Anda di halaman 1dari 6

PERNIKAHAN MENURUT UU

DISUSUN OLEH :

NUR MIR’ATUL GINAYA RAHMAN


XII MIA 3

SMA NEGERI 1 BULUKUMBA


Persyaratan Perkawinan menurut UU
UU Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) mengatur beberapa hal
yang menjadi syarat bagi pelaksanaan perkawinan. Adapun syarat-syarat perkawinan yang
dimaksud yaitu:
1. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu mempelai pria dan mempelai wanita
2. Adanya izin dari pihak-pihak tertentu untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum
mencapai usia 21 tahun, yaitu:
a. Orang tua atau salah satu orang tua dalam hal salah satunya telah meninggal dunia atau
tidak mampu menyatakan kehendaknya
b. Wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke atas (kakek-nenek);

Lebih lanjut mengenai syarat perkawinan menurut UU Perkawinan dapat dilihat dalam artikel
ini. Akan tetapi persyaratan tersebut di atas bukan hanya satu-satunya yang perlu diperhatikan.
Perkawinan hanya sah jika dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Jadi perlu diperhatikan keabsahan pernikahan menurut hukum agama dan
kepercayaan.

Syarat Sah Perkawinan Menurut Agama Islam


Terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan menurut jumhur ulama dalam Islam, antara lain:
1. Ijab dan Qabul Ijab
yaitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau wakilnya sebagai
penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan pengantin laki-laki
sebagai tanda penerimaan. Ijab dan Qabul dapat diucapkan dalam Bahasa Indonesia. Ijab dan
Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-hal
tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai
pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria.
2. Calon Mempelai
Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: calon suami beragama Islam; terang
bahwa calon suami itu betul laki-laki; orangnya diketahui dan tertentu; calon suami itu jelas
halal dikawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon istri; calon suami rela untuk
melakukan perkawinan itu; tidak sedang melakukan ihram; tidak mempunyai istri yang haram
dimadu dengan calon istri; dan tidak punya istri empat. Sementara persyaratan calon mempelai
perempuan adalah sebagai berikut: beragama Islam; terang bahwa ia wanita; wanita itu tentu
orangnya; halal bagi calon suami; wanita tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dan
tidak dalam masa iddah; tidak dipaksa; dan tidak sedang berihram.
3. Wali
Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan syarat yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya. Syarat wali adalah:
Islam; sudah baligh; berakal sehat; merdeka; laki-laki; adil; dan sedang tidak melakukan
ihram. Sementara urutan orang yang boleh menjadi wali adalah: Bapak; Kakek dari jalur
Bapak; Saudara laki-laki kandung; Saudara laki-laki tunggal bapak; Kemenakan laki-laki
(anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung); Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara
laki-laki bapak); Paman dari jalur bapak; Sepupu laki-laki anak paman; Hakim bila sudah tidak
ada wali–wali tersebut dari jalur nasab.
4. Saksi
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus
disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta
nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pernikahan secara sederhana atau secara
bermewah-mewahan tidak mengapa dari segi persyaratan pernikahan. Selama pernikahan
diselenggarakan menurut hukum negara dan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, maka tidak ada masalah.

Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, tujuan perkawinan adalah “Untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami,
isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan
yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban
kedua orang tua.
Bahagia adanya kerukunan dalam hubungan antara suami isteri dan anak-anak dalam rumah
tangga. Kebahagiaan yang dicapai bukanlah yang sifatnya sementara, tetapi kebahagiaan yang
kekal karenanya perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan yang kekal, yang dapat berakhir
dengan kematian salah satu pasangan dan tidak boleh diputuskan atau dibubarkan menurut
kehendak pihakpihak.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dijelaskan bahwa sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan
yang penting. Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi dalam membentuk
keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus dilangsungkan
menurut ajaran agama masing-masing sebagai pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada 6 asas yang prinsipil dalam Undang-undang Perkawinan ini:


1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 167 Mohd.
Idris Ramulyo, Hukum Perkawianan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Bumi Aksara, 2004. Hlm. 54-55.
Santoso 422 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan
2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-
tiap perkawinan “harus dicatat” menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila ia dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkan seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang.
4. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan, secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
kedudukan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit
terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri

Pasal – pasal tentang pernikahan


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
 BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka;
2. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.

 BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1)Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh
dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) ,(4)
pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam
Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai