dengan
sistema kardio-vaskuler, sehingga oleh karenanya dosis dan kadar plasma anestesi
lokal yang diperlukan untuk menimbulkan gejala toksisitas SSP lebih kecil
daripada yang diperlukan untuk membuat kolaps sirkulasi.
f. Susunan Saraf Pusat
Manifestasi sentral dari obat anestesi lokal dapat berbeda-beda tergantung
dari kadar obat dalam plasma, bila kadar obat dalam plasma hanya sedikit diatas
dosis toksis maka akan timbul gejala stimulasi, sedang bila jauh melampaui dosis
toksis akan terjadi depresi SSP.
Gejala awalnya berupa perasaan kepala terasa ringan, dizziness, kemudian
diikuti dengan gangguan visus dan pendengaran berupa penglihatan kabur dan
telinga berdenging atau tinistus.
Stimulasi SSP pada tingkat kortek serebri dapat berupa gelisah, agitasi
hingga kejang. Tindakan untuk mengatasi penyulit ini adalah dengan memberikan
obat anti konvulsi, misalnya diazepam 0,2 mg/kg.bb atau tiopental 2 mg/kg.bb,
secara intravena. Depresi pada tingkat ini bermanifestasi sebagai kantuk, lemah
hingga kesadaran menurun. Berikan Oksigen 100% dan segera pasang infus cairan
kritaloid dan tindakan lain yang perlu dilakukan.
10
Pada tingkat medula, stimulasi pusat kardiovaskuler bermanifestasi
sebagai hipertensi dan takikardi. Gejala ini dapat diatasi dengan pemberian
oksigen dan obat penghambat beta, seperti propanolol. Depresi pada tingkat ini
menimbulkan gejala hipotensi dan bradikardi. Untuk mengatasi hal ini segera
rubah posisi pasien jadi Trendelenburg, pasang infus cairan kristaloid, berikan
oksigen dan bila perlu obat vasopresor. Pada pusat respirasi, stimulasi dapat
menimbulkan takipnu yang dapat diatasi dengan pemberian opiat, seperti petidin
atau morpin. Depresi pada pusat ini dapat menimbulkan hipoventilasi yang harus
diatasi segera dengan nafas bantuan dan oksigen. Stimulasi pada pusat muntah
akan menimbulkan muntah yang potensial menyebabkan aspirasi paru.
g. Efek kardiovaskuler
Anestesi lokal dapat beraksi langsung pada serabut purkinye otot ventrikel
jantung sehingga dapat menimbulkan bradikardi, sedangkan aksi langsung pada
pembuluh darah akan menyebabkan vasodilatasi dan akhirnya hipotensi. Efek ini
dapat diatasi dengan pemberian sulfas atropin, pemberian infus cairan atau obat
vasopresor.
h. Reaksi alergi
Dapat hanya berupa kemerahan pada kulit, urtikaria hingga syok
anafilaktik yang fatal. Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tanda dan gejala
yang timbul, mulai dari pemberian obat anti histamin, kortikosteroid hingga terapi
definitif untuk syok anafilaktik.
i. Lain-lain
Komplikasi lain yang kadang dapat terjadi adalah menggigil yang harus
diatasi dengan selimut hangat, pemberian oksigen dan bila perlu dengan
pemberian klorpromazin 10-25 mg atau petidin 10 mg.
E. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian
penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak
diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat
terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi
11
merupakan sumber utama ketidak nyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap
penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:
1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”
Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting
kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi
selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian
dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi
telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan hidup
penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah.
2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti
jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan
oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang
disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat
terhentinya sirkulasi setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang
dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat yang
digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.
3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian
atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak.
Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan
oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru–paru,
pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan
oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan
anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi
kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen, demikian
juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti jantung).
12
1. Persiapkanlah alat dan obat seperti anestesi umum. Dengan demikian apabila
terjadi komplikasi, semua obat dan alat yang diperlukan untuk terapi dan
resusitasi sudah tersedia ditempat yang mudah dicapai.
2. Hindari over dosis. Dosis yang berlebihan dapat dihindari dengan cara,
a. Menggunakan anestetik lokal yang paling dikenal sifat
farmakologinya misalnya lidokain atau prokain saja.
b. Tidak melebihi dosis yang dianjurkan.
c. Menggunakan konsentrasi yang paling kecil yang masih efekt if
lidokain 1% atau prokain2%.
d. Memberikan suntikan dengan hati-hati selalu melakukan aspirasi setiap
memasukkan 2 ml bat anestesi akan mencegah kemungkinan masuknya
obat ke pembuluh darah.
3. Anamnesa yang baik untuk menentukan anestetik lokal yang dipilih.
4. M o n i t o r s e l a l u k e a d a a n p a s i e n . Bercakap-cakap denga penderita
selama operasi bermanfaat untuk mengetahui perubahan sensorium
secara dini.Seorang penderita yang mula-mula tidak kooperatif
kemudian mendadak tenang, dapat merupakan tanda awal dari
reaksi sistemik.
5. Pakai anestetik lokal yang t elah dicampur dengan adrenalin
1:200.000 apabila tidak adakontraindikasi. Selain dapat memperpanjang
durasi, dapat pula mengurangi perdarahan sertamemperlambat absorbs
obat.Segera hentikan suntikan bila dijumpai gejala reaksi yang paling ringan
sekalipun. Segeraminta bantuan bila reaksi berat.
G. Farmakologi
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam, yaitu golongan ester dan
golongan amide ( tabel 1 ). Perbedaan kimia dua golongan besar ini direfleksikan
dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama
dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan
amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan
dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan
dari p-amino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.
13
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi
dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain
yang memiliki potensi lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi
lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang.
Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat
dengan lama kerja panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula
kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki
mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan
prokain dan tetrakain bermula kerja lambat.
Amide-linked
Lidocaine 400 500 All
Prilocaine 500 600 Infil, block, epid
Mepivacaine 300 500 Infil, block, epid
Bupivacaine 175 250 Infil, block, epid
Ropivacaine 250 Block, epidural
Etidocaine 300 400 Infil, block, epid
14
Miscellaneous 50 Spinal
Dibucaine Infil, epidural
Articaine
Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester
adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.
Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut :
Tabel 2. Obat anestesi lokal golongan ester
15
(20kg; <1.5
cartridges)
Ubistesin Forte Articaine hydrochloride Dewasa 12.5 ml. Anak-
40 mg/ml + adrenaline anak 0.175 ml/kg
10 μg/ml
Citanest Dental Prilocaine hydrochloride Dewasa 10 ml (5.5
Oktapressin 30 mg/ml + felypressin cartridges).
0.54 μg/ml Anak-anak 6.0 mg/kg
(20 kg; 2 cartridges)
16
DAFTAR PUSTAKA
17