Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

PENGURANGAN RESIKO DAN PENCEGAHAN PENYAKIT


PASCA BENCANA

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 5

1. LISDAYANTI
2. ANNISA DAMAYANTI
3. KIRANA AZIS
4. RISKA
5. DESY RATNA SARI
6. MUH. ALDY EKA SAPUTRA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS PATRIA ARTHA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulilllahi Rabbil Alamin. Puji dan syukur pada Allah SWT yang
Maha Esa atas ridho-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW kepada keluarga dan sahabatnya serta
seluruh umat yang senantiasa taat dalam menjalankan syariatnya. Akhirnya
kami dapat menyelesaikan makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan dosen mata kuliah Keperawatan Bencana.

Kami menyadari pada saat penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bimbingan dan bantuan dari segala pihak karena itu kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata kuliah Keperawatan Bencana
dan kepada teman-teman yang telah membantu sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Bila dalam penyampaian makalah ini ditemukan hal-hal yang tidak
berkenang bagi pembaca, dengan segala kerendahan hati kami mohon
dimaafkan yang setulusnya. Kritik dan saran dari pembaca sebagai koreksi
sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini kedepan. Semoga taufik,
hidayat, dan rahmat senantiasa menyertai kita semua menuju terciptanya
keridhohan Allah SWT.

Wassalamualaikum wr.wb
Makassar , Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang....................................................................................1
2. Rumusan Masalah..............................................................................3
3. Tujuan ...............................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana.................4
2. Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana.....................................11
3. Manajemen Penyakit Menular Spesifik.......................................13
4. Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana........20

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan........................................................................................29
2. Saran .................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bencana merupakan peristiwa yg terjadi secara mendadak atau
perlahan yang menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal
sehingga diperlukan tindakan darurat untuk menyelamatkan korban
manusia beserta lingkungannya. Bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat
menghambat pembangunan nasional.
Secara geografis Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan
terhadap bencana alam seperti gempa bumi, gelombang tsunami, letusan
gunung, dll, karena terletak pada titik pertemuan dari tiga lempengan besar
yaitu lempeng Eurasian, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia.
Selain itu, terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam
Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang‐
kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan
sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih aktif
tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah gunung api yang
masih di indikasikan sebagai gunung api aktif. Serta terdapat lebih dari
5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan
padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan
tanah longsor pada saat musim penghujan.
Selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana yang merupakan
sebuah rekor baru tertinggi dalam pencatatan kejadian bencana sejak tahun
2002. Sebagai perbandingan pada tahun 2016 (2.342 bencana), 2015
(1.732 bencana), 2014 (1.967 bencana), 2013 (1.674 bencana), 2012
(1.811). Dibandingkan dengan kejadian bencana tahun 2015 terjadi
peningkatan 35 persen.
Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat yang sebenarnya diawali oleh masalah
lumpuhnya pelayanan kesehatan, masalah ketersediaan air bersih, masalah
sanitasi lingkungan, penyakit menular dan stres/gangguan kejiwaan.
Dampak buruk akibat bencana antara lain: penyakit menular, kurangnya
air bersih, kesulitan makanan dan gangguan gizi serta gangguan kesehatan
mental. Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis bencananya.
Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat
perhatian besar, mengingat potensi munculnya Kejadian Luar Biasa
(KLB)/wabah penyakit menular. Pada umumnya penyakit menular timbul
satu minggu setelah bencana terjadi sebagai akibat banyaknya faktor risiko
yang memungkinkan terjadinya penularan pada saat dan atau pasca
bencana baik di pengungsian maupun pada masyarakat. Penyakit yang
paling utama adalah campak, diare, dan ISPA tetapi malaria, tifoid dan
tipus juga banyak ditemukan di beberapa wilayah.
Penyakit menular baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
malnutrisi dianggap sebagai penyebab utama kematian pada keadaan
darurat bencana. Persediaan pangan yang tidak mencukupi merupakan
awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam
jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan
kebutuhan gizi seseorang. Kaitan erat antara penyakit infeksi dengan
malnutrisi adalah masyarakat yang mengalami malnutrisi lebih rentan
terhadap infeksi sehingga tingkat keparahan penyakit dan kematiannya
lebih buruk.
Kompleksitas dari permasalahan penyakit menular pasca bencana
tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam
penanggulangannya yang harus segera diberikan baik saat terjadi dan
pasca bencana disertai pengungsian. Faktor-faktor yang meningkatkan
penularan penyakit berinteraksi sinergis sehingga meningkatkan angka
kejadian diare, ISPA, malaria dan campak. Peningkatan kesakitan dan
kematian ini dapat dihindari jika ada intervensi efektif. Pengungsian, air,
makanan dan sanitasi yang memadai berhubungan dengan manajeman
kasus yang efektif, imunisasi, pendidikan kesehatan, dan surveilans
penyakit sangat penting untuk dilakukan.
Oleh karenanya di dalam pencegahan penyakit menular pasca
bencana harus mempunyai suatu pemahaman permasalahan dan
penyelesaian secara menyeluruh. Cara berfikir dan bertindak tidak bisa
lagi secara sektoral, harus terkoordinir secara baik dengan lintas sektor dan
lintas program sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu
supaya tidak terjadi tumpang tindih.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang:
1. Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana?
2. Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana?
3. Manajemen Penyakit Menular Spesifik?
4. Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana?

C. TUJUAN
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Agar pembaca dapat mengetahui Konsep Dasar Manajemen
Penanggulangan Bencana.
2. Agar pembaca dapat mengetahui Permasalahan Kesehatan Pasca
Bencana.
3. Agar pembaca dapat mengetahui Manajemen Penyakit Menular
Spesifik.
4. Agar pembaca dapat mengetahui Manajemen Pencegahan Penyakit
Menular Pasca Bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana


Manajemen penanggulangan bencana adalah pengelolaan
penggunaan sumber daya yang ada untuk menghadapi ancaman bencana
dengan melakukan perencanaan, penyiapan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi di setiap tahap penanggulangan bencana yaitu pra, saat dan pasca
bencana. Pada manajemen penanggulangan bencana nyawa dan kesehatan
masyarakat merupakan masalah yang utama. Itulah yang menjadi pembeda
dengan sifat umum manajemen. Selain itu, waktu untuk bereaksi yang
sangat singkat disertai dengan risiko dan konsekuensi kesalahan atau
penundaan keputusan dapat berakibat fatal. Situasi dan kondisi yang tidak
pasti, informasi yang selalu berubah dan stres yang tinggi pada petugas
juga merupakan kekhasan manajemen penanggulangan bencana.
Pada dasarnya, upaya penanggulangan bencana meliputi tiga tahapan,
yakni tahap pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Setiap tahapan
tersebut dapat digambarkan dalam suatu siklus seperti berikut:

Gambar 1. Siklus Penanggulangan Bencana

1. Tahap pra bencana, terdiri atas situasi tidak terjadi bencana dengan
kegiatannya adalah pencegahan dan mitigasi; dan situasi potensi terjadi
bencana dengan kegiatannya adalah kesiapsiagaan.
a. Pencegahan dan mitigasi
Kegiatan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana
dan mengurangi risiko dampak bencana. Upaya yang dilakukan
antara lain:
1) Penyusunan kebijakan, peraturan perundangan,
pedoman dan standar;
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah
kesehatan
3) Pembuatan brosur/leaflet/poster
4) Analisis risiko bencana
5) Pembentukan tim penanggulangan bencana
6) Pelatihan dasar kebencanaan
7) Membangun sistem penanggulangan krisis kesehatan berbasi
masyarakat
b. Kesiapsiagaan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bencana yang dilakukan pada saat bencana mulai
teridentifikasi akan terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:
1) Penyusunan rencana kontijensi
2) Simulasi/ gladi/ pelatihan siaga
3) Penyiapan dukungan sumber daya
4) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi
2. Tahap saat bencana dengan kegiatannya adalah tanggap darurat dan
pemulihan darurat yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan.
Upaya yang dilakukan antara lain :
a. Penilaian cepat kesehatan (Rapid Health Assessment/ RHA)
b. Pertolongan pertama korban bencana alam dan evakuasi ke sarana
kesehatan
c. Pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan
d. Perlindungan terhadap kelompok risiko tinggi kesehatan
3. Tahap pasca bencana dengan kegiatannya adalah rehabilitasi dan
rekonstruksi. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi
daerah yang terkena bencana ke kondisi normal yang lebih baik.
Rekonstruksi bertujuan untuk membangun kembali sarana dan
prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna.
Upaya yang dilakukan antara lain :
1) Perbaikan lingkungan dan sanitasi
2) Perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan
3) Pemulihan psiko-sosial
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB:
2008) secara garis besar proses penyusunan/penulisan rencana
penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan dan pengkajian bencana.
2. Pengenalan kerentanan.
3. Analisi kemungkinan dampak bencana.
4. Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
5. Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
6. Alokasi tugas dan peran instansi.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa langkah pertama adalah pengenalan
bahaya/ ancaman bencana yang mengancam wilayah tersebut.Kemudian
bahaya / ancaman tersebut di buat daftar dan di disusun langkah-langkah /
kegiatan untuk penangulangannya.Sebagai prinsip dasar dalam melakukan
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana ini adalah menerapkan
paradigma pengelolaan risiko bencana secara holistik.Pada hakekatnya
bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan.
Pandangan ini memberikan arahan bahwa bencana harus dikelola secara
menyeluruh sejak sebelum, pada saat dan setelah kejadian bencana.
Dalam Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana, tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.
1. Tingkat Pusat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan
Lembaga Pemerintah Non-departemen setingkat menteri yang
memiliki fungsi perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengoordinasikan
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu dan menyeluruh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai tugas
sebagai berikut:
a. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara
adil dan setara;
b. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan;
c. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada
setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan; dan
h. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah.
Tugas dan kewenangan Kementerian Kesehatan adalah merumuskan
kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan
penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik dalam tahap
sebelum, saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat
melibatkan instansi terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah,
LSM, Lembaga Internasional, organisasi profesi maupun organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu Kementerian Kesehatan secara aktif membantu
mengkoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan oleh daerah
yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain.
2. Tingkat Daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat
daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. BPBD terdiri
dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan Unsur
Pelaksana Penanggulangan Bencana.
BPBD mempunyai fungsi :
a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif dan efisien.
b. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
BPBD mempunyai tugas :
a. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.
b. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan.
c. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana.
d. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
e. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya.
f. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana.
g. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
h. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
i. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai salah satu anggota
unsur pengarah penanggulangan bencana memiliki tanggung jawab dalam
penanganan kesehatan akibat bencana dibantu oleh unit teknis kesehatan
yang ada di lingkup provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan tugas
penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan dinas kesehatan
dikoordinasikan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
dengan surat keputusan.
Tugas dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, memberikan standar
dan arahan serta mengkoordinasikan kegiatan penanganan kesehatan
akibat bencana di wilayah kerjanya.
Bila terjadi suatu bencana di daerah yang harus melakukan penilaian
kesehatan secara cepat adalah tim yang terdiri atas Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota dan Puskesmas. Bilamana kejadian bencana
mengakibatkan masalah kesehatan yang tidak dapat ditanggulangi oleh
jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maka tim provinsi dan atau tim
pusat melakukan penilaian cepat masalah kesehatan.
Tim penilaian kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat terdiri atas
unsur medis, epidemiolog dan sanitarian yang memiliki kemampuan
analisis yang baik di bidangnya, memiliki motivasi dan loyalityas yang
tinggi serta dapat bekerja sama dengan daerah yang terkena bencana.

Gambar 2. Koordinasi Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan

Kementerian Kesehatan dalam hal ini membentuk 9 Pusat Penanganan


Krisis Kesehatan (PPK) Regional yang berperan untuk mempercepat dan
mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dimana masing-masing telah
dilengkapi dengan SDM kesehatan yang terlatih, sarana, bahan, obat dan
perlengkapan kesehatan lainnya.

Ga
mbar 3. Peta Lokasi PPK Regional
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga memiliki unit pelaksana teknis
(UPT) di daerah yakni Kantor Keehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai
Teknis Kesehatan Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL)
serta Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda).
KKP berperan dalam memfasilitasi penanganan keluar masuknya bantuan
sumber daya kesehatan melalui pelabuhan laut/udara dan daerah
perbatasan serta karantina kesehatan. BTKL berperan dalam penguatan
sistem kewaspadaan dini dan rujukan laboratorium.

B. Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana


Morbiditas yang terjadi pasca bencana oleh karena rusaknya kondisi
lingkungan, pelayanan kesehatan dan kepadatan pengungsian adalah
timbulnya penyakit baik penyakit infeksi maupun non infeksi. Penyakit
non infeksi yang timbul misalnya cedera fisik (patah tulang) dan penyakit
degeneratif (jantung, hipertensi, stroke). Sedangkan penyakit infeksi anatar
lain penyakit infeksi segera pasca trauma (luka, sepsis), penyakit menular
langsung dan penyakit menular tidak langsung (airborne, waterborne,
foodborne, vectorborne).
Faktor risiko pasca bencana antara lain :
1. Korban baik yang meninggal, luka maupun sakit
2. Pengungsi dengan risiko tinggi yakni balita, ibu hamil dan lanjut usia
3. Jumlah pengungsi dengan ruangan yang terbatas sehingga terjadi
kepadatan di tempat pengungsian yang rentan akan penularan penyakit
4. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular
5. Kerusakan lingkungan dan pencemaran yang bisa menjadi tempat
perindukan vektor
6. Keterbatasan air bersih baik secara kuantitas maupun kuantitas
7. Kesulitan makanan dan gangguan gizi
8. Ancaman kesehatan tertentu disebabkan ketiadaan immunitas
(Cakupan imunisasi yang rendah)
9. Kondisi pelayanan kesehatan yang terhenti karena rusaknya
infrastruktur
Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat
perhatian besar, mengingat potensi munculnya Kejadian Luar Biasa
(KLB)/wabah penyakit menular. Pada umumnya penyakit menular timbul
satu minggu setelah bencana terjadi sebagai akibat banyaknya faktor risiko
yang memungkinkan terjadinya penularan pada saat dan atau pasca
bencana. Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis
bencananya.

Tabel 1. Permasalahan Spesifik Bencana


Jenis Bencana Permasalahan Spesifik
Gempa bumi - Memerlukan evakuasi dan tindakan medis
segera
- Kesukaran akses dan mobilisasi

Erupsi gunung api - Debu vulkanik menyebabkan masalah


pernapasan dan mencemari sumber air
- Dapat terjadi kasus luka bakar
- Memerlukan evakuasi dan tindakan medis

Tsunami - Waktu evakuasi yang sangat singkat


- Memerlukan evakuasi dan tindakan medis
segera

Angin siklon tropis - Memerlukan evakuasi dan tindakan medis

Banjir - Dapat mengakibatkan masalah kesehatan


masyarakat
- Biasanya memerlukan evakuasi

Tanah longsor - Memerlukan evakuasi dan tindakan medis


segera
- Kadang terdapat kesulitan akses di lokasi

Tabel 2. Jenis Bencana dan Potensi Penyakit

Jenis Bencana Penyakit Menular Waterborne Foodborne


Langsung Disease Disease
Erupsi gunung api Sedang Sedang Sedang
Gempa bumi Sedang Sedang Sedang
Badai Sedang Tinggi Sedang
Banjir Sedang Tinggi Sedang
Gelombang panas Rendah Rendah Rendah

Tabel 3. Penyakit Menular Potensial Pasca Bencana

Langsung dan Waterborne Foodborne Vectorborne


airborne Disease Disease Disease
- ISPA/ - Diare, - Diare, - Malaria
Pneumonia disentri dan disentri dan - DBD
kolera kolera
- Scabies dan - Pes
- Leptospirosis - Hepatitis
infeksi jamur
- Conjunctivitis - Thypoid/
- TB paru parathypoid
- Hepatitis
- Campak - Dermatitis
- PMS/ HIV
- Thypoid/
parathypoid

Penyakit yang paling utama adalah campak, diare, dan ISPA tetapi malaria,
tifoid dan tipus juga banyak ditemukan di beberapa wilayah.

C. Manajemen Penyakit Menular Spesifik


Upaya kuratif (penanganan kasus) di pengungsian, surveilans
penyakit menular potensial wabah dan identifikasi faktor risiko penyakit
pasca bencana, preventif dan promotif dalam rangka meminimalkan faktor
risiko di lokasi bencana bertujuan untuk menekan peningkatan penyakit
menular sehingga dapat mencegah terjadinya KLB/ wabah serta menekan
angka kematian pasca bencana. Hal tersebut diperlukan karena jumlah
korban akan membutuhkan dana dan tenaga lebih ekstra dalam
pengendaliannya.
Tabel 4. Manajemen Penyakit Menular Spesifik
No. Penyakit Gejala Pengobatan Pencegahan Pengendalian

1. ISPA - Semua gejala pilek, - Pengobatan segera penyakit - Surveilans dan - Perbaikan ventilasi
batuk berat dan flu/batuk (parasetamol dan obat penyuluhan - Kontrol kepadatan
demam. flu) - Penyediaan fasilitas pengungsian
- Pneumonia: disertai nyeri - Pengobatan komplikasi sanitasi (air untuk - Kontrol asap hasil
dada dan diantara tulang pneumonia (contoh: trimochazole, mencuci tangan dan pemasakan
belikat penicillin, dan amphicillin) sabun)
- Pencegahan malnutrisi untuk
mempertahankan kekebalan
alami tubuh
- Jauhkan asap hasil
pemasakan dapur umum
terhadap
Pengungsian

2. Campak - Demam, bercak di mulut - Pengobatan dengan antibiotic - Penyediaan air yang saniter - Pemberian vaksinasi.
makopapuler, bercak (ampicillin, amoxicillin, dan co- untuk keperluan sanitasi Ring vaksinasi pada
kemerahan di kulit, mata trimoxazole) (mandi, cuci) sasaran di luar daerah
sensitif terhadap cahaya - Perawatan dan pencegahan buta - Penyediaan fasilitas KLB campak
senja dan otitis media sanitasi (air untuk - Pemberian vitamin A
- Penanganan diare dengan rehidrasi mencuci tangan dan (kapsul vitamin A) dan
sabun) supplementasi pada orang
- Pencegahan malnutrisi dewasa
untuk mempertahankan
kekebalan alami tubuh
3. Malaria - Demam tinggi - Pengobatan - Pemberantasan vektor - Meminimalisir tempat
menggigil, nyeri kemoprofilaksis penularan penyakit perindukan nyamuk
otot&tulang, sakit - Pemberian obat kloroquin - Penggunaan pelindung diri (pengelolaan lingkungan)
kepala, kadang muntah fosfat (aralen) (kelambu, tirai, kassa untuk - Indoor residual
dan diare - Supplementasi Fe, asam jendela/ventilasi) spraying
folat - Pengamatan vektor - Pemberian abate pada
secara berkala kolam yang menggenang

4. Diare - Feses cair (dengan/ tanpa - Pencegahan dan penanganan - Penyediaan air yang saniter - Klorinasi sumber air
darah dan lendir), BAB dehidrasi untuk keperluan sanitasi minum/air bersih
>3x/hari, dapat disertai - Pemberian makanan secara (mandi, cuci) - Penggunaan pengolahan air
demam dan nausea berkelanjutan (termasuk ASI) - Penyediaan air minum yang yang terstandarisasi (misal:
selama episode diare memenuhi standar kesehatan sistem filtrasi bertahap)
- Monitoring kondisi pasien - Penyediaan jamban yang - Pengemasan dan
- Pemberian obat diare (contoh: memenuhi standar minimal distribusi makanan
norit, kaplet obat diare) kesehatan untuk pencegahan segera
penularan penyakit - Jauhkan jarak dapur umum
dari toilet umum
5. Hepatitis - Anoreksia berat, mual, - Tidak ada perawatan spesifik - Perhatikan kebersihan - Vaksinasi untuk
muntah, dehidrasi, dan - Pastikan penderita banyak penjamah makanan hepatitis A
penurunan berat badan beristirahat - Penyediaan fasilitas - Klorinasi sumber air
selama beberapa - Perhatikan status gizi penderita sanitasi (air untuk minum/air bersih
minggu untuk membantu pemulihan mencuci tangan dan - Jauhkan jarak dapur umum
imunitas penderita sabun) dari toilet umum
6. Demam tifoid - Demam tinggi, kadang - Penderita dapat ditangani - Pemasakan makanan dengan - Kontrol kepadatan
delirium/gangguan dengan pemberian antibiotika memperhatikan implementasi pengungsian
kesadaran, nausea/rasa kloramfenikol atau tiamfenikol cara penanganan makanan - Klorinasi sumber air
penuh di lambung, - Penderita harus beristirahat total dengan benar minum/air bersih
konstipasi/diare untuk mencegah keparahan dan - Pencegahan malnutrisi untuk - Pengemasan dan
komplikasi penyakit mempertahankan kekebalan distribusi makanan
- Perawatan segera untuk penderita alami tubuh segera
yang sudah mengalami komplikasi - Pemisahan makanan mentah - Jauhkan jarak dapur umum
- (contoh: perforasiusus) dan masak dari toilet umum

7. Tuberkulosis - Lemah, batuk-batuk - Diagnosis dan pengobatan - Perbaikan ventilasi


dalam jangka waktu sesegera mungkin pada - Kontrol kepadatan
yang lama penderita pengungsian
- Pemeriksaan dahak - Vaksinasi BCG (biasanya
menunjukkan BTA pada bayi baru lahir, namun
(+) revaksinasi tidak dianjurkan)
Pemeriksaan kesehatan untuk
screening orang yang memiliki
kontak dengan penderita (terutama
pada anak dengan usia dibawah 6
tahun)
8. Infeksi cacing - Perut kembung, mual, - Pemberian dosis tunggal - Perhatikan kebersihan - Filtrasi sumber air bersih
muntah, sakit perut, dari antihelminthic penjamah makanan yang digunakan
nafsu makan menurun, (albendazole, levamisole, - Penyediaan fasilitas - Penggunaan APD alas
- Diare mebendazole, atau sanitasi (air untuk kaki
- Gatal di dubur pada pyrantel) mencuci tangan dan
malam hari sabun)
- Pemasakan makanan
- Infeksi ringan umumnya dengan memperhatikan
tanpa gejala implementasi cara
penanganan makanan dengan
benar
- Mencegah kontak langsung
dengan media penularan
seperti tanah, baju, dan
masakan mentah yang tidak
hygiene

9. Leptospirosis - Demam tinggi, sakit - Pengobatan dengan antibiotika - Penggunaan APD (sepatu - Pengendalian hewan
kepala, menggigil, nyeri baik oral/intravena seperti dan sarung tangan) pengerat (terutama tikus)
otot, mual, jaundice/ doxycycline/ penicillin pada terutama saat bencana dengan memasang
kulit kuning, mata awal infeksi banjir perangkap
merah, diare - Perbaikan lingkungan
(limbah dan sampah)
- Penyuluhan
10. Tetanus - demam, disfungsi - Perawatan luka dengan benar - Penyuluhan - Luka terbuka dalam
sistem syaraf, - Spesifik profilaksis setelah/ - Imunisasi tetanus tertusuk paku/ benda
berkeringat sebelum mendapat luka diberikan 2 kali tajam segera diberi Anti
- leher kaku Tetnus Serum
- kesulitan menelan interval minimal 1
bulan
- mengeluarkan air liur - PHBS
D. Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana
Pada situasi darurat terdapat sebuah kecenderungan untuk
membentuk sistem pelayanan kesehatan khusus yang tidak lagi dibuat
dalam skala lokal ataupun nasional. Pada beberapa tingkatan, hal ini
mungkin merupakan waktu yang tepat untuk mendapatkan dukungan dari
pihak luar tetapi biasanya akan menyulitkan di kemudian hari. Bala
bantuan dari pihak luar harus beradaptasi dengan prosedur dan standar
lokal. Penting bagi mereka untuk mengenal budaya lokal, pola penyakit
dan organisasi pelayanan kesehatan.
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan
yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
1. Tim Reaksi Cepat (TRC)
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam
setelah ada informasi kejadian bencana.
2. Tim Penilaian Cepat (Tim RHA)
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan TRC atau menyusul
dalam waktu kurang dari 24 jam yang bertugas melakukan penilaian
dampak bencana dan mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan
3. Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi
Cepat dan Tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka di
lapangan.
Kajian harus dilaksanakan secepatnya setelah bencana terjadi selain
merespon kebutuhan yang mendesak. Beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut pada pasca bencana
adalah :
a. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal,
sakit, cacat) dan ciri–ciri demografinya.
b. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan
swasta.
c. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
d. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
e. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita,
ibu hamil, bunifas dan manula)
f. Kemampuan dan sumberdaya setempat
Tabel 5. Koordinasi dan Pembagian Wewenang Pasca Bencana
No Tingkat Koordinator Institusi yang Institusi
Koordinasi dikoordinasi terkait

1. Kabupaten/ Dinas - Pustu BPBD


Kota Kesehatan - Puskesmas Kab/Kota
- Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota

2. Provinsi Dinas - Dinas BPBD


Kesehatan Kesehatan Provinsi
- Kabupaten/Kota
- RSU Provinsi

3. Nasional PPK - Ditjen PP&PL BNPB


- Ditjen Bina
Yanmedik,

- Ditjen Bina
Kesmas
- BPOM

Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam manajemen pencegahan


penyakit pasca bencana antara lain :
1. Koordinasi kesehatan di lapangan tetap berada pada Kepala Dinas
Kesehatan setempat
2. Bantuan dari manapun, dibawah kendali operasional Kadinkes
setempat, kecuali dinyatakan sebagai bencana nasional (contoh di
NAD pada th 2004).
3. Koordinasi di sektor kesehatan sangat diperlukan, banyak kelompok
keahlian / spesialis
4. Koordinator kesehatan dapat bekerjasama dengan koordinator sektor
lain untuk membahas isue-isue bersama
Konsep dasar koordinasi membutuhkan infornasi akan kebutuhan dan
mobilisasi sumber daya sehingga tercipta koordinasi yang efektif dan
efisien. Organisasi yang terlibat didalamnya selain BPBD, Dinkes,
puskesmas dan rumah sakit antara lain Bidang Dokkes TNI, PMI, SAR,
dinas perhubungan/ satuan polisi lalu lintas, dan pramuka.
Pelayanan kesehatan pada saat bencana bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah atau mengurangi kecacatan dengan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi kepentingan korban. Pemberian
pelayanan kesehatan pada kondisi bencana seringkali tidak memadai. Hal
ini terjadi akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah
dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan,
terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Bila kondisi tersebut
tidak segera ditangani dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk
akibat bencana tersebut.
Ruang lingkup pencegahan penyakit menular saat bencana adalah
pengendalian penyakit, pengendalian vektor, imunisasi, air bersih dan
sanitasi dasar, dan surveilans.
1. Pengendalian penyakit
Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit
(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan
kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian.
Baik yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada
maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka
penanggulangan bencana. Tujuan pengendalian penyakit pada saat
bencana adalah mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular
potensi wabah, seperti penyakit diare, ISPA, malaria, DBD, penyakit‐
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI), keracunan dan
mencegah penyakit‐penyakit yang spesifik lokal.
2. Pengendalian vektor
Saat terjadi bencana di sebuah wilayah maka masyarakat yang ada di
sana dibawa ke tempat pengungsian agar keselamatan mereka terjaga
dengan baik. Namun selama berada di lokasi pengungsian tersebut
masih ada masalah yang harus dihadapi oleh para pengungsi yaitu
mengenai adanya vektor di sekitarnya. Kebanyakan vektor yang
mengganggu para pengungsi adalah lalat, nyamuk dan tikus.
Pengendalian vektor penyakit menjadi prioritas dalam upaya
pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit
sangat besar. Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu
mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan
lingkungan, pengendalian dengan insektisida serta pengawasan
makanan dan minuman.
Kegiatan pengendalian vektor dapat berupa penyemprotan, biological
control, pemberantasan sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan.
Pengendalian vektor dilakukan dari cara yang paling sederhana
seperti perlindungan personal dan perbaikan rumah sampai pada
langkah‐langkah yang lebih kompleks yang membutuhkan partisipasi
dari para ahli pengendalian vektor.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam pengawasan dan
pengendalian vektor yaitu :
a. Pembuangan sampah atau sisa makanan dengan baik
b. Jika diperlukan maka bisa menggunakan insektisida
c. Tetap menjaga kebersihan individu selama berada dilokasi
pengungsian
d. Penyediaan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan
pembuangan sampah yang baik
e. Kebiasaan penanganan makanan secara higienis
3. Imunisasi
Dalam situasi bencana/di lokasi pengungsian, upaya imunisasi
harus dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya KLB PD3I
terutama campak. Sebelumnya perlu dilakukan penilaian cepat akan
dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat di lokasi bencana
(terutama para pengungsi, lingkungan, sarana imunisasi, dan SDM)
dan data cakupan imunisasi serta epidemiologi penyakit sebelum
bencana dalam 3 tahun terakhir untuk menentukan kebutuhan upaya
imunisasi dalam rangka pencegahan KLB PD3I.
Sasaran imunisasi adalah semua anak umur 9 – 59 bulan untuk
diberikan imunisasi campak tambahan terintegrasi dengan pemberian
vitamin A dan kelompok populasi berisiko tinggi perdasarkan hasil
penilaian cepat pasca bencana misalnya petugas kesehatan/
sukarelawan diberikan imunisasi TT.
Vaksin yang paling banyak digunakan dalam kondisi darurat adalah
vaksin campak, meningitis, polio, dan demam kuning. Imunisasi
campak sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada kondisi bencana
tanpa menunggu adanya kasus jika cakupan imunisasi kurang dari
90%. Polio bukan penyakit mematikan dalam kondisi darurat bencana
tetapi penyakit ini berhubungan dengan rendahnya sanitasi dan air
bersih.

4. Air bersih dan sanitasi dasar


Ketersediaan air berdih yang memadai oleh pengungsi digunakan
untuk memelihara kesehatannya karena tanpa adanya air bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya
penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya.
Standar minimum kebutuhan air bersih pengungsian pada awal
kejadian bencana adalah 5 liter/orang/hari yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan minimal seperti memasak, makan dan minum.
Selanjutnya ditingkkatkan sampai sekurang-kurangnya 15 – 20
liter/orang/hari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum,
masak, mandi dan mencuci.
Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban
bencana dan pengungsian, volume air bersih yang perlu disediakan di
Puskesmas atau rumah sakit adalah 50 liter/org/hari. Apabila air bersih
dan sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan
dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada tergenang air
sehingga tidak dapat digunakan, maka harus disediakan jamban mobile
atau jamban kolektif darurat dengan memanfaatkan drum atau bahan
lain. pembuatan jamban harus disesuaikan dengan kondisi sosial,
budaya, kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsi dengan
memperhatikan Jumlah pengungsi dan penyebarannya juga
ketersediaan material lokal.
Pengelolaan sampah di tempat penampungan pengungsi harus
mendapat perhatian dari semua pihak, mengingat risiko yang dapat
ditimbulkannya bilamana tidak dikelola dengan baik seperti
munculnya lalat, tikus, bau, serta dapat mencemari sumber/persediaan
air bersih yang ada. Dalam pengelolaan sampah di pengungsian, harus
dilakukan kerjasama antara pengungsi, dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kebersihan kabupaten/kota untuk proses
pengumpulan dan pengangkutan ke tempat pembuangan akhir sampah.

5. Surveilans
Pada tahapan pasca bencana surveilans lebih terfokus pada upaya
pemeliharaana atau rehabilitasi sosial beserta dampak seperti junlah
penyakit, faktor risiko yang berhubungan dengan status kesehatan
antara lain kualitas kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan,
dan permasalahan psiko-sosial lain sebagai data dasar perencanaan
untuk mengembangkan strategi pencegahan ke depan.
Surveilans penyakit dan faktor risiko pada umumnya merupakan
suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan
kesehatan di lokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan
kesehatan segera. Secara khusus, upaya tersebut ditujukan untuk:
a. Menyediakan informasi kematian dan kesakitan penyakit potensial
wabah yang terjadi di daerah bencana;
b. Mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan terjadinya
peningkatan jumlah penyakit yang berpotensi menimbulkan
KLB/wabah;
c. Mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu
penyakit tertentu;
d. Mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu
dan mengidentifikasi status gizi buruk dan sanitasi lingkungan.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah seperti melakukan pencegahan
terhadap penyakit potensi KLB dan penyakit menular, pencegahan
terjadinya trauma psikologis pasca bencana (traumatic stress), mengatasi
masalah pangan dan kesehatan lingkungan terutama di tempat
pengungsian. Langkah-langkah penyelidikan dan pengendalian awal dalam
surveilans menjadi tanggung jawabunit kesehatan setempat yang terkait
bencana (PAHO, 2000).
Proses kegiatan surveilans dilakukan mulai dari pos kesehatan di
lokasi pengungsian, puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten/
kota hingga dinas kesehatan provinsi. Hasil kajian analisis data dari proses
kegiatan surveilans tersebut adalah rekomendasi rencana kegiatan korektif
yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan.
Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan peningkatan
penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang akhirnya
menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana. Dalam
rekomendasi, hendaknya sudah dapat dipisahkan antara kegiatan yang
seharusnya dapat dilakukan daerah dan kegiatan yang perlu dibantu
provinsi maupun pusat. Hal ini bertujuan untuk memulihkan fungsi
kegiatan pelayanan kesehatan di daerah bencana serta mencegah
kemungkinan terjadinya bencana lanjutan yaitu KLB penyakit menular
akibat pengungsian.
Surveilans faktor risiko adalah surveilans yang dilakukan terhadap
kondisi lingkungan disekitar lokasi bencana, lokasi penampungan
pengungsi yang dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit pada para
pengungsi.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara menidentifikasi :
1. Cakupan pelayanan air bersih;
2. Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran;
3. Pengelolaan sampah;
4. Pengamanan makanan;
5. Kepadatan vektor;
6. Kebersihan lingkungan;
7. Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor
(genangan air, sumber pencemaran, dll)
Surveilans gizi merupakan kegiatan surveilans keadaan gizi korban
bencana khususnya kelompok risiko tinggi. Data yang dikumpulkan
adalah data antropometri yangmeliputi, berat badan, tinggi badan dan
umur untuk menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei dengan
metodologi surveilans atau survei cepat. Disamping itu diperlukan data
penunjang lainnya seperti diare, ISPA, Pneumonia, campak, malaria,
angka kematian kasar dan kematian balita. Data penunjang ini diperoleh
dari sumber terkait lainnya. Data ini digunakan untuk menentukan tingkat
kedaruratan gizi dan jenis intervensi yang diperlukan.
Prinsip utama tahapan pasca bencana adalah rehabilitasi dan
rekonstruksi. Waktunya tergantung dari tahapan tanggap darurat dan
selama bencana.
Tabel 6. Upaya Tahapan Pasca Bencana

Kegiatan pencegahan Pembuatan peta rawan bencana yang meliputi jenis


ancama (hazard) dan kerentanan masyarakat
(vulnerability). Kerentanan meliputi status kesehatan,
cakupan imunisasi, keadaan sarana prasarana, tenaga
kesehatan, dan pembiayaan kesehatan
Pengembangan peraturan standar pelayanan kesehatan
Penyebarluasan informasi masalah kesehatan yang
terjadi dan anjuran untuk petugas juga masyarakat

Kegiatan rehabiltasi Rehabilitasi sarana dan prasarana kesehatan inti


(bukan penggantian total atau pembangunan kembali)
rumah sakit, puskesmas, pustu, polindes, ambulans,
alat komunikasi, listrik, sarana air bersih, dll
Pelayanan pemulihan kesehatan korban atau
pengungsi meliuti rujukan gizi, air berish, kesehatan
lingkungan, pencegahan penyakit menular, Post
Traumatic Stress, dll Surveilans epidemiologi
Kegiatan rekonstruksi Pembangunan kembali sarana dan prasarana kesehatan
Meningkatkan kemampuan institusi kesehatan dalam
pelayanan kesehatan Meningkatkan dan memantapkan
rencana penanggulangan
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Konsep dasar manajemen penanggulangan bencana meliputi tahapan
pra bencana, saat bencana dan pasca bencana dimana setiap tahapan
mempunyai kegiatan dan tujuan tersendiri.
2. Permasalahan kesehatan pasca bencana antara lain morbiditas baik
penyakit infeksi maupun non infeksi dimana penyakit yang timbul
sangat bergantung dengan jenis bencananya.
3. Manajemen pencegahan penyakit menular spesifik pasca bencana
meliputi upaya kuratif (penanganan kasus), surveilans penyakit
menular potensial wabah dan identifikasi faktor risiko di lokasi
bencana, upaya promotif dan preventif dalam rangka meminimalkan
faktor risiko di lokasi bencana.
4. Manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana, lebih
ditekankan pada surveilans yang lebih terfokus pada upaya
pemeliharaan atau rehabilitasi sosial beserta dampak seperti jumlah
penyakit, faktor risiko yang berhubungan dengan status kesehatan
antara lain kualitas kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan,
dan permasalahan psiko-sosial lain sebagai data dasar perencanaan
untuk mengembangkan strategi pencegahan ke depan.

B. SARAN
1. Bagi pemerintah
Pemerintah dapat menganilisis tindakan pasca bencana yang tidak
berjalan dengan baik supaya dapat berjalan dengan baik dan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan dan menentukan indikator keberhasilan
dari tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi.
2. Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam penanggulanan


bencana yang terjadi agar meminimalisir masalah yang ditimbulkan
setelah bencana.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Rosiana. 2014. Pencegahan, Penanganan, dan Pengendalian untuk


Penyakit Menular pada Kejadian Bencana.
Anonim. http://www.alodokter.com/tetanus diakses 15 Desember 2019.
BNPB. 2015. Info Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
http://www.bnpb.go.id.

http://public-go- health.blogspot.co.id/2014/04/pencegahan-penanganan-dan-
pengendalian.html diakses 15 Desember 2019
http://www.cs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-
Pdf/manajemenepidbencana.pdf), diakses 15 Desember 2019

Manajemen Epidemiologi Bencana.2011. Pusat Data dan Surveilans


Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI.

Mandal et al. 2004. Penyakit Infeksi. Jakarta.

PAHO. 2000. Natural Disaster: Protecting the Public’s Health.

Purwana, R. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan dalam


Kejadian Bencana. Jakarta.

Pusat studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial. Pengelolaan Kesehatan Masyarakat


Dalam Kondisi Bencana. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai