Anda di halaman 1dari 40

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anestesi dan Reanimasi


Berdasarkan analisis kata anestesi (an = tidak, aetesi = rasa) dan reanimasi
(re = kembali, animasi/animation = gerak = hidup) maka ilmu anestesi dan
reanimasi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana
untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak nyama yang lain
sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk
menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami
kematian akibat obat anestesi.
Ruang lingkup cabang ilmu anestesi dan reanimasi sendiri meliputi :
a. Usaha-usaha penanggulangan nyeri dan stress emosional agar pasien merasa
nyaman, baik pada keadaan nyeri akut maupun nyeri kronik
b. Usaha-usaha kedokteran gawat darurat yang meliputi bantuan resusitasi,
PPGD dan terapi intensif
c. Usaha-usaha kedokteran perioperative yang meliputi evaluasi persiapan
praoperatif, tindakan anestesi dan reanimasi intraoperative dan tindakan
anestesi dan reanimasi pasca operatif.1
2.2 Tindakan Anestesi Pada Operasi Kista Sinus Maxilaris Secara Umum
a. Pembedahan Radikal
Yaitu dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari
sinus yang terkena. Operasi pada sinus maksila adalah operasi Caldwell-Luc.
8,9

b. Pembedahan Non Radikal


Yaitu metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskopi yang
disebut “bedah sinus endoskopik fungsional” (BSEF). Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi
sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat
lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan
kembali normal.8,9
4

Masalah anestesi dan reanimasi:


1. Ancaman sumbatan jalan nafas
2. Perdarahan
3. Ancaman refleks vagal
4. Waspadai penyulit intubasi
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi
1. Evaluasi
a. Penilaian status presen
b. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lain sesuai dengan indikasi.
c. Evaluasi khusus terhadap penyulit intubasi trakeal
2. Persiapan praoperatif : persiapan rutin
3. Premedikasi, diberikan secara intramuscular 30-45 menit pra induksi dengan
obat-obat sebagai berikut:
Petidin: 0,5-1,0 mg/kgBB atau fentanyl 1-2 µg/kgBB (IV)
Midazolam: 0,04-0,10 mg/kgBB
Atropin: 0,01-0,02 mg/kgBB
4. Induksi
a. Pada kasus normal (tanpa kesulitan intubasi), induksi dan intubasi
dilakukan secara konvensional yaitu:
1. Induksi dengan pentothal (dosis 3-5 mg/kgBB) atau propofol (dosis 2-
3 mg/kgBB IV)
2. Berikan suksinil kholin (dosis 1-2 mg/ kgBB IV) untuk fasilitas intubasi
3. Laringoskopi dan intubasi trakea melalui nasal kecuali pada operasi
celah bibir
b. Pada kasus yang diduga akan mengalami kesulitan intubasi trakea
dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Induksi dilakukan dengan obat-obat neroleptik, yaitu
dehidrobenzperidol dan petidin atau fentanil sesuai dosis diberikan
secara IV
2. Lakukan analgesia topikal dengan lidokain semprot pada rongga hidung
5

atau mulut sampai trakea


3. Tunggu sampai efek analgesia optimal, selanjutnya lakukan
larigoskopi, pasang PET nasal.
5. Pemeliharaan anestesi
a. Buat ekstensi kepala leher untuk memudahkan manipulasi operator
b. Pemeliharaan dengan N2O : O2 60% : 40% dan halotan atau isofluran atau
enfluran dengan dosis antara 1-2 vol %, selanjutnya disesuaikan. Hindari
pemakaian halotan apabila operator memberikan infiltrasi lokal adrenalin
untuk mengurangi perdarahan
c. Pola nafas kendali dengan fasilitas obat pelumpuh otot non depolarisasi
d. Pada beberapa kasus, dapat diberikan analgesia lokal infiltrasi, untuk
mencegah gangguan irama jantung.
6. Pemantauan selama anestesia, sesuai dengan standar pemantauan dasar
intraoperatif
7. Terapi cairan transfusi darah
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang terjadi
<20% dari perkiraan volume darah pasien dan apabila >20%, diberikan
transfusi darah
8. Pemulihan anestesinya, sesuai dengan tatalaksana anestesi yang dipilih
9. Pasca bedah
a. Pasien dirawat diruang pulih sesuai dengan tatalaksana pasca anestesi
b. Perhatian khusus ditujukan pada perdarahan luka operasi yang dapat
menimbulkan sumbatan jalan nafas
c. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan.1
2.3 Anestesi
Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Pada
prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan
mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri
6

dari premedikasi, induksi dan pemeliharaan. Dengan anestesi akan diperoleh


trias anestesia, yaitu:5,6
a. Hipnotik (tidur)
b. Analgesia (bebas dari nyeri)
c. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
2.3.1 Pembagian Anestesi
1. Anestesia Umum : suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang
diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat
anestesia. Teknik anestesia umum terdiri dari:
a. Anestesia umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesia
umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia
parenteral langsung dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesia umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesia umum
yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesia
inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui
alat atau mesin anestesia langsung ke udara inspirasi. Berbagai teknik
anestesia umum inhalasi, yaitu:
 Inhalasi sungkup muka
 Inhalasi sungkup laring (LMA)
 Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan
 Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali
c. Anestesia imbang : merupakan teknik anestesia dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena
maupun obat anestesia inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum
dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara
optimal dan berimbang.
2. Anestesia Lokal : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesia lokal pada daerah atau disekitar lokasi pembedahan yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
3. Anestesia Regional : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesia lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio
7

tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang


bersifat temporer.
2.3.2 Penilaian dan Persiapan Pra Anastesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Penilaian pra bedah
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

c. Pemeriksaan laboratorium
8

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan


dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
- ASA I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit
sistemik.
- ASA II : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan atau sedang. Gangguan sistemik ringan tanpa batasan
aktivitas fungsional. Contohnya termasuk (namun tidak terbatas pada):
perokok saat ini, peminum alkohol, wanita hamil aterm, obesitas
(30<BMI<40), diabetes mellitus (DM) atau hipertensi terkontrol.
- ASA III : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik sedang atau berat, dengan keterbatasan fungsional. Satu atau
lebih penyakit moderat/sedang hingga penyakit berat. Contohnya
termasuk (namun tidak terbatas pada): DM atau hipertensi tidak
terkontrol, PPOK, obesitas (BMI≥40), hepatitis aktif. Ketergantungan
alkohol, implan alat pacu jantung, End Stage Renal Disease (ESRD)
yang menjalani hemodialisa secara teratur, bayi prematur PCA <60
minggu, sejarah (>3 bulan) dari MI, CVA, TIA, CAD
- ASA IV : Pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik
sedang atau berat yang secara langsusng mengancam jiwa. Contohnya
termasuk (namun tidak terbatas pada): (<3 bulan) MI, iskemia jantung
yang sedang berlangsung atau disfungsi katup yang berat, sepsis, DIC,
ESRD yang tidak menjalani hemodialisa secara teratur.
9

- ASA V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit


sisetmik berat yang kemungkinan tidak selamat tanpa operasi.
Kemungkinan tidak bertahan hidup >24 jam tanpa tindakan operasi,
kemungkinan meninggal dalam waktu dekat (kegagalan multi organ,
sepsis dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil, hipotermi,
koagulopati tidak terkontro).
- ASA VI : Pasien dengan brain dead yang organnya akan
diambil untuk didonorkan.
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
2.3.3 Obat-Obat Anestesi
1. Obat Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan
obat obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obatan golongan
antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Dengan tujuan sebagai berikut :
 Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien.
 Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
 Memperlancar induksi
 Mengurangi dosis obat anestesia
 Mengurangi rasa sakit dan gelisah
 Menimbulkan amnesia retrograde
10

 Obat Antikholinergik
1. Sulfas Atropin
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang
berkhasiat menekan aktivitas kholinergik atau parasimpatis.
Mekanisme kerja:
Menghambat mekanisme kerja asetil kolin pada organ yang
diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf
yang mempunyai neurotransmitter asetil kholin.
Obat ini juga menghambat muskarinik secara kompetitif yang
ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada
kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Cara pemberian dan dosis
 Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.
 Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15 menit
sebelum induksi.
 Obat Sedatif
1. Midazolam
Mekanisme kerja:
Sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan spesifitas
yang tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga mempertinggi
daya hambat neurotransmiter susunan saraf pusat diresptor GABA
sentral. Mempunyai efek sedasi dan anti cemas yang bekerja pada
sistem limbik dan pada ARAS serta bisa menimbulkan amnesia
anterograd.
Cara pemberian dan dosis :
Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2
mg/kgBB. Pada dosis intravena diberikan 2 mg disusul setelah 2
menit meningkatkan 0,5-1 mg bila sedasi tidak memadai.
 Obat antiemetik
1. Ondancentron
11

Mekanisme Kerja :
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-
HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin
dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan menyebabkan
pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa enterochromafin dan dengan
melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat merangsang area
postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat
reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan
refleks muntah. Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi
pembedahan atau iritasi usus yang merangsang distensi
gastrointestinal.
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3
mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang
tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein
70-76%, metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal dan waktu
paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30 menit, lama aksi 6-12
jam.
Cara pemberian dan dosis :
Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan
melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan
operasi.
Dosis premedikasi : 4-8 mg IV
 Obat Analgetik
1. Ketorolak
Mekanisme Kerja
Ketorolak menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya
menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase).
Selain menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat
tromboksan A2. ketorolak tromethamine memberikan efek anti
inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh
12

darah yang rusak, menstabilkan membran lisosom dan menghambat


migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat
peradangan.

Gambar 2.1 Mekanisme Kerja NSAID


Cara pemberian dan dosis :
Untuk injeksi intravena :
 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg Ketorolak
/dosis.
 Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal
ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15
mg/dosis.
Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun oral
maksimal:
 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari.
Bila diberikan dengan injeksi intravena, maka diberikan setiap
6 jam sekali.
 Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari.
2. Obat Anestesi Intravena
13

1. Opioid (Fentanyl injeksi 100 mcg IV)


Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 100-300 kali efek morfin, dan mempunyai potensi
1000 kali lebih kuat dari petidin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan
masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Sistem transdermal
menghantarkan fentanyl, dari reservoir dengan jumlah yang hampir
konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang timbul antara
larutan jenuh obat di dalam reservoir dan konsentrasi yang rendah di
dalam kulit mendorong pelepasan obat fentanyl bergerak ke arah
konsentrasi yang lebih rendah dengan kecepatan yang ditentukan oleh
membran pelepas kopolimer dan difusi fentanyl melalui lapisan kulit.
Meskipun kecepatan aktual penghantaran fentanyl ke kulit berbeda
selama periode pemakaian 72 jam, tiap sistem dilabel dengan fluks
nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke
sirkulasi sistemik melalui kulit. Metabolit utama dari fentanyl adalah
norfentanyl, sedangkan metabolit minornya adalah hidroksipropionil-
fentanyl dan hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai
aktivitas farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang tergabung dalam
sistem peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer
yang membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit
terhadap fentanyl
Farmakodinamik
Sebagai dosis tunggal, fentanyl memiliki onset kerja yang cepat
dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin. Disamping itu juga
terdapat jeda waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanyl
plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu ini
memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama 6,4
menit.
14

Semakin tinggi potensi dan onset yang lebih cepat mengakibatkan


Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang
memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah otak. Dikarenakan
durasi dan kerja dosis tunggal fentanyl yang cepat, mengakibatkan
distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti
jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan
konsentrasi obat dalam plasma.
Metabolisme
Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi
Norfentanyl yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi
fentanyl pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah
dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang
lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya
10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.
Farmakokinetik
Fentanyl adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan
anastetik. Fentanyl memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang
lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mcg. Fentanyl bergantung
dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot,
euforia, miosis dan bradikardi.
Eliminasi dan paruh waktu
Walaupun fentanyl memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi
dari paruh waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanyl
mempunyai Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan
perjalanan cepat menuju jaringan. Konsentrasi plasma fentanyl
dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang memberikan
hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel dengan eliminasi
paruh waktunya.
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang, dikarenakan
klirens opioid berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik,
15

aktifitas enzym microsome atau produksi albumin (fentanyl 79 % - 87%


terikat kepada protein).
Cara pemberian dan dosis :
Untuk suplemen analgesia ,1-2 mcg/kgBB. Intravena
Untuk induksi anestesia, 100-200 mcg/kgBB intravena
2. GABA (Propofol injeksi 200 mg IV)
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profenol yang
banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Obat ini relatif baru
dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan, dikemas dalam bentuk
ampul, berisi 20ml/ampul, yang mengandung 10mg/ml. penurunan
kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena.
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate
ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik
melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu
neurotransmitter penghambat di SSP.
Ketika reseptor GABA diaktifasi, penghantar klorida
transmembaran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di
membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps.
Interaksi propofol dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA
menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA
meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui
chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.
Propofol dengan cepat diabsorbsi tubuh dan didistribusikan dari
darah ke jaringan. Distribusi propofol melalui 2 fase. Dengan fase
kedua merupakan fase yang lebih lambat karena terjadi metabolisme di
hati yang signifikan (konjugasi) sebelum diekskresi lewat urin. Lebih
kurang 2% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui feses. Propofol
dapat menembus plasenta dan diekskresi melalui susu. Setelah dosis
bolus diberikan, terjadi keseimbangan dengan cepat antara plasma dan
otak yang menggambarkan kecepatan onset anestesi.
16

Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif
hepatik oleh cytochrome P-450. Namun metabolisme tidak hanya
dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik
lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui
ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450.
Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi
tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek
hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin.
Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting
sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8
jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah
pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang
cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat
simpanan jaringan ke sirkulasi.
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.
Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum
alkohol dan yang tidak. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi
metabolisme bersihan propofol dan selama pengamatan lebih dari 34
tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam
pertama.
Farmakodinamik
Efek pada Susunan Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap
oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intrakranial (TIK). Pada
pasien dengan TIK normal terjadi penurunan TIK (30%) yang
berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10 %).
Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis
suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal.
17

Efek pada Sistem Respiratorik


Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik. Terdapat risiko apnea sebesar 25%-
35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid
sebagai premedikasi meningkatkan resiko apnea. Infus propofol
menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon
pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon dioksida
dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan
menurunkan resiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsentrasi
sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnea akibat
efek terhadap kemoreseptor sentral.
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik dari pada
thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan
volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos
pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi.
Efek pada fungsi hepar dan ginjal
Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai
dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol
yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat. Infus
propofol yang lama menyebabkan urin berwarna kehijauan akibat
adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak
mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada
pasien yang mendapatkan propofol yang ditandai dengan urin yang
keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek
ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.
Cara pemberian dan dosis :
Induksi anestesia, dosisnya 2-2,5 mg/kgBB.
3. Barbiturat (Pentotal)
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih
dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium
18

atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short


acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset
yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah
mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5-10 menit konsentrasi mulai
menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis yang
banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi
dan hilangnya kesadaran.
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana
barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada
sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu
jaringan poli sinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa
terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital
termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus
lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.
Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan
secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan
anak-anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau
metoheksital untuk induksi pada anak-anak. Sedangkan phenobarbital
atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua
kelompok umur.
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan
lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami
difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
19

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi


terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak-anak terjadi 6 ml/kg/menit.
Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan
hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan
metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi
akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.
Mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi
thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan suksinil kholin setelah
pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke
nilai sebelum induksi.
Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output, dan dapat
meningkatkan frekuensi jantung, penurunan tekanan darah sangat
tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun,
dan dilatasi pembuluh darah.
Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap
CO2 menurun terjadi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal
bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.

Dosis dan cara pemakaian :


Untuk induksi, dibuat larutan dalam akuades atau NACL 0,9 %
dengan kosentrasi 2,5% atau 5,0%. Dosis untuk induksi adalah 4-
5ml/kgBB, diberikan IV pelan. Pada anak, orang tua dan pasien
malnutrisi, dilakukan modifikasi dosis.
3. Obat Anestesia Umum Inhalasi
20

1. Isofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya relatif cepat
dari semua obat-obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini tapi
masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.
Sama seperti halotan, isofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping
efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot
ringan.
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat
mirip dengan metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan
isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran.
Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi
menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan
meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga
menjadi pilihan pada pembedahan otak.
Isofluran yang terhirup dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
melalui paru-paru. Sedikit hasil penguraian isofluran yang dihasilkan
tidak cukup untuk menimbulkan toksisitas pada ginjal, hati atau organ
lain. Isofluran tidak menunjukkan sifat mutagen, teratogen atau
karsinogen.
Isofluran memiliki Minimal Alveolar Concentration (MAC)
dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70% oksida nitrosa
sebesar 0,5%. MAC adalah konsentrasi agen inhalasi minimal yang
dapat mencegah gerakan pada 50% pasien terhadap respon stimulus
standar (irisan operasi pertama).
Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran dapat
mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi dengan
masker pada konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan
21

untuk mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk menghindari


tahan nafas dan batuk.
Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output)
sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan
jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena
mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan.
Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan
konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen.
Koefisien partisi darah atau gas adalah 1,4. Kelarutan yang
menengah dalam darah ini dikombinasikan dengan potensi yang tinggi
berarti suatu induksi anestesia yang cepat. Setelah pemberian 30 menit,
rasio konsentrasi alveolar terhadap konsentrasi yang diinspirasi adalah
0,73.

Gambar 2.2 MAC


Isofluran menyebabkan peningkatan sedang dalam PaCO2
(sekitar 20%) mencerminkan peningkatan dalam kecepatan pernapasan
yang tidak cukup untuk mengimbangi penurunan dalam volume tidal.
Tidak seperti anestetik inhalasi lainnya, di atas konsentrasi 1 MAC
isofluran tidak menghasilkan peningkatan lebih lanjut dari kecepatan
pernapasan. Isofluran menimbulkan penurunan tekanan darah arteri
22

terkait dosis terutama melalui vasodilatasi perifer. Isofluran juga


meningkatkan nadi 20% di atas kadar terjagan di atas MAC tidak
tergantung dosis.
Dosis
 Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
2.0-3.0% bersama-sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya
berkisar antara 1.0-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar
antara 0,5-1,0%.
2. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cept
dari semua obat-obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini.
Farmakokinetik
Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi
dengan fluorine. Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi
daripada desflurane (0.65 vs 0.42). Sevoflurane merupakan agen
inhalasi yang wangi dengan peningkatan konsentrasi di alveolar yang
cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai obat induksi
pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-
8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside
dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit.
Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang
mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah
dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan
dengan isoflurane. Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah
dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan
yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB. MAC Sevoflurane
terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane untuk pasien yang
23

berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%. Sedangkan untuk pasien


yang berumur dibawah 6 bulan MAC sevoflurane adalah 3,2-3,3%.

Gambar 2.3. MAC


Farmakodinamik
Kardiovaskuler dan Sistem Pernapasan
Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard yang
ringan. Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial lebih
sedikit menurun jika dibandingkan dengan isoflurane atau desflurane.
Karena sevoflurane memiliki efek yang minimal pada nadi, maka jika
terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat terjaga dengan
sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane. Sevoflurane
mungkin dapat memperpanjang interval QT. Pada sistem pernafasan
evoflurane mendepresi pernafasan dan mengakibatkan bronkodilatasi
hampir sama halnya seperti isoflurane.

Otak dan Neuromuskular


Pada penelitian secara klinis, perubahan-perubahan pada
neurohemodinamik (CBF, CMRO2 dan CPP) sebanding antara
sevoflurane dan isoflurane. Sevoflurane mempunyai efek minimal pada
ICP dan reaksi terhadap CO2 tetap dipertahankan.
Ginjal dan Hepatik
24

Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal. Pada


hepatik Sevoflurane menurunkan aliran darah vena porta, namun,
meningkatkan aliran darah arteri hepatik sehingga tetap menjaga aliran
darah ke hati dan suplai oksigen.
Metabolisme
Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL
sebanyak 2-5% dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan
hexafluoroisopropanolol (HFIP). HFIP tidak diikat oleh protein hepar
dan tidak menunjukkan bukti adanya toksisitas pada hati. HFIP dengan
cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan kemudian diekskresi.
Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP tidak dapat
diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi HFIP
dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam.
Metabolit sevoflurane yang paling penting adalah fluorida inorganik.
Dosis
 Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
3.0-5.0% bersama-sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya
berkisar antara 2.0-3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar
antara 0,5-1,0%.
3. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot.
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
25

mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat


dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit
sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan
atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ;
70% : 30% atau 50% : 50%.
Walaupun N2O dikatakan sebagai obat anestetik non toksikan
mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada system organ seperti
tersebut diatas, kadang-kadang terjadi juga efek samping seperti berikut
:
1. N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton
terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesi, hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi
perubahan tekanan pada rongga telinga tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesi akibat difusinya ketubuh
seperti misalnya pneumothoraks.
4. Pemakain jangka panjang menimbulkan depresi sum-sum tulang
sehingga bias menyebabkan anemia aplastik.
4. Obat-obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,
takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai
asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan
membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak
menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di
motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan relaksasi
otot karena pembukaan kanal natrium bawah tergantung waktu, Setelah
eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup
dan tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end plate. Motor end-
26

plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot depolarisasi


berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I
block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang akan
menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin
yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal
ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, maka
potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot
depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan
berdifusi menjauh dari neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma
dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun
pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya, metabolisme, ekskresi
oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya (kolinesterase
inhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini
adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena,
suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat
kerja pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang
bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan
27

duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika


suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme
oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini
sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of
action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme
abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa
terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang.
1) Interaksi obat
a. Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block
pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan
menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan
semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan
depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
b. Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot
nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I bock
pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor
asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian
dicegah.8,9
Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang
pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih
merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis
yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
28

Efek samping dan pertimbangan klinis


Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest
pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih
dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek
samping dari suksinilkolin adalah :
 Nyeri otot pasca pemberian
 Peningkatan tekanan intraokular
 Peningkatan tekakana intrakranial
 Peningkatan tekakanan intragastrik
 Peningkatan kadar kalium plasma
 Aritmia jantung
 Salivasi
 Alergi dan anafilaksis
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan.
Mulai kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit.
Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis
rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal
untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis
rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB
intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang
berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya
adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada
fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang.
Dosis
29

0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi


intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit.
Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus. Lebih cepat
durasinya pada anak dibandingkan dewasa. Tersedia dengan sediaan
cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-
10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam
14 hari bila terpapar suhu ruangan.
Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini
tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka
panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena
akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi
polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang
lama dan sepsis. Efeks pelemas otot memanjang pada pasien AIDS.
Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti
0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi
pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d. Rekuronium
Struktur Fisik
30

Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih


cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek
kerja yang lebih lama.
Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi
tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh
kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka
panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya.
0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk
rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi.
Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita
suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 –
6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12
mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya
mahal. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk
prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

2.4 General Anestesia OTT


Intubasi orotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari
portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu
memberikan anestesi secara inhalasi.1,3
OTT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke
trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan OTT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
31

tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung
dan kurvatura.3,4

Gambar 2.1. Pipa Orotrakea


2.4.1 Pipa Orotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang
pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan
dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah
usia 5 tahun hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi
dan anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan
cuff supaya tidak bocor. 4,5

Gambar 2.2. Berbagai Jenis Pipa OTT


Ukuran pipa trakea dapat dihitung menggunakan rumus 4+ N (usia) : 4.
Sering ukuran pipa trakea yang digunakan pada wanita dewasa diameter
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal
7.5-9 mm dengan panjang 24cm.2,4
32

Gambar 2.3. Tabel Ukuran Pipa OTT


2.4.2 Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar
dikenal dua macam laringoskop:2,4
1. Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
2. Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.4. Laringoskop


2.4.3 Indikasi Pemasangan OTT
Pemilihan pemasangan OTT dalam bidang anestesi berdasarkan
indikasi berikut, antara lain:4
33

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang
dan tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord.4
2.4.4 Kontraindikasi Pemasangan OTT
Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan
napas bagian atas yang buruk atau fraktur dari wajah dan leher dapat
memungkinkan dilakukannya intubasi.4
2.4.5 Prosedur pemasangan OTT
Sebelum memulai induksi anestesia, selayaknya disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi
anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:4,6
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
34

I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : SuctionPenyedot lendir, ludah danlain-lainnya.
Pemasangan pipa trakea dalam anestesia inhalasi dengan menggunakan
obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya dilakukan nafas kendali.
Adapun prosedur dalam tatalaksana tindakan sebagai berikut:6
1. Pasien telah dipersiapkan sesuai pedoman dan pemberian premedikasi
(Midazolam 0.01-0.1 mg/KgBB, Ketorolac 0.5 mg/KgBB, Sulfas Atropin
0.005 mg/KgBB, Ondancentron 4 mg dan Ranitidine 25 mg)
2. Posisikan pasien dalam posisi intubasi yaitu sniffing position
3. Pasang alat pantau yang diperlukan
4. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi
5. Siapkan mesin anestesia dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesia yang
dipergunakan
6. Induksi pasien dengan menggunakan fentanyl 1-2 mcg/KgBB dan
propofol 2-2.5 mg/KgBB atau hipnotik jenis lain
7. Berikan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti atracurium 0.5-0.5
mg/KgBB lalu tunggu 3 menit
8. Berikan napas bantuan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
menggunakan fasilitas mesin anestesia sampai fasikulasi hilang dan otot
rahang relaksasi
9. Lalu pasang laringoskop sesuai ukuran dan pasang OTT sesuai ukuran
yang dibutuhkan
10. Fiksasi OTT dan hubungkan dengan sirkuit mesin anestesia
11. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi N2O : O2 : Sevofluran = 2L :
2L + 2%
12. Kendalikan napas pasien secara manual atau mekanik dengan volume dan
frekuensi napas disesuaikan dengan kebutuhan pasien
13. Pantau tanda vital secara kontinyu dan ketat
35

14. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas atau obat anestesia
inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit
15. Berikan neostigmin dan atropin (jika diperlukan)
16. Ekstubasi pipa trakea dilakukan apabila pasien sudah bernapas spontan
dan adekuat serta jalan napas (mulut, hidung, dan pipa endotrakea) sudah
bersih, jika belum bersih lakukan suction.

Gambar 2.5. Teknik Pemasangan Laringoskop

Gambar 2.6. Teknik Pemasangan OTT


2.4.6 Ekstubasi
Mengeluarkan pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,
hipoksia sianosis.4,7
Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakeal. Ekstubasi
dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya
reintubasi dan komplikasi lain. Tindakan ekstubasi harus dikerjakan ketika
36

pasien belum sadar atau setelah pasien sadar. Tidak boleh dilakukan dalam
keadaan setengah sadar karena bisa menyakiti pasien. Adapun kriteria
dilakukan ekstubasi yaitu: 7
1. Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan reflex protektif jalan
napas dan reflex batuk untuk mempertahankan jalan napas.
2. Cadangan paru yang adekuat seperti: laju paru <30 kali/menit, FVC >15
ml/ka, PaO2/FiO2 >200.
3. Pada pasien pasca pembedahan jalan nafas atas atau edema jalan nafas
atas. Edema jalan nafas telah minimal atau ditandai dengan adanya
kebocoran udara yang adekuat setelah cuff pipa endotrakeal dikosongkan.
4. Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan dibicarakan terlebih
dahulu dengan dokter bedah plastik atau THT sebelum ekstubasi.
5. Pasien-pasien khusus seperti pasien PPOK, pasien dengan kesadaran yang
tidak baik membutuhkan diskusi dengan konsultan yang bertugas untuk
melakukan ekstubasi.7
2.4.7 Kesulitan tindakan pemasangan OTT
Dalam tindakan pemasangan OTT, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi keberhasilan tindakan, yaitu:1,3
1. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
2. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
3. Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
4. Kesulitan membuka mulut
5. Uvula tidak terlihat (malapati 3 dan 4)
6. Abnormalitas pada daerah servikal
7. Kontraktur jaringan leher
2.4.8 Komplikasi Pemasangan OTT
Adapun komplikasi dari tindakan pemasangan OTT yang tidak
diinginkan seperti:4
1. Memar & oedem laring
2. Strech injury
3. Non specific granuloma larynx
37

4. Stenosis trakea
5. Trauma gigi geligi
6. Laserasi bibir, gusi dan laring
7. Aspirasi
8. Spasme bronkus
2.5 Prosedur Operasi Kista Sinus Maksilaris dengan Teknik Lcw (Luc
Caldwell)
Bedah Caldwell-Luc. Caldwell-Luc adalah fenestration dari dinding
anterior dari sinus maksilaris dan drainase bedah sinus ini ke dalam hidung
melalui sebuah antrostomy. Prosedur ini dilakukan di bawah anestesi umum.
Potong kecil dibuat antara bibir atas dan gusi untuk memberikan akses ke rahang
atas sinus, di dinding anterior dari sinus maksilaris. Pembukaan alami dari sinus
ke rongga hidung sering diperbesar pada saat yang sama untuk memperbaiki
drainase sekresi normal dan mengurangi kemungkinan berulang penyakit.
Komplikasi umum yang biasa terjadi pasca bedah caldwell-luck: Wajah
bengkak, nyeri/mati rasa pada wajah (neurapraxia infra-orbital), terjadi
sementarajarang menetap dan Sakit (sementara / permanen) dari gigi dan gusi
atas. 8,9

Gambar 2.7. Bedah Caldwell-Luc


2.6 Anatomi Saluran Pernapasan Atas
38

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita


harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi
itu dipasang.5

Gambar 2.8 Anatomi Saluran Pernapasan Atas


2.6.1 Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam
pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari
pergerakan otot dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke
dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan
ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan
atau pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan
karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari
dalam tubuh sesuai keperluan.5
1. Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan
masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga
hidung yang menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke
bagian faring ini turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya
memasuki laring.5
39

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan


membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring
dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan
dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya
pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan
masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.5
Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan
sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping
muskulus intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya.5
2. Laring
Laring terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9
kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang
mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring
membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak
mengalami kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia
sebagai organ pengeluaran suara yang merupakan jalannya udara antara
faring dan laring.Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah
sempit dan berbentuk silinder.5
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara
yang selanjutnya mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring
diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke
dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir
terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan.5
Epiglotis yang berada di atas glottis selain berfungsi sebagai penutup
laring juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat
dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang.5
3. Trakea
40

Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi


Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea
mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh
16-20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi
dua atau bifurkasio menjadi bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5
kolumna vertebaralis. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis,
antara 150-300 mm2. Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap
stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang
berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate dan
dalamnya pernafasan, tetapi juga menimbulkan dilatasi pada bronkus
melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor
iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai
reseptor batuk dan mengandung reflek bronkokontriksi.5
Kista Sinus Maksilaris
Kista sinus maksilaris adalah pertumbuhan jaringan abnormal terletak di
salah satu rongga yang terletak di belakang tulang pipi di kedua sisi hidung.
Rongga ini disebut sinus, dan mereka berada di rahang atas, atau bagian atas
rahang. Kista ditutup kapsul/kantung berisi dengan cairan, udara atau materi
setengah padat, yang mirip dengan tumor dan biasanya jinak.
Etiologi
Kista dapat terbentuk di manapun pada tubuh dan dapat disebabkan oleh
infeksi, reaksi inflamasi, penyumbatan cairan atau genetik. Kista juga dapat
disebabkan oleh adanya infeksi pada gigi.
Gejala Klinis
Gejala seperti sakit kepala, nyeri wajah, termasuk di gigi atau mata; infeksi
sinus kronis, tekanan, dan pembengkakan dapat dialami jika kista sinus
maksilaris tumbuh membesar atau terletak di daerah sensitif. Hal ini
menyebabkan peningkatan nyeri wajah dan bengkak karena drainase terganggu.
Jika sudah terjadi infeksi, sangat mungkin terjadi penyumbatan yang akan
menyebar ke tempat lain secara cepat. Terlepas dari ukuran atau lokasi, kista
yang sudah mengalami infeksi akan menyebabkan gejala semakin parah seperti
41

pembengkakan, nyeri dan demam. Infeksi gigi atau abses gigi dapat menyebar
ke daerah sinus, terutama setelah bedah mulut, karena lokasi sinus terletak di
atas rahang atas.
Diagnosis
Diagnosis kista sinus maxillaris dibuat berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemriksaan rinoskopi anterior dan posterior, serta pemeriksaan
penunjang berupa transluminasi untuk sinus maksila, pemeriksaan radiologik,
pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus maksila, pemeriksaan histopatologik dari
jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus
medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-endoskopi dan
pemeriksaan CT Scan.
X-ray, CT scan dapat menentukan diagnosis kista, sangat penting untuk
mengetahui lokasi dan dapat ditampilkan dalam gambar tampak di sinus
maksilaris dengan bayangan perselubungan pada sinus, sebagian besar tepi yang
jelas. Foto polos x-Ray (posisi water) tampak sebagai penebalan dinding sinus,
foto polos tak dapat membedakan antara penebalan mukosa dan gambaran
fibrotik beserta pembentukan jaringan parut.
Penatalaksanaan
Kista di sinus maksilaris jarang menimbulkan gejala,observasi dan
pengobatan asimtomatik tetapi ketika kista menghalangi jalan napas atau
penyebab penyumbatan maka operasi menjadi perlu.Indikasi operasi:
1. Kista sinus maksilaris yang berhubungan dengan sakit kepala, nyeri pipi atau
tekanan di
2. Hidung selalu mengeluarkan secret yang mempengaruhi aktivitas;
3. Merusak tulang.
Metode operasi kista sinus maxilarris:
a. Pembedahan Radikal
Yaitu dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari
sinus yang terkena. Operasi pada sinus maksila adalah operasi Caldwell-Luc.
8,9

b. Pembedahan Non Radikal


42

Yaitu metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskopi yang


disebut “bedah sinus endoskopik fungsional” (BSEF). Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi
sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat
lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan
kembali normal.8,9

Anda mungkin juga menyukai