Anda di halaman 1dari 36

TB: SI PERAMPOK

Halo pembaca! Semoga tidak bosan dengan seri Sembuhkan TB ini, soalnya setiap
edisi akan membuat kita semakin melek dengan TB. Seri kali ini sangat seru
karena kita akan membahas bagaimana kuman tuberkulosis merampok manusia,
baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.

TB sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Kondisi perumahan yang padat,


sirkulasi udara yang buruk, sanitasi yang kurang, dan nutrisi buruk yang terjadi pada
golongan ekonomi bawah adalah faktor risiko utama penularan TB. Hal ini
menyebabkan TB menyebar dengan sangat cepat pada kelompok ekonomi rendah.

Salah seorang penderita TB dari kalangan ekonomi rendah. Sumber

Tapi, ternyata TB juga bisa merampok loh. Ya, TB bisa membuat seseorang jadi
miskin!

Kuman TB = Perampok? Yang bener aja?

Oke, jangan bayangkan kuman TB menyusup ke dalam rumah Anda tengah malam,
tiba-tiba menodongkan pisau, dan membentak: “SERAHKAN UANG, ATAU ANDA
AKAN TERINFEKSI!”

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, infeksi tuberculosis bisa terjadi pada siapa
saja tanpa pandang bulu, baik bulu hidung maupun bulu kaki (baca: ‘Setiap hari
Anda bertemu dengan pasien TB loh!’). Infeksi tuberculosis juga bisa menyebabkan
kematian apabila tidak disembuhkan (baca: ‘Sembuhkan TB, kembalikan senyum
mereka!’). Kebanyakan iklan layanan masyarakat menyatakan bahwa TB itu bahaya
karena menular dengan cepat dan sangat merugikan kesehatan.

Sayangnya, belum banyak yang sadar bahwa infeksi ini juga membuat kerugian besar
bagi keuangan. Padahal, beban ekonomi akibat TB ini besar loh.

Jelas ini bukan cara TB merampok korbannya.

Buka mata: Memangnya kenapa infeksi TB menjadi beban


besar?

Pertama, perlu ditekankan perbedaan penyakit infeksi dengan penyakit jantung,


stroke, kanker, dan penyakit lainnya. Penyakit jantung, stroke, atau kanker biasanya
menyerang individual atau orang per orang. Memang, pasti akan ada unsur
keturunan di dalamnya sehingga penyakit ini mungkin menyerang satu keluarga
juga.

Bagaimana dengan tuberkulosis? Nah, TB memang menyerang orang per orang


secara individual, tapi TB ini juga menular dengan cepat dari satu orang ke
komunitasnya. Artinya, ketika kita bicara tentang infeksi TB di Indonesia, otomatis
kita akan berbicara mengenai komunitas. Kita memikirkan tentang sebuah
masyarakat, tentang penduduk Indonesia.

Memangnya, berapa sih penderita TB di Indonesia? Mungkin 100.000 jiwa? Atau


mungkin 500.000 jiwa? Kalau kurang banyak, mungkin 1.000.000 jiwa deh? Itu
sudah banyak sekali loh.
Di Indonesia, penderita TB ternyata diperkirakan berjumlah sebanyak 8,6 juta jiwa.
Wow! Sebagai perbandingan, angka tersebut setara dengan jumlah dari seluruh
penduduk di Kota Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang loh. Artinya, angka 8,6
juta jiwa itu sangat banyak!

Ketika TB sudah menyerang sebuah komunitas, maka ada beberapa beban ekonomi
yang akan ditimbulkan. Di antaranya adalah:

1. Pengobatan TB butuh uang.

Orang sakit tentu butuh obat. Demikian juga dengan penderita penyakit TB,
tentu memerlukan obat TB. Seperti yang sudah diketahui, pengobatan TB bisa
didapat gratis di beberapa klinik yang sudah bekerjasama dengan pemerintah. (Baca:
‘Kencing Aja Bayar, Masa Obat TB Gratis?‘)

Ingat, obat TB ini sebenarnya tidak gratis, tapi dibiayai oleh pemerintah. Jadi,
setiap kali ada pasien yang didiagnosis dengan TB, maka pemerintah Indonesia (dan
beberapa negara lain) sudah berkomitmen untuk membiayai pengobatan tersebut
sampai sembuh.

Semakin besar jumlah penderita TB di suatu negara, artinya negara tersebut harus
menyediakan lebih banyak dana untuk membiayai pengobatan TB di negara itu.
Belum lagi kalau ternyata ditemukan kasus TB resisten obat, tentunya memerlukan
obat yang lebih mahal dan dalam waktu yang lebih lama (baca: ‘TB Kebal Bikin
Sebal‘). Maka dari itu, prinsip ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ menjadi
sangat penting dalam penanganan TB.

Walaupun bisa menjalani pengobatannya secara gratis, pasien TB pun tentu harus
mengeluarkan biaya-biaya lain seperti biaya pemeriksaan, biaya transportasi, hingga
biaya rawat inap apabila diperlukan. Hal ini kadang yang menjadi alasan finansial
seorang pasien TB menghentikan pengobatannya.

Di India pernah dilakukan penelitian mengenai dampak ekonomi akibat TB, dan
hasilnya cukup mengejutkan:
Beban TB pada ekonomi pasien. Diadaptasi dari sini

Penelitian tersebut dilakukan pada 300 pasien, dan lebih dari sepertiganya mengaku
mengalami gangguan ekonomi yang cukup berarti. Sebagian besar dari yang
mengalami gangguan ekonomi tersebut mengaku uang tabungan untuk masa
depannya menjadi berkurang karena harus membiayai proses pengobatan TB. Lebih
menyedihkannya, sebagian dari mereka terpaksa harus meminjam uang, bahkan
menggadaikan rumah demi membiayai pengobatan TB.

2. TB menjadi beban dalam pekerjaan.

Selain menghabiskan biaya untuk pengobatan, TB juga menyebabkan seseorang


akan kesulitan dalam menjalani pekerjaannya. Mengapa? Karena ternyata 75% dari
kasus TB terjadi pada usia paling produktif, yaitu usia 15 hingga 54 tahun.

Pada kelompok usia ini, kesehatan adalah salah satu modal utama dalam
melaksanakan pekerjaannya. Ketika kesehatannya terganggu akibat TB, mereka akan
kesulitan dalam menjalani pekerjaan ataupun mencari pekerjaan.
Belum lagi stigma masyarakat akan penyakit TB yang menyebabkan penderitanya
menjadi diasingkan oleh masyarakat, yang kemudian menyebabkan mereka semakin
sulit dalam mencari pekerjaan.

WHO memperkirakan bahwa pasien TB rata-rata kehilangan tiga hingga empat bulan
waktu kerjanya. Mereka juga bisa kehilangan hingga 30 persen dari pendapatannya
akibat gangguan bekerja.

Penelitian di India mencoba mencari tahu dampak dari TB pada ketidakhadiran


pasien di tempat kerja atau di sekolah, yang berarti menurunkan produktivitas
mereka. Inilah hasilnya:

Beban TB pada produktivitas pasien, dinilai dari hilangnya hari kerja atau sekolah.
Diadaptasi dari sini

Grafik di atas menunjukkan hal buruk dan hal baik. Hal buruknya adalah, sekitar 79%
pasien yang mengalami TB mengaku sempat tidak bisa datang ke tempat kerja. Hal
yang serupa terjadi juga pada kelompok pelajar, yaitu 94% mengaku bahwa sempat
tidak dapat pergi ke sekolah. Rata-rata ketidakhadiran pada kelompok kerja adalah
9,5 hari, sedangkan rata-rata ketidakhadiran pada kelompok pelajar adalah 10,9
hari.

Kabar baiknya, ketika pengobatan sudah dimulai, maka angka ketidakhadiran ini
mulai berkurang. Angka ini bahkan berkurang secara signifikan ketika pasien
tersebut sudah menjalani pengobatannya sampai selesai. Dari sini, dapat
disimpulkan bahwa TB memberi beban yang sangat besar pada produktivitas
seseorang di tempat kerja, tapi ketika sudah diobati maka produktivitas pasien
tersebut akan kembali dengan cepat.

3. Kematian akibat TB menjadi pukulan yang sangat besar secara ekonomi

Data di Indonesia mencatat bahwa 67.000 jiwa meninggal akibat TB setiap tahunnya.
Artinya, dalam sehari ada 183 orang yang meninggal akibat TB. Kalau kita
menghubungkan data ini dengan kedua poin sebelumnya, kita bisa melihat bahwa
beban akibat TB yang menyebabkan kematian ini menjadi berlipat ganda.

Sebagian besar kasus TB terjadi pada usia produktif. Tak jarang, mereka adalah
kepala keluarga atau tulang punggung dalam keluarganya. Apabila pasien TB usia
produktif ini meninggal, tentunya keluarga tersebut akan kehilangan sosok yang
mendukung kondisi finansial keluarganya.

WHO mencatat, keluarga seorang pasien yang meninggal akibat TB akan kehilangan
sekitar 15 tahun pendapatan.

4. Penelitian untuk obat TB memerlukan dana yang tidak kecil

Di artikel sebelumnya, kita sudah mempelajari bagaimana sejarah penemuan obat


TB. Kita juga sudah menyadari bersama bahwa penelitian tentang obat anti TB
menjadi sangat penting, karena kita masih terus mencari obat TB yang lebih ampuh,
lebih aman, dan bisa digunakan dalam skala luas, apalagi untuk MDR-TB yang kebal
dengan obat standar.

Jadi, ketika kita membicarakan mengenai beban ekonomi TB untuk riset obat, kita
sudah berbicara bukan lagi dalam skala individu, daerah, atau kebijakan negara. Kita
bicara mengenai kepentingan dunia.

Melek TB sekarang: Jangan biarkan TB merampok kita!

TB sudah terlalu kejam kepada kita. Selain membuat kita menderita dengan
penyakitnya, membunuh penderitanya, kini kita sudah tahu bahwa kita ternyata
juga dirampok oleh TB.

Apa yang akan kita lakukan bila kita rumah tetangga kita menjadi
korban perampokan dan kita berhasil menangkap perampok tersebut?

Tentu saja kita akan menyerahkan si rampok kepada polisi, kemudian polisi akan
memenjarakannya dan mengawasi agar tidak kabur, kemudian kita tentunya akan
lebih waspada agar jangan sampai kejadian sama terulang lagi baik pada kita atau
pada orang lain.

Dari sini, kita bisa analogikan apa yang bisa kita lakukan agar TB tidak merampok
kita.

1. Tangkap si perampok. Deteksi dini menjadi sangat perlu di sini, karena kalau kita
terlambat mendeteksi TB maka bisa jadi si perampok sudah mengambil terlalu
banyak kesehatan kita!

2. Serahkan kepada polisi. Artinya, TB perlu diobati. Pengobatan TB ini bertujuan


untuk memutus mata rantai penularan. Kalau kita berhasil menemukan perampok
tapi tidak kita apa-apakan, bukankah itu percuma? Nah, hal sama bisa dianalogikan
pada TB ini. Kalau ada orang yang sakit TB tapi tidak diobati, maka sia-sia deh kita
mengetahui dia memiliki kuman TB!

3. Perhatikan terus si perampok, jangan sampai dia kabur! Nah, kuman TB ini adalah
perampok yang lihai. Di artikel sebelumnya sudah dibahas mengenai pengobatan TB
yang tidak tuntas atau tidak rutin akan menyebabkan terjadinya kebal obat. Maka
dari itu, perlu adanya pengawas minum obat.

Pengawas minum obat ini bisa dianalogikan seperti sipir yang memperhatikan si
perampok itu. Kalau tidak ada yang memperhatikan, si perampok bisa kabur dan
penangkapannya jadi sia-sia. Begitu juga pada TB, kalau tidak diawasi dan ternyata
si pasien tidak minum obat dengan rutin, bisa dikatakan bahwa upaya
pengobatannya jadi sia-sia.

4. Waspada jangan sampai kita jadi korban perampokan.

Siapapun bisa menjadi penderita TB. Di sisi lain, siapapun bisa menjaga dirinya
sendiri agar tidak tertular dengan TB. Berikut adalah hal yang bisa kita lakukan agar
kita bisa terhindar dari TB, si perampok:
Upaya pencegahan TB, diadaptasi dari sini

Jadi, apakah kita masih mau membiarkan diri kita dirampok oleh sang TB?
Saya sih tidak. Semoga kita semua semakin tergerak untuk melawan TB bersama-
sam
TB: SEBUAH KISAH
YANG DISEMBUNYIKAN
Ibu saya pernah menjadi pasien TB.

Beliau menceritakan hal itu kepada saya ketika saya sedang menjalani masa
pendidikan di universitas. Mendengarnya, saya terkejut.

Yang membuat saya terkejut bukan karena memiliki anggota keluarga dengan
penyakit tuberkulosis, tapi karena penyakit tersebut ternyata dialami sekitar tujuh
tahun sebelum ibu menceritakannya pada saya.

Beliau menyembunyikan informasi tersebut ketika saya masih SD. Beliau minum obat
secara rutin setiap hari secara diam-diam tanpa saya ketahui. Menurut ibu, beliau
malu apabila orang-orang mengetahui dia terkena TB. Dia tidak mau orang lain,
apalagi saya sebagai anaknya, mengetahui kalau ibunya memiliki penyakit TB.

Akhirnya saya bertanya: kejadian itu sudah berlangsung lama sekali ketika saya
masih SD. Kenapa ibu saya tiba-tiba menceritakannya sekarang ketika saya sudah di
bangku kuliah?

“Soalnya mama lihat, kamu udah batuk lama banget. Udah ada dua
bulan,” jawabannya mengejutkan saya.

Saya tersadar. Memang ketika kejadian itu berlangsung, saya batuk cukup lama.
Mungkin ada lebih dari satu bulan. Ibu saya pasti mendengar saya terbatuk hebat di
malam hari. Kadang, saya batuk sangat kuat sampai hampir muntah.

Seingat saya, batuk saya tidak berdahak. Kalaupun ada, dahaknya sangat sulit
keluar. Saya sudah minum banyak obat mulai dari kemasan tablet yang murah
sampai sirup yang mahal, dan saya masih terbatuk-batuk. Melihat ini, ibu saya
khawatir.

“Takut kamu ketularan mama,” katanya


Unmask Stigma, gerakan untuk menghilangkan stigma pada pasien TB

Buka Mata: “TB itu memalukan!”

Demikian kata ibu saya kala itu. Menurutnya, menjadi pasien TB itu memalukan.

Beliau bercerita, di tempatnya tumbuh besar (daerah Bangka) apabila ada pasien
yang diketahui TB maka secara otomatis seluruh masyarakat akan menjaga jarak.
Pasien tersebut akan dikucilkan.

Saya tidak menanyakan alasannya, karena saya tahu jawaban yang akan saya dapat:
TB itu penyakit kotor, penyakit orang miskin, dan orang yang terkena TB artinya
tidak menjaga diri dengan baik.

Hal ini membuat saya tergelitik. Pada dasarnya, semua penyakit itu seharusnya
memalukan, karena mengarahkan ke sebuah kondisi di mana kita
mengabaikan kesehatan.

Uniknya, tidak semua penyakit mendapat porsi sama. Saya beberapa kali bertemu
orang yang dengan bangga mengatakan, “wah, saya punya penyakit jantung. Sudah
pasang ring dua biji. Habisnya berpuluh-puluh juta!”
“Ini adalah hasil investasi saya di restoran fastfood selama puluhan tahun!” (sumber
gambar)

Di sisi lain, saya belum pernah bertemu orang yang dengan bangga mengatakan
dirinya pernah punya riwayat pengobatan TB. Sebagian dari mereka mungkin
tersenyum mengatakan bahwa mereka pernah terkena TB dan telah berobat sampai
sembuh, tapi tak seorangpun yang dengan bangga mengakui mereka terkena sakit
TB.

Ibu saya tentu adalah salah satu orang yang tidak bangga pernah mengalami TB.
Bahkan, dia adalah bagian dari orang yang masih menganggap TB itu memalukan
walaupun dia pernah mengalaminya!

Mengapa mereka tersingkir?

Saya sudah mempelajari sesuatu dari kisah di atas: ketika kita mengusir, membenci,
mendiskriminasikan, dan memandang jijik pasien TB (atau pasien HIV),
sesungguhnya mereka pun setuju dengan kita. Mereka tidak ingin menjadi bagian
dari orang yang sakit TB. Kalau bisa memilih, tentu mereka tidak akan mau
memelihara kuman tuberculosis dalam tubuhnya.
Ketika kita menuduh mereka hidup tidak bersih, mungkin mereka sudah terlebih
dahulu menyalahkan atau membenci dirinya sendiri.
Ketika kita takut tertular dari mereka, mungkin mereka sudah terlebih dahulu takut
akan menularkan pada kita
Ketika kita menyingkir dari mereka, mungkin mereka sudah terlebih dahulu
menyembunyikan diri atau anaknya dari sesamanya.
Mereka adalah korban utama dari kondisinya.

Seorang ibu dengan anak dengan TB. Sumber gambar

Penelitian yang dilakukan di India mencoba untuk mencari tahu mengenai mitos dan
stigma seputar TB yang beredar di negara tersebut. Sebagai negara dengan
penderita TB terbanyak, India menghadapi tantangan besar mulai dari deteksi,
penyembuhan, hingga ke penghapusan stigma dalam masyarakat.

Di India, pasien TB sering mengalami penolakan dan isolasi sosial. Karena kurangnya
pengetahuan seputar TB dan kekhawatiran akan diasingkan, penderita TB kadang
menyembunyikan gejalanya sehingga berakibat TB tidak terdeteksi dan tidak bisa
terobati.

Kurangnya pengetahuan masyarakat di India antara lain tentang cara penyebaran


penyakit TB. Masih ada masyarakat yang menganggap TB ditularkan melalui jabat
tangan atau berbagi makan dengan orang yang sakit. Kondisi ini menyebabkan
orang dengan TB menjadi lebih mudah diasingkan. Lebih jauh lagi, ada yang percaya
TB adalah penyakit menurun yang ditularkan secara seksual, sehingga pasien TB
dianggap seperti ODHA, merek yang hidupnya ‘menyimpang’ dari adat normal.

Melek TB Sekarang: Zero Stigma, mulai dari kita!

Memangnya kenapa kalau mereka dapat stigma begitu? No big deal kan?
Sayangnya, ini adalah sebuah masalah besar. Ingat, dalam artikel sebelumnya kita
sudah sepakat bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran TB adalah
dengan bergerak bersama. Kita sudah membicarakan perlunya peran masyarakat
dalam menghadapi perang melawan TB.

Satu yang sering terlewat oleh kita adalah, justru pihak yang paling perlu untuk
digerakkan adalah pasien itu sendiri!

Pada bagian di atas, kita lihat bahwa pasien cenderung menyembunyikan


penyakitnya. Hal ini akan mengakibatkan proses deteksi penyakit yang terhambat. Di
sisi lain, dia juga menjadi sumber aktif penularan TB ke orang-orang di sekitarnya.

Kepercayaan umum lain yang beredar dalam sebagian masyarakat di India adalah
bahwa TB tidak dapat disembuhkan dan obat yang tersedia saat ini berbahaya bagi
pasien. Banyak yang masih percaya bahwa obat TB menyebabkan seseorang menjadi
impoten atau mandul. Akibatnya, banyak orang yang berhenti minum obat karena
takut akan mitos tersebut.

Ketika para pasien sendiri sudah menyerah sebelum berperang, maka kita
menghadapi perang yang tidak akan bisa kita menangkan. Apabila kita tidak menang
dalam perang ini, maka kita akan kehilangan senyuman orang-orang dengan TB
selamanya (baca postingan saya sebelumnya: “Sembuhkan TB, Kembalikan Senyum
Mereka!“)

Lihatlah: kembalinya senyuman pasien TB adalah senyuman paling indah yang bisa
kita lihat. Sumber gambar

Hari ini juga, saya sudah memutuskan untuk menghapus stigma dari pasien TB.
Bagaimana dengan Anda?

Catatan akhir:

Ini adalah seri terakhir dari delapan seri kampanye #SembuhkanTB oleh TB
Indonesia. Semoga Anda menikmati membacanya, seperti saya menuliskan setiap
kata di dalamnya.

Melanjutkan kisah pengantar di awal, saat itu akhirnya saya menjalani pemeriksaan
sputum BTA (dahak) dan foto rontgent. Pemeriksaan tersebut dilakukan atas indikasi
batuk lama dan kontak TB positif. Kedua pemeriksaan tersebut tidak menunjukkan
bahwa saya mengalami TB.

Saya hampir menjadi pasien TB. Tapi, saya memutuskan bahwa hal tersebut tidak
menghentikan pelayanan saya sehari-hari sebagai tenaga medis. Setiap bulan, saya
masih bertemu dengan pasien TB di salah satu balai pengobatan murah tempat saya
membantu.

Setiap bertemu dengan pasien-pasien terebut, yang bisa saya lakukan hanya satu:
menuliskan resep obat sambil tersenyum, menatap mata mereka, dan berkata

“Tetap semangat, Pak. Pasti bisa sembuh”

Dan saya bisa menyaksikan bahwa perlahan-lahan, senyuman mereka kembali


KISAH SO’E MENGHADAPI TB
Kasus TB di Indonesia seakan tiada henti. Siapa yang
bertanggung jawab untuk menuntaskan tuberculosis?

“Pertanyaan apaan ini? Namanya juga masalah kesehatan, ya pastinya tanggung


jawab Departemen Kesehatan RI, Rumah Sakit, serta Dokter dong!”

Mungkin demikian pikir Anda. Jika iya, saya tidak menyalahkan Anda sama sekali.
Anda benar! Anda telah memikirkan suatu penyelesaian yang rapi dan terstruktur,
maka Anda menjawab bahwa hal tersebut adalah tanggung jawab petugas
kesehatan.

Setidaknya, itu adalah pikiran saya ketika akan menulis seri ketujuh dari
#SembuhkanTB, yaitu “Peran Masyarakat dalam Pengendalian TB.” Apakah benar
masyarakat bisa berperan menghadapi kasus seberat TB?

Sekarang, saya akan mengajak kita semua untuk berpikir dengan lebih sederhana
lagi. Seperti dalam postingan sebelumnya, saya sangat suka bermain analogi. Jadi di
sini pun saya akan mencoba menganalogikan pertanyaan pembuka saya dengan hal
yang lebih manusiawi.

Saya sedang lapar. Siapa yang bertanggung jawab untuk


menghilangkan kelaparan saya?

Kalau saya jawab Kementrian Pertanian, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik
(BULOG), atau koki di restoran high class sebagai pihak yang bertanggung jawab
menghilangkan kelaparan saya, apakah saya salah?

Tentu saja tidak. Jawaban saya benar. Jawaban saya sangat sahih dan saya bisa
memberikan seratus argumen untuk menguatkan pernyataan saya tersebut. Hanya
saja, bukankah saya berpikir terlalu jauh untuk pertanyaan seperti itu?

Bukankah akan lebih cepat kalau saya belajar masak sendiri, lalu mulai mengolah
bahan masakan yang ada di dapur saya? Kalaupun saya tidak bisa masak, bukankah
jauh lebih efektif bagi saya untuk mulai mendeteksi lokasi warung bakso atau
masakan Padang terdekat dari rumah saya?

Wah, ternyata begitu besar peran saya dan peran masyarakat dalam menyelesaikan
kasus kelaparan yang saya alami!

Hal yang sama juga bisa dianalogikan dalam penanganan TB. TB adalah suatu
kondisi yang kompleks yang memerlukan usaha bersama, bukan hanya bergantung
pada Kementrian Kesehatan atau dokter dan Rumah Sakit saja. Usaha bersama ini
justru paling banyak dipegang oleh masyarakat. Mulai dari deteksi penyakit
(baca: Setiap hari, Anda bertemu dengan pasien TB lho!), mengarahkan orang untuk
berobat gratis (baca: Kencing aja bayar, masa obat TB gratis?), hingga mengawasi
minum obat (baca: TB kebal bikin sebal).

Sampai sini, bisa dibilang bahwa artikel saya sudah selesai. Karena itulah poin yang
ingin saya sampaikan: masyarakat memiliki peran besar dalam menghadapi TB.

Buka Mata: Mari Berbagi Cerita!

Saya bisa saja menuliskan ulang ketiga artikel pada tautan di atas untuk
menunjukkan betapa besar peran masyarakat dalam menghadapi TB. Tapi, saya tidak
akan melakukannya.

Saya akan bercerita. Saya akan membawa Anda ke sebuah tempat yang cukup jauh
dari hiruk pikuk Ibu Kota Jakarta. Kita akan berkunjung ke sebuah daerah yang
masih belum banyak didengar orang, yaitu So’e di Nusa Tenggara Timur.

April 2011, Nusa Tenggara Timur


Karena salah satu cara terbaik memahami sebuah masalah adalah dengan langsung
terjun ke dalamnya

Saya bersama tujuh dokter muda lainnya mengunjungi Nusa Tenggara Timur dalam
rangka merancang dan melaksanakan sebuah penelitian di sana. Kami didampingi
oleh dokter TP (salah satu staf dari departemen Ilmu Kedokteran Komunitas), dan
satu orang penduduk asli dari daerah So’e yang akan kami kunjungi.

So’e adalah daerah pegunungan yang berjarak lima jam perjalanan dari Kupang, Ibu
Kota NTT. Pesawat kami mendarat di NTT lalu kami melanjutkan perjalanan dengan
menggunakan bis.

Ini bukan sekedar Colt Diesel. Sesuai stikernya, ini adalah The Next Generation Colt
Diesel!

Karena So’e terletak di pegunungan, masa bisa dibayangkan perjalanan kami seperti
lagu naik-naik ke puncak gunung. Yak, betul. Tinggi, tinggi sekali.

Bedanya, yang menarik perhatian saya sepanjang perjalanan bukanlah karena kiri
kanan kulihat saja banyak pohon cemara, tapi kondisi jalan yang tidak terlalu cantik.
Bahkan, di tengah perjalanan, kami harus berhadapan dengan longsor yang
membuat akses dari Kupang ke So’e terputus total
Longsor ini sepanjang sekitar lima puluh meter dengan kedalaman sekitar lima
meter. Satu-satunya jalan ke sisi seberang adalah dengan berjalan kaki melalui
longsor tersebut

Jadi, foto di atas memberikan gambaran mengenai kondisi medan yang kami hadapi

Apa spesialnya So’e, NTT sehingga diangkat dalam artikel ini?


Peta Nusa Tenggara Timur. Sumber dari http://www.goseentt.com/

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 mencatat bahwa daerah Nusa Tenggara Timur
adalah salah satu daerah dengan angka TB BTA+ yang tinggi, menduduki peringkat
14 dari 34 provinsi di Indonesia. Uniknya, Case Detection Rate daerah NTT ini
tergolong rendah, menduduki peringkat 27 dari 34 provinsi.

Artinya, di NTT banyak kasus TB BTA+, tapi kemampuan untuk menemukan kasus
tersebut rendah.

Ingat, NTT itu luas, dan So’e adalah salah satu daerah yang bisa dibilang masih
terpencil. Ketika kita membicarakan Nusa Tenggara Timur, kita tidak membicarakan
kota besar seperti Kupang. Kita membicarakan seluruh daerah secara umum. Kita
membicarakan setiap kabupatennya.

So’e adalah daerah di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kondisi jalan ke So’e
ini menggambarkan bagaimana sulitnya akses manusia ke tempat tersebut. Kalau
orang saja susah, bagaimana dengan barang? Bagaimana dengan obat? Bagaimana
dengan peralatan medis?

Oh iya, saya belum bercerita mengapa kami bisa sampai ke sini. Seperti yang sudah
saya sebutkan di atas, kami melakukan penelitian di tanah So’e ini. Penelitian yang
kami lakukan bukan tentang tuberculosis, tapi mengenai status gizi balita di So’e.
Salah satu faktor risiko penyebab gizi kurang atau gizi buruk adalah penyakit TB
pada anak. Maka dari itu, kami mengenal bagaimana kondisi TB di So’e ini.

Ini adalah salah satu hal menarik yang saya temukan di sana.

Posyandu yang ramai

Ini adalah salah satu posyandu di daerah tersebut yang menumpang pada sebuah
gedung kosong. Loh, apa menariknya? Pemandangan yang biasa, bukan? Namanya
posyandu ya harus ramai, bukan begitu?

Oke, kita ulang lagi, So’e ini terletak di daerah pegunungan, di mana rumah warga
masih berjarak cukup jauh satu sama lain. Dengan transportasi umum yang terbatas,
akses dari rumah warga ke posyandu tidak semudah berjalan ke minimarket dekat
rumah Anda. Sebagian dari mereka harus menyewa ojek, sebagian bahkan
menempuh jalan kaki selama tiga puluh menit untuk bisa sampai ke posyandu.

Semua itu hanya untuk menimbang anaknya dan mengisi Kartu Menuju Sehat (KMS).
Dan, apabila ada keluarga atau anak yang menderita TB, mereka juga bisa
mengambil obatnya secara rutin saat di posyandu tersebut.
Mereka tidak menggunakan facebook, BBM, atau whatsapp messenger. Tapi mereka
bisa mengetahui jadwal posyandu dan mereka bisa mengetahui informasi-
informasi kesehatandengan baik. Tiap posyandu memiliki kader sendiri-sendiri yang
memiliki keahlian menimbang bayi dengan benar, mengisi KMS, dan mendeteksi TB
pada anak ataupun dewasa. Mereka bahkan bisa memantau pengobatan TB dengan
baik.

Kok bisa daerah yang terisolasi memiliki kepengurusan yang


demikian baiknya?

Pertanyaan ini menjadi bahasan kami di malam hari setelah kami menyelesaikan misi
di posyandu tersebut. Ternyata, dokter TP telah memulai itu semua beberapa tahun
lalu. Beliau berbagi cerita kepada kami. Berbekal dua hal, yaitu kecintaannya pada
Indonesia dan ilmu kedokteran komunitas yang dipelajarinya, beliau memulai proyek
pengentasan TB di satu desa.

Di desa tersebut, beliau merangkul warga sekitar. Beliau membangkitkan


mereka agar bisa memberdayakan diri sendiri. Beliau mengumpulkan kader-kader
setempat, lalu mengajarkan kepada mereka hal-hal sederhana seperti menimbang
bayi, cara mengisi KMS, cara menjelaskan kepada masyarakat, sampai cara
mengorganisasikan sebuah Posyandu.

Dokter TP memberikan pengarahan kepada para kader yang merupakan warga


setempat

Secara bertahap, beliau mulai berbagi kepada mereka cara


mendeteksi tuberculosis dan penanganannya. Beliau menekankan betapa perlunya
minum obat secara teratur. Beliau mengajarkan untuk mencatat pasien TB yang tidak
mengambil obatnya pada waktu yang ditentukan dan mencari tahu kenapa pasien
tersebut tidak datang.

Dengan cara sederhana ini, kasus TB yang selama ini tersembunyi berhasil
ditemukan. Mereka yang sakit pun bisa diobati dengan akses lebih mudah
dibandingkan harus menuju ke Puskesmas yang jaraknya puluhan kilometer. Semua
itu hanya karena satu hal: masyarakat mulai memberdayakan dirinya sendiri.
Setelah membangun sistem yang baik di satu desa, beliau mulai menuju ke desa
lainnya. Di desa tersebut pun beliau melakukan hal sama. Setelah itu, dia berangkat
lagi ke desa lainnya, sampai-sampai hampir seluruh warga di desa-desa sekitar
sudah mengenal dokter TP ini. Bahkan, dokter TP sudah diangkat sebagai keluarga
oleh warga sekitar.

Kami melongo mendengarnya. Seorang asing nekat datang berkunjung ke daerah


yang benar-benar baru dan terpencil. Berbekal ilmu yang dimiliki dan kecintaannya
pada Indonesia, beliau berhasil menanamkan perubahan baik di situ. Terbukti,
setelah beliau meninggalkan daerah tersebut untuk kembali ke departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, desa-desa tersebut sudah mandiri.

Melek TB Sekarang: Mulai Sekarang Juga!

Ketika menulis ini, saya jadi teringat sebuah kutipan indah dari Zig Ziglar, seorang
motivator asal Amerika Serikat.

“You don’t have to be great to start, but you have to start to be great”

Mungkin sebagian orang menganggap bahwa melibatkan masyarakat untuk


menghadapi kasus sebesar TB hanyalah angan belaka. Namun, kisah yang saya
bagikan di atas sekedar menceritakan bahwa kisah heroik keberhasilan masyarakat
menghadapi penyakit komunitas seperti TB bukanlah mitos belaka.

Dan itu bukan karena sosok hebat seperti dokter TP semata. Itu karena masyarakat
sendiri yang menyadari bahwa merekalah pihak yang paling bisa memberdayakan
dirinya sendiri.

Kalau satu daerah bisa, pastinya daerah lain pun bisa. Yang kita perlu lakukan
hanyalah memulainya sekarang juga.
SETIAP HARI, ANDA BERTEMU
DENGAN PASIEN TB LHO!
Tulisan ini akan dimulai dengan sebuah kuis iseng-iseng.

Bayangkan di hadapan Anda saat ini ada lima orang:

1. Karyawan, 27 tahun, batuk 1 bulan, perokok aktif 1 bungkus sehari


2. Tukang sapu jalanan, 33 tahun, batuk 1 bulan, kurus banget.
3. Model, 17 tahun, cantik, langsing, batuk 1 bulan. Model tersebut
masih single (oke, informasi ini nggak perlu sebenarnya),
4. Dokter, 25 tahun, batuk 1 bulan, kurang tidur karena belakangan ini
sering dinas malam
5. Kakek 67 tahun, batuk 1 bulan, tinggal di pemukiman sempit dan padat.

Di antara kelima orang tersebut, ada dua orang yang menderita tuberkulosis/TB.
Pertanyaannya, siapa saja?

Anda punya waktu 1 menit untuk membaca lagi profil singkat kelima orang di atas
dan menentukan siapa dua orang yang menderita TB.

...

...

Sudah?

Baiklah, kalau Anda mengatakan dua orang penderita TB itu adalah si tukang sapu
jalanan dan si kakek, maka Anda sudah menjadi pelaku stereotiping terhadap pasien
TB di negara ini.
Kenapa? Karena kuis di atas adalah pertanyaan jebakan. Jawaban yang benar adalah
‘tidak bisa ditentukan’.

Nah loh? Yuk kita simak pemaparannya di bawah ini.

Buka mata!

Kementrian kesehatan kita sangat serius dalam mengidentifikasi dan


menyembuhkan TB. Bahkan, bukan hanya Indonesia saja yang heboh. Seluruh dunia
bersatu untuk memerangi TB!

Bagi orang yang tidak tahu, mungkin mereka akan beranggapan “ah, lebay banget
sih, cuma TB doang… Banyak tuh penyakit yang lebih berbahaya.” Memangnya
seberapa besar sih dampak TB? Berapa banyak orang yang terinfeksi kuman TB di
muka Bumi? Satu juta orang? delapan juta orang? Lima puluh juta orang?

Dua milyar orang!

Ya, WHO melaporkan bahwa diperkirakan sepertiga dari seluruh penduduk dunia
sudah terinfeksi kuman TB. Nah, tidak semua yang terinfeksi kuman TB tersebut
otomatis akan jatuh sakit apalagi sampai batuk darah. Hanya sebagian kecil saja
yang akan jatuh sakit.

Lalu bagaimana dengan tebak-tebak angka berhadiah di atas? Mungkin angka


tersebut memiliki arti tertentu kan? Yuk kita lihat satu persatu.

Angka 8,6 juta orang adalah jumlah pasien baru yang dinyatakan sakit TB hanya di
tahun 2012 saja (perlu ditekankan kalau ini yang dinyatakan sakit loh, bukan
sekedar ‘terinfeksi’). Angka 1,3 juta orang adalah jumlah korban meninggal akibat
TB dalam setahun. Sekali lagi, ini hanya di tahun 2012 saja lho.

Kalau Anda tidak terbayang, mari kita buat lebih sederhana. Masih ingat kasus
pesawat Malaysia Airlines MH-370 yang mengalami kecelakaan? Nah, jumlah
kematian di seluruh dunia akibat TB setiap harinya setara dengan lima
belas kecelakaan pesawat.

TB di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sebagai negara dengan populasi terbesar


keempat di dunia, ternyata Indonesia mendapat peringkat empat sebagai negara
dengan beban TB terbesar. Apakah kita harus malu atau berbangga dengan prestasi
tersebut? Ini sih tergantung dari mana kita melihatnya.
Coba kita analogi dengan hal yang lebih mudah dimengerti. Bayangkan ada sebuah
rumah yang memiliki banyak kecoa. Pemilik rumah tersebut meminta seorang ahli
hama untuk mendeteksi dan menyingkirkan kecoa tersebut dari rumahnya. Di
bulan tersebut, si ahli hama dan timnya yang terdiri dari 5 orang dapat menemukan
100 kecoa. Si ahli hama mengatakan bahwa tampaknya masih ada lebih banyak
kecoa lagi di rumah tersebut, tapi mereka mengalami keterbatasan dalam
mencarinya.

Setahun kemudian, pemilik rumah tersebut meminta bantuan ahli hama tersebut
untuk mendeteksi kecoa di rumahnya lagi. Kali ini, si ahli hama membawa timnya
yang terdiri dari 10 orang yang lebih terlatih dengan bantuan teknologi yang lebih
mutakhir, dan mereka bisa menemukan 500 kecoa.

Pertanyaannya: apakah penemuan 500 kecoa tersebut lebih baik daripada penemuan
100 kecoa di tahun sebelumnya?

Kalau kita mengamati kisah tersebut, kita bisa menjawab dengan cukup yakin: ya!
Artinya, di rumah tersebut memang sudah ada banyak kecoa. Hanya saja, di tahun
kedua si ahli hama ini sudah lebih ahli menemukannya. Jadi, penemuan 500 kecoa
itu bukan berarti karena kecoa berkembang biak menjadi lima kali lipat lebih banyak,
tapi justru karena mereka bisa menemukan secara lima kali lebih efektif!

Kemampuan si ahli hama untuk menemukan kecoa ini bisa kita sebut sebagai case
detection rate (CDR) alias angka penemuan kasus. Semakin tinggi CDR suatu negara,
akan semakin baik.

Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Kini kita tidak hanya melihat jumlah kasus dalam
angka, tapi kita memantau seberapa baik kemampuan kita dalam menemukan kasus
TB. Kita patut berbangga, karena ternyata Indonesia adalah negara pertama di antara
negara-negara beban tinggi TB di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai
target penemuan kasus dan penanganan kasus sampai sembuh loh!

Sebagai informasi, angka deteksi kasus di negara kita sebesar 78% loh. Di sisi lain,
negara kita berhasil menyembuhkan sampai dengan 90% kasus yang terdeteksi,
sehingga negara kita bisa menjadi contoh negara yang berhasil memerangi
tuberkulosis!

Melek TB sekarang!

Sayangnya, penemuan kasus TB tidak semudah itu. Pasien TB tidak memiliki kertas
yang menempel di jidatnya ‘Saya TB BTA positif loh’. Pada kenyataannya, banyak
orang tidak menyadari dia terinfeksi TB sampai dirinya menjadi sakit karena TB.
Nyatanya, banyak pasien yang datang berobat dalam kondisi sakit berat karena
ketidaktahuannya.

Lebih memprihatinkannya lagi, sebagian besar orang yang terinfeksi atau sakit TB ini
berada dalam usia produktif. Orang yang terinfeksi TB ini akhirnya menjadi sumber
masalah lagi: di satu sisi mereka bisa menjadi kesulitan bekerja karena penyakitnya
dan di sisi lain mereka berpotensi untuk menularkan ke 10 hingga 15 orang lain
setiap tahunnya.

Kalau informasi tersebut belum cukup membuat pilu, ingat bahwa mereka yang sakit
dan menularkan kuman TB ke orang lain tersebut bahkan mungkin tidak menyadari
dirinya sakit. Orang-orang ini ada di sekeliling Anda. Inilah mengapa artikel yang
Anda baca ini mengambil judul ‘setiap hari, Anda bertemu dengan pasien TB lho!’

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Jawabanya adalah deteksi dini. Jika memang ketidaktahuan adalah salah satu sumber
masalah tersebut, maka jalan keluarnya adalah kita harus mau mencari tahu.
Untungnya, gejala TB ini mudah untuk dimengerti dan dideteksi. Anda tidak perlu
menjadi seorang profesor di bidang infeksi tropis untuk mengenalinya gejalanya:

 batuk selama lebih dari 3 minggu, apalagi sampai mengeluarkan dahak


bercampur darah
 menghilangnya nafsu makan
 penurunan berat badan
 keringat malam
 demam lama
Dalam satu hari kita mungkin bertemu dengan ratusan orang. Tentu saja tidak
mungkin kita menanyakan mereka satu-persatu gejala di atas. Selain tidak efektif,
hal itu akan membuat kita tampak seperti orang mencurigakan. Salah-salah, kita
bisa dituduh menjadi tukang tipu atau komplotan copet.

Setidaknya kita bisa mulai dari orang-orang terdekat kita: teman-teman, rekan kerja,
keluarga, dan orang-orang terdekat yang kita cintai. Apabila ada dari mereka yang
menunjukkan gejala di atas, ajak mereka diskusi. Kemudian, sarankan untuk
berkonsultasi dengan dokter. Nantinya dokter akan melakukan serangkaian
pemeriksaan untuk mencari tahu apakah benar terdapat orang tersebut terinfeksi
kuman TB.

Kalaupun pada akhirnya orang tersebut memang terbukti terjangkit dengan TB, ini
bukanlah akhir dunia bagi mereka. TB bisa disembuhkan. TB sangat bisa
disembuhkan. Ingat, di Indonesia angka kesembuhan untuk TB mencapai 90%,
asalkan si pasien mau minum obat sampai tuntas. Untuk mencapai hal ini, mungkin
diperlukan adanya pengawas minum obat untuk memastikan pasien meminum
obatnya secara teratur.
Untuk menutup artikel ini, penulis memiliki kabar buruk dan kabar baik untuk Anda.
Kabar buruknya, saat ini pun Anda mungkin terinfeksi TB tanpa Anda ketahui. Kabar
baiknya, banyak orang terinfeksi TB tanpa pernah mengalami gejala TB atau sakit
TB seumur hidupnya. Maka, Anda tidak perlu panik. Yang penting tetap jaga
kesehatan dan waspada dengan gejala di atas. Pada orang yang bisa menjalani pola
hidup sehat dengan baik, risiko untuk mengalami sakit TB akan jauh berkurang.

Artikel mengenai pemeriksaan yang dilakukan, obat yang diminum, pengawas


minum obat, dan lainnya akan kita bahas di seri selanjutnya. Tunggu ya.

Catatan penulis:

Oh iya, mengenai kuis di atas. Jawabannya adalah ‘tidak bisa ditentukan’, karena
siapapun bisa terkena TB. Baik orang tersebut tua atau muda, laki-laki atau
perempuan, supermodel atau tukang sapu, gemuk atau kurus, perokok berat atau
dokter, semua bisa terkena. Sebagai dokter, penulis mengenal beberapa rekannya
sesama dokter yang mengidap TB dan sudah menjalani pengobatan sampai sembuh.
Saat ini pun ada seorang pemuda, sahabat karibnya yang sering berolahraga
bersama, diketahui memulai pengobatan TB memasuki bulan ketiga.
SEMBUHKAN TB, KEMBALIKAN
SENYUM MEREKA!
Anda hanya punya satu jalan akhir: kematian

Selamat datang di kota ini.

Kondisi pasien TB di masa lalu, La Miseria karya Cristóbal Rojas (1886). Sumber
gambar dari sini.

Di hadapan Anda adalah seseorang yang memiliki penyakit infeksi pada parunya. Dia
mengalami batuk disertai darah selama bertahun-tahun. Keluarganya telah
membawanya ke semua ahli pengobatan di daerah tersebut, tetapi semuanya angkat
tangan.

“Penyebabnya adalah bakteri yang sangat berbahaya,” kata dokter terakhir yang
mencoba menanganinya. “Saya belum pernah bertemu dengan kasus seburuk ini.”

“Apapun akan kami berikan asal dokter bisa mengobatinya,” ucap anak
mereka. Keluarganya tak bisa menahan isak tangis yang memilukan

“Maaf sekali,” dokter tersebut menggeleng kepalanya. “Penyakit ini tidak bisa
disembuhkan. Tidak ada seorang pun yang pernah berhasil disembuhkan dari
penyakit berbahaya ini.”

Semakin hari keadaan si pasien semakin melemah. Keluarganya hanya mendapatkan


informasi bahwa kondisi ayah tercinta di keluarga mereka tersebut diakibatkan
sebuah kuman bernama Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut berukuran
kecil. Sangat kecil. Mata manusia tidak akan sanggup mengidentifikasi keberadaan
kuman tersebut.

Namun, kuman kecil tersebut telah menumbangkan ayah mereka. Ayah mereka
adalah seorang pekerja yang tangguh dan gigih dalam bekerja. Tanyakan kepada
anak-anaknya, mereka akan mengatakan bahwa ayah mereka sangat gagah. Tapi,
kini mereka harus menerima kenyataannya: sang ayah telah kalah oleh bakteri kecil
yang tidak bisa disembuhkan.

Buka Mata: TB tidak bisa disembuhkan?

Cerita di atas hanya rekaan penulis saja. Tapi, percayakah Anda bahwa kondisi
serupa di atas benar-benar mungkin terjadi? Benarkah kuman TB yang kecil tersebut
tidak bisa disembuhkan, dan siapapun yang terkena kuman tersebut akan
mengalami penderitaan dan kematian yang memilukan?

Jawabnya adalah ya, jika Anda hidup di abad ke-19. Pada masa itu, perkembangan
dunia kedokteran belum sepesat sekarang baik dalam hal deteksi penyakit maupun
dalam pengobatan. Akibatnya, pengetahuan akan TB pun sangat minim dan penyakit
ini dianggap sangat mematikan dan berbahaya.

Hah? Abad ke-19? Memang sudah sejak kapan sih kuman TB itu
ada?

Sampai sekarang, belum diketahui pasti sejak kapan TB pertama kali muncul di muka
bumi. Tapi, bukti-bukti arkeologi memperkirakan bahwa kuman TB sudah ada sejak
sekitar 15.000 hingga 20.000 tahun lalu. Kuman TB ini bahkan ditemukan pada
tulang mumi dari Mesir. Tua banget ya?

Kuman Mycobacterium tuberculosis berwarna merah muda. Sumber gambar dari sini.
Walau sudah ada sejak lama, tapi periode terburuk TB di dunia adalah pada sekitar
abad ke-18 di Eropa Barat. Pada saat itu. TB menyebabkan kematian sampai dengan
900 kematian per 100.000 jiwa. Kalau mau disederhanakan, artinya di jaman itu
setiap 110 orang, satu orang di antaranya meninggal karena TB! Selain karena
pengetahuan yang masih buruk akan penyakit tersebut, hal ini diperparah dengan
padatnya dan buruknya kondisi perumahan pada masa itu, disertai dengan buruknya
kebersihan dan kekurangan gizi. Pada saat itu, penyakit ini dikenal dengan ‘wabah
putih’ atau ‘white plague‘ karena orang yang mengidap TB akan menjadi pucat.

Perlahan-lahan, pengetahuan seputar kuman TB ini mulai tersingkap. Bayangkan,


awalnya ada sebuah penyakit yang menggerogoti kesehatan tubuh yang tidak pernah
diketahui sebabnya, lalu akhirnya ada ilmuwan yang berhasil menemukan biang
keladi masalah tersebut. Ilmuwan tersebut adalah Robert Koch, yang berhasil
menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882, lebih dari seratus
tahun silam!

Robert Koch.

Atas perannya dalam meneliti kuman TB ini, beliau mendapatkan hadiah Nobel untuk
bidang kesehatan pada tahun 1905. Dua puluh tahun lebih berkarya dan mendapat
hadiah Nobel, sebuah dedikasi yang luar biasa. Salut untuk Robert Koch!

Gimana riwayat pengobatan TB?

Setelah penyakit ini dimengerti, banyak peneliti yang berlomba untuk


menyembuhkan TB. Kuman yang satu ini bisa dibilang memang bandel luar biasa,
sangat sulit diatasi dan mudah menular di kondisi padat. Berkaca dari sini, orang-
orang mulai membuat tempat isolasi yang disebut sanatorium, di mana pasien yang
dicurigai mengidap TB akan dipisahkan dalam tempat yang lebih segar dalam
ruangan terbuka. Selain agar penderitanya memiliki tempat yang lebih nyaman, hal
ini juga untuk mencegah penularan TB ke anggota keluarga lain.
Salah satu sanatorium tuberkulosis tahun 1900-an dalam gambar kartu pos. Sumber
gambar dari sini.

Sanatorium saja ternyata tidak cukup untuk menyembuhkan pasien. Walaupun sudah
diketahui bahwa penyebabnya adalah bakteri, tetap saja antibiotika di masa tersebut
tidak mampu menyembuhkan TB. Ketika akhirnya obat yang diberi nama
streptomisin ditemukan pada tahun 1944, maka masyarakat dunia melihat adanya
masa depan yang cerah. Pasalnya, streptomisin ini adalah obat antibiotika pertama
dan satu-satunya yang efektif terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis di masa
itu. Pesannya jelas: kuman TB bisa dikalahkan!

Obat ini masih banyak mengalami hambatan, karena ternyata tidak semua
pasien TB mengalami kesembuhan hanya dengan Streptomisin saja.
Pengobatan TB masih terus dikembangkan dan akhirnya pada tahun 1952 ditemukan
adik-nya Streptomisin, yang diberi nama Isoniazid (INH). Selanjutnya, muncul lagi
adik kecil lain bernama Rifampisin. Kombinasi penggunaan obat ini menjadi era
modern pengobatan TB di muka bumi.

Apakah hasilnya sukses?


Pada tahun 1980-an, penderita TB berkurang drastis. Pada titik ini, kita sudah
berhasil memberikan perlawanan pada Mycobacterium tuberculosis, si kuman kecil
yang bandel. Salut untuk para peneliti yang berjuang memerangi kuman ini!
Selmean Waksman dan Albert Schatz, keduanya penemu Streptomisin yang
membuka jalan bagi pengobatan TB modern. Sumber gambar dari sini

Melek TB sekarang: Kenapa masih banyak kasus TB di


Indonesia?

Kisah perjuangan para ilmuwan di atas tentu membuat kita tercengang. Kita telah
berhasil membalikkan keadaan dari kondisi tidak berdaya melawan kuman TB hingga
berhasil menyembuhkan TB. Pertanyaannya: kalau begitu, mengapa masih ada TB?
Mengapa kuman tersebut tidak bisa dihilangkan sepenuhnya?

Kekebalan terhadap obat, itulah jawabannya.

Bahkan sejak awal obat TB dikembangkan, para peneliti mulai menemukan bahwa
kuman Mycobacterium tuberculosis ini sangat mudah mengembangkan kekebalan
terhadap obat yang membunuhnya. Kekebalan ini lebih cepat muncul apabila obat
diberikan dalam dosis yang kurang adekuat atau apabila obat diminum dalam waktu
singkat. Itulah alasan mengapa obat TB harus diminum sesuai dengan dosisnya dan
dalam waktu yang sudah ditentukan yaitu minimal enam bulan.

Hal ini dialami semua negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia sendiri. Hal ini
bukan asumsi semata, tapi berdasarkan data. Ya, beban TB di Indonesia masih
tinggi. Penyebabnya pun bisa dibilang multifaktorial, mulai dari pengobatan yang
tidak tuntas, mudahnya penularan di daerah yang padat penduduk, dan terutama
justru adalah ketidaktahuan masyarakat bahwa dirinya menderita TB. Maka dari
itu, deteksi dini merupakan salah satu pilar utama yang sangat penting dalam
pencegahan TB.
Daerah kumuh di Indonesia yang menjadi tempat paling mudah untuk penularan TB.
Gambar dari sini

Penyakit tuberkulosis yang kebal dengan obat antimikroba isoniazid dan rifampicin
dikenal dengan nama MDR-TB (Multi Drug Resistent). Pasien yang sudah mengalami
MDR-TB ini sudah tidak mempan diberikan obat standar TB sehingga harus
menggunakan obat golongan lain dan memerlukan waktu pengobatan yang lebih
lama. Berikut ini adalah data sederhana kasus MDR TB di dunia:
Gambaran MDR-TB alias TB yang sudah kebal dengan obat-obatan antibiotika. Data
menunjukkan bahwa hampir seluruh dunia sudah terpapar dengan kuman TB yang
kebal terhadap pengobatan, terutama di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Data
dari WHO

Jadi, apakah TB bisa disembuhkan?


Ya. TB bisa disembuhkan. TB sangat bisa disembuhkan.

Apakah ada syaratnya?


Ya. Obat TB harus diminum sesuai dosis dan dalam waktu yang sudah ditentukan.
Apabila obat TB diminum secara asal-asalan, maka sama saja dengan memberi
kesempatan bagi kuman Mycobacterium tuberculosis untuk menjadi kebal terhadap
obat! Bahayanya, kalau kuman tersebut sudah keburu kebal maka pengobatannya
akan jauh makin rumit!

Jadi, TB bisa sembuh?

Konon, satu gambar mengisahkan seribu kata. Di bawah ini adalah gambaran pasien
dengan TBsebelum dan sesudah pengobatan yang akan mengisahkan banyak hal
bagi Anda sekalian

Salah seorang pasien TB bernama Joseph yang senyumnya kembali setelah


pengobatan TB. Sumber gambar dari sini
Suchitra Lakra, salah satu pasien TB yang senyumnya berhasil dikembalikan.

Noorjadi, pasien TB lain yang senyumnya berhasil dikembalikan. Kedua gambar di


atas dari sini

Entah sudah berapa juta orang yang direnggut senyumnya oleh


kuman Mycobacterium tuberculosis ini. Perlahan, kita bisa berjuang untuk
mengembalikan senyum mereka satu persatu. Temukan kasus di sekeliling Anda,
ajak mereka untuk berobat, dukung mereka. Inilah saatnya kita bersuara bersama:

Sembuhkan TB, Kembalikan


Senyum Mereka!

Anda mungkin juga menyukai