Anda di halaman 1dari 4

Judul : Negara hukum di tinjau dari aspek budaya

Rumusan masalah :
2. Bagaimana hukum adat istiadat di Indonesia?
Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter masing-masing yang unik. Karakter ini
terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap
bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak ada yang bersifat
superior atau satu sama lainnya. Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem hukum adat
yang memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya. Hukum secara hipotesis dapat
dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum.
Seperti yang dikatakan von Savigny, sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat.
Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas, tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam
jiwa masyarakat. Jalan, jejak dan praktik budaya, tradisi, adat dan hukum informal masih
melekat, menyatu dan ada dalam praktik masyarakat Indonesia ‘modern’.

Berikut ini berapa contoh tradisi yang masih ada hingga saat ini :

1. Tradisi Nikah-Paksa di Madura: Perspektif Sosio-Legal Feminisme


Tradisi nikah paksa adalah sebuah kebiasaan masyarakat Madura dalam menjodohkan atau
menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan lelaki pilihan orang tua. Biasanya
mereka dijodohkan ketika masih dalam kandungan atau masih anak-anak. Umumnya usia
anak perempuan yang dinikahkan di bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia sekitar 12-15
tahun. Pelestarian warisan leluhur tersebut bisa dilihat di beberapa daerah tertentu di
Madura meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Tradisi ini terbentuk karena
hukum adat yang melebur dengan pemahaman keagamaan masyarakat Madura tentang
Islam, didukung pula dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.

2. Bagaimana Membeli Perempuan? Status Perempuan Kristen Batak dalam Tradisi


Perkawinan
Tradisi dan budaya perkawinan yang saling menyuburkan internalisasi status perempuan.
Keduanya ialah tradisi liturgi perkawinan dalam gereja dan tradisi perkawinan adat Batak
Toba. Tradisi gereja dan tradisi adat datang dari dua dunia yang berbeda. Mereka mempunyai
perbedaan latar belakang konteks, tetapi sama-sama menstereotipe dan mensubordinasi
perempuan. Teks yang sering dipergunakan dalam tradisi liturgi perkawinan menggambarkan
perempuan distereotipe dalam ketundukan kepada suami sebagai bentuk ketundukan
kepada Tuhan. Teks tradisi liturgi perkawinan yang patriarki itu hadir di tengah-tengah
masyarakat Batak yang juga patriarki. Masyarakat ini sangat kental dengan adat. Salah
satunya ialah perkawinan adat Batak Toba dengan sinamot yang diartikan sebagai
pembayaran perkawinan. Banyak yang menyebut sinamot sebagai tuhor ni boru, arti harafiah
“uang beli perempuan.”

3. Pernikahan adat jawa


Pernikahan menurut masyarakat jawa adalah hubungan cinta kasih yang tulus antara seorang
pemuda dan pemudi, yakni perempuan dan laki-laki. Dalam suatu pepatah jawa mengatakan
“witing trisno jalaran soko kulino” yang artinya cinta kasih itu tumbuh karena terbiasa. Dalam
hukum adat, pernikahan selain merupakan suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami istri, yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta
membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang
menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Terjadinya pernikahan,
berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

4. Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta


Penelitian kawin kontrak di daerah Cisarua dan Jakarta menunjukkan bahwa ada manipulasi
budaya dan agama. Khusus di daerah Cisarua dominasi budaya Arab menguat dan
mempengaruhi subyektivitas serta seksualitas perempuan Indonesia. Penghargaan terhadap
identitas dan eksistensi perempuan Indonesia telah luntur karena nilai-nilai budaya Indonesia
tidak dipertahankan serta faktor kemiskinan yang menyeruak. Kawin kontrak adalah
prostitusi semata yang “dilegalkan” dengan dalih agama. Di Cisarua kawin kontrak dan kawin
siri tidak dapat dibedakan karena sama-sama dapat dipandang mengeksploitasi tubuh
perempuan.

5. Horja di tanah Batak


Di tanah Batak bagian utara ada suatu cabang marga yang disebut “Horja” (nama menurut
sajian pujaan bersama), yang merupakan persekutuan pujaan. Masyarakat Batak percaya
pada adanya lima dewata yaitu Batara Guru, Soripada, Mangala Bulan, (debata na tolu) dan
pemujaan terhadap dewata dalam suatu upacara atau persekutuan keagaamaan. Orang
Batak sangat peka terhadap kegiatan persekutuan keagamaan dalam hal ini banyak dilakukan
di daerah di pulau Nias sebelah barat pantai Sumatera. Masyarakat adat di sini menyebut diri
mereka penyembah ruh. Serta beberapa wilayah di daerah Sumatera masih mempercayai
adanya pemujaan terhadap ruh yaitu sebagian daerah Mentawai.

6. Kepercayaan Bali
Masyarakat Bali yang menganut sistem patriliner juga menggunakan sistem kepercayaan
terhadap sesuatu yang dianggap istimewa dalam hal ini ada semacam pemujaan. Di daerah
Pasundan Jawa Barat yang hampir sebagian besar beragama Islam tapi masyarakatnya masih
banyak yang percaya dengan makam untuk meminta sesuatu. Dikalangan masyarakat Jawa
sebagaimana juga di daerah Indonesia ada yang disebut Islam santri, dan Islam kejawenan
(Islam kejawaan) atau disebut putihan (santri) atau abangan (tidak taat), kebanyakan dari
warga masyarakat ini bersikap nerimo atau menyerahkan diri kepada takdir. Bagi mereka
yang Islam taat pelaksanaan mulai Hukum Adat Indonesia 27 dari perkawinan sampai kepada
pelaksanaan ajaran agama dan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ketentuan Islam.

7.
Ada pepatah adat di Minangkabau yang dikutip oleh Eman Suparman, yaitu berbunyi: “pusaka
itu dari nenek turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan”, pusaka juga disebut
dengan pusako yang turun itu bisa mengenai gelar pusaka juga disebut dengan istilah sako
ataupun mengenai harta pusaka”. Masyarakat adat Minangkabau menganut sistem
kewarisan secara kolektif yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan sebagai
keseluruhan dan tidak dapat terbagi-bagi dimiliki secara bersama-sama oleh para ahli waris.
Seperti harta pusaka tinggi yaitu harta yang dimiliki secara bersama-sama oleh kekerabatan
yang terus turun-temurun, sebagaimana pendapat Buya Hamka yang dikutip dari Cibuak Net
berikut ini adalah Pusaka Tinggi “inilah dijual tidak dimakan bali di gadai tidak dimakan sando
(sandra). “Inilah Tiang Agung Minangkabau” selama ini. Jarang kejadian pusako tinggi menjadi
pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku yang menguasainya. Sedangkan
harta pusaka rendah adalah yang sumber dari tanah hibah, tanah dibeli, tanah pembagian
diperuntukkan (bauntuak) atau tanah yang dimiliki olehorang tua.

8. Perkawinan Anak – Anak


Di beberapa lingkungan masyarakat adat, tidak saja pertunangan yang dapat berlaku sejak
masa bayi, tetapi dapat juga perkawinan antara pria dan wanita yang masih belum dewasa,
atau antara pria yang sudah dewasa dengan wanita yang masih anak-anak, atau sebaliknya.
Di Bali, perkawinan anak-anak merupakan perbuatan terlarang, namun di banyak daerah
merupakan perbuatan yang tidak dilarang. Misalnya di Pasundan, berlaku perkawinan anak-
anak dimana gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang sudah dewasa.
Setelah perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga kerja tanpa upah,
bekerja untuk kepentingan keluarga isteri sambil menunggu waktu isteri dewasa dan dapat
bercampur sebagai suami isteri. Perkawinan yang ditangguhkan masa campur suami isteri
disebut “kawin gantung.”

9.
Di daerah di Kalimantan Tengah misalnya masyarakat Daya sangat mempercayai suatu air
kehidupan dari nenek moyang untuk menyembah nenek moyang mereka yang ada di hutan.
Di daerah kalangan masyarakat adat Bugis dan Makassar yang sebagian besar sudah
menganut agama Islam, kepercayaan lama itu dapat dikatakan sudah tidak ada kecuali pada
masyarakat ToLotang atau masyarakat Toraja, yang berada Sidenreng Rappang dan
masyarakat Ammatoa di Kajang Kabupaten Bulukumba, juga merupakan suatu wilayah adat
yang ada di daerah Sulawesi Selatan.
Daerah Minahasa walaupun masyarakat adatnya pada umumnya sudah menganut Kristen.
Masih juga terdapat warga masyarakatnya yang percaya pada hal berbau mistis terhadap
nenek moyang.
Dan didaerah Maluku Utara dan Tengah walaupun menganut agama Kristen dan Islam, masih
juga ada yang percaya pada ruh-ruh halus yang harus dihormati dan diberi sajian agar tidak
mengganggu kehidupan manusia. Di daerah Irian Jaya dan daerah NTT masyarakatnya masih
hidup pada kepercayaan lama untuk penyembahan terhadap sesuatu yang dianggap gaib.

Daftat Pustaka
HUKUM ADAT INDONESIA (Suatu Pengantar) Penulis : Dr.Hj. Asmah, SH, MH Penerbit :
FAHMIS PUSTAKA Kota : Makassar Tahun : 2017
Jurnal Perempuan Vol. 20 Edisi 84 Penulis : Tim Mitra Bestari Penerbit : Yayasan Jurnal
Perempuan Kota : Jakarta Tahun : 2015

Anda mungkin juga menyukai