HIKAYAT SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari
keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki
berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka
pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan
sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin
berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari
rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja.
Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin
menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar
Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain.
Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin
menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera.
Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya
sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak
cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si
Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi.
Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan,
bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari
dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli
nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa
Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka
mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh
Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri
putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan
raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu
Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat
tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari
dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya
Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang
membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah
Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat
petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh
Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri
di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut
adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti
dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga
Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam
Cahaya. (Sumber:Peristiwa Sastra Melayu Lama)
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah
timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam
yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah
semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang
terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan
dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil
memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia
tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di
dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan
nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan
ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya
berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah.
Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya
lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu.
Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat
sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong.
Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat
apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan
semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun
tidak berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah
berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.
Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya diam di negeri Baghdad. Adapun Abu
Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak daripada orang banyak. Bapanya seorang Kadi.
Sekali peristiwa, bapanya itu sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium
telinganya. Telinga sebelah kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat
busuk . Bapanya menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah
mendengar aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah telinga
menjadi busuk. Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi, dia harus mencari
helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah dan Sultan Harun Ar-rasyid
mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka Abu Nawas pun membuat gila dan
tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu Nawas berkata kepada seorang yang dekatnya,
”Hai, gembala kuda, pergilah engkau memberi makan rumput kuda itu.” Maka si polan itu
pergi menghadap sultan dan meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu Nawas
itu, pekerjaannya tiap hari ialah mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu malam,
seorang anak Mesir yang berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah dengan anak
perempuan kadi yang baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir itu, ia meminta
anak Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala hartanya dirampas
dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh murid-muridnya
memecahkan rumah kadi itu. Tatkala dihadapkan ke depan Sultan, Abu Nawas berkata bahwa
dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan memakai mimpi sebagai hukum itu
sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri. Dengan demikian terbukalah perbuatan kadi yang
zalim itu. Kadi itu lalu dihukum oleh Sultan. Kemudian anak Mesir itu pun diamlah di dalam
negeri itu. Telah sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama Abu Nawas menjelang kematiannya ia
memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium telinganya. Jika telinga kanan harum baunya,
itu pertanda akan baik. Akan tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa sepeninggalnya
akan terjadi hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura menjadi gila, sehingga ia tidak
diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi. Yang diangkat menggantikannya ialah Lukman.
Seorang pedagang Mesir bermimpi sebagai berikut: anak perempuan kadi baru kawin gelap,
akan tetapi tanpa emas kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon, sehingga diusir
bersama-sama suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan dengan demikian
kehormatan kadi baru itu pulih kembali.
Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri
Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda
baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah.
Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia
menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi
berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar
khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri:
"Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian
juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari
kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya:
"Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah datanglah
pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya
diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat
pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas
gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian.
Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu
datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini
terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok pagi-pagi kita berburu"
Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka
segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-
pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun
amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu.
Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka
berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing
itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah
dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh
anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan
karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang
gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai
ini."
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan
kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk
merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana
datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun
menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat
Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik
ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke
Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.
Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?".
Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar
sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu
baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada
tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik
ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah
sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan
lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang
diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera).
Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu
Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun
merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama
orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang
mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima
waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan
taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang
menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa
berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki
yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar
saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali
jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah
dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."
"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah
selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk
ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan
keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang
ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang
dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana
orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-
apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."
"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-
duanya sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali
bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah
Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian kakek itu
tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya
berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku
pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku
ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, "Oh,
andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku."
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti
yang kamu inginkan."
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke
dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah
engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa
membantumu."
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu
telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang
mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang
tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan
berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha
Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti
dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena
berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari
lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku
mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar
sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar
ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya
mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan
kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu
tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada
isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan
kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya
Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia,
selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana telah
menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya, Zubaidah
pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah karena telah
berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang
pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah
engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan
itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan
ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki
Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai orang
tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan
kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi
itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk
akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat
Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud. Mereka
bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung mendengar kabar
teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar
itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri
yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih
mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.
Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang
Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada
istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan
melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu
Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para
pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya
itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi
main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka.
Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri
Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada
Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka kata Hang
Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun
akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang
Tuah samil menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang Tuah
mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu amarah
pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka
Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan
kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang
menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”Terdengarlah berita itu oleh
keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi
bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun
tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan
kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang
Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun
berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu,
datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung
dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya
mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-
berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar
hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian
ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak
berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai
Tumenggung, katakan saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku,
saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda
bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang
berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada
hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan
seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang
untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna
merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah si
durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak
mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah
berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan.
Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah
tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”