Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ISLAM DAN DEMOKRASI

Disusun oleh:

Ayu Kumala Sari 135130018

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya.


Tidak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW, sehingga penyusunan makalah pendidikan agama islam
mengenai islam dan demokrasi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah pendidikan agama islam mengenai islam dan demokrasi.
Disadari bahwa salah satu hambatan dalam penyusunan makalah
pendidikan agama islam mengenai islam dan demokrasi ini adalah keterbatasan
informasi dan bahan sehingga hasil ini dirasakan masih belum sempurna. Oleh
karena itu diharapkan adanya kritik dan saran untuk perbaikannya di masa yang
akan datang. Penyusun berharap makalah pendidikan agama islam mengenai islam
dan demokrasi ini dapat bermanfaat bagi lingkungan belajar penulis aamiin.

Yogyakarta, April 2016

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar Demokrasi dalam Islam .................................................. 3
2.2 Prinsip Nilai Demokrasi ............................................................ 3
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam .................................. 3
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam ................................ 4
2.5 Cara Menghadapi Perbedaan..................................................... 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 8
3.2 Saran ...................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 9
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mendiskusikan pandangan Islam dengan demokrasi pada dasarnya


memiliki banyak pemikiran dari para pakar demokrasi Islam. Demokrasi
merupakan bagian dari ruang lingkup Islam, karena Islam merupakan agama
dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan
muamalat manusia. Permasalahan demokrasi dengan Islam ini berakar pada
sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang
telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntan untuk
memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas
fenomena sosial yang telah berubah.

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang


memiliki banyak kaitan dengan banyak kajian. Sebab, dunia Islam tidak hidup
dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat banyak pemikiran terkait
hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Ada sebagian orang atau organisasi
yang melahirkan sikap otoriter dan seakan-akan dialah yang paling tahu akan
demokrasi menurut pandangan Islam dari firman Allah yang berada dalam Al
Qur’an.

Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan


preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang
memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu
pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu
keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan
kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
Dari uraian diatas penulis melihat bahwa demokrasi dalam Islam tidak
semudah yang penulis pikirkan. Selain itu memahami pandang bagaimana
demokrasi dalam Islam juga merupakan hal yang penting karena Islam
merupakan agama yang selalu menuntun kita kepada kebaikan yang hakiki.
Alasan-alasan itulah yang melatar belakangi penulis mengkaji demokrasi dan
Islam.

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui dasar demokrasi dalam Islam.

1.2.2 Untuk memahami prinsip nilai demokrasi.

1.2.3 Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam.

1.2.4 Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam.

1.2.5 Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi


Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik Islam.
Dalam hal ini, semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap bertumpu pada
dasar ajaran, yakni kitab suci, di samping dasar kedua, yakni Sunah Rasul atau
hadist. Untuk hadist, tingkatnya tidak semutlak ini, pemikiran politik Islam
pada akhirnya harus dipahami, bahwa di satu segi aalah hasil pemikiran
umatnya dengan tingkat kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu sosial
umumnya, berada pada proporsinya, yakni kebenaran relatif. Namun di segi
lain, pemikiran politik Islam juga mengandung dimensi-dimensi non manusia,
merupakan doktrin agama yang dalam kita suci berstatus mutlak (Zamharir,
2004).

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi


Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam
adalah pada periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan
warisan “Generasi Salaf”, yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para
sahabat dan tiga generasi sesudahnya. Generasi tersebut juga sering disebut
Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan dimaksud adalah praktik
politik dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat (Abu
Bakar, Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan
politik saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah.
Dalam hal ini apa yang diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan
politik serta “pemikiran politk” yang tidak dirumuskan secara koheren
(Zamharir, 2004).

2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam


Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi
(1996) . Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya
antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih
karena analog sebagai imam (pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan.
Di sini ada dua tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan
tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini adalah
kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya bagus dan
terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the ummah
could be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan
terhormat, Quraisy. Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual
yang sesuai dengan zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila di kemudian
hari masih mempertimbangkan bahwa khalifah harus dari Quraisy. Padahal
besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah meliputi seluruh bumi.
Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan
penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua
elit utama. Satu elit menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena
watak-nya keras. Abu bakar, sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga
berhati lembut. Dari kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar
malah lembut. Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi
elit itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap kedua,
musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni enam orang termasuk
Ali bin Abi Thalib. Tahap ketiga, dibacakan pengangkatan Umar sebagai
pengganti khalifah Abu Bakar. Tahap keempat, sidang di Masjid Nabawi, di
mana setelah dibacakan, Abu Bakar bertanya apakah umat setuju. Massa setuju
dan melakukan baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi
Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara,
dengan salah satu karya monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau
konstitusi yang mengatur warga negara di negara-kota Madinah pada abad
keenam Masehi. Traktat perjanjian ini disebeut dustur madinah, mitsaq
madinah. Konstitusi itu ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh kelompok-
kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini memuat
begitu luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir, 2004).

2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam


Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi
terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang
memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu
pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu
keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan
kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak
dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran
yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata
baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti
Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun
demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip
hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab,
keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan
perdamaian, dan kontrol.
Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep
demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi,
1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan
kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk
mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun
monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga
pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi.
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad,
dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak
bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini,
kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga,
sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan,
perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum
Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-
Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga
kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan
yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda.
Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi
sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi
menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan
kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang
sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang
bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu
materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua,
Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar
Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi
dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara
merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem
politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan
serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam
merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi
demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas
merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi
sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam.
Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi
dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai
contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad
para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari
Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu
faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia
boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh
terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar
hak asasi manusia (HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara.
Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-
Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang
poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang
kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat
menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat
sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan
perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama
suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam
Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Demikian juga dalam Islam
dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal
ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai
persamaan.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada
yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering
kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an,
As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut hemat, umat Islam
saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam
dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan
umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran
kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan,
persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat
hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem,
dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan
secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara
Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam
(Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta., 2016).

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan


Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain adalah
dengan menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa Bagimu
agamamu dam bagiku agamaku (QS 109:6). Namun, bagi kaum Muslim yang
setuju terhadap dialog, perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk
mengajak Ahli Kitab sampai kepada doktrin yang umum antara agamanya
(Islam) dan agama mereka, merupakan suatu dorongan. Dalam Al Qur’an
dinyatakan:
Katakanlah:Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita perseutukan Ia dengan sesuatu apa
pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain dengan
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka;
“Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)” (QS 3:64).
Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti orang-orang
Yahudi dan Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi para pengikuti dari
kepercayaan (tertulis) suci yang lain (other holy write). (Zamharir, 2004).

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian pembahasan diatas


adalah demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan
dengan Islam. Agar demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat terwujud,
langkah yang harus dilakukan adalah harus adanya pemahaman yang benar
tentang demokrasi dalam pandagan Islam paling tidak memahami demokrasi
dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang termuat dalam tugas ini yaitu
mengetahui dasar demokrasi dalm Islam., memahami prinsip nilai demokrasi,
mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam, memahami pertentangan
antara demokrasi dan Islam serta mengetahui cara menghadapi perbedaan
sehingga aspirasi yang disampaikan tidak keluar dari ajarannya.

3.2 Saran

Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami demokrasi
dalam pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah membaca buku
demokrasi yang membahas dari sudut pandang Islam. Mempelajari dari banyak
sudut pandang beberapa pakar demokrasi dalam Islam yang ilmunya dapat
dipercaya. Serta tidak lupa memahami demokrasi dalam Islam menuntun kita
kepada kebaikan hakiki.

DAFTAR PUSTAKA

Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam


Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.
http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses pada
tanggal 6 April 2016 Pukul 20:41 WIB.

Anda mungkin juga menyukai