Anda di halaman 1dari 40

HUKUM PIDANA ADAT DALAM PEMBENTUKAN

HUKUM PIDANA NASIONAL


Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H.
(FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA)1

1. PENGANTAR
Dampak globalisasi dan reformasi yang semakin tajam berakibat makin
sulitnya menentukan arah tatanan dunia baru yang akan terbentuk. Di beberapa
belahan dunia, telah terjadi transformasi budaya yang semakin kompleks, tetapi
di beberapa tempat justru telah terjadi kesenjangan budaya (cultural lag). Pada
akhirnya, hampir semua negara menyadari bahwa jika hanyut pada arus yang
demikian, suatu bangsa niscaya akan hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Dari kenyataan ini, muncul dan mulailah dikembangkan konsep „back to basic‟
atau menggali dan mengenal kembali identitas budaya sendiri 2 Dalam rangka
pembangunan hukum di Indonesia, nampaknya konsep „back to basic‟ tidaklah
dapat dikesampingkan karena antara hukum dan budaya merupakan dua
variabel yang mempunyai hubungan korelatif, dalam artian antara hukum dan
budaya merupakan dua variabel yang saling pengaruh mempengaruhi. Mencari
hubungan di antara keduanya, akan melahirkan dua perspektif kajian. Dalam
perspektif pertama, dapat ditempatkan hukum mempengaruhi budaya. Lewat
kajian ini, budaya ditempatkan sebagai variabel terikat, di mana hukum dapat
memberikan arah dalam perkembangan budaya sehingga budaya terikat pada

1Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Sanksi Pidana Adat dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar”, tanggal 9 Oktober 2015.
2 Lihat Soedjatmoko 1986. Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial

Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana, hal. 4 - 7

1
pola yang digariskan oleh hukum. Sebaliknya, dalam perspektif yang kedua,
hukum ditempatkan pada posisi variabel yang tidak terikat. Dalam kajian yang
demikian budaya menentukan arah kebijakan hukum. Hukum di sini terikat
pada format yang telah digariskan oleh budaya. Oleh karena itu, jelas bahwa
hukum yang dihasilkan adalah hukum yang lahir dari jelmaan budayanya.
Pola pengembangan budaya dan hukum untuk menghindarkan adanya
dekulturasi ataupun dehumanisasi serta terciptanya produk hukum yang sesuai
dengan sistem nilai budaya, strateginya telah digariskan secara konseptual
dalam GBHN tahun 1993, yaitu Tap MPR No. II/MPR/1993. Dalam kebijakan
pembangunan lima tahun keenam, khususnya bidang hukum yang dalam garis
besarnya dapat dijabarkan ke dalam 6 pokok pikiran sebagai berikut :
1. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi semua
penduduk.
2. Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum
nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, yang bersumber
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Pembangunan materi hukum dilaksanakan melalui penataan pola pikir
yang mendasari sistem hukum nasional, penyusunan kerangka sistem
hukum nasional, serta penginventarisasian dan penyusunan unsur-unsur
tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional.
4. Perencanaan hukum harus dilaksanakan secara terpadu dan meliputi
semua bidang pembangunan agar produk hukum yang dihasilkan dapat
memenuhi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dalam segala
aspeknya.
5. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan :

2
a. ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan
dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya
yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang
dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945; dan
c. pembentukan hukum pada umumnya perlu didukung oleh penelitian
dan pengembangan hukum, serta ditunjang oleh sistem jaringan
dokumentasi dan informasi hukum yang mantap.
6. Penelitian dan pengembangan hukum serta ilmu hukum dilaksanakan
secara terpadu yang meliputi semua aspek kehidupan dan terus
ditingkatkan agar hukum nasional senentiasa dapat menunjang dan
mengikuti dinamika pembangunan sesuai dengan perkembangan aspirasi
masyarakat, serta kebutuhan masa kini dan masa depan.
Strategi yang digariskan secara konseptual dalam GBHN tersebut di atas,
merupakan kelanjutan strategi pembangunan hukum yang telah pula digariskan
dalam GBHN sebelumnya.

2. KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA


Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu
kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan
merupakan produk hukum peninggalan kolonial (WvS/Wetboek van Strafrecht)
yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU
No.1/1946 jo. UU No.73/1958.Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana
tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis (kebanggaan nasional untuk
memiliki KUHP sendiri), alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk
memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan alasan praktis

3
(adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di
atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan
adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan
internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab.3 Pertimbangan lain,
sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut
heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik
yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai
pengaruh terhadap hukum pidana.

Pembentukan hukum pidana nasional, persoalannya tidak hanya terletak


pada tiga substansi pokok hukum pidana, yakni yang menyangkut masalah : (1)
masalah „tindak pidana‟ ; (2) masalah „kesalahan‟ ; dan (3) masalah „pidana‟. Di
dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru besar Ilmu Hukum Pidana Barda
Nawawi Arief mengemukakan bahwa dilihat dari sudut kebijakan hukum
pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/ mengoperasionalisasikan /
memfungsionalisasikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok
sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat)
dengan hukum pidana. Ini berarti bahwa masalah dasarnya terletak di luar
bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak
antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai
(pandangan/ ideologi) sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural dari suatu
masyarakat, bangsa/negara.4

3 Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato


Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990),
hlm. 3.
4 Lihat Barda Nawawi Arief., “Beberapa Aspek...., hlm. 16.

4
Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek
sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan,
baik kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan hukum.
Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari
perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakangi perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”)dan pendekatan yang
berorientasi pada nilai(“value-oriented approach”).Pembaharuan dilakukan dengan
pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan tersebut
merupakan bagian dari langkah kebijakan, yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik
sosial. Dalam setiap langkah kebijakan (policy), terkandung pula pertimbangan
nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana, di samping harus
mempertimbangkan pendekatan nilai, juga harus mempertimbangkan
pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan.5

Secara umum, hukum nasional yang hendak kita wujudkan harus


memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan

5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996), hlm. 30-31.

5
kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh
karenanya dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum
nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan
penciptaan sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum
nasional. Dengan demikian, cita-cita unifikasi hukum dalam bidang-bidang
hukum tertentu yang kita usahakan akan sekaligus mampu menjamin
tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam
kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Apabila persoalan ini
kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟,
maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak
mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia,
alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh
bangsa-bangsa beradab. Ketiga cakupan muatan tersebut, terutama cakupan
kedua, yakni aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, merupakan satu
fenomena tersendiri, lebih-lebih dalam hubungannya dengan realitas
masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural, yang masing-masing punya
konsepsi tentang apa itu perbuatan jahat.
Nampaknya penyusun rancangan KUHP menyadari betul fenomena
tersebut, sehingga dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut
dipidananya suatu perbuatan, rancangan KUHP bertolak dari pendirian bahwa
sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi
bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (1) rancangan KUHP Tahun 2012 (RKUHP terakhir yang telah
disampaikan ke DPR, RKUUHP Tahun 2014). Berbeda halnya dengan asas
legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, konsep KUHP
memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang

6
hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum
tertulis (undang-undang) sebagai kriteria/patokan formal yang utama,
rancangan KUHP juga masih memberikan tempat kepada sumber hukum tidak
tertulis yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat sebagai dasar untuk
menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang ada
dan hidup dalam kenyataan masyarakat, terbatas untuk delik-delik yang tidak
diatur dan tidak mempunyai bandingannya dalam undang-undang.
Terhadap permasalahan ini, Muladi pernah mengemukakan bahwa
jembatan yuridis untuk aktualisasi atau rekriminalisasi hukum adat pidana
dalam kerangka hukum pidana nasional, sudah jelas, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub. b
UU No.1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Jembatan teoritiknya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya baik positif maupun negatif. Di samping itu, perlu dicatat pula
beberapa yurisprudensi yang memberikan kedudukan hukum adat pidana
sebagai sumber hukum tidak tertulis dalam memeriksa dan memutus suatu
kasus adat. Di sisi lain, secara sosiologis hal-hal di atas telah memperoleh
dukungan dari „legal community‟ dalam bentuk rancangan KUHP, yang secara
jelas mengakui eksistensi hukum adat pidana, mengakui sifat ajaran melawan
hukum materiil, mengakui jenis pidana tambahan „pemenuhan kewajiban adat‟,
mengakui penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan. Apabila
persoalan ini kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana
nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya
mau tidak mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi
manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang
diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Mengkaitkan asas legalitas dengan hukum pidana adat, jelas tidak akan
memperoleh titik temu, karena di satu sisi hukum pidana adat dilandasi oleh

7
falsafah harmoni dan „communal morality‟. Sedangkan di sisi lain, asas legalitas
(principle of legality) berporos pada 1) legal difinition of crime; 2) punishment should
fit the crime; 3) doctrine of free will; 4) death penalty for some offences; 5) no empirical
research; dan 6) definite sentence, yang kesemuanya ini merupakan karakteristik
daripada aliran klasik. Mencermati semua permasalahan ini, maka asas legalitas
yang mempunyai elemen utama jaminan kepastian hukum terhadap keberadaan
tindak pidana dan sanksi pidana (maupun tindakan) haruslah ditafsirkan dalam
kerangka pemikiran neo-klasik, yang memandang pula betapa pentingnya
tindak pidana natural (natural crime) atas dasar konsep „Dader-daadstrafrecht‟.
Dalam hal ini terkandung pula apa yang dinamakan „demokratisasi‟ perumusan
tindak pidana, dalam artian apa yang dinamakan tindak pidana mutlak
dilandasi oleh persepsi yang sama antara penguasa dengan rakyat.
Asas legalitas harus diartikan secara kontemporer dengan „spirit‟ yang
berbeda dari aslinya dan lebih demokratis, spirit tersebut antara lain : a) Forward
looking; b) Restoratif justice; c) Natural crime; dand)Integratif
Atas dasar keempat tolok ukur tersebut di atas, akan dapat dilakukan
suatu seleksi untuk dapat memahami, apakah delik adat dapat disejajarkan
dengan hukum pidana tertulis (proses rekriminalisasi dan aktualisasi). Persoalan
ini menjadi sangat penting, karena sampai saat ini masih banyaknya orang
mengartikan hukum adat dan asas legalitas secara „bebas nilai‟ (value free).
Keempat tolok ukur sebagaimana dikemukakan di atas, memperoleh
pembenarannya dari segi konseptual, yang untuk masing-masing tolok ukur
tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :
a) Spirit “forward looking” didukung oleh nilai bahwa penggunaan hukum
pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas dendam;

8
b) Spirit “Restoratif justice” didukung oleh sistem nilai yang menegaskan
bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan hukum
pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana;
c) Spirit “natural crime” dibenarkan sistem nilai bahwa, baik „law making‟
maupun „law enforcement‟ harus didukung oleh masyarakat; dan
d) Spirit “integratif” didukung oleh fungsi hukum pidana yang harus
mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang bersifat
melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan
tindakan serta perhatian terhadap korban tindak pidana.
Jika direduksi, maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan
adanya ketertiban.Tujuan ini tentunya sejalan dengan fungsi utama hukum
yaitu, mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu
masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan
obyektif bagi setiap masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif
menyatakan bahwa „kepastian hukum‟ sebagai tujuan hukum. Kerangka pikir
positivisme hukum beranjak dari, ketertiban ataupun keteratutan tidaklah
mungkin dapat terwujud tanpa adanya garis-garis prilaku kehidupan yang pasti.
Keteraturan akan ada jika ada kepastian, dan untuk adanya kepastian hukum
haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Anggapan ini dibenarkan oleh banyak
kalangan akhli hukum, karena faktanya memang demikian. Tetapi sangatlah
penting untuk diingat kembali, berbagai kritik yang dilontarkan terhadap
bentuk hukum tertulis, karena dalam bentuknya yang demikian,hukum dapat
terjebak oleh sifatnya yang kaku (rigid) sehingga sulit mengantisipasi kebutuhan
hukum masyarakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, kepastian hendaknya
jangan ditafsirkan secara kaku, tetapi kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti
dapat ditafsirkan secara luas, melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan
antisipatif.

9
Bertolak dari apa yang dikemukakan tersebut di atas serta dengan
mencermati tolok ukur yang telah pula dikemukakan , maka usaha
rekriminalisasi (mencakup „law making‟ dan „law enforcement‟ harus dapat
merumuskan secara jelas keempat hal di atas, yang apabila dijabarkan akan
menyangkut persyaratan sebagai berikut :
1) tidak semata-mata bertujuan pembalasan, dalam arti bersifat ad hoc;
2) harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual dalam
delik materiil dan bisa potensial dalam delik formil);
3) apabila ada cara lain yang lebih baik dan efektif, hendaknya hukum
pidana tidak dipergunakan;
4) kerugian yang ditimbulkan akibat pemidanaan, harus lebih kecil apabila
dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan;
5) memperoleh dukungan masyarakat; dan
6) dapat diterapkan secara efektif
Apabila disepakati, bahwa asas legalitas dalam pengertian kontemporer
harus mencakup legalitas atas : 1) tindak pidana; 2) sanksi pidana dan tindakan;
3) pelaku, yang dalam hal ini orang atau badan hukum; dan 4) korban, maka
akan sangat menarik apabila hal ini digunakan untuk mengevaluasi karakteristik
hukum pidana adat. Di dalam melakukan evaluasi terhadap karakteristik
hukum adat pidana, Muladi mengemukakan asumsi-asumsinya sebagai berikut :
a. Tidak adanya pemisahan antara hukum pidana dengan hukum privat
secara dikhotomi relatif dapat dibenarkan. Hal ini antara lain
dicerminkan oleh “ultima ratio principles” atau “principles of restraint”,
sanksi yang saling menunjang (ganti rugi dalam hukum pidana), adanya
hukum pidana administratif dan tindakan tata tertib.
b. Penonjolan “communal morality” hendaknya diimbangi dengan
“institusional morality” dan “civil morality”. Contohnya adalah dengan

10
adanya “collective responbility” tanpa landasan ajaran kesalahan sama
sekali.
c. Hukum adat pidana hendaknya didudukkan secara komplementer
(ingat peranannya sebagai environmental input) terhadap asas „prae
existence regels‟.
d. Penyelesaian lewat perdamaian dalam delik-delik perseorangan yang
tidak menyangkut persekutuan dalam hukum adat pidana, hendaknya
dibatasi untuk tindak-tindak pidana ringan dan dalam kaitannya
dengan hukum pidana nasional dapat dihubungkan dengan „alternative
sanction‟.
e. Dalam beberapa delik adat, masalah kemampuan bertanggungjawab
atas (orang gila, anak) dikesampingkan. Hal ini tidak mungkin diterima
atas dasar doktrin „daad-daderstrafrecht‟. Secara universal, setiap tindak
pidana harus mencakup dua elemen. Elemen pertama adalah elemen
material yakni adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-
undang, dan elemen kedua adalah elemen mental dalam bentuk
kesengajaan termasuk „dolus eventualis‟ dan kealpaan.
f. Dalam hal-hal tertentu dalam hukum adat pidana „individualisasi
pidana‟ didasarkan atas stratifikasi sosial. Prinsip „equality before the law‟
harus dikembangkan pada alasan-alasan universal dan obyektif.
g. Dalam hukum adat pidana, perbuatan main hakim sendiri dalam hal-hal
tertentu dapat dibenarkan. Hal ini perlu ditinjau, karena secara
universal main hakim sendiri hanya dimungkinkan dalam „self defence‟
yang bersifat darurat.
h. Pedoman pemidanaan seringkali berorientasi pada prinsip „daad-
strafrecht‟. Masalah kerugian atau korban, perlu dipertimbangkan untuk
menentukan berat ringannya pidana seperti konsep KUHP.

11
3. PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI

Di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, masyarakatnya hidup


dalam suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang
berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat
yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur
dengan nilai-nilai keagamaan. Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama,
sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana
dikemukakan bahwa hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu
demikian kuatnya ke dalam adat istiadat6 . Keterkaitan tersebut berakibat dalam
beberapa hal, ketaatan terhadap hukum adat, juga berhubungan dengan adat
dan agama karena hukum adat tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang
bersifat lahiriah, tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Salah satu contoh
konkrit keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara
penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya
banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu.
Semua ini tentunya dilandasi dan berhubungan pula dengan nilai dasar
filosofis reaksi adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat
karena perasaan kotor (“leteh”).7 Dengan demikian, dalam masyarakat adat di
Bali, di samping dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat
immateriil.
Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat
dilihat sebagai suatu „pertanda‟ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat

6 Van Vollenhoven., Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht), terj.

Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, (Jakarta :
Djambatan, 1981), hal.131
7 I Gusti Ketut Ariawan 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka

Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu
Hukum, Jakarta, hal.10

12
positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan „mengkultur‟
dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban
adat sampai dewasa ini masih tetap dilaksanakan, walaupun kasus tersebut
telah diselesaikan lewat mekanisme peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi
adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang
dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan
putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal
di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan
kewajiban adat. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya
pemenuhan kewajiban adat tentunya hakim akan terbentur pada ketentuan
Pasal 10 KUHP, yang tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai
salah satu jenis pidana.
Secara normatif, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No.1 Drt/ 1951
memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun dalam praktek
hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut dikutip Pasal 5 ayat
(3) sub.b UU No.1 Drt/1951 sebagai berikut :
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja
dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap
berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
 bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan
terhukum.
 bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat

13
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak
selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
 bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama
dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan
pidana tersebut”

Kesimpulan yang dapat dikemukakan dengan melihat rumusan pasal


tersebut di atas adalah :
1. Delik adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dan tergolong
tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara
selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan
untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah
sepuluh tahun, sebagai perngganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh
terhukum.
2. Delik adat yang mempunyai bandingan dengan KUHP, maka ancaman
pidananya sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP.
3. Menurut UU No.1 Drt Tahun 1951, sanksi adat dapat pula dijadikan
pidana pokok oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara adat,
yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang
tidak mempunyai bandingan dalam KUHP.
Dengan demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali,
mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Apabila persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut
di atas merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan
kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya,
penjatuhan sanksi adat (di luar ketentuan Pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan
terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingannya dalam

14
KUHP. Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang
dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan
masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut
untuk melakukan upaya adat.
Dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951,
sebenarnya hakim dapat saja mejatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat.
Persoalannya, adalah dalam KUHP maupun UU No. 1 Drt Tahun 1951 tidak
menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini
tentunya mempersulit posisi seorang hakim, karena di satu sisi ada kewajiban
untuk menggali hukum dan mengikuti perasaan keadilan masyarakat, namun di
lain sisi, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Disini sebenarnya
ditunut keberanian hakim untuk menemukan hukum, namun hal tersebut tidak
dilakukan. Terobosan yang cukup menarik yang dilakukan oleh hakim
Pengadilan Negeri di Bali adalah Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.
11/Pid/1972, tanggal 13 Maret 1972 dalam kasus delik adat lokika sanggraha,
antara terdakwa I Gusti Ngurah Raka dengan saksi korban Ni Nyoman Kenyod
yang menjatuhkan pidana dengan syarat khusus. Dalam bagian
pertimbangannya secara jelas disebutkan Menimbang bahwa saksi I Nyoman
kenyod menerangkan bahwa ia telah dihukum oleh masyarakat desanya karena
telah dianggap mengotori desanya, dengan dikenai denda dan harus melakukan
upacara pembersihan desanya dengan mengadakan upacara “widi-widana”,
maka menurut hemat hakim, sudah sepatutnya apabila hukuman yang
dibebankan kepada saksi I Nyoman Kenyod itu dibebankan kepada terdakwa.
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 18/Pid/S./1986/PN-KLK, dalam
kasus delik adat lokika sanggraha antara terdakwa I Ketut Suparta. dengan saksi
korban Ni Ketut Werni. Di dalam bagian pertimbangannya, secara jelas dapat
dibaca bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah merupakan tindak

15
pidana adat yang dapat mengganggu keseimbangan riil maupun immateriil,
mengganggu keseimbangan lahir maupun magis bagi masyarakat setempat. Di
samping itu juga, terutama terhadap si anak yang lahir sebagai akibat
perbuatan terdakwa, jangan sampai mengalami tekanan bathin, serta tersisih
dari pergaulan masyarakat, di samping juga karena kelahirannya tersebut desa
adat tidak memberikan ijin kepadanya dan juga kepada keluarganya untuk
melaksanakan upacara keagamaan di pura-pura di wilayah desa adat. Dengan
dasar pertimbangan tersebut maka tidaklah bertentangan dengan hukum
apabila terhadap terdakwa juga diterapkan Pasal 14 c KUHP yaitu dengan
membebani suatu syarat khusus yang akan disebutkan dalam amar putusan.
Dari beberapa kasus delik adat yang telah diputus oleh hakim pengadilan
negeri yang dikemukakan di atas, sangat menarik untuk dikemukakan,
bagimanakah tindakan-tindakan yang diambil oleh “krama” desa adat, sebagai
berikut :
1. Dalam kasus pencurian benda-benda suci untuk melakukan upacara
keagamaan, dalam bentuk pretima di Pura Agung Jagatnata, di desa adat
Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar No. 88/P.N. Dps/K.S./1981,
tanggal 8 Juni 1981 telah diputus berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat
(1) angka 3 KUHP dan pelakunya (Jumadi ) dijatuhi pidana penjara
selama 4 tahun, namun krama desa adat Denpasar beranggapan pidana
penjara tersebut belumlah sepadan dengankerugian yang ditimbulkan
oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku telah mengakibatkan bukan
saja kerugian materiil, tetapi juga kerugian immateriil. Untuk
memulihkan kerugian immateriil, krama adat Denpasar melakukan
upacara prascita, dengan maksud untuk mengembalikan kesucian
pretima dan juga penyucian kembali tempat kejadian.

16
2. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk
“Pependeman” yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan
Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus
oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan putusannya No.
5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap
membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca
sata” kepada pelakunya (I Nengah Serinu dan I Made Rateng).
3. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk
“pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan
Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. yang telah diputus
oleh Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ‟79,
tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara
“pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa
adat.
4. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Denpasar dengan putusannya No.
89/Pid/B/1997/PN.Dps, tanggal 8 Mei 1997. Krama desa adat Pering,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar juga
membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara pecaruan desa
kepada saksi korban Ni Gusti Ayu Nilawati, dan sebelum upacara
tersebut dilakukan maka saksi korban beserta keluarganya dilarang
untuk mengikuti upacara keagamaan di pura desa setempat. Kewajiban
untuk melakukan ritual pecaruan tersebut dimaksudkan untuk
menyucikan desa, karena saksi korban telah melahirkan seorang anak
tanpa ikatan perkawinan. Dalam kasus delik adat ini menarik untuk
dikemukakan, bahwa beban yang diwajibkan krama desa adat justru
kepada saksi korban sendiri. Permasalahannya, mengapa bukan kepada

17
pelakunya, yang dalam hal ini Nyoman Armaya. Menurut bendesa adat
Pering, putusan krama desa adat lebih banyak menyoroti kelahiran anak
dari saksi korban yang menurut kepercayaan krama adat setempat telah
menimbulkan adanya perasaan “leteh”. Permasalahan ini kemudian
berlanjut dengan digugatnya pelaku (Nyoman Armaya) oleh saksi
korban di Pengadilan Negeri Gianyar. Di dalam putusan No.
1/Pdt.G/1998/PN.Gir. dalam salah satu petitum gugatan yang
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Gianyar menyebutkan pembebanan
kepada tergugat I Nyoman Armaya untuk membayar upacara pecaruan
yang dikeluarkan oleh saksi korban sebesar Rp.350.000,-
5. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Gianyar No. 4/Pid.B./1997/PN.GIR, tanggal 29 Maret
1997. Krama Banjar Adat Kecagan, Desa Adat Ketewel, Kecamatan
Sukawati, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, membebankan
kewajiban untuk melakukan upacara “meprascita”, karena kehamilan
saksi korban (Ni Ketut Koti) dianggap telah menodai desa adat.
6. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Denpasar, No. 161/KS/Pid/1974, tanggal 30 Agustus
1974, dan dalam tingkat banding dengan putusan Pengadilan Tinggi
Nusa Tenggara dengan putusan No.15/PTD/1975/Pid, tanggal 16 Juli
1975. Krama desa adat Carangsari telah menjatuhkan hukuman berupa
kewajiban untuk melakukan ritual “pecaruan desa” kepada pelaku (I
Nyoman Gatra alias Pan Limur alias Pan Malen)
7. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Amlapura dengan putusannya No.
61/Pid.B./94/PN.AP., tanggal 15 Desember 1994. Krama desa adat
Abang, Kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem

18
menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan upacara adat
“pemayuh jagat” karena perbuatan pelaku dianggap menodai kesucian
desa adat.8
Dengan pemaparan tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian
kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut
pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan
permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan
Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai
akibat adanya pelanggaran norma adat.

4. HUKUM PIDANA ADAT DI BEBERAPA DAERAH


Di beberapa daerah lain di Indonesia, realitas menunjukkan masih eksisnya
penyelesaian tindak pidana di luar peradilan, bahkan pola tersebut telah melembaga
dengan kokohnya. Dari beberapa hasil-hasil penelitian yang dilakukan, antara lain
dapat diidentifikasi beberapa daerah yang masih mengakui keberadaan pola
penyelesaian delik adat sebagai berikut :

1. Dalam kalangan masyarakat Aceh, juga dikenal cara-cara penyelesaian konflik


lewat ritual ”peusejeuk”. Hal ini terungkap dari penelitian tentang pengendalian
sosial di desa-desa tertentu di Aceh yang dilakukan oleh Alpian.
2. Terhadap delik adat Sasak yang tetap eksis di kalangan masyarakat adat Sasak
(lombok), seperti : ”Bekekaruh”, ”Bero dait sesato”, ”Ngeregah”, ”Ngampahang” atau
”Ngamburayang” juga dikenal cara-cara penyelesaiannya dengan memerankan
tokoh-tokoh adat sasak yang terhimpun dalam suatu lembaga yang bernama
”krama desa” di tingkat desa dan ”krama gubuk” di tingkat dusun., dimana
lembaga ini seringkali bertindak sebagai hakim perdamaian desa khususnya

8Untuk penyelesaian kasus-kasus delik adat oleh desa adat di Bali seperti tersebut nomor
1 sampai nomor 7, lebih jauh lihat I Gusti ketut Ariawan 1992.“Eksistensi …” hal. 150 - 256

19
dalam menyelesaikan delik adat sasak yang sifatnya ringan atas dasar
musyawarah atau ”begundem”
3. Dalam kalangan masyarakat hukum adat Lamaholot Kabupaten Flores Timur
juga dikenal cara-cara penyelesaian delik adat yang disebut : ”lewak tapo”, ”mao”
atau ” manuk telun”. Ritual dimaksud telah mengakar dengan kuat dan bahkan
telah menjadi budaya masyarakat setempat, dalam upaya untuk mencari kausa
kejahatan baru (balas dendam) karena belum dilakukannya ritual adat sebagai
upaya untuk menetralisasi keseimbangan yang terganggu.
4. Di kalangan masyarakat adat Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua dikenal
beberapa jenis delik adat yang sebagian besar juga termasuk delik umum dalam
KUHP. Apabila delik tersebut dilanggar maka terhadap si pelanggar dapat
diminta pertanggungjawabannya oleh ”mananwir” selaku hakim adat melalui
Dewan Adat Kainkain Karkara Biak, sebagai lembaga peradilan perdamaian
lingkungan masyarakat hukum adat Biak Numfor. Delik adat mamun/aipyokem
(pembunuhan), wos bin (perzinahan) dan sasmer bin (membawa lari seorang anak
perempuan gadis atau istri orang) dikategorikan sebagai delik adat berat, namun
pemahaman orang Biak selama ini menganggap delik pembunuhan, perzinahan
dan membawa lari anak gadis atau istri orang disebut sebagai ”mambri” (orang
kuat/hebat) dan sikap yang ditunjukkan itu dianggap mengangkat martabat
dari klen/keretnya, sehingga yang bersangkutan disegani, dan dihormati
sebagai pahlawan. Berbeda halnya dengan delik pencurian, karena dianggap
tabu maka pelakunya dapat dikenakan sanksi diusir dari kampungnya.
Setiap pelangaran adat yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan
masyarakat adat, harus segera dipulihkan. Pengembalian atau pemulihan
keseimbangan ini, biasanya selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan
yang harus dipertanggungjawabkan kepada si pelanggar adat. Perbuatan atau
kejadian ini, tidak selalu dalam bentuk tindakan yang bersifat jasmaniah, bahkan
tindakan-tindakan itu sebagian besar merupakan tindakan yang bersifat
rokhaniah, dalam bentuk kewajiban untuk melakukan ritual-ritual adat tertentu
yang dapat diyakini untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu. Ritual

20
adat merupakan salah satu upaya pemulihan keseimbangan yang terganggu
dalam masyarakat, masyarakat hukum adat Biak Numfor biasanya menggelar
upacara pemulihan keseimbangan hanya dikhususkan untuk delik adat
mamun/aipyokem (pembunuhan). Istilah yang dipergunakan, yaitu ”wafwuf afer”
(tiup kapur) atau ”owapuk ambober” (potong bambu) sebagai simbol yang
memiliki nilai kerelegiusan dan kesakralan dalam mendamaikan si pelaku
dengan pihak keluarga korban.

5. Di kalangan masyarakat Kampung Kabupaten Waropen9 Provinsi Papua, delik


adat lebih variatif. Dalam masyarakat hukum adat di kampung-kampung

kabupaten Waropen, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai


pelanggaran adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang
sifatnya ringan. Klasifikasi perbuatan sebagai delik di kampung-kampung
di 4 distrik, yaitu : distrik Maserei, Urei Faisei, Waropen Bawah dan
Oadate apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam: 1) delik terhadap
badan dan nyawa ; 2) delik harta benda ; 3) delik terhadap kehormatan
seseorang ; 4) delik terhadap kesusilaan ; dan 5) pelanggaran lainnya.
Hanya saja, di masing-masing kampung / distrik, penyebutan nama delik
tersebut berbeda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing. Berikut
nama-nama perbuatan yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran adat di
masing-masing distrik :

A. Distrik Maseirei :
Distrik Maseirei terdiri dari 9 kampung dengan jumlah penduduk
kurang lebih 3.159 jiwa, terdiri dari 14 suku10, yaitu : 1) Suku Mambai; 2)

9 I Gusti Ketut Ariawan dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung

Kabupaten Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA Kabupaten Waropen, Provinsi Papua,
Tahun 2008
10 Jumlah suku yang teridentifikasi. Banyaknya jumlah suku karena patokan bahasa yang

dipakai sebagai pedoman.

21
Suku Papado; 3) Suku Risei; 4) Suku Sewobari; 5) Suku Bokadaro; 6) Suku
Oadate; 7) Suku Papai; 8) Suku Aniboi; 9) Suku Mayawahedo; 10) Suku
Urato; 11) Suku Sinonnde; 12) Suku Koweda; 13) Suku Sauri Sirame; dan
Suku Rowiare
Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat,
yaitu :

No Klasifikasi Nama/sebutan dalam Sanksi Keterangan


bahasa setempat

1. Delik terhadap 1. Munio (penganiayaan) Denda Besar dan


badan dan 2. Famunio (pengania- Denda bentuk
nyawa yaan dengan menggu- denda
nakan alat) ditentukan
oleh
lembaga
adat, kepala
kampung
dan
keamanan
3. Munifero (penganiayaan Diserahkan
yang berakibat mati) ke kepolisian

2. Delik terhadap Humamana (pencurian) Denda sda


harta benda

3. Delik terhadap Ghadadumana (pelecehan Denda sda


kehormatan bagi sebutan nama kepala
seseorang kampung)

4. Delik terhadap 1. Wererai (menceraikan Denda sda


kesusilaan suami/istri tanpa alasan
yang sah) Delik ini dibagi
menjadi 2 golongan,
yaitu :

a. Ri Bingga : apabila
suami menceraikan
istri tanpa alasan yang
sah.
b. Ri Mangga : apabila
istri menceraikan
suaminya tanpa alasan
yang sah.

22
2. Omamana (Zinah)

5. Pelanggaran lain Yai Iningga (Khewan Denda sda


peliharaan/sapi pelihara- an
yang lepas, kemudian
memakan tanaman orang
lain sehingga menimbul-
kan kerugian)

B. Distrik Ureifaisei :
Distrik Ureifaisei terdiri dari 7 kampung dengan jumlah penduduk
kurang lebih 4.387 jiwa, terdiri dari suku, yaitu : 1) Suku Faisei
Saubowoa; 2) Suku Nubuai; 3) Suku Mambui; dan Suku Woyui
Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat,
yaitu :
No Klasifikasi Nama/sebutan dalam Sanksi Keterangan
bahasa setempat

1. Delik terhadap 1. Fameio (penganiayaan), Denda Penjatuhan


badan dan disebutkan juga dalam Piring atau denda
nyawa istilah lain, seperti : uang dilaksanaka
Kifamei, Kifaniu, n oleh Sera
Kimonio dibantu sera
titibi dan
Eso

2. Delik terhadap 1. Bumemana (pencurian Denda Pada masa


harta benda yang dilakukan secara lalu, apabila
bersama-sama / lebih dari denda
1 orang) dijatuhkan
2. Humamana (pencurian biasanya
yang pelakunya hanya 1 dalam
orang) bentuk
kewajiban
menyerahka
n
atap/gabok

3. Delik terhadap Tidak ada istilah, tetapi Denda -


kehormatan sebutan bagi orang yang

23
seseorang melakukan pelecehan,
disebut ”Swanggi” dan
apabila pelecehan dilakukan
terhadap wanita,sebutannya
”Onaruruwaei”

4. Delik terhadap 1. Minarei Dinikahkan Bila tidak


kesusilaan (perzinahan)apabila mau
dilakukan oleh orang yang menikah,
belum dalam status oleh
pernika- han, sebutannya putusan
Wimabo-Waribo. adat akan
dijatuhkan
denda
barang dan
uang

5. Pelanggaran lain Raika Rongu : mengakui Denda -


hak orang lain

C. Distrik Waropen Bawah :


Distrik Waropen Bawah terdiri dari 12 kampung dengan jumlah
penduduk kurang lebih 4. 721 jiwa, terdiri dari 5 keret besar, yaitu : 1)
Keret Sawai; 2) Keret Wairo; 3) Keret Saimua; 4) Keret Imbiri; dan 5) Keret
Watofa
Di distrik Waropen Bawah tidak banyak dapat diidentifikasi nama-
nama delik/pelanggaran adat, namun dalam bahasa yang telah umum
diterima oleh masyarakat kampung-kampung di distrik waropen bawah
dikenal suatu istilah atau sebutan nigogoko atau niyaro yang artinya
anggota masyarakat yang tidak tahu adat. Namun demikian, dalam
penelitian ini, dapat pula diidentifikasi (nama-nama) beberapa jenis
pelanggaran adat, yang apabila diklasifikasi termasuk juga dalam tindak
pidana terhadap badan dan nyawa, tindak pidana yang tertuju pada harta
benda, tindak pidana terhadap kehormatan, tindak pidana terhadap
kesusilaan dan jenis pelanggaran lain, seperti nampak dalam tabel berikut
:

24
No Klasifikasi Nama/sebutan dalam Sanksi Keterangan
bahasa setempat

1. Delik terhadap 1. Munggaiwara Sanksi adat Bagi orang


badan dan nyawa (penganiayaan) denda luar
Piring atau kampung,
uang sanksinya
bisa diusir

2. Delik terhadap 1. Humamana (pencurian) Sanksi adat -


harta benda 2. Yokoharo (penipuan) denda
Piring atau
uang

3. Delik terhadap - - -
kehormatan
seseorang

4. Delik terhadap 1. Youmamana (Zinah) Sanksi adat -


kesusilaan 2. Pelanggaran adat yang denda
melarang melakukan Piring atau
perkawinan bagi uang
mereka yang
mempunyai hubungan
darah dekat

5. Pelanggaran lain 1. Nigogoko atau Niyaro denda -


(sebutan yang umum
dipakai untuk
menunjukkan bahwa
orang tersebut tidak tahu
aturan adat)

Dari beberapa jenis pelanggaran adat tersebut dapat diketahui


bahwa jenis-jenis tindak pidana tersebut telah diatur dalam KUHP
sebagai delik pidana umum. Namun menurut pandangan masyarakat
adat setempat, jenis-jenis pelanggaran tersebut termasuk juga
pelanggaran adat/delik adat.

25
Terhadap jenis pelanggaran adat tersebut, penyelesaiannya
dilakukan di hadapan kepala kampung dan kepala adat. Putusan yang
diambil, semuanya didasarkan pada musyawarah mufakat, dalam suatu
ritual adat yang disebut ‟Waisowosiyo‟ yang artinya mari duduk secara
bersama-sama untuk menyelesaikan masalah11. Lebih-lebih dalam
pelanggaran adat ”perkelahian” atau penganiayaan, ritual Waisowosiyo
sangat mempunyai arti/makna. Dalam pandangan masyarakat adat di
kampung-kampung distrik Waropen Bawah, proses peradilan formal
kasus-kasus adat hanya menyelesaikan masalah di permukaan, dan
belum menyelesaikan masalahnya secara tuntas. Ritual ini dimaksudkan
pula untuk menghindarkan adanya balas dendam yang tidak saja dapat
dilakukan oleh keluarga dekat korban, tetapi kemungkinan pula
dilakukan oleh keturunan korban.
D. Distrik Oadate :
Oadate berasal dan kata : ”Owa furu” dan ”Date” Owa furu berarti
orang yang tidak tahu apa-apa / pengembara. Sedangkan ”date” berarti
sekelompok orang di darat. Secara harfiah, Oadate berarti ikatan orang-
orang darat. Sebutan orang darat lebih berkonotasi pada pembedaan
orang-orang waropen pesisir dengan orang-orang yang mendiami daerah
dataran di daratan waropen. Namun perlu dicatat bahwa dalam
pandangan masyarakat adat oadate, prinsipnya semua orang berasal dari
darat yang kemudian sebagian dari mereka pergi ke pesisir.
Distrik Oadate terdiri dari 5 kampung dengan jumlah penduduk
kurang lebih 1984 jiwa. Di distrik Oadate terdapat kurang lebih 18 suku,
namun dalam penelitian ini hanya diwakili oleh 4 suku, yaitu : 1) Suku

11Hasil wawancara dengan Gharak Rumabin Anthonius Rumboisano (Kepala Suku


Besar Sawai)

26
Demisa; 2) Suku Choria/Oa; 3) Suku Sapuni/Kuriye; dan Suku Nubuai
(suku Kai Barat)
Di kalangan masyarakat adat suku Demisa, otoritas Dewan Adat
dipimpin oleh seorang kepala adat suku besar yang disebut ”Date
Teadiya” Kepala suku besar dibantu oleh panglima tertinggi adat,
mahkamah tinggi adat dan komandan perang lapangan. Di kalangan
suku Demisa, berlaku suatu ketentuan bahwa seorang anak laki-laki,
sebelum melangsungkan perkawinan, ia wajib untuk menuntut ilmu
dalam sekolah adat. Sekolah adat dapat pada masa lalu, lamanya sampai
12 tahun dan kemudian berubah menjadi 6 tahun, kemudian berubah
menjadi 3 tahun, berubah lagi menjadi 1 tahun. Sekarang sekolah adat
hanya berlangsung selama 3 bulan, karena di kalangan suku demisa ada
kekhawatiran aktivitas sekolah adat ini bisa dicurigai sebagai kegiatan
yang melanggar aturan. Selesainya yang bersangkutan menjalankan
kewajiban belajar di sekolah adat menjadi tolok ukur bahwa seseorang
telah dewasa (”basire”). Bagi mereka yang belum mengenyam pendidikan
sekolah adat disebut ”boose”.
Sekolah adat di kalangan suku demisa, mengajarkan berbagai
keterampilan seperti : ilmu perang/strategi taktik serang, mengenali
musuh12, adaptasi dengan alam/lingkungan sampai kemampuan untuk
berubah wujud menjadi binatang seperti : tikus, buaya ataupun burung
kaswari dan juga kemampuan untuk memanggil binatang-binatang
tertentu13 Apabila dikaji dari penjelasan tersebut di atas, sebenarnya dapat
disimpulkan bahwa sekolah adat tersebut sebenarnya berkaitan erat

12 Strategi perang yang dipergunakan oleh suku Demisa adalah menyerang pada waktu
malam hari. Untuk mengenal lawan dan kawan, ”bokoraho” (memasang jamur pada jidat yang
menyala di malam hari) merupakan sarana yang ampuh untuk mengenal kawan.
13 Rangkuman wawancara dengan Simon Didam dan Saul Didat sebagai kepala suku

Demisa.

27
dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dimana seseorang anggota suku
harus dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya, baik bertahan
dari serangan lawan maupun upaya bagaimana mereka dapat
mempertahankan hidup dengan memiliki keterampilan berburu dengan
cara memanggil binatang yang akan menjadi sasaran bidikannya.
Di kalangan suku-suku di distrik Oadate, tidak dikenal istilah-
istilah untuk menyebutkan suatu perbuatan sebagai delik/pelanggaran
adat. Hanya saja dalam sebutan yang telah umum diterima, istilah
”Kaowamero” dipakai sebagai sebutan bagi pelanggaran-pelanggaran
norma adat, baik itu untuk pelanggaran berupa pencurian, penganiayaan
maupun pembunuhan. Di kalangan suku Oa/Choria pelanggaran norma
adat disebut ”Birimdate” atau ”Datefiyae” yang berarti orang tidak baik.
Pada masa lalu, pelanggaran-pelanggaran adat selalu diancam dengan
hukuman mati sebagai putusan dari kepala suku yang sifatnya mutlak.
Kepala suku (”Oa”) dalam melaksanakan kewenangannya dibantu oleh
”Oedate” atau ”Oweidate” sebagai wakil dan juga ”Kumambe”
(masyarakat perang) dan ”Oboadamo” (masyarakat umum). Suku ini juga
mengenal sekolah adat, hanya saja berbeda dalam kurun waktu
pelaksanaannya dibandingkan dengan suku Demisa. Sekolah adat di
kalangan suku Oa/Choria hanya berlangsung 1 tahun, kemudian dirubah
menjadi 6 bulan. Dan setelah masuknya agama dan pemerintahan,
sekolah adat hanya berlangsung selama 7 hari (1 minggu). Namun yang
sama adalah materi yang diajarkan di sekolah adat, sama dengan apa
yang diajarkan dalam sekolah adat suku Demisa. Orang-orang yang
termasuk dalam suku Oa/Choria, menyebut pelanggaran adat sebagai
”Dilimdamo” yang berarti salahi aturan adat.

28
Yang menarik, adalah ditemukan 2 cara perdamaian adat dalam
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran adat, yang disebut ”Sarohe” atau
pisang perdamaian adat. Dalam ritual ini, pisang sarohe dibakar beramai-
ramai (antara mereka yang terlibat konflik). Setelah pisang matang, semua
mengambil posisi berdiri dan kepala suku mulai berbicara, kemudian
disusul dengan pengucapan sumpah bersama untuk tidak melakukan
konflik. Kemudian, pisang dipatahkan dan sisanya dibagikan kepada
masing-masing warga.
Di kalangan suku Oa/Choria, juga dikenal cara perdamaian yang
disebut dengan istilah ”Atayumero” (penukaran perdamaian). Pola
penyelesaian ini biasanya dilakukan terhadap kasus-kasus perkawinan
ataupun perkelahian. Caranya adalah dengan cara penukaran sarana-
sarana tertentu, yang pada masa lalu biasanya dalam bentuk ”wemo”
(anjing), ”jubi” (anak panah).

6. DELIK ADAT DAN PERADILAN DI DAERAH OTONOMI KHUSUS


Pada masa kolonial ada dua bentuk peradilan untuk orang pribumi yaitu
”Peradilan Adat” dan ”Peradilan Desa”. Antara kedua badan peradilan ini,
sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipiil. Peradilan Desa umumnya
terdapat hampir di seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang
bersifat teritorial. Namum peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang
bersifat teritorial maupun geneologis. Akan tetapi yang jelas kedua peradilan
dimaksud terkait dengan fungsi dari suatu masyarakat hukum adat
(adatrechtgemeenschap) yang ditemukan diberbagai masyarakat adat di
Nusantara. Namun tidak semua masyarakat adat mengenal adanya peradilan
adat atau peradilan desa, karena mereka hanya mengenal adanya suatu
mekanisme penyelesaian sengketa menurut hukum adat setempat.

29
Ketika pemerintah menetapkan Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun
1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan, Pengadilan Sipil (LN. 1951 No. 9)
pada tanggal 13 Januari 1951 pemerintah secara tegas sudah menentukan sikap
mengenai keberadaan peradilan adat dan kedudukan peradilan desa. Pada
pokoknya Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 berisi 4 hal yaitu :
1. Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana
negara kesatuan.
2. Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja di beberapa
daerah tertentu dan semua pengadilan adat.
3. Pelanjutan peradilan agama dan peradilan desa; serta
4. Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat di mana
dihapuskan Landgerecht atau Pengadilan Negara serta pembentukan
Pengadilan Tinggi di Makassar dan pemindahan tempat kedudukan
Pengadilan Tinggi Yogya dan Bukit Tinggi masing-masing ke Surabaya
dan Medan.
Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 menyatakan
pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman,
dihapus segala Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in rechtsreeks bestuurd
gebied), kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang
hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat. Kemudian dalam
ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak
sedikitpun mengurangi kekuasaan yang sampai saat ini diberikan kepada
hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana di maksud dalam Pasal 3a
Rechterlijk Organisatie.
Penghapusan Peradilan Adat dimaksud untuk menciptakan adanya
kesatuan sistem peradilan melalui suatu Pengadilan Negara. Penghapusan

30
peradilan swapraja dan peradilan adat tak memungkinkan dijalankan pada saat
peraturan ini diundangkan, karena konsekuensinya bagi hakim pada Pengadilan
Negeri diperluaskan beban tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
penghapusan peradilan adat dilakukan secara berangsur-angsur menurut
kebutuhan dengan memperhatikan kesiapan tenaga-tenaga hakim di pengadilan
negeri.
Untuk itu, penghapusan peradilan adat dilakukan melalui beberapa
ketentuan seperti:
1. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17
(TLN 276) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Swapraja dan
Pengadilan Adat di seluruh Sulawesi;
2. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No.
J.B.4/4/7 (TLN. 462) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Adat
di seluruh Lombok;
3. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 TLN.
461) jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954
No. J.B.A./4/20 (TLN. 642) tentang penghapusan-penghapusan
pengadilan-pengadilan swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh
Propinsi Kalimantan;
4. Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan
Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Jaya
Barat. (Peraturan Presiden ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun
1969 ditetapkan menjadi Undang-undang). Sebagai pelaksanaan
dikeluarkan Keputusan Bersama Gubemur Kepala Daerah Propinsi Irian
Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura No. 11/GIB/1970/BO-
11/TV/1970 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di
daerah Propinsi Irian Barat

31
Pada zaman orde lama telah dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun
1964 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dalam Undang-undang ini tidak ada pernyataan yang tegas tentang
penghapusan peradilan adat. Di dalamnya hanya ada Pasal 1 ayat (1) yang
menyatakan “semua peradilan di selurh wilayah Republik Indonesia adalah
peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang”. Penjelasan Pasal
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada dua Pasal yang
secara khusus menyangkut peradilan adat yaitu :
1. Pasal 3 ayat (1) menyatakan “semua peradilan di seluruh wilayah
Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Penjelasan Pasal ini (TLN. 2951) menyatakan pasal ini
mengandung arti bahwa di samping peradilan negara, tidak
diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh
bukan peradilan negara.
2. Pasal 39 menyebutkan Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja
dilakukan oleh Pemerintah. Sebagian penjelasan pasal mi menyatakan
bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan,
susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat (2) oleh
Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilakukan
penghapusan pengadilan adat/ swapraja. di seluruh Bali, Propinsi
Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku.

Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat


dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai akibat
di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga peradilan di luar
peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.
A. Peradilan Syari’at di Aceh :
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat
dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh
adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan
Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengakuan Negara atas

32
keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006
No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15
Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat
menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara
berkelanjutan14.
Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah,
syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal
alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah
(hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar,
dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at Islam diatur dengan
Qanun Aceh.
Peradilan syari‟at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan
nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah
Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar‟iyah
merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di
Aceh.Mahkamah Syar‟iyah terdiri atas Mahkamah Syar‟iyah
Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah
Syar‟iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah
Syar‟iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung15.

14
https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/

15Ibid

33
Mahkamah Syar‟iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah
(hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana)
yang didasarkan atas syari‟at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-
Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah
(hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
Putusan Mahkamah Syar‟iyah Aceh dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar‟iyah
adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Sengketa wewenang
antara Mahkamah Syar‟iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan
lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan
tingkat terakhir. Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama
bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan
menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah.
Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan
jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku
hukum jinayah.

B. Peradilan Adat di Provinsi Papua dan Papua Barat


Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang merupakan instrumen kebijakan
publik, pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memberikan solusi atas
permasalahan krusial yang terjadi di Papua. Masalah tersebut meliputi: 1)

34
konflik politik, berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang dipandang
oleh pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatis. 2) konflik sosial antara
warga, sebagai akibat tidak adanya solusi yang memadai atas menguaknya
konflik politik yang muncul lebih dahulu, serta 3) ketertinggalan
pembangunan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat Papua, dibanding
sebagian besar provinsi lain di Indonesia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara politik Otsus


memuat pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, melalui kebijakan
desentralisasi yang lebih memadai, secara sosial memuat pengakuan dan
penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar
masyarakat asli Papua dalam kerangka Kebhinekaan Indonesia. Pengakuan
dan penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar
masyarakat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 B ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Repubhik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.

Berkenaan dengan pelaksanaan peradilan adat dalam Undang-undang


Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 menentukan :
”Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Hukum Repubhik Indonesia”,
kemudian Pasal 2 menentukan ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer.

35
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Lebih jauh, dalam Pasal l3 ayat (1) ditentukan bahwa semua
peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan
negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.

Ketentuan di atas secara jelas menyatakan bahwa penyelenggaraan


kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkmah Agung dan semua peradilan di
seluruh wilayah negara Indonesia adalah peradilan negara, namun Undang-
Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua dalam BAB XIV tentang kekuasaan peradilan. Pasal 50 ayat (2) dan
Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) menentukan :

Pasal 50:
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan
Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana di masksud pada ayat
(1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat.
Pasal 51
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat
hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili
sengketa adat dalam perkara pidana diantara para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.

36
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan
perkara pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) berdasarkan
hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara
berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang
memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang
berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat
pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang
bersangkutan.
(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara
dan kurungan.
(6) Putusan pengadilan mengenai delik pidana yang perkaranya tidak
dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana dimasud pada ayat (4),
menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut
ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan
persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri yang
mewilayahinya, yang diperoleh melalui kepala kejaksaan negeri yang
bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(8) Dalam hal permintaan pemyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi
putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak
oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan
Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

37
Makna dari Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8)
Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua, mengatur adanya Badan Peradilan Adat untuk
menyelesaikan kasus-kasus perdata dan pidana adat. Intinya bahwa
Peradilan Adat menyelesaikan kasus-kasus yang putusan hukumnya adalah
“perdamaian” antara para pihak, tetapi apabila para pencari keadilan itu
menghendaki putusan hukum untuk “menang dan kalah”, maka tempatnya
adalah di Pengadilan Negeri dan tingkatan selanjutnya.

7. P E N U T U P
a. Pembentukan hukum pidana nasional tidak dapat dilepaskan dengan
latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh karenanya dimensi
pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita
cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan
sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum
nasional, sehingga cita-cita unifikasi hukum dalam bidang hukum
mampu menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan
hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat ke dalam sistem
hukum nasional.
b. Pengakuan akan keberadaan hukum pidana adat, tidak hanya ada di Bali,
tetapi juga di daerah-daerah lain.
c. Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat
dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai

38
akibat di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga
peradilan di luar peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.

39
DAFTAR BACAAN

Ariawan, I Gusti Ketut 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam
Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program
Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta

------------dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung Kabupaten


Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA
Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, Tahun 2008

Arief, Barda Nawawi Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1996)

Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato


Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 1990)

Soedjatmoko 1986.Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial


Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana

Vollenhoven., Van Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht),
terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama
dengan LIPI, (Jakarta : Djambatan, 1981)

https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/

40

Anda mungkin juga menyukai