Naskah Publikasi PDF
Naskah Publikasi PDF
NASKAH PUBLIKASI
DiajukanKepada:
Oleh:
IKMAL FAHAD
NIM : O 000080013
In this study the title "Thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ about asmÉ’ and
ÎifÉt Allah " is raised. The purpose of this research is to get a clearer of the
descriptive in thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite about asmÉ’ and
ÎifÉt Allah . It can get distinguishes the background and thinking both in terms
of faith in general and specifically in asmÉ’ thing and Allah‟s ÎifÉt.
Bani Israil. Nabi menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:
golongan”. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Dan sesungguhnya agama ini
akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan
lafal: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan
Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi
yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan
„UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman.
Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ mulai
dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij kemudian firqah SyÊ‟ah dan diikuti oleh
yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku
dan gigitlah ia dengan gigi geraham”. Ibnu Abbas juga meriwayatkan sabda
Nabi : “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian
tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya:
merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang
dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:
hawa nafsu yang mendorong manusia untuk menyimpang dari kebenaran dan
kebidahan dan perselisihan, 3) sikap melampaui batas (al-ghuluw dan al-ifrÉÏ), hal
ini adalah sebab yang mendorong terjadinya iftirÉq dalam Islam, 4) ta’wÊl
terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil, 5) menjadikan akal sebagai tolok ukur
futËÍÉt islÉmiyah, hal ini menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran dari luar
Islam, 2) banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih
penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani (ilmu kalÉm), serta
misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam.
Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) makar dan tipu daya
dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma’ruf nahi munkar.
pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari
seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis, dan Mu‟tazilah.
Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke
dalam Islam. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi
sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak
dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.
Mu‟tazilah untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi
pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟,
yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah dan mereka berkeyakinan bahwa Allah
tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka
Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm
Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi
dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hużail al-„AllÉf, al-
antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang
terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak
mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui
dengan sifat-Nya.
dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang
mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya
kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada
hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah yang ia anggap sesuai dengan akal
sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr al-
MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ
terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah dan iapun menentang
bagi Allah selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah
menjadi 20 sifat bagi Allah . Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi
dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ
keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya adalah keliru
dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam AÍmad bin
Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asmÉ’ dan ÎifÉt karena pada sisi
Ibnu KatsÊr (w. 774 H) berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh
tujuh ÎifÉt aqliyyah, yaitu; HayÉt, ’Ilmu, Qudrah, IrÉdah, Sama’, BaÎar, dan
KalÉm, dan beliau menakwil ÎifÉt khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak
kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga, menetapkan semua Îifat Allah tanpa
takyÊf dan tasybÊh sesuai manhaj para salaf, inilah jalan yang ia pilih dalam
Abu al-×asan al-Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan
agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami dan sunah
Nabi kami dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam
hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang
diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah
waljamaah atau AÎhÉb al-HadÊts, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di
sebelum ia kembali kepada manhaj yang Íaq, hingga kini masih bergulir dan
digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7
prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan
kalÉm tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam dan menjadi mazhab
kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka
adalah golongan yang berada di atas kebenaran (Íaq) dan mereka adalah
mazhab SyÉfi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga
Apa yang telah dipaparkan dengan singkat diatas adalah pendorong utama
bagi penulis untuk mencoba meneliti dan mendalami pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt
pemikiran mereka tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah telah tersebar di tengah umat
Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut adalah akhir dari pemikiran Abu al-
Nama lengkap beliau adalah Abu al-×asan „AlÊ bin IsmÉ‟Êl bin Abi Bisyr
IsÍÉq bin SÉlim bin IsmÉ‟Êl bin „Abdullah bin MËsÉ bin BilÉl bin Abi Burdah bin
Abi MËsÉ „Abdullah bin Qais bin ×aÌar al-Asy‟arÊ al-YamanÊ . Ia dilahirkan di
kota BaÎrah, Iraq pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H.
sehingga zuhud dan warÉ‟ adalah dua sifat yang menonjol darinya. Aktifitas
mencari ilmu. Di antara gurunya yang terpenting adalah ayah tirinya, Abu „AlÊ
MuÍammad bin „Abd al-Wahhab al-JubÉ‟Ê al-Mu‟tazÊlÊ dan Zakariya bin YaÍyÉ
mempelajari mazhab Salaf khususnya dalam masalah Îifat Allah . Dan di antara
MuÍammad bin Ya‟qËb dan Abu al-×asan al-BÉhilÊ (keduanya adalah guru al-
menyibukkan diri dengan menulis banyak karya ilmiah pada setiap disiplin ilmu
yang ia kuasai. Karya beliau mencapai 98 judul, yang tercetak dan tersebar di
tengah kaum muslim tidak lebih dari empat buah judul yaitu; 1) Al-Luma’ fÊ al-
DiyÉnah, kitab ini adalah kitab yang penting yang di dalamnya ia menerangkan
apa yang menjadi akidah yang ia pegangi di akhir perjalanan hidup beliau.
dikarenakan sejak kecil sampai usia beliau empat puluh tahun berada dalam
didikan bapak tirinya, Abu „AlÊ MuÍammad bin „Abd al-WahhÉb al-JubÉ‟Ê al-
nya. Adapun sebab keluarnya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dari Mu‟tazilah ada dua
sebab asasi sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu „AsÉkir; Pertama, Beliau
Asy‟arÊ dengan para gurunya dari kalangan Mu‟tazilah, akan tetapi ia tidak
dibawa oleh Abu MuÍammad „Abdullah bin Sa‟Êd bin KullÉb al-BaÎrÊ. Pada fase
kedua ini, ia hanya menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah/ lÉzimah yang bersifat azali
(melihat). Pendapat ini berasal dari pendapat Ibnu KullÉb, hal ini sebagaimana
diakui sendiri oleh al-Asy‟arÊ dalam MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, Jilid II, h. 546.
Adapun sikapnya terhadap Îifat ikhtiyÉriyah dan ÎifÉt khabariyah bagi Allah
ada lima fakta yang membuktikannya, yaitu; 1) persaksian ulama ahlu taÍqÊq
terdahulu sampai sekarang atasnya, 2) perjumpaan Beliau Dengan al-HÉfiÐ
Zakaria al-SÉjÊ yang mana ia mengambil uÎËl Ahlusunah dan Hadis darinya
hadis dan fikih yang merupakan sahabat imam AÍmad bin ×anbal, 3) penulisan
kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah yang merupakan karya terakhir al-Asy‟arÊ
dan di dalamnya berisi persaksian atas iktikad akhir yang ia yakini yaitu iktikad
kepada imam AÍmad bin ×anbal, 4) perbedaan yang sangat jelas dalam hal
metode bayÉnÊ dan burhÉnÊ pada fase kedua dan fase ketiga iktikad al-Asy‟arÊ.
Perbedaan yang paling menonjol adalah dalam metode istidlÉl, pada kitab al-
KullÉb dan menetapkan sifat lÉzimah bagi Allah serta mengingkari ÎifÉt
ikhtiyÉriah-Nya. Hal serupa tidak terjadi pada kitab RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr,
iktikad imam AÍmad bin ×anbal sebagaimana termaktub dalam dua karyanya;
DiyÉnah.
Penisbatan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah kepada al-Asy‟arÊ adalah suatu
sanggahan atas pengingkaran tersebut. Di antara mereka adalah Ibnu NÉdim (w.
385 H), seorang muarrikh yang paling dekat masa hidupnya dengan al-Asy‟arÊ.
antaranya kitab al–TabyÊn ‘an UÎËl al-DÊn (judul ini semakna dengan al-IbÉnah
’an UÎËli al-DiyÉnah). Hal serupa juga dipersaksikan oleh Ibnu „AsÉkir, ia
Ibnu Darbas (w. 659 H) mengarang kitab yang ia beri judul al-Żabbu ‘an
“Ketahuilah bahwa kitab al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah adalah karya imam al-
sesuai dengan isi kitab tersebut maka beliau berlepas diri darinya”. Kemudian
ditetapkan oleh mayoritas ulama ahli taÍqÊq terdahulu maupun sekarang. Di antara
mereka adalah: Ibnu Taimiyah, al-ŻahabÊ, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu KatsÊr,
Ibnu FarÍun al-MÉliki, JalÉlu al-DÊn al-SuyËÏÊ, Ibnu al-„ImÉd, Sayyid al-MurtaÌÉ
al-ZabÊdÊ, al-HÉfiÐ al-×akamÊ, ×ammÉd al-AnÎÉrÊ, Dr. Fauqiyah ×usain, Dr.
NÉÎir bin „Abd al-KarÊm al-„Aql, dan Dr. ØÉlih Muqbil al-„UÎaimÊ. Kiranya uraian
kepada al-Asy‟arÊ dan semua pendapat yang disandarkan kepadanya yang tidak
sesuai dengan isi kitab al-IbÉnah, maka beliau berlepas diri darinya.
dan ÎifÉt Allah dibangun di atas pengagungan terhadap nas-nas Alquran dan
melakukan ta’ÏÊl, taÍrÊf, tamtsÊl, takyÊf, tafwÊÌ, atau ilÍÉd. Mereka meyakini
bahwa nas-nas ÎifÉt merupakan wahyu dari Allah yang tidak dapat diketahui
kaifiyat-nya dengan akal yang lemah serta boleh jadi tersisipi dalam batin-batin
mereka suatu keburukan sehingga menyeret mereka untuk berbicara atas Allah
pada apa yang tidak mereka ilmui. Mereka mendahulukan sikap ta'ÐÊm dan taslÊm
terhadap semua berita yang datang dari Allah dan Rasul-Nya , termasuk
dalam memahami asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Secara ringkas, mereka menetapkan
asmÉ’ dan ÎifÉt berdasarkan Alquran dan sunah, dengan tidak melakukan ta’ÏÊl,
taÍrÊf, ta’wÊl, tamtsÊl, takyÊf, atau ilÍÉd, menafikan semua asmÉ’ dan ÎifÉt yang
Allah nafikan dari Diri-Nya dalam Alquran dan sunah, dan menyikapi asmÉ’
dan ÎifÉt Allah yang diperselisihkan oleh umat Islam karena tidak ada nas yang
bersifat itsbÉt ataupun nafyu dengan tawaqquf, tidak menetapkan dan tidak
menolaknya.
Pemikiran seorang tokoh dapat diketahui di antaranya melalui karya-
MuÎallÊn, dan al-IbÉnah ’an UÎËli al-DiyÉnah. Dalam menjelaskan akidah dan di
antaranya kajian tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah , al-Asy‟arÊ berjalan di atas
kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam masalah akidah, hanya saja penisbatan
mereka tidaklah secara adil karena penisbatan mereka kepada al-Asy‟arÊ tidaklah
tercermin melainkan pada fase kedua dari pemikiran al-Asy‟arÊ yaitu ketika ia
dengan KullÉbiyah. Sedangkan mereka yang menisbatkan diri kepada Abu al-
×asan al-Asy‟arÊ sebagaimana fase akhir pemikiran beliau yang tertuang dalam
karyanya yang akhir yaitu al-IbÉnah, maka tidaklah disebut dengan Asy‟ariyah
Ahlusunah waljamaah.
para tokoh mereka banyak memasukkan hal-hal baru dalam akidah yang mereka
ambil dari uÎËl Mu‟tazilah, sehingga terjadi banyak pergeseran antara qudamÉ’
atas naqal, 3) mengingkari ÐÉhir dari nas dan meyakini makna majas darinya,
bahkan mereka beranggapan bahwa mengambil makna lahir dari suatu nas adalah
salah satu sumber kekafiran. 4) pokok (uÎËl) akidah menurut Asy‟ariyah ada tiga,
yaitu sebagai berikut; pertama, yang hanya ditetapkan oleh akal saja dengan tanpa
melihat kepada naqal, seperti sebagian besar ÎifÉt Allah ; oleh sebab itu mereka
menyebut sifat tujuh yang mereka tetapkan dengan ÎifÉt ‘aqliyyah, kedua, yang
hanya ditetapkan oleh naqal saja yaitu yang terkait dengan perkara gaib (al-
ketiga, yang sumber penetapannya adalah akal dan naqal secara bersamaan –hal
ini masih diperselisihkan oleh mereka- seperti melihat Allah di surga, hal ini
ditetapkan akal sedangkan naqal adalah menguatkannya. Empat hal ini adalah
diketahui lebih jauh sisi distorsi antara akidah mereka dengan akidah al-Asy‟arÊ.
syar’iyyah, menurut mereka takdir datangnya dari Allah dan usaha (al-kasbu)
dari manusia, dan al-kasbu ini tidak ada pengaruhnya sama sekali. Oleh sebab itu,
menurut al-RÉzÊ, bahwa manusia adalah majbËr (dipaksa) dan mukhtÉr (diberi
mereka, jika ditetapkan adanya sebab di balik perbuatan Allah berarti Allah
sifat irÉdah. Padahal hikmah mengharuskan adanya irÉdah dan ilmu serta lebih
dari itu, 4) membatasi makna kalimat tauhid hanya pada tauhid rubËbiyyah, 5)
nubuwwÉt (kenabian) adalah kembali kepada masyÊ’ah murni, dan tidak ada yang
adalah karunia dari Allah (wahbiyyah), bukan sesuatu yang dapat diupayakan
mukalaf adalah melihat (naÐar) kepada ayat-ayat yang tegas dan bukti-bukti logis
(barÉhin ‘aqliyyah) yang jelas, sampai ia mengetahui dengan benar bahwa alam
semesta adalah baru (ÍudËts) demikian pula dirinya. Menurut mereka apabila
dengan jalan selain naÐar, maka hakikatnya ia adalah seorang muqallid, bahkan
menyatakan bahwa hal yang pertama yang wajib dikehui oleh seorang hamba
adalah pengenalan terhadap Allah (ma’rifatullah) terkait apa yang wajib, apa
yang boleh, dan apa yang mustahil bagi-Nya. Pengenalan yang mereka
maksudkan adalah pengenalan dengan jalan akal (naÐar ’aqlÊ) atas Allah .
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak
oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan
tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua
ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan
jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah seperti ÎifÉt al-
RÉfiÌah, Murji‟ah dan selainnya yang menyimpang dalam hal akidah secara
umum dan lebih khusus terkait dengan pemikiran asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Al-
Asy‟arÊ mematahkan argumentasi mereka dengan dalil-dalil naqli dan akli dengan
metode bayÉnÊ serta burhÉnÊ yang telah ia pelajari sebelumnya. Bahkan al-Asy‟arÊ
menegaskan bahwa siapa saja yang menyimpang dari al-Íaq maka termasuk
pelaku kebidahan (ahlu al-bida’), pengikut hawa nafsu (ahlu al-ahwÉ’), dan
adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya. Pendapat ini pada dasarnya sama dengan
pendapat Mu‟tazilah dari sisi kesamaan anggapan bahwa asmÉ’ Allah adalah
makhluk dan asmÉ’ Allah adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (al-
tasmiyyah) maka itu adalah makhluk. Tidak lain yang mereka maksudkan dari
kesesuaian mereka dengan Ahlusunah secara lahir namun dari sisi makna mereka
adalah pengenalan atas Allah (ma’rifatullah) terkait dengan apa yang wajib
ditetapkan atas-Nya, serta apa yang mustahil dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya
dengan mengenali dan mengimani ÎifÉt wajib yang berjumlah 20, mengenali 20
ÎifÉt yang mustahil bagi Allah yang merupakan kebalikannya, dan mengenali
Øifat wajib berjumlah 20, mereka membagi menjadi empat; Pertama, Øifat
Nafsiah yaitu WujËd (Ada). Kedua, ØifÉt Salbiyyah yaitu al-Qidam (Terdahulu),
Sedangkan ÎifÉt mustahil adalah ÎifÉt yang pasti tidak melekat pada Allah
dan wajib tidak adanya. Sifat ini merupakan kebalikan dari ÎifÉt wajib yang
juga berjumlah 20, yaitu al-‘Adam (Tidak Ada), al-HudËts (Baru), al-FanÉ’
naqal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah yang
terdapat dalam Alquran dan sunah, baik yang berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt
fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ.
Sedangkan selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau
diserahkan kepada Allah (tafwÊÌ). Hal ini adalah uÎËl yang disepakati oleh
adalah dengan menakwilkan ÎifÉt wajah dengan zat, dua tangan dengan kekuatan
dan kenikmatan, dua mata Allah dengan penglihatan dan pengawasan. Sedangkan
dengan turunnya rahmat-Nya atau para malaikat, dan lain-lain. Penakwilan ini
terdapat banyak perbedaan secara jelas antara pemikiran akidah Abu al-×asan al-
Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang secara tidak langsung membawa implikasi pada
perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan