Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Asma


2.1.1 Definisi Asma
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa batuk, mengi, sesak nafas dan rasa berat didada terutama
pada malam hari atau dini har yang umumnya bersifat reversibel baik dengan maupun tanpa
pengobatan(Depkes RI,2009)
Definisi asma yang banyak dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh The
American Thoracic Society yaitu asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningatnya respon
trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun sebagai
hasil pengobatan.
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asma adalah penyakit paru yang heterogen dengan obstruksi saluran pernapasan yang
sembuh sebagian atau total, spontan atau dengan terapi. Serangan umumnya singkat,
walaupun jarang, asma dapat berakibat fatal. Secara tradisional asma dapat diklasifikasikan
dua kelompok yaitu alergi ( ekstrinsik ) dan idiosinkrasi (intrinsik). Asma ekstrinsik
merupakan asma yang dipicu oleh alergen atau mediator IgE. Umumnya terdapat pada orang
dan / atau riwayat keluarga dengan penyakit alergi. Sedangkan asma intrinsik jika tidak
ditemukan alergen spesifik sebagai pemicunya, dan terdapat pada pasien tanpa riwayat alergi
dalam keluarganya.

2.1.2 Etiologi Asma


Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor lingkungan dan
faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998)
dalam Eder et al (2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa
orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak.
Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada
asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur
pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma
bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa
paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut
diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut
berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE
diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering
mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor
genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro
(2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar
berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya
meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit. Mekanisme patogenik yang
menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan
asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor
turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien
asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang
telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator- mediator ini yang akan menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan
antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling
utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008). Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta
menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al,
2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi
sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot
polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila
berikatan dengan reseptor spesifik.
Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan pasti.
Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling disepakati oleh para ahli
adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan sistem imun.
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya inflamasi
hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi maupun non-alergi.
Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologi utama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur IgE , masuknya allergen kedalam
tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel ini akan memberikan
instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk serta sel- sel radang
lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinifil, neotrofil, trombosit, serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin (PG), leukotrin
(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan
mempengaruhi organ sasaran menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler,
edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non- alergi selain merangsang sel
inflamasi, juga merangsang sistem saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hiperreaktivitas saluran napas.
Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai keadaan
dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi saluran napas, kerusakan
epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi saluran napas.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
2.1.3. Faktor Predisposisi
- Genetik.
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
- Alergen
Dimana alergen dapat dibagai menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Ex : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yahg masuk melalui mulut
Ex : Makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Ex : perhiasan, logam, dan jam tangan
- Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau, musim bunga,.
Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga danb debu
- Stress
Stress / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress / gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
- Lingkungan Kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja dilaboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polusi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
- Olahraga / aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas.

2.1.4 Patofisiologi Asma


Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena inflamasi saluran
napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru.
Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan
peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion
mismatch).2 Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi
melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.
Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi
curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.10 Ventilasi perfusi yang tidak
padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan
dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi
sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai Bagan 1. Patofisiologi asma2 Pemicu /
Pemacu / Pencetus Bronkokonstriksi, edem mukosa, sekresi berlebihan Obstruksi jalan napas
Ventilasi tidak seragam ventilasi-perfusi tidak padu padan Hipoventilasi Asidosis alveolar
Vasokonstriksi pulmonal Penurunan surfaktan Atelektasis Hiperinflasi paru Gangguan
compliance Peningkatan kerja napas PaCO PaO 2 2 58 Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000
alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi
kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau
nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman
gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot napas.10 Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi
pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat
merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan
risiko terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini dapat menjelaskan patofisiologi asma.10
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan
pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan
VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedang
penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun
kecil. Gejala mengi (wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar,
sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.
Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan kebutuhan
oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan peningkatan tidal
volume. Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural terhadap fungsi paru selama
kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa dan saluran pernapasan merupakan
akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada uterus gravid terjadi peningkatan ukuran
lingkar perut, diafragma meninggi, dan semakin dalamnya sudut antar kosta. Wanita hamil
mengalami peningkatan tidal volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional,
penurunan volume balik ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah. Hiperventilasi
alveolar terjadi bila PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 27-34 mmHg, yang biasanya
terlihat pada umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya
serangan eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar enam bulan, gejala yang
berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu.
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin dan
leukotrin.
Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan mediator
kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme bronkus. Pada kasus
kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan diawal berkurangnya ventilasi, dan
terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas darah arteri pada kehamilan (penurunan
PCO2 dan peningkatan pH). Pasien dengan perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan
merupakan faktor risiko terjadinya hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan.
dan gagal napas.

2.1.4. Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejalan malam hari, pemberian obat B-2 agonis
dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakain obat). Tidak ada pemeriksaan tunggal yang dapat
menentukan berat ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk
uji faal paru dapat menentukan kalisifikasi menutur berat-rinagnya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaannya.
Klasifikasi derajad asma pada anak secara arbiteri Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
membagi 3 derajad penyakit, yaitu :
a. Asma episodik jarang
b. Asma episodik sering
c. Asma persisten
Parameter Asma episodik Asma episodik Asma persisiten
klinis,kebutuhan obat jarang seing
dan faal paru asma
1. Frekuensi serangan < 1x/bulan >1 kali/bulan Sering, hampir
sepanjang tahun,
tidak ada periode
bebas serangan
2. Lama serangan < 1 minggu >1 minggu Biasanya berat
3. Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4. Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5. Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
6. Pemeriksaan fisik Normal (tidak mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan (ditemukan
kelaianan) kelainan)
7. Obat pengendali Tidak perlu perlu Perlu
(anti inflamsi)
8. Uji faal paru (diluar PEF atatu FEV > PEF atatu FEV PEF atatu FEV , 60%
serangan) 80% <60%-80%
9. Variabilitas faal Variabilitas >15% Vaiabilitas >30% Variabilitas >50%
paru (bila ada
serangan)
Sumber : Rahajoe N, dkk, pedoman nasional Asma anak; UKK Pulmonologi, PP IDAI 2004
2. Asma saat Serangan
Klasifikasi derajad asma berdasarkan frekuensi seranagn dan obat yang digunakan sehari-
hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Intiative for
Asthma (GINA) melakukan pembagian derajad serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinik, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laborstorium. Derajad serangan menentukan terapi
yang akan diterapkan. Adapun klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma
serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma 9aspek kronik) dengan seranagn asma (aspek akut).
Sebagai contoh seorang pasien asma perssiten berat dapat mengalami serangan ringan saja,
tetapi ada kemungkinan pada pasien pada paseien yang tergolong episodik jarang
mengalami ashma serangan berat.
Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap.
Untuk setiap pasien. Penggolongan harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani
pasien asma.
Parameter
klinik, fungsi
faal paru, Ancam henti
laboratorium Ringan Sedang Berat Nafas
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi ; menangis Bayi : Bayi ;
keras Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
Kesulitan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Panggal kalimat Kata-kata
kesadaran Mungkin iritabel Biasanya iritabel Biaanya iritabel kebingungan
wheezing Sedang, sering Nyaring Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi dan stetoskop
inspirasi
sianosis Tidak ada Tidak ada ada nyata
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya ya Gerakan
obat bantu paradok torako-
respiratorik abdominal
retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi ditambha ditambah napas
interkostal dengan retraksi cuping hidung
supraterna

2.1.5. Gejala Klinis Asma


Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering
dikeluhkan pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan
terasa sesak di dada. Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di
bagian dada. Simptom respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya
apabila terpapar lebih lama dengan alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka
yang asma mudah letih dan membatasi aktivitas fisik mereka (Nelson, 2007). Manakala
menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan karakteristik yang utama pada pasien
asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi akan lebih jelas kedengaran dan
suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir dan nail beds akan
terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa terjadi. Agitasi
dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas et al
(2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan
obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas. Kebanyakan dari penderita asma
juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004). Alergi rinitis merupakan
inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti, rinorea, bersin dan iritasi
konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada mata, hidung,
telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi rinitis.
Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas
dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung
yang terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan
(Nelson, 2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah
satu faktor pemicu terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan
sebanyak 80 % hingga 90% (B Leynaert, 2000). Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber
(2008) dermatitis atopik atau eksema adalah penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien
dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik
memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel mononuklear dan eosinofil serta
penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas terlihat secara klinis).
Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan terbentuknya krusta
dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului dan menyertai
erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan pengeluaran
keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang disebabkan oleh
panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah keluhan
utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa. Eksema
dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini
menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema
alergi terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).
Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan
pada waktu serangan tampak penderita bernapas cepat dan dalam, gelisah duduk dengan
tangan menyangga kedepan.
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi. dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas, seperti rasa berat didada, dan pada asma alergi
mungkin disertai pilek atau bersin, Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret. tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulent.
Gejala klinis asma antara lain :
- Kesulitan bernafas
- Kenaikan denyut nadi
- Nafas berbunyi, terutama saat menghembuskan udara
- Batuk kering
- Kejang otot di sekitar dada
Anak dengan eksaserbasi asma akan mengeluh dyspnea. batuk yang produktif atau
tidak. atau rasa tertekan di dada. Gejala yang ada bisa bertambah buruk pada malam hari
dan didahului sebelumnya rinitis alergi atau penyakit yang disebabkan oleh virus. Pada
pemeriksaan fisis biasanya frekuensi pernapasan pasien biasanya meningkat, nadi yang
cepat dan peningkatan tekanan darah. Pada auskultasi, suara pernapasan berkurang,
terdengar ronki, wheezing, dan waktu pernapasan memanjang. Sebagai tambahan biasanya
pasien menggunakan otot bantu napas.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pad atabel berikut dibawah ini :
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEVI (% predicted)
Alkalosis respiratori ringan Normal ↓ ↑ 65 – 80
Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
Asidosis respiratori ↓ ↓ ↑ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi
sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PO2 dan alkalosis respiratori. Pada
obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena Fatigue menjadikan retensi CO2. pada
hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PO2 arteri yang berubah menjadi
normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang diikuti kegagalan pernafasan dengan
karakteristik hiperkapnia dan asedemia
Menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1. Asma intermitten
Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa jam sampai
beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali sebulan, diantara serangan
pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan KVP1 > 80% dari hasil
prediksi, vanabilitas <20%
2. Asma persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan
mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2 kali /bulan,
nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%
3. Asma persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifltas dan tidur, serangan asma pada malam
hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 60-80% nilai prediksi,
variabilitas >30%
4. Asma persisten berat
Gejala terus menerus. sering mendapat serangan, gejala asma malam sering, aktifitas fisik
terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP1 60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
2.1.5 Diagnosis Asma
Diagnosisi asma yang tepat sangat penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan semestinya, mengi (wheezing)dan atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
penegakan diagnosa.
Secara umum untuk menegakkan diagnosa asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
1) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
a) Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam hari menjelang dini hari?
b) Apakah pasien mengalami mengi atau terasa berat atau batuk setelah terpajan
alergen atau populan (pencetus)?
c) Apakah pada waktu mengalami selesma (commond cold) merasakan sesak di dada
dan selesmanyamejadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
d) Apakah ada mengi atau perasaan beratdi dada setelah melakukan aktivitas atau
olahraga?
e) Apakah gejaa-gejala tersebut berkurang setelah diberi obat pelega (bronko
dilatator)?
f) Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca atau
suhu yang ekstrim (perubahan tiba-tiba)?
g) Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitisatopi, konjunktivitis alergi)?
h) Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orangtua, anak, saudara kandung, saudara
sepupu) yang menderita asma atau alergi?
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatnya kelainan. Selain
itu perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang
paling sering ditemukan adalah wheezing(mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak
didapatkan mengi diluar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi,
disertai dengan tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai
derajad serangan) :
a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, nafas cepat,retraksi
sela iga, retraksi epigartrium, retraksi suprasrenal), sianosis
b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi
pulsusu paradoksus)
c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata
d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fungsi pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosisi
asma faal paru dengan spirometer
b. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
c. Uji reversibilitas ( dengan bronkodilator)
d. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hiperaltivitas bronkus
e. Uji alergi (tes tusuk kulit/ skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi
f. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa sumber lain
dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan tes fungsi paru.
Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan diagnosis, tes fungsi paru
penting mengetahui reversibilitas penyakit, progresifitasnya dan sebagai petunjuk
pelaksanaan.
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di
dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul
pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain nada
pasien maupun keluarganya, dapat membantu diagnosis. Yang perlu diketahui adalah faktor-
faktor pencetus terjadinya asma.

2.1.6. Penatalaksanaan Ashma Pada Anak


Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (ashma terkontrol).
Tujuan :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
7. Mencegah kematian karena asma
8. Khusunya anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien
sebagai dasar yang kuart dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang
terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien ini
Ada 5 komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu :
1. KIE dan hubungn pasien-dokter
2. Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor resiko
3. Penilaian, pengobatan dan monitor asma
4. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut
5. Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi dan diabetes militua
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma kalsifikasikan menjadi : 1. Penatalaksanaan asama
akut/pada saat serangan dan 2. Pentalaksanaan asma jangka panjang
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan pasien dirumah dan jika tidak ada perbaikan
segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan
derajad seranagn. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pada serangan asma obat-obatan yang digunakan adalah:
 Bronkodilator (B2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
 Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya B2agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memnungkinkan dapat diberikan
secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid
oral (methilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan
sedang diberikan B2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serngan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, B2 agonis kerja
cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau
drip). Apabila B2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin
subkutan.
Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-
obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser

2. Penatalaksanaan jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang
- Edukasi
- Obat asma (pengontrol dan pelega)
- Menjaga kebugaran
Edukasi yang diberikan mencakup :
- Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
- Mengenali gejala serangan asma secara dini
- Mengetahui obat-obatan pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaan
- Mengenali dan menghindari faktor pencetus
- Kontrol teratur
Obat asma terdirai dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma
dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma
digunakan anti inflamsi (kortikosteroid inflamasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak
dilakukan sebelum diberikan kortokosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai 3
bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagia pengontrol antara lain:
- Inhalasi kortikosteroid
- B2 agonis kerja panjang
- Antileukotrien
- Teofilin lepas lambat
2.2. Konsep dasar Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Ashma
2.2.1 Pengkajian Data
1. Data subjektif
a. Identitas
Usia

Pada asma episodik yang jarang, biasanya terdapat pada anak umur 3-8
tahun.Biasanya oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada asma
episodik yang sering terjadi, biasanya pada umur sebelum 3 tahun,
dan berhubungan dengan infeksi saluran napas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat
terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas.Biasanya orang tua menghubungkan
dengan perubahan cuaca, adanya alergen, aktivitas fisik dan stres.Pada asma tipe
ini frekwensi serangan paling sering pada umur 8-13 tahun. Asma kronik atau
persisten terjadi 75% pada umur sebeluim 3 tahun.Pada umur 5-6 tahun akan
lebih jelas terjadi obstruksi saluran pernapasan yang persisten dan hampir
terdapat mengi setiap hari.Untuk jenis kelamin tidak ada perbedaan yang jelas
antara anak perempuan dan laki-laki.

b. Keluhan utama
Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa
sesak di dada. Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal
di bagian dada. Simptom respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam
terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan alergen. (Nelson, 2007)
c. Riwayat penyakit sekarang
Tanda dan gejala asma seperti mengi berulang dan/ atau batuk persisten
d. Riwayat penyakit terdahulu
Pernah mengalami asma sebelumnya,
e. Riwayat penyakit keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami asma. Karena keturunan
sangat berpengaruh. (rahajoe, 2010)
faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma.
Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam
keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering
mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini
membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma
(Cockrill et al, 2008)
f. Riwayat kesehatan lingkungan
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau, musim bunga,. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga danb debu
Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga
bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam
mengurangkan fungsi Universitas Sumatera Utara paru, mencetuskan
eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di
rumah sakit.
g. Riwayat psikososial keluarga
Stress / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress / gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.

Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi
keluarga,kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur
dan pengobatan anak,setelah menyadari penyakit anaknya,mereka akan
bereaksi dengan marah dan merasa bersalah (Greenberg, C.Smith,1992).
h. Kegiatan sehari-hari
 Pola nutrisi
Apakah anak memakan, makanan sebagai pencetus alergen.
 Pola aktivitas
Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan
membatasi aktivitas fisik mereka (Nelson, 2007)
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas.
 Pola tidur dan istirahat
Akan terganggu karena bisa mengalami asma nokturnal yang akan
menimbulkan rasa tidak nyaman.
Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur,
 Personal hygiene
Kebiasaan mandi setiap harinya.
2. Data objektif
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum tampak lemah,kesadaran composmentis sampai koma,
pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic (kontraksi otot
pernafasan),nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, sampai bradikardi.
2. Pemeriksaan Fisik (Akib,2008)
 Muka : penilaian sianosis, pada pasien asma sserangan sedang-berat
dapat ditandai dengan sianosis, sianosis pada bibir dan nail beds akan
terlihat disebabkan oleh hipoksia (Boguniewicz 2007)
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis alergi dan fungsi
olfaktori (Karnen B.;1994, Laura A. Talbot;1995).

 Dada :

 Inspeksi
Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke
bawah disebabkan oleh udara dalam paru-paru susah untuk dikeluarkan
karena penyempitan jalan nafas. Frekuensi pernafasan meningkat dan
tampak penggunaan otot-otot tambahan
 Palpasi.
Pada palpasi dikaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus. Pada asma, paru-paru penderita normal karena yang menjadi
masalah adalah jalan nafasnya yang menyempit (Laura A.T.;1995).
 Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah disebabkan karena
kontraksi otot polos yang mengakibatkan penyempitan jalan nafas
sehingga udara susah dikeluarkan dari paru-paru (Laura A.T.;1995).
 Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi
lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan
wheezing karena sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus
dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran
napas menjadi sangat meningkat (Karnen B .;1994).
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan faal paru
 Uji fungsi paru dengan spirometer
 Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan dengan lari
bebas, udara dingin dan kering
 Variabilitas PEFR atau FEV, > 20%
 Kenaikan > 20% PEFR/FEV, setelah pemberian bronkodilavator
inhalasi
 Penurunan >20% PEFR/FEV, setelah provokasi bronkus

2.2.2 Diagnosis dan Masalah Keperawatan


a. Diagnose
Diagnose ditegakkan berdasarkan data subjektif, data objektif dan data penunjang
yang disesuaikan dengan nomenklatur kebidanan.
Contoh :Anak….. umur…. tahun dengan asma.
b. Masalah
1) Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, sekresi kental, penurunan energi/kelemahan.
2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi
jalan nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubngan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah.
4) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
5) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, tindakan berhubungan
dengan kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang
informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

2.2.3. Intervensi Keperawatan


Perencanaan menurut Merylin E. Doengoes, 1999 adalah sebagai berikut :
2.2.3.1 Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, sekresi kental, penurunan energi/kelemahan.
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas,
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas (misal batuk efektif).
tindakan :
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas mengi, krekels, ronki.
- Kaji/pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
- Catat adanya derajat dispnea, penggunaan otot bantu.
- Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misal peninggian kepala tempat tidur.
- Pertahankan polusi lingkungan minimum.
- Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
- Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hr sesuai toleransi jantung.
- Berikan obat sesuai indikasi.
2.2.3.2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat,
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan.
Rencana tindakan :
- Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot tambahan.
- Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.
- Kaji secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
- Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan jika diindikasikan.
- Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara.
- Palpasi fremitus.
- Awasi tingkat kesadaran/status mental.
- Evaluasi tingkat toleransi aktivitas, berikan lingkungan yang tenang.
- Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi.
2.2.3.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan,
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah.
Rencana tindakan :
- Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
- Auskultasi bunyi usus.
- Berikan perawatan oral sering.
- Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan.
- Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
- Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
- Timbang berat badan sesuai indikasi
2.2.3.4 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan,
peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Rencana tindakan :
- Awasi suhu.
- Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan
adekuat.
- Observasi warna, karakter, bau sputum.
- Tekankan cuci tangan yang benar.
- Awasi pengunjung.
- Dorong keseimbangan antara istirahat dan aktivitas.
- Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
- Berikan anti mikrobial sesuai indikasi.
2.2.3.5 Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, tindakan berhubungan dengan
kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang
mengingat/keterbatasan kognitif.
Rencana tindakan :
- Jelaskan tentang proses penyakit individu.
- Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang diinginkan.
- Tunjukkan tehnik penggunaan dosis inhaler.
- Anjurkan menghindari agen sedatif anti ansietas kecuali diresepkan.
- Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernafasan aktif.
- Diskusikan pentingnya mengikuti perawatan medik.
2.2.4 Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat. Seperti tahap-
tahap yang lain dalam proses keperawatan, fase pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan
antara lain :
 Validasi (pengesahan) rencana keperawatan.
 Menulis/mendokumentasikan rencana keperawatan.
 Memberikan asuhan keperawatan.
 Melanjutkan pengumpulan data.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan kegiatan
sengaja dan terus-menerus yang melibatkan pasien dengan perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya.
Tujuan evaluasi adalah :
1. Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak.
2. Untuk melakukan pengkajian ulang.
3. Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan dengan perilaku
pasien :
 Tujuan tercapai jika pasien mampu menunjukan perilaku sesuai dengan pernyataan
tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan.
 Tujuan tercapai sebagian jika pasien sudah mampu menunjukan perilaku tetapi tidak
seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
 Tujuan tidak tercapai jika pasien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukan perilaku yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai