Anda di halaman 1dari 56

i

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

Penulis :
Imam Subqi, M.S.I., M.Pd
Sutrisno, M.Pd.I
Reza Ahmadiansah, M.Si

Editor :
Rasimin

Layout :
IVORIE

ISBN :
978-602-52161-8-3

Diterbitkan oleh:
Penerbit Taujih
Jl. Merak 51 Gonilan Kartosuro 57162
Email : penerbit.taujih@gmail.com
Cetakan I, Desember 2018

Dicetak oleh :
Percetakan IVORIE, Solo
isi di luar tanggungjawab percetakan.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena


berkat rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, buku yang berjudul
Islam dan Budaya Jawa ini dapat hadir ke tengah-tengah para
pembaca yang budiman. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW beserta keluarga dan
para sahabatnya dan para pengikutnya yang telah memberikan jalan
pencerahan bagi umat manusia melalui keikhlasan memperjuangkan
agama, dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Buku ini mencoba menelusuri lebih jauh bagaimana hubungan


Islam dan budaya Jawa yang sudah terjadi berabad-abad sejak Islam
datang di Jawa. Islam masuk di Jawa melalui jalur Selat Malaka dan
selanjutnya ke Pulau Jawa pada abad ke-7 Masehi didasarkan pada
berita dari China masa pemerintahan Dinasti Tang. Berita itu
menyatakan tentang adanya orang-orang Ta’shih (Arab dan Persia)
yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kaling di bawah
pemerintahan Ratu Sima pada tahun 674 Masehi. Namun pendapat
lain menjelaskan bahwa masuknya Islam di Jawa pada abad ke-11
Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti adanya sebuah batu nisan
Fatimah binti Maimun yang berada di dekat Gresik Jawa Timur. Batu
nisan ini berangka tahun 1082 Masehi.

Masuknya Islam di Jawa membawa perubahan-perubahan


termasuk budaya, dalam perkembangannya terjadi akulturasi budaya
antara Islam dan budaya Jawa, sehingga masyarakat Jawa memiliki
pandangan bahwa memaknai Islam dan budaya memiliki relasi yang
tak terpisahkan. Islam sendiri ada nilai universal dan absolut sepanjang
zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma berjalan tidak kaku
(rigid) dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu
tampil dalam bentuk yang luwes ketika berhadapan

iii
dengan masyarakat yang beraneka ragam budaya, adat kebiasaan
atau tradisi. Sebagai sebuah fakta sejarah, agama dan kebudayaan
dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan
simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan
kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol
supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan
sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan
agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu
yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal
perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular,
relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat
berkembang sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan,
agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam
merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan
kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal, adat
atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak
bertentangan dengan spirit nash al-Quran dan as-Sunnah.

Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di


masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budaya.
Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya
memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia,
tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek
keberagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya
yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan
kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga
sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau
agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau lainnya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga
sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya,
meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan

iv
ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya
Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus
berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi ada juga yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran
Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah budaya
Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus bertentangan
dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak
memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak
menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang.
Melalui buku ini, mudah-mudahan bisa memberikan
sumbangsih gambaran bagaimana relasi Islam dan budaya Jawa.
Selanjutnya penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang membantu dan men-support
dalam penyelesaian penulisan buku ini. Khusus pada penerbit yang
telah membantu menerbitkan buku ini, penulis ucapkan terimakasih
dan penghargaan setinggi-tingginya. Akhirnya, segala urusan
ending-nya penulis serahkan kepada Allah SWT sebagai penentu
kehidupan hamba-Nya. Semoga buku yang ada di tangan pembaca
bermanfaat dan menjadi amal ibadah kita bersama. Amin.

Salatiga, 30 Agustus 2018


Penulis,

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................2
A.. Islam Dan Tradisi Jawa..............................................................2
B.. Ruang Lingkup..............................................................................6
BAB II MANUSIA DAN KEBUTUHAN DASAR............................ 12
A.. Hakikat Manusia.........................................................................12
B.. Kebutuhan Dasar Manusia.....................................................19
C.. Kebutuhan Ekonomi................................................................. 23
D.. Manusia Indonesia Seutuhnya..............................................24
BAB III MAKNA DAN TRANSMISI KEBUDAYAAN....................26
A.. Makna Kebudayaan..................................................................26
B.. Pewarisan Budaya.....................................................................39
C.. Pendidikan dan Kebudayaan.................................................43
D.. Transmisi Kebudayaan........................................................... 52
BAB IV MASYARAKAT DAN DINAMIKA KEBUDAYAAN........56
A.. Dinamika Kebudayaan.............................................................56
B.. Konsep Dinamika Kebudayaan.............................................59
BAB V ISLAM DAN BUDAYA JAWA................................................70
A.. Makna Agama.............................................................................74
B.. Agama Islam................................................................................82
C.. Sumber Ajaran Islam................................................................93
BAB VI SEJARAH ISLAM DI JAWA..............................................102
A.. Islam Masuk di Indonesia.....................................................102
B.. Islam Masuk di Jawa.............................................................. 107
BAB VII BUDAYA DALAM PANDANGAN ORANG JAWA....113
A.. Budaya dalam Pandangan Islam.......................................118
B.. Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa.........................126
C.. Budaya Jawa Pra Hindu-Budha..........................................127
D.. Budaya Jawa Masa Hindu Budha......................................128
E.. Budaya Jawa Masa Kerajaan Islam..................................130
BAB VIII AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA............133
A.. Akulturasi Budaya Jawa........................................................133

vi
B.. Interaksi dan Bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya
Jawa. 139
C.. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa.........................................143
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................160
TENTANG PENULIS............................................................................166
CATATAN :...............................................................................................170

1
1.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Islam Dan Tradisi Jawa

Dalam sejarahnya Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan


yang tak terpisahkan. Dalam Islam sendiri, ada nilai universal dan
absolut sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak
kaku (rigid) dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu
tampil dalam bentuk yang luwes pada saat berhadapan dengan
masyarakat yang beraneka ragam dalam budaya, adat kebiasaan atau
tradisi. Sebagai sebuah fakta sejarah, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.
Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah
SWT. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia
bisa hidup di dalamnya secara baik, damai, dan bahagia. Agama
memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan
kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah
sesuatu yang final, universal, abadi dan tidak mengenal perubahan
(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang
sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai
kolektivitas tidak akan mendapat tempat.

Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan


manusia semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara
bertindak manusia dalam kehidupannya. Perkembangan budaya ada
yang berlangsung cepat (revolusi kebudayaan) dan ada pula yang
berkembang perlahan (evolusi kebudayaan). Perkembangan budaya

2
jenis yang kedua ini (bersifat evolutif) hampir tidak bisa dirasakan
gerak pertumbuhannya sebab berlangsung lama. Ia seakan-akan
hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh
yang bersangkutan, baik secara individu maupun kelompok
(kolektif). Meski demikian, satu kenyataan yang pasti adalah
kebudayaan terus dan akan menggiring atau digiring oleh
manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.
Di Indonesia mayoritas yang penduduknya beragama Islam,
dengan komunitas muslim terbesar di dunia bila dibandingkan
dengan negara-negara lainnya. Sebelum Islam masuk di Indonesia,
khususnya pulau Jawa, ada kepercayaan lama yang telah
berkembang lebih dulu, yaitu agama Hindu-Budha yang pada masa
itu banyak dipeluk oleh kalangan kerajaan-kerajaan, sedangkan
kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kaum
awam. Walaupun ketiga kepercayan lama itu berbeda namun
bertumpu pada satu titik yang sama yaitu kental dengan nuansa
mistik dan berusaha mencari sangkan paraning dumadi (kemana
tujuan nantinya setelah hidup manusia berakhir) dan mendambakan
manunggaling kawula gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan).

Salah satu akulturasi Islam dan budaya Jawa yaitu ritual


adat atau kebudayaan lama yang masih berjalan hingga
sekarang, misalnya Nyadran, sampai sekarang masih menjadi
rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada
bulan dan hari yang telah ditentukan.
Agama identik dengan kebudayaan. Karena keduanya merupakan
pedoman petunjuk dalam kehidupan. Bedanya, petunjuk agama dari
Tuhan dan petunjuk budaya dari kesepakatan manusia. Ketika agama
Islam datang pada masyarakat, sebenarnya masyarakat sudah memiliki
petunjuk yang menjadi pedoman yang sifatnya masih lokal. Ada atau
tidak adanya agama, masyarakat akan

3
terus hidup dengan pedoman yang mereka miliki itu. Jadi,
datangnya agama besar tersebut identik dengan datangnya
kebudayaan baru yang akan berinteraksi dengan kebudayaan
lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan lama.
Hubungan agama dengan kebudayaan dapat digambarkan
sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal balik. Agama
secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman
masyarakat berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya. Sedang
kebudayaan selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh
masyarakat. Jadi hubungan agama dan kebudayaan bersifat dialogis.

Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun


dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal,
adat atau tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan spirit
nash al-Quran dan al-Sunnah.
Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat
Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan
budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan
budaya nasional di Indonesia. Dalam konteks ini yang menjadi nama-
nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu juga
jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan
budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan
bangsa dan negara di Indonesia.

Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya


memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia,
tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-praktik
keberagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya
yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan
kepercayaan Hindu-Budha dan terus bertahan hingga sekarang,
meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang
berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

4
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga
sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya,
meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa
yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan
dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan
kuat tentunya dapat memilih dan memilah budaya Jawa yang masih
dapat dipertahankan tanpa harus bertentangan dengan ajaran Islam.
Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama
Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu
dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus berjalan
hingga sekarang.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, umumnya
berbagai aspek kehidupan dan peradaban manusia terus menerus
mengalami perkembangan. Agama merupakan salah satu unsur
yang mendominasi kehidupan sosial suatu masyarakat. Di
Indonesia mempunyai beberapa jenis agama yang dianut oleh
masyarakatnya. Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Indonesia dan sangat mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama Islam dan agama-
agama lain di Indonesia telah disahkan untuk dijadikan pedoman
hidup yang berisi norma-norma atau kaidah-kaidah dalam
bermasyarakat sehingga tercipta kehidupan yang selaras, serasi
dan seimbang. Kemunculan berbagai ritual kebudayaan di berbagai
daerah mempunyai karakteristik tersendiri di tiap daerahnya. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan keadaan lingkungan dan sebagian
besar lahir atas peninggalan nenek moyang di daerahnya, sehingga
budaya merupakan harta yang tak ternilai bagi pelaku budaya,
karena budaya merupakan pencipta peradaban yang kuat.

5
Dalam pandangan masyarakat Jawa bahwa akulturasi Islam dan
budaya Jawa merupakan sebuah proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun
diterima dan kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian budaya itu sendiri. Bentuk dari akulturasi budaya
Jawa sebagai bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa
sebagai warisan leluhur yang secara turun-temurun dari generasi-ke
generasi yang lain terus di jaga. Adapun bentuk akulturasi budaya Jawa
yaitu tradsi Nyadran, meronan, dandangan, besaran, sekaten, grebeg,
labuhan, slametan, ruwatan, tirakat, ziarah ke makam, wayang dan lain-
lain yang dilakukan secara turun-temurun.

B. Ruang Lingkup

Selaras dengan dasar pemikiran di atas, maka ruang


lingkup kajian dalam buku ini penulis buat menjadi delapan bab,
yang masing-masing isinya dapat dijabarkan sebagai berikut.
Bab satu, Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang
gambaran umum bagaimana relasi Islam dan budaya Jawa tidak
hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan
Indonesia, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-
praktik keberagamaan, ruang lingkup. Melalui pendahuluan ini,
para pembaca diharapkan tertarik dan mampu memahami
secara sepintas tentang isi buku sehingga akan memudahkan
dalam mengkaji buku ini secara mendalam.
Bab dua, dalam bab ini menjelaskan manusia dan kebutuhannya,
yang di dalamnya berisi tentang kebutuhan dasar manusia,
kebudayaan, dan peradaban manusia. Manusia sebagai khalifah

6
Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya,
yaitu kebutuhan rohani (ilmu, seni, budaya, sastra), kebutuhan
jasmani atau fisik (sandang, pangan, perumahan, peralatan
teknologi, dan kebutuhan sosial (sarana ibadah, sarana
pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum). Maka
dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa
ini, manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan
akal budinya mampu mengubah nature menjadi culture, mampu
mengubah alam menjadi kebudayaan. Manusia tidak hanya
semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, namun mereka
justru mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut
kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan
Bab tiga, dalam bab ini akan menjelaskan Makna dan Transmisi
Kebudayaan; tiga hal yang penting yaitu makna budaya, diartikan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa,
karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya
dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi menjadi dua
macam: (1) Kebudayaan jasmaniah (kebudayaan fisik) yang meliputi
benda-benda ciptaan maanusia, missal alat-alat perlengkapan hidup.,
dan (2) Kebudayaan rohaniah (nonmaterial) yaitu semua hasil ciptaan
manusia yang tidak dapat dilihat dan diraba seperti: agama, ilmu
pengetahuan, bahasa, dan seni. Pewarisan budaya; Segala sesuatu
yang ada di muka bumi Indonesia ini kelak akan diberikan kepada
generasi penerus bangsa, termasuk kebudayaan. Namun demikian,
pewarisan tidak dapat berlanjut jika hal yang diwariskan telah tidak ada,
seperti suatu kebudayaan. Pendidikan dan Kebudayaan; Dalam
konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk
“memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda”
(meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan

7
antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan
merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan
manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi
(pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan
perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak
tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang bersangkutan).

Bab empat, Masyarakat dan Dinamika Kebudayaan. Bab ini


menjelaskan tentang bagaimana Dinamika Kebudayaan;
Mengapa kebudayaan berubah, karena berubah merupakan sifat
yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya
kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang berubah. Konsep Dinamika Kebudayaan;
proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut
sebagai dinamika sosial. Beberapa konsep tersebut antara lain
sebagai berikut. (1) Proses belajar kebudayaan sendiri, yang
terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi; (2) Evolusi
kebudayaan dan difusi; (3) Proses pengenalan unsur-unsur
kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi; dan (4)
Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.
Bab lima, Islam dan Budaya Jawa; bab ini menjelaskan
bagaimana Makna Agama; Orang Jawa mendefinisikan agama sebagai
satu pegangan hidup yang mengatur bagamaina cara hidup bertuhan
dan berkemanusiaan. Dan Agama itulah yang akan menunjukkan,
menuntun dan mengarahkan hidup manusia dalam kehidupan agar
tidak tersesat dalam melangkah didalam kehidupan ini. Agama Islam;
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai
Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan
hanya mengenal satu segi, tetapi mengenal berbagai segi dari
kehidupan manusia. Sumber Ajaran Islam; Agama Islam bersumber

8
dari al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang
memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam
atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan
akhlak) dikembangkan dengan ra’yu atau akal pikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya.
Bab enam, Sejarah Islam di Jawa; menjelaskan bagaimana
Sejarah Islam Masuk di Jawa; Islam masuk di Indonesia pada sekitar
abad ke-7 atau abad ke-8 M dan di bawa oleh para pedagang dari Arab
dan Gujarat. Penyebaran ke seluruh Nusantara menggunakan jalan
damai, yaitu perdagangan dan perkawinan. Perkembangan Islam di
Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan para wali Wali sanga.
Bab tujuh, akan menjelaskan Budaya dalam Pandangan Orang
Jawa; Budaya dalam Islam; Sikap Islam yang akomodatif dalam
menerima unsur budaya lokal di Jawa telah mengantarkan umat Islam
sebagai komunitas terbesar di Jawa. Tanpa sikap akomodatif seperti ini
gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Jawa akan terasakan
begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan
dengan watak geografis, iklim, dan kesejukan udara Jawa yang lebih
memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap
yang akomodatif. Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa; fase-fase
pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauhmana
pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini
penting dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya
Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa
pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa
kerajaan Islam. Budaya Jawa Pra-Hindu Budha; sebelum datangnya
pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal
secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila
nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti
kebudayaan yang mewarnai seluruh

9
aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut
orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang
paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Budaya Jawa Masa Hindu Budha; Kebudayaan Jawa pada masa Hindu
dan Buddha mendapat pengaruh yang kuat dari kepercayaan yang
dianut masyarakat dan kondisi sosialnya. Agama Hindu dan Buddha
yang berkembang pesat pada saat itu terinterpretasikan melalui
kegiatan keagamaan. Misalnya upacara-upacara, ritual-ritual, dan
tradisi-tradisi dalam masyarakat Jawa. Upacara-upacara tersebut
dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa. Pada
masa Kerajaan Majapahit, para agamawan melaksanakan ritual
kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang kebanyakan
merupakan tempat pemujaan leluhur. Budaya Jawa Masa Kerajaan
Islam; Kerajaan Islam di Jawa dalam hal ini dimulai dengan berakhirnya
kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini
tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat gelar
para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah
yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal
yang masih bersahaja (animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak
diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa.
Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat
Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf
kesadaran ke-Islaman mereka.

Bab delapan, mengungkap bagaimana Akulturasi Islam dan


Budaya Jawa yaitu Akulturasi Budaya Jawa; sebuah proses sosial
yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

10
budaya itu sendiri. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa; Dalam
bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa
merupakan warisan leluhur yang secara turun-temurun dari
generasi-ke generasi yang lain terus di jaga. Adapun bentuk
akulturasi budaya Jawa yaitu tradsi Nyadran, sekaten, grebeg,
labuhan, slametan, ruwatan, tirakat, ziarah ke makam, wayang
dan lain-lain yang dilakukan secara turun-temurun.

11
8.
BAB VIII
AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

A. Akulturasi Budaya Jawa

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1989), istilah akulturasi


diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang individu
atau sekelompok masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari
kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari kontak atau interaksi
dari kedua kelompok kebudayaan tersebut, sedangkan akulturasi
budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia berupa
pencampuran dari beberapa macam kebudayaan secara perlahan
menuju bentuk budaya baru. Dari definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu
bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi
satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau
sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan
baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. Mengenai
pengertian tentang akulturasi, Koentjaraningrat dalam bukunya
Pengantar Ilmu Antropologi (1990: 253-254) juga mengemukakan
bahwa:
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut
lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri.
Perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-

133
unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan
penerima, akan memberikan suatu gambaran yang konkret tentang
jalannya suatu proses akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).
Proses dari wujud akulturasi kebudayaan, terjadi ketika
beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam
jangka waktu yang cukup lama, kemudian masing-masing dari
kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi
satu kebudayaan. Hasil dari proses wujud akulturasi kebudayaan
tersebut, dapat dilihat pada bahasa, religi dan kepercayaan,
organisasi sosial kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
kesenian dan bentuk bangunan. Bentuk dari perwujudan
akulturasi budaya, merupakan salah satu hasil aktivitas manusia
dalam menjalankan proses perpaduan budaya.
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa
pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah
sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah
Tanah Jawa) sebagai berikut:
Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang
berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-Cahyo, Nur-Cahyo berputrakan
Nur-Rasa, Nur-Rasa berputrakan Sang Hyang Tunggal Istana Batara
Guru disebut Sura laya (nama taman Firdaus Hindu). Dari kutipan
naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi
timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir
kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya
Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali
berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba
untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi
ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa Islami.

Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran

134
kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon
yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk
membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu,
wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk
mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang
dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran
dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara
ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama,
masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan
kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat
yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama;
sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan
dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di
Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan
abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.
Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan
kekuasaannya pada seperempat abad kelimabelas. Pada jaman ini
pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang
politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel
(Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka
adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh
agama/ wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran
dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.
Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari
budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi
animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya
Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai
bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit.
Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala

135
sesuatunya tidak jelas sebab pemaknaan simbol-simbol tersebut
bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang
tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang
bercorak mistik.
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama
secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya
suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan
religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk
halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya
di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan
hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh
dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat
Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang)
ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon
dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam


melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh
keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai
budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam
pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa
terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan
pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan
keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah.
Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur
untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang
kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan
sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial

136
yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan
yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika
pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-
upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial
yang sarat dengan nuansa keagamaan.
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa ada dua pendekatan
yang digunakan agar nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya
Jawa. Pendekatan yang pertama yaitu Islamisasi Kultur Jawa.
Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-
nama Islam dan pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai
cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-
norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan
yang kedua yaitu Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya
penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara pertama, asimilasi
dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol
ke-Islaman Nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan
pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa
tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nila-nilai
Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan
menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang
beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam
keJawaab atau Jawa yang keIslaman sehingga timbul istilah Islam
Jawa atau Islam Kejawen. Sebagai contoh sebutan Jawa narimo
ing pandum yang pada hakikatnya adalah penerjemahan dari
tawakkal sebagai konsep sufistik. Dalam fiqih terdapat konsep
sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris dari
konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan
perempuan, dan masih banyak contoh lainnya.
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek
fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama

137
kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang
gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan
dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapat rukun
iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai
atau diimani oleh muslim. Sementara itu dalam budaya Jawa pra
Islam yang bersumber dari ajaran agama Hindu terdapat
kepercayaan tentang adanya para dewata.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha,
maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang
menjadi proses perkembangan Islam berinterelasi dengan
kepercayaan-kepercayaan dalam Islam. Pada aspek ketuhanan,
prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai
unsur Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah
dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ul husna
telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi
(al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qodir), dan lain-lain.
Kaitannya dengan ketentuan takdir baik ataupun buruk dari
Tuhan, dalam budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh
teologi Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih
bersikap pasrah, sumarah, dan narimo ing pandum terhadap
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun
demikian manusia juga berpeluang untuk berikhtiar dengan
kemampuan yang dimiliki, setidaknya dengan berdoa, memohon
pertolongan kepada-Nya, ada juga ikhtiar yang lebih diwarnai
oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitif atau
bersumber dari agama Hindu.
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan
kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud kegiatan
ritualistik tersebut adalah meliputi berbagai bentuk ibadah
sebagaimana yang tertulis dalam rukun Islam, yakni syahadat,

138
shalat, puasa, zakat, dan haji. Dalam aspek doa dan puasa
tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai
berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik
upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia
sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak,
remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-
hari. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk
menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak
dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan
dengan menggunakan sesaji atau semacam korban yang disajikan
kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahluk-mahluk halus,
dewa-dewa) tertentu. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku
upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

B. Interaksi dan Bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu


agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral
dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”,
yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk
menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat
manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan
ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan
dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme
teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena
proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.
Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus
dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan

139
oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh karena itu,
konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam
perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view)
bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral
person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-
Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai
meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.
Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara
pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam
konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format
kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi
keabadian (transendental), dan dimensi temporal. Format
kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat
dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun
bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.
Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan
sosial budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu
pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang
kompromis. Pendekatan non-kompromis, yaitu dakwah Islam
dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak mau
menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan
ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu
suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai,
penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama
dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan
tradisi agama masing-masing (cultural approach).
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih
pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat
Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan
dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui

140
daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit.
Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun
tradisi budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan.
Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya
menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu
yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.
Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik
budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif,
dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan
kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut:
1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning
Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis,
percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan)
dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke
arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal
dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok
hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung
bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal;
7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9)
cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10)
kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto,1990:
144).

Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu.


Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya
agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan
kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat
Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan
keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik
dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama

141
itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi
timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang
masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta.
Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila
berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti
KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui
Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran
Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat,
dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal
banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya
orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa
pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran
agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah
benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para
leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang
dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain
sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari
kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan
Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya.
Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda
keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan
berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan
benda-benda keramat tersebut.

Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus


yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar
manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang
menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu,
mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus

142
tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai
ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya
dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya
penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu
Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan
sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut
Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram
(Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka
terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1994: 347).

Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan


mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang
keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan
tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya
otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-
tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat
menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.

C. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa

Dalam bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa


merupakan warisan leluhur yang secara turun-temurun dari generasi-ke
generasi yang lain terus di jaga. Oleh karena itu, tradisi ini dapat
digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja (2002: 2), folklor
adalah sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Menurut John Harold Bruvant (dalam Danandjaja, 2002: 3),
berdasarkan tipenya, folklor dapat digolongkan

143
dalam tiga kelompok: (1) folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya
murni lisan, misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional,
cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; (2) folklor sebagian lisan,
yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat,
adat-istiadat, upacara dan pesta rakyat; (3) folklor bukan lisan, yaitu
folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya
diajarkan secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan
non-material. Yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat,
kerajinan tangan, pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat
musik, dan senjata.
Menurut Koentjaraningrat sistem upacara religi mengandung
empat komponen pokok atau utama yang harus ada dalam
rangkaian upacara, yaitu (1) tempat pelaksanaan upacara, (2) saat
atau waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda pusaka dan
perlengkapan upacara, dan (4) orang-orang yang bertindak sebagai
pelaksana upacara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain empat
komponen utama tersebut dalam upacara adat terdapat juga
kombinasi dari berbagai unsur, seperti berdoa, bersujud, bersaji,
berkorban, makan bersama, menari, menyanyi, berprosesi, berseni,
berpuasa, bertapa, dan bersemedi (Koentjaraningrat, 1985: 240).
Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan
masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
kebudayaan itu. Salah satu wujud kebudayaan yang seringkali dikenal
oleh masyarakat Jawa adalah tradisi Nyadran. Tradisi Nyadran ini
dilakukan secara turun-temurun. Sebagaimana ritual dalam
penanggalan Jawa lainnya, seperti Suranan, Muludan, dan Syawalan.
Esensi Nyadran adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi
keselamatan dan kesejahteraan. Tradisi ini merupakan salah satu
warisan budaya nenek moyang kita, yang patut untuk dilestarikan.

144
Budaya masyarakat yang senantiasa dilestarikan dan dijaga
keberlangsungannya akan membentuk sebuah tradisi. Dimana tradisi
tersebut merupakan ciri khusus yang mereka jaga eksistensinya.
Namun, dengan munculnya masa modernisasi yang ditandai dengan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang kian tak
terbatas telah banyak mempengaruhi perilaku individu dalam
masyarakat. Hingga berdampak pula pada budaya-budaya yang sejak
awal telah dibentuk oleh masyarakat sendiri. Adapun faktor yang dapat
mempengaruhi tradisi Nyadran, antara lain: untuk menghormati leluhur
yang telah menciptakan tradisi Nyadran, misalnya sebagai salah satu
bentuk penghormatan kepada sesepuh Dusun yang sangat ditokohkan
dan disebut-sebut sebagai orang pertama yang mendirikan Dusun itu.
Dan masih banyak lagi.

Dalam perkembanganya, di antara nilai-nilai budaya lokal


yang masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat Jawa
sampai saat ini antara lain:
1. Tradisi Sekaten
Menurut sejarah, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan
Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan
Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten
yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi
tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji
kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus
untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri
kerajaan Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama)
dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut
selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta
menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para
wali dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati

145
pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian
disebut Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya
menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu
syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat (Fredy
Heryanto, 2009: 27). Inti dari acara perayaan ini adalah berupa
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai
wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.
2. Tradisi Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang
diselenggarakan tiga kali dalam setahun untuk memperingati
hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari
bahasa Jawa ‘grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’.
Karena perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu
diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebeg. Pengertian
Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu
diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.
Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari
besar Islam seperti: (1) Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari
pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri;
(2) Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar
(Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya Idul Adha (Qurban);
(3) Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari kedua belas bulan
Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pada setiap upacara Grebeg, Sultan berkenan memberi
sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut
berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan,
serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng
besar) sehingga disebut gunungan. Gunungan

146
ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan
Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju
halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu
oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan
tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin
mendapatkan berkah dari gunungan itu (Fredy Heryanto: 29).
3. Tradisi Labuhan
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama
dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air
(sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan
adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus
yang berkuasa di suatu tempat (Purwadi, 2006: 36).
Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan
benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan
kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul,
dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang
Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan
kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta
berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari
dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera.
Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja
mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh
halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai
peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja
sebelumnya terutama raja pendiri dinasti Mataram
(Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap
membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan.
Dengan demikian, maksud dan tujuan diadakannya upacara
labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton
Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta (Purwadi, 2006: 38).

147
4. Tradisi Slametan

Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang


berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai
sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-
apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-
apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui
praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan
komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer
sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa,
bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti
(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan),
hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan
demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan
dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga
untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak bala’). Dalam tradisi
slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si
empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang
diyakini sebagai makanan “bertuah.” (Anonim, 2011)

Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka


mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun
rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan,
kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati
keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga
yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari,
100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk
memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca
dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa
juga disebut tahlilan ( Marwan Salahudin, 2008: 55).

148
Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Nurcholish Madjid
yang mengatakan bahwa kaum santri menolak banyak sekali
unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain
yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih
dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi target
kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan
selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoakan
orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya,
seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun
(pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-
selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang
meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu
biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang
intinya adalah membaca kalimat ‘laa ilaaha illallah,’ dengan
maksud berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang
lebih kontroversial lagi (dimata kaum reformis) adalah
‘mengirimkan pahala wirid’ itu kepada arwah yang meninggal
(Nurcholish Madjid,1997: 35).

Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa


hubungan sosial masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa
diperlakukan sama satu dengan lainnya. Kalau mereka sudah
duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak
ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi.
Slametan menimbulkan efek psikologi dalam bentuk
keseimbangan emosional dan mereka meyakini bakal selamat,
tidak terkena musibah atau tertimpa malapetaka setelah
mereka melakukan kegiatan ini (Marwan Salahudin: 67).
5. Tradisi Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan
membebaskan seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman
bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah doa, memohon

149
perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga
doa memohon pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang
telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini
berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis,
namun sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan
bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya
keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan
sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan
orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang
kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini
sebenarnya untuk tolak bala’. Upacara ini berasal dari cerita
Batara Kala, yaitu raksasa yang suka makan manusia. Menurut
kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi gabungan
dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku
Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat.
Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus
dilengkapi dengan berbagai sesajen yang dulunya masih
sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam sesajen
saja, namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya.
Sesajen-sesajen ini terdiri dari berbagai macam makanan, lauk
pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan
digantungkan sepanjang batang bambu melintang di atas
panggung bagian depan dan dengan layar di sisi atas. Sesajen
ini sebenarnya merupakan perlambang antara harapan dan
rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang dilakukan
orang Jawa tampak sekali pusaran tradisi pada pembebasan
Sukerta dari mangsa Batara Kala (Baedhowi: 28).
6. Tradisi Nyadran
Istilah tradisi berasal dari kata bahasa latin “tradition “ yang
artinya diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling
sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk

150
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat Jawa, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari
tradisi adalah adanya sebuah informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (https://
id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).

Tradisi merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-


ulang dalam bentuk yang sama (Soerjono Soekanto, 1987: 13).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tradisi adalah adat
kebiasaan turun- temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan dalam masyarakat (Pusat Bahasa, 2005: 1208).
Jadi, tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara terus
menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan secara turun-
temurun. Sedangkan etimologi bahwa kata “Nyadran” berasal
dari bahasa Arab yaitu “sodrun” yang artinya dada atau hati.
Makna Nyadran dalam masyarakat Jawa diartikan sebagai
membersihkan hati menjelang bulan Ramadhan. Makna
lainnya Nyadran adalah sadran yang berasal dari kata sudra
sehingga Nyadran berarti menyudra menjadi sudra atau
berkumpul dengan orang-orang awam. Ini mencerminkan nilai-
nilai bahwa pada hakikatnya manusia adalah sama.
Sementara Purwadi menyampaikan dalam bukunya bahwa
kata Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa sansekerta
artinya tradisi mengunjungi makam leluhur atau sanak saudara
menjelang datangnya bulan Ramadhan (Purwadi, 2006: 12).
Karena lidah orang Jawa maka kata sadra kemudian berubah
menjadi kata Nyadran yang memiliki arti ziarah kubur, tradisi
Nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan
kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud tradisi Nyadran adalah kebiasaan masyarakat

151
berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang
dengan memanjatkan doa selamat melalui ziarah kubur
yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan dengan tujuan
untuk membersihkan hati.
Menurut catatan sejarah, tradisi Nyadran memiliki
kesamaan dengan tradisi Craddha yang ada pada zaman
kerajaan Majapahit (1284 M). Kesamaannya terletak pada
kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudah
meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual
sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan
terhadap yang sudah meninggal.
Secara etimologis, kata Craddha berasal dari bahasa
Sansekerta “sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau
kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur
yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi
kehidupan anak cucu atau keturunannya. Oleh karena itu,
mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan
tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu,
mereka yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa
kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya,
sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan
diberi penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi, 1989).
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak
tradisi Hindu-Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan
dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengIslaman
atau pribumisasi ajaran Islam berlangsung sukses dan
membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya adalah
tradisi sraddha yang menjadi Nyadran.
Karena pengaruh agama Islam pula makna Nyadran
mengalami pergeseran, dari sekadar berdoa kepada Tuhan,
menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada

152
bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran
Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan,
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh
karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana
introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya
yang telah dilakukan selama setahun. Saat itu, Nyadran dimaknai
sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah
nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama
Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam
Nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi
dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan
dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi
ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya budaya Nyadran. Oleh karena itu, Nyadran bisa jadi
merupakan “modifikasi’ dari para wali ketika memperkenalkan
agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali,
karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang
Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun
menjadi media syiar agama Islam. Selain ritual Nyadran, salah
satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam Islam
berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah,
agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa
mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-
waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik
terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka
menyongsong lebaran, atau Idul Fitri. Sedangkan arus kedua
terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para
perantau kerap memposisikan Nyadran lebih tinggi dibanding Hari
Raya Idul Fitri. Setidaknya, para keluarga

153
akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada
lebaran. Apalagi ketika tradisi mudik lebaran juga berarti masa
perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal,
jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik Nyadran,
biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha
mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau
kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati.
Sejarah munculnya tradisi Nyadran tidak dapat dilacak
kapan sebenarnya tradisi Nyadran bagi orang Jawa itu
dilakukan. Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam
ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang
maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang
telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia
berintrospeksi. Dalam masyarakat Jawa, tradisi atau ritual
Nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh
sebelum agama Islam masuk. Saat itu, Nyadran dimaknai
sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada
arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan.
Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13,
ritual semacam Nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat
laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa
dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat
pedesaan Jawa umumnya menyelenggarakan upacara Nyadran
secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari
hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang
kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama
mengadakan doa dan makan bersama (kenduri). Ada

154
juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan
doa bersama di makam.
Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi
gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu
ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya
memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan
(khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem
sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa,
makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam
setiap upacara atau slametan yang terkait dengan kematian.
Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah
mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.

7. Tradisi Tirakat
Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di
kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa
pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat
dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami
Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak
melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat
adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk
mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual
keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran,
kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya
bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih
keteguhan pribadi (Konetjaraningrat, 1984: 371).
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih,
siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti
seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari
Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan
Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama

155
beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel
artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak
lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari.
Ngebleng berarti berpuasa dan menyendiri dalam ruangan
tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang
waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti
berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang
tak dapat ditembus cahaya (Konetjaraningrat, 1984: 371).
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga
dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi
kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata,
seperti disebut di atas, merupakan bentuk pendisiplinan diri
secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit
seperti puasa. Sedangkan semedi merupakan cara pemusatan
konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai
penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin
bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap
semakin dekat pada Tuhan.

8. Ziarah makam
Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum
sekali di kalangan Islam Santri yang masih terpengaruh dengan
kejawen. Hanya saja menurut Nurcholish Madjid, hal ini tidak jelas,
apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme
atau Jawanisme. Sebab, sebelum Islam datang, agama yang ada
adalah Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan
makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah
makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang
keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu
memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-
lain. Di Jombang, makam yang

156
paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10
KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam
Jum’at beratus orang berziarah, dan pada malam Jum’at Legi
jumlah itu dapat mencapai ribuan (Nurcholish Madjid: 36).

9. Wayang
Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia
yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sementara
pembuatan wayang dari kulit kerbau, dimulai oleh Sunan
Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan
wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang
terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan
yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan
dengan syara. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian
menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang menghadap
(Jawa: methok) menjadi miring. Selain itu, atas saran para wali
yang lain, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk,
Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan yang lucu
(Purwadi, 2004: 176).
Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi,
bahwa penamaan punakawan tersebut memiliki makna filosofis.
Semar dari kata bahasa Arab “Simaar” atau “ismarun” artinya
paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak,
kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya,
yang memiliki makna kemantapan dan keteguhan. Karena itu
ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap
sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar,
Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh
banyak teman. Sesuai dengan tujuan dakwah yaitu
memperbanyak teman dan sahabat dalam beribadah kepada Allah
SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata “fatruk” yang artinya
tinggalkan yang jelek. Dan Bagong berasal dari

157
kata “bagho” yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara
rasa yang baik dan buruk, benar dan salah (Purwadi, 2004: 178).
Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayng terdapat lakon
Jimat Kalimasada yang merupakan lambang dari dua kalimah
syahadat. Cerita Jimat Kalimasada tidak ada dalam epos asli
Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering dipentaskan oleh
Sunan Kalijaga. Haparannya untuk mengajak orang-orang Jawa di
pedesaan maupun di kota Kaprajan daerah mana pun untuk
mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama
Islam (Purwadi, 2004: 178).

Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang


tidak dicantumkan dalam makalah ini, namun dari contoh di
atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang
lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa
Jawa memiliki banyak budaya lokal. Sebagian tetap
bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi
dengan nilai-nilai keIslaman.
10. Saparan
Tradisi saparan adalah ritual untuk menolak bala’, suatu
tradisi yang sudah menjadi kebiasaan rutin di masyarakat akan
sulit dihilangkan. Khususnya pada masyarakat Jawa, suatu
tradisi dianggap sangat penting karena menurut mereka
warisan itu dari nenek moyang. Selagi tradisi tersebut tidak
menyimpang dari syariat Islam khususnya bagi masyarakat
pemeluk agama Islam maka tidak masalah tradisi tersebut
dijalankan. Tradisi tersebut juga mengandung adanya
pendidikan yang Islami. Karena tradisi ini suatu adat kebiasaan
yang sudah mendarah daging di masyarakat yang bisa dipikir
dengan akal sehat tidak logis kenyataannya.
Pelaksanaan tradisi tersebut ada yang rutin setiap satu

158
tahun sekali. Tradisi ini dilakukan di bulan Sapar (bulan Jawa),
yang menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya
tetap makmur dan sejahtera serta untuk mengirim doa dan dzikir
bersama masyarakat. Tradisi Saparan ini hampir mirip dengan
tradisi Nyadran yang biasa terjadi di bulan Suro (Muharram).
Tradisi Saparan ini hampir dilakukan oleh setiap warga desa.
Biasanya, warga desa Batur dilaksanakan tradisi saparan dengan
mengadakan pentas seni berupa pentas kesenian wayang,
dangdutan, campur sari, reog. Untuk kalangan menengah ke
bawah biasanya tradisi ini menghabiskan biaya sebesar 1 – 3 juta
rupiah dan untuk kalangan menengah ke atas menghabiskan
biaya sebesar 3-5 juta rupiah bahkan lebih.

159
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2002. Simbul, Makna dan Pandangan Hidup Jawa:


Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg. Yogyakarta:
Balai Kajian Seajarah dan Nilai Tradisional.
______________. 2006 Konstruksi dan Reproduksi Budaya. Yoyakarta:
Pustaka Pelajar.
______________. 2006. Konstruksi dan
Reproduksi Kebudayaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Afdillah, Muhammad. 2010. Jurnal Kajian KeIslaman. Al-Afkar. Vol 3.
No 2.
Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
Gama Media.
Ana, P. A. t.t. Komunikasi Ritual Natoni Masyarakat Adat Boti
Dalam di Nusa Tenggara Timur.
Arwani, M. 2008. Memaknai Tradisi Berkat Mauludan di Krajen Purworejo
dalam Irwan Abdullah dkk (ed.), Agama dan kearifan Lokal
dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baedhowi. 2008. Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam
Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2008. Cultural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Beare, Hedley, et.al. 1994. Creating an Excellent School, Some New
Management Techniques. London and New York: Routledge.
Carey, J. W. 1992. Communication as Culture Essays on Media
and Society. New York: Routledge.
Coleman, Simon dan Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi.
Jakarta: Nuansa.
Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: LESFI.
Dewey, John. 1974. The Child and The Curriculum, and The
School and Society. Chicago and London: The
University of Chicago Press.

160
Dortier, Jeans-Francois. 2005. Talcott Parsons dan Teori Besarnya
dalam Anthony Giddens at.al. (ed)., Sejarah dan Berbagai
pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Effendi, Abdurrahman Riesdam, dan Gina Puspita. 2007.
Membangun Sains & Teknologi Menurut Kehendak
Tuhan. Jakarta: Giliran Timur
Faisal Ismail. 1996. Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan
Refleksi Historis. Yogyakarta: Tiara Ilahi Press.
Fedyani, Achmad Saifudin. 2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Fredy Heryanto. 2009. Nengenal Keraton Yogayakarta Hadiningrat.
Yogyakarta: Warna Grafika.
Gidden’s, Anthony. 1989. Sosiology. Cambridge: Polity Press.
Gregorio, C. Herman. Introduction to Education in Philipine Setting.
Manila: Garotech.
Griffits, Morwenna and Barry Troyne (ed). 1995. Antiracism,
Culture, and Social Justice in Education. London:
Trentham books limited.
Hamid, Endy Suandi. 1999. Pemerintahan yang Bersih Prespektif Politik,
Hukum, Ekomomi, Budaya dan Agama.Yogyakarta: UII Pres.
Handayani, T. 1995. Tradisi Nyadran dan Perubahan.
Harris, Marvin. 1988. Culture, People, Nature; An Introduction to General
Anthropology. New York: Harper and Row Publishers.
Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda, Tinjauan Pendidikan
Humaniora. Yogyakarta: Kanisius.
Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangya Islam di
Indonesia, Medan: Pt almaarif.
Heryanto, Fredy. 2009. Mengenal Keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Yogyakarta: Warna Grafika.
Hoffman, Lois et.al. 1994. Developmental Psychology Today.New York:
McGraw-Hill INC.
Hutagaol, R. 2013. Penerapan Tradisi Batak Toba. Yogyakarta: Skripsi.

161
Ihromi, TO. 1986. Konsep Kebudayaan: Pokok-Pokok Antropologi
Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.
IsJawara, F. 1964. Pengantar ilmu politik. Bandung: Dhewantara.
Isyanti. 2007. Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris.
Jantra : Jurnal Sejarah dan Budaya.
J. Havighust, Robert. 1984. Perkembangan Manusia dan Pendidikan.
Jakarta: Jemmars.
Joesoef, Daoed. 1982. Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai
Guru, dalam Majalah Kebudayaan, no. 1 tahun 1981/1982.
Karnaji, 2006. Pranata Ekonomi dalam J. Dwi Narwoko dan
Bagong Suyanto (ed.), Sosilogi: Teks Pengantar &
Terapan, Jakarta: Kencana.
Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan
Tradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press.
Koentjaraningrat, 1964. Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Ilahi Press
_______________. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara
Baru.
_______________. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara
Baru.
_______________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
_______________. 1990. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
_______________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
_______________. 1996. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
_______________. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kriyantono, R. 2012. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Kurniawan, Beni. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Grasindo.

162
M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Paham Kejawen
Pergumulan Tasawuf Versi Jawa, (Surabaya: Pustaka
Agung Harapan, 2006), hlm. 163. dalam Ridwan,
“Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa”, P3M
STAIN Purwokerto Ibda’, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun, 2008)
Madjid, Nurcholish. 2008. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya
dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat dan Paramadina.
________________. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Dian Rakyat dan
Paramadina.
Mark R. Woordwark. 2008. Islam Jawa, Kesalehan Normatif
Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.
Masinambow, EKM. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia.
Jakarta: AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mulyono. 1970. Sejarah & Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya.
Jakarta: Gramedia.
Mumfanganti, T. 2007. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat
Jawa. Jantra : Jurnal Sejarah dan Budaya. Hal. 152-158.
Muqoyyidin, Andik Wahyun. 2013. Jurnal Kebudayaan Islam. Hal 8-10.
No 1. Vol 11.
Nash, M. 1966. Primitive and PeasentEconomic System. San Fransisco:
Chandler Publishing Company.
Ndraha, Taliduhu, 2003. Ilmu Pemerintahan Baru. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nugroho, Widodo dan Achmad Muchji. 1993. Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: Universitas Gunadarma.
Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa, dan
Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI.
Prawiranegara, RM Yunani. “Ruwahan”, Tradisi Menjelang Ramadhan.
http://www.kompas.comlipsus082008lebaran_read (27
Oktober 2008).

163
Purwadi. 2004. Dakwah Sunan Kalijaga, Penyebaran Agama Islam
di Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwadi. 2006. Adat Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta: BudayaJawa.
com
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1983.
Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusbinbangsa.
Qasim A. Ibrahim, Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah
Islam, Yogyakarta: Zaman.RG Soekarjo. 1988.
Antroplogi. Jilid I & II. Alih bahasa. Jakarta: Erlangga.
Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” American
Ethnologist, 2, no.3 (August 1975).
Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, P3M
STAIN Purwokerto Ibda’, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun, 2008).
Rowntree, Derek. 1978. Educational Technology in Curriculum
Development. A. Wheaton & Co. Ltd., Exeter, Great Britain.
Ruslani. 2005. Tabir Mistik Ilmu Ghaib dan Perdukunan. Yogyakarta:
Tinta.
Sadjijoko. 2005. Fungsi Kepolisian dalm Pelaksanaan Good Governance.
Yogyakarta. LaksBang Yogyakarta.
Salahudin, Marwan. 2008. Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-
Ponorogo dalam Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semuel, Hatane. 2003. Pengaruh Kebutuhan Terhadap Motif
Penggunaan Kartu Debet Bank Central Asia (BCA) di
Kalangan Mahasiswa Aktif Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Petra Surabaya dalam Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, September 2003.
Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta :
Kencana.
Simuh. 1996. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Soekanto, Sorjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
RaJawali Pers.

164
Soeprato, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi
Modern. Malang: Averroes Press bekerja sama dengan
Yogakarta: Pustaka Pelajar.
Solomon, Pearl. G. 1998. The Curriculum Bridge; From
Standards to Actual Classroom Practice. California,
USA: Corwin Press. Inc.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudirman, Adi. Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Pres.
Sulaiman, Fathiyyah Hasan. 1991. Ibnu Khaldun tentang Pendidikan.
Jakarta: Minaret.
Surbakti, A. Ramlan. 2006. Pranata Politik dalam J. Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto (ed.), Sosiologi: Teks Pengantar
& Terapi. Jakarta: Kencana.
Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya.
Bandung: PT. Setia Purna Inves.
Suyanto. 1990. Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Syam, Nur. 2007. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.
Tahes Ike Nurjana, Suwarno Winarno, Yuniastuti, Tradisi Nyadran
Sebagai Wujud Pelestarian Nilai Gotong-Royong Para
Petani Di Dam Bagong Kelurahanngantru Kecamatan
Trenggalek Kabupaten Trenggalek, Jurnal Ilmiah.
Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta: Balai Pustaka.
Veeger, K.J. 1993. Relitas Sosial: Refleksi filsafat sosial atas
hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala
sejarah sosiologi. Jakarta: Gramedia.
Wahid Saiful Umam. Tradisi Nyadran Lintas Agama Di Dusun
Kemiri Desa Getas Kaloran Temanggung. Fakultas
Sosial dan Humaniora UIN Sunan
Williams, Marion, and, Burden, Robert. 1998. Thinking Through
the Curriculum. London, Britain: Routlege.

165
TENTANG PENULIS

Imam Subqi, lahir di Pati Jawa Tengah


30 Agustus 1978, dari pasangan Bapak
Kasnan (alm.) dengan Ibu Umiyati.
Jenjang pendidikan formalnya diawali di
SDN Kaliyoso II Undaan Kudus lulus
tahun 1992, Madrasah Tsanawiyah
(MTs) Tamrinut Thullab Undaan Kudus
lulus tahun 1995, Madrasah Aliyah (MA)
Nahdlotul Muslimin Undaan Kudus
lulus tahun 1998, selanjutnya menyelesaikan Strata satu (S.1) di STAIN
Kudus lulus tahun 2004, kemudian menyelesaikan Magister Studi Islam
(S.2) di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (sekarang UIN
Walisongo) lulus tahun 2008. Kemudian tahun 2013 menyelesaikan
Magister Teknologi Pendidikan di Pascasarjana Universitas Negeri
Jakarta (UNJ). Sejak tahun 2016 adalah Dosen Tetap IAIN Salatiga.
Aktif menulis diantaranya adalah Usia Dini Perlu Ganjaran dan
Hukuman (Rindang; 2005). Belajar Pe De; Kontekstualisasi Reward dan
Punishment dalam Pembelajaran, (Buku; 2009). Permainan Edukatif
dalam PAUD (Rindang; 2012), Metodologi Penelitian; Pendekatan
Praktis Kualitatif (Editor Buku; 2011). Media Pembelajaran; Teori dan
Aplikasi (Buku; 2012). Inovasi Pembelajaran dalam Mengembangkan
Kecerdasan Intrapersonal (Proseding; 2012). Pengaruh Kecerdasan
Intrapersonal dan strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar PAI
Siswa SMP Ampelgading Pemalang (Tesis; 2013). Pentingnya
Kecerdasan Intrapersonal dalam Pembelajaran PAI (Jurnal at-Tajdid;
2015). Membentuk Kepribadian Anak dalam Pendidikan Islam (Jurnal
Mudarisa). Hutang Piutang dalam Islam;

166
Sebuah Kontroversi Fenomena Riba (editor buku; 2015). Pola
Komunikasi Keagamaan dalam Membentuk Kepribadian Anak (Jurnal
Inject: 2016). Metodologi Penelitian; Pendekatan Praktis kualitatif
(Editor Buku; 2017). Pendidikan Moral Anak Jalanan (Editor Buku;
2018). Selain sebagai Editor Jurnal Inject, aktif juga sebagai peserta
seminar, FGD, Workshop tingkat nasional dan internasional.

167
Sutrisno, lahir di Kudus Jawa Tengah 22
September 1980, dari pasangan Bapak
Wagiran (alm.) dengan Ibu Maslikhah (alm).
Jenjang pendidikan formal diawali di SDN 2
Golantepus Mejobo Kudus lulus tahun 1991,
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahut Tholibin
Mejobo Kudus lulus tahun 1995, Madrasah
Aliyah (MA) Miftahut Tholobin Mejobo Kudus
lulus tahun 1998, selanjutnya
menyelesaikan Strata satu (S.1) di STAIN Kudus lulus tahun 2003,
kemudian menyelesaikan Magister (S.2) di Pascasarjana STAIN
Salatiga (sekarang IAIN Salatiga) lulus tahun 2014. Sejak tahun 2015
menjadi Dosen di IAIN Salatiga. Karya tulis dan Journal diantaranya
adalah “Peran Polotik Umat Islam dalam Perpolitikan Indonesia”,
“Dimensi Afektif dalam Perspektif Pendidikan”, Efektivitas Asesmen
Sertifikasi Guru Melalui PLPG”, “Perpustakaan Penyelamat Umat
Sebagai Dakwah Sosial”, dan lain-lain. seminar dan pelatihan yang
pernah diikuti penulis antara lain: Seminar Nasional “Peran dan
Tantangan Pengelola Media Penyiaran di Era Teknologi Informasi”,
Semiloka “ Institution Visibility Based on Open Journal System and
Online Academic Writing Skill”, “Workshop Penyusunan Kurikulum
Berbasis KKNI”, Seminar “Islamic Based Enterpreneurship”, “Seminar
Internasional Pertama Literatur Nusantara (SILiN2017)”.

168
Reza Ahmadiansah, lahir di Suka Banjar
Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu 06 April
1985, dari pasangan Bapak Lukman dengan
Ibu Raka’ataini. Jenjang pendidikan
formalnya diawali di SDN Suka Banjar 1 lulus
tahun 1997, Madrasah Tsanawiyah Negeri
(MTsN) Bintuhan lulus tahun 2000, Madrasah
Aliyah Negeri (MA) Bintuhan lulus tahun
2003, selanjutnya menyelesaikan
Strata satu (S.1) di STAIN Salatiga lulus tahun 2010 (sekarang IAIN
Salatiga), kemudian menyelesaikan Magister Psikologi (S.2) di
Pascasarjana UKSW Salatiga lulus tahun 2014. Disela menyelasaikan
S2 nya, penulis juga menjadi wartawan Jawa Pos Radar Semarang dan
pernah juga menjadi staf di Panwaslu Kota Salatiga dan pada tahun
2015 sampai dengan sekarang menjadi staf pengajar di IAIN Salatiga.
Jurnal yang pernah ditulisnya; Pengaruh Motivasi Kerja dan Kepuasan
Kerja Terhadap Kinerja Guru SMK Muhammadiyah Salatiga (jurnal
inject, vol 1, no. 2 tahun 2016. Sedangkan Diklat yang pernah diikuti,
antara lain: Workshop Pembelajaran Dosen (2016). The Exclusive one
Day Workhshop Become A Successsfull Entrepreneur (2016).
Workshop Penguatan Program Studi PTKIS di lingkungan Kopertais X
Jawa Tengah (2017). Semiloka Institution Visibility Based on Open
Journal System and Online Academic Writing Skill (FPPTI Jawa
Tengah; 2017). Workshop Penyusunan Kurikulum Berbasis KKNI
Program Studi Psikologi Islam Fakultas Dakwah IAIN Salatiga (2017).
Pelatihan Kader Dakwah; Membumikan Dakwah Profetik Melalui Seni
dan Teknologi (IAIN Salatiga; 2017). Peserta seminar tingkat nasional
dan internasional di berbagai forum ilmiah. Disela kesibukan
mengajarnya, penulis juga menjadi editor pada Jurnal Inject sejak 2016
sampai dengan sekarang.

169
CATATAN :

170

Anda mungkin juga menyukai