Anda di halaman 1dari 4

Reinatta Amelia Utami

1706049062
Filsafat Hukum A

Historical and Anthropogical Jurisprudence

The Romatice Movement atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Gerakan Romatisme
merupakan bagian dari gelombang pikiran manusia yang menentang aturan dari standar klasik
dan rasionalistik abad ke-18 yang dipengaruhi oleh unsur mengenai perasaan dan imajinasi
sehingga dampak dari gerakan secara alami dirasakan khususnya dalam bidang seni dan sastra.1
Herder merupakan orang yang sangat berpengaruh atas gerakan ini. Ia menolak kecenderungan
universal dari filsafat Prancis dengan menekankan karakter unik dari setiap periode sejarah,
peradaban dan bangsa. Tidak seperti pengkutnya, Hegel, Herder yang pemikirannya mungkin
dipengaruhi oleh pandangan Vico memandang birokrasi Negara dengan istilah “robbed men of
themselves”2. Bagi Herder, berbagai budaya dan masyarakat mengembangkan nilai-nilai mereka
sendiri yang berakar pada sejarah, tradisi, dan lembaga mereka sendiri,. Ia juga menambahkan
bahwa kualitas kehidupan manusia dan ruang lingkup untuk ekspresi diri tak ternilai harganya
dalam hal penge,bangan pluralitas di masyarakat. Menurutnya, setiap kehidupan sosial di
masyarakat sudah seharusnya dibiarkan secara bebas untuk berkembang dengan caranya
sendiri.3 Hegel di sisi lain, menganggap bahwa kekuasaan Negara melampaui kepentingan
individu yang selanjutnya Negara adalah sebagai alat untuk mengamankan kebebasan nasional
dan sangat menyerang The Prussian State yang mengakibatkan baik individu maupun kelompok
masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk menjalankan kehendaknya sendiri.4

Hegel dipengaruhi oleh Herder yang dipengaruhi pula oleh Vico. Namun dibalik itu semua, di
abad 19 dalam perkembangan awal “historical school of jurisprudence” sering kali diasosiasikan
dengan Von Savigny. Menurut Von Savigny, sistem hukum merupakan buah dari budaya
masyarakat; bahwa hukum bukanlah hasil dari arbitrary act para legislator, melainkan
dikembangkan dari kekuatan impersonal yang dapat ditemukan dalam semangat nasional rakyat
(volksgeist) yang pula menurut Von Savigny di dalamnya berisikan “a unique, ultimate and often
mystical reality". Dengan kata lain, hukum adalah hasil dari proses yang bersifat otonom serta
diam-diam dalam diri masyarakat. 5Savigny percaya,volksgeist ini berkaitan erat dengan warisan
biologis suatu bangsa.6 Ia mengakui bahwa hukum akan ditemukan melekat dalam masyarakat
yang tersirat dari bahasa, perikelakukan sampai konstitusi masyarakat itu sendiri.7

Seiring berjalannya waktu, Von Savigny menyadari bahwa sebenarnya sebuah Negara itu
dilahirkan, kemudian berkembang, lalu mati yang kesemua proses itu dipengaruhi oleh hukum

1
Jim Miller, Rousseau: Dreams of Democracy (United States: Yale University Press, 1984)
2
Isaiah Berlin, Vico and Herder, First Edition (New York :Viking Adult, 1976), hlm. 163.
3
Isaiah Berlin, Vico and Herder, hlm. 110.
4
Shlomo Avineri, Hegel’s Theory of the Modern State (Cambridge: Cambridge Univerrsity Press, 1972), hlm. 101.
5
Antonius Cahyadi & E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Cetakan ke-5 (Jakarta: Prenamedia
Group, 2015), hlm. 128.
6
Julius Stone, Social Dimensions of Law and Justice (London: Stevens, 1966) hlm. 86-111.
7
Frederick Charles von Savigny, of the Vocation of Our Age for Legislation and Jurisprudence, diterjemahkan oleh
Abraham Hayward (New Jersey: The Lawbook EExchange, 1831) hlm. 24.
Reinatta Amelia Utami
1706049062
Filsafat Hukum A

yang berlaku di Negara tersebut. Hal ini dituliskan oleh beliau dengan kalimat, ”law grows with
the growth, and strenghthens with the strength of the people, and finaly dies away as the nation
loses its nationality”.8 Adapun tahap perkembangan masyarakat menurutnya dapat
dikategorikan dalam beberapa tahap, yakni:

a. Men live together : sekumpulan individu/manusia yang hidup secara bersama-sama


b. Intellectual communion: terbentuk karena indidu-individu yang hidup bersama
c. Speech/language: intellectual communion tersebut semakin berkembang dengan
adanya bahasa yang menyertai komunikasi diantara mereka
d. Independence: proses ini terjadi setelah bahasa tersebut membawa komunitas
intekektual ke dalam tahap kemandirian.

Selain itu, Von Savigny, perkembangan hukum positif dalam masyarakat dibagi menjadi tiga
tahap utama. Pertama, terbentuknya elemen-elemen politis di mana prinsip-prinsip hukum
ditemukan bukan dalam undang-undang melainkan berasal dari keyakinan dan spirit masyarakat
tersebut (volksglauben). Kedua ialah tahap di mana elemen politis tersebut ditransformasikan
menjadi elemen teknis hukum yang dalam periode ini masyarakat berada dalam kejayaan dalam
sebuah budaya hukum dan merupakan sebuah saat yang tepat untuk mengkodifikasi hukum.
Yang terakhir, ketiga, dalam tahap ini terjadi penurunan eksistensi nasionalitas dari suatu bangsa
yang berujung pada degradasi hukum yang tidak lagi menjadi nafas dan jiwa kehidupan suatu
masyarakat. Bahwa hukum tak lagi didiukung oleh rakyat. Apabila periode ini terjadi maka
sejatinya masyarakat dalam bangsa itu telah kehilangan identitasnya dan dengan sendirinya, pada
ujung hidup suatu bangsam hukum pun tidak lagi memiliki peran yang berarti.9

Pendekatan histori di Inggris dipionir oleh Sir Henry Maine. Walaupun dipengaruhi dengan
pandangan Von Savigny yang merujuk pada unsur mistis dalam Volksgeist; Maine lebih memilih
untuk merasionalisasi teori-teori hukum kodrat dan bagaimana hukum di masyarakat primitif
yang kemudian diterapkan atau diperbandingkan dengan hukum masyarakat modern.10
Sumbangan Henry Maine yang paling besar bagi Jurisprudence adalah pemikirannya mengenai
pergerakan evolutif hukum dari status ke perjanjian (status to contract). Menurut Maine, secar
aumum masyarakat itu melewati beberapa tahapan perkembangan. Tahap-tahap perkembangan
masyarakat sebagai suatu perkembangan dari ikatan kerabat yang primitif menuju Negara
modern yang bersifat territorial. Kepemimpinan didasarkan atas susunan patriarkal. Penyusunan

8
Lockwood, E. H. “The Decline Of the West. By Oswald Spengler. Authorised Translation from the Second German
Edition, with Notes. By C. F. Atkinson. Pp. Xviii 443. 21s. 1926. (Allen & Unwin.).” The Mathematical Gazette 14, no.
197 (1928): 27. Diakses pada 1 Maret 2020.
DOI: https://doi.org/10.2307/3607818
9
Leopold Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory (United States: Willey, 1971), hlm. 142.
10
Eisenach, Eldon J. "The Dimension of History in Bentham's Theory of Law." Eighteenth-Century
Studies 16, no. 3 (1983): 290-316. Diakses pada 1 Maret 2020.
DOI: https://doi.org/10.2307/2738350
Reinatta Amelia Utami
1706049062
Filsafat Hukum A

kea rah keseimbangan dilakukan berdasarkan aturan tradisional, di mana hukum, kebiasaan, dan
agama dijalin menajdi satu, perubahan kea rah masyarakat territorial ditandai oleh munculnya
kekuasaan politik atau pemerintah; hal ini menjadikan peralihan status penyerahan peranan
kepada pejabat yang menjalankan pekerjaannya secara duniawi.11 Dalam pemikirannya tersebut,
ia melhat laju perkembangan hukum dan pembuatan hukum yang terbagi dalam lima tahap
perkembangan, yaitu:12

a. Tahap pertama, hukum dibuat dalam budaya yang sedimikian patriarkis dan mendasarkan
diriinya pada perintah personal sang penguasa. Legitimasinya adalah pemerintah yang
suci sebagai inspirasi dari yang tertinggi.
b. Tahap kedua, masa di mana hukum dimonopoli oleh sekelompok aristrokat dan para elit
masyarakat yang memiliki hak istimewa (privilege) tertentu yang dalam hal ini
disebutkan oleh Maine adalah hukum kebiasaan (costumary law)
c. Tahap ketiga, tahap ketika hukum-hukum kebiasaan yang telah ada dicobakan untuk
dikodifikasi. Hal ini disebabkan karena beberapa konflik yang terjadi di masyarakat
pendukung hukum adat yang bersangkutan
d. Tahap keempat, tahap di mana hukum adat/kebiasaan ini mulai ingin
dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju
dan berkembang. Hukum adat kemudian dimoderniasai dengan dimasukkannya prinspi
equality before the law dan adanya lembaga-lembaga legislasi
e. Tahap kelima, tahap ketika ilmu hukum memegang peranan yang besaar untuk
membentuk hukum. Hukum yang kemudian terbentuk semakin sistematis dan konsisten
pula ilmiah.

Maine menambahkan bahwasanya tahap-tahap tersebut tidaklah harus dilalui sedemikian


rupa oleh masyarakat, dapat timbul kemungkinan di mana bisa saja satu tahap atau beberapa
tahap tidak terjadi ataupun tidak tampak dalam masyarakat tersebut.13

Selanjutnya, E.A. Hoebel dalam bukunya The Law of Primitive Man membagi fungsi
hukum dalam masyarakat dalam 4 bagian sebagai berikut:14

a. Untuk memberikan suatu ikatan dari seluruh anggota masyarakat terhadap hal-hal
yang diterima dan pengaturannya.
b. Hukum sebagai alokasi kekuasaan untuk menerapkan kekuatan fisik sebagai suatu hal
yang sah.

11
I Gede A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa, (Bandung: Citra Aditya
Bakti,2005), hlm. 140.
12
Antonius Cahyadi & E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, hlm. 147-148.
13
Antonius Cahyadi & E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, hlm. 148.
14
Llewellyn, K.N. ” The normative, the legal and the law-jobs: The problem of juristic method”. dalam Yale Law
Journal 49(8): 1355–1400. (1940), hlm. 49.
Reinatta Amelia Utami
1706049062
Filsafat Hukum A

c. Pendisposisian kasus-kasus yang timbul. Tugas hukum dalam hal ini adalah
menyelesaikan kasus yang timbul dan memberikan putusan tentang perilaku yang
legal dan illegal sehingga dapat dicapai kehidupan yang diinginkan.
d. Untuk menemukan kembali hubungan antara ,masing-masing individu dengan
kelompok-kelompoknya sebagai suatu perubahan kehidupan. Hal ini berkaitan
dengan hukum yang dinamis.

Paul Bohannan penulis buku The Differing Realism of the Law mendefinisikan norma
sebagai aturan, sedangkan adat istiadat adalah sebagai tubuh dari norma-norma tersebut.
Institusi hukum adalah institusi di mana masyarakat memiliki suatu sistem penyelesaian
permasalahan antara satu dengan yang lainnya dan melakukan suatu counterparts atas
pelangaran hukum. 2 aspek penting yang membedakan institusi hukum dengan institusi
lainnya adalah :15

a. Institusi tersebut memiliki peraturan untuk dapat mengintervensi institusi yang bukan
hukum terhadap adanya permasalahan hukum.
b. Memiliki aturan/tata cata (procedure) tersendiri dan substansi hukum tersendiri.

Dari pengertian di atas maka secara sederhana dapat kita rumuskan bahwa perbedaan antara
hukum dan adat istiadat adalah sebagai berikut :16

a. Adat istiadat adalah norma atau aturan tentang bagaimana seseorang itu harus
bertingkah laku sehingga dapat diterima oleh masyarakat.
b. Hukum adalah suatu badan yang mengikat sebagai kewajiban untuk dihormati
sebagai right by one party dan dikenal sebagai kewajiban atas perintah yang telah
dinstitusikan oleh institusi hukum, sehingga masyarakat dapat melangsungkan
fungsinya sesuai dengan tingkah laku yang telah ditetapkan.

15
Bohannan, Paul. "The Differing Realms of the Law." American Anthropologist, New Series, 67, no. 6 (1965): 33-
42. Diakses pada 1 Maret 2020. www.jstor.org/stable/668838.
16 16
Bohannan, Paul. "The Differing Realms of the Law." 40.

Anda mungkin juga menyukai