Anda di halaman 1dari 13

Tugas Makalah Pendidikan Agama Islam

Nama : Muhammad Heykel


Nim : 41519310018
Fakultas : Fasilkom / Teknik Informatika

Universitas Mercu Buana kranggan


Terakreditasi A dari Ban ‐PT
Jl. Jatisampurna – kranggan , Bekasi
Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat -Nya. Tidak lupa sholawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita yaitu nabi
Muhammad SAW, sehingga penyusunan makalah pendidikan
agama islam mengenai islam dan demokrasi ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini saya sebagai penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penýelesaian makalah pendidikan agama islam
mengenai islam dan demokrasi.
Disadari bahwa salah satu hambatan dalam penyusunan
makalah pendidikan agama islam ini mengenai islam dan
demokrasi ini adalah keterbatasan informasi dan bahan
sehingga hasil ini dirasakan masih belum sempurna. Oleh
karena itu harapkan adanya kritikan dan saran untuk
perbaikannya di masa yang akan datang. Penyusun berharap
makalah pendidikan agama islam yang mengenai islam dan
demokrasi ini dapat bermanfaat bagi lingkungan belajar
Aminn..

Bekasi , september 2019

Penulis
Daftar isi

Halaman Judul...............................................................i
Kata Pengantar..............................................................ii
Daftar isi........................................................................iii

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................1
1.2 Tujuan........................................................2
1.3 Bab II Pembahasan
2.1 Dasar Demokrasi dalam islam.............................3
2.2 Prinsip Nilai Demokrasi.......................................3
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam islam.............3
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam........4
2.5 cara menghadapi perbedaaan............................6

Bab III Penutup


3.1 kesimpulan................................................8
3.2 Saran.........................................................8
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mendiskusikan pandangan Islam dengan demokrasi pada
dasarnya memiliki banyak pemikiran dari para pakar demokrasi
Islam. Demokrasi merupakan bagian dari ruang lingkup Islam,
karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-
asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.
Permasalahan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah
“ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin
yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntan
untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai
respons atas fenomena sosial yang telah berubah.

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan


yang memiliki banyak kaitan dengan banyak kajian. Sebab, dunia
Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat
banyak pemikiran terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini.
Ada sebagian orang atau organisasi yang melahirkan sikap otoriter
dan seakan-akan dialah yang paling tahu akan demokrasi menurut
pandangan Islam dari firman Allah yang berada dalam Al Qur’an.

Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit


menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan
tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai
sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk
Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan
melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis,
melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou
El Fadl, 2004).

Dari uraian diatas penulis melihat bahwa demokrasi dalam


Islam tidak semudah yang penulis pikirkan. Selain itu memahami
pandang bagaimana demokrasi dalam Islam juga merupakan hal
yang penting karena Islam merupakan agama yang selalu menuntun
kita kepada kebaikan yang hakiki. Alasan-alasan itulah yang
melatar belakangi penulis mengkaji demokrasi dan Islam.

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui dasar demokrasi dalam Islam.

1.2.2 Untuk memahami prinsip nilai demokrasi.

1.2.3 Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam


Islam.

1.2.4 Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan


Islam.

1.2.5 Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi


Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik
Islam. Dalam hal ini, semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap
bertumpu pada dasar ajaran, yakni kitab suci, di samping dasar
kedua, yakni Sunah Rasul atau hadist. Untuk hadist, tingkatnya
tidak semutlak ini, pemikiran politik Islam pada akhirnya harus
dipahami, bahwa di satu segi aalah hasil pemikiran umatnya dengan
tingkat kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu sosial
umumnya, berada pada proporsinya, yakni kebenaran relatif.
Namun di segi lain, pemikiran politik Islam juga mengandung
dimensi-dimensi non manusia, merupakan doktrin agama yang
dalam kita suci berstatus mutlak (Zamharir, 2004).

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi


Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi
Islam adalah pada periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian
dikenal dengan warisan “Generasi Salaf”, yakni generasi Nabi
Muhammad Saw dengan para sahabat dan tiga generasi sesudahnya.
Generasi tersebut juga sering disebut Muslim Awal. Dalam
kehidupan politik, warisan dimaksud adalah praktik politik dan ide,
yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat (Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan
kehidupan politik saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi
dan empat khalifah. Dalam hal ini apa yang diwariskan merupakan
praktik politik, atau kebijakan politik serta “pemikiran politk” yang
tidak dirumuskan secara koheren (Zamharir, 2004).

2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam


Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf
Faruqi (1996) . Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam
Islam prosedurnya antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip
berpikir ini, Abu Bakar dipilih karena analog sebagai imam
(pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan. Di sini ada dua
tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus) dan
tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini
adalah kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang
reputasunya bagus dan terhormat demi “integrasi bangsa dan
negara” (thus the unity of the ummah could be preserved). Abu
Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal dari klan terhormat,
Quraisy. Namun demikian, hal itu hanyalah contoh kontekstual
yang sesuai dengan zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila
di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa khalifah harus
dari Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam
sudah meliputi seluruh bumi.

Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura


pertama, dengan penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan
proses konsultasi kepada dua elit utama. Satu elit menyangsikan
ditunjuknya Umar bin Khattab karena watak-nya keras. Abu bakar,
sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga berhati lembut. Dari
kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar malah lembut.
Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi elit
itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap
kedua, musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni
enam orang termasuk Ali bin Abi Thalib. Tahap ketiga, dibacakan
pengangkatan Umar sebagai pengganti khalifah Abu Bakar. Tahap
keempat, sidang di Masjid Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu
Bakar bertanya apakah umat setuju. Massa setuju dan melakukan
baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek
Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai
pemimpin negara, dengan salah satu karya monumentalnya, yakni
traktat perjanjian atau konstitusi yang mengatur warga negara di
negara-kota Madinah pada abad keenam Masehi. Traktat perjanjian
ini disebeut dustur madinah, mitsaq madinah. Konstitusi itu ditulis
Muhammad Saw. dan disetujui oleh kelompok-kelompok
masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini memuat
begitu luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir,
2004).
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam
Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan
preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi
dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik
penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya
adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial
dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem
pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih
sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).
Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-
Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara
adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata
Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-
20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan
Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian,
ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip
hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung
jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan,
musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol.
Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep
demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza
Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya
memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa
digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran,
republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan
Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai
hubungan Islam dengan demokrasi.
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep
syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan
demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan
demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa
berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara
Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal
ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga,
sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar
demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan
kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut
merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan
theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi
terdapat tiga kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006);
pertama, pandangan yang menyatakan jika Islam dan demokrasi
adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini memandang jika
Islam sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi
sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi
menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah
meletakkan kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan
mereka memandang sebagian besar dari aktivitas demokrasi
tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara
jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang
diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua,
Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya
perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan
secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh
negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi dimaknai secara
substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan
terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem
politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini
berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang
membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya
berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas merupakan
akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi
sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi
berlawanan.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai
universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan
dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak
terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai
demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh
kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam.
Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala
dinahu faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak
mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem
demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti
melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia
(HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga
Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas
disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang
hukum waris (QS. An-nisa’ 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah
282). Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam
kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti
pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan
(bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama
suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan.
Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-
Qur’an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan
kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam
demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai
persamaan.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya
demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip,
ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun
pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi
berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah
dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut hemat, umat Islam
saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan
hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting
(urgent) untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi
dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad
(kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran
serta tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat hubungan
Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem,
dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi
didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan
dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan
bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam (Alumni
Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta., 2016).

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan


Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain
adalah dengan menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al
Qur’an bahwa Bagimu agamamu dam bagiku agamaku (QS 109:6).
Namun, bagi kaum Muslim yang setuju terhadap dialog, perintah
Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak Ahli Kitab sampai
kepada doktrin yang umum antara agamanya (Islam) dan agama
mereka, merupakan suatu dorongan. Dalam Al Qur’an dinyatakan:
Katakanlah:Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
perseutukan Ia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain dengan tuhan selain Allah. Jika
mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka; “Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)” (QS 3:64).

Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti


orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi
para pengikuti dari kepercayaan (tertulis) suci yang lain (other holy
write). (Zamharir, 2004)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian
pembahasan diatas adalah demokrasi tidak sepenuhnya
bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Agar
demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat terwujud, langkah
yang harus dilakukan adalah harus adanya pemahaman yang benar
tentang demokrasi dalam pandagan Islam paling tidak memahami
demokrasi dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang
termuat dalam tugas ini yaitu mengetahui dasar demokrasi dalam
Islam., memahami prinsip nilai demokrasi, mengetahui contoh
praktek demokrasi dalam Islam, memahami pertentangan antara
demokrasi dan Islam serta mengetahui cara menghadapi perbedaan
sehingga aspirasi yang disampaikan tidak keluar dari ajarannya.
3.2 Saran

Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami


demokrasi dalam pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah
membaca buku demokrasi yang membahas dari sudut pandang Islam.
Mempelajari dari banyak sudut pandang beberapa pakar demokrasi
dalam Islam yang ilmunya dapat dipercaya. Serta tidak lupa
memahami demokrasi dalam Islam menuntun kita kepada kebaikan
hakiki.
DAFTAR PUSTAKA

Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam


Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.
http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses pada tanggal 6 April
2016 Pukul 20:41 WIB.

Anda mungkin juga menyukai